Anda di halaman 1dari 106

m m a :

i ta s Dha
teg r
In S e k a rang
h ulu dan
D a
Antara

S. Dhammasiri
Catatan:

1. Buku ini dapat dibagikan atau disebarluaskan dengan cara apa pun
dan untuk keperluan apa pun tanpa perlu meminta izin dari penulis.

2. Semua artikel yang ada dalam buku ini telah dipublikasikan


melalui akun Facebook: Dhammasiri Sam
Daftar Isi

1. Ketika Non-Buddhis Mencapai Kesucian 1

2. Lima Perilaku yang Menunjukkan Anda Telah Mencapai


Suatu Tingkat Kesadaran yang Lebih Tinggi! 10

3. Komentar Saya Terhadap Lima Perilaku pada Orang yang telah


Mencapai Kesadaran Lebih Tinggi oleh Kyle McMillan 14

4. Lenyapnya Dhamma: 1. Perspektif Tipitaka 20

5. Lenyapnya Dhamma: 2. Perspektif Post-Kanon 32

6. Lenyapnya Dhamma: 3. Perspektif Kitab Komentar 36

7. Lenyapnya Dhamma: 4. Pandangan Pribadi Saya 50

8. Waisak: Cara Umat Buddha Memaknai Kelahiran, Kesuksesan


dan Kematian 58

9. Apakah arti Mencatat, Melabeli dan Mengetahui? Apakah


manfaat mencatat? 63

10. Memory Tentang Sayadawgyi 83

11. Santuṭṭhi: Bersyukur ala Buddhis 90

12. Memahami Pañcasīla Buddhis dalam Praktik Pengembangan


Kesadaran 95
Ketika Non-Buddhis Mencapai Kesucian

Umat Buddha sering kali latah, tak ada bedanya seperti penganut-
penganut agama lainnya. Lebih sering terdengar, penganut agama lain
mengklaim bahwa surga hanya menjadi milik mereka yang percaya
dan yakin pada agama mereka; sementara itu, penganut agama
Buddha lebih sering mengklaim bahwa pencapaian kesucian hanyalah
milik orang yang yakin pada agama Buddha. Selebihnya, tidak akan
bisa mencapai kesucian atau dengan kata lain, kesucian itu hanya
monopoli milik agama Buddha, khususnya mereka yang memiliki
kepercayaan dan keyakinan kepada agama Buddha. Mari kita lacak
hal ini, benarkah demikian adanya.

Singkat cerita, Pangeran Siddhartha adalah orang yang muak,


jenuh dengan kehidupan duniawi. Dia merasa bahwa kehidupan
duniawi sangat monoton. Karena itu, dia mengharapkan adanya
perubahan. Harapan ini disematkan dalam kehidupan petapaan.
Pangeran Siddhartha pun menjadi petapa. Setelah belajar dan berjuang
menggunakan berbagai metode yang ada saat itu, Petapa Siddhartha
tersadarkan bahwa tidak ada jalan yang mampu membebaskan.
Semua jalan yang tersedia tak ubahnya kehidupan duniawi, masih
terus membelenggu, menjerat pikiran manusia pada obsesi yang tidak
berkesudahan.

Saat tersadarkan, Petapa Siddhartha berinisiatif untuk


menggunakan caranya sendiri. Cara tersebut ternyata efektif untuk
membebaskan diri dari obsesi yang tiada berkesudahan. Sejak saat itu,
Petapa Siddhartha dikenal dengan sebutan Buddha, tercerahkan atau
sammā sambuddha, sepenuhnya tercerahkan atau tercerahkan dengan

1
cara yang benar.

Pencapaian pencerahan, pencapaian kebuddhaan yang dialami


oleh Petapa Siddhartha jelas tanpa status sebagai seorang umat
Buddha. Petapa Siddhartha mencapai pencerahan bukan karena
bergantung pada guru-guru yang ada, bukan pula karena dibimbing
atau diarahkan oleh para guru. Oleh karena itu, sering muncul istilah
bahwa Dhamma yang membuat beliau tercerahkan tak pernah didengar
sebelumnya (pubbe ananussutesu dhammesu). Artinya, jalan tersebut
tidak diajarkan saat itu.

Pencapaian pencerahan yang dialami oleh Petapa Siddhartha


muncul karena adanya keyakinan pada diri sendiri (saddhā). Petapa
Siddhartha yakin bahwa dirinya mampu menjadi manusia seutuhnya,
manusia yang mengembangkan potensi diri melampaui batas-batas atau
norma-norma yang telah ditetapkan atau disepakati oleh masyarakat.
Petapa Siddhartha berjuang sendiri, menggunakan teorinya sendiri,
juga yakin pada dirinya sendiri.

Apa yang dialami oleh Petapa Siddhartha sebenarnya tidak ada


bedanya dengan yang dialami oleh paccekabuddha. Paccekabuddha
adalah orang yang berjuang sendiri, bukan mengikuti ajaran siapapun,
tetapi hanya merenungkan dan memahami apa yang belum pernah
didengar atau diajarkan sebelumnya. Keduanya muncul di dunia ini
karena ingin hidup bebas, melampaui pola pikir pada umumnya. Secara
tradisional, dipercaya bahwa keduanya muncul ketika Dhamma telah
dilupakan. Dengan kata lain, tidak ada yang disebut agama Buddha
atau penganut agama Buddha, namun keduanya bisa mencapai
kebebasan batin, terlepas dari cengkeraman roda saṃsāra.

Ketika membabarkan ajaran-Nya, Buddha Gotama memilih lima

2
petapa sebagai pendengar pertamanya. Sang Buddha membabarkan
ajaran-Nya di tengah-tengah krisis kepercayaan. Umumnya mereka
tidak percaya pada Sang Buddha, mendengarkan pun setengah hati.
Sang Buddha tetap berusaha agar penemuan-Nya bisa dikomunikasikan
kepada sahabat-sahabat lamanya. Di akhir ceramah, hanya Kondañña
yang paham dan dia menjadi seorang sotāpanna pertama dalam sejarah
agama Buddha. Apakah dia seorang umat Buddha? Jelas bukan. Justru
Kondañña menjadi murid Sang Buddha setelah mencapai tingkat
kesucian pertama. Hal yang sama juga terjadi pada empat petapa
lainnya. Mereka memutuskan menjadi murid Sang Buddha setelah
mencapai tingkat kesucian pertama.

Tepat setelah mereka menjadi arahat, mengikuti jejak Sang


Buddha, Yasa yang jenuh dengan kehidupan rumah tangga
menjadi sotāpanna setelah mendengarkan uraian lima topik praktik
dhamma (pañca-anupubbikathā) dan empat kebenaran mulia. Saat
mendengarkan wejangan Dhamma Sang Buddha kepada ayahnya,
Yasa terbebaskan dari semua bentuk kotoran batin. Dengan kata lain,
Yasa adalah arahat perumah tangga pertama dalam sejarah agama
Buddha. Setelah menjadi arahat dan orangtuanya mengundang mereka
untuk menerima dana makanan di rumah orangtua Yasa, barulah Yasa
menjadi murid Sang Buddha. Bahkan, saat mengundang Sang Buddha
dan Yasa, ayah Yasa masih mengatakan, “Semoga bhante berkenan
menerima undangan makan pagi di rumah kami bersama dengan Yasa,
anak perumah tangga sebagai pendampin” (Adhivāsetu me, bhante,
bhagavā ajjatanāya bhattaṃ yasena kulaputtena pacchāsamaṇenā).

Masih berkaitan dengan kasus Yasa, ayah Yasa juga menjadi


seorang sotāpanna setelah mendengarkan uraian Dhamma dari Sang
Buddha. Hanya saja, bedanya Yasa tidak langsung menjadi pengikut
3
Sang Buddha begitu menjadi sotāpanna. Ayah Yasa menjadi upāsaka
pertama setelah menjadi sotāpanna. Dalam luapan emosinya yang
begitu mendalam, dia mengatakan:

“Luar biasa, bhante! Sungguh luar biasa! Persis seperti halnya


orang yang membalikkan apa yang terbalik, atau membuka apa yang
tertutup, atau menunjukkan jalan bagi yang tersesat, atau membawa
lampu dalam kegelapan, dengan berpikir, ‘mereka yang memiliki
mata semoga dapat melihat’, demikian juga dhamma telah dijelaskan
dengan berbagai cara oleh bhante. Saya berlindung pada Sang Buddha
sebagai pelindung, dhamma dan juga bhikkhu Saṅgha. Semoga
bhante menerima saya sebagai pengikut perumah tangga yang telah
berlindung (pada Tiratana) sejak hari ini hingga akhir hayat saya.”

Ayah Yasa tercatat sebagai upāsaka pertama dalam sejarah


agama Buddha yang berlindung kepada Tiratana. Terlihat sangat jelas,
bahwa ayah Yasa menjadi seorang sotāpanna terlebih dahulu, baru
kemudian menyatakan diri menjadi upāsaka. Dengan kata lain, ayah
Yasa mencapai kesucian terlebih dahulu barulah dia menjadi pengikut
Sang Buddha.

Formula di atas telah menjadi ungkapan stereotip bagi mereka


yang ingin menyatakan diri menjadi pengikut Sang Buddha. Biasanya
hal itu diucapkan setelah mereka mendengarkan wejangan Dhamma.
Namun, tidak semua orang yang mengucapkan pernyataan tersebut
adalah mereka yang telah menjadi seorang sotāpanna. Sering juga,
ungkapan tersebut diucapkan oleh mereka yang tidak menjadi
sotāpanna. Contohnya, Ajātasatu, Sonadanda dan yang lainnya. Ada
juga yang mengucapkan dulu pernyataan semacam itu baru kemudian
menjadi sotāpanna. Contohnya adalah Kūṭadanta.

4
Upatissa dan Kolita yang di kemudian hari dikenal dengan
sebutan Sāriputta dan Moggallāna juga mencapai tingkat kesucian
pertama saat mereka masih belum menjadi pengikut atau murid Sang
Buddha. Cerita pencapaian mereka berawal dari pertemuan Upatissa
dengan Y.M. Assaji. Upatissa yang saat itu haus untuk mencari guru
spiritual yang tepat, terpesona melihat penampilan dan perilaku Y.M.
Assaji.

Setelah mendapatkan kesempatan yang tepat, Kolita mendekati


Y.M. Assaji. Memulainya dengan memuji penampilan Y.M. Assaji,
Upatissa menanyakan siapa guru yang dianutnya. Y.M. Assaji pun
menjelaskan bahwa dirinya menjalani kehidupan monastik di bawah
bimbingan seorang guru yang merupakan putra Sakya. Ketika diminta
menjelaskan ajaran putra Sakya, Y.M. Assaji mengatakan bahwa
dirinya adalah orang baru, belum lama menjalani kehidupan monastik
di bawah bimbingan putra Sakya. Upatissa yang penasaran tetap
meminta Y.M. Assaji untuk mengatakannya meskipun singkat. Y.M.
Assaji menyampaikannya dalam bentuk syair:

“Apapun yang muncul karena sebab

Sebabnya telah diutarakan oleh Sang Tathāgata

Demikian juga pemberhentiannya

Itulah yang diajarkan oleh Petapa Agung”.

Begitu mendengar syair ini, Upatissa langsung menjadi seorang


sotāpanna. Dari catatan-catatan yang ada, baik dalam Tipitaka maupun
dalam Kitab Komentar, tidak disebutkan apa yang terjadi setelah
pencapaian kesucian tersebut. Upatissa yang mengungkapkan bahwa
Y.M. Assaji tentunya telah menemukan jalan menuju pembebasan
5
batin yang telah dilupakan orang selama berabad-abad. Dalam Vinaya
Piṭaka sendiri episode tersebut ditutup sampai di sini dan dilanjutkan
dengan pertemuan Upatissa dengan Kolita. Tak ada bedanya dengan
Upatissa, Kolita juga menjadi pemenang arus tepat setelah Upatissa
mengulang syair tersebut. Setelah itu, barulah mereka menjadi murid
Sang Buddha.

Dari semua pencapaian di atas, boleh dikatakan bahwa yang


mencapai kesucian bukanlah mereka yang telah menjadi umat Buddha.
Dengan demikian, kesucian bukanlah monopoli milik mereka yang
telah mengaku menjadi umat Buddha. Data-data yang ada dengan
jelas membuktikan bahwa terlalu banyak yang mencapai kesucian
sebelum mereka mengaku menjadi umat Buddha. Pencapaian tersebut
tidak hanya di level terendah tetapi juga di level tertinggi. Tidak hanya
Yasa saja yang menjadi arahat sebelum bertekad menjadi murid Sang
Buddha; Bāhiya juga menjadi arahat meski tidak pernah disebutkan
berlindung kepada Tiratana.

Jika dianalisis, semua cerita di atas ada dua jenis pencapaian.


Pertama adalah orang-orang yang mencapai kesucian karena
mendengarkan ajaran tentang sīla, samādhi dan paññā. Kedua adalah
orang-orang yang mencapai kesucian tanpa pernah mendengarkan
ajaran tentang sīla, samādhi dan paññā. Dalam hal ini, Kolita,
Upatissa dan Bāhiya adalah contohnya. Kolita dan Upatissa mencapai
kesucian karena mendengarkan ajaran lebih cenderung tentang
paṭiccasamuppāda. Sedangkan Bāhiya mencapai kesucian karena
mendengarkan ajaran tentang pengembangan kesadaran sepenuhnya.

Menilik kasus-kasus di atas, apakah pencapaian mereka tidak


bertentangan dengan ajaran Sang Buddha? Tentu tidak. Ada beberapa
alasan untuk hal ini. Pertama, dalam kata-kata terakhir-Nya, Sang
6
Buddha mengatakan bahwa di manapun sepanjang jalan mulia berunsur
delapan masih ditemukan, di situlah dunia ini tidak kekurangan arahat,
tetapi ketika jalan mulia berunsur delapan tidak ditemukan lagi, tidak
akan mungkin ditemukan orang-orang yang mencapai kesucian, baik
tingkat kesucian terendah maupun tertinggi.

Masyarakat India saat itu sebenarnya adalah masyarakat yang


sudah mapan secara spiritual. Mereka telah kenyang mempraktikkan
sīla, samādhi, paññā. Hanya saja, mereka mempraktikkannya
dalam kategori umum. Karena itu, ketika Sang Buddha datang dan
memberikan pandangan yang benar tentang ketiganya, banyak yang
kemudian tersadarkan bahwa mereka telah salah arah. Ketika mereka
menyadari, mereka sanggup banting setir dan mampu memahami apa
yang sebenarnya perlu dimiliki dalam praktik. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan jika banyak yang kemudian mencapai pencerahan
begitu mereka mendapatkan penjelasan dari Sang Buddha.

Kedua, tentu banyak orang akan mempertanyakan masalah


keyakinan orang-orang yang mencapai kesucian. Hal ini dapat muncul
karena dipicu oleh adanya sepuluh belenggu (dasasaṃyojana) yang
berkaitan dengan keraguan (vicikicchā). Keraguan adalah antonim
dari keyakinan (saddhā). Sementara itu, saddhā dalam Tipitaka sering
didefinisikan sebagai keyakinan kepada Tiratana: Buddha, Dhamma
dan Saṅgha.

Buddha, Dhamma dan Saṅgha lebih sering dipahami sebagai


sesuatu yang eksternal. Dalam tahap awal ini benar. Sebagai contohnya,
apa yang dialami oleh Upatissa dan Kolita. Begitu melihat Y.M.
Assaji, Upatissa timbul rasa penasaran untuk menginvestigasi beliau.
Ketika mendengarkan ajaran dari praktiknya, timbullah keyakinan
akan kebenaran ajaran tersebut. Kolita juga mengalami hal yang sama.
7
Dalam taraf yang lebih dalam, saddhā adalah keyakinan pada
diri sendiri (self-confident). Apa yang dimaksud dengan keyakinan
pada diri sendiri adalah dia menerima dirinya sendiri sebagaimana
apa adanya, tanpa mempertanyakan fenomena batin dan jasmani yang
muncul dalam dirinya.

Ketiga, apa yang diajarkan oleh Sang Buddha sesungguhnya


bukan agama, tetapi prinsip hidup, tata cara menjalani kehidupan ini
(the way of life). Karena apa yang diajarkan adalah prinsip hidup,
ajaran tersebut dapat dilaksanakan oleh siapapun, tanpa batasan
apapun. Apakah mengaku beragama atau tidak, apakah mengaku
beragama Buddha atau tidak, semua dapat mempraktikkan ajaran
Sang Buddha, tanpa sedikit pun pengecualian.

Keempat, ditinjau secara psikologis, kesucian batin sesungguhnya


adalah bentuk kedewasaan batin. Oleh sebab itu, mereka yang telah
mencapai kesucian, batinnya semakin mapan, tidak mudah terpengaruh
oleh kondisi sekitar, tidak mudah depresi, halusinasi dan sebagainya.
Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat kesucian seseorang, semakin
tinggi pula stabilitas batinnya. Secara psikologis dapat dikatakan
mereka inilah orang-orang yang sehat secara psikologis. Tidak
mengherankan pula jika dalam literatur Buddhis, mereka yang masih
belum mencapai kesucian dikatakan sebagai orang yang tak ubahnya
seperti orang gila (ummattako viya hi puthujjano).

Dengan bukti-bukti yang ada, baik yang telah disebutkan


maupun yang tidak disebutkan, semoga hal ini bisa membuka
wawasan, menambah pengetahuan bahwa kesucian bukanlah
monopoli milik mereka yang mengaku sebagai umat Buddha,
tetapi milik mereka yang berani melihat, berani menyelami, berani
memahami, berani mengimplementasikan dengan sesungguhnya
8
ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari (diṭṭhadhammo
pattadhammo viditadhammo pariyogāḷhadhammo tiṇṇavicikiccho
vigatakathaṃkatho vesārajjappatto aparappaccayo satthusāsane).

9
Lima Perilaku yang Menunjukkan Anda Telah
Mencapai Suatu Tingkat Kesadaran yang
Lebih Tinggi!

[Catatan dari saya: Ini bukanlah tulisan pribadi saya, melainkan


tulisan Kyle McMillan yang diposting di Wisdom Pills. Saya merasa
tulisannya cukup bagus. Karena itu, tulisannya saya terjemahkan.
Saya menyadari bahwa bahasanya agak sulit dimengerti. Semoga saja
intinya bisa dipahami dengan baik, mampu memberikan pemahaman
yang benar akan praktik, dan mengintegrasikannya dalam kehidupan
sehari-hari]

Bagaimanakah kita mengetahui ketika kita telah mencapainya?

Jika ada sesuatu yang kita ketahui tanpa keraguan sedikit pun,
hal itu adalah bahwa semua bentuk kehidupan adalah sebuah proses
evolusi. Segala sesuatu, dari partikel terkecil yang ada hingga alam
semesta secara keseluruhan adalah dalam rengkuhan proses evolusi.
Tak dapat diubah adalah satu-satunya kebenaran. Pengembangan
adalah poinnya. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan adalah apakah
semua itu terjadi dengan kesadaran ataukah tidak. Sebagaimana
yang terjadi dalam karier apa pun—apakah atletik, intelektual atau
spiritual—tanda-tanda tertentu akan mulai tampak setelah praktik
yang cukup telah diusahakan, dan semua itu akan termanifestasi,
sebagaimana seharusnya, dalam perilaku Anda. Jika tidak, berarti
Anda masih belum memiliki pemahaman sepenuhnya—konsep masih
belum termanifestasi sepenuhnya pada level perilaku.

Sementara, dalam realitasnya, sesungguhnya tidak ada tingkat

10
kesadaran “yang lebih tinggi” (ini hanyalah pemikiran egoistic
berdasarkan pada perbandingan), ada, tanpa perlu diragukan, cara-
cara lain memandang dunia, yang berdampak pada, tentunya, cara-
cara berbeda karena berada di dunia—cara-cara yang membuka jalan
ke arah lebih santai, harmoni dan seimbang, bahkan ketika dunia
eksternal berputar sebagaimana biasanya. Pasti ada perubahan secara
internal.

Bagaimanakah kita mengetahuinya saat kita telah mencapainya?


Berikut ini adalah lima perilaku yang menunjukkan bahwa Anda telah
mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi.

1. Hilangnya ketertarikan pada gossip

Begitu Anda mulai tercerahkan, negativitas menjadi lebih terlihat


nyata, terutama ketika hal itu berkaitan dalam bentuk gossip. Hal itu
tidak lagi memiliki kekuatan untuk menggoda Anda sebagaimana
biasanya. Kamu dapat mendengarkan pencarian diri dalam hal itu—
penghakiman dan kebutuhan yang tidak disadari untuk merasa lebih
superior pada orang-orang yang bergosip, dan kekuatan daya tarik
yang ada untuk menarik yang lainnya. Perbedaan antara orang yang
menyebutkan fakta, karena suatu alasan, dan orang yang memberikan
umpan untuk memuaskan egonya, cukup jelas, dan Anda akan
secara perlahan menemukan diri Anda semakin tidak tertarik untuk
berpartisipasi dalam hal itu.

2. Hilangnya ketertarikan pada berbagai perilaku destruktif

Perbedaan antara kemelekatan jangka pendek dan jangka panjang


akan mulai tampak dengan sendirinya. Hal-hal tertentu yang membuat
Anda merasa “baik” pada saat ini (sebagaimana dalam kebiasaan
bergosip) tidak akan memberikan kepuasan dalam jangka waktu
11
lama, dan Anda akan mulai menyadarinya. Kesia-siaan akan segala
sesuatu dari kecemasan (sebagai lawan berpikir secara konstruktif)
hingga pada makan secara berlebihan hingga menonton televise yang
memiliki dampak negatif pada pikiran akan mulai tampak jelas, dan
Anda mulai meninggalkan semua kebiasaan ini secara otomatis.

3. Bekerja lebih giat (bermain), sedikit stress

Anda bisa melakukan lebih banyak hal. Secara otomatis, Anda


akan menjadi lebih efektif daripada biasanya, karena Anda lebih fokus
pada saat ini. Anda tidak kecewa pada keadaan atau berpikir tentang
apa yang harus Anda lakukan atau tidak perlu dilakukan, Anda sekadar
melakukan apa yang perlu dilakukan, dan melakukan semua itu dengan
baik. Ada perasaan secara internal “bermain” yang menemani semua
kegiatan, mengurangi stress dan memberikan lebih banyak keceriaan
pada diri Anda sendiri, dan juga orang-orang di sekitar Anda.

4. Lebih mampu menerima, sedikit berkompetisi

Kebutuhan untuk ‘membuktikan’ diri sendiri mulai memudar.


Karena tendensi untuk membandingkan segala sesuatu (penampilan,
pendapatan, tingkat kepandaian) telah berkurang, apapun tugas yang
ada menjadi lebih jelas—sekalipun tugas kehidupan itu sendiri. Karena
ada sedikit kebutuhan untuk “menang”, kemauan untuk menerima
mulai tampak, dan Anda menyadari bahwa dalam suatu tindakan
membantu orang lain Anda juga membantu diri sendiri.

5. Apresisasi

Sebagai kelanjutan poin terakhir, meskipun Anda tidak berhenti


untuk mengejar target, Anda tidak terlalu fokus pada kebahagiaan
untuk menyelesaikannya, tetapi melainkan menemukan diri Anda

12
sendiri mengapresiasi banyak hal-hal kecil yang sebelumnya Anda
ambil hanya sebagai batu pijakan. Anda mulai melihat begitu banyak
tentang apa yang benar di dunia ini, bersamaan dengan apa yang salah
di dalamnya, dan rasa terimakasih ini memberikan Anda semangat
dan motivasi untuk melanjutkan pekerjaan “memperbaiki” keduanya,
dan diri Anda sendiri.

