Anda di halaman 1dari 31

LATAR BELAKANG

Agama Buddha muncul sebagai bentuk kritisi dari Sidharta Gautama terhadap
agama Hindu yang terdapat system kasta. Gautama menjadi seorang pangeran
Kapilawastu yang sangat taat dalam tradisi Hindu. Hidup selalu bergelimang harta
dan berkecukupan, tidak adahal- hal yang membuat beliau sedih dan merasa kurang
nyaman di Istana. Hal ini tidak lantas membuatnya menjadi sosok pemuda yang malas
dan enggan berfikir.
Ketika Gautama pergi keluar istana, ia sanga terkejut karena kehidupan diluar
istana sangatlah berkebalikan dengan keadaan istana, dalam kesempatan ini ia
memperoleh pengalaman pertam atentang kematian, penderitaan manusia yang tua.
Hal ini membuat Sidharta mengalami perubahan pandangan hidup. Sidharta
memutuskan untuk meninggalkan semua kenikmatan yang ada di istana. Ia ingin
mencari kebenaran yang hakiki, dengan jalan bertapa dan hidup dalam kesederhanaan.

RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah lahirnya Agama Budddha
2. Bagaimana esensi serta nilai yang terkandung di dalam ajaran-ajaran Agama
Budha
3. Bagaimana sejarah eksistensi Agama Buddha
A. SEJARAH LAHIRNYA AGAMA BUDHA
Budha adalah satu di antara sekian agama di dunia yang ada dan masih eksis
keberadaannya hingga kini. Budha lahir dan tumbuh di India, kurang lebih dalam kisaran
masa antara tahun 500 SM. sampai dengan tahun 300 M. Secara historis, eksistensinya
dapat kita lihat, memiliki keterkaitan dengan agama-agama yang sudah dulu ada
sebelumnya, dan juga yang baru lahir sesudahnya, termasuk di antaranya dengan Agama
Hindu. Oleh sebab itu tidak heran apabila kemudian masyarakat di masa mendatang
seringkali menyejajarkan, paling tidak dalam setiap penyebutannya, agama Budha dan
Hindu. Bahwa ternyata kebiasaan tersebut pada gilirannya akan menuai pembenaran
tatkala mereka mendapati kesimpulan jika ternyata antara kedua agama tersebut memang
saling menjalin keterkaitan dan hubungan satu sama lain.
Ajaran agama Budha bukanlah ajaran yang bertitik-tolak dari Tuhan serta
hubungannya dengan alam semesta dan seluruh isinya termasuk manusia, akan tetapi di
dalamnya lebih ditekankan kepada hal-hal, dimensi, dan aspek-aspek yang lebih realistis.
Ajaran-ajaran yang ada di dalam agama Budha lebih menekankan kepada perihal
bagaimana kemudian solusi, kunci, serta jalan keluar yang harus diambil oleh manusia
ketika menghadapi masalah-masalahnya, khususnya tentang tata susila yang harus
senantiasa dipegang agar manusia bisa terbebas dari dukkha yang mengiringi hidupnya.
Sepanjang perjalanannya, nilai-nilainya masih selalu terfokuskan kepada aspek itu. Oleh
karenanya, aspek ketuhanan masih kurang memperoleh bagiannya.
Titik inilah yang kemudian memicu perdebatan di kalangan para ilmuwan agama,
untuk menyoal perihal kevaliditasan agama Budha sebagai agama. Dengan fakta wajah
ajaran seperti itu, banyak pakar mengomentari jika Budha hanya akan lebih relevan jika
disebut sebagai suatu aliran ajaran filsafat, bukan sebagai agama.
Namun di kalangan para pemeluknya, ajaran yang disampaikan oleh Budha
Gautama tidak harus dipahami, diinterpretasikan sebagai ajaran agama atau filsafat saja.
Karena segala bentuk pengertian yang merujuk pada arti agama atau filsafat dan semua
fenomena yang terdapat di alam ini telah tercakup dalam istilah dharma (Sansekerta)
atau dhamma (Pali) yang menjadi inti dari seluruh ajaran Budha Gautama. Dengan
demikian, pemakaian istilah Budha dharma atau Budha damma lebih sering
dipergunakan oleh para pemeluk agama Budha daripada istilah agama.
Secara garis besar, ajaran agama Budha dapat dirangkum dalam dalam tiga ajaran
pokok, yaitu Budha, dharma, dan sangha. Ajaran tentang sangha, selain mengajarkan
para umat Budha untuk memandang sangha sebagai pasamuan para bhikkhu, juga
berkaitan dengan umat Budha yang menjadi tempat para bhikkhu menjalankan
dharmanya, juga dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Budha, baik di tempat
kelahirannya (India), atau di tempat-tempat di mana agama tersebut berkembang.

a. Terminologi Buddha
Secara etimologi, Budha berasal dari “buddh”, yang berarti bangun atau bangkit,
dapat pula berarti pergi dari kalangan orang bawah atau awam. Kata kerjanya “bujjhati”,
antara lain berarti bangun, mendapatkan pencerahan, memperoleh, mengetahui,
mengenal atau mengerti. Dari arti-arti epistemologis tersebut, perkataan Budha
mengandung beberapa pengertian seperti: orang yang telah memperoleh kebijaksanaan
sempurna; orang yang sadar secara spiritual; orang yang siap sedia menyadarkan orang
lain secara spiritual; orang yang bersih dari kotoran batin yang berupa dosa (kebencian),
lobha (serakah), dan moha (kegelapan).
Berdasarkan pengertian di atas, tampaklah bahwa Budha bukanlah nama seorang diri,
melainkan suatu gelar kehormatan bagi orang yang telah mencapai tingkatan spiritual
tertentu. Berbeda dengan gelar Kritus yang hanya dimiliki oleh Yesus dari Nazaret.
Dalam kepercayaan para pemeluk agama Budha, ada beribu-ribu orang yang telah
mencapai dan mendapatkan gelar kehormatan tersebut dalam sejarahnya. Adapun masa
sekarang ini, orang yang telah mencapai pencerahan dan gelar tersebut adalah Sidharta
Gautama, Budha yang ke-28 dan yang mendirikan agama Budha sebagaimana dikenal
sekarang ini.
Selain mendapatkan gelar Budha, Sidharta juga telah mendapatkan gelar Baghava
(orang yang menjadi sendiri tanpa guru yang mengajar sebelumnya), Sakya-mimi
(pertapa dari suku Sakya); Sakya-sumha (singa dari suku Sakya); Sugita (orang yang
datang dengan selamat); Svarta-siddha (orang yang terkabul semua permintaannya) dan
Tathagata (orang yang baru datang).

