Anda di halaman 1dari 52

Jataka for Kids 1

Balas Budi

Diceritakan kembali oleh S. Dhammasiri


Buku ini didedikasikan dengan penuh ungkapan terima kasih kepada:

Sofi Paramita

Ce Elna

Linda Oktavia
Kata Pengantar

Bapak saya adalah seorang motivator yang luar biasa bagi anak-anaknya. Hampir
setiap hari kami dinasihati, entah di pagi hari, siang atau malam, entah sambil bekerja
di tengah teriknya matahari atau saat bersantai ria bersama keluarga. Selalu saja
ada yang bapak nasihatkan, tapi ada satu yang kurang: Tidak pernah menyertakan
dongeng.

Itulah yang saya ingat. Sejak saya kecil hingga berusia sembilan belas tahun,
tidak pernah mendengar dongeng dari bapak saya. Dengan motivasi tersebut, kami
tumbuh menjadi orang yang antusias untuk bekerja keras, tapi kering dalam emosi,
terlebih lagi imajinasi. Karena itu, kami semua tumbuh menjadi orang yang kurang
luwes dalam bertindak, terlebih lagi dalam berkomunikasi.

Dongeng mempunyai peranan yang sangat penting untuk membentuk karakter kita,
penting untuk menempa emosi dan simpati kita, dan yang tidak kalah pentingnya
adalah menumbuhkan daya imajinasi dan intelegensi. Selama bertahun-tahun dalam
pengamatan saya, anak-anak yang mendapatkan dongeng tumbuh menjadi manusia
yang luwes, berjiwa luhur, daya imajinasi yang tinggi dan intelegensi yang luar biasa.
Mereka adalah orang-orang yang mampu menciptakan keceriaan dan kebahagiaan di
masyarakat; mendamaikan orang-orang yang berseteru tanpa melukai atau
menghancurkan salah satu pihak dan menguntungkan pihak lainnya.

Harapan saya adalah dengan menceritakan kembali cerita-cerita Jataka, cerita-


cerita tersebut dapat dipahami dengan mudah, dimengerti oleh semua generasi.
Selain itu, di akhir cerita disertakan pesan moral, agar pesan moral yang terdapat di
dalam cerita atau dongeng yang ada dapat dihafalkan, dan yang lebih penting,
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Semoga harapan tersebut tercapai,
sehingga anak-anak, tidak ketinggalan orang dewasa juga, di zaman modern ini bisa
tumbuh menjadi manusia yang berjiwa luhur di tengah-tengah kemajuan teknologi,
dan terkikisnya nilai-nilai moral kemanusiaan.
Tidak lupa saya ingin mengucapkan terima kasih kepada B. U. Dhammajiva yang
telah mengizinkan saya untuk meluangkan waktu saya di pagi hari untuk kegiatan
menulis dan menerjemahkan. Terima kasih pula kepada Sofi Paramita yang selalu
membuat hari-hari saya cerah dan ceria, penuh tawa, selalu antusias mendengarkan
cerita-cerita Jataka: Tidak cukup satu cerita sehari! Kepada Ce Elna (mama Sofi),
dan Linda Oktavia terima kasih atas saran dan kritiknya.

Nissarana Vananya, Sri Lanka


31 Agustus 2014
S. Dhammasiri
Daftar Isi

Kata Pengantar ..................................................................................................................... 3

Balas Budi Seekor Lembu ................................................................................................... 7

Air Kehidupan ..................................................................................................................... 10

Gading Kebijaksanaan ........................................................................................................ 11

Air Susu Dibalas Air Tuba ............................................................................................... 14

Kacang Lupa Kulitnya ......................................................................................................... 17

Harta Karun......................................................................................................................... 19

Monyet yang tak Tahu Diri .............................................................................................. 21

Balas Budi Seekor Gajah ................................................................................................. 22

Balas Budi Kepada Seorang Pertapa ............................................................................. 25

Indahnya Berbagi.............................................................................................................. 27

Memuja Harta Karun ........................................................................................................ 29

Mencabut Tulang, Menuai Belang ................................................................................... 31

Karena Kesalahan .............................................................................................................. 33

Pencuri Budiman ................................................................................................................ 35

Utusan sang Perut............................................................................................................. 37

Karena Sisa Makanan ....................................................................................................... 39

Karena Ketekunan .............................................................................................................. 41

Ungakapan Terima kasih Burung Kakatua .................................................................... 43

Balas Budi Seorang Raja.................................................................................................. 45

Pertolongan yang Dibalas Pentungan ............................................................................ 47

Balas Budi Seorang Anak................................................................................................. 49


Balas Budi Seekor Lembu

Suatu ketika, hiduplah seorang grandma yang miskin di sebuah kampung. Dia
tinggal seorang diri, tetapi memiliki rumah yang cukup besar. Sebagian rumahnya pun
disewakan. Sang penyewa membayar sewa rumah dengan seekor lembu kecil. Grandma
sangat menyayangi lembu itu. Dia rawat lembu itu seperti anaknya sendiri. Lembu itu
suka makan nasi dan bubur, selain makan rumput yang tumbuh subur di kampung itu.

Grandma memberi nama “Blackie”, dan orang orang di kampung itu mengenalnya
dengan sebutan “Blackienya Grandma”. Blackie sangat ramah kepada siapa pun. Dia
tidak pernah menyakiti siapa pun. Anak-anak pun senang bermain dengannya. Kadang
mereka menjewer telinganya. Kadang ada yang memegang ekornya. Kadang ada pula
yang memegang tanduknya untuk adu kekuatan. Tapi, tidak pernah ada yang menang
karena Blackie sangat kuat. Karena itu, tak segan-segan anak-anak menunggangi
Blackie.