13
Komentar Saya Terhadap Lima Perilaku pada
Orang yang telah Mencapai Kesadaran Lebih
Tinggi oleh Kyle McMillan

Saya tidak tahu secara persis siapa it Kyle McMillan. Hanya saja,
beberapa hari yang lalu saya melihat sebuah tautan yang berkaitan
dengan tulisannya: “5 Behaviours Show That You Are Reaching A
Higher Level Of Consciousness”. Saya tertarik untuk membacanya,
dan melihat isinya cukup menarik. Karena itu, saya menerjemahkan
tulisan tersebut agar dapat diakses oleh lebih banyak orang, terutama
yang tidak bisa berbahasa Inggris dengan baik. Tulisannya saya
terjemahkan dengan judul: “Anda Telah Mencapai Suatu Tingkat
Kesadaran yang Lima Perilaku yang Menunjukkan Lebih Tinggi!”.

Dalam tulisannya, Kyle McMillan menyebutkan dan juga


mengulas lima poin penting tentang tanda-tanda yang dimiliki oleh
mereka yang telah mencapai kesadaran yang lebih tinggi. Dua poin
pertama adalah “a loss of interest in gossip” dan “a loss of interest in
destructive habits”. Dari kedua poin ini, sebenarnya cukup penting
untuk memahami apa yang dimaksud sebagai “a loss of interest”.

Frase “a loss of interest” dapat diterjemahkan sebagai “hilangnya


ketertarikan”. Apa yang dimaksud sebagai ‘hilangnya ketertarikan’
sebenarnya bukanlah pengendalian diri, juga bukan keinginan untuk
menghindari. Jika hilangnya ketertarikan adalah pengendalian diri,
berarti masih ada ketertarikan pada sesuatu—dalam hal ini gossip dan
perilaku destruktif. Juga pengendalian diri dapat diartikan sebagai
pengekangan diri. Hilangnya ketertarikan bukanlah pengekangan diri.

14
Jika hilangnya ketertarikan dipahami sebagai keinginan untuk
menghindari, berarti masih ada rasa tidak suka, kebencian terhadap
sesuatu—dalam hal ini adalah gossip dan perilaku destruktif. Rasa tidak
suka dan kebencian juga bersifat destruktif—dapat berarti destruktif
secara internal maupun eksternal, berdampak pada destruktif secara
spiritual maupun sosial. Dengan demikian, hilangnya ketertarikan
bukanlah rasa tidak suka atau kebencian terhadap gossip dan sifat-
sifat destruktif.

Apa yang dimaksud oleh hilangnya ketertarikan adalah sudah


merasa cukup dan tidak lagi memikirkan gossip maupun perilaku
destruktif. Selama masih memikirkan gossip dan perilaku destruktif,
selama itu pula masih ada ketertarikan pada gossip dan perilaku
destruktif. Merasa cukup berarti seperti makan, kita sudah kenyang.
Ketika kita sudah kenyang, dipaksa seperti apa pun, kita tidak tertarik
untuk memakan makanan tersebut sekalipun makanan itu sangat lezat
dan menarik.

Ketika kenyang, kita pun tidak merasa muak terhadap makanan


tersebut. Sederhananya, sudah tidak ada tempat lagi untuk menampung
makanan. Sudah tidak ada ruang kosong lagi untuk meletakkan atau
menyisipkan makanan. Demikian juga, ketika seseorang sudah tidak
tertarik lagi pada gossip dan perilaku distruktif, tidak ada ruang lagi
untuk gossip dan perilaku destruktif dalam dirinya. Juga tidak ada
celah untuk menyisipkan gossip dan perilaku destruktif dalam dirinya.

Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah mengapa tidak ada


ketertarikan pada gossip dan perilaku destruktif? Gossip adalah
pembicaraan atau cerita informal tentang kehidupan pribadi orang
lain, yang mungkin bersifat tidak bersahabat dan tidak benar. Adakah
manfaatnya untuk diri kita? Jelas, tidak ada. Semua itu hanya akan
15
menghabiskan waktu dan tenaga. Manfaatnya tidak ada, sementara
kebencian, rasa tidak suka dan kesombongan bisa semakin kuat
terpatri. Menyadari hal ini, orang-orang yang batinnya telah mapan,
tidak tertarik lagi dan sudah tidak memikirkan lagi untuk terperangkap
dalam kesenangan bergosip. Bagi orang-orang yang batinnya telah
maju, membicarakan hal-hal yang bermanfaat, hal-hal yang membawa
pada kemajuan batin jauh lebih penting karena hal ini akan memberikan
motivasi untuk terus menjadi lebih baik.

Orang-orang yang telah maju batinnya juga telah kehilangan


ketertarikan pada kebiasaan destruktif. Seseorang dapat dikatakan
batinnya maju karena dia telah mengikis atau menghancurkan hal-hal
yang bersifat destruktif. Secara moral orang dalam kategori tersebut
disebut sebagai orang yang baik. Karena tidak tertarik lagi pada hal-
hal yang destruktif, dia lebih cenderung untuk tertarik pada hal-hal
yang konstruktif. Dia akan lebih tertarik pada perilaku yang mampu
membawa kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan, tidak hanya
untuk dirinya sendiri tetapi juga untuk orang lain.

Poin ketiga adalah “more work (play), less stress”. Dengan


hilangnya ketertarikan pada hal-hal yang destruktif, berarti rasa tidak
suka dan kebencian berkurang. Dengan berkurangnya rasa tidak suka
dan kebencian, akan berdampak secara nyapa pada motivasi untuk
bekerja. Semangat kerja akan muncul. Kecintaannya pada pekerjaan
akan meningkat. Kita malas bekerja, karena ada rasa tidak suka
atau benci, entah benci pada pekerjaan tersebut, benci pada atasan
atau benci pada lingkungan. Oleh karena itu, ketika kebencian telah
berkurang, rasa tidak suka telah tereliminasi, rasa suka, menikmati
apa yang dilakukan akan termanifestasi.

Banyak orang menjadi stress karena rasa tidak suka dan


16
kebencian. Dampaknya, akan menjadi tidak produktif, sulit melakukan
pekerjaan dengan keseriusan. Karena itu, ketika tidak ada rasa tidak
suka atau kebencian, seseorang dapat bekerja dengan lebih giat, tekun,
tulus. Rasa mencintai pekerjaan, membuatnya menjadi nyaman, tidak
tertekan dengan berbagai tugas yang diberikan. Dengan rasa nyaman,
produktivitas pun akan semakin meningkat.

Poin keempat adalah “more co-operation, less competition”.


Meski orang yang batinnya mapan bekerja keras, penuh semangat,
tetapi dia adalah orang yang mudah untuk beradaptasi, mudah menerima
dan tidak berambisi untuk terjebak dalam kompetisi. Baginya,
dunia ini sangat indah sehingga sayang jika harus dihabiskan untuk
berargumentasi, berdebat, berselisih paham. Dia mampu menerima
perbedaan, mampu menghargai pandangan orang. Menghargai bukan
berarti menjalankan; bukan pula mengadopsi pandangan tersebut,
tetapi dia memahami bahwa setiap orang memiliki hak untuk
menganut pandangan sesuai dengan kebutuhannya, sepanjang tidak
memaksakan pandangan tersebut kepada orang lain.

Orang-orang yang batinnya mapan, tidak terjerumus dalam


kompetisi karena dia memahami bahwa kompetisi hanya akan
menimbulkan beban batin, kompetisi hanya akan menimbulkan
depresi yang tiada berkesudahan. Karena itu, orang yang mapan dalam
berpikir, mampu bekerja keras semaksimal mungkin tetapi tidak untuk
berkompetisi. Baginya bekerja hanya untuk bekerja, tidak lebih dari
itu. Lagi pula, ketika batin mapan, atmosfir yang positif akan tercipta.
Dengan adanya atmosfir yang positif, semua akan bisa dikerjakan
dengan lebih baik. Prinsip yang dipegang adalah orang baik, tidak
akan pernah sendiri. Orang baik pasti akan selalu dicari, persis seperti
gula yang selalu dicari oleh semut. Meski gula tidak mencari semut,
17
semut akan datang dengan sendirinya karena semut senang dengan
rasa manis.

Yang kelima adalah “appreciation”. Dengan tidak ada rasa benci,


rasa tidak suka, perasaan apresiatif akan muncul. Ini sudah hukum
yang sangat alami. Kita tidak bisa mengapresiasi kerena kebencian
dan rasa tidak suka yang tinggi. Dampaknya, muncullah rasa iri hati,
dengki, mencela, mengkritik dan sebagainya. Ketika kebencian dan
rasa tidak suka tidak ada, dengan mudah kita menghargai orang lain,
dengan mudah kita bisa mengapresiasi orang lain.

Dia akan mudah menghargai orang lain sebagaimana apa adanya


dan bukan sesuai dengan standar yang dia terapkan. Apresiasi tersebut
bukan untuk memenuhi tuntutan egonya, demi kepuasannya sendiri.
Apresiasi tersebut dilakukan semata-mata dia merasa senang ada orang
yang mampu berdiri di atas kedua kakinya sendiri, mampu menjadi
dirinya sendiri, tanpa takut tekanan dan intimidasi dari orang lain.

Jika dibandingkan dengan teori dalam agama Buddha poin


pertama dan kedua adalah menyangkut moral atau sīla. Karena
batinnya mapan, moralnya pun baik. Itulah sebabnya, Sang Buddha
mengatakan bahwa mereka yang telah mencapai kesucian tidak
akan melanggar nilai-nilai moral yang telah disepakati. Hilangnya
ketertarikan pada gossip adalah implementasi dari sīla keempat.
Sementara, hilangnya ketertarikan pada perilaku destruktif dapat
dipahami sebagai implementasi dari semua sīla.

Poin ketiga adalah semangat kerja. Ini dapat dibandingkan


dengan istilah viriya, ussaha, sammā-vāyama. Viriya adalah semangat,
ussaha adalah kerja keras, dan sammā-vāyama adalah usaha benar.
Semua ini akan tercapai dengan baik jika kondisi batin kondusif, tidak

18
tercengkeram oleh noda-noda batin.

Poin keempat dan kelima dapat dibangdingkan dengan mettā,


karuṇa dan mudita. Dengan memiliki mettā dan karuṇā, seseorang
akan mudah menyangi semua, memiliki keinginan untuk membantu
yang lain, terketuk batinnya melihat penderitaan orang lain. Dengan
demikian, dia tidak akan tinggal diam saat orang lain tertimpa bencana.
Mudita adalah perasaan senang melihat kesuksesan orang lain.
Turut berbahagia karena orang lain mampu mendapatkan apa yang
diharapkan. Hilangnya māna atau kesombongan juga akan menjadi
pemicu yang cukup kuat dalam mengimplementasikan kedua poin ini.

19
Lenyapnya Dhamma: 1. Perspektif Tipitaka

Banyak orang yang ribut, berdebat mengenai lenyapnya Dhamma,


ajaran Sang Buddha. Keributan dan perdebatan ini berlangsung
sudah lama dan memberikan implikasi negatif terhadap praktik.
Dapat dikatakan memberikan implikasi negatif karena masalah ini
telah menguras, membunuh semangat juang umat Buddha. Karena
beranggapan dan terus dihipnotis oleh opini bahwa Dhamma, ajaran
Sang Buddha telah lenyap, banyak umat Buddha atau mereka yang
mengaku beragama Buddha enggan untuk praktik dengan baik.

Dengan mempertimbangkan hal di atas, berikut ini akan saya


uraikan mengenai faktor-faktor lenyapnya Dhamma. Artikel ini akan
saya bagi menjadi tiga bagian: 1. Perspektif Tipitaka, 2. Perspektif
Post-Kanon, dan 3. Perspektif Kitab Komentar.

Sebelum menulis, perlu saya sebutkan bahwa artikel ini saya


adaptasikan dari “The Disappearance of True Dhamma (Saddhamma-
antaradhāna): Pāli Commentarial Interpretations” karya Prof. T.
Endo. Saya lebih senang mengadaptasikan artikel tersebut daripada
menerjemahkannya, dengan harapan agar bahasanya lebih mudah
dipahami oleh kebanyakan orang, selain saya pun memiliki kebebasan
untuk memberikan komentar, ulasan sesuai dengan kebutuhan saya.

Prof. T. Endo adalah seorang professor berkebangsaan Jepang.


Beliau meniti karier akademiknya di Sri Lanka. Lebih dikenal sebagai
professor Kitab Komentar Pali, dengan wawasan yang cukup luas
baik dari Tradisi Theravāda maupun Mahāyāna. Awalnya, beliau
menghabiskan waktunya di Universitas Kelaniya, namun belakangan
beliau mengabdi di Hong Kong University.

20
*****

Tujuan utama Sang Buddha membangun komunitas Buddhis,


terutama Saṅgha, adalah untuk memberikan contoh komunitas
masyarakat yang ideal. Meski tanpa bisa dipungkiri, ada perbedaan
dalam perilaku kehidupan sehari-hari, semua komunitas ini tunduk
pada satu aturan yang disebut Vinaya dan tunduk pada satu tujuan, yaitu
Nibbāna. Dengan adanya Vinaya dan tujuan yang sama diharapkan
seluruh anggota Saṅgha bisa hidup harmonis, tidak saling iri, apalagi
menyerobot untuk mencari popularitas.

Pada awalnya idealisme yang ditanamkan oleh Sang Buddha


terpenuhi secara sempurna. Semua anggota Saṅgha hidup dalam satu
Vinaya dan satu tujuan. Namun, dengan berlalunya waktu, anggota
Saṅgha semakin bertambah, dan mereka pun sudah tidak lagi hidup
dalam satu tujuan. Banyak di antaranya menjadi anggota Saṅgha
dengan tujuan untuk mendapatkan kenyamanan dan kemudahan dalam
hidup. Dengan kata lain, mereka bisa makan dan tidur sepuasnya,
tanpa perlu bekerja keras untuk menghidupi diri.

Karena adanya perbedaan tujuan, mau tidak mau popularitas


menjadi prioritas utama. Tujuannya adalah agar bisa mendapatkan
sokongan terbaik dari para pengikut perumah tangga. Gesekan
antara individu dengan individu yang lain terjadi. Dampaknya,
terjadilah pengelompokan para bhikkhu dalam skala yang lebih
besar. Menganggap supremasi kelompok lebih tinggi pun tidak dapat
dihindari. Puncak fenomena semacam ini dapat dilihat dalam Vinaya
Piṭaka.

Dalam Vinaya Piṭaka terdapat dua kejadian menyangkut


perpecahan. Pertama terjadi di Kosambi. Kejadian ini melibatkan
21
kelompok Vinayadhara dan Dhammadhara. Mereka beradu argument
antara satu dengan yang lainnya. Selakipun Sang Buddha telah berusaha
untuk mengintervensi, mereka tetap saja bersikeras mempertahankan
pendapat mereka pribadi. Dampaknya, Sang Buddha meninggalkan
mereka.

Selain kasus tersebut, perpecahan yang dimotori oleh Y.M.


Devadatta adalah yang paling terkenal di kalangan umat Buddha.
Dalam hal ini, Y.M. Devadatta bermusuhan secara langsung dengan
Sang Buddha. Dampaknya, semua bhikkhu yang tidak suka pada
Sang Buddha dan juga bhikhu-bhikkhu yang dekat pada Sang Buddha
berpihak pada Y.M. Devadatta.

Dari dua kasus di atas, sudah jelas terlihat bahwa Saṅgha yang
menganut untuk menjalankan Dhamma dan Vinaya bukan berarti hidup
tanpa ancaman. Mereka hidup dengan ancaman yang jelas. Dengan
adanya ancaman-ancaman semacam itu, dirumuskanlah sebab-sebab
musnahnya ajaran kebenaran (Dhamma). Selain itu, juga disebutkan
tanda-tandanya.

Dalam Ciraṭṭhiti Sutta dan Parihāna Sutta, yang keduanya berada


dalam Satipaṭṭhāna Saṃyutta, mencatat percapakan antara Y.M.
Ānanda dan Y.M. Bhadda. Dalam kesempatan tersebut, Y.M. Bhadda
bertanya kepada Y.M. Ānanda apakah sebab dan alasan Dhamma
sejati tidak bertahan lama atau bertahan lama setelah Sang Buddha
parinibbāna.

Y.M. Ānanda tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut,


tetapi memuji Y.M. Bhadda karena telah menanyakan hal itu. Dalam
pandangan Y.M. Ānanda pertanyaan tersebut adalah pertanyaan
yang cerdas dan bermutu, Y.M. Bhadda juga adalah orang yang

22
berintelegensi tinggi karena mampu mengajukan pertanyaan semacam
itu.

Y.M. Ānanda menjelaskan bahwa Dhamma sejati tidak


akan bertahan lama karena empat landasan perhatian benar tidak
dikembangkan dan tidak dipraktikkan. Sebaliknya, Dhamma sejati
akan bertahan lama jika empat landasan perhatian benar tersebut
dikembangkan dan dipraktikkan dengan baik. Empat landasan perhatian
benar tersebut adalah perhatian terhadap jasmani (kāyānupassanā),
perhatian terhadap perasaan (vedanānupassanā), perhatian terhadap
pikiran (cittānupassanā) dan perhatian terhadap fenomena batin dan
jasmani (dhammānupassanā).

Dalam kedua sutta ini, sangat jelas bahwa Y.M. Ānanda


menekankan pentingnya praktik sebagai alasan dan sebab
Dhamma sejati akan bertahan lama atau sebaliknya. Karena yang
ditekankan adalah praktik, berarti praktik itu sendiri yang sanggup
mempertahankan kelangsungan Dhamma sejati atau sebaliknya
menghancurkan Dhamma sejati. Dengan kata lain, jika Dhamma sejati
terus dipraktikkan, sepanjang itu pula Dhamma sejati akan bertahan,
namun jika tidak dipraktikkan Dhamma sejati tidak akan bertahan.

Alasan yang diungkapkan oleh Y.M. Ānanda sebenarnya sangat


rasional. Ketika masih ada orang yang mempraktikkan, berarti masih
ada yang berminat untuk mempelajari Dhamma sejati. Adanya praktik
membuat Dhamma sejati tidak hanya bertahan di level intelektual
semata tetapi berakar hingga ke dalam setiap sendi-sendi kehidupan
manusia.

Jika Dhamma sejati hanya dijadikan bahan perdebatan, Dhamma


sejati tertanam tidak kokoh karena setiap kemampuan intelektual
23
akan bisa dipatahkan dengan alasan yang lebih rasional. Tetapi, ketika
Dhamma sejati telah menjadi bagian dalam praktik, Dhamma sejati
tidak mungkin dipatahkan dengan alasan apapun karena Dhamma
sejati tersebut telah dibuktikan melalui pengalaman langsung.

Apa yang diutarakan oleh Y.M. Ānanda mengingatkan saya pada


kata-kata guru saya, ‘Agama Buddha berakar kuat kalau meditasi
dipraktikkan’. Apa yang diungkapkan oleh Y.M. Ānanda adalah
pentingnya praktik meditasi, sehingga seluruh ajaran akan berakar
dengan kuat dalam setiap lini kehidupan masyarakat. Tanpa meditasi,
agama Buddha akan hanya bertahan di permukaan sehingga akan
mudah rapuh diterjang oleh gangguan dari luar.

Di dalam Ekanipāta,Aṅguttara Nikāya, Sang Buddha menyebutkan


banyak faktor yang menyebabkan lenyap atau bertahannya ajaran yang
benar. Di antara faktor-faktor yang menyebabkan lenyapnya ajaran
yang benar adalah kelengahan (pamāda), kemalasan (kosajja), banyak
keinginan (mahicchatā), ketidakpuasan (asantuṭṭhitā), perhatian
yang tidak benar (ayonisomanasikāra), pemahaman yang salah
(asampajañña), berteman dengan orang-orang yang tidak bermoral
(pāpamittatā), mengembangkan faktor-faktor yang tidak baik dan
tidak berusaha untuk mengembangkan hal-hal yang positif (anuyogo
akusalānaṃ dhammānaṃ, ananuyogo kusalānaṃ dhammānaṃ).

Selain yang disebutkan di atas, masih adalah lagi faktor lain yang
bisa menyebabkan lenyapnya ajaran kebenaran. Hal-hal yang bisa
menjadi kondisi bagi lenyapnya ajaran kebenaran adalah menjelaskan
non-dhamma sebagai dhamma, dan menjelaskan non-vinaya sebagai
vinaya. Vinaya dalam hal ini adalah aturan moral yang mampu
membantu untuk menghancurkan atau minimal mengendalikan
kotoran batin.
24
Dalam penjelasan-Nya, Sang Buddha mengatakan bahwa
menjelaskan non-dhamma sebagai dhamma dan non-vinaya sebagai
vinaya, akan bisa menyebabkan penderitaan bagi banyak orang,
kehancuran masyarakat, keruntuhan para deva dan manusia. Apa
yang dimaksudkan oleh Sang Buddha adalah ketika masyarakat
mendapatkan penjelasan non-dhamma sebagai dhamma, non-vinaya
sebagai vinya, mau tidak mau masyarakat harus mempraktikkan apa
yang bukan dhamma dan apa yang bukan vinaya. Dengan demikian,
bukan kebahagiaan yang didapatkan, tetapi penderitaan. Bukan
perkembangan tetapi kehancuran. Bukan kemajuan tetapi kemunduran.

Jika mengharapkan ajaran kebenaran bertahan lama, apa yang


perlu dilakukan adalah mempraktikkan apa menjadi antonim dari
hal-hal di atas. Dengan mempraktikkan hal-hal yang berseberangan
dengan yang telah disebutkan di atas, kebahagiaanlah yang akan
dirasakan, bukan penderitaan. Kemajuanlah yang didapatkan, bukan
kemunduran. Perkembanganlah yang dinikmati dan bukan kehancuran.

Sebagaimana telah disinggung di atas, ketika non-dhamma


dianggap sebagai dhamma, dampaknya sangat fatal. Hal ini pun dibahas
dalam Saddhammappatirūpaka Sutta, Saṃyutta Nikāya. Suatu ketika
Y.M. Māha Kassapa bertanya kepada Sang Buddha, mengapa pada
awalnya hanya sedikit aturan tetapi banyak bhikkhu yang mencapai
kesucian. Sedangkan saat, itu banyak aturan tetapi semakin sedikit
yang mencapai kesucian.

Mendengar pertanyaan tersebut, Sang Buddha mengatakan


bahwa ketika kualitas manusia semakin menurun, ajaran kebenaran
mulai lenyap, akan banyak aturan yang ditetapkan tetapi semakin
sedikit yang mencapai kesucian. Lebih lanjut, dikatakan bahwa ajaran
kebenaran tidak akan lenyap sepanjang dhamma yang palsu tidak
25
muncul. Namun, ketika dhamma yang palsu telah muncul, dhamma
yang benar akan lenyap. Dengan jelas, Sang Buddha mengatakan
bahwa yang menyebabkan ajaran kebenaran lenyap, bukan fenomena
alam seperti unsur api, tanah, air, dan udara tetapi perilaku manusia
yang tidak bertanggung jawab.

Sang Buddha pun menyebutkan bahwa ada lima alasan perilaku


manusia yang dapat menyebabkan lunturnya ajaran kebenaran. Lima
perilaku tersebut adalah tidak adanya rasa hormat dan sikap acuh tak
acuh kepada Sang Buddha, Dhamma, Saṅgha, latihan (sikha) dan
meditasi (samādhi). Sedangkan yang dapat memperpanjang usia ajaran
kebenaran adalah sikap hormat dan peduli kepada Buddha, Dhamma,
Saṅgha, latihan dan meditasi.