b. Sumber-sumber Tulisan tentang Buddha Gautama


Sepanjang masa hidupnya, Budha Gautama tidak pernah didapati menelurkan suatu
karya dalam bentuk tulisan apapun yang mendeskripsikan tentang dirinya dan perjalanan
hidupnya. Para ahli sejarah dan para ilmuwan dalam bidangnya kesulitan ketika berusaha
dan berupaya mencari, menggali sumber-sumber yang autentik merupakan tulisan atau
buah karya dari Budha Gautama yang menguraikan, menceritakan tentang perjalanan
serta pergulatan spiritual yang dialaminya semasa hidupnya, khususnya yang
menyangkut tentang agama Budha, kecuali hanya beberapa data yang diperoleh dari
khotbah-khotbah Budha Gautama yang disampaikan secara lisan dan dihafalkan para
murid dan pengikutnya. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa sebagian besar kata-
kata yang ada di dalamnya tidaklah autentik ucapan serta perkataannya murni, akan
tetapi hanya hasil dari saduran-saduran para murid dan pengikutnya atas ucapan-
ucapannya.
Baru kemudian setelah jangka masa kira-kira 400 tahun setelah Budha wafat, isi-isi
dari keseluruhan khotbah tersebut barulah terhimpun dalam suatu kitab yang pada
masanya nanti akan kita kenal dengan nama Tri Pitaka. Adapun di kalangan penganut
Budha Mahayana, mereka tidak hanya menggunakan Tri Pitaka sebagai sumber
penulisan sejarah Budha Gautama, akan tetapi karangan-karangan kesusastraan yang
usai dikarang murid-murid dan para pengikutnya juga mereka jadikan sebagai referensi.
Dari deretan data dan fakta seputar perjalanan penulisan sejarah Budha tersebut,
banyak dari kalangan agamawan, khususnya para sejarawan-sejarawan agama yang
mempersoalkan keautentikan data-data itu, sehingga banyak dari mereka yang kemudian
mengajukan beberapa kritik terhadap hal tersebut. Di antara kritik itu seperti, bahwa
naskah-naskah tersebut tersusun jauh setelah Budha wafat, sehingga sulit untuk bisa
benar-benar memastikan keaslian datanya, terlebih lagi sebab tidak adanya naskah
pembanding. Naskah-naskah pembanding tersebut menjadi penting dalam rangka untuk
benar-benar memastikan bahwa keautentikan data-data tersebut sudah berada dalam
level tangguh. Begitu pula data-data sejarah itu ditulis sendiri oleh kalangan murid dan
pengikut-pengikutnya, sehingga sulit untuk mencapai tingkat keobjektifitasan sejarah
yang tinggi, juga tersusunnya naskah sejarah yang tidak secara kritis historis
menyebabkan hasil penulisan sejarah dengan menggunakan sumber tersebut menjadi
kurang bobot historisnya. Data arkeologis yang dijadikan sumber penulisan
sejarahnya juga sedikit, dan secara langsung tidak dapat menunjukkan bukti kesejarahan
Budha, apalagi menulis sejarah hidupnya. Akan tetapi, setidaknya, di tengah
keterbatasan sumber penulisan sejarah Budha baik dari data tertulis maupun arkeologis,
penulisan sejarah Budha Gautama masih bisa terus diupayakan untuk agar sejarah hidup
Budha Gautama adalah pembahasan yang tetap eksis dan selalu mungkin untuk
dibicarakan kembali.
c. Kehidupan Buddha Gautama
Budha lahir dari sepasang suami istri bernama Dewi Mahayana dan ayahnya
Suddhodana adalah seorang raja kecil yang berasal dari suku Sakya dan memerintahnya.
Ia lahir sekitar tahun 560 SM. di taman Lumbini kerajaan Kapilawastu, India Utara.
Budha lahir di tengah India masih terpecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan yang
menguasai dan memerintah masyarakat dalam bidang sosial politik maupun moral
keagamaan. Saat itu India juga belum memiliki bahasa kesatuan. Pada umumnya adalah
bahasa-bahasa lokal yang digunakan oleh suku-suku tertentu, seperti bahsa Pali yang
digunakan oleh kerajaan Kapilawastu. Adapun bahasa Sansekerta waktu itu adalah
bahasa suci yang hanya digunakan oleh kalangan pemuka agama.
Pada era menjelang kelahirannya, terjadi kekacauan pada masyarakatnya dalam
bidang agama. Kekacauan tersebut bersifat teologis, yang diwarnai dengan perdebatan
metafisis seperti seputar apa itu roh, bagaimana nasib manusia setelah mati, bagaimana
cara mencapai derajat kemuliaannya, dan sebagainya. Keadaan demikian agaknya
berpangkal pada ketakhayulan para brahmana yang mewujud dalam aneka ragam
upacara korban yang dipersembahkan kepada para dewa atau dewi, bukan saja berupa
ternak benda-benda tertentu, tetapi juga sering berupa manusia, terutama gagis-gadis.
Praktek-praktek korban tersebut berlangsung sedemikian lama sehingga berpengaruh
pada pengaruh brahmana yang kian kuat di tengah masyarakat. Namun akhirnya siapa
sangka jika masyarakat kemudian menyangsikan, memberhentikan upacara tersebut,
sebab dirasa kian lama kian tak berpengaruh apa-apa bagi kebaikan hidup mereka. Oleh
karenanya pula tak ayal jika kemudian situasi yang seperti itu memicu munculnya para
tokoh penyelamat dengan beragam konsep ajaran baru yang ditawarkannya kepada
masyarakat saat itu, sesuai dengan intensitas problem yang bergulir pada waktu itu.
Reaksi tersebut muncul antara lain dari aliran yang menamakan dirinya sebagai
Carvaca, yang secara terang-terangan menentang kaum dan ideologi brahmana dan
beranggapan bahwa yang ada hanyalah jagad (loka), tidak ada satupun yang ada yang
membandingi jagad itu. Aliran ini tidak mempercayai hal-hal yang tidak tampak oleh
mata, termasuk akhirat. Persepsi merupakan satu-satunya sumber pengetahuan; apa yang
tidak tampak adalah tidak ada. Materi, sebagai satu-satunya yang dapat ditangkap indera,
merupakan satu-satunya realitas. Sementara prinsip-prinsip dasar yang menentukan
adalah air, tanah, api, dan udara. Oleh karena konsep ajaran yang demikian, maka
imbasnya adalah para pengikut aliran ini berusaha mencari kebahagiaan di dunia sepuas-
puasnya, cenderung mengabaikan nilai moral yang ada sehingga menimbulkan pemujaan
kepada hawa nafsu yang berlebihan.
Aliran yang lain adalah Thitia, yang memiliki pandangan kebalikan dari aliran
Carvaca. Aliran ini mengakui adanya roh yang bersifat kekal dan bahagia yang
dilahirkan berulang kali ke dalam tubuh manusia, atau dari tubuh manusia ke dalam
tubuh makhluk lain yang lebih rendah. Aliran ini beri’tikad bahwasannya kebahagiaan
sejati hanya dapat dicapai melalui pelenyapan dan peniadaan perasaan jasmaniyah.
Dimensi jasmani, menurut mereka, hanya membatasi ruang jelajah roh yang kekal.
Sebagai efek yang timbul dari aliran ini, penganut paham ini akan bersikap berlebih-
lebihan yang mengarah pada penyiksaan jasmaniah dalam rangka mencapai kebahagiaan
sejati yang hanya dapat dirasakan oleh roh saja. Dalam situasi seperti itulah Budha
Gautama dilahirkan, dibesarkan, mencari makna hidup dan mengembangkan
penemuannya di tengah masyarakat.
Prosesi kelahiran Budha Gautama tidaklah normal seperti proses-proses kelahiran
manusia pada umumnya. Prosesi kelahirannya diliputi berbagai macam tanda-tanda
keistimewaan. Seperti ibunya, Dewi Maya, yang ketika Budha Gautama masih dalam
kandungannya bermimpi ada seekor gajah putih masuk ke dalam perutnya, yang dalam
tradisi kebudhaan tentu hal semacam itu merupakan potret cikal bakal keistimewaan
yang tidak biasa dialami oleh manusia pada umumnya. Diceritakan pula jika seketika
Budha lahir dan menginjakkan kaki di bumi, ia langsung berjalan kedepan sejauh tujuh
langkah; pada tiap-tiap bekas langkahnya tumbuh bunga teratai, dan setibanya pada
langkah ke tujuh, ia memperlihatkan kebesaran dan kehaibahannya. Setelah periode
kelahirannya yang teramat istimewa itu, Budha Gautama yang anak Raja Suddodana
tinggal di Kapilawastu sampai pada masa pencerahannya.
Secara garis besar, perjalanan hidup Budha Gautama terbagi menjadi empat
periode:
1. Budha sebagai Pangeran Siddharta
Periode ini dimulai sejak Sidharta lahir hingga pada usianya yang ke 29 tahun.
Diceritakan, pasca kelahirannya yang menakjubkan itu, Sidharta dimimpikan akan
menjadi seorang raja yang agung di masa depan. Namun Sidharta akan lebih memilih
hidup dengan penuh kesederhanaan, keprihatinan, daripada maraup segala kenikmatan
hidup duniawi yang banyak diidam-idamkan oleh manusia pada umumnya. Nalurinya
lebih tertarik kepada bagaimana menemukan hakikat makna dari hidup ini, dengan meniti
jalan kehidupan yang benar-benar murni tersebut.
Namun agaknya ramalan tersebut kurang membuat gembira ayahnya. Ayahnya,
Suddodana, sebagai lazimnya seorang raja tentu lebih mengharapkan dan mendambakan
kelak putranyalah yang akan melanjutkan tonggak dan mewarisi tahta kerajaan.
Kemudian segala usaha ditempuh ayahnya dalam rangka bagaimana caranya supaya
Shidarta melupakan impiannya menjadi manusia prihatin pencari makna kehidupan yang
menurut ayahnya merupakan tindakan bodoh itu. Termasuk usaha ayahnya itu adalah
menjauhkan segala sisi kehidupan Shidarta dari bau-bau keprihatinan, ayahnya tidak
ingin sama sekali sedikitpun Shidarta selama hidupnya, sepanjang hidupnya merasakan,
menyentuh budaya-budaya ataupun tradisi-tradisi kesusahan. Oleh ayahnya, Shidarta
selalu dibiasakan, digelimangkan akan kenikmatan-kenikmatan duniawi, dengan harapan
supaya Shidarta dapat melupakan impian bodohnya itu. Sampai kemudian oleh
Suddodana Shidarta dinikahkan dengan seorang putri yang sangat cantik jelita bernama
Yasodhara, di samping pula hari-hari Shidarta yang selalu dikelilingi oleh putri-putri
cantik lainnya, yang berpakaian rapi nan indah, yang siap menghibur Shidarta dengan
nyanyian dan tarian-tarian.
Akan tetapi sayangnya, usaha-usaha yang sudah dilakukan ayahnya untuk putranya
tersebut berakhir dengan sia-sia. Dengan berbekal tekad dan niat yang kukuh, Shidarta
tetap berada pada pilihan jalan hidup prihatin yang sudah lama ia damba-dambakan
tersebut. Hingga akhirnya ia keluar, melarikan diri dari istana, dan bertapa di tepi sungai
Anoma. Di tepi sungai Anoma inilah Shidarta tinggal dan bertapa selama tujuh hari tujuh
malam.