Blackie mengembara dengan bebas; dia tak pernah merasa takut karena semua
orang menyayanginya. Semua orang bersikap ramah kepadanya. Karena perilakunya
yang baik, banyak juga yang memberinya makanan. Blackie pun tumbuh menjadi lembu
yang sangat besar; badannya kekar; tak ada yang sanggup menandinginya.

Suatu hari, Blackie berpikir, “Kasihan mamaku; dia miskin dan menderita
sepanjang waktu; dengan susah payah dia membesarkanku. Bagaimana kalau aku
mencari pekerjaan untuk meringankan beban penderitaan mamaku?” Setelah itu,
Blackie mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain dan sampailah dia di dekat
jalan raya.

Saat itu, ada seorang pedagang muda. Dia berdagang dari satu kota ke kota lain
dengan membawa lima ratus kereta penuh dengan barang dagangan. Dia ingin
menyeberangkan keretanya ke seberang sungai. Tetapi, lembunya tidak sanggup
menarik keretanya. Dia pun telah merakit lima ratus lembunya untuk menarik kereta
itu. Sayangnya, keretanya penuh dengan barang dagangan. Kereta itu tetap diam tak
bergerak.

Sang pedagang lalu berpikir untuk mencari lembu yang kuat, lembu yang sanggup
menarik keretanya ke seberang sungai. Dia pun berjalan ke tempat penggembalaan
lembu. Dia pun menatap tajam sang Blackie. Dia yakin Blackie sanggup menarik
keretanya dengan selamat.

“Milik siapa lembu ini?” tanya saya pedagang kepada para penggembala. “Saya ingin
meminjamnya dan memberinya imbalan kalau dia sanggup menarik kereta saya ke
seberang sungai,” imbuhnya. “Kami tidak tahu. Tidak ada pemiliknya di sini. Ambillah
jika tuan menghendakinya,” jawab seorang penggembala.

Sang pedagang pun mengikat Blackie dengan tali, tetapi Blackie tak mau bergerak
ketika dia menariknya. “Baiklah, saya akan membayarmu dua keping emas setiap
kereta atau seribu keping emas bila kau sanggup menarik semua kereta saya ke
seberang sungai,” kata sang pedagang.

Blackie pun menarik satu persatu semua kereta ke seberang sungai dengan
selamat. Sang pedagang pun merasa lega. Dia bisa melanjutkan perjalanan ke kota lain.
Lalu, dia membungkuskan lima ratus keping emas dan mengalungkannya di leher
Blackie. Blackie pun tahu dia telah dibohongi. Dia dibayar tidak sesuai dengan
perjanjian. Blackie pun menghalangi jalan kereta. Sang pedagang berusaha untuk
mengusirnya. Tetapi, Blackie tetap berdiri bagai batu karang. Sang pedagang
menyadari bahwa Blackie tahu telah dibohongi. Dia pun menambahkan lima ratus
keping uang. Blackie pun pergi setelah mendapatkan imbalan sesuai perjanjian.

“Kau bawa apa itu, Blackie?” teriak anak-anak di jalan. Blackie tahu, dia harus
membawa uangnya dengan selamat hingga ke rumah. Blackie pun lari menghindari
anak-anak. “Apa yang kau bawa, sayangku?” tanya Grandma saat Blackie sampai di
rumah. Blackie diam dan tampak kelelahan. Grandma pun mengambil bingkisan itu dan
sangat terkejut melihat begitu banyak uang emas. Grandma bertanya kepada para
penggembala dan mereka menjelaskan apa yang telah dilakukan Blackie.
“Anakku, pernahkah mama memintamu untuk bekerja? Mengapa Engkau lakukan
semua ini, sayangku?” Grandma menangis. Grandma pun memandikan Blackie,
memberinya makan yang enak dan memijatnya sebagai wujud kasih sayang Grandma
kepada Blackie. Mereka pun hidup bahagia sepanjang hidup mereka, saling menyayangi
satu dengan yang lain meski mereka adalah seekor lembu dan seorang nenek tua.

Pesan moral: Balaslah kebaikan orang lain, meski mereka tidak memintanya.
Air Kehidupan

Suatu ketika, hiduplah lima ratus petapa di lembah pegunungan Himalaya. Mereka
hidup di hutan. Mereka bertapa dengan gigih demi cita-cita dan harapan untuk hidup
lebih bahagia. Mereka tidak turun ke desa-desa, dan hanya makan buah-buahan yang
ada di hutan tersebut.

Pada suatu saat, terjadilah kemarau panjang. Air di sungai-sungai mengering. Di


danau-danau juga sudah tidak ada. Yang tersisa hanya di sebuah sumur yang dalam.
Binatang pun tidak bisa terjun ke sumur itu. Padahal, banyak binatang yang kehausan.
Menyadari hal itu, seorang petapa yang baik hati lalu menebang pohon, dia membuat
lubang untuk menampung air dan mengisinya dengan air dari sumur.

Monyet, gajah, harimau, landak, rusa dan masih banyak yang lainnya, minum air
yang telah disediakan. Mereka semua bisa melepas dahaga, tak perlu lagi lari ke sana
ke mari mencari air. Tetapi, sayangnya sang petapa tidak memiliki waktu untuk
mengumpulkan buah untuk dimakan. Dia pun kelaparan, tetapi binatang-binatang itu
tidak bisa dibiarkan kehausan.

“Baiklah, sejak sekarang semua binatang yang datang untuk minum harus
membawa buah untuk petapa ini,” kata singa sang raja hutan. Akhirnya, mereka semua
membawa buah. Ada yang membawa mangga; ada yang membawa anggur; ada pula yang
membawa pisang dan buah pun terkumpul sangat banyak. Petapa-petapa lainnya tidak
perlu lagi mencari buah.