Dalam konteks ini, jelaslah bahwa Sang Buddha pun melihat


perilaku manusia sebagai penyebab lenyapnya dhamma. Perilaku
manusia pula yang menyebabkan dhamma ajaran Sang Buddha
bertahan lama. Kelima perilaku tersebut adalah implementasi praktik
yang sesungguhnya. Jika implementasi praktik yang sesungguhnya
diabaikan, tentu dhamma akan mengalami kehancuran sedikit demi
sedikik. Sedangkan, jika implementasi praktik yang sesungguhnya
dilakukan dengan sebaik-baiknya, dhamma akan tetap terus bertahan,
dan terus dinikmati dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Yang sering dijasikan tolok ukur lenyapnya ajaran kebenaran


adalah pernyataan Sang Buddha, tepat saat setelah Saṅgha bhikkhunī
didirikan. Agar tidak menimbulkan keraguan, berikut ini adalah
kutipan lengkap pernyataan Sang Buddha:

“Jika, Ānanda, para wanita tidak ditahbiskan di dalam Dhamma


dan Vinaya yang diproklamirkan oleh Sang Tathāgata, kehidupan

26
spiritual akan bertahan dalam durasi yang lama. Dhamma ajaran
kebenaran akan berdiri koko selama seribu tahun. Namun, Ānanda,
karena para wanita telah ditahbiskan dalam Dhamma dan Vinaya yang
diproklamirkan oleh Sang Tathāgata, sekarang kehidupan spiritual
tidak akan bertahan dalam durasi yang lama; ajaran kebenaran hanya
akan bertahan selama lima ratus tahun.

“Seperti halnya, Ānanda, para pencuri akan mudah menyusup


ke dalam rumah yang memiliki banyak wanita dan sedikit lelaki,
demikian juga di manapun Dhamma dan Vinaya para wanita menerima
penahbisan, kehidupan spiritual tersebut tidak akan bertahan lama.

“Seperti halnya, Ānanda, ketika hamparan padi gunung telah


masak, jika hama wereng menyerang padi, hamparan padi gunung
tersebut tidak akan bertahan lama, demikian juga di manapun Dhamma
dan Vinyada para wanita ditahbiskan, kehidupan spiritual tersebut
tidak akan bertahan lama.

“Seperti halnya, Ānanda, ketika hamparan tebu telah siap


dipanen, jika penggerek batang menyerang hamparan tebu, hamparan
tebu tersebut tidak akan bertahan lama, demikian juga di manapun
Dhamma dan Vinaya para wanita ditahbiskan, kehidupan spiritual
tersebut tidak akan bertahan lama.

“Seperti halnya, Ānanda, seseorang membangun tanggul di


sekitar bendungan besar sebagai tindakan pencegahan agar air tidak
akan meluap, demikian juga sebagai sebuah pencegahan Saya telah
menetapkan bagi para bhikkhunī delapan aturan kehormatan sebagai
aturan yang untuk tidak dilanggar selama hidup.”

Kutipan tersebut telah muncul dalam Culavagga, Vinaya


Pitaka, dan Aṭṭhakanipāta dalam Aṅguttara Nikāya. Banyak orang
27
yang sembrono dalam memahami kutipan ini; juga gegabah dalam
menafsirkannya. Karena memahami secara sembrono dan menafsirkan
dengan gegabah, banyak yang beranggapan bahwa Dhamma yang
murni telah lenyap. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dengan
seksama.

Pertama, banyak yang memahami bahwa Dhamma yang murni


hanya akan bertahan selama lima ratus tahun karena para wanita
diterima untuk menjadi anggota Saṅgha. Jika dikalkulasikan, dengan
demikian, Dhamma yang murni hanya bertahan hingga, jika dihitung
secara longgar, abad kesatu Masehi. Apa yang ada setelah itu berarti
Dhamma yang tidak murni.

Kalau melihat refensi-refensi yang telah disebutkan di atas,


jika Dhamma yang murni lenyap, yang adalah Dhamma yang tidak
murni alias Dhamma yang palsu. Jika Dhamma yang ada setelah abad
kesatu Masehi adalah Dhamma yang tidak murni alias Dhamma yang
palsu, berarti semua bhikkhu, bhikkhunī, upāsaka dan upāsika sejak
abad kesatu Masehi hingga sekarang adalah umat Buddha yang palsu
dan bukan umat Buddha yang sebenarnya. Alasannya, semuanya
mempraktikkan Dhamma yang tidak murni alias Dhamma yang palsu.

Semua bentuk praktik, praktik dāna, sīla, samādhi dan paññā,


adalah praktik yang palsu karena yang tersisa adalah Dhamma yang
palsu, bukan Dhamma yang murni lagi. Semua bentuk pemahaman
tentang aniccā, dukkha dan anattā adalah pemahaman yang palsu
karena yang ada adalah Dhamma yang palsu, dan bukan Dhamma yang
murni. Lalu, apa gunanya umat Buddha bersusah payah untuk praktik?
Apa gunanya umat Buddha bersusah payah untuk mempelajari dan
memahami Dhamma jika semua itu adalah kepalsuan?

28
Jika mengetahui bahwa Dhamma yang ada adalah Dhamma
yang tidak murni, Dhamma yang palsu, dan umat Buddha masih
mempelajarinya, berarti umat Buddha adalah umat yang munafik;
bukan umat Buddha yang jujur, tetapi umat Buddha yang selalu
berdusta.

Kedua, kebanyakan orang hanya membaca kutipan di atas


sepenggal saja dan tidak dibaca sampai selesai. Ketika dibaca hanya
sepenggal saja, apa yang didapat hanyalah pemahaman bahwa
Dhamma yang murni hanya akan bertahan hingga lima ratus tahun.
Selebihnya yang ada adalah Dhamma yang tidak murni; Dhamma
yang palsu.

Pernyataan Sang Buddha harus dibaca hingga akhir, dan bukan


hanya sepenggal saja. Ini adalah kalimat penutupnya:

“Seperti halnya, Ānanda, seseorang membangun tanggul di


sekitar bendungan besar sebagai tindakan pencegahan agar air tidak
akan meluap, demikian juga sebagai sebuah pencegahan Saya telah
menetapkan bagi para bhikkhunī delapan aturan kehormatan sebagai
aturan yang untuk tidak dilanggar selama hidup.”

Dengan jelas bahwa delapan aturan kehormatan tersebut


ditetapkan sebagai pencegahan. Pencegahan untuk apa? Pencegahan
agar Dhamma yang murni tidak lenyap dengan cepat tetapi mampu
bertahan dalam waktu yang lama. Hal ini pula yang dijelaskan dalam
Kitab Komentar. Dalam Kitab Komentar dikatakan bahwa aturan
tersebut ditetapkan sebagai sarana pencegahan agar tidak terjadi
pelanggaran yang mampu menyebabkan Dhamma yang murni lenyap.

Dikatakan lebih lanjut bahwa karena adanya delapan aturan


kehormatan ini Dhamma yang murni akan bertahan lama sebagaimana
29
yang disebutkan oleh Sang Buddha, yaitu seribu tahun. Itu pun dalam
kaitannya dengan pencapaian arahat yang memiliki enam abhiññā.
Selebihnya, seribu tahun kemudian masih akan ada arahat dengan
tanpa memiliki lima jenis abhiññā dan hanya mampu melenyapkan
kotoran batinnya sepenuhnya.

Seribu tahun selanjutnya hanya akan ada anāgāmī, seribu tahun


selanjutnya hanya akan ada sakadāgāmī dan seribu tahun selanjutnya
hanya ada sotāpanna. Dengan demikian, Kitab Komentar berasumsi
bahwa Dhamma akan bertahan selama lima ribu tahun. Oleh sebab
itu, kalau memang kita menjadikan Kitab Komentar sebagi rujukan,
berarti kita berada di tahun tahap ketiga atau tahun anāgāmī.

Lalu, bagaimanakah tanda-tanda Dhamma yang murni telah


lenyap? Hal ini dijelaskan secara terperinci dalam Theragāthā. Ketika
ditanya oleh petapa Paṇḍarasagotta, Y.M. Phussa menjelaskan bahwa
di masa yang akan datang banyak orang yang menjadi marah, penuh
kebencian, hipokritis, bermuka dua, mudah iri dan hidup dengan
ajaran yang berbeda dari apa yang telah diajarkan oleh Sang Buddha.

Dengan ajaran tersebut, mereka merasa memiliki kemampuan


yang mendalam tentang ajaran agama Buddha, padahal hanya di
permukaan saja. Apa yang dilakukan adalah mengejar ketenaran,
tidak terlatih dalam moralitas sehingga dengan mudah melakukan
pelanggaran. Ironisnya, mereka yang memiliki ketenaran dan
popularitas adalah orang yang dipuja. Sementara orang yang praktik
dengan benar, disingkirkan karena mereka tampak lemah dan tidak
memiliki kekuasaan apapun.

Itulah fakta-fakta yang ada dalam Tipitaka mengenai faktor-


faktor yang membuat Dhamma yang murni lenyap dan bagaimana

30
tanda-tandanya. Dari semua fakta yang ada dapat disimpulkan bahwa
lenyapnya Dhamma disebabkan oleh karena tidak adanya rasa hormat
pada Tiratana, praktik dan meditasi. Jika Dhamma yang murni
dikatakan hanya bertahan selama lima ratus tahun karena diterimanya
wanita menjadi anggota Saṅgha, alasan tersebut telah ditepis oleh
Sang Buddha dengan menetapkan delapan aturan kehormatan. Dengan
adanya aturan tersebut, Dhamma yang murni dapat bertahan lebih
lama.

Dengan adanya fakta di atas, sebenarnya, Dhamma yang murni


akan bertahan jika kita praktik, memiliki perilaku sesuai dengan
ajaran Sang Buddha. Jika tidak praktik, tidak menjalankan ajaran
Sang Buddha dengan baik, di situlah sebenarnya Dhamma yang murni
itu lenyap. Dengan kata lain, Dhamma yang murni akan lenyap atau
bertahan tergantung dari pola pikir yang kita anut dan juga perilaku
kita sesuai dengan praktik yang diajarkan oleh Sang Buddha atau
tidak.

Inilah pandangan yang ada dalam Tipitaka mengenai lenyapnya


Dhamma yang murni. Tulisan ini akan dilanjutkan dengan pandangan
yang ada dalam Literatur Post-Kanon dan Kitab Komentar. Semoga
tulisan ini bisa memberikan pandangan yang jelas bahwa Dhamma
yang murni tidak lenyap, tetapi tetap terus masih ada bersamaan dengan
praktik yang dijalani. Jika Dhamma yang murni telah lenyap, berarti
kita semua adalah umat Buddha yang palsu karena kita menjalankan
dan mempraktikkan ajaran yang tidak murni atau palsu.

31
Lenyapnya Dhamma: 2. Perspektif Post-
Kanon

Dalam dunia akademik, Tipitaka akan dianggap sebagai referensi


utama. Dalam tataran selanjutnya, ada buku yang disebut sebagai post-
canonical literature atau literatur pasca Kanon. Artinya, literatur ini
ditulis atau dikarang setelah adanya Tipitaka. Tipitaka akan dianggap
dibuat tepat saat Sang Buddha masih hidup dan beberapa tahun
setelahnya. Literatur pasca Kanon dikarang umumnya setelah konsili
ketiga.

Ada tiga literatur yang dikategorikan sebagai post-canonical


literature. Ketiganya adalah Nettippakaraṇa, Peṭakopadesa dan
Milindapañha. Meski secara internasional ketiga buku ini diakui
sebagai literatur pasca Tipitaka, dalam tradisi Burma, ketiga buku ini
diakui sebagai bagian dari Tipitaka dan dimasukkan dalam Khuddaka
Nikāya. Oleh karena itu, dalam tradisi Burma, Khuddaka Nikāya
tidak hanya berjumlah 15 buku, sebagaimana yang kita kenal, tetapi
berjumlah 18 buku.

Buku yang membahas tentang lenyapnya Dhamma yang benar


adalah Milindapañha. Milindapañha berisi perdebatan antara raja
Milinda dan Y.M. Nāgasena. Buku ini diperkirakan ditulis pada abad
pertama Masehi meski masih ada perdebatan mengenai persisnya
waktu penulisan buku ini.

Pembahasan tentang lenyapnya Dhamma yang murni muncul di


Bab IV, dalam sesi yang berjudul Saddhammantaradhānapañho atau
Pertanyaan tentang Lenyapnya Dhamma yang Murni. Dalam edisi

32
PTS, perdebatan ini berada di halaman 130-134.

Pertanyaan mengenai lenyapnya Dhamma yang murni diajukan


oleh raja Milinda karena dia menemukan adanya kontradiksi dalam
pernyataan Sang Buddha. Di satu sisi, Sang Buddha mengatakan
kepada Y.M. Ānanda bahwa Dhamma yang murni akan bertahan
hanya selama lima ratus tahun. Sedangkan di sisi lain tepat saat
menjelang parinibbāna, Sang Buddha mengatakan kepada Subhadda
bahwa selama para bhikkhu praktik dengan baik, selama itu pula
dunia ini tidak akan kekurangan orang yang mencapai kesucian.
Milinda melihat kedua pertanyaan tersebut kontradiktif sehingga jika
pernyataan pertama benar, berarti pernyataan yang kedua salah. Jika
pernyataan kedua benar, berarti pernyataan pertama salah.

Sebagai seorang yang terpelajar dan ahli debat, tentu raja


Milinda tidak berusaha untuk memahami sepenuhnya ucapan Sang
Buddha. Tujuan dia adalah mengalahkan lawan dengan kalimat yang
kontradiktif. Karena itu, raja Milinda memenggal kalimat tersebut
bahwa ajaran Sang Buddha hanya akan bertahan selama lima ratus
tahun.

Y.M. Nāgasena juga seorang bhikkhu yang terpelajar. Beliau tentu


tidak sembrono dalam menjawab. Terlebih lagi, jika kalimat tersebut
dipahami sebagaimana yang dipahami oleh raja Milinda, berarti saat
itu Dhamma sudah berada diujung kehancuran. Masalahnya, Dhamma
telah berlangsung selama kurang lebih lima ratus tahun. Tentu, hal ini
dapat dipandang sebagai pertanyaan yang dapat menyudutkan Y.M.
Nāgasena.

Y.M. Nāgasena menjawab dengan mengutip kembali kedua


pernyataan tersebut. Lalu mengatakan bahwa keduanya memiliki
33
denotasi dan konotasi yang berbeda. Yang satu mengacu pada praktik
dan yang satu mengacu pada batasan waktu kelangsungan Dhamma
yang murni. Y.M. Nāgasena dengan tegas mengatakan kedua sangat
jauh berbeda, ibarat langit dan bumi, surga dan neraka, kebahagiaan
dan penderitaan. Karena itu, keduanya tidak bisa dipahami dengan
menggunakan satu metode. Namun, karena raja Milinda telah
mengajukan pertanyaan tersebut, Y.M. Nāgasena lalu menggunakan
perumpamaan bendungan.

Seperti bendungan yang penuh dengan air, dan hujan deras terus
turun, air pun terus mengalir. Air bendungan tersebut tidak akan kering
karena terisi terus oleh curahan hujan. Demikian juga, jika putra-putra
Sang Buddha terus menghujani dunia ini dengan perilaku moralitas
yang baik, praktik yang benar, bendungan Dhamma tidak akan pernah
kering, bendungan Dhamma akan bertahan lama.

Dalam penjelasannya, Y.M. Nāgasena menggunakan berbagai


perumpamaan untuk menunjukkan bahwa Dhamma yang murni
masih bisa bertahan sepanjang masih ada praktik. Dikatakan bahwa
terpatri pada praktik, dalam praktiklah esensi ajaran Sang Buddha.
Sepanjang masih ada praktik sepanjang itu pula Dhamma yang
murni masih bertahan (paṭipattimūlakaṃ, mahārāja, satthusāsanaṃ
paṭipattikāraṇaṃ paṭipattiyā anantarahitāya tiṭṭhatī).

Di bagian terakhir dalam perdebatan ini, raja Milinda bertanya


bagaimana pemahaman Y.M. Nāgasena mengenai lenyapnya
Dhamma yang murni. Menanggapi pertanyaan tersebut, Y.M.
Nāgasena menjelaskan bahwa ada tiga jenis lenyapnya Dhamma
yang murni. Yang pertama adalah lenyapnya perealisasian spiritual
(adhigamantaradhāna) Ketika perealisasian spiritual telah lenyap,
tidak ada pemahaman terhadap Dhamma dengan benar meski ada
34
orang-orang yang menjalani kehidupan spiritual dengan baik. Yang
kedua, lenyapnya praktik (paṭipattantaradhāna). Ketika praktik telah
lenyap, tidak ada pelaksanaan moralitas dengan baik, yang ada hanya
tanda-tanda luar saja. Yang ketiga adalah lenyapnya tanda-tanda luar
(liṅgantaradhāna). Ketika tanda-tanda luar lenyap, semua tradisi akan
hilang pula.

Jika dilihat dengan seksama, tiga jenis klasifikasi lenyapnya


Dhamma yang murni tidak ditemukan dalam Tipitaka. Tiga jenis
klasifikasi tersebut baru muncul untuk pertama kalinya dalam
Milindapañha. Dengan demikian, Milindapañha telah melangkah
selangkah lebih maju dalam memberikan penafsiran terhadap
lenyapnya Dhamma yang murni. Prof. Endo berpendapat bahwa
munculnya tiga jenis klasifikasi baru ini telah menjadi jembatan untuk
memberikan interpretasi lebih lanjut dalam Kitab Komentar.

35
Lenyapnya Dhamma: 3. Perspektif Kitab
Komentar

Kitab Komentar disebut juga Aṭṭhakathā dalam Bahasa Pali.


Tujuan Kitab Komentar adalah untuk menjelaskan istilah-istilah
yang sulit dalam Tipitaka. Selain itu, juga memberikan penjelasan
secara historis tentang suatu kejadian, suatu sutta, atau figur tertentu.
Awalnya, ada 19 Aṭṭhakathā dalam bahasa Sinhala, namun Aṭṭhakathā
tersebut dirangkum dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Pali oleh
Y.M. Buddhaghosa sebagai tugas dari gurunya karena di India sudah
tidak ada Aṭṭhakathā dalam bahasa Pali.

Dalam dunia akademis, Aṭṭhakathā akan dianggap sebagai


referensi ketiga atau urutannya adalah Tipitaka, literatur post-Kanon
dan baru Aṭṭhakathā. Ditempatkan di urutan ketiga karena secara
historis, Aṭṭhakathā yang ada sekarang ini diselesaikan setelah literatur
post-Kanon atau diselesaikan tepatnya pada abad kelima Masehi.

Dalam Kitab Komentar ada beberapa istilah yang dipergunakan


untuk mengacu pada lenyapnya Dhamma yang murni. Yang pertama
adalah sāsanantaradhāna. Istilah ini muncul dalam berbagai kitab
komentar seperti Kitab Komentar:

1. Vinaya Pitaka (I, 87, 171; V, 1051)

2. Dīgha Nikāya (I, 229)

3. Majjhima Nikāya (I, 130)

4. Saṃyutta Nikāya (I, 136)

36
5. Aṅguttara Nikāya (II, 106)

6. Suttanipāta (I, 156)

7. Udāna (287).

Yang kedua adalah Dhammantaradhāna. Istilah ini muncul dalam


Kitab Komentar Saṃyutta Nikāya (III, 228). Sementara itu, istilah
saddhammaṭṭhitiya dipergunakan untuk merujuk pada kelangsungan
Dhamma yang murni. Istilah ini muncul dalam beberapa kesempatan.
Di antaranya adalah Kitab Komentar Vinaya Pitaka (I, 225), dan
Aṅguttara Nikāya (II, 164; V, 33).

Ketiga istilah tersebut umumnya dipergunakan sebagai


bagian dari penjelasan tentang munculnya Dhamma yang palsu
(saddhammapaṭirūpaka). Dalam Sāratappakāsinī atau Kitab
Komentar Saṃyutta Nikāya, istilah saddhammapaṭirūpaka dimaknai
dalam dua arti. Yang pertama berkenaan dengan pencapaian
(adhigamasaddhammappatirūpaka). Munculnya berbagai kotoran
batin yang mampu menghalangi pencapaian tentang pemahaman yang
sebernarnya terhadap fenomena disebut sebagai Dhamma palsu yang
berkaitan dengan pencapaian (idaṃ vipassanāñāṇassa upakkilesajātaṃ
adhigamasaddhammappatirūpakaṃ nāma).

Yang kedua berkaitan dengan Kitab Suci palsu (pariyattisaddha


mmappatirūpaka). Lenyapnya Kitab Suci yang asli disebabkan oleh
munculnya Kitab Suci yang palsu. Sāratappakāsinī menyebutkan ada
beberapa kitab yang dianggap sebagai kitab palsu. Di antaranya adalah
Guḷhavessantara, Vaṇṇapiṭaka, Aṅgulimālapiṭaka, Raṭṭhapālagajjita,
Āḷavakagajjita, Vetullapiṭaka dan sebagainya. Semua itu dianggap
sebagai Kitab Suci yang palsu dan bukan merupakan ajaran Sang
Buddha (abuddhavacanaṃ pariyattisaddhammappatirūpakaṃ nāma).
37
Lebih lanjut dikatakan, dengan munculnya dua Dhamma yang
palsu (saddhammapaṭirūpaka), Dhamma yang benar akan lenyap
secara bertahap. Menurut Sāratappakāsinī, ada tiga jenis lenyapnya
Dhamma yang benar (saddhammantaradhāna). Ketiganya adalah
pencapaian (adhigama), praktik (paṭipatti) dan Kitab Suci (pariyatti).

Sumaṅgalāsini, Kitab Komentar Dīgha Nikāya (III, 898),


Papañcasūdanī, Kitab Komentar Majjhima Nikāya (IV, 115),
dan Sammohavinodani, Kitab Komentar Vibhaṅga (131), juga
menyebutkan tiga jenis Dhamma murni yang akan lenyap. Hanya
saja, ada sedikit perbedaan istilah. Ketiga istilah yang dipergunakan
adalah lenyapnya Kitab Suci, perealisasian dan praktik (Tīṇi
antaradhānāni nāma pariyattiantaradhānaṃ, paṭivedhaantaradhānaṃ,
paṭipattiantaradhānanti). Ketiga istilah tersebut dijelas sebagai berikut:
apa yang dimaksud sebagai Kitab Suci adalah Tipiṭaka; perealiasasian
berarti pemahaman terhadap Kebenaran; praktik berarti Jalan (Tattha
pariyattīti tīṇi piṭakāni. Paṭivedhoti saccappaṭivedho. Paṭipattīti
paṭipadā).

Dalam pandangan Kitab Komentar, baik paṭivedha maupun


paṭipatti terkadang ada dan terkadang tidak ada (Tattha paṭivedho
ca paṭipatti ca hotipi na hotipi). Dicontohkan, pada suatu ketika,
ada banyak bhikkhu yang telah merealisasi kebenaran. Sedangkan,
bhikkhu yang tidak merealisasi kebenaran jumlahnya dapat dihitung
dengan jari. Bahkan, pada suatu masa, di Sri Lanka tidak ada satu
pun bhikkhu yang masih belum merealisasi kebenaran. Artinya, pada
masa tersebut, semua bhikkhu yang ada mencapai kesucian. Karena
itu, para bhikkhu yang benar-benar praktik kadang jumlahnya banyak
dan terkadang sedikit.

Sesuai yang ditekankan dalam Kitab Komentar, menguasai


38
Tipiṭaka sangat penting artinya bagi kelangsungan Dhamma yang
murni (sāsanaṭṭhitiyā pana pariyatti pamāṇaṃ). Prinsip yang dipegang
adalah saat orang yang bijaksana mendengarkan apa yang terdapat
dalam Tipiṭaka akan bisa memenuhi paṭivedha dan paṭipatti. Dalam
hal ini, dicontohkan ketika bodhisatta mendengarkan ajaran dari
Ālāra Kālāma dan Udaka Rāmaputta, bodhisatta bisa langsung
memahaminya, mempraktikkan dan merealisasinya. Oleh karena itu,
praktik dan perealisasian kebenaran akan tetap bisa terjadi jika Tipiṭaka
dipertahankan (tasmā pariyattiyā ṭhitāya sāsanaṃ ṭhitaṃ hoti).