2. Shidarta Gautama Sebagai Seorang Pertapa


Fase perjalanan hidup Shidarta sebagai seorang pertapa dimulai ketika ia kemudian
dari lokasi pertapaannya di tepi sungai Anoma, beranjak ke Rajagraha, ibukota kerajaan
Maghada. Di sana, ia berguru kepada dua orang brahmana yang masyhur, yaitu
Alarakalama dan Udnaka Ramaputra. Dari dua orang ini Shidarta mendapatkan pelajaran
bahwa untuk mencapai suatu derajat tertentu, seseorang harus melakukan ritual-ritual
peribadatan terlebih dahulu. Namun dari dua brahmana tersebut Shidarta tak kunjung
puas. Ia kemudian melanjutkan pengembaraannya ke hutan Uruwela. Di hutan Uruwela
tersebut, Shidarta kembali menempuh metode kehidupan yang jauh lebih sengsara dan
memprihatinkan dibanding sebelum-sebelumnya. Sampai pada suatu saat ia dikisahkan
pingsan dan disangka telah meninggal. Sampai kemudian ia tersadar dan sadar, bahwa
selama ini ternyata ia salah, ia salah memilih jalan hidup sepertin itu. Jalan dan metode
pencarian makna serta hakikat hidup yang seperti itu hanya akan berakhir dengan
kesusahan dan kerusakan. Akhirnya ia memilih untuk sembari hidup dengan normal,
sembari tetap dalam misi utamanya yakni mendapatkan kebahagiaan yang sejati lagi
abadi.
Setelah mendapatkan penerangan sejati, budha terus dusuk dibawab pohon bodhi.
Pada minggu terakhir ia berhasil merenungkan rangkaian sabab musabab dari penderitaan
dalam urutan dari penderitaan dalam urutan yang langsung yaitu " karena adanya ini,
maka terjadilah itu, dan semua sebab musabab lainnya demikiannlah timbulnya seluruh
rangkaian penderitaan itu.
Pada malam kedua Budha merenungkan rangkaian sabab musabab yang saling
bergantungan itu secara terbalik, yaitu bila tidak ada ini, tidak terjadi itu, begitu
seterusnya sampai lenyaplah seluruh rangkaian penderitaan itu.
Pada saat ketiga malam itu Budha merenungkan sebab musabab yang saling
bergantungan itu dengan kedua cara tersebut , yaitu dengan cara langsung dan dengan
cara terbalik sekaligus.
Selanjutnya budha menetap selama 7 minggu ditempat itu denfa tujuh kali
berpindah tempat disekeliling pohon bodhi. Pada hari terakhir datanglah dua saudara
Tapussa dan Bhalluka yang terpesona melihat wajah sang Budha. Keduanya
mempersembahkan nasi, jajan , san madh seraya memohon untuk jadi pengikutnya. Dan
merekapun menjadi pengikut Budha yang pertama.
3. Mengajarkan Dharma
Setelah itu Budha berdiam diri dan timbullah pikiran untuk mengajarkan dharma
yang didapatnya kepada orang lain. Walaupun awalnya dia bimbang karena Dharma yang
ia terima sangat dalam, pada akhirnya ia memutuskan untuk mengajarkan dharma tersebut
denga peryataan " terbukalah pintu kesucian bagi mereka yang bertelinga dan yakin.
Ketika Sang Budha merenungkan kepada siapa dharma itu harus diajarka pertama
kali, ia teringat kedua gurunya yang mula-mula yaitu Arada kalama dan Rudraka
Ramaputra. Terapu keduanya telah meninggal dunia. Ia berniat mengajarkan kepada 5
muridnya dan untuk itu ia pwrgi ke pergi ke Benares. Kemudian Budha mengajarkan
Emoat kesunyatan mulia kepada mereka.
Peristiwa tersebut diatas mempunyai arti yang sangat penting calam agama budha,
dan disebut dengan dharma cakrapravartana sutra, atau pemutaran roda dharma .Taman
isipatana banares tersebut dijadikan tempat kelahiran ajaran sang Budha dan tempat
lahirnya Sangha serta dijadikan tempat suci oleh umat Budha.
Setelah peristiwa pemutaran roda dharma tetsebut Budha memulia misinya
mengajarkan dharma ke seluruh India, yang dimulai di rajagraha ibukota kerajaan
magadha. Selama 45 tahun ia mengajarkan dharma . Anggota sangha, yang semula hanya
60 orang, dalam waktu singkat meningkat hingga ribuan. Sehingga memerlukan wihara
yang banyak. Budha meninggal dunia dalam usia 80 tahun di Kusiwara, sekitar 120 mil
disebelah timur Banares.Mendapat penerangan tertinggi
Setelah berhari-hari Budha menempuh cara yang dirasanya dapat membawanya
kepada yang dicarinya selama ini pada suatu malam gautama mengheningkan cipta dan
melakukan meditasi di bawah pohon assattha atau bodhi.
Setelah melakukan meditasi semacam itu, gautama mendapat pengetahuan tertinggi
yaitu :
a. Pengetahuan tentang kehidupan dan proses kelahiran yang terdahulu, atau
pengetahuan tentang kelahiran kembali (pubbenivasanussasti).
b. Pengetahuan dari mata dewa atau mata batin (dibacakkhu).
c. Pengetahuan bahwa timbul dan lenyapnya bentuk-bentuk dari berbagai macam
kehidupan, yang baik maupun yang buruk tergantung pada perbuatan masing-masing
d. Pengetahuan tentang padamnya semua kecendrungan (asvakkha-yanana) dan
menghilangkan ketidaktahuan (avidya).
Dengan itu Gautama telah menapai pengetahuan yang sempurna yang tercantum ahalam
sdralam empat "kesunyatan mulia"
1. Penderitaan
2. Sumber penderitaan
3. Lenyapnya penderitaan
4. Delapan jalan utama menuju lenyapnya penderitaan
Dengan telah tercapainya peneranga tersebut, ia telah menjadi budha pada usia 35 tahun,
dan menjadi Accharya manussa, guru dari manusia.

B. AJARAN AGAMA BUDHA


1. Sumber Ajaran Agama Budha
Ajaran agama Budha bersumber pada kitab Tripitaka yang merupakan kumpulan
khotbah, keterangan, perumpamaan dan percakapan yang pernah dilakukan Sang
Budha dengan para siswa dan pengikutnya. Sehingga isi kitab tersebut tidak semuanya
perkataan Sang Budha melainkan juga kata-kata dan komentar para siswanya.
Sumber akaran tersebut dipilah oleh siswanya menjadi tiga kelompok besar yang
dikenal dengan pitaka atau keranjang yaitu: Vinaya pitaka, Suttra pitaka dan
Abidharma pitaka.
1) Vinaya pitaka memuat hal-hal yang berkenaan dengan peraturan bagi para bhikkhu
dan bhikkhuni, yang terdiri atas sutra vibanga, khandaka dan parivara.

Kitab sutra vibanga berisi peeaturan yang memuat delapan jenis pelanggaran.
Khandaka memuat peratiran dan uraian tentang upacara penahbisan bhikkhu .
Kitab parivara memuat ringkasan dan pengelompokan peraturan vinaya dalam
pengajaran dan ujian.
2) Suttra Pitaka

Kitab ini memeuat keterangan tentang cara hidup yang berguna bagi para bhikkhu
dan pengikut lain. Kitab ini terdiri dari lima buku yaitu dighanikaya,
majjhimanikaya, angutaranikaya, syamsyulanikaya dan khuddaniaya.
Dighanikaya terdiri dari 34 sutra yang berisi 62 pandangan salah yang harus
dihindari dari kehidupan petapa dan menjadi patokan. Majjhimanikaya berisi
khotbah-khotbah Budha yang terdiri dari 152 sutra. Angutaranikaya terdiri dari
9.557 sutra. Syamsyulanikaya terdiri dari 7.762 sutra. Khuddanikaya terdiri dari 15
kitab. Khuddhanikaya juga memuat ucapan thera dan riwayat hidup para bhikkhu
dan bhikkhuni.
3) Abhidharma pitaka

Kitab ini berisi uraian fisafat Budha yang disusun secara analisis dan mencakup
berbagai bidang seperti ilmu jiwa, logika, etika dan metafsika. Selain kitab
tersebut kitab agama budha juga dapat dielompokkan menjadi kitab sutra dan
kitab sastra. Kitab sutra adalah kitab yang dipandang sebagai ucapan budha sendiri
meskipun ditulis jauh setelah ia meninggal dunia. Kitab sastra adalah kitab yang
berisi uraian yang ditulis oleh tokoh ternama yang disusun secara sisitematis.