Mereka semua sangat senang dan memuji petapa yang baik hati. “Lihatlah, karena
kebaikan dia, kita semua bisa hidup dengan tenang, buah melimpah. Sungguh dia
adalah petapa yang luar biasa,” kata pemimpin petapa itu. Mereka pun bertapa hingga
akhirnya mencapai cita-cita luhur mereka.

Pesan moral: kebaikan seseorang bisa mengubah kehidupan di dunia ini, tidak
hanya manusia tetapi juga binatang.
Gading Kebijaksanaan

Suatu ketika, lahirlah seekor gajah di lembah Himalaya. Gajah itu tampak sangat
berbeda dari yang lainnya. Warnanya putih bersih; kakinya kokoh bagai pilar
penyangga langit. Mulutnya tampak lembut, dihiasi gading yang begitu menawan.
Belalainya sangat indah, meliuk begitu sempurna, tanpa noda.

Saat telah cukup umur, gajah itu diangkat menjadi pemimpin di antara gajah yang
ada. Dia memimpin 80.000 gajah yang lainnya. Dia memimpin kawanan gajah dengan
kebijaksanaan sehingga semua gajah hidup dengan tenang dan tenteram. Setelah
merasa cukup puas, sang raja gajah pun hidup menyendiri di tengah hutan belantara,
jauh dari kerumunan gajah-gajah yang lainnya.

Saat sang raja gajah sedang diam, tiba-tiba terdengar suara orang menangis. “Oh,
suara orang menangis. Aku harus mencari tahu apa yang terjadi padanya,” pikir sang
gajah. Gajah itu pun berjalan dengan tenang mencari sumber datangnya suara
tangisan itu, dan dia pun menemukan seorang manusia yang sedang menangis tersedu-
sedu.

Begitu melihat gajah datang, orang itu lari tunggang langgang karena ketakutan.
Sang gajah pun berhenti, dan orang itu berhenti. Gajah itu berusaha mendekatinya,
tapi orang itu kembali lari lagi. Sang gajah pun berhenti lagi. Begitu berulang kali hal
itu terjadi. Manusia itu pun akhirnya menyadari, gajah itu tidak bermaksud jahat. Dia
pun berhenti, menenangkan diri.

“Hai sahabatku!” sapa sang gajah dengan lembut, dan melanjutkan “Apa yang
terjadi padamu? Mengapa engkau menangis?” “Aku tersesat di tengah hutan. Aku lupa
jalan kembali pulang,” jawab orang itu dengan terisak sedih. “Jangan khawatir, aku
akan menolongmu,” kata gajah menenangkan orang itu.

Gajah itu pun mengajaknya ke tempat tinggalnya. Dia memberinya makan dengan
berbagai buah-buahan yang tumbuh di hutan. Setelah cukup makan, gajah pun
meletakkan orang itu di punggungnya. Dengan berjalan santai, seolah tanpa beban
gajah itu membawanya ke perkampungan terdekat. “Baiklah, ini sudah sampai di jalan
raya menuju Kota Benares,” kata sang gajah sesampainya di jalan raya, dan berpesan,
“Ingat, jangan katakan kepada siapa pun tempat tinggalku.” Tapi, orang itu mengingat
semua tanda-tanda jalan ke tempat tinggal sang gajah.

Sesampainya di kota, orang itu melihat para pengrajin membuat berbagai


perhiasan yang indah dari gading. “Berapakah harga gading gajah yang masih hidup?”
tanyanya kepada para pengrajin. Mereka mengatakan bahwa harga gading gajah yang
masih hidup jauh lebih mahal daripada gading gajah yang sudah mati. Dia pun berjanji
untuk membawa gading gajah yang masih hidup.

Setelah mempersiapkan diri dan membawa gergaji, orang itu pergi ke hutan lagi,
ke tempat gajah itu tinggal. “Apa yang membuatmu kembali lagi?” tanya sang gajah.
Dia pun menceritakan bahwa dirinya adalah orang yang miskin. Dia pun memohon
kepada sang gajah agar bersedia memberikan gadingnya. Dengan suka rela, gajah itu
memberikan gadingnya; orang itu pun memotong gading gajah dengan gergaji yang
telah dia persiapkan.

“Ini kuberikan kepadamu, sahabatku,” kata sang gajah sambil menyerahkan kedua
gadingnya setelah terpotong. Dia pun berkata, “Bukan aku tidak menghargai gading
ini, tapi aku lebih menghargai gading kebijaksanaan.” Dengan suka cita orang itu
membawa kedua gading itu ke kota. Tapi, tak seberapa lama uang hasil penjualan
gading habis dipergunakan untuk berfoya-foya.

Dia datang lagi kepada gajah dan memohon kembali sisa gading yang ada. Gajah
itu pun memberikannya dengan senang hati. Lagi-lagi, uangnya habis untuk bersenang-
senang, tanpa sedikit pun yang ditabung. Dia kembali lagi ke hutan dan sekali lagi
memohon kepada sang gajah untuk memberikan sisa gading yang masih menempel
tertutupi daging gusi. Sekali lagi, gajah itu memberikannya. Namun, sungguh malang
orang itu. Sesampainya di tengah perjalanan, terjadilah tanah longsor dan dia pun
terkubur hidup-hidup, tanpa ada orang yang mengetahuinya.
Pesan moral: Jangan karena persahabatan, lalu kita menguras harta kekayaan
sahabat kita, demi memuaskan keserakahan kita sendiri.
Air Susu Dibalas Air Tuba

Suatu ketika, hiduplah seorang putra mahkota yang sangat jahat. Dia sangat
kasar tabiatnya. Setiap hari, dia memukul dan mencaci maki orang-orang di
sekitarnya. Orang-orang di sekitarnya pun merasa benci dan menaruh dendam kepada
putra mahkota. Akhirnya, mereka sepakat untuk membuang putra mahkota ke sungai
yang sedang dilanda banjir.