Perkembangkan konsep lenyapnya Dhamma yang murni


tidak berhenti sampai di sini saja. Dari Kitab Komentar yang ada
dapat dilacak bahwa masih ada perkembangan yang lebih jauh jika
dibandingkan dengan perkembangan yang telah dijelaskan di atas.
Perkembangan semacam itu dapat dilihat dalam Manorathapuraṇī
atau Kitab Komentar Aṅguttara Nikāya. Di dalam Manorathapuraṇī
dijelaskan tidak hanya ada tiga fase lenyapnya Dhamma yang murni
tetapi ada lima. Kelima hal itu adalah sebagai berikut:

1. Adhigamaantaradhāna

2. paṭipattiantaradhāna

3. pariyattiantaradhāna

4. liṅgaantaradhāna

5. dhātuantaradhāna

Adhigamaantaradhāna adalah lenyapnya empat magga dan phala,


empat paṭisambhida, tevijja dan enam abhiññā. Dalam pandangan
Manorathapuraṇī, selama seribu tahun pertama setelah wafatnya
Sang Buddha masih banyak yang mampu untuk menguasai empat
39
paṭisambhida; setelah itu enam abhiññā, dan berakhir pada penguasaan
hanya tevijja saja. Pada tahap selanjutnya, tidak ada yang mampu
menguasai kemampuan tersebut, tetapi hanya mampu menguasai
lenyapnya kotoran batin secara total. Dalam Kitab Komentar hal ini
sebut sebagai sukhavipassakā. Dalam periode selanjutnya, hanya
ada masa tersebut akan berganti dengan masa munculnya anāgāmi,
sakadāgāmi, dan sotāpanna. Selama pencapaian tersebut masih ada,
selama itu pula Dhamma yang murni masih belum lenyap.

Paṭipattiantaradhāna ditandainya dengan ketidakmampuan


manusia untuk mencapai jhāna, vipassanā, magga dan phala. Apa
yang mampu dilakukan hanyalah menjalankan empat jenis kemurnian
moralitas saja (catupārisuddhisīlamattaṃ rakkhanti). Dengan
berlalunya waktu, aturan-aturan akan dilanggar, mulai dari peraturan
ringan hingga peraturan yang berat. Pada masa tersebut, hanya
empat pārājika yang tidak dilanggar. Kitab Komentar bersikukuh
bahwa selama masih ada serratus atau seribu bhikkhu yang mampu
mempertahankan untuk menjaga empat pārājika ini dengan baik,
selama itu pula praktik masih belum lenyap. Praktik akan dikatakan
lenyap jika para bhikkhu tidak lagi sanggup untuk menjaga empat
pārājika tersebut dengan baik (pacchimakassa pana bhikkhuno
sīlabhedena vā jīvitakkhayena vā antarahitā hoti).

Pariyattiantaradhāna adalah lenyapnya Tipiṭaka. Namun, Kitab


Komentar menambahkan bahwa tidaknya hanya Tipiṭaka saja yang
dimaksudkan, tetapi juga bersama Kitab Komentarnya (Pariyattīti
tepiṭakaṃ buddhavacanaṃ sāṭṭhakathā pāḷi). Selama keduanya masih
ada, pariyatti masih dikatakan lengkap. Oleh karena itu, yang patut
dipelajari dan dipertahankan tidak hanya Tipiṭaka saja tetapi Kitab
Komentarnya juga.

40
Meski sehebat apapun usaha untuk mempertahankan keduanya,
akan tiba masanya saat muncul raja, menteri dan masyarakat yang tidak
bermoral. Moralitas mereka yang buruk akan mempengaruhi kondisi
alam. Dipercaya bahwa moral yang buruk akan membawa dampak
yang buruk pada lingkungan. Hujan turun tidak pada waktunya, petani
gagal panen, sehingga mempengaruhi perilaku masyarakat, juga para
bhikkhu. Dengan kondisi semacam itu, setiap individu akan sibuk
untuk memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga mereka melupakan
untuk mempelajari Tipiṭka dan Kitab Komentarnya.

Pariyattiantaradhāna akan dimulai dengan kemampuan para


bhikkhu untuk menghafalkan isi Kitab Suci tetapi tidak memahami
artinya dengan benar. Lenyapnya Kitab Suci dimulai dari
Abhidhamma Piṭaka, yaitu Paṭṭhāna hingga Dhammasaṅgaṇi. Fase
ini dilanjutkan dengan lenyapnya Sutta Piṭaka, dimulai dari Aṅguttara
Nikāya hingga Dīgha Nikāya. Di fase terakhir, Vinaya Piṭaka akan
lenyap, dimulai dari Parivāra. Kondisi ini semakin parah karena para
bhikkhu hanya menjalankan sebagian uposatha. Ketika masih ada
yang mampu menghafalkan empat pasang syair ajaran Sang Buddha
(cātuppadikagāthā), selama itu pula pariyatti masih ada. Namun,
ketika sudah tidak ada yang mampu menghafalkan empat pasang syair
tersebut, pariyatti dianggap telah lenyap.

Liṅgaantaradhāna adalah lenyapnya atribut Buddhis, terutama


atribut para bhikkhu. Selama para bhikkhu masih menggunakan
bowl (patta) dan jubah untuk kelangsungan hidupnya, selama itu pula
atribut Saṅga belum lenyap. Namun, ketika para bhikkhu merasa
atribut-atribut tersebut sudah menjadi penghalang dalam hidup dan
membuangnya di hutan, lalu mengenakan pakaian putih-putih, di situ
atribut Saṅgha dikatakan telah lenyap.
41
Dhātuantaradhāna adalah lenyapnya relik Sang Buddha.
Dikatakan bahwa relik Sang Buddha akan berkumpul di bawah pohon
Bodhi di India dan membentuk seperti Sang Buddha sedang duduk
bermeditasi. Saat itulah relik tersebut akan melakukan keajaiban
ganda (yamakapāṭihāriya). Melihat hal itu, para deva berseru bahwa
Sang Buddha parinibbāna, sisi gelap kehidupan akan terwujud.

Dhātuantaradhāna adalah penambahan baru. Dalam fase-fase


sebelumnya, istilah ini tidak ditemukan. Untuk melengkapi penjelasan
dhātuantaradhāna, dijelaskan bahwa ada tiga jenis parinibbāna. Yang
pertama adalah kilesa-parinibbāna. Kilesa-parinibbāna terjadi tepat
saat Petapa Siddhartha mencapai penerangan sempurna di bawah
pohon Bodhi. Yang kedua adalah khandha-parinibbāna. Khandha-
parinibbāna terjadi ketika Sang Buddha wafat di Kusinārā. Yang
ketiga adalah dhāthu-parinibbāna. Dhātu-parinibbāna ini akan terjadi
di masa yang akan datang (dhātuparinibbānaṃ anāgate bhabissati).

Kitab Komentar tidak menyebutkan secara spesifik kapan


terjadinya dhātuparinibbāna. Kitab Komentar hanya menjelaskan
bahwa dhātuparinibbāna akan terjadi ketika Dhamma yang murni akan
lenyap. Dhātuparinibbāna akan dimulai dari berkumpulnya relik Sang
Buddha di Sri Lanka. Seluruh relik Sang Buddha akan berkumpul di
Māhacetiya, lalu menuju Cetiya Rājāyatana di Nāgadīpa. Setelah itu,
barulah akan menuju Māhabodhi. Di Māhabodhi itulah seluruh relik
Sang Buddha akan terbakar tanpa sisa. Dengan lenyapnya seluruh
relik Sang Buddha, lenyap pula seluruh ajaran Sang Buddha.

Dari kelima fase lenyapnya Dhamma yang murni, Kitab


Komentar berpendapat bahwa pariyattiantaradhāna adalah yang
paling menentukan. Tentu ada alasan kuat yang mendasarinya.
Alasannya, selama beberapa kali, Sri Lanka dilanda berbagai bencana,
42
baik bencana yang bersifat politik maupun bencana alam. Pada saat
bencana-bencana semacam itu terjadi, keberadaan ajaran Sang Buddha
terancan punah. Oleh karena itu, menyelamatkan ajaran Sang Buddha
dengan cara mempelajarinya menjadi sangat penting artinya.

Dalam Kitab Komentar juga telah dikutib perdebatan antara


paṃsukūlikatthera dan dhammakathikā. Paṃsukūlikattherā adalah
kelompok bhikkhu yang cederung untuk praktik atau lebih sering
disebut dhutaṅga. Sedangkan, dhammakathikā mengacu kepada para
bhikkhu yang lebih cenderung belajar dan menyebarkan dhamma
dengan cara ceramah. Mereka memperdebatkan mana yang lebih
penting pariyatti atau paṭipatti untuk mempertahankan kelangsungan
Dhamma.

Kedua kelompok tersebut mempertahankan pendapat mereka


dengan mengutip berbagai sumber dari Tipiṭaka. Pada akhirnya,
kelompok dhammakathikā memenangkan perdebatan. Kemenangan
perdebatan ini ditandai dengan kalimat “Jika tidak ada Kitab Suci,
pemahaman terhadap Kebenaran Mulia tidak memungkinkan
(pariyattiyā asati ariyamaggapaṭivedho nāma na hoti). Selama pariyatti
dipertahankan, selama itu pula ajaran Sang Buddha tidak dikatakan
lenyap (pariyattiyā asati ariyamaggapaṭivedho nāma na hoti).

Mengenai pernyataan Sang Buddha bahwa ajaran Sang Buddha


hanya akan bertahan selama lima ratus tahun, pernyataan ini tidak
dikomentari. Yang dikomentari justru pernyataan Sang Buddha
yang mengatakan bahwa ajaran Sang Buddha akan bertahan selama
seribu tahun. Sebagaimana telah disebutkan di atas, seribu tahun
tersebut mengacu pada pencapaian kesucian tertinggi dengan segenap
43
kemampuan batin lainnya seperti paṭisambhidā, enam abhiññā, tevijja.
Selepas masa itu, pencapaian kesucian dengan segenap kemampuan
batin tersebut tidak memungkinkan. Artinya, pencapaian kesucian
masih memungkinkan tetapi tidak disertai dengan pencapaian
kemampuan batin. Pencapaian kesucian pun akan menurun dari waktu
ke waktu. Dimulai dari pencapaian kearahatan saja, kemudian hanya
tersisa anāgāmi, sakadāgāmī dan sotāpanna.

Sekalipun sepakat untuk menyebutkan bahwa ajaran Sang


Buddha bisa bertahan selama lima ribu tahun, Kitab Komentar baik
Sutta Piṭaka maupun Abhidhamma Piṭaka tidak menjelaskan detail
kemunduran pencapaian tersebut. Detail pencapaian tersebut hanya
ditemukan dalam Vinaya Aṭṭhakathā. Dalam Kitab Komentar Vinaya
dikatakan bahwa seribu tahun pertama masih memungkinkan untuk
mencapai tingkat kesucian arahat dengan disertai kemampuan batin
pengetahuan analitis (Vassasahassanti cetaṃ paṭisambhidāpabhedapp
attakhīṇāsavavaseneva vuttaṃ).

Seribu tahun selanjutnya pencapaian kesucian arahat masih


memungkinkan tetapi tanpa disertai dengan kemampuan batin apapun
(Tato pana uttarimpi sukkhavipassakakhīṇāsavavasena vassasahassaṃ).
Setelah itu, seribu tahun selanjutnya, pencapaian kesucian arahat
tidak memungkinkan dan hanya pencapaian anāgāmi (anāgāmivasena
vassasahassaṃ). Setelah masa ini selesai, seribu tahun selanjutnya
hanya memungkinkan pencapaian sakadāgāmi (sakadāgāmivasena
vassasahassaṃ). Pencapaian ini akan diakhiri dengan pencapaian
sotāpanna pada seribu tahun selanjutnya (sotāpannavasena
vassasahassanti). Dengan demikian, kemampuan untuk merealisasi
kebenaran atau pencapaian kesucian berdurasi selama lima ribu tahun
(evaṃ pañcavassasahassāni paṭivedhasaddhammo ṭhassati).

44
Referensi semacam itu, tidak hanya ada dalam Aṭṭhakāthā Pali
tetapi juga ditemukan dalam sumber yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Klasik Chinese. Dalam sebuah buku yang berjudul Shan-
chien-lu-p’i-p’o-sha, dikatakan bahwa “Dalam seribu tahun pertama
ada orang-orang yang mencapai tingkat kesucian dengan disertai tiga
pengetahuan (tevijja). Seribu tahun selanjutnya, ada orang-orang yang
mampu mencapai tingkat kesucian arahat dengan melenyapkan seluruh
kotoran batinnya, tetapi tidak ada yang memiliki tevijja. Dalam seribu
tahun selanjutnya, orang-orang hanya akan mampu mencapai tingkat
kesucian anāgāmi. Dalam seribu tahun selanjutnya, orang-orang
hanya akan mampu mencapai tingkat kesucian sakadāgāmi. Dalam
seribu tahun selanjutnya, orang-orang hanya akan mampu mencapai
tingkat kesucian sotāpanna dalam berlatih Dhamma. Setelah periode
ini, masih akan ada masa lima ribu tahun lagi. Dalam periode lima ribu
tahun yang pertama masih ada orang-orang yang mampu merealisasi
Dhamma. Tetapi, dalam lima ribu tahun selanjutnya, hanya ada orang-
orang yang belajar dan tidak ada orang yang mampu merealisasi
Dhamma. Setelah periode sepuluh ribu tahun, Kitab Suci akan lenyap
sepenuhnya dan hanya ada orang-orang yang menggundul rambut
mereka dan mengenakan jubah kuning.”

Terlihat jelas bahwa, sumber yang ada dalam Chinese Tradition


memiliki pandangan yang sedikit berbeda. Bedanya, sumber tersebut
menambahkan lima ribu tahun lagi untuk bertahannya Dhamma.
Pandangan semacam ini bisa muncul karena adanya latar belakang
baik politik maupun sosial yang berbeda.

Tidak hanya di dalam Chinese Tradition yang menunjukkan


pandangan yang agak berbeda, dalam tradisi Kitab Komentar Pali
sekalipun tetapi ditemukan pandangan yang agak berbeda, meski
45
tetap konsisten mempertahankan bahwa agama Buddha hanya akan
bertahan selama lima ribu tahun. Pandangan yang berbeda semacam ini
ditemukan dalam Kitab Komentar Dīgha Nikāya dan Kitab Komentar
Theragāthā.

Dalam Kitab Komentar Dīgha Nikāya dikatakan bahwa


pencapaian kemampuan analitis akan bertahan selama seribu
tahun (Paṭisambhidāpattehi vassasahassaṃ aṭṭhāsi), pencapaian
enam kemampuan batin bertahan seribu tahun (Chaḷabhiññehi
vassasahassaṃ), pencapaian tiga jenis pengetahuan selama seribu tahun
(Tevijjehi vassasahassaṃ), pencapaian kearahatan tanpa kemampuan
batin apapun berlangsung selama seribu tahun (Sukkhavipassakehi
vassasahassaṃ), setelah itu akan ada pencapaian hanya kemampuan
untuk melaksanakan paṭimokha saja dan ini pun berlangsung selama
seribu tahun (Pātimokkhehi vassasahassaṃ aṭṭhāsi). Dengan demikian,
usia Dhamma, ajaran Sang Buddha tetap bertahan selama lima ribu
tahun.

Theragāthā-Aṭṭhakāthā membagi usia Dhamma menjadi lima


bagian juga. Kelima bagian tersebut adalah vimuttiyuga, samādhiyuga,
sīlayuga, sutayuga dan dānayuga. Dalam periode pertama, adalah
periode pembebasan (vimuttiyuga). Ketika ini telah usai, disusul
dengan periode konsentrasi (samādhiyuga). Lalu, muncullah periode
moralitas (sīlayuga), disusul dengan periode apa yang didengarkan
(sutayuga) dan diakhiri dengan periode kedermawanan (dānayuga).

Theragāthā-Aṭṭhakāthā, perlu dicatat, tidak memberikan


spesifikasi waktu dalam penjelasannya terhadap lima pembagian
waktu tersebut. Hanya saja, dijelaskan bahwa ketika bagian terakhir
Māṭikā (bagian dari Vinaya Piṭaka), telah berakhir, Kitab Suci
dikatakan telah berakhir (yadā pana mātikāpariyosānā pariyatti sabbaso
46
antaradhāyati). Ketika hal ini terjadi apa yang tersisa hanyalah atribut
luar saja yang tersisa (tato paṭṭhāya liṅgamattameva avasissati). Karena
hanya atribut luar saja yang ada, apa yang dipraktikkan hanyalah
sifat kedermawanan. Masyarakat akan mendermakan harta kekayaan
mereka dan ini dianggap sebagai praktik yang terbaik (tadā yathā tathā
dhanaṃ saṃharitvā dānamukhena vissajjenti, sā kira nesaṃ carimā
sammāpaṭipatti).

Kitab Komentar Theragāthā mengatakan bahwa ada dua


pandangan mengenai periode terakhir lenyapnya Dhamma. Sebagian
berpendapat bahwa lenyapnya Dhamma dimulai sejak periode apa
yang didengar (sutayuga). Sedangkan, sebagian lagi berpendapat
bahwa lenyapnya Dhamma telah berproses sejak periode moralitas
(sīlayuga).

Dengan adanya data-data yang dituliskan dalam Kitab Komentar,


terlihat jelas bahwa klasifikasi kelangsungan dan lenyapnya Dhamma
terbagi menjadi tiga pandangan yang berbeda. Pertama adalah
klasifikasi yang menunjukkan bahwa ajaran Sang Buddha akan
bertahan selama lima ribu tahun. Masa ini dibagi menjadi periode
pencapaian kesucian arahat dengan disertai berbagai kemampuan
batin, hanya pencapaian tingkat arahat tanpa kemampuan batin,
anāgāmi, sakadāgāmi, dan sotāpanna.

Dalam klasifikasi kedua, Dīgha Nikāya memberikan klasifikasi,


juga berdurasi lima ribu tahun. Hanya saja, memberikan penjelasan
yang berbeda. Urutan bertahan dan lenyapnya Dhamma dibagi menjadi
lima, yaitu paṭisambhidā, chaḷabhiñña, tevijja, sukkhavipassaka dan
paṭimokha. Sedangkan dalam klasifikasi ketiga dianut oleh Theragāthā-
Aṭṭhakāthā. Apa yang dituliskan dalam Kitab Komentar ini adalah
vimuttiyuga, samādhiyuga, sīlayuga, sutayuga dan dānayuga.
47
Adanya tiga jenis pandangan dalam Aṭṭhakāthā menunjukkan
bahwa komentator tidak hanya satu orang saja. Seperti halnya setiap
Nikāya dipertanggungjawabkan oleh satu group bhānaka, bhānaka
tersebut juga bertanggung jawab atas Kitab Komentar Nikāya tersebut.
Karena itu, Dīghabhānaka, selain bertanggung jawab menjaga
kelangsungan dan keberadaan Dīgha Nikāya, juga bertanggung
jawab untuk menjaga Dīgha Nikāya Aṭṭhakāthā. Demikian juga,
Majjhimabhānaka, Saṃyuttabhānaka dan Aṅguttarabhānaka tidak
hanya bertanggung jawab menjaga dan melestarikan Majjhima
Nikāya, Saṃyutta Nikāya dan Aṅguttara Nikāya, juga bertanggung
jawab untuk melestarikan dan menjada setiap Kitab Komentar Nikāya
tersebut.

Sekalipun menjadi perangkum Aṭṭhakāthā, Y.M. Buddhaghosa


tidak bisa serta merta menghapus pandangan yang dipertahankan oleh
setiap bhānaka. Beliau harus tetap mempertahankan pandangan setiap
bhānaka dan jika ingin menambahkan pandangan pribadi, pandangan
pribadi tersebut akan ditandai dengan jelas. Penambahan pandangan
pribadi akan ditandai dengan kalimat “Ini adalah pandangan pribadi
saya” (ayaṃ pana me attano mati). Oleh karena itu, sekalipun
menyadari adanya pandangan yang berbeda dalam Kitab Komentar,
Y.M. Buddhaghosa tetap menghormati pandangan-pandangan tersebut.
Beliau tidak serta merta mengedit atau merombak pandangan sehingga
ada kesamaan dalam pandangan mengenai lenyapnya Dhamma.

Itulah pandangan mengenai lenyapnya Dhamma yang ada dalam


Kitab Komentar. Dapat dilihat dengan jelas bahwa Kitab Komentar,
yang ditulis oleh para sesepuh, berpendapat bahwa Dhamma ajaran
Sang Buddha akan berakhir setelah ajaran tersebut mencapai usia
lima ribu tahun. Bahkan, sumber yang ada dalam tradisi Chinese,

48
menambahkan lima ribu tahun lagi sehingga menjadi sepuluh ribu
secara keseluruhan. Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa
sekarang sedang berada dalam periode hanya pencapaian anāgāmi,
menurut versi pertama, tevijja menurut pandangan kedua dan
pandangan ketiga tidak memberikan spesifikasi tahunnya.

Semoga apa yang dituliskan dalam Kitab Komentar bisa


membuka wawasan kita semua mengenai usia Dhamma. Semoga
penjelasan ini dapat tetap menjaga semangat kita untuk terus praktik
dengan baik. Sebagai penutup, artikel ini akan dilanjutkan dengan
artikel selanjutnya mengenai pandangan pribadi saya. 

49
Lenyapnya Dhamma: 4. Pandangan Pribadi
Saya

Saya telah menuliskan tiga perspektif mengenai lenyapnya


Dhamma. Tiga perspektif tersebut adalah Tipiṭaka, post-Kanon dan
Kitab Komentar. Jika dilihat dengan jelas, tentu setiap perspektif
memiliki pandangan yang berbeda. Karena itu, berikut ini adalah
pandangan atau komentar pribadi saya mengenai lenyapnya Dhamma.

Saya tulis artikel mengenai lenyapnya Dhamma karena selama


ini telah terjadi penjelasan yang tidak benar mengenai lenyapnya
Dhamma. Penjelasan yang tidak benar tersebut telah menimbulkan
pesimisme yang sangat akut di kalangan umat Buddha Indonesia.
Dengan menulis artikel tentang lenyapnya Dhamma yang saya
adaptasikan dari tulisan Prof. T. Endo, saya berharap tulisan tersebut
bisa memberikan penjelasan yang sebenarnya.

Dengan adanya penjelasan yang benar dari sumber literatur


Buddhis yang ada, diharapkan bisa mengubah perspektif atau cara
pandang umat Buddha Indonesia. Data-data yang ada berasal dari
sumber yang akurat, bisa dicek secara langsung, bisa dibaca sendiri,
baik dari Tipiṭaka, post-Kanon maupun Kitab Komentar. Sekalipun
telah saya sertakan beberapa pandangan dan analisis pribadi, semua
data yang ada tidak asal kutip, tidak asal sebut, dan tidak asal comot dari
sumber-sumber yang tidak jelas. Semua literatur yang dipergunakan
adalah literatur berstandar internasional.

Ibarat menemukan kota tua yang telah terlupakan, dan diumumkan


untuk kepentingan khalayak ramai, demikian pula Sang Buddha yang

50
menemukan Dhamma. Dhamma yang telah terlupakan ditemukan
kembali oleh Sang Buddha. Penemuan tersebut sangat berharga
untuk menciptakan kedamaian, kebahagiaan dan kesejahteraan dunia.
Karena itu, Sang Buddha tidak hanya menyembunyikan penemuan
tersebut tetapi mendeklarasikannya untuk kepenting orang banyak.
Harapan-Nya adalah agar orang-orang yang memiliki kebijaksanaan
bisa mendapatkan manfaat yang terbaik dari penemuan tersebut.

Ibarat kota tua yang telah direstorasi dan dibuka untuk umum,
banyak orang yang datang melihatnya, demikian juga, ketika Dhamma
dideklarasikan secara terbuka, banyak orang yang berbondong-
bondong menyaksikan keindahan Dhamma. Sesuai dengan data yang
ada, begitu banyak orang yang dapat menikmati keindahan ajaran
Sang Buddha. Hanya saja, yang menjadi pertanyaan, sampai kapan
keindahan ajaran Sang Buddha bisa dinikmati? Hanya pada saat Sang
Buddha hidup? Bagaimana setelah Sang Buddha wafat?