Ada dua golongan yang berbeda pandangan masalah ini. Yaitu golongan
theravada dan mahayana. Golonan theravada hanga mengakui kitab tripitaka
sebagai sumber ajarannya, sedangkan golongan mahayana mengakui kitab tripitaka
dan juga kitab sastra dan sutra. Contoh kitabnya antara lain karandavyriha,
sukvatiyuha, lalaivavistara, mahayananacradhourpada, sudharma pundarika,
madyamika sutra, yogacara bhumi sastra, an di Indonesia kitab sang hyang
kamahayanikan juga dianggab sebagai kitab suci.
2. Beberapa Pokok Ajaran Budha
Agama budha memiliki tiga kerangka dasar yaitu filsafat, moral dan upacara
keagamaan. Ketiga landasan tersebut berlandaskan paa lima ajaran pokok yaitu
triratna yang terdiri ari Budha, dharma dan sangha; catur arya tatyani dan hasta
arya marga ; hukum karma dan tumhihal lahir ; tilakhana atau tida cabang umum
yang terdiri ati anitya anatman dan dukha ; dan hikum pratityasamppada atau huku
sebab akibat yang saling bergantungan.
a. Ajaran Tentang Tuhan
Ajaran budha tidak bertitik pada kenyataan yang dialami manusia dalam
hidupnya. Ajrannya tidak mempersoalkan tentang tuhan dan hubungan dengan
alam semesta dan isinya. Dalam naskah pali maupun sansekerta dijelaskan
bahwa Sang Budha selalu diam jika ditanya pegikutnya tentang tuhan. Ia
menolak dan tidak mempersoalkan tuhan, melainkan menekankan kepada
pengikutnya agar mempraktekan sila ketuhanan. Ajaran Budha dimuai dengan
menjelaskan tentang dukha yang selalu menyertai kehidupan manusia dan cara
membebaskan diri dari dukha tersebut.
Sepeninggal Budha, persoalan mengenai tuhan juga tidak dianggap sebagai
suatu persoalan yang penting. Masalah yang dianggap penting adalah mengenai
dharma dan vinaya. Kedua masalah inilah yang menimbulkan munculnya
beberapa mazhab besar dikalangan umat Budha. Sekalipun demikian, benih-
benih ajaran tentang tuhan dalam agama budha dapat ditelusuri dari adanya
perbedaan pemahaman tentang tingkat kebudhaan yang mulai muncul pada
pasamuan agung kedua di Vesali.
Aliran staviravada yang ortodoks menekankan bahwa tingkat kebudhaan
adalah bukti dari usaha yang tekun dalam mejalankan ajaran sang budha.
Sedangkan ajaran mahasanghika menekankan bahwa benih-benih kebudhaan
telah ada pada setiap makhluk dan hanya menunggu mewujudkan dan
dikembangkan. Masalah terbebut berkembang menjadi persoalan bagaimana
umat budha memandang Sang Buddha Gautama. Semula ia hanya dipandang
sebagai manhsia yang telah mencapai kebudhaan, kemudian berkembang
menjadi prinsip universal yang mewujudkan diri berupa makhuk-makhluk
luhur yang menempati alam surga. Makhluk luhur yang disebut Dhyani
Budha ini dikeilingi oleh budhisatva yang tidak tethitung jumlahnya dan mirip
dengan alam dewa daam ajaran hindu. Ada dua pemahaman tentang apa yang
disebut tuhan dalam agama Budha yaitu Theravada dan Mahayana. Theravada
bermuara pada pemikiran staviravada dan mahayana bermuara pada
mahasanghika.
Theravada dijalankan di Srilangka / Burma , Thailand dan ditempat lain
diasia tenggara. Theravada berarti jalan bagi kaum tua-tua. Ajaranya
didasarkan pada kitab suci yang disebub Pali Cannon yang dipercaya oleh
umat Budha Theravada sebagai catatan yang paling akurat tentang apa yang
dilakukan dan dikatakan Budha. Yang utama adalah Pali Cannon menekankan
bahwa Budha hanyalah seorang manusia, seorang yang telah mencapai
pencerahan, dan pencerahan didapat dengan mengikuti teladan dan pengajaran
Budha.
Selain Theravada, ada pemahaman Mahayana yang berarti "kendaran orang
besar". Orang-orang Budha Mahayana memandang Sidharta Gautama sebagai
manusia yang memiliki kelebihan. Mereka percaya bahwa pernah ada Budha,
ada Budha dan ada Budha lainnya. Orang-orang Budha Mahayana menyatakan
bahwa Budhiesme Mahayana memberikan lebih banyak kesempatan untuk
mendapatkan pencerahan dibanding ajaran Trevada. Kebanyakan Budha
Mahayana dijumpai Cina, Jepang, Tibet, Mongolia dan , Nepal.
Menurut mazhab theravada, apa yang disebut tuhan tidak harus dipandang
sebagai suatu pribadi yang kepadanya umat Budha memanjatkan puja dan
menggatungkan hidup mereka. Menurut theravada suatu pribadi adalah
terbatas dan akan selalu menjadi karena itu tidak mungkin ada wujud yang
berpribadi yang kekal. Namun tuhan yang tidak dipandang sebagai "bukan
pribadi" karena tuhan mengatasi hubungan relatif antara ada dan tiada, antara
being dan non being, antara pribadi dan bukan pribadi. Penggambaran tuhan
menurut ukuran dan perasaan manusia selalu dihindari karena dianggap sangat
menurunkan dan membatasi kedudukan tuhan. Oleh karena itu tuhan selalu
diungkapkan dalam aspek aspek nafu seperti tidak dilahirkan, tidak menderita,
tidak menjelma, tidak tercipta dan lainnya.
Aliran theravada juga berpendapat bahwa tuhan tidak mempunyai hubungan
sebab akibat dengan ala semesta ini. Karena hubungan yang demikian itu akan
membuatnya bersikap relatif. Dalam hal ini tidak ada hubungan dalam bentuk
apapun yang dapat difikirkan, baik dengan kehidupan sekarang ini, kehidupan
yang akan datang, kebaikan dan keburukan maupun dengan materi atau bukan
materi. Namun dalam kehidupan keagamaan tuhan yang diungkapkan dalam
aspek nafi' dinamakan Nibbana, karena tujuan itu tercapai dengan lenyapnya
hawanafsu , kebencian dan kegelapan bathin (lobdha, dosa dan moha ).
Rodhakrishnan memberikan pengertian Nibbana sebagai bebas dari kelahiran
kembali, berakhirnya rantai kehidupan, peniadaaan keinginan, dendam dan
kebodohan atau suatu keadaan yang tidak bersyarat. Ketika kebodohan teratasi,
maka tercapailah nirbana yang mutlak. Nibbana mengatasi hubungan yang
relatif antara ada dan tiada, antara being dan non being. Di dalam sutra-sutra,
nibbana dipahami sebagai yang mutlak. Didalam agama Budha mahayana,
yang mutlak adalah sunyatta. Namun semua aliran agama budha memandang
yang mutlak adalah tujuan terakhir yaitu nibbana.
Dari paparan diatas tampak konsepsi ketuhanan dalam alairan theravada
termasuk konsep yang non-teis dan mengakui adanya tuhan, namun tuhan tidak
harus dipandang sebagai suatu pribadi yabg selalu berhubungan dengan alam
semesta dan alam lainnya beserta isinya.
Ajaran trikaya pertama kali dikemukakan oleh Asvagosha pada awal abad
pertama masehi untuk menerangkan hirerarki para Budha dan Bhoddisatva.
 Aliran staviravada mengganggap Budha adalah manusia yang telah mencapai
pencerahan.

 Aliran mahasanghika menganggapnya sebagai nmakhluk yang luar biasa .

 Aliran sarvastivada memandangnya sebagai makhluk yang suci. Untuk


menyelaraskan perbedaan- perbedaan ini sarvastivada memperkenalkan
konsepsi trikaya yang dikembangkan oleh mahayana dan staviravaa dilanjutkan
oleh theravada.

 Aliran theravada menganngap kebudhaan suatu pencapaian oleh makhluk yang


berakal dengan usahanya sendiri tanpa bantuan orang lain. Sehingga tidak ada
perbedaan antara budha tmyang pertama, tengah tengah maupun akhir.
 Aliran mahayana mengakui bahwa ada perbedaan diantara budha yang datang
pertama dan seterusnya.

Menurut mazhab ini budha dipandang memiliki tiga aspek yaitu :


1. Aspek inti
Aspek yang mencakup semuanya bersifat buani dan dan tidak dapat
terbayangkan , sebagai inti ia adalah inti dari dharma yaituinti dari kebenaran
iti sendiri.
2. Aspek kemampuan
Aspek kemampuan yang tidak terbatas namaun tudak bermanifestasi. Sebagai
aspek kemampuan ia adalah dharma yang dianggap sebagai prinsip - prinsip
kebenaran menfandung potensu namun tidak bermanifestasi. Ia adalah tubuh
pengganti kebudhaan yang diagunggkan.
3. Aspek manifestasi
Yaitu kebudhaan yang memanifestasikan diri oaa tubuh duniawi sakyumunj
budha dan budha duniawi lainnya.
Dari aspek Budha diatas akhirnya tersususn doktrin trikaya atas 3 badan budha
yaitu, dhatmakaya, sambogakaya dan nirmanakaya yang menempati kedudukan
penting dalam aliran mahayana.
1. Dharmakaya atau badan hukum adalah budha dengan pengetahuan yang
sempurna, permulaan dan tidak bebentuk. Dalam dharmakaya inilah terdapat
intisari alam semesta yang mencakup samsara maupun nirwana yang selalu
dalam dua kutub kesadaran yaitu analisi terakhir berada dalam pengetahuan
yang murni. Dharmakaya adalah intisari, hakikat wujud-wujud duniawi,
hakikat dari budha, yang juga disebut onti kenyataan, tubuh hakiki dan
kesadaran dasar khusus dalam aliran tanrayana, dharmakaya disembah sebagai
budha primodial atau adibudha.

2. Sambhogakaya adalah tubuh rahmat, tubuh kebahagian atau tubuh cahaya. Ia


juga sering transdent budhy yang tidak dapat diamati dengan perasaan atau
akal, tetapi hanya dapat dialami secara spritual .

Sambhogakaya yang dikenal dalam aliran mahayana adalah Budha Amitaha ,


Vairacana, akshohaya, ratnasumhama dan amogha siddho yang berdiam di
sorga sukkhawati. Mereka membantu kelepasan manusia dengan tiga cara,
yaitu :
a. Sebagai guru-guru para Bodhisatva yang dari waktu kewaktu
mengumpulkan mereka untuk diberi ajaran tentang identitas dasar sansara
dan nirwana.
b. Sebagai penguasa-penguasa surga yang menjadi idaman bagi para
penganutnya sevagai tempat dilahirkan kembali.
c. Sebagai bapa rohani para nirmahakaya atau budha dunia yang karena kasih
sayangnya paa segala yang ada mereka proyeksikan ke dunia melalui
meditasi.
3. Nirmanakaya

Nirmanakaya adalah badan yang dipakai budha untuk menyatakan diri di dunia
ini atau tubuh jasmani manusia yang dipakai seorang budha untuk mengajarkan
dharma kebenaran yang telah diformulasikan di dunia kepada manusia.
Nirmanakaya/budha zaman sekarang adalah shiddarta gautama sementara
untuk zaman yang akan datang adalah maitreya.
Adibudha atau parama adi budha adalah budha pertamakali yang ada tanpa
sebab dan merupakan pengejawantahan (perwujudan) dari dirinya sendiri,
disebut juga swayanbu lokananta pelindung dunia. Ia tinggal di nirwana dan
anistha buwana yaitu alam diatas segala alam. Melalui daya cipta dan
tafakkurnya adibudha melahirkan 5 dhani budha yaitu vairocana, akshobaya,
ratna sambhara, amitaba dan amagasidha. Mereka ada disurga dan berfungsi
mengatur dan membimbing dunia devaca. Dari kelima phyanibudha lahir pula
bodhisatva yang dikatakan sebagai pencipta yang sebenarnya dari alam fisik.
Kelima bodhisatva tersebut adalah samantabadra, vajrapani, ratnapani,
avolokatisvara dan vispavani.
Bodhisatva berarti orang yang akan menjadi budha. Kelima bodhisatva
tersebut berada dalam surga dan menciptakan anak rohani yang memancarkan
sinarnya ke bumi berupa lima orang budha dunia yaitu konagamana,
kakusandha, kassapa, gautama dan maitreya. Empat dari mereka sudah hidup
dalam sejarah dunia, sedangkan maitreya akan datang sesudah gautama.
Dalam kepercayaan mahayana , jumlah dhyanibidha bodhisatva dan manusia
budha ada lima, masing-masing kelompok bertempat tinggal di salah satu
penjuru dunia dengan arah mata angin dalah satu budha berada ditengah
sebagai titik pusatnya.
Dari pengertian diatas bahwa doktrin adibudha dalam aliran mahayana
merupakan doktrin yang berusaha mempersonifikasikan konsep kebudhaan
sebagai tuhan atau persembahan tertinggi. Diktrin ini sangat berbeda dengan
ko sep ketuhanan dalam agama budha yang mula-mula seperti yang
dipertuhankan oleh aliran trevada.