Sang raja berusaha menemukan sang pangeran tapi tak pernah menemukannya.
Sang pangeran sendiri hanyut terbawa arus sungai yang sangat deras. Untunglah, ada
sebatang kayu yang dapat dia jadikan pegangan. Dia pun terhanyut bersama kayu itu.

Di saat yang sama, ada seekor naga, seekor tikus dan seekor burung kakaktua.
Mereka semua terbawa arus karena rumah mereka di pinggir sungai. Mereka
berempat bersama-sama terapung di kayu itu. Entah ke mana arus akan membawa
mereka.

Sang pangeran pun menjerit ketakutan. Jerit tangisnya terdengar oleh seorang
petapa yang tinggal tak jauh dari sungai. Karena belas kasihan, sang petapa bergegas
ke sungai menyelamatkan mereka berempat. Dia menyalakan api dan merawat naga,
tikus dan burung kakaktua yang tampak lebih lemah.

“Mengapa petapa ini mengurus mereka bertiga terlebih dahulu?” tanyanya dalam
hati. Dia merasa sakit hati karena tidak dirawat lebih dahulu, dan bertekad, “Kelak
kalau aku menjadi raja, akan kuhabisi petapa ini,” katanya dalam hati, penuh amarah
dan dendam.

Setelah beberapa hari, semua sudah tampak sehat; semua telah pulih seperti
sedia kala. “Guru,” kata sang naga, “kalau guru membutuhkan harta, datanglah ke
tempat tinggalku. Akan kupersembahkan kepadamu harta karun.” Sang naga pun pamit
dan pergi ke tempat tinggalnya. Sang tikus pun berkata demikian, dan pamit untuk
kembali ke rumah kesayangannya.
“Guru, kalau guru ingin makan nasi yang paling lezat, datanglah ke rumahku. Akan
kupersembahkan beras yang paling berharga, paling mewah di seluruh dunia,” kata
burung kakaktua dan terbang tinggi, setelah berpamitan. “Guru, kalau guru
membutuhkan kebutuhan apa pun, datanglah ke kerajaanku ketika nanti aku menjadi
raja.” Sang putra mahkota berpamitan dan dia pun menjadi raja tak lama setelah itu.

Suatu hari, sang petapa ingin membuktikan janji ketiga binatang yang telah dia
tolong dan juga putra mahkota yang telah dia selamatkan. Dia pun mendatangi tempat
kediaman naga, tikus dan burung kakaktua satu persatu. Semua menepati janjinya.
Semua mempersembahkan apa yang telah mereka janjikan. Tetapi, sang petapa tidak
mengambil persembahan itu. Dia tetap menyuruh mereka untuk menyimpannya.

Sang petapa pun pergi ke ibu kota kerajaan. Tetapi, ketika sang raja melihat
petapa itu, kebencian dan dendamnya langsung muncul. “Tangkap petapa itu, dan
pancung di alun-alun,” perintahnya kepada para pengawal dengan penuh rasa benci.
Para pengawalnya pun menangkapnya dan mengaraknya ke alun-alun. Namun, di setiap
kerumunan, dia selalu mengucapkan peribahasa “Sebilah kayu tak bernyawa bisa
membalas budi daripada manusia yang masih hidup.”

Orang-orang pun bertanya tentang apa yang telah dia lakukan kepada sang raja.
Dia pun menjelaskan apa yang telah terjadi. Rakyat menjadi marah besar; mereka
tidak bisa menerima perlakuan raja yang tidak tahu balas budi. Mereka pun
menggulingkan sang raja dari tahtanya dan menjadikan petapa itu sebagai raja
mereka.

Setelah menjadi raja yang bijak, ia tetap ingin menguji ketulusan hati sang naga,
tikus dan burung kakaktua. Ternyata mereka tetap tulus, tetap ingat janji mereka.
Sang raja pun memerintahkan para pengawalnya untuk mengambil harta karun dan
menyimpannya di tempat yang aman. Sang raja juga memerintahkan untuk membawa
sang naga, tikus dan burung kakaktua ke ibu kota kerajaan. Mereka semua dibuatkan
rumah yang sangat indah, diberi makanan yang sangat mewah. Semua rakyat pun hidup
damai dan tenteram.
Pesan moral: Jangan pernah membalas budi kebaikan seseorang dengan
kejahatan, karena setiap kejahatan akan memberikan dampak yang buruk bagi
pelakunya.
Kacang Lupa Kulitnya

Suatu ketika, hiduplah dua orang miliuner yang saling bersahabat dengan baik.
Tetapi, mereka hidup di kota yang berbeda. Mereka saling bertukar kabar, dan
menawarkan diri untuk saling membantu bila mendapatkan kesulitan. Kebetulan, salah
satu miliuner menjadi bangkrut dalam usahanya. Semua kekayaannya habis, tanpa sisa.
Dia pun tidak lagi bisa meneruskan usahanya. Dia pun mengunjungi sahabatnya di kota
lain.

“Apa yang membuat sahabatku datang ke mari?” tanya sahabatnya dengan penuh
rasa khawatir. Sahabat itu kemudian menceritakan apa yang terjadi. “Jangan
khawatir. Ambillah separuh kekayaanku dan mulailah usaha baru,” kata sahabatnya
dengan penuh rasa kasih sayang.

Sahabatnya pun membawa semua kekayaan yang telah dia berikan dan memulai
usaha baru. Dia pun akhirnya sukses dalam berusaha; dia menjadi seorang miliuner
yang terkenal. Namun, di luar dugaan, sahabatnya menjadi miskin. Dia tidak lagi
memiliki kekayaan apa pun untuk melanjutkan usahanya. “Aku telah membantu
sahabatku dengan ketulusan,” pikirnya. “Dia pasti akan membantuku,” katanya dalam
hati tanpa rasa cemas.