Saya senang Sang Buddha menggunakan perumpamaan


penemuan kota tua untuk menganalogikan penemuan Dhamma.
Setelah kota tua ditemukan dan direstorasi, keindahan kota tua tersebut
dapat dinikmati oleh orang banyak. Borobudur pun pernah dilupakan.
Setelah ditemukan dan direstorasi, kita semua kini dapat menikmati
keindahan maha karya leluhur bangsa Indonesia. Lalu, sampai kapan
orang bisa menikmati keindahan kota tua tersebut? Atau sampai kapan
masyarakat bisa menikmati kemegahan Candi Borobudur?

Kota tua yang telah direstorasi, Candi Borobudur yang telah


dipugar, tetap akan dapat dinikmati sepanjang kita mau menjaga,
mau merawat, tidak merusak; tidak pula melakukan hal-hal yang
membahayakan eksistensi kota tua ataupun Candi Borobudur. Dhamma
pun demikian. Dhamma tetap akan dapat dinikmati keindahannya
51
sepanjang kita mau menjaga, mau merawat, tidak merusak, juga tidak
melakukan hal-hal yang dapat membahayakan eksistensi Dhamma.

Lalu bagaimana dengan pernyataan Sang Buddha yang


mengatakan Dhamma akan bertahan selama seribu tahun seandainya
wanita tidak menjadi anggota Saṅgha. Tetapi karena wanita menjadi
anggota Saṅgha Dhamma akan bertahan selama lima ratus tahun.
Pernyataan ini telah saya komentari dalam artikel pertama. Namun
saya akan memberikan komentar tambahan.

Seandainya, Dhamma benar-benar hanya mampu bertahan


selama lima ratus tahun, sudah dapat dipastikan semua literatur post-
Kanon akan menyinggung hal ini. Buktinya, baik Milindapañha,
Nettipakaraṇa dan Petakopadesa tidak pernah menyebutkan “Inilah
masa-masa terakhir ajaran Sang Buddha” karena semua literatur ini
ditulis sekitar lima ratus tahun setelah Sang Buddha wafat.

Diamnya semua literatur post-Kanon membuktikan bahwa


sekalipun cedikiawan Buddhis yang hidup pada tahun-tahun
sekitar lima ratus tahun setelah Sang Buddha wafat tidak memiliki
kekhawatiran, atau memikirkan Dhamma lenyap dan berakhir saat
itu. Bahkan Milindapañha yang memuat tentang lenyapnya Dhamma,
masih tetap optimis, tetap yakin bahwa ajaran Sang Buddha masih
bertahan.

Seandainya Dhamma hanya mampu bertahan selama seribu


tahun, sudah barang tentu Kitab Komentar akan mengatakan “Dengan
dialihbahasakannya Kitab Komentar ke dalam bahasa Pali, berakhirlah
Dhamma sampai di sini”. Pasalnya, Kitab Komentar dialihbahasakan
ke dalam bahasa Pali pada abad kelima Masehi atau tepatnya seribu
tahun setelah Sang Buddha wafat. Mengapa sembilan belas Kitab

52
Komentar berbahasa Sinhala dan semua Kitab Komentar berbahasa
Pali, baik dari Vinaya, Sutta maupun Abhidhamma Piṭaka tidak
menyinggung Dhamma yang murni telah habis masanya?

Jika yang dijadikan pedoman adalah Kitab Komentar berbahasa


Sinhala, berarti ada minimal sembilan belas cendikiawan Buddhis
yang menulis Kitab Komentar ini. Jika yang dijadikan pedoman
adalah Kitab Komentar Pali, minimal ada 6 kelompok bhānaka atau
penghafal dan tentu cendikiawan Buddhis di dalamnya. Mengapa dari
sekian banyak cendikiawan tidak ada yang mengatakan Dhamma yang
murni telah berakhir sampai di sini?

Mengapa mereka semuanya umumnya sepakat untuk mengatakan


Dhamma yang murni akan bertahan selama ribu tahun? Mengapa
tradisi Chinese justru mengatakan Dhamma yang murni akan bertahan
selama sepuluh ribu tahun? Apakah meraka adalah orang yang bodoh
sehingga harus berpendapat demikian? Apakah meraka bukan orang-
orang yang melek fakta sehingga tidak mengatakan Dhamma yang
murni telah berakhir? Mengapa mereka tidak mengatakan sekarang
ini kita hanya menganut saddhammapaṭirūpaka?

Pemahaman yang salah, penjelasan yang tidak benar bahwa


Dhamma yang murni hanya bertahan selama lima ratus tahun, telah
menimbulkan pesimisme akut di kalangan umat Buddha Indonesia.
Rasa pesimisme ini telah menimbulkan beban mental yang tidak
sedikit. Sungguh sangat memprihatinkan! Dhamma seharusnya
membebaskan, tetapi justru membelenggu. Dhamma seharusnya
membawa kebahagiaan tetapi justru menambah penderitaan. Sungguh
sangat ironis!

Pemahaman dan penjelasan yang salah terjadi karena pada


53
umumnya membaca pernyataan Sang Buddha hanya sepenggel, tidak
dibaca secara tuntas. Kalaupun membaca secara tuntas, tidak mampu
memahami paragraf penutup. Apa yang menimbulkan kesan hanyalah
paragraf pembuka. Pemahaman sebagian orang disebarkan, diajarkan
dan diturunkan dari satu mulut ke mulut yang lain, dari satu generasi ke
generasi yang lain. Dampaknya, mereka yang tidak pernah memeliki
akses untuk membaca pernyataan Sang Buddha menelan mentah-
mentah apa yang telah mereka dengar.

Jika yang didengar adalah interpretasi yang benar, tentu akan


membangun optimisme di kalangan umat Buddha. Namun, jika yang
didengar adalah interpretasi yang salah, apa yang terjadi cukup fatal.
Umat Buddha yang tidak memiliki kesempatan untuk melakukan
verifikasi merasa telah kelingan momen terbaik, momen untuk
mempraktikkan ajaran Sang Buddha, momen untuk merealisasi ajaran
Sang Buddha dalam kehidupan ini juga.

Karena munculnya pandangan semacam itu di kalangan umat


Buddha, timbullah penyesalan dalam diri umat Buddha. Secara
psikologis, penyesalan adalah penderitaan, penyesalan adalah
belenggu, penyesalan adalah mental block untuk maju, untuk sukses
dan untuk menikmati kebahagiaan. Ini adalah pemandangan yang
memilukan sebenarnya, tetapi banyak yang tidak menyadari, banyak
yang tidak melihat dan justru banyak yang merasa bangga dengan
kondisi semacam ini.

Sebenarnya, apa yang ditemukan oleh Sang Buddha adalah


jalan untuk memahami batin dan jasmani dengan benar, melihat dari
perspektif yang sesungguhnya. Kemampuan manusia untuk melihat
dan memahami batin dan jasmani dari perspektif yang sebenarnya,
itulah kedamaian. Tidak ada kedamaian yang lebih tinggi daripada
54
kedamaian memahami dan melihat batin dan jasmani sebagaimana
apa adanya. Inilah kunci ajaran Sang Buddha. Inilah puncak Dhamma
yang ditemukan oleh Sang Buddha.

Jika kuncinya adalah memahami batin dan jasmani sebagaimana


apa adanya, melihat nāma-rūpa dalam konteks aniccā, dukkha
dan anattā, tentu kemampuan tersebut masih ada hingga saat ini;
kemampuan semacam itu tetap dimiliki oleh banyak orang saat ini.
Jelas ini tidak dapat dipungkiri. Jelas ini tidak bisa diabaikan begitu
saja karena puncak pemahaman terhadap batin dan jasmani yang
bersifat aniccā, dukkha dan anattā adalah pencapaian kesucian itu
sendiri. Dengan kata lain, kalau berasumsi bahwa kesucian tidak
mungkin dicapai, ini menandakan kita tidak bisa memahami batin dan
jasmani kita dalam konteks aniccā, dukkha dan anattā.

Pencapaian kesucian juga adalah puncak kesempurnaan dalam


moralitas, juga puncak keyakinan (saddhā). Kedua hal ini ditunjukkan
dengan patahnya belenggu nomor dua dan tiga. Belenggu nomor dua
adalah kemelekatan pada moralitas dan aturan (sīlabbataparāmāsa);
belenggu nomor tiga adalah keraguan (vicikicchā).

Kalau pencapaian kesucian tidak memungkinkan, ini menandakan


bahwa moralitas dan keyakinan tidak dapat dimiliki dan dipraktikkan
dengan sempurna. Artinya, selama ini, keduanya hanya dimiliki dan
dipraktikkan secara tidak sempurna atau hanya setengah-setengah
saja, alias tidak ada keseriuan dalam mempraktikkan dan memiliki
keduanya. Kalau tidak memiliki dan mempraktikkan sīla dan saddhā
dengan sempurna, dengan baik, bagaimana mungkin kita mengklaim
sebagai umat Buddha? Di mana status kita sebagai umat Buddha,
sebagai murid Sang Buddha kalau tidak memiliki keduanya?

55
Mengenai pencapaian kesucian, semua data yang ada baik dari
Tipiṭaka, post-Kanon dan Kitab Komentar, lebih mendukung untuk
mengatakan bahwa Dhamma selalu ada sepanjang dipraktikkan.
Dhamma selalu murni selama dijaga dengan mengimplementasikannya
dalam kehidupan sehari-hari. Dhamma selalu memberikan hasil yang
terbaik sepanjang dipraktikkan dengan baik. Sebenarnya, inilah kunci
kelangsungan Dhamma. Inilah strategi untuk mempertahankan dan
melestarikan Dhamma.

Sekarang fakta dan data yang ada telah diuraikan. Anda ingin
menganut prinsip yang mana? Anda lebih cenderung memilih
pandangan yang mana? Dari semua fakta yang ada, Anda boleh memilih
untuk percaya bahwa Dhamma telah lenyap dengan konsekuensi
Anda menunda praktik, karena tidak ada Dhamma yang murni dan
yang ada hanyalah saddhammapaṭirūpaka atau Anda percaya bahwa
Dhamma yang murni masih ada dengan konsekuensi Anda praktik
dengan sungguh-sungguh demi terakhirinya dukkha dalam kehidupan
sekarang ini juga. Apapun pilihannya, diri sendirilah yang akan
menanggungnya.

Sebagai seorang murid Sang Buddha saya lebih memilih untuk


yakin bahwa Dhamma yang murni masih ada; Dhamma yang murni
masih bisa dipraktikkan. Karena Dhamma yang murni masih ada dan
masih dipraktikkan, sepanjang itu pula perealisasian tingkat kesucian
masih memungkinkan. Pencapaian kesucian masih belum putus, dan
setiap orang masih memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai
kesucian batin. Setiap orang menghadapi keserakahan, kebencian dan
kebodohan yang tidak ada bedanya dari waktu ke waktu, dari zaman
ke zaman dan dari generasi ke generasi.

Semoga empat rangkaian artikel tentang lenyapnya Dhamma


56
yang murni bisa memberikan gambaran yang jelas, memberikan
penjelasan yang nyata, mampu membuka fakta yang sebenarnya apa
yang diungkapkan baik dalam Tipiṭaka, post-Kanon dan Aṭṭhakāthā.
Mengenai pandangan pribadi saya, itu hanyalah sebuah tambahan
sesuai dengan keyakinan yang saya miliki, sesuai dengan pengetahuan
yang saya dapatkan selama ini.

57
Waisak: Cara Umat Buddha Memaknai
Kelahiran, Kesuksesan dan Kematian

Tepat pada tanggal 11 Mei 2017, di bawah naungan bulan purnama,


umat Buddha Indonesia merayakan Waisak. Waisak diperingati
sebagai wujud ungkapan rasa hormat, rasa terimakasih, dan sekaligus
puja kepada seorang manusia. Satu manusia tersebut adalah Buddha
Gotama. Umat Buddha percaya bahwa Pangeran Siddhartha lahir pada
bulan purnama di bulan Waisak. Belakangan, Pangeran Siddhartha
memutuskan untuk menjadi petapa. Setelah berjuang selama kurang
lebih enam tahun Petapa Siddhartha mencapai pencerahan di bulan
purnama tepat di bulan Waisak.

Karena sukses mencapai pencerahan, Petapa Siddhartha dikenal


sebagai Buddha. Sang Buddha menjalani kariernya sebagai seorang
Buddha selama 45 tahun, dihabiskan dengan cara membabarkan ajaran
yang dipahami-Nya, demi kebahagiaan umat manusia. Sang Buddha
mangkat tepat di bulan purnama tepat di bulan Waisak juga. Karena
itu, Waisak merayakan kelahiran, pencerahan sekaligus mangkatnya
Sang Buddha.

Jika mau jujur mengakuinya, umat Buddha adalah umat yang


unik. Alasannya, umat Buddha memandang kelahiran, kesuksesan dan
kematian perlu dirayakan sedemikian rupa; perlu dirayakan dengan
kemegahan, kemewahan, keagungan dan keistimiwaan tersendiri.
Jelas ini adalah suatu pandangan, prinsip atau sikap hidup yang sangat
berbeda jika dibandingkan dengan penganut agama-agama lain di
dunia ini.

58
Dengan adanya perayaan Waisak, kelahiran, kesuksesan dan
kematian tidak ada bedanya sama sekali. Ketiganya perlu dirayakan
dengan cara yang sama. Ketiganya perlu dianggap istimewa, tanpa
mendiskriminasikan satu dengan yang lainnya.

Dalam setiap kelahiran, pasti akan ada kematian. Segala sesuatu


yang dimulai dengan kelahiran pasti akan diakhiri dengan kematian.
Ini adalah hukum yang mutlak, hukum yang tidak dapat ditolak oleh
siapa pun. Juga tidak dapat diubah oleh siapa pun. Semua orang,
semua makhluk yang terlahir pasti akan mengalami kematian.

Sesuai dengan prinsip yang dianut dalam ajaran agama Buddha,


setiap makhluk dilahirkan dan mengalami kematian dalam jumlah yang
tidak sedikit. Setiap makhluk telah mengembara dari satu kelahiran ke
kelahiran yang lainnya. Setiap makhluk terus mengembara tiada henti,
mengarungi lautan saṃsāra.

Kita terus mengembara, terus terjebak dalam proses kelahiran


dan kematian, karena kita tidak pernah sukses untuk memahami
kehidupan ini sebagaimana mestinya. Andai saja kita sukses
memahami kehidupan ini sebagaimana apa adanya, kita tidak akan
pernah terlahirkan kembali. Kita tidak akan pernah mengembara lagi
di alam saṃsāra. Inilah inti ajaran Sang Buddha: memahami kehidupan
sebagaimana apa adanya.

Di antara kelahiran dan kematian, ada kesuksesan. Kesuksesan


ini milik semua orang, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, kaya
atau miskin, apa pun rasnya, apa pun status sosialnya dan dari mana
pun asalnya. Semua orang memiliki hak untuk mencapai kesuksesan,
tidak ada pengecualian. Beragama atau tidak, bukan suatu halangan
untuk menggapai kesuksesan.
59
Kesuksesan yang dicapai oleh Petapa Siddhartha adalah hasil
kerja keras, perjuangan yang menguras seluruh tenaga dan pikiran.
Kesuksesan-Nya bukanlah hasil pemberian, bukan warisan tetapi
merupakan hasil pengembangan potensi diri secara maksimal.
Apa yang dilakukan oleh Pangeran Siddhartha hanyalah menaruh
keyakinan bahwa masih ada jalan untuk mencapai kesuksesan; masih
ada kesempatan untuk menikmati kesuksesan. Karena itu, dia menaruh
keyakinan yang begitu kuat pada kemampuannya sebagai manusia.

Sebagai manusia, Petapa Siddhartha mengembangkan potensi


dirinya hingga ke titik darah penghabisan. Dia sepenuhnya yakin bahwa
kesuksesan itu dapat dicapai. Tidak ragu sedikit pun akan kemampuan
manusia untuk mencapai puncak kesuksesan. Perjuangannya tidak
sia-sia. Tanpa menganut ajaran agama apa pun, tepat di bulan purnama
di bulan Waisak, Petapa Siddhartha mencapai pencerahan.

Meski menyadari, mencapai puncak kesuksesan perlu perjuangan


yang tidak sedikit, Sang Buddha tetap memiliki keyakinan pada nilai-
nilai kemanusiaan. Karena itu, diajarkanlah apa yang telah ditemukan.
Keyakinan tersebut pun mendapatkan respons yang positif. Tidak
sedikit orang yang memahami apa yang Beliau ajarkan. Tidak sedikit
orang yang mampu mengembangkan potensi diri hingga titik akhir.

Ada orang-orang yang memiliki keyakinan begitu besar pada


apa yang diajarkan oleh Sang Buddha sehingga mereka mampu
memahami ajaran tersebut tepat saat ajaran itu masih diucapkan.
Mereka tidak perlu bersusah payah untuk praktik. Batin mereka telah
mapan, batin mereka telah dewasa sehingga dengan mudah untuk
memahaminya. Ada pula orang-orang yang perlu berjuang keras
untuk bisa memahami apa yang diajarkan oleh Sang Buddha. Setelah
itu, barulah bisa menikmati keindahan ajaran Sang Buddha.
60
Di zaman modern ini, banyak orang yang berspekulasi bahwa
ajaran Sang Buddha tidak mungkin dipahami secara maksimal. Tidak
mungkin ajaran Sang Buddha diimplementasikan sepenuhnya. Juga
tidak mungkin mengembangkan potensi diri, mencapai kesuksesan
dalam praktik spiritual agama Buddha. Dampaknya, banyak orang
menjadi pesimis, bahkan tidak sedikit yang mengalami depresi cukup
berat karena menganggap tidak lagi memiliki kesempatan untuk
mempraktikkan ajaran Sang Buddha secara benar.

Apa yang diajarkan oleh Sang Buddha sesungguhnya hanyalah


untuk membuat kita memiliki keyakinan pada diri sendiri, bahwa kita
mampu mengembangkan potensi diri secara maksimal. Dalam nasihat-
nasihat yang Beliau sampaikan, Sang Buddha selalu memberikan
nasihat yang terbaik agar orang yang mendapatkan nasihat dapat bebas
dari penderitaan sekarang ini juga, tanpa perlu menunggu besok, lusa
atau bahkan dalam kehidupan yang akan datang.

Sang Buddha mengajarkan agar membebaskan penderitaan


dalam kehidupan sekarang ini juga karena Sang Buddha adalah orang
yang realistis: penderitaan adanya hanya saat ini; bukan di masa
lampau; juga bukan di masa yang akan datang. Karena itu, nasihat
yang diberikan oleh Sang Buddha pada abad kelima Sebelum Masehi
masih bisa diterapkan, masih bisa dipraktikkan secara maksimal.
Setiap orang masih memiliki kesempatan yang sama untuk menikmati
keindahan Dhamma ajaran Sang Buddha, persis seperti orang-orang
yang hidup di zaman Sang Buddha.

Semoga dengan perayaan Waisak tahun ini, kita semakin


bersemangat, termotivasi untuk mengimplementasikan ajaran Sang
Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Marilah kita bangun pondasi
yang kuat, sehingga mampu mengembangkan potensi diri secara
61
maksimal dalam kehidupan sekarang ini juga.

Selamat merayakan Waisak. Semoga semua maju dalam praktik.


Semoga semua sukses dalam mengembangkan potensi diri masing-
masing.

62
Apakah arti Mencatat, Melabeli dan
Mengetahui? Apakah manfaat mencatat?

[Berikut ini adalah diskusi Dhamma yang diberikan oleh Y.M.


Ovadacariya Sayadaw di Panditarama pada tanggal 28 Agustus
1994]

Mencatat berarti memberikan berhatian yang benar sehingga


pikiran dapat berkonsentrasi pada objek meditasi. Pikiran juga akan
menyadari sifat aslinya. Izinkan saya menjelaskannya lebih jauh.

Jika kamu tidak mencatat, kilesa akan menguasai pikiranmu.


Dengan kata lain, pikiranmu akan berantakan dan menjadi tidak
bersih dan terpolusi. Namun, jika kamu mencatat, pikiranmu tidak
akan berantakan. Kamu akan berlatih untuk semacam menguasai
atau mengontrol pikiran. Karena itu, melalui tindakan pencatatan,
kamu akan mampu menghalangi kotoran batin untuk memasuki dan
mengotori pikiranmu.

Sebagai contohnya, kita mengambil satu kasus seorang anak. Kita


tentu sangat menyadari bahwa karena keinginannya sendiri, seorang
anak terjebak dalam berbagai permasalahan yang membahayakan.
Karena itu, kita menyuruh seorang pembantu untuk menjaganya.
Kita mengetahui bahwa kehadiran pembantu telah berperan sebagai
pelindung bagi anak tersebut dari bahaya dan petaka. Pembantu tidak
membahayakan sama sekali. Ini tidak ada bedanya dengan mencatat.

Dalam bahasa modern, tidak akan terjadi kecelakaan pikiran kalau


kamu mencatat. Hanya ketika kamu gagal untuk mencatat berbagai
dampak yang tidak baik akan terjadi. Sebagai contohnya, ketika kita
63
menjumpai sesuatu yang menyenangkan, kita mungkin mengikutinya
dan mengejarnya. Jika, di sisi lain, ketika kita mengalami sesuatu yang
tidak menyenangkan atau penuh kebencian, kita mungkin bereaksi
dan melakukan tindakan melalui ucapan dan jasmani yang tidak baik.

Saat anda mengendarai mobil, anda harus cukup berhati-hati.


Anda harus menyetir di jalur yang benar. Anda harus memiliki
pengetahuan yang baik mengenai regulasi lalu lintas. Anda juga
harus bisa mengendalikan mobil dengan baik. Jika anda lakukan
semua ini, tidak akan mudah terjadi kecelakaan. Sebagai pengendara,
anda dikatakan bebas dari kesalahan. Selain itu, anda juga tidak
membahayakan diri anda sendiri atau orang lain. Tidak ada yang
diciderai karena anda mengendarai dengan hati-hati. Namun, jika
anda tidak berhati-hati dan tidak perhatian, mungkin yang lain akan
mengalami kecelakaan karena ketidak-hati-hatian anda. Dengan
demikian, dengan mengendalikan kendaraan sepenuhnya, anda tidak
akan menciderai yang lain. Hal ini juga berlaku bagi praktik anda.
Dengan mencatat, anda akan melatih pengendalian pada perilaku fisik
maupun verbal. Mereka yang berada di sekitar anda tidak akan terkena
dampaknya atau tersakiti oleh perilaku luar anda. Ini adalah salah satu
manfaat yang anda dapatkan dari mencatat dengan baik.

Jika anda mencatat objek yang muncul, anda akan membuat diri
anda baik dan pikiran anda bersih. Perilaku anda tidak akan terasa
kasar atau penuh kebencian. Dengan memurnikan diri sendiri, anda
tidak akan menyakiti yang lain.

Di sisi lain, jika anda gagal berkontemplasi, anda tidak akan puas
dengan diri anda sendiri. Lebih jauh, teman-teman dekat dan mereka
yang berada di sekitar anda tidak akan puas dengan perilaku anda.
Ketika perilaku anda buruk dan kasar, anda mungkin melakukan
64
tindakan-tindakan yang tidak layak dan tercela. Tindakan balasan pun
akan dilakukan terhadap anda. Demikian juga, anda mungkin akan
terlahir di alam menderita dalam kehidupan-kehidupan anda yang
akan datang sebagai dampak dari perilaku-perilaku anda yang tidak
layak.

Bentuk skenario semacam ini tidak akan muncul jika anda


mampu berkontemplasi pada objek sebagaimana dan saat objek
tersebut muncul. Anda akan memurnikan diri anda sendiri dan karena
itu, tidak akan menyakiti yang lainnya. Ini adalah manfaat lain yang
mungkin anda dapatkan jika anda mencatat.