b. Kosmologi Buddha
Dalam bahasa pali alam semesta disebut loka. Loka berasal dari kata " lok
"yang berarti melihat. Secara umum menunjuk pada sesuatu yang dapat
ditanggapi panca indra atau oleh perasaab dan pikiran manusia. Sekalipun
masih dalam keadaan samar. Mukai dari atom yang kecil sampai besar, organik
dan anorganik, dan dari sederhana susunannya seperti tumbuhan,
hewan ,manusia , dan brahmana oleh segala kecendrungan perbuatan dan
kehendak mereka.
Menurut ajaran budha, seluruh alam ini adalah ciptaan yang timbul dari
sebab-sebab yang mendahuluinya serta tidak kekal. Oleh karena itu ia disebut
sankhata dharma yang berarti ada yang tidak mutlak san mempunyai corak
timbul, lenyap dan berubah. Dalam visudha maga 2204, Loka digolongkan
menjadi shankharaloka, sattaloka, dan okasaloka:
1) Shankharaloka adalah alam makhluk yang tidak memiliki kehendak
hseperto benda mati, batu, logam, emas dan lain lain termasuk dalam hal ini
adalah alam hayat yang tidak memiliki kehendak dan ciptaan pikiran seperti
ide, opini, peradaban, kebudayaan dst.
2) Sattaloka adalah alam makhluk yang mempunyai kehendak. Dalam
sattaloka aa 31 alam kehidupan uang dikelompokkan menjadi kamaloka,
rupaloka, dan arupaloka
a. Kamaloka 11 alam
(1). Alam para dewata yang menikmati ciptaan-ciptaan lain (2). Alam para
dewata yang menikmati ciptaannya sendiri. (3). Alam dewata yang menikmati
kesenangan (4). Alam dewata Yama (5). Alam 33 dewata (6). Alam tempat
maharaja (7). Jagat manusia (8). Dunia hewan (9). Dunia makhuk yang tidak
bahagia (10). Dunia syetan (11). Alam neraka.
alam ini terdiri dari bahan-bahan kasar dan unsur tanah, air, udara, api dan
dialami oleh makhluk - makhluk yang berbadan kasar atau jasmani. Dibawah
sekali dati alam ini terletak neraka yang dingin dan panas. Diatasnya terletak
bidang keping bumi dengan daratan fanautan yang terkumpul disekeliling
gunung maru. Disini hidup manusia, binatang, hantu dan badan-badan halus
yang jahat. Disekitar maru beredarlah matahari, bulan dan bintang-bintang .
Diatas meru tinggal golongan dewa. Dewa lainnya berada fialam yang tinggi
didalam istana-istana yang melayang-layang. Namun makhluk ini tetap berada
di lingkjngan kamma.
b. Rupaloka
Rupaloka adalah alam bentuk. Terdiri dari 16 alam brahma yang bisa ditapaki
dengan mengheningkan cipta alam semedi. Para bhikku yang sedang
bersemedi dapat berhubungan dengan makhluk yang berada di alam ini sebab
para dewa yang tinggal didalamnya masih mempunyai badan yang lebih halus
tetapi berada dialam nafsu.
c. Arupaloka
Arupaloka adalah alam tanpa bentuk yaitu alam dewa yang tidak berbaan,
yang hidup setelah mencapai tingkatan keempat dalam semedi. Alam ini
terdiri dari :
1. Alam bukan persepsi dan alam bukan non persepsi
2. Alam pengetahuan kekosongan
3. Alam kesadaran yang tidak terhingga
4. Alam ketidak terhinggaan ruang

3) Osakaloka
Osakaloka adalah alam tempat, disini terdapat dan hidup makhluk-makhluk
diatas. Seperti bumi adalah okasaloka tempat manusia hidup dan tempat benda
mati seperti besi, emas ,batu dan sebagainya. Alam dewa adalah osakaloka
tempat para dewa hidup. Alam neraka adalah osakaloka tempat makhluk-
makhluk rendah hidup.
Menurut kepercayaan agama budha alam tersebut diatas bukan diciptakan
tuhan dan tuhan tidak mengaturnya. Agama budha selalu menghindari
membicarakan persoalan hubungan tuhan atau hang mutlak dengan alam yang
tidak mutlak. Karena dapat menimbulkan problem metafisika yamg tiada habis-
habisnya.
Dharma adalah hukum atau aturan yang berlaku yang mengatur tata tertib alam
semesta , tidak tercipta, kekal dan immament. Dharma yang mengatur alam
semesta disebut dharmaniyama, dapat digolongkan menjadi lima, yaitu :
1.Utuniyama yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa energi sepwryi
timbunya angin, hujan dan lain-lain.
2. Bijuniyama yaitu hukum yang menguasai peristiwa-peristiwa biologis
kelahiran bayi dan sebagainya.
3. Kaimaniyama yaitu hukum yang mengatur bidang moral yang bertumpu
pada hukum sebab akibat.
4. Cittaniyama yaitu hukum yang menguasai peristiwa batiniah seperti
kesadaran, kemampuan mengingat, membaca pikiran dll.
5. Dharmaniyama yaitu hukum yang mengatur hal-hal yang tidak mencakup
kedalam empat hal diatas. Seperti keajaiban alam, kelahiran budha dll.
Dharma tersebut menimbulkan harmoni antara peristiwa-peristiwa alamiyah
dan tuntutan moral.
c. Ajaran tentang Manusia
Dalam ajaran agama Budha, masalah manusia dibicarakan (terutama) dalam
Trilakhana ( tiga corak umum agama budha), Catur Arya Satyani (empat
kasunyataan mulia), hokum karma atau hokum perbuatan, dan Tumimbal lahir
(kelahiran kembali).
Manusia menurut ajaran Budha adalah kumpulan dari kelompok energi fisik
dan mental yang selalu dalam keadaan bergerak, yang disebut Pancakhandha
atau lima kelompok kegemaran, yaitu:
1. Rupakhandha : kegemaran akan wujud atau bentuk
2. Vedhanakhandha: kegemaran akan perasaan
3. Sannakhandha: kegemaran akan perasaan yang meliputi
4. Shankharakhandha: kegemaran akan bentuk-bentuk pikian
5. Vinnanakhandha: kegemaran akan kesadaran
Kelima kelompok kegemaran tersebut saling berkaitan dan bergantung
satu sama lain dalam proses berangkai : kesadaran ada karena adanya pikiran,
pikiran timbul sebab adanya penyerapan, penyerapan tercipta karena adanya
perasaan, dan perasaan timbul karena adanya rupa.
Pemikiran tentang manusia dalam ajaran Budha itu unik, yaitu
mereka menyangkal aka adanya roh atau atma yang kekal abadi dalam diri
manusia,melainkan menganggap manusia sebagai kumpulan dari lima khandha
tanpa adanya roh ataupun atma didalamya.
Menurut ajaran Budha manusia selalu berada dalam keadaan dukkha
karena menurut ajaran Budha hidup selalu dalam keadaan dukkha , sebagaimana
diajarkan oleh Catur Arya Satyani tentang hakikat dari dukkha. Menurut ajaran
ini dukkha dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1.Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha) yaitu segala macam
derita yang dialami dalam hidup, seperti dilahirkan, usia tua, dan berpisah dari
orang-oran yang dikasihi dan sebagainya.
2.Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan
(viparinamadukkha), yaitu dukkha yang terjadi akibat adanya perubahan, baik
yang berupa fisik atau mental.
3.Dukkha sebagai keadaan saling bergantung (shankaradukkha),
yaitu dukkha yang terjadi karena hal-hal yang saling bergantungan.
Untuk menghilangkan dukkha manusia harus mengetahui dan
memahami sumber dukkha yang disebut dukkhasamudaya, yang ada dalam diri
manusia itu sendiri, yaitu berupa tanha (kehausan) yang mengakibatkan
kelangsungan dan kelahiran kembali serta ketertarikan pada hawa nafsu. Tetapi
tanha bukan merupakan satu-satunya sumber dari dukkha, melainkan tanha
merupakan sumber terdekat atau terpenting dari dukkha, yang berakar pada
lobha (ketamakan), moha (kegelapan), dan dosa (kebencian). Tiga yang tersebut
terakhir dikenal dengan akusala, tiga akar kejahatan.
d. Ajaran tentang Etika
Dalam sistem agama Buddha, Hasta Arya Marga, yang membicarakan
masalah perbuatan baik dan buruk, benar dan salah,menempati kedudukan yang
sangat penting karena merupakan inti dari seluruh ajaran agama Buddha untuk
membebaskan manusia dari dukkha dan mencapai nirwana. Ajaran agama
Buddha mengenal istilah Delapan Jalan Mulia. Kedelapan jalan tersebut secara
garis besar dibagi menjadi sila, samadhi, dan panna.
Sila adalah ajaran kesusilaan yang didasarkan atas konsepsi cinta kasih dan
belas kasih kepada semua makhluk. Termasuk dalam kelompok ini adalah
pembicaraan yang benar (sammavaca), perbuatan yang benar (sammakamanta),
dan pencaharian yang benar (sammajiva). Samadi adalah ajaran disiplin mental
yang terdiri dari daya upaya yang benar (sammavayama), perhatian yang benar
(sammasati) dan konsentrasi yamg benar (sammasamadhi). Panna atau
kebijaksanaa luhur dalam Hasta Arya Marga, terdiri dari pengertian yang benar
(sammadithi) dan pikiran yang benar (sammasankappa).
Kedelapan jalan utama di atas meskipun terdiri dari delapan unsur, namun
keseluruhan merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan dan harus
dikembangkan bersama-sama secara harmonis. Sila adalah landasan bagi
semadhi; semadhi adalah landasan bagi panna. Dalam kehidupan sehari-hari
umat Buddha, kedelapan jalan tersebut menjadi dasar dan pedoman hidup umat
Buddha yang dijabarkan dalam konsep Panca Sila, Hasta Sila, Majjhima Sila
dan Patimokha Sila.