Dia pun berangkat ke kota sahabatnya bersama sang istri. Sesampainya di


pinggiran kota, dia berkata kepada istrinya, “Tidak baik untuk datang ke sana
bersama-sama. Istirahatlah di sini untuk menunggu diriku kembali.” Dia pun
mengunjungi rumah sahabatnya.

“Di mana kau beristirahat?” tanya sahabatnya. “Sahabatku, aku belum


beristirahat sama sekali,” jawabnya. “Lalu, apa yang membuatmu datang ke mari?”
tanyanya lebih lanjut. Dia pun mengutarakan bahwa dia datang karena ingin meminta
bantuan. Tetapi, sahabatnya sungguh tak tahu diri. “Ambillah beras dan masak di
tempat lain. Tak ada tempat bagimu di sini,” ucapnya dengan nada yang kasar.
Pelayan pun mengambilkan beras dan memberikannya kepadanya. Karena tak ingin
melukai perasaan sahabatnya, dia mengambil beras itu dan kembali ke tempat istrinya
beristirahat. Istrinya pun menangis tersedu-sedu mengetahui sikap sahabat
suaminya. Dia pun berusaha menenangkan istrinya tapi sang istri terus menangis.

Saat itu, lewatlah seorang pelayan yang dulu pernah menjadi pelayannya. Dia
masih mengenali suara mantan majikannya. Dia pun bertanya apa yang terjadi.
Mendengar hal itu, dia menjadi sangat marah. Dia pun membawa mantan majikannya
menghadap sang raja.

Raja pun meminta miliuner yang tak tahu balas budi itu untuk datang. “Benarkah
ini adalah sahabatmu? Benarkah dia pernah membantumu?” tanya sang raja. “Benar,
baginda yang mulia,” jawabnya.

“Mengapa kau tak membantunya saat dia membutuhkan bantuan?” tanya sang raja
lebih lanjut. Tapi, miliuner itu diam membisu, tak sepatah kata pun yang keluar dari
mulutnya. Dia hanya bisa tertunduk malu, tanpa bisa berbuat apa-apa.

“Ambil seluruh kekayaan miliuner ini, dan serahkan semua kepada sahabatnya,”
perintah sang raja kepada para menterinya. Namun, sahabatnya tidak mau mengambil
seluruh kekayaan itu. Dia mau mengambil hanya apa yang telah dia berikan, dan semua
kekayaan sisanya dikembalikan kepada sahabatnya tanpa rasa permusuhan sedikit
pun. Dia pun kembali ke kotanya dan kembali berjaya sebagai seorang miliuner.

Pesan moral: Jangan pernah melupakan kebaikan orang yang telah menolong
kita. Tolonglah mereka dengan segenap ketulusan saat mereka membutuhkan
bantuan kita.
Harta Karun

Suatu ketika, penduduk kota sibuk melakukan puja kepada para deva. Mereka
mempersembahkan berbagai persembahan yang mewah, sebagai wujud ungkapan
terima kasih mereka kepada para deva. Ada yang melakukan korban; ada yang
mempersembahkan makanan yang lezat; ada pula yang sekedar mempersembahkan
mentega dan bunga. Mereka melakukan puja di tempat-tempat keramat atau di pohon
yang besar. Mereka percaya, di tempat-tempat itulah para deva dan penjaga kota
kesayangan mereka berdiam.

Di kota tersebut, hiduplah seorang Brahmana yang miskin. Dia tidak memiliki apa-
apa selain makanan yang sederhana; juga pakaian dan tempat tinggal yang sederhana.
Tapi hatinya begitu tergugah untuk melakukan persembahan. Dia pun ingin melakukan
puja, puja kepada para deva.

Dia mendatangi sebuah pohon besar, yang terletak di pinggir kota. Dia hanya
membawa semangkuk bubur sederhana. Tidak lupa dia membawa semangkuk air yang
dia taruh di dalam tempurung kelapa. Tapi, betapa sedih hatinya, saat dia tiba di
dekat pohon itu. Orang-orang kaya telah melakukan puja dengan berbagai
persembahan yang mewah. Semua persembahan menumpuk dan berjajar di sana sini.

“Ah, mana mungkin deva penunggu pohon ini sudi memakan persembahanku. Dia
pasti sudah kenyang dengan berbagai persembahan mewah. Lebih baik kumakan
sendiri persembahan ini,” gumamnya lirih. Dia pun berbalik, berniat untuk pulang.
Namun, terdengarlah suara yang jelas, suara yang datang dari pohon itu.

“Brahmana yang baik hati, janganlah engkau memakan persembahan untukku. Kalau
engkau adalah orang kaya, kau pasti akan mempersembahkan makanan mewah. Tapi,
lihatlah kondisimu, lihatlah apa yang kau miliki,” kata suara itu dengan lembut.
“Bukankah itu suara deva penunggu pohon ini?” tanya Brahmana itu dalam hati. Dia pun
berbalik, dan mempersembahkan persembahannya yang sederhana itu.
“Mengapa engkau memujaku?” tanya sang deva setelah menerima persembahan
itu. “Saya orang miskin; saya melakukan puja ini agar bisa terbebas dari kemiskinan,”
jawabnya lirih dengan penuh rasa iba.

“Baiklah. Jangan lagi bersedih. Aku adalah deva yang tahu balas budi. Engkau telah
memujaku. Karena itu, aku akan menunjukkan harta karun kepadamu.” Deva itu
kemudian mengatakan, bahwa di bawah pohon itu terdapat harta karun yang
berlimbah. Brahmana tua itu pun melapor kepada sang raja. Raja memerintahkan para
prajuritnya untuk menggali tempat itu. Memang benar, terdapat harta karun yang
berlimbah di bawah pohon itu.