Marilah kita tinggalkan manfaat-manfaat yang didapatkan orang


lain karena kita rajin mencatat. Marilah kita membahas mengenai
manfaat bagi diri sendiri.

Ketika anda mencatat objek-objek yang muncul, perilaku verbal


dan fisik anda menjadi lebih baik dan berbudaya. Namun, jika anda
tidak mencatat, perilaku anda akan menjadi kasar dan menyakitkan.
Melalui tindakan pencatatan, akan akan mampu memiliki karakter
yang lembut, menyenangkan, berbudaya dan toleran. Anda akan
membuat hidup anda selangkah lebih indah dan memuaskan. Karena
itu, agar dapat memiliki suatu karakter yang memuaskan, anda harus
memiliki kesadaran yang berkesinambungan.

Sebagaimana telah saya sebutkan sebelumnya, anda harus


mencacat objek-objek yang muncul. Anda jangan sampai gagal
dalam melakukannya. Jika anda melakukan hal ini, pikiran anda akan
menjadi bersih dan murni. Namun, pencatatan terhadap objek harus
berkesinambungan, tidak putus dan dengan demikian tanpa jeda.
Lihatlah lantai ini. Lantai ini terbuat dari kayu bermotif. Jika ada jeda
65
dalam penyusunan lantai, di antara kayu, kotoran akan bisa menyelip
di sana dengan mudah. Sama halnya, ketika pencatatan anda tidak
berkesinambungan dan ada jeda di antaranya, kotoran batin dapat
masuk ke dalam pikiran anda. Pikiran anda hanya akan dapat menjadi
bersih dan stabil, saat ada pencatatan yang berkesinambungan dan
tidak terputus. Anda lalu akan mampu mengembangkan kekuatan
batin. Hanya melalui pengembangan kekuatan batin secara bertahap
pemahaman yang sebenarnya terhadap fenomena dapat muncul secara
bertahap.

Jika anda melatih kesadaran dan memiliki perhatian, anda


akan mendapatkan pengetahuan yang benar tentang fenomena
atau kemunculannya dengan sendirinya. Dengan kata lain, begitu
kemampuan batin anda berkembang, anda akan mampu untuk
mengembangkan dan memperdalam konsentrasi anda. Selanjutnya, hal
ini akan menghasilkan pengembangan pemahaman terhadap fenomena.
Ketika semua ini terjadi, anda akan mengetahui sifat fenomena yang
sebenarnya. Pada titik ini, anda akan memiliki kemampuan untuk
menghadang kilesa. Melalui pengembangan pandangan terang anda
akan mendapatkan stamina atau ketahanan spiritual. Anda kemudian
akan mampu mengalami kedamaian yang sebenarnya. Ini adalah
manfaat-manfaat yang akan anda dapatkan bagi diri sendiri jika anda
berkontemplasi pada objek yang muncul.

Bagaimanapun, manfaat-manfaat yang disebutkan di sini tidak


muncul dari logika atau pemahaman saya. Semua itu dapat ditemukan
dalam literatur Buddhis. Bahkan, Sang Buddha sendiri memastikan
kita mengenai berbagai manfaat ini pada awal Satipaṭṭhana Sutta.
Dengan adanya pencatatan pada objek secara berkesinambungan
terhadap berbagai objek yang muncul, seseorang dapat terbebas baik

66
sebagian atau sementara dari berbagai kotoran batin yang berkaitan
dengan keserakahan (lobha), kemarahan (dosa) dan kebodohan batin
(moha). Anda juga bisa sepenuhnya terbebaskan dari kotoran batin
dan dengan demikian menjadi seorang arahat. Anda akan terbebas dari
kekhawatiran, penderitaan batin dan jasmani. Dengan kata lain, anda
akan menghalau kotoran batin untuk selamanya, dan mencapai ariya
magga-phala. Anda pun akan merealisasi Nibbāna. Ini adalah berbagai
manfaat yang dipastikan oleh Sang Buddha kepada kita jika mencatat
dan berkontemplasi pada objek sebagaimana mereka muncul.

Melabeli, di sisi lain, adalah tindakan memberikan berbagai nama


pada objek saat mereka muncul. Hal ini karena anda harus mengetahui
satu objek dari yang lainnya. Anda tidak bisa hanya melihat pada
objek tersebut tanpa memberinya nama. Ketika objek muncul, anda
harus melabelinya sesuai sifatnya.

Ambillah contoh seseorang yang diperkerjakan sebagai penjaga


pintu pada suatu pabrik. Penjaga pintu ini harus mencatat semua nama
pekerja yang masuk. Sikap ini adalah untuk membuat dia mengetahui
dengan benar siapa yang telah masuk ke dalam pabrik. Situasi
semacam ini juga ditemukan pada orang yang berkontemplasi. Ketika
panas muncul, anda memberinya nama dengan melabeli “panas,
panas”. Ketika kekakuan muncul, lalu anda harus mencatat dengan
melabelinya diam-diam, “kaku, kaku”. Ketika ketegangan muncul,
anda perlu pula melabelinya dalam batin “tegang, tegang”.

Anda harus memberikan nama pada fenomena atau kemunculan


sesuai dengan sifatnya. Jika anda tidak melabelinya—setidaknya untuk
para yogi pemula—anda tidak akan tahu satu objek dari yang lainnya.
Jika anda maju dalam praktik anda, anda harus bisa membedakan
satu objek dengan yang lainnya secara jelas. Hanya ketika anda bisa
67
membedakan satu objek dari yang lainnya dengan jelas anda dapat
mengembangkan konsentrasi.

Perhatikanlah anak sekolah yang masih kecil. Mereka


memulai belajar dengan cara menghafalkan A, B, C. Ketika mereka
melakukannya, mereka harus menghafalkan A sebagai A, B sebagai B,
dan C sebagai C. Cara ini akan membantu mereka untuk mengetahui
abjad A, B dan C secara berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Ketika mereka menjadi agak dewasa, mereka akan mampu membaca
kata “KUCING”. Namun, mereka harus mengikuti suara; mereka
harus melafalkan kata tersebut dengan benar.

Di dalam praktik, anda tidak bisa hanya mempelajari objek yang


muncul dalam kerangka kesadaran anda. Anda harus memberikan
label dalam batin pada setiap objek yang muncul. Dalam kasus anak
sekolah, mereka harus mengucapkan kata demi kata dengan keras
sehingga nantinya mereka akan menjadi mahir dalam ucapan selain
pelafalan.

Ketika anda pergi ke bandara atau pelabuhan, anda akan


bertemu dengan sejumlah petugas. Anda akan mampu mengenali dan
mengidentifikasi petugas tersebut karena mereka mengenakan tanda
nama. Tanda nama ini menyantumkan nama dan jabatan mereka atau
tugasnya. Ketika anda mengamati tanda nama petugas tersebut, anda
dapat mengetahui siapa mereka yang sebenarnya dan apa tanggung
jawab setiap petugas. Namun, jika anda tidak tahu nama mereka
masing-masing dan tugas setiap petugas, akan sulit bagi anda untuk
membedakan antara satu petugas dengan petugas yang lainnya. Perlu
juga dicatat, nama hanya sekadar nama. Apa yang lebih penting dalam
meditasi adalah mengetahui objek tersebut dengan jelas.

68
Marilah kita kembali pada anak sekolah. Mereka mulai pendidikan
mereka dengan cara belajar A, B, C. Dengan cara ini, anak sekolah
akan belajar bagaimana membuat kalimat dan mengatakannya dengan
keras saat membaca. Pada tahap selanjutnya, mereka tidak lagi merasa
perlu untuk membaca kalimat dengan keras ketika membaca sebuah
buku. Mereka akan mampu membaca seluruh buku secara diam hanya
dalam pikiran mereka saja.

Para yogi tak ubahnya seperti anak sekolah ini. Pada awalnya,
mereka harus mencatat objek dengan cara melabeli. Hal ini akan
mengizinkan mereka untuk mengetahui berbagai objek secara berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Ketika mereka terus berjuang untuk
bermeditasi, kemampuan batin mereka menjadi lebih kuat dan mereka
mulai mengembangkan pandangan terang. Pada tahap ini, tidak perlu
lagi menggunakan pelabelan. Para yogi tidak harus melabeli pada
setiap objek lagi karena fondasi kesadaran mereka sudah menjadi agak
berkembang. Apa yang dilakukan, saat sebuah objek muncul, mereka
hanya memusatkan pikiran pada objek tersebut. Dengan melakukan
hal ini, mereka akan mampu mengetahui sifat sejati sebuah fenomena.

Mengetahui tidak lain dan tidak bukan adalah perkembangan


pandangan terang dan kebijaksanaan. Melabeli akan memberi
anda perkembangan kemampuan batin yang pada akhirnya akan
mengizinkan pandangan terang untuk muncul. Meditasi satipaṭṭhana
adalah sebuah metode yang memungkinkan anda untuk memiliki
perkembangan baik kemampuan batin maupun pandangan terang.
Dengan terus mengembangkan bentuk kesadaran semacam ini, anda
akan mampu memiliki perkembangan pikiran dan juga pandangan
terang. Hal ini akan menimbulkan kepuasan yang sangat besar bagi
anda.
69
Ceramah ini diberikan oleh Y.M. Sayadaw dalam merespons
pertanyaan-pertanyaan berikut ini dalam sesi diskusi Dhamma di
Panditarama.

Ketika bentuk pikiran halus muncul berulang-ulang dalam


aktivitas seseorang dalam kehidupan sehari-hari saat bermeditasi yang
telah secara konsisten bebas dari pikiran dan terkonsentrasi, haruskah
seseorang mengambil suatu tindakan atau cukup mengamatinya
dengan penuh kesadaran untuk mempelajari sifat pikiran yang muncul?
Haruskah seseorang mencoba untuk mencatat berbagai pikiran halus
yang muncul saat melakukan meditasi jalan dan kegiatan sehari-hari,
atau cukup mencatatnya sebagai latar belakang?

Seseorang mungkin berpikir dengan sengaja atau seseorang


mungkin memiliki pikiran saat mencatat objek. Apapun bentuk
pikirannya, sifat pikiran adalah sangat cepat. Dalam hitungan detik,
seseorang dapat berpikir mengenai masa lampau, seseorang dapat
berpikir mengenai masa depan. Akan ada pikiran semacam ini dalam
sedetik. Tetapi, karena kecepatan berpikir sangat cepat, kecepatan
pikiran bhavana, dengan kata lain, pikiran mencatat anda, tidak dapat
menangkap pikiran-pikiran tersebut.

Kita, pada umumnya, mungkin berpikir bahwa kita tidak berpikir.


Namun, hanya pada saat pikiran kita terpusat pada badan kita dalam
tempo yang tinggi, kita akan mengetahui bahwa kita memiliki pikiran
yang terus mengembara. Ada begitu banyak pikiran yang muncul
dalam diri kita yang tidak kita sadari. Pikiran yang kita sadari sangat
sedikit.

Sekalipun saat kita memiliki konsentrasi yang baik atau


konsentrasi kita bagus, selalu ada pikiran yang mengembara. Tetapi,

70
ketika kita mengembangkan pandangan terang, pencatatan akan
mampu menangkap pikiran yang terus mengembara, pikiran yang
terus mencatat dapat berjalan sejajar dengan pikiran yang terus
mengembara. Pada tingkat ini, tepat saat ketika pikiran cenderung
muncul, anda menyadari fenomena tersebut. Pada tahap ini, pikiran
yang saat ini telah dipersenjatai dengan kesadaran dapat menyadari
pikiran dan jika kuat dalam menyadari, kita akan mampu menyadari
pikiran dengan benar.

Ketika seseorang belum mampu mengembangkan konsentrasi


dan pandangan terang, dengan kata lain ketika pikiran belum cukup
kuat, dapat muncul bentuk pikiran yang kasar. Seseorang mungkin akan
mengetahui bahwa pikiran telah mengembara atau seseorang mungkin
mengetahui bahwa telah ada pikiran yang mengembara. Sekalipun
ketika kita bebas dari nivarana atau rintangan batin, ketika pikiran
kita menjadi tenang, ketika kita telah mengembangkan konsentrasi,
saat itu masih memungkinkan munculnya pikiran atau pikiran yang
mengembara. Tetapi pada tahap ini, pikiran akan termanifestasi dalam
bentuk pikiran halus. Pikiran ini tidak akan terasosiasikan dengan
kesenangan sensual. Dan, bukan pikiran sehari-hari yang menyebabkan
kita mencari objek sensual tertentu dan memikirkan hal itu.

Bentuk pikiran halus ini terjadi tanpa harus berpikir dengan


sengaja. Dan ketika pikiran mengembara seperti ini terjadi, mencatat
objek utama seperti muncul, lenyap, duduk, menyentuh tetap akan
masih ada. Seseorang akan tetap mengetahui objek utama meskipun
ada semacam pikiran yang mengembara dalam bentuk pikiran yang
halus. Pada tahap ini, sang yogi mungkin berpikir bahwa sekalipun
pikirannya tenang, masih ada begitu banyak pikiran yang mengembara.
Tetapi, hanya saat itulah sang yogi menyadari bahwa dia sedang
71
bergulat dengan pikiran yang mengembara. Sebelumnya, dia tidak
mengetahui bahwa dia bergulat dengan pikiran yang mengembara.

Pada tahap ini, sudah tidak perlu untuk mengambil suatu


tindakan saat ada pikiran yang halus. Tidak perlu mengikuti bentuk
pikiran semacam ini dengan kesadaran. Jika pada tingkat ini, sang
yogi mencatat objek utama, atau objek-objek lain yang muncul dalam
tubuh, yang jauh lebih nyata dari bentuk pikiran halus semacam ini,
pencatatannya pada objek utama atau pada objek-objek lainnya, tidak
akan kehilangan momentum. Terlebih lagi, bentuk pikiran halus
semacam ini tidak akan memberikan dampak pada pencatatan sang
yogi pada objek utama atau objek-objek lainnya. Karena itu, tidak
perlu mengambil tindakan apapun terhadap pikiran yang halus atau
mengikuti pikiran halus dengan kesadaran.

Apa yang lebih penting di sini adalah untuk mencatat objek


dengan tujuan dan fokus yang baik sehingga tidak akan muncul
kotoran batin atau nivarana—rintangan batin. Penting juga untuk lebih
memberikan perhatian sehingga nivarana atau rintangan batin tidak
akan muncul. Tidaklah penting untuk terus menyadari pikiran yang
halus. Tetapi jika pencatatan pada objek utama atau objek-objek yang
lain kehilangan momentum, perlulah anda memberikan perhatian dan
mencatat pikiran tersebut.

Ketika para yogi mencapai level ini, para yogi dari Timur
khususnya dari negara ini, Myanmar, akan melaporkan bahwa saat
mereka mencatat objek utama, di sela-sela itu, muncullah pikiran.
Tetapi, pencatatan pada objek utama tidak kehilangan momentum.
“Muncullah pikiran” demikian mereka akan melaporkan. Para yogi
ini dari Timur seperti dari Myanmar melaporkannya dengan sangat
jelas. Tetapi orang-orang dari Barat, ketika mereka mengalami hal
72
ini, mereka tidak melaporkannya dengan cara yang sama, melainkan
mereka akan melaporkan bahwa saat mereka sedang mencatat objek
utama, ada pikiran yang muncul sebagai latar belakang. Orang-orang
Barat melaporkannya seperti ini kepada Sayadaw. Pada awalnya,
Sayadaw bingung karena laporan tersebut tidak jelas baginya. Sayadaw
harus bertanya lebih lanjut kepada mereka dan mencari tahu apa yang
sebenarnya mereka maksudkan dalam laporan mereka. Orang-orang
Barat tidak melaporkan seperti halnya orang-orang dari Myanmar.

Sekarang, ketika konsentrasi menjadi kuat, saat yogi sedang


mencatat objek utama, yogi dari Myanmar akan mengatakan, “Di sela-
sela ada pikiran tetapi pencatatan pada objek utama tidak kehilangan
momentum”. Lebih jauh, pengetahuan mereka tentang pikiran adalah
hal yang terjadi secara spontan. Di sisi lain, karena orang-orang Barat
tidak melaporkan seperti yogi dari Myanmar, mereka mengatakan
pikiran muncul sebagai latar belakang.

Pada tingkat praktik semacam ini, pencatatan yang dilakukan


sang yogi pada objek utama tidak kehilangan momentum dan pada
saat yang bersamaan dia menyadari pikiran yang muncul di sela-sela
itu. Alasannya, pengamatan terjadi cukup kuat. Pengamatan cukup
luas. Dengan kata lain, sang yogi melihat objek yang dicatatnya
dengan cara yang sangat jelas. Saat mencatat objek utama atau objek-
objek lainnya seperti ini, tanpa perlu mencatat dengan sengaja, dia
menyadari adanya pikiran yng muncul di sela-sela itu. Dia tidak
perlu mengerahkan upaya untuk mengetahui pikiran yang muncul di
sela-sela pencatatan. Sekarang, apa yang dimaksudkan di sini adalah
bahwa sang yogi menyadari objek yang menjadi pusat perhatiannya.
Dia juga menyadari adanya pikiran yang bukan menjadi tujuannya.
Dia mengetahui adanya pikiran secara otomatis.
73
Ini adalah apa yang Sayaday maksudkan dengan penglihatan
yang luas dan penglihatan yang kuat. Anda menyadari objek utama
yang menjadi tujuan anda sementara pada waktu yang bersamaan
juga menyadari objek-objek lain seperti berpikir yang muncul di sela-
sela itu. Sekarang, anda akan menjumpai situasi semacam ini ketika
kesadaran anda menjadi konsisten dan kuat.

Ketika kesadaran anda menjadi konsisten dan kuat, pengamatan


anda akan menjadi kuat, pengamatan anda menjadi luas. Anda sekarang
menyempurnakan kekuatan kesadaran. Oleh karena itu, ketika
seseorang menjadi kuat dengan kekuatan kesadaran, pengamatan
orang tersebut menjadi kuat, pengamatan orang tersebut menjadi
luas. Sekarang, dalam komunitas saintifik, ketika seorang saintis
melakukan penelitian pada sebuah proyek, dia mencari sesuatu dari
proyek tersebut. Sebagai contohnya, dia mungkin ingin mengetahui
sesuatu tentang material tertentu. Sama halnya, apa yang dilakukan
para meditator di sini tidak ada bedanya seperti itu. Selama dalam
proses meditasi, kita mungkin menemui sesuatu yang sebenarnya tidak
kita harapkan. Demikian juga, seorang saintis mungkin mendapatkan
sesuatu selama penelitiannya yang bukan menjadi tujuannya. Pada
saat yang bersamaan, dia mungkin menemukan sesuatu yang menjadi
tujuannya yang sebenarnya.

Sebuah contoh yang bagus adalah penemuan plastik. Plastik


ditemukan ketika saintis sedang melakukan penelitian untuk mencari
sesuatu yang lainnya. Praktik juga seperti ini. Saat kita sedang
mencatat dan fokus pada berbagai objek, kita mungkin menemukan
dan menyadari objek-objek lainnya, seperti berpikir yang muncul di
sela-sela pencatatan. Ketika kesadaran menjadi kuat dan kokoh, kita
tidak hanya akan mengetahui objek yang menjadi perhatian kita, kita

74
juga akan mengetahui objek-objek yang muncul di sela-sela itu. Sebuah
contoh yang bagus adalah berpikir. Namun, kita harus menyadari di
sini bahwa berpikir bukanlah sesuatu yang menjadi tujuan kita. Pikiran
tersebut muncul saat kita mencatat objek utama; kita menjadi sadar
akan adanya pikiran tersebut pada poin tersebut.

Dalam kasus plastik, ketika para saintis sedang melakukan


penelitian, mereka mampu tidak hanya menemukan solusi yang mereka
butuhkan, mereka juga menemukan cara bagaimana membuat plastik.
Dalam kasus para meditator, kita akan menemui situasi yang sama ini
hanya ketika pencatatan kita cukup baik dan berkesinambungan.

Di Myanmar, kita memiliki ungkapan, “Ketika pencatatan


berkesinambungan dan menjadi kuat, pengamatan kita menjadi kuat,
pengamatan kita menjadi luas”. Oleh karena itu, dalam hal ini, ketika
kesadaran kita (sati) menjadi kuat, pengamatan kita menjadi kuat dan
luas. Sekarang, ketika kekuatan konsentrasi kita (samadhindriya)
menjadi kuat, pengamatan kita menjadi tajam. Kita melihat dengan
tajam dan dengan cara yang tajam pula. Dan ketika kekuatan keyakinan
kita (saddhindriya) menjadi tajam, pengamatan menjadi jelas, aktif
dan jernih.

Apa yang Sayadaw usahakan untuk didapatkan adalah ini. Ketika


usaha para yogi kuat, walaupun dia menghadapi berbagai kesulitan
selama bermeditasi, dia tidak akan “mundur” atau menyerah. Hal
ini terjadi karena kokohnya kekuatan semangat (viriyindriya). Dia
menghadapi masalah dengan semangat dan keberanian. Dengan
menghadapi berbagai kesulitan dengan cara ini, pengalaman-
pengalaman dan kesadarannya akan berkembang dan maju.

Secara singkat, ada empat jenis kekuatan ini: kekuatan kesadaran,


75
yang memberikan anda pengamatan yang kuat; kekuatan konsentrasi,
yang memberi anda ketajaman dalam mengamati; kekuatan keyakinan
yang memberi anda pengamatan yang jelas dan aktif; dan akhirnya
kekuatan semangat yang mengizinkan anda untuk memiliki kemajuan
dalam pengamatan anda. Sebenarnya, semua ini dijelaskan dalam
Kitab Suci dan semua kekuatan adalah bagus. Oleh karena itu, kita
harus berusaha untuk mendapatkan semua empat kekuatan ini.

Sebenarnya, kekuatan keyakinan, semangat dan konsentrasi


tidak begitu berkaitan dengan pertanyaan ini. Akan tetapi, Sayadaw
telah menyebutkan tiga kekuatan ini karena mereka berkaitan erat
dengan para yogi yang sedang praktik di pusat meditasi ini. Beberapa
dari para yogi telah praktik di pusat ini untuk beberapa waktu, bahkan
ada yang telah beberapa bulan. Tetapi, karena konsentrasi mereka
tidak begitu baik dan kekuatan konsentrasi mereka tidak begitu kuat,
pengamatan atau pengalaman mereka tidak tajam. Pengamatan mereka
agak tumpul.

Lebih jauh, kekuatan keyakinan di dalam beberapa yogi cukup


lemah dan tidak kuat. Mereka tidak praktik untuk bebas dari nivarana
atau rintangan. Cara mereka praktik tidak berkesinambungan. Dengan
kata lain, mereka praktik dengan cara datang dan pergi. Jika seseorang
praktik semacam ini, berhenti sejenak dan praktik kembali, rintangan
atau nivarana akan muncul dalam jeda itu dan menimbulkan masalah
bagi sang yogi. Rintangan-rintangan ini mengotori pikiran dan
membuat pikiran menjadi tidak jernih.

Sebagai contohnya, kita mungkin memiliki kolam renang. Di


dasar kolam, mungkin ada endapan lumpur. Jika kamu mengaduk
airnya, tergantung seberapa kuat mengaduknya, air dapat menjadi
keruh. Namun, jika kita tetap menjaga kolam dalam keadaan tenang
76
dan tidak mengaduknya, air tentu akan tetap jernih. Sekarang, air yang
telah berubah keruh menjadi tidak menyenangkan, licin dan lanyau.
Air yang jernih tidak seperti itu. Kita dapat mengatakan bahwa air
yang jernih seperti praktik yang jelas dan aktif. Air yang kotor bersifat
sebaliknya. Rintangan-rintangan ini dapat melemahkan kesadaran dan
konsentrasi yogi.

Jika yogi sering dan selalu beristirahat dalam praktiknya, akan


selalu dan sering ada kesempatan-kesempatan bagi rintangan batin
untuk muncul. Rintangan-rintangan ini akan mengotori pikiran,
hal itu akan melemahkan kebijaksanaan seseorang dan karena itu,
pengamatan atau pengalamannya tidak akan menjadi jelas, aktif dan
tajam.