e. Ajaran tentang Sangha


Secara kelembagaan, umat Buddha dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok masyarakat kewiharaan atau sangha dan kelompok masyarakat
awam. Kelompok pertama terdiri dari bhikku, bhikkuni, samanera, dan samaneri.
Mereka hidup untuk meningkatkan nilai-nilai kerohanian dan kesusilaan
sertatidak menjalani kehidupan berkeluarga. Kelompok masyarakat awam terdiri
dari upaska dan upaski yang telah menyatakan diri berlindung kepada Buddha,
dharma dan sangha serta melaksanakan prinsip-prinsip moral bagi umat awam
dalam hidup berumah tangga.
Dalam naskah Buddhis dijelaskan bahwa sangha adalah pasamuan dari
makhluk-makhluk suci yang telah mencapai tingkat yang ditandai oleh kesatuan
dari pandangan yang bersih dan sila yang sempurna. Tingkat kesucian yang telah
mereka capai terdiri dari sotapatti, sakadagami, anagami, dan arahat. Selain
empat kesucian tersebut, dalam kepercayaan agama Buddha juga dikenal adanya
asheka, yaitu orang yang sempurna (sabbanu) yang tidak perlu belajar lagi di
bumi. Di antara para asheka tersebut adalah Sidharta Gautama yang telah
mencapai tingkat kebudhaan tanpa harus belajar dan berguru pada orang lain.
Sejarah agama Buddha menyatakan bahwa sangha dibentuk sendiri oleh
Sang Buddha beberapa minggu setelah ia mencapai pencerahan. Sangha adalah
inti masyarakat Buddha yang dapat menciptakan suasana yang diperlukan untuk
mencapai tujuan hidup tertinggi, yaitu nirwana. Namun demikian sangha tidak
mempunyai kewajiban apapun terhadap umat Buddha yang bersifat lahiriah.
Hubungan yang terjalin adalah hubungan yang bersifat rohaniah. Menurut
kepercayaan umat Buddha, sangha tidak dapat dipisahkan dari dharma dan
Buddha, karena ketiganya adalah Triatna yang membentuk kesatuan tunggal dan
merupakan manifestasi berasas tiga dari Yang Mutlak di dunia. Hubungan antara
ketiganya dapat digambarkan seperti berikut: Buddha sebagai bulan purnama,
dharma sebagai sinarnya, dan sangha sebagai dunia yang berbahagia menerima
sinar tersebut.

f. Upacara agama Buddha


Dalam bermacam-macam upcara yang dilakukan umat Buddha
terkandung beberapa prinsip penting, yaitu: (1) menghormati dan merenungkan
sift-sifat luhur sang Triatna; (2) memperkuat keyakinan; (3) membina keadaan
batin yang luhur; (4) mengulang dan merenungkan kembali khutbah-khotbah
Sang Buddha; dan (5) anumodhana, yaitu membagi perbuatan baik kepada orang
lain. Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka upacara yang dilakukan oleh
umat Buddha pada umumnya berisi pembacaan paritta, melaksanakan samadi
mettabavana, membahas isi kitab suci da khotbah agama Buddha yang diselingi
lagu-lagu rohani. Upacara tersebut dilakukan secara harian, mingguan, setiap hari
upashota, yaitu setiap tanggal 1 dan 15 berdasarkan penanggalan bulan, dan pada
hari-hari raya agama Buddha.
Hari-hari raya Buddha tersebut adalah hari Waisak, Asadha, Kathina dan
Magha Puja. Hari raya Waisak biasanya jatuh pada pada bulan purnama sidhi,
mei-juni, untuk memperingati tiga kejadian penting agama Buddha, yaitu saat
kelahiran Sidharta Gautama, saat Sang Pertapa Gautama mencapai pencerahan,
dan saat Sang Buddha Gautama meninggal dunia dan mencapai nirwana.
Hari raya Asadha biasanya jatuh pada purnama sidhi , dua bulan setelah
hari raya Waisak. Hari Asadha diperingati karena hari itu adalah hari ketika
petama kali Sang Buddha mengajarkan dharma kepada kelima pertapanya yang
dikenal dengan istilah “pemutaran roda dharma” dan hari terbentuknya sangha.
Hari raya Kathina dirayakan tiga bulan setelah Asadha, sebagai ungkapan
terimakasih kepada para bikkhu yang telah menjalankan vassa, berdiam di suatu
tempat tertentu, di daerah mereka. Hari raya Magha Puja biasanya jatuh pada
purnama bulan Pebruari-Maret untuk memperingati dua kejadian penting, yaitu
kumpulnya 1250 orang arahat di wihara Veluvana di kota Rajagraha untuk
memberi hormat pada Sang Buddha, setelah kembali dari menyebarkan agama.
Peristiwa penting yang kedua yaitu ketika tahun terakhir kehidupan Sang Buddha
ketika ia berdiam di Cetiya Pavala di kota Vesali. Setelah memberikan kutbah
terakhirnya yang disebut dengan Iddipadha-dharma kepada siswanya lalu
memutuskan untuk meninggal tiga bulan kemudian.
Selain keempat hari raya tersebut, upacara juga dilakukan yang isinya
hamper sama pada acara pernikahan, kelahiran dan kematian pada umat penganut
agama Buddha.

C. SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA BUDDHA


1. Agama Buddha di India
Sejarah perkembangan agama Buddha di India setelah Buddha Gautama wafat
dibagi menjadi tiga periode, yaitu : (a) masa perkembangan awal hingga Pasamuan
Agung Kedua, (b) masa kekuasaan Raja Ashoka dan (c) masa kemunduran agama
Buddha di India.
a. Masa Perkembangan Awal
Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat, banyak perbedaan-perbedaan
pendapat di kalangan para pengikutnya, disebabkan ajaran agama yang tidak tertulis
dan Sang Buddha tidak menunjuk seseorang untuk menggantikannya. Pada akhirnya
diadakanlah pasamuan yang bertempat di kota Rajagraha yang membahas tentang
aturan-aturan yang telah diwedarkan oleh Buddha dan menyusunnya secara
sistematis. Pasamuan ini menghasilkan keputusan bahwa ajaran-ajaran agama
Buddha dikumpulkan menjadi tiga golongan atau pitaka meskipun belum ditulis
dalam kitab-kitab. Dari pasamuan tersebut merupakan cikal bakal terbentuknya
kitab Tripitaka seperti yang dikenal saat ini.
Seratus tahun kemudian mucul sekelompok bikkhu yang menghendaki
perubahan terhadap keputusan yang telah terbentuk di Vinaya, karena dianggap
terlalu berat dan mereka ingin diperlunak. Untuk mengatasi hal ini maka
diadakanlah pasamuan agung kedua yang bertempat di kota Vesali. Pada akhirnya
kelompok yang menginginkan kemurnian agama ( Stravirada yang kelak disebut
sebagai Theravada) lebih sedikit dari pada yang menginginkan perubahan
(Mahasanghika). Setelah pasamuan kedua tersebut, tidak banyak diketahui
perkembangan agama Buddha di India hingga masa kekuasaan Raja Ashoka barulah
Buddha memperlihatkan perkembangan yang sangat pesat di India.
b. Masa Kekuasaan Raja Ashoka
Ashoka adalah seorang raja dan panglima perang yang berhasil
memperluas kekuasaan hamper seluruh India. Namun setelah memeluk agama
Buddha dia menyesali perbuatan-perbuatannya. Setelah menjadi penganut agama
Buddha lalu ia lebih mengarahkan kegiatannya untuk mensejahterakan rakyat.
Dalam masa ini agama Buddha mempunyai pengaruh yang besar meliputi berbagai
macam aspek kehidupan, seperti sosial-budaya, ekonomi, juga politik.
Salah satu usahnya yang bersejarah bagi agama Buddha yaitu ia
membuat pahatan-pahatan piagam pada tugu-tugu batu ataulereng-lereng gunung
dan ditandatangani dengan nama “piyadassi” atau perikemanusiaan. Di bawah
kekuasaan raja Ashoka ini pula diadakan pasamuan agung ketiga pada taun 249
SM di Pataliputra, yang dimaksudkan untuk meneliti kembali ajaran-ajaran Buddha
guna mencegah adanya penyelewengan-penyelewengan yang menyebabkan
perpecahan sangha.
Dalam pasamuan agung ketiga ini disusun kitab Abidharma pitaka yang
merupakan bagian dari kitab Tripitaka, serta tersusunnya kitab Tripitaka
sebagaimana yang dapat dilihat sekarang ini. Setelah Ashoka meninggal dunia
pada tahun233 SM. Pada tahun 158 SM dinasti Maurya digantikan oleh dinasti
Songha. Perbedaan golonga Stravirada dan Mahasanghika juga semakin meluas.
Golongan Stravirada menghendaki pasamuan agung keempat diadakan di
Aluvihara Srilangka pada tahun 83 SM dan memutuskan penulisan kitab Tripitaka
untuk pertama kalinya agar umat Buddha mengetahui dharma dan vinaya yang
masih murni.
c. Kemunduran Agama Buddha di India
Setelah mengalami perkembangan yang mengesankan di india selama
kurang lebih lima abad, akhirnya agama Buddha mengalami kemunduran. Pada
abad ke-7 M. kemerosotan tersebut semakinmeluas di india, antara lain
disebabkan oleh serangan bangsa hun putih dari utara yang banyak
menghancurkan pusat pusat peribadatan agama Buddha. Faktor faktor yang
membuat kemunduran agama Buddha di india yaitu, berkurang dan pengamalan
serta penyebaran agamabuddha semakin kendor, banyak nya unsur asli india yang
masuk kedalam agama tersebut, munculnya persaingan antara agama brahmana
dengan agama Buddha. Akan tetapi yang paling terparah yaitu, rusaknya
kebatinan ajaran agama Buddha dan perkembanagn islam yang mulai
menyebarkan ajarannya ke timur sejak abad ke-8 M.
Akibat dari hal hal diatas, aliran Theravada dan Mahayana lambat laun tersingkir
dari tanah kelahirannya sendiri. Namun, kemunduran agama Buddha di india
dapat dipandang sebgaai terbukannya kesempatan bagi agama tersebut untuk
berkembang dan membentuk pusat pusat agama diluar india baik aliran Theravada
maupun aliran Mahayana.