Sebagai ungkapan terima kasihnya, sang raja mengangkat Brahmana miskin itu
menjadi bendahara kerajaan. Brahmana itu pun bebas dari kemiskinan; dia hidup
dengan nyaman dan selalu berderma membantu orang yang miskin. Dia tidak ingin
orang lain menderita seperti dirinya. Kini, tidak hanya dirinya yang bahagia, semua
orang di sekitarnya pun hidup bahagia.

Pesan moral: Kebaikan sudah sepantasnya dibalas dengan kebaikan, agar


pembuat kebaikan berbahagia dan kita pun hidup bahagia.
Monyet yang tak Tahu Diri

Kota Kasi adalah salah satu kota yang terkenal di India. Kota itu dikelilingi hutan
belantara, dan dihubungkan dengan jalan raya ke kota lainnya. Di tepi jalan raya, ada
sebuah sumur yang dalam; airnya jernih dan sangat segar. Banyak orang yang dalam
perjalanan dari Kota Kasi ke kota lainnya menyempatkan diri untuk mandi. Banyak juga
yang membasuh muka atau sekedar menghilangkan dahaga.

Pada saat terjadi kemarau panjang, mereka pun menimba air dan mengisi bak yang
ada, sehingga binatang yang datang bisa meminum air tersebut. Namun, pada suatu
hari, air di bak tersebut telah habis dan seekor kera pun kehausan. Dia lari ke sana
ke mari tetapi tak menemukan air. Dia begitu kehausan, tapi apalah daya tak ada air
yang dapat dia minum untuk menghilangkan dahaganya.

Saat itu, Bodhisatta melewati tempat itu. Dia pun singgah sejenak, membasuh
diri, dan minum secukupnya. Badannya pun terasa segar kembali di tengah terik
matahari yang begitu menyengat, membakar seluruh mayapada. Dia pun melihat
monyet yang menderita karena kehausan. Hatinya pun tergerak untuk mengambilkan
air. Dia menimba air dan mengisi bak itu dan beristirahat di bawah pohon.

Monyet itu segera lari dan minum sepuasnya. Dahaganya hilang dan segarlah
badannya. Bukannya ucapan terima kasih yang dia ucapkan; justru monyet itu
menyeringai menakuti Bodhisatta. Monyet itu lalu memanjat pohon dan duduk tepat
di atas Bodhisatta beristirahat.

“Oh, monyet tidak tahu diri. Tadi kehausan lari ke sana ke mari mencari air. Tapi,
setelah kutolong, malah menakut-nakuti diriku,” kata Bodhisatta. Saat itulah, monyet
itu menjatuhkan kotorannya dan mengenai kepala Bodhisatta. “Inilah imbalan dariku,”
kata monyet itu dengan nada penuh ejekan. Bodhisatta pun tambah gusar. Sang
monyet sendiri langsung lari ke hutan belantara.

Pesan moral: Balaslah kebaikan hati orang lain dengan kebaikan, dan bukan
dengan hinaan, caci maki atau perbuatan yang kurang layak.
Balas Budi Seekor Gajah

Pada suatu hari, hiduplah seekor gajah di tengah hutan. Dia memiliki seekor anak
yang sudah cukup besar dan mandiri. Namun, karena kurang hati-hati, sang induk
menginjak ranting yang tajam, dan ranting itu menusuk kakinya. Ranting itu sulit
terlepas dan membuat kakinya bengkak. Sungguh sakit rasanya, tetapi anaknya tidak
mampu berbuat apa-apa. Demikian pula, kawanan gajah yang lain pun tak dapat
menolongnya.

Sang gajah tahu persis, banyak tukang yang memasuki hutan untuk mencari kayu.
Dia pun mendekati tempat itu, dengan langkah yang tertatih-tatih. Setelah sampai di
tempat itu, dia berteriak keras, menunjukkan rasa sakitnya.

Para tukang yang sedang mencari kayu mendengar teriakan gajah itu. Mereka pun
dengan hati-hati mendekati gajah itu. Mereka melihat kaki gajah itu bengkak. Mereka
kemudian memeriksa kaki sang gajah dan menemukan kaki sang gajah tertusuk kayu.

Mereka mencabut kayu itu dan mengobati kaki sang gajah. Karena gajah itu tidak
bisa berjalan dengan baik, mereka juga menyediakan makanan kepada sang gajah.
Gajah itu pun sangat senang berteman dengan para tukang itu.

Setelah sembuh, sang gajah tidak langsung pergi, melainkan dia tetap tinggal
bersama para tukang. Dia membantu mereka untuk menarik kayu; memegang kayu yang
sedang dipotong dan melakukan berbagai pekerjaan lainnya. Dia lakukan semua itu
sebagai ungkapan terima kasihnya kepada para tukang. Para tukang pun senang karena
pekerjaan mereka menjadi lebih mudah dan lebih cepat selesai.

Gajah tetap terus mengabdikan dirinya hingga dia lanjut usia. Setelah menyadari
dia tidak mampu bekerja lagi, dia pun pergi ke hutan menjemput anaknya. Setelah
kembali bersama anaknya, dia berkata kepada para tukang, “Sahabatku yang baik, aku
sudah tua, sudah tidak mampu bekerja lagi membantu kalian. Sekarang, biarlah anakku
yang membantu kalian semua. Anakku akan mengabdi kepada kalian semua.”
Semua tukang di kampung itu sangat senang dengan anak gajah. Meski masih kecil,
dia rajin membantu para tukang persis seperti ibunya. Setelah selesai membantu, dia
akan bermain dengan anak-anak mereka. Anak-anak mereka pun senang bermain
dengannya. Mereka sering bermain di lapangan, di hutan-hutan dan di sungai. Hidup
mereka tambah ceria dengan kehadiran sang gajah.