Di dunia modern, orang-orang Barat begitu tergantung pada


mesin dan gadget. Mereka terbiasa dengan hidup yang nyaman seperti
itu. Karena itu, karena ketergantungan mereka yang begitu kuat pada
berbagai gadget tersebut, mereka tidak terbiasa untuk menghadapi dan
menyelesaikan masalah. Mereka kekurangan kualitas kesabaran dan
keuletan. Hal ini juga demikian bagi mereka dalam praktik meditasi.

Ketika mereka menghadapi pengalaman meditasi tertentu, mereka


menjadi enggan untuk melanjutkan. Mereka tidak ingin praktik.
Mereka enggan dan takut untuk menghadapi risiko. Adalah penting
untuk mengingat bahwa ketika kamu bertemu dengan musuhmu,
jika kamu menyerah atau mundur, musuhmu akan mengalahkanmu.
Namun, jika anda mampu melawan musuhmu, dia akan pergi dengan
sendirinya.

Adalah penting dan krusial bagi anda untuk memiliki keberanian


dan semangat. Jika anda berani, bersemangat dan berjiwa kesatria,
77
tentara kilesa akan pergi. Pikiran anda akan mengalami kemajuan.
Hal ini akan terjadi pada yogi yang semangatnya bagus. Ketika
mengerahkan semangat, yogi harus melakukannya secara bertahap.

Pertama, anda membangun semangat permulaan agar dapat


memulai praktik meditasi. Setelah itu, anda mengembangkan semangat
anda sehinga anda dapat mengatasi kemalasan dan keengganan
(thinamiddha). Anda lalu meningkatkannya sekali lagi semangat
anda hingga tujuan dicapai. Jika anda memiliki tujuan semacam ini,
anda akan maju. Namun, jika anda gagal untuk mengembangkan atau
tidak memiliki kekuatan semacam ini, anda tidak akan mendapatkan
kemajuan sama sekali bahkan jika anda bermeditasi dalam kurun waktu
yang lama, katakanlah satu, dua atau tiga bulan. Sayadaw menekankan
sekali lagi bahwa tiga kekuatan ini dari keempat kekuatan tersebut
sebetulnya tidak berkaitan dengan pertanyaan tersebut. Namun,
Sayadaw berpikir bahwa hanya layak untuk menyertakannya dalam
diskusi kita di sini pada hari ini sehingga yogi akan memahaminya
dan mampu praktik dengan baik.

Untuk mempersingkat cerita, penting bagi anda untuk bisa


mencatat objek yang muncul. Hanya dengan cara semacam ini,
anda akan mendapatkan kemajuan. Anda dapat mengembangkan
konsentrasi hanya ketika anda mampu mencatat objek yang muncul
tanpa disertai pikiran yang mengembara. Lebih jauh, ketika mencatat
objek, anda harus memiliki kesadaran. Anda harus tidak memikirkan
objek, melainkan anda harus mencatat objek dengan cepat. Jika anda
praktik semacam ini, anda akan mendapatkan kemajuan. Pengamatan
atau pengalaman anda akan menjadi kuat dan luas. Namun, jika anda
gagal untuk mencatat objek yang muncul, pengamatan anda tidak akan
menjadi kuat dan luas. Dengan demikian, anda akan mendapati diri

78
anda melaporkan hal yang sama terus menerus hampir dalam setiap
interview. Mengapa demikian? Hal ini terjadi karena anda mengizinkan
nivarana atau rintangan untuk datang selama jeda atau istirahat dalam
praktik anda. Hal ini terjadi karena karena anda memutuskan latihan
dari waktu ke waktu. Selama latihan meditasi, jika anda mengalami
sesuatu, anda akan berhenti dan berpikir, “Apakah ini?”. Jika anda
mengalami lebih lanjut sesuatu yang luar biasa, jika rasa pengalaman
tersebut sangat bagus, akan melekat pada pengalaman tersebut. Ketika
hal ini terjadi, pengamatan anda akan menjadi kotor seperti contoh
kolam air. Jika kamu mengaduk kolam air, lapisan lumpur di dasar
kolam akan menyebabkan air menjadi keruh.

Jika kamu memiliki keyakinan, tidak akan ada air yang keruh.
Karena itu, anda harus bertanya pada diri anda sendiri pertanyaan:
“Apakah saya benar-benar memiliki keyakinan? Apakah saya praktik
dengan cara yang benar, orang yang bebas dari rintangan? Dapatkah
saya mencatat seperti ini?”. Jika nivarana masuk, pengalaman atau
pengamatan anda akan menjadi tidak jelas.

Anda harus lebih jauh bertanya pada diri sendiri: “Apakah saya
praktik dengan mengabaikan kehidupan dan organ tubuh? Apakah
saya percaya bahwa ini adalah satu-satunya Dhamma yang saya
inginkan? Apakah saya praktik mengabaikan segalanya dan bertujuan
hanya pada Dhamma? Ketika saya mencatat objek, apakah saya
mendapatkan kesulitan, apakah saya mampu mengatasinya? Apakah
saya memiliki tujuan dalam meditasi saya? Dengan begitu, apakah
saya fokus pada tujuan saya?”. Inilah hal-hal yang anda perlu evaluasi
untuk diri sendiri.

Jika anda tidak memiliki faktor-faktor ini, pengamatan dan


pengalaman anda tidak akan mengalami kemajuan. Yang paling
79
parah ketika anda mengalami sesuatu adalah berpikir, “Mengapa?
Apa? Kapan?”. Jika anda berpikir semacam ini, rintangan batin akan
datang, dan pengamatan anda kembali menjadi tidak jelas. Jika anda
mencatat dengan cara ini, anda akan mampu mendapatkan sesuatu
hanya dengan cara berpikir saja. Namun, dalam praktik, anda tidak
akan mencapai sesuatu. Daripada berpikir, jauh lebih baik jika yogi
tertidur. Sekurang-kurangnya ketika anda tertidur, anda akan tidur
dengan nyenyak.

Dalam sesi duduk, ketika posisi duduk seseorang terus-menerus


miring ke satu sisi, apakah dia harus meluruskannya sesegera mungkin
begitu kemiringan itu dia sadari? Atau, haruskah orang tersebut
mengizinkan kemiringan terjadi begitu ekstrem, meluruskannya
tepat saat tubuhnya akan terjatuh atau ketika sakit sudah tidak lagi
tertahankan? Haruskah dia bersandar pada dinding untuk menghentikan
kecenderungan miring semacam itu untuk jangka pendek?

Jika seseorang cenderung berliur saat sesi duduk, apakah dia


cukup menyadari hal itu atau berusaha keras untuk mengendalikannya?

Jika kesadaran, konsentrasi dan kebijaksanaan tidak seimbang,


yogi dapat miring dalam meditasi. Dia dapat miring ke samping, ke
depan atau ke belakang. Kondisi semacam ini dapat terjadi. Jika posisi
tubuh tidak seimbang, jika yogi miring pada satu sisi, beban akan
beralir ke sisi tersebut. Pada saat itu, yogi mungkin merasakan sakit
yang tidak tertahankan. Namun, sekalipun jika tubuh miring ke satu
sisi, jika yogi dapat menahannya, dia dapat mencatat posisi miring ini.
Jika dia tidak mampu menahannya, dia juga perlu mencatat fenomena
semacam ini. Dan jika ini tidak cukup, jika dia ingin meluruskan, dia
harus pertama mencatat keinginan untuk meluruskan. Dia kemudian
dapat meluruskan badan dengan sangat pelan, dengan kesadaran.
80
Ketika kesadaran, konsentrasi dan kebijaksanaan tidak seimbang,
sebuah perumpamaan dapat diberikan. Ambillah sebagai contohnya
jam dinding. Pada zaman dahulu, anda harus memutar pernya. Karena
per sering dan selalu diputar, kekuatan per menjadi lemah. Sama
halnya, ketika ada ketidakseimbangan antara kesadaran, konsentrasi
dan kebijaksanaan, yogi cenderung kehilangan beberapa kekuatan.
Dia menjadi agak lemah. Inilah mengapa badan menjadi miring. Yogi
tidak mampu menjaga tekadnya untuk menahan tubuhnya tegak.
Jika ini terjadi, dia harus mencatat hal itu. Jika dia tidak mampu
mengendalikan kemiringan, dia harus mencatatnya.

Yogi mungkin bersandar di dinding. Sang Buddha sendiri tidak


bersandar atau menyandarkan diri-Nya pada pohon Bodhi. Pohon
Bodhi yang anda lihat di belakang Sang Buddha bukanlah pohon yang
dipergunakan untuk bersandar. Itu hanyalah latar belakang.

Ketika Sayadaw masih muda, dia memiliki kebiasaan untuk


bersandar pada dinding ketika dia sedang bermeditasi. Begitu, beberapa
waktu berlalu, dia mulai berpikir seperti ini: “Sekarang saya memiliki
kebiasaan untuk bersandar pada dinding. Sepanjang ada dinding, saya
akan bisa praktik. Saya akan baik-baik saja karena saya tergantung
pada keberadaan dinding. Namun, jika saya kebetulan praktik di tempat
yang tidak ada dindingnya, lalu saya akan mendapatkan masalah”.
Karena itu, sejak saat itu, Sayadaw tidak bersandar. Belakangan, dia
mampu untuk bermeditasi dengan baik tanpa bantuan dinding.

Beberapa yogi yang tidak memiliki kesehatan yang baik dan


yang memiliki masalah kesehatan diminta untuk bermeditasi dengan
bersandar pada dinding atau dalam postur berbaring. Praktik semacam
ini diizinkan bagi para yogi yang sakit. Namun, jika anda kuat dan
sehat, ada baiknya melakukan meditasi duduk dengan posisi tegak
81
sembilan puluh derajat.

Terhadap masalah berliur, ini adalah fenomena rembesan karena


elemen air (apo). Jika anda merasakan liur selalu merembes, anda
dapat mencatatnya “berliur, berliur”. Jika ada banyak liur yang keluar
dan terkumpul, anda dapat mencatatnya “penuh, penuh”. Jika anda
berniat untuk menelannya, anda harus mencatat niat untuk menelan
dan kemudian menelan ludah sambal mencatat “menelan, menelan”.

Anda tidak perlu mengendalikan fenomena yang sebenarnya. Hal


itu akan seperti berusaha untuk menghentikan aliran air yang sangat
kuat. Seandainya liur menjadi berlebihan dan anda berkeinginan untuk
meludahkan liur yang berlebihan, anda bisa saja melakukannya di
tempat yang layak. Namun, anda tetap perlu mencatat tindakan yang
dilakukan selama proses meludah. Anda tidak perlu mengendalikan
sifat alami mereka. Anda hanya perlu untuk mengendalikan kilesa,
kotoran batin. Seandainya anda gagal untuk mengendalikan kotoran
batin dan mereka muncul, anda perlu mencacat kotoran batin ini.

82
Memory Tentang Sayadawgyi

Berikut ini adalah memori Y.M. U. Dhammajiva Mahathera tentang


kehidupannya belajar di bawah bimbingan Ovādacariya Sayādaw U
Paṇḍitābhivaṃsa Mahathera dari Myanmar. Y.M. U. Dhammajiva saat
ini adalah kepala Vihāra Mitirigala Nissaranavanaya, vihara hutan di
Sri Lanka dan dia adalah seorang guru meditasi yang cukup terkenal,
fasih dalam bahasa Sinhala, Inggris dan Burma. Dia menghabiskan
hampir empat tahun di Myanmar di bawah bimbingan Ovādacariya
Sayādaw U Paṇḍitābhivaṃsa Mahāthera. Dia merupakan anggota
team yang ditunjuk oleh Sayadaw-ji untuk mengawasi pembangunan
Panditarama Forest Meditation Center pada masa-masa awal.

Mitirigala Nissaranavanaya Forest Monastery adalah pusat


meditasi yang paling terkenal di Sri Lanka. Pusat meditasi ini
terkenal karena mempopulerkan meditasi jalan di Sri Lanka dengan
menggunakan jalan berpasir mirip dengan apa yang digunakan di
India dan Sri Lanka Kuno.

Y.M. U. Dhammajiva Mahāthera mengunjungi kembali


Panditarama pada 2012 dengan sekelompok kecil dari Sri Lanka setelah
beberapa tahun dan melanjutkannya setiap tahun dengan sekelompok
yogi dan para bhikkhu. Hal ini telah memperkuat hubungan Dhamma
antara Panditarama dan Mitirigala Nissarana Forest Monastery.

Memoar Seorang Samana Muda dari Sri Lanka pada masa


Keemasannya di Panditarama

“Cukup menyedihkan bahwa Maha-si Sayadaw dan semua


83
instruktur senior meditasinya telah meninggal begitu cepat di Burma
dalam jangka waktu yang begitu singkat. Hanya Pandita yang tersisa”
kenang guru penahbis saya Y.M. Matara Ñāṇārāma Mahāthera pada
suatu malam pada tahun 1991 sebelum beristirahat. Hal ini dikatakan
karena saya baru saja menyebutkan kepadanya tentang buku yang saya
baca “In this Very Life” oleh Y.M. U Panditabhivamsa di perpustakaan
Vihara Nissaranavanaya tepat sebelum merawat beliau malam itu.
Saya lalu mengetahui bahwa Y.M. Ñāṇārāma mengetahui tentang
Sayadaw dan belakangan bertanya mengenai Burma dan tradisi Maha-
si. Beliau merupakan seorang figur utama di Sri Lanka khususnya di
antara bhikkhu lokal tradisi Maha-si.

Itu adalah sebuah kejadian yang saya ingat dengan jelas terjadi
pada masa awal kehidupan saya sebagai samana yang bertindak
sebagai pembantu beliau. Setelah Y.M. Ñāṇārāma meninggal, Y.M.
Ñāṇinda yang dikenal sebagai Galle Sayadaw, seorang bhikkhu
senior asal Burma yang dikenal baik oleh Y.M. Ñāṇārāma dan juga
Sayadawgyi mengunjungi Nissarana Vanaya dan memberi tahu kami
bahwa pemerintah Burma telah menganugrahkan gelar kehormatan
“Agga Maha Pandita” sebagai bentuk penghormatan dan beliaupun
meminta kesediaan saya untuk menemaninya ke Burma untuk acara
penganugerahan gelar kehormatan ini. Saya senang untuk pergi
dan bertemu “Pandita” pada kesempatan tersebut dan saya pun
mengunjungi Burma pada tanggal 27 Januari 1992.

Setelah acara awal penganugerahan gelar kehormatan oleh


pemerintah dan ziarah bersama semua Sayadaw Agga Maha Pandita,
saya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi Panditarama
bersama Galle Sayadaw, Agga Maha Pandita U Ñāṇinda. Pada saat
itu, hanya Nayaka Sayadaw U Sasana yang ada di Panditarama.

84
Tidaklah sulit untuk mendapatkan izin untuk tinggal dan bermeditasi
di Panditarama karena pengantar yang baik dari Galle Sayadaw.

Belakangan, Sayadawgyi kembali ke Panditarama setelah sebuah


perjalanan ke luar negeri. Ini adalah untuk pertama kalinya saya
melihatnya dan menganggapnya sebegai Y.M. Ñāṇārāma yang lain. Ini
adalah bagaimana kehidupan saya di Burma dimulai. Saya berusaha
untuk menulis semua kata-kata Sayadawgyi dari ceramah-ceramahnya.
Lebih jauh, secara diam-diam saya mulai mempelajari bahasa Burma
untuk mempertajam pemahaman saya tentang ceramah Dhamma
dan interview ketika dan kapanpun memungkinkan. Kemampuan
yang paling mengesankan yang saya temukan adalah kemampuan
komunikasi Sayadawgyi, ketajamannya dalam menggunakan bahasa
dengan tata bahasa dan ironisnya inilah titik kelemahan saya. Saya
melihatnya sebagai Guru Zen yang berkomunikasi dengan berbagai
sarana yang memungkinkan, seperti postur tubuh, ketepatan waktu,
kesempatan, bahasa dan ekspresi wajah sekadar untuk menyebutkan
beberapa di antaranya.

Untuk kepentingan pribadi saya, saya mendapatkan sebuah


buku berwarna kuning yang ditulis oleh Sayadawgyi. Buku tersebut
menjelaskan tentang sisi teknis meditasi vipassana dan tampaknya itu
adalah kontribusi unik olehnya dalam metode Maha-si. Suatu hari,
saya sebutkan hal itu kepada Sayadawgyi. Tetapi, dengan segala
kerendahan hati, beliau mengatakan bahwa kontribusinya terhadap
metode Maha-si tidaklah begitu penting. Jika memang benar demikian
realitasnya, bagi saya kerendahan hatinya adalah alasan utama atas
kekaguman saya padanya. Saya juga melihat pendekatan tekniknya
sangat rasional mungkin karena latar belakang saya sebagai seorang
fisikawan. Belakangan, buku yang sama diterbitkan sebagai sebuah
85
buku dengan judul “Beberapa Petunjuk Singkat untuk Interview”.

Saya menyesuaikan diri saya dengan lingkungan Panditarama


sangat cepat dan mampu mengikuti jadwal rutin selain mendapatkan
kepercayaan diri melalui berbagai fasilitas yang ada, tidak hanya
pemahaman vipassana tetapi juga merasakan hal yang sama dengan
yang lain juga. Saya melihat bahwa banyak yogi yang berkunjung ke
Panditarama merasa sulit untuk menyesuaikan dengan kehidupan di
sana dan meninggalkan tempat itu tak lama setelah itu. Namun, saya
cukup beruntung karena didampingi Bhikkhu U Vivekananda, sesama
meditator yang dapat dikatakan sebagai mentor saya juga.

Setelah sekitar dua tahun, kami mengunjungi desa Kyauktan


melalui Hse Main Gon (HMG) untuk melewati musim panas dan
mengunjungi area HMG untuk pertama kalinya. Sayadawgyi
kemudian mengungkapkan keinginannya untuk membangun vihara
hutan di tempat tersebut. Secara lambat laun, saya menjadi panitia
perencanaan dan memulai perencanaan vihara hutan bersama tiga
orang lainnya yang ditunjuk oleh Sayadawgyi. Sementara itu, saya
mulai menerjemahkan beberapa buku dalam bahasa Burma ke dalam
bahasa Sinhala, diawali dengan buku “Dhamma Desana di Amerika”
oleh Sayadaw-ji.

Beberapa pengunjung dari Sri Lanka bahkan telah mengatakan


bahwa saya tidak berpikir untuk kembali ke Sri Lanka. Segala
sesuatunya berjalan dengan sangat cepat di HMG. Thāmanay Kyaw
mulai menulis buku tentang Sayadawgyi, yang kemudian diberi
judul “Satu Perjalanan Kehidupan”, di situlah dia mempresentasikan
berbagai episode yang sangat jelas mengenai Sayadawgyi dengan
sangat detail.

86
Setelah menerima beberapa permintaan dari Nissarana Vanaya di
Sri Lanka, saya harus kembali dan meminta izin dari Sayadawgyi untuk
pulang. Awalnya, beliau meyakinkan saya untuk tinggal setahun lagi dan
untuk menguatkan pengalaman meditasi saya di bawah bimbingannya
dan saya pun setuju. Praktik pun dilanjutkan bersamaan dengan kerja
berat di lapangan seperti perencanaan proyek HMG. Karena tuntutan
selama beberapa kali yang saya terima setelah setahun berlalu, saya
pun terpaksa memberi tahu Sayadawgyi mengenai rencana saya untuk
kembali ke Sri Lanka. Saat itu, Y.M. Sayadaw U Sasana menjelaskan
bahwa lebih baik tinggal bersama Sayadawgyi, tetapi kondisinya tidak
bisa saya ubah dan saya pun kembali pada bulan Desember 1996 saat
perayaan Natal.

Segera setelah kembali ke Sri Lanka, saya mempercepat proyek


terjemahan sebagaimana disarankan oleh Sayadawgyi dan berikut ini
adalah buku-buku yang diterjemahkan ke dalam bahasa Sinhala dan
diterbitkan untuk didistribusikan secara gratis:

I. Karya Maha-si Sayadaw

1. “Vipassana shoe nee kyam” (Vipassana nayappakaranaya),


1000 halaman (dua bab pertama diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris dan diterbitkan sebagai e-book di vipassana.com)

2. Pengantar Vipassana 27 halaman.

II. Karya Sayadawgyi

1. Dhamma Desana di Amerika ceramah di USA. Diterbitkan


oleh BPS, 263 halaman.

2. Petunjuk mengenai Panditarama oleh Sayadaw-ji, 58 halaman.

87
3. Tetesan Hujan di Tengah Musim Panas oleh Sayadaw-ji, 58
halaman.

4.
Pembuka Jalan: Petunjuk bagi Para Yogi saat Interview/
Petunjuk Singkat untuk Interview, 28 halaman.

5. Tapyekan: Petunjuk dari Sayadaw

III. Karya Lainnya

1. Nibbāna Gamini Patipada oleh Pha-auk Sayadaw, 1040


halaman

2. Meditasi Vipassana oleh U Janaka (Chanmyay), 119 halaman

Dengan semua buku ini, saya mengunjungi Sayadawgyi pada


tahun 2002 bersama dengan dua orang bhikkhu dari Sri Lanka dan
memperkenalkan mereka kepada Sayadawgyi. Bhikkhu Vivekananda
dari Nepal juga ikut serta. Lagi-lagi karena berbagai kegiatan di
Sri Lanka, saya tidak memiliki kesempatan untuk mengunjungi
Sayadawgyi hingga 2012. (Selama kunjungan saya ke USA pada
tahun 2010, saya mengunjungi Sayadawgyi di Thatagata Meditation
Center di San Jose, Kalifornia. Saya tinggal di sana selama tiga hari
bersama Sayadaw-ji. Kenneth Morris, Barbara Janus bersama Ko Hla
Myint juga ada di sana).

Pada saat itu, Panditarama dan HMG telah berubah begitu


banyak sehingga saya merasa seperti orang asing. Pengetahuan bahasa
Burma saya juga sudah lemah. Dengan adanya U Mya Tanung sebagai
penerjemah, Daw Win, Ko Hla Mying dan sebagainya bersama dengan
Thamaney-Jo mampu membuat lingkungan menjadi lebih nyaman buat
saya. Saya mendapatkan berita bahwa U Kyaw Kyaw telah meninggal
dunia. Banyak muka-muka lama tak terlihat lagi. Saya bertekad
88
untuk mengunjungi Sayadawgyi minimal sekali dalam setahun jika
waktunya memungkinkan. Karena itu, pada tahun 2012-2013, saya
mengunjunginya lagi bersama sekelompok kecil romgongan pada
saat retreat internasional akhir tahun di HMG. Karena perjalanan-
perjalanan tahunan ini, saya jarang mendapatkan kesempatan untuk
bertemu dengan Sayadawgyi. Dalam setiap kunjungan, saya selalu
menyempatkan diri untuk mengunjungi Kedutaan Besar Sri Lanka di
Yangoon juga.

Setiap kali saya mengunjungi Burma, cukup jelas terlihat bahwa


perubahan terjadi begitu cepat. Kedisiplinan di pusat meditasi telah
secara lambat laun menjadi lebih keras, sedangkan Burma sebagai
sebuah negara kehilangan kedisiplinannya dan kehancuran budaya
Burma semakin terlihat jelas. Sudah barang tentu penegakan standar
yang sangat tinggi di Panditarama sangat tergantung hanya pada satu
orang, Sayadawgyi.

89
Santuṭṭhi: Bersyukur ala Buddhis

Suatu hari, saya ditanya oleh seorang upāsaka. Pertanyaannya,


“Bagaimana caranya umat Buddha bersyukur?” Jujur saja, pertanyaan
ini membingungkan saya. Selama ini, saya tidak pernah mendengarkan
kata “bersyukur” dalam tradisi Buddhis. Selama hidup dalam dunia
akademis, pun tidak pernah mendengarkan istilah ini. Ketika saya
hidup di kalangan masyarakat Sri Lanka yang tradisi Buddhisnya
cukup kental, saya pun tidak pernah mendengarkan ungkapan ini.