2. Agama Buddha di Luar India


a. Agama Buddha di Cina
Tentang kapan adanya agama budha di daerah Cina, tidak ada yang tahu
kapan pastinya. Namun, pada umumnya sejarah mengatakan masuknya agama
budha di Cina yaitu ketika masa kerajaan dinasti Han. Namun, perkembangan
agama budha di Cina tidak terlalu menampakkan hasil, karena agama ini mendapat
perlawanan dan tantangan dari kepercayaan dan filsafat asli cina yang telah
berkembang sebelumnya, seperti yang diajarkan konfosius, disamping itu agama
budha dianggap terlalu kaku dan metafisis sehingga dirasakan sangat bertentangan
dengan ajaran yang mereka yakini sebelumnya.
Perkembangan yang cukup pesat mulai terjadi setelah abad kedua masehi,
yang antara lain jatuhnya dinasti han dan mrosotnya faham konfusianisme dan
taoisme sehingga mengakibatkan cina menghadapi periode kegelisahn budaya.
Pada periode awal perkembangan agama buddha di cina itu banyak didirikan
wihara wihara dan dilakukan penerjemahan naskah naskah buddha kedalam
bahasan cina. Masa keemasan buddha terjadi antara abad ke-7 M hingga abad ke-9
M. Dibawah kekuasaan dinasti tang. Pada masa dinasti tang agama buddha
diadaptasikan dan dikombinasikan dengan kebudayaan setempat.
Namun kemajuan agama buddha di cina itu ditandai pula dengan bangkitnya
kembali konfusianisme yang bersifat sosial-elitis sehingga berbenturan dengan
jaran agama buddha yang menekankan pada kehidupan sejati. Pertentangan
tersebut merembet pada tradisi cina yang menkankan pada kehidupan keluarga di
satu pihak dengan ajaran buddha untuk hidu selibat dan membiara dilain pihak,
yang secara ekonomis tidak membantu pengembangan produktivitas keluarga dan
masyarakat. Namun sejauh itu agama buddha mampu mengakomodasikan
kepercayaan tersebut sehingga memperoleh tempat sejajar dengan konfusianisme
dan taoisme. Bahkan, ketiganya membentuk landasan filsafat dan agaama di cina
yang dikenal dengan sam kauw atau tri dharma, yang berari tiga ajaran. Agama
buddha di cina juga melahirkan beberaapa aliran besar dalam golongan buddha
mahayana, antara lain yaitu: aliran chan atau dhiyana, alirean vinaya, dan aliran
chin-t’u atau tanah putih.
Setelah masa keemasan hingga akhir abad ke-7 M, agama buddha di Cina
secara perlahan lahan mengalami kemunduran. Pada dinasti sung (960-1279),
terutama akibat perubahan sikap pemerintah dalam hubungan antara agama dan
negara, semua agama memiliki kesepatan untuk hidup dan berkembang, sehingga
ide ide konfusianisme muncul dan berkembang lebih pesat.

b. Agama Buddha di Jepang


Agama ini di perkirakan masuk china pada tahun 853 atau 552 M. ketika
sebuah kerajaan kecil di korea mengirimkan sebuah delegasi kepada kaisar
kimmeo tenno di jepang. Disamping membawa berbagai hadiah para delegasi juga
meminta agar kaisar dan rakyatnya memeluk agama budha. Sebagian besar suku
menolak kecuali suku soga yang menerimaagama ini. Alasan agama ini banyak di
tolak oleh banyak suku karena agama budha dianggap menghina kepercayaan dan
terutama para dewa mereka.
Pada masanya agama budha memiliki perkembangan pesat yaitu sekitar
tahun 710-784 ini dikarenakan banyak nya suku suku berpengaruh dan bangsawan
bangsawan terpandang yang memeluk agama tersebut. Pada tahun ini juga telah
terdiri kuil yang terletak di daerah nara dan hyruji yang mana kuil kuil di daearah
ini merupakan kuil tertua. Pada masa dinasti heain yakni pada tahun 794-1185 M,
muncul usaha usaha untuk memadukan kepercayaan dan tradisi jepang dengan
agama budha antara lain melalui ajaran saicho dan kukai. Yang kemudian, dewa
pada agama budha dan agama Shinto adalah sama. Menurut sama dalam ajaran
kukai yakni tidak ada perbedaan antara pemujaan terhadap budha dengan
pemujaan terhadap agama Shinto.
Namun pada abad ke-13 M beberapa aliran baru muncul dijepang. Hal ini
merupakan bentuk perselisihan dan perebutan kekuasaan yang tampak diantara
para penguasa. Aliran baru tersebut antara lain zen, amida ( tanah suci) dan
nichirez sozu. Aliran zen mempunyai asal pada ajaran boddhidharma di cina.
Aliran ini bertujuan untuk memindahkan pikiran budha secara langsung kedalam
pemeluknya dan mengajarkan bahwa pencerahan hanya dapat diperoleh melalui
pemikiran yang intuitif. Pada abad ke-14 M, muncul aliran keagamaan yang lebih
bercorak Shinto yang dipadukan agama budha dan konfusianisme dengan nama
yoshida Shinto.
Pada masa tokugawa, yang dikenal sebagai masa kedamaian jepang, agama
budha resmi dijadikan sebagai agama negara. Dan perkembangan terakhir
menunjukkan bahwa setelah sistem keshogunan di hapus pada tahun 1868 M,
agama budha mulai kehilangan sumber keuangan dan prestisinya. Namun, dalam
kelluwesannya, agama tersebut dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya dan
menyusun diri sebagai lembaga agama yang bebas dari negara.