Suatu hari, sang raja datang ke kampung itu bersama para menteri dan
prajuritnya. Dia sengaja datang untuk mencari gajah idamannya. Dengan suka rela dan
penuh rasa bakti, para tukang menyerahkan gajah kesayangan mereka. Tapi, sang
gajah tak mau pergi. Dia mau pergi meninggalkan mereka semua, jika semua orang di
kampung itu diberi hadiah, dijamin kesejahteraannya. Sang raja pun menyanggupi
permintaan gajah itu.

Gajah itu sangat disayang oleh sang raja. Dia dibuatkan kandang khusus.
Kandangnya sangat indah. Lebih indah dari kandang gajah-gajah yang ada. Dia pun
diberi makan makanan yang mewah, dan dirawat secara istimewa. Sang raja dan sang
gajah pun menjadi sahabat baik. Saat sang raja meninggal, tidak ada orang yang
berani memberi tahu sang gajah. Kalau dia tahu sang raja meninggal, gajah itu pasti
akan sangat sedih.

Mendengar berita itu, raja dari kerajaan lain mendatangi kerajaan itu. Dia
mengirimkan surat kepada sang ratu. Isinya, menyerah atau perang. Sang ratu tidak
memberikan jawaban secara langsung, tetapi menunggu kelahiran anaknya. Setelah
dia melahirkan seorang putra mahkota, dia pun membalas surat itu. Sang ratu
mengatakan, “Perang!”

Prajurit kedua kerajaan pun bertempur dengan sengit. Tetapi, karena tanpa
seorang pemimpin, prajurit sang ratu banyak yang gugur. Mereka kalah dalam perang
itu. “Baginda ratu, gajah kerajaan belum tahu kalau sang raja meninggal. Tak ada
orang yang berani memberitahunya. Karena kalau dia tahu, dia pasti akan sangat sedih.
Tapi kini telah lahir seorang putra mahkota,” kata seorang menteri.
Sang ratu pun membawa putra mahkota ke kandang gajah kerajaan. Dia
membaringkan sang bayi di kaki gajah itu. “Rajamu telah meninggal, tapi tak ada orang
yang berani memberitahumu. Kini telah lahir putra mahkota dan kerajaan kita sedang
kalah dalam perang. Selamatkanlah anakmu, selamatkanlah kerajaanmu!” kata sang
ratu kepada gajah itu.

Gajah itu pun menjadi tidak tenang. Para pawang tahu bagaimana perasaan gajah
itu. Mereka lalu mendandaninya dengan pakaian kerajaan. Setelah itu, gajah itu lari
dengan kencang ke medan perang. Dia membantai habis semua pasukan musuh dan
menangkap sang raja. Pasukan musuh pun takluk, mereka menyerah.

Sang gajah membawa raja itu ke ibu kota kerajaan dan menyerahkannya kepada
sang ratu. Banyak yang berteriak untuk menggantungnya. Tetapi, sang ratu beserta
seluruh menterinya membebaskan raja itu dengan perjanjian kini kerajaannya berada
di bawah kekuasaan kerajaan baru.

Setelah itu, tidak ada perang lagi. Raja pemberontak taat pada perjanjian dan
rakyat pun hidup dengan damai. Tidak ada permusuhan di antara kedua kerajaan.
Putra mahkota pun menjadi raja dan bersahabat baik dengan sang gajah.

Pesan moral: Ketika kebaikan dibalas dengan kebaikan, kebahagiaanlah yang


akan dirasakan oleh diri kita dan orang-orang di sekitar kita.
Balas Budi Kepada Seorang Petapa

Suatu ketika muncullah pemberontakan di perbatasan Benares. Raja pun turun


tangan secara langsung. Dia memimpin prajuritnya ke daerah perbatasan. Tetapi, di
luar dugaan kekuatan tentara pemberontak lebih kuat. Banyak prajurit kerajaan yang
terbunuh. Menyadari kekalahan itu, sang raja langsung mengendarai gajah dan lari.
Sang raja lari untuk menyelamatkan diri. Namun, dia tak tahu arah karena gelapnya
malam. Maksud hati mencari jalan pintas, tetapi dia tersesat di tengah hutan.

Pada pagi hari, dia telah sampai di tengah hutan belantara. Sang raja pun melihat
gubuk. “Oh, gubuk seorang petapa,” pikirnya. Dia pun turun dari gajahnya dan
mendekati gubuk itu. Tak seorang pun yang ditemukan di gubuk itu, tetapi dia sudah
sangat haus. Hausnya sudah tak tertahankan lagi. Dia mencari air, namun tak
menemukan setetes air pun di sana.

Dia berusaha mencari dan mencari. Akhirnya, dia menemukan sebuah sumur yang
cukup dalam. Dia mencari timba, tetapi tidak juga menemukan timba. Lalu, dia ambil
tali dan diikatkan tali itu ke pohon dan tubuhnya. Dia lalu menuruni sumur itu. Tapi,
tak sampai juga. Dia naik lagi dan diikatkan tali itu di ujung bajunya. Sang raja turun
lagi dan hanya kakinya yang bisa menyentuh air.

“Seandainya aku bisa menghilangkan dahaga ini, mati sekali pun tidak apa,” gumam
sang raja yang sudah tidak sanggup menahan rasa dahaga. Dia pun melepaskan ikatan
tali dan terjun ke dalam sumur. Sang raja minum sepuasnya dan menyegarkan
badannya. Tapi sayangnya, dia tidak bisa naik lagi. Dia hanya diam di dalam sumur itu.