Apa yang terjadi dengan masyarakat Buddhis Indonesia sehingga


mereka bertanya demikian? Setelah ditelusuri, ternyata saat itu sedang
terjadi tren di Indonesia untuk bersyukur. Tampaknya, budaya itu
dipopulerkan oleh seorang motivator. Umat Buddha pun ikut latah,
ikut terbawa arus: Bersyukur.

Secara linguistik, bersyukur berarti berterima kasih kepada


Tuhan, atas berkah yang diberikan, atas kenikmatan yang dilimpah,
atas kebahagiaan yang dicurahkan. Namun, agama Buddha tidak
memiliki konsep Tuhan yang demikian; juga tidak ada deva atau
makhluk yang layak untuk menduduki posisi yang seperti itu. Sang
Buddha juga tidak mengajarkan bersyukur dengan cara-cara seperti
itu. Lalu, bagaimana? Apakah kita tidak layak untuk bersyukur?
Apakah kita tidak memiliki tradisi bersyukur?

Kata yang paling mendekati makna syukur, meski tidak sama,


adalah santuṭṭhi. Istilah santuṭṭhi dapat diterjemahkan atau dipahami
sebagai kondisi mental seseorang yang merasa puas dengan apa
yang dimiliki atau posisi yang diduduki (santussamāno itarītarena).
Merasa puas dalam konteks ini sama sekali tidak ada kaitan dengan

90
berterima kasih kepada suatu kekuatan di luar. Ini adalah murni wujud
kedewasaan batin. Puas karena kebutuhannya tercukupi, puas karena
tidak banyak keinginan. Karena itu, kepuasan dalam konteks agama
Buddha, tidak dapat dipisahkan dari sedikit keinginan (appicchatā).
Keduanya saling melengkapi, dan tidak bisa berdiri sendiri. Jika satu
tidak ada, yang lainpun tidak ada.

Karena kepuasan berarti memiliki sedikit keinginan,


kepuasan berbeda dari bersyukur yang sering kali dipahami
sebagai membandingkan. Contohnya, seseorang merasa bersyukur
karena masih bisa makan, masih punya tempat tinggal, masih bisa
mendapatkan pendidikan; sedangkan yang lainnya jangankan untuk
mendapatkan makan yang cukup, untuk bisa mendapatkan sesuap nasi
saja itu merupakan sesuatu yang luar biasa; mereka tinggal di tempat
terbuka; tidak pernah merasakan indahnya pendidikan.

Dalam konteks agama Buddha membandingkan diri seperti


contoh di atas, itu bukan kepuasan, tetapi kesombongan (māna). Dapat
dikatakan sebagai kesombongan karena ciri khas kesombongan adalah
mengukur. Ukuran tersebut dapat dilihat dari konteks lebih rendah,
setara dan lebih tinggi. Jelaslah bahwa, bersyukur dalam contoh di
atas, adalah di satu sisi, merasa lebih tinggi dibandingkan dengan
orang lain; sementara di sisi lain, merendahkah orang lain karena tidak
bisa seperti dirinya.

Bersyukur dengan cara membandingkan semacam itu, secara


psikologis, jelas tidak menyehatkan. Bersyukur semacam itu
adalah penyakit mental yang dapat memicu berbagai konflik sosial.
Alasannya, ketika seseorang membandingkan dirinya semacam itu,
di situlah mulai tertanan benih-benih hinaan terhadap orang yang
tidak seperti dirinya dan pujian terhadap diri sendiri karena mampu
91
melampaui yang lain. Ini sangat halus, sebenarnya, dan agak sulit
untuk diditeksi oleh kebanyakan orang sehingga kebanyakan orang
akan melihat bersyukur semacam itu sebagai bentuk kewajaran.

Karena yang menjadi dasarnya adalah penghinaan terhadap


orang lain dan pujian terhadap diri sendiri, bersyukur semacam itu
justru menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Muncullah iri hati,
kebencian, ketidaksukaan. Jelas terlihat tidak ada kepuasan dalam
konteks semacam ini. Yang ada adalah ketidakpuasan. Tidak adanya
kepuasan akan mudah memicu munculnya kritik, keluh kesah, dan
tidak bahagia.

Puas dalam konteks santuṭṭhi berarti menerima apa yang ada,


tidak protes, tidak mengkritik, juga tidak mengeluhkan apa yang
dihadapinya. Kepuasan semacam ini timbul karena merasa cukup
dengan apa yang ada; tidak mengaharapkan lebih dari itu. Namun,
perlu dicatat bahwa santuṭṭhi bukankan sikap apatis, dingin, tanpa
gairah kehidupan.

Sang Buddha mengkritik sikap hidup yang apatis, dingin dan tanpa
gairah kehidupan. Ini terbukti dengan kritik Sang Buddha terhadap
filsafat hidup yang dikembangkan oleh para filsuf India. Filsafat
kehidupan yang dikritik oleh Sang Buddha adalah akiriyavāda dan
niyativāda. Akiriyavāda adalah filsafat kehidupan yang menekankan
pentingnya untuk tidak aktif, pasif, dingin, tanpa melakukan tindakan
apa-apa. Sang Buddha menilai filsafat kehidupan semacam ini sangat
destruktif baik pada level fisiologis, verbal maupun psikologis.

Niyativāda menekankan penting filsafat kehidupan bahwa segala


sesuatu terjadi tanpa sebab atau kondisi. Manusia dianggap tidak
memiliki kemampuan untuk mengubah diri, tidak ada manfaatnya

92
berusaha, tidak ada gunanya memiliki semangat. Secara singkat, semua
hidup tanpa memiliki otoritas untuk berkreasi sesuai yang diharapkan.
Semua tidak memiliki kekuasan untuk menentukan hidupnya. Semua
proses kehidupan telah diatur sedemikian rupa sehingga manusia
hanya perlu menjalaninya, tanpa perlu usaha apapun.

Dengan menolak filsafat akiriyavāda dan niyativāda, Sang


Buddha menekankan pentingnya mengembangkan semangat (viriya),
motivasi (vāyāma), usaha (ussaha). Selain beberapa istilah tersebut
tentu masih ada banyak istilah yang mengacu pada pentingnya untuk
hidup berkreativitas, bersemangat, memiliki motivasi dan dedikasi.

Dengan demikian, santuṭṭhi dalam pemahaman yang diajarkan


oleh Sang Buddha adalah puas dengan apa yang ada, tidak komplain
terhadap apa yang dimiliki, tetapi tetap bersemangat untuk bekerja,
tetap termovitasi untuk meraih kesuksesan, tetap memiliki dedikasi
yang tinggi untuk melakukan yang terbaik, baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain. Dengan kata lain, seseorang yang memiliki
rasa puas, tetap akan bekerja, bersemangat, termotivasi, penuh dedikasi
tetapi tanpa disertai ambisi.

Karena kepuasan dianggap sebagai kualitas yang penting untuk


dimiliki, kepuasan dianggap sebagai harta yang paling berharga
(santuṭṭhiparamaṃ dhanaṃ). Dikatakan demikian karena hanya
orang-orang yang merasa puaslah yang akan merasa paling kaya,
paling berada, tidak kekurangan apapun. Sementara itu, orang yang
tidak puas akan selalu merasa kurang dengan yang dimiliki, apa yang
dimiliki tidak cukup untuk memenuhi kebutuhannya.

Hanya orang yang bijaksana yang akan bisa merasa puas.


Sedangakan, orang yang tidak bijak sulit merasa puas. Alasannya,
93
mereka yang bijaksana mampu melihat segala sesuatu sebagaimana
apa adanya, sementara yang tidak bijaksana selalu dikendalikan oleh
keserakahan untuk memiliki, kebencian terhadap apa yang dimiliki
dan tidak memahami hakekat kehidupan sebagaimana mestinya.
Orang yang bijaksana hidup saat ini, menikmati setiap momen yang
dilewati, sedangkan orang yang tidak bijaksana selalu hidup dalam
mimpi, khayalan dan senang berhalusinasi.

Itulah artikel singkat mengenai santuṭṭhi, bersyukur ala Buddhis.


Perlu diingat bahwa agama Buddha memiliki konsep bersyukur yang
berbeda, tidak sama dan sifatnya menumbuhkan kedewasaan batin,
bukan untuk terus membandingkan, bukan terus untuk menumbuhkan
penghinaan sekalipun mungkin sifatnya tidak disengaja. Semoga artikel
ini bisa menumbuhkan pemahaman tentang kepuasan, bagaimana
seharusnya kita puas di satu sisi, tetapi di sisi lain tetap bersemangat,
berkarya dan maju untuk terus menggapai yang diharapkan.

94
Memahami Pañcasīla Buddhis dalam Praktik
Pengembangan Kesadaran

Umat Buddha dilatih untuk menjalankan lima latihan kehidupan


bermoral. Kelima hal tersebut adalah menghindari pembunuhan,
pencurian, perbuatan asusila, berkata tidak benar dan mengonsumsi
minuman yang dapat melemahkan kesadaran. Kelima latihan ini
bukanlah pantangan, tetapi usaha untuk mengendalikan diri demi
terwujudnya kedamaian dan kebahagiaan, tidak hanya untuk diri
sendiri tetapi juga untuk orang lain. Hanya saja, dalam praktiknya,
latihan kehidupan bermoral ini hanya dipahami sebatas kehidupan
sosial semata dan tidak diresapi untuk kepentingan spiritual; hanya
untuk kepentingan eksternal dan tidak untuk kepentingan internal.

Dampak dari praktik moralitas hanya sebatas secara sosial atau


secara eksternal adalah kehidupan sosial yang baik semata. Kedamaian
dan ketenangan sosial dapat terwujud dengan adanya praktik moralitas
yang baik. Namun, praktik semacam itu belum tentu menimbulkan
kedamaian dan ketenangan dalam batin. Bisa jadi, secara sosial baik,
bebas dari konflik tetapi secara spiritual atau internal terus berkonflik
dengan diri sendiri.

Contoh gampangnya, seseorang berusaha sekuat tenaga untuk


menghindari pembunuhan, tetapi masih membenci diri sendiri;
berusaha untuk menghindari pencurian tetapi masih terlalu pelit pada
diri sendiri; menghindari perbuatan asusila tetapi tidak puas dengan
diri sendiri; menghindari ucapan bohong, kasar dan tidak berguna,
tetapi tidak pernah jujur pada diri sendiri dan selalu mengkritik diri
sendiri; menghindari minuman yang melemahkan kesadaran tetapi
95
terus terperangkap dalam lima rintangan batin.

Dari contoh tersebut, terlihat dengan jelas bahwa kehidupan


bermoral hanya bermanfaat untuk membangun kedamaian secara
sosial, tetapi tidak menyentuh kehidupan spiritual. Sīla semacam itu
bermanfaat secara eksternal tetapi tidak memberikan dampak pada
kehidupan internal. Karena itu, perlu pemahaman secara holistis
tentang penerapan sīla dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam tataran yang paling mendasar, memang sudah cukup saat


seseorang mampu menghindari pembunuhan, pencurian, perbuatan
asusila, berbohong dan mengonsumsi minuman yang mampu
melemahkan kesadaran. Ini sudah bagus, tetapi pelaksanaan sīla
harus dipahami lebih dalam. Tujuannya adalah agar praktik moralitas
memberikan manfaat yang maksimal, memberikan manfaat seutuhnya.

Sīla pertama pada prinsipnya memang hanya menghindari


pembunuhan makhluk hidup. Namun, dalam pemahaman yang
lebih intensif, tidak hanya sebatas itu. Pelaksanaan moralitas sebatas
pengendalian diri semacam ini disebut hanya mampu melaksanakan
sisi negatifnya saja. Selain mampu melaksanakan sisi negatifnya,
juga perlu menjalankan sisi positifnya. Sisi positif pelaksanaan sīla
pertama adalah memiliki cinta kasih, dan tergerak batinnya untuk
kesejahteraan makhluk lain (sabbapāṇabhūtahitānukampī viharati).

Ketika berbicara mengenai cinta kasih dan simpati terhadap


kesejahteraan makhluk lain, berarti tidak membenci dan bisa
menghargai serta menghormati hak makhluk lain untuk menjalani
kehidupannya dengan baik. Tidak mengganggu dalam bentuk apapun;
juga tidak melakukan hal-hal yang bisa membahayakan atau merugikan
makhluk lain.

96
Untuk bisa melakukan semua itu dengan baik tentu, tidak hanya
masalah eksternal yang perlu diurusi. Tidak hanya masalah di luar
yang perlu diselesaikan. Sumber kebencian harus dihentikan sehingga
kebencian tidak akan keluar; ketidaksukaan tidak akan mengalir;
niat jahat tidak termanifestasi baik dalam pikiran, ucapan maupun
perbuatan.

Kebencian dalam diri kita tidak akan pernah bisa berhenti, tetap
akan terus mengalir jika kita terus membenci diri sendiri. Sang Buddha
mengatakan kebencian tidak akan pernah berakhir jika dibalas dengan
kebencian. Kebencian hanya akan berakhir jika dibalas dengan kasih
sayang. Kasih sayang ini tidak hanya dibutuhkan secara eksternal
tetapi juga secara internal.

Tidak hanya orang lain yang perlu disayangi, diri sendiri pun perlu
disayangi. Kasih sayang yang terbaik pada diri sendiri adalah dengan
cara mengembangkan kesadaran. Dengan pengembangan kesadaran,
kita tidak akan menyakiti siapapun, baik diri sendiri maupun orang
lain.

Kemampuan untuk tidak mengambil barang yang bukan milik


sendiri adalah kesuksesan dalam pelaksanaan sīla kedua. Ini adalah
kesuksesan tahap awal. Inti dari pelaksanaan sīla ini adalah menghargai
hak milik orang lain. Yang mendasari pencurian adalah sifat serakah
untuk menguasai apa yang bukan menjadi haknya.

Menghargai hak milik orang lain akan terjadi jika kita mampu
menghargai hak milik sendiri. Dalam beberapa kesempatan, Sang
Buddha mengajarkan agar kita mampu menjaga harta milik kita
dengan baik, sehingga harta tersebut tidak dicuri orang, tidak jatuh ke
tangan orang-orang yang tidak layak. Sebenarnya, ini adalah bentuk
97
pengerucutan bagaimana kita perlu menghargai hak milik sendiri
dengan cara menjaganya dengan baik.

Tidak hanya menjaga, Sang Buddha pun menyarankan agar kita


menggunakan kekayaan tersebut untuk dinikmati, untuk kebahagiaan
dan kesenangan kita bersama orang-orang di sekitar kita. Diri kita
dan orang-orang di sekitar kita pun punya hak untuk menikmati
kekayaan tersebut. Selain memiliki hak untuk menikmati kekayaan
yang didapatkan, diri kita semua pun memiliki hak untuk menikmati
kebebasan, ketengangan dan kedamaian. Tidak hanya memaksa setiap
individu untuk terus bekerja keras, tetapi juga mengistirahatkannya,
mengistirahatkannya dari keserakahan, mengistirahatkan dari
kebencian dan kebodohan; juga mengistirahatkan dari hiruk-pikuk
kehidupan.

Sila ketiga lebih sering dipahami sebagai penghindaran terhadap


perbuatan asusila. Dengan kata lain, menghindari melakukan
hubungan seksual dengan seseorang yang masih di bawah tanggung
jawab seseorang. Definisi yang sempit ini bisa membuat seseorang
berargumen untuk melegalkan keinginannya memuaskan nafsu
seksualnya.

Entah beberapa bulan yang silam, saya mendapat cerita dari


umat, bahwa ada seorang umat yang statusnya masih belum menikah,
bertanya kepada seorang bhikkhu mengenai hubungan seksual dengan
orang yang bebas dari ikatan dan tanggung jawab, seperti janda, dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran sīla ketiga. Bhikkhu tersebut
menjawab bahwa itu bukan pelanggaran sīla sebab wanita tersebut
sudah bebas ikatan dan tidak di bawah tanggung jawab siapapun.
Dampaknya, sang penanya senang dan sering kali memuaskan dirinya
dengan para janda. Alasannya, itu bukanlah pelanggaran sīla.
98
Memang betul, dalam sutta-sutta disebutkan bahwa pelanggaran
sīla ketiga akan terjadi jika ada hubungan seksual dengan orang
yang masih berada dalam lindungan orangtua, saudara, kerabat,
suami, dilindungi undang-undang dan telah dipinang orang. Namun,
istilah kāmesu-micchācāra harus dipahami tidak hanya sebatas tidak
melakukan hubungan seksual terhadap orang-orang yang disebutkan
seperti di atas. Istilah tersebut perlu dipahami lebih luas, lebih dalam.

Istilah kāmesu-micchācāra dapat dipahami sebagai pemuasan


nafsu indera secara salah. Melakukan hubungan seksual berarti hanya
berkaitan dengan pemuasan indera yang ada hubungannya dengan
kulit, atau lebih spesifiknya lagi kelamin. Jika demikian, sifatnya
tunggal. Sementara, istilah kāmesu bersifat jamak. Dengan kata lain,
istilah kāmesu-micchācāra tidak hanya mengacu pada hubungan
seksual secara salah, tetapi juga meliputi pemuasan seluruh indera
secara salah, mulai dari mata, teliga, hidung, lidah, kulit dan juga
pikiran.

Memuaskan diri dengan orang-orang yang secara sosial tidak


dilindungi, tampak tidak melanggar sīla ketiga, tetapi itu harus
dipahami bahwa itu adalah praktik kāmesu kāmasukhallikānuyogo,
suatu praktik pemuasan nafsu yang dikritik oleh Sang Buddha. Praktik
semacam ini, menurut Sīgalovada Sutta yang juga disebut sebagai
gihivinaya, bisa menimbulkan berbagai permasalahan pribadi maupun
masalah-masalah sosial lainnya.

Usaha untuk memuaskan diri dengan orang yang bukan


pasanganya terjadi karena tidak adanya kepuasan dengan pasangannya
sendiri. Kalau kepuasan pada pasangan sendiri terjadi, penyimpangan
semacam itu tidak akan terjadi. Sementara itu, kita berusaha untuk
mencari kepuasan di luar, karena kita tidak puas dengan diri sendiri.
99
Apabila kita puas dengan diri sendiri, tidak mungkin kita mencari
kepuasan di luar. Dengan kata lain, orang yang puas dengan diri
sendiri, akan memilih untuk hidup sendiri.

Kepuasan pada diri sendiri akan dapat dicapai kalau kita mau
melihat ke dalam diri sendiri, mengembangkan kesadaran terhadap
fenomena yang terjadi dalam batin dan jasmani sendiri. Semakin
tenggelam dalam pengembangan kesadaran terhadap diri sendiri,
semakin kita puas melihat diri sendiri; kita tidak akan berusaha untuk
mencari kepuasan di luar sebab kepuasan yang sesungguhnya datang
dari pemahaman terhadap fenomena batin dan jasmani yang terjadi
dalam diri sendiri.

Kesuksesan pelaksanaan sīla keempat ditentukan oleh


kemampuan kita untuk menghindari ucapan yang tidak benar. Dalam
tahapan yang lebih dalam, praktik ini perlu ditingkatkan dengan cara
berani menyampaikan apa yang benar (saccavādī), dapat dijadikan
rujukan (saccasandho), dapat dipercaya (theto), dapat diandalkan
(paccayiko), dan bukan penipu dunia (avisaṃvādako lokassa).

Praktik sīla keempat semacam ini akan mampu menciptakan


keharmonisan dan kondisi sosial yang kondusif. Namun, jika sīla ini
tidak dapat dipraktikkan dengan baik, kemungkinan untuk melanggar
sīla yang lainnya akan terbuka sangat lebar. Sang Buddha mengatakan
tidak ada kejahatan apapun yang tidak bisa dilakukan oleh mereka
yang berbohong. Ini menunjukkan bahwa sīla keempat memiliki
peranan penting dalam menopang kesempurnaan pelaksanaan sīla-sīla
yang lainnya.

Dalam level ketiga, perlu aplikasi dalam pelaksanaan sīla ini


terhadap diri sendiri. Selain perlu jujur, perlu menyampaikan apa yang

100
benar dan tidak munafik kepada orang lain, kita pun perlu jujur, juga
tidak munafik kepada diri sendiri. Kalau memang salah, kita harus
berani dengan jujur mengakui kepada diri sendiri bahwa kita salah.
Kalau benar, kita pun harus berani mengakui kepada diri sendiri kita
benar.

Sang Buddha mengajarkan untuk tidak saja mampu sekadar jujur,


tetapi sungguh jujur (sakko ujū ca suhujū ca). Pesan ini menunjukkan
bahwa kita perlu jujur dan sungguh jujur baik secara sosial maupun
secara pribadi, baik di luar maupun di dalam diri sendiri. Banyak orang
yang bisa jujur secara sosial, tetapi mereka adalah penipu, munafik
terhadap diri sendiri sekadar untuk memenuhi tuntutan sosial, demi
tercapainya popularitas dan ketenaran. Sungguh, ini sangat ironis.
Karena itu, kejujuran perlu ditegakkan tidak hanya secara sosial,
tetapi juga secara spiritual, tidak hanya secara eksternal, namun juga
secara internal.

Kesuksesan pelaksanaan sīla kelima ditentukan oleh kemampuan


kita untuk menghindari makanan ataupun minuman yang dapat
menimbulkan lemahnya kesadaran. Faktor yang menentukan kita
mau mengonsumsi atau menggunakan makanan atau minuman yang
dapat melemahkan kesadaran adalah karena kita tidak menemukan
kebahagiaan dan kesenangan di dalam diri sendiri. Dampaknya, kita
berusaha untuk mencarinya di luar diri kita.

Kemampuan kita untuk mengendalikan diri dari makanan dan


minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran adalah
langkah awal untuk membangun kehidupan yang sehat, baik secara
fisik maupun secara mental. Dengan terhindarnya diri dari makanan
dan minuman yang membahayakan kesehatan fisik, kita bisa memiliki
kesempatan untuk menyehatkan batin.
101
Jika makanan dan minuman yang memabukkan adalah hasil
dari fermentasi dan penyulingan selama beberapa hari atau bulan,
kita perlu menyadari bahwa kebencian, keserakahan dan kebodohan
yang ada dalam batin kita telah kita fermentasi selama puluhan tahun.
Karena itu, kotoran batin tersebut jauh lebih memabukkan, jauh
lebih kuat dalam melemahkan kesadaran, jauh lebih membahayakan
dan berfungsi melemahkan kebijaksanaan (paññāya dubbalikaraṇi).
Karena melemahkan kebijaksanaan, kita tidak dapat melihat dengan
jelas, tidak mampu melihat dengan jernih, pandangan terhalangi.

Agar pandangan menjadi jelas, tidak ternoda, perlu


mengembangkan kesadaran, pikiran meditatif. Dengan pengembangan
kesadaran, kondisi batin akan menjadi jernih, menjadi tidak ternoda.
Hanya ketika batin tidak ternoda, kita akan mampu melihat dengan
jelas, sebagaimana apa adanya, tanpa dihalangi oleh apapun.

Itulah bagaimana proses yang perlu dipahami dalam pelaksanaan


sīla. Pelaksanaan sīla secara eksternal memang akan mampu
memberikan dampak sosial yang tidak sedikit. Tetapi, pelaksanaan
sīla ini perlu diperjuangkan pada level yang lebih jauh. Dengan
mengimplementasikan sīla untuk kepentingan internal, kita akan hidup
lebih damai, lebih tenang dan bahagia karena tidak lagi ada sumber
yang bisa menghidupi kita untuk berbuat jahat atau melanggar nilai-
nilai moral. Jika sīla dipahami sedemikian rupa, tentu sīla memberikan
dampak secara maksimal, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi bagi
semua makhluk di dunia ini.

102
Ciraṃ tiṭṭhatu saddhammo!

103

Anda mungkin juga menyukai