c. Agama Buddha di Thailand


Diperkirakan agama budha masuk di Thailand yakni pada abad ke-3 S.M. ketika
raja asoka mengirimkan dua orang bikkhu ke sana yang diterima oleh suku mon
yang mendiami Burma dan Thailand. Sampai abad ke-7 M. corak agama budha
yang berkembang adalah aliran threvada, namun pada abad ke-8 M. pengaruh
aliran Mahayana terutama yang berasal dari kerajaaan sriwijaya, mulai kelihatan
bersamaan dengan masuknya agama hindu terutama didaerah Thailand timur.
Pada abad ke-13 M. agama budha sangat berkembang pesat. Hal ini dikarenakan
banyak nya penyebaran agama budha ke wilayah Burma, Thailand, kamboja, dan
Tibet yang mana penyebaran ini mengandung dua aspek, yaitu pemeliharaan dan
tranmisi sentral ide aliran threvada. Dengan ini ada ciri tersendiri bagi aliran
threvada dalam agama budha dan ini menjadi salah satu pembeda dengan agama
budha di daerah lain.
Raja raja di Thailand menggunakan gelar rama untuk dirinya dan memberikan
perhatian yang lebih besar terhadap perkembangan agama budha. Pada masa
modern, rama VI (1910-1925) adalah raja Thailand yang memberikan warna
buddhis bagi Thailand. Ia menegakkan soko guru bagi persatuan kelangsungan dan
identitas thai, yaitu: bangsa, agama dan raja. Agama budha merupakan agama
nasional untuk sebagian besar orang Thailand menjadi orang thai berarti pula
menjadi menganut budha. Tiga soko tadi memberika perkembangan yang pesat
bagi agama budha di Thailand. Menurut statistic kementrian pendidikan tahun
1976, 92,29% penduduk thai menyatakan memeluk agama budha yang sanggup
membiayai 25.702 wihara dengan 213.175 bhikku , 114.792 samanera dan 10.529
wiharawati di seluru negeri thai.
d. Agama Buddha di Indonesia
Agama budha di perkirakan masuk dan berkambang di indonesia sudah sejak
abad ke-5 M. pada waktu ini agama budha dianggap sudah berkembang didaerah
jawa dan sumatera. Catatan agak lengkap tentang bagaimana kondisi agama budha
di indonesia yaitu catatan yang dibuat oleh I’tsing yang pada tahun 672 menetap
selama enam bulan di sriwijaya guna mempelajari bahasa sanskerta sebelum
belajar agma di nalanda, india. Menurut I’tsing penduduk daerah laut selatan ,
maksudnya jawa dan sumatera, memeluk agma budha threvada dan hanya
penduduk melayu yang memeluk agama budha Mahayana.
Pada waktu hampir bersamaan dengan kemajuan agama sriwijaya, agama
Buddha Mahayana berkembang di jawa tengah dibawah kekuasaan mataram kuno.
Disini, kehidupan agama lebih kompleks karena dua agama di temukan hidup
berdampingan yakni antara agama hindu dan Buddha. Dalam masalah agama jawa
tengan tidak berperan seperti kerajaan sriwijaya karena jawa tengah terletak di luar
jalur yang dilewati agama Buddha dalam penyebaran dan perkembangan
internasionalnya. Sumber sumber agama Buddha di jawa tengah ini didasarkan
pada beberapa peninggalan berupa tempat tempat peibadatan dan prasasti prasasti
yang jumlahnya terbatas. Dari pertama yang disebutkan misalnya candi sewu,
kalasan, plaosan, mendut, dan Borobudur. Candi Borobudur memberikan informasi
yang banyak mengenai agama budha. Bentuk lahiriah candi ini merupakan
lambamg bagi jalan kearah kelepasan, yang mana membuktikan bahwa candi
tersebut dijadikan sarana untuk melakukan semedi. Untuk memahami ajarannya
lebih lanjut, orang dapat melihat pahatan relief yang terdapat pada dinding-dinding
terasnya yang diambil dari naskah-naskah Mahayana.
Sebagaimana halnya jawa tengah, keadaan agama di jawa timur juga
memperlihatkan adanya dua agama yang hidup beerdampingan pada saat yang
sama, yaitu agama budhdha Mahayana dan agama hindu. Selain data arkeologis
yang dapat ditemukan pada candi candi seperti jado, jawi dan singosari, keadaan
agama di jawa timur ini juga dapat diketahui melalui sumber sumber naskah yang
ditulis sekitar setengah abad setelah kartanegara meninggal dunia, yaitu kitab
negarakartama. Diduga masa ini ada tiga agama yang hidup berdampingan yaitu
agama siwa, wisnu, dan agama Buddha Mahayana. Ketiga tiganya di pandang
sebagai bentuk yang berbeda dari kebenaran yang sama. Gejala sinkretisme ini
dapat dikertahui pula pada praktek kegamaan di majapahit. Pada masa itu
sinkretisme majapahit sampai pada puncaknya. Mpu tantular, dalam kitab
sutasoma menggabarkan hubungan antara hindu Buddha tersebut dengan kata
bhineka tunggal ika. Singkatnya, berdasarkan prasasti prasasti yang ditemukan,
baik di jawa maupun sumatera, dapat diketahui bahwa corak keagamaan yang
dianut pada waktu itu adalah sinkretisme antara hindu dan Buddha yang
mengambil bentuk siwa-buddha.
Setelah berkembang selama berabad abad di nusantara, agama Buddha akhirnya
mulai mengalami masa surut dari putaran roda sejarah agama di indonesia, sejalan
denga kemuduran majapahit tahun 1520 M. dan mulai berkembangnya agama
islam.sejak abad ke-16 perkembangan agama Buddha tidak dapat lagi diketahui
secara pasti. Namun, pada awal abad 20, agama Buddha di indonesia mulai bangkit
kembali di pelopori oleh kalangan kaum terpelajar asal bangsa belanda, cina, dan
pribumi yang terhimpun dalam “perkumpulan teosofi indonesia”. perkumpulan ini
bertujuan mempelajari kebijaksanaan semua agama termasuk Buddha. Salah satu
kegiatannya adalah memperkenalkan kembali ajaran Buddha pada pengikutnya dan
lebih menekankan pada pemahaman, pengamalan dan pengembangan agama
budha dari pada perkumpulan teosofi Indonesia.
Pada tanggal 10 maret 1934, terdapat peristiwa penting yang menandai
bangkitnya kembali agama budha yakni dengan penamaan dan pemberkahan
pohon boddhi di halaaman candi borobodur. Akan tetapi ketika masa penjajahan
sampai tahun 1950 an tidak banyak yang diketahui. Pada tahun 1952 muncul
organisasi Sam Kauw Indonesiaa yang merupakan kelanjutan dari organisasi yang
pernah dibentuk pada zaman belanda. Dalam perkembangannya organisasi ini
lebur menjandi gabungan tri dharma indonesia yang mana bertujuan mempelajari
agama Buddha, konghucu dan lautze. Pada tahun 1953 didirikan persaudaraan
upasaki upasaki indonesia, dan pada tahun 1955 persaudaraan ini semakin
berkembang di indonesia. karena perkembangan semakin pesat, terdoronglah
berdirinya lagi organisasi yang lebih besar pada 12 februari 1957 yang diberi nama
perhimpunan buddhis indonesia. dan pada akhir desember ketika kongres yang
pertama kali diadakan dan bertempat di vihara Buddha gaya, semarang, salah satu
keputusannya yakni penyingkatan nama. Dari yang semula perhimpunan buddhis
indonesia disingkat menjadi perbuddhi dan dengan ketua sariputa sadono.
Puncak perkembangan agama Buddha tahun 1950-an ini adalah perayaan
waisak di candi Borobudur pada tahun 1959, suatu tahun yang dijadikan titik tolak
kebangkitan kembali agama Buddha sedunia, tepat setelah menurut perhitungan
2500 tahun Buddha meninggal dunia. Akan tetapi, perkembangan tersebut
dibayang bayangi oleh perpecahan yang mulai tampak pada akhir tahun 1963 yang
mencapai puncaknya ketika tahun 1964 dimaana perbudhi terpecah menjadi tiga,
yaitu musyawarah umat Buddha seluruh indonesia, Buddha indonesia, dan
perbuddhi sendiri. Maha sanga indonesia juga pecah menjadi dua, yaitu maha
sangha yang diketuai oleh bhikku ashin jinarakkhita dan sangha indonesia yang
diketuai oleh bhikku jinapiya.
Usaha penyatuan kembali dilakukan pada tanggal 28 mei 1972 dengan
pembentukan wadah baru bernama Buddha dharma indonesia yang diketuai oleh
suraji. Namun ternyata organisasi ini tidak dapat berkembang. Kemudian dibentuk
lagi wadah baru yang diberi nama gabungan umat Buddha seluruh indonesia
(GUBSI) pada September 1976, di Jakarta. Atas prakarsa tokoh tokoh Buddha dan
dukungan dari dpp golkar. Tujuan organisasi ini ialah membina, menyalurkan dan
mengembangkan nilai nilai sosial agama Buddha. Sebulan kemudian, setelah
GUBSI berdiri, pada 3 oktober 1976, terbentuk majelis pandhita Buddha dharma
indonesia, disingkat MAPPANBUDDHI, yang diikuti dengan berdirinya sangha
Theravada indonesia, yang dianggap mewakili aliran Theravada Indonesia.
Usaha menyatukan kembali umat Buddha di indonesia terus dilakukan
melalui berbagai pertemuan, yang memmbuahkan kongres umat Buddha indonesia
pada tanggal 7-8 mei 1979 di Yogyakarta. Isi dari kongres tersebut antara lain
pernyataan kesediaan untuk bersikap saling menghormati keyakinan masing
masing dan bekerja bahu membahu sebagai stu keluarga besar umat Buddha
indonesia, menjunjung tinggi wadah perwalian umat Buddha Indonesia (WALUBI)
yang merupakan federasi dari majelis majelis agama Buddha dan sangha sangha
Indonesia. ketetapan yang cukup penting dalam usaha menciptakan kerukunan
intern umat Buddha Indonesia adalah pengukuhan keputusan loka karya,
pemantapan ajaran agama Buddha dengan kepribadian indonesia, yaitu: ketuhanan
yang maha esa, guru agung atau pembabar atau nabi, kitab suci, umat, dan
penghayatan serta pengamaalan pancasila.
Kongres umat Buddha di Yogyakarta tersebut dipandang telah berhasil
memecahkan permasalahn intern umat Buddha. Dengan berhasilnya umat Buddha
memecahkan masalah masalah dasae tersebut, maka perkembangan agama Buddha
di indonesia semakiin semarak baik dalam pedalaaman maupun penyebaran agama
keluar. Dengan pemerintah hubungan terjalin semakin baik, yang kemudian
menumbuhkan berdirinya satu direktorat khusus agama Buddha pada tanggal 16
agustus 1950 dan keputusan presiden nomor 3 tahun 1983 yang menetapkan hari
raya nyepi dan hari waisak sebagai hari libur nasional. Akhirnya, berdasarkan
angka statistik, tahun 1980, jumlah pemeluk agama Buddha di indonesia mencapai
1.391.991 orang yang tersebar di beberapa kota di indonesia.

KESIMPULAN
Agama budha merupakan salah satu agama yang muncul dan berkembang pesat
di daratan india. Agama ini mulai muncul pada abad ke 6 SM. Pedoman dan hukum-
hukum yang diajarakan oleh sidharta mempunyai tujuan akhir untuk melepaskan
nafsu dan penderitaan dalam hidup manusia sehingga dapat mencapai nirwana.
Agama budha didirikan oleh seorang pangeran yang bernama Sidharta, putra raja
Sudhodana Gautama dari kerajaan kecil kapilawastu yang memerintah suku Sakya di
india utara yang berbatasan dengan Nepal. Ia dilahirkan pada tahun 563 SM. Ajaran
agama budha ada 3 yaitu Catur Arya Satyani, Nirwana, dan Arahat. Ada dua aliran
didalam agama budha, yaitu Hinayana dan Mahayana.

Anda mungkin juga menyukai