“Baginda raja, jangan takut. Hamba akan menolong baginda raja,” tiba-tiba muncul
suara dari atas saat matahari hampir saja terbenam. Ternyata suara itu adalah suara
seorang petapa, pemilik gubuk itu. Dia pun mengambil tangga dan menurunkan dengan
hati-hati ke dalam sumur. Dengan hati-hati, sang raja meniti anak tangga. “Ah
untunglah ada yang menolongku,” kata sang raja dengan penuh rasa terima kasih.
Sang petapa pun membersihkan tubuh sang raja. Dia memandikannya dan
memijatnya dengan minyak. Dia pun melepaskan perisai yang terdapat pada tubuh
gajah dan memberinya makan. Sang petapa itu merawat raja dan gajahnya dengan
penuh rasa bakti dan ketulusan. Mereka berdua tinggal di hutan itu selama tiga hari.
Setelah sang raja merasa sehat kembali, dia berpamitan dan meminta sang petapa
untuk berkunjung ke ibu kota kerajaan.

Kira-kira dua bulan kemudian, sang petapa mengunjungi ibu kota kerajaan. Ketika
sang raja melihat petapa tersebut berpindapata, sang raja langsung mengundang ke
istana. Sang raja mempersilakan sang petapa itu duduk di singgasana. Sang raja
kemudian mempersembahkan berbagai makanan yang lezat. Setelah itu, sang raja
mengantarkan sang petapa untuk beristirahat di taman kerajaan. Sang raja pun
menyuruh seorang prajurit untuk menemani petapa tersebut di taman itu.

Selama berada di taman kerajaan, petapa itu mendapatkan berbagai pelayanan


yang sangat istimewa dari sang raja. Ketika seorang menteri melihatnya, dia
melaporkan masalah itu kepada sang perdana menteri. Dia memohon kepada sang
perdana menteri untuk bertanya kepada sang raja mengapa petapa tersebut
diperlakukan secara istimewa.

“Petapa ini telah menyelamatkan nyawaku. Seandainya tanpa dia, mungkin diriku
telah mati di dalam sumur. Semua ini kulakukan sebagai ungkapan balas budiku,” kata
sang raja mengenang apa yang telah terjadi di hutan belantara itu. Semenjak saat
itu, tidak ada yang berani bertanya atau merasa iri atas apa yang dilakukan oleh sang
raja. Setelah tinggal beberapa hari di taman kerajaan, petapa itu kembali ke hutan
menikmati kedamaian dan ketenangan di sana.

Pesan Moral: Seorang pemimpin yang baik, adalah orang yang selalu ingat jasa
kebaikan yang telah dilakukan oleh orang lain.
Indahnya Berbagi

Suatu ketika, Benares dipimpin oleh raja yang baik. Tapi, masih juga sebagian
orang tidak puas atas kepemimpinan sang raja. Karena ketidakpuasan, mereka
memberontak, menimbulkan kekacauan di daerah perbatasan. Sang raja pun
memutuskan untuk menumpas pemberontakan itu dan dia sendiri yang memimpin
pasukan kerajaan ke daerah perbatasan. Tetapi, medan perang yang cukup sulit
membuat pasukan kerajaan kalah.

Menyadari dirinya dalam bahaya, sang raja langsung menunggang kuda dan
melarikan diri. Sampailah sang raja di sebuah desa. Di desa itu, rakyatnya sedang
ramai melakukan kegiatan sehari-hari. Melihat sang raja datang, semua ketakutan.
Mereka lari tunggang langgang, menyelamatkan diri. Tetapi, salah satunya tidak takut.
Dia menghampiri sang raja.

Mengetahui kondisi sang raja yang sebenarnya, dia kemudian mempersilakan sang
raja untuk tinggal di rumahnya. Bersama istrinya, dia merawat sang raja dan kuda
kerajaan. Mereka tinggal di desa itu selama beberapa hari hingga kondisi sang raja
pulih kembali. Setelah sehat, sang raja pun pamit dan mengundang orang tersebut ke
kota kerajaan.

Beberapa bulan telah berlalu, tetapi penduduk desa itu tidak datang juga. Sang
raja pun memerintahkan untuk menaikkan pajak di kampung itu. Penduduk kampung itu
tetap tidak ingin berkunjung ke kota kerajaan. Raja pun memerintahkan untuk
menaikkan pajak lagi. Tetapi, dia tetap tak ingin berangkat. Sang raja menjadi gusar
dan memerintahkan agar pajak dinaikkan lebih tinggi. Penduduk kampung itu menjadi
sulit hidupnya; mereka tak sanggup membayar pajak. Mereka pun mendatangi
penduduk yang telah memberikan pertolongan dan memintanya untuk berkunjung ke
kota kerajaan.

Atas desakan warga lainnya, orang tersebut mengunjungi sang raja. Dia membawa
berbagai makanan dan pakaian untuk sang raja, permaisuri dan putra mahkota. Dengan
senang hati, sang raja menerima semua persembahan itu. Dia memakan makanan dari
kampung dengan lahap; dia pun memakai pakaian yang telah dibawakan dari kampung
dan menanggalkan pakaian kebesarannya. Demikian pula, sang permaisuri dan putra
mahkota. Sebagai ungkapan terima kasih, sang raja mempersembahkan separuh
kerajaan kepada orang kampung itu. Sang raja pun membangun rumah yang mewah dan
indah untuknya. Mereka pun makan dan saling bercanda ria.

Perdana menteri yang tidak tahu duduk permasalahannya, merasa kecewa atas
perlakuan sang raja. Sang raja pun menjelaskan bahwa selama dalam pelarian, orang
tersebutlah yang telah menyelamatkan nyawanya. Karena itu, dia melakukan semua itu
sebagai ungkapan terima kasihnya. Sang perdana menteri pun merasa bahagia karena
memiliki raja yang begitu mulia, tahu balas budi.

Pesan moral: Balaslah kebaikan orang yang telah menyelamatkan nyawa kita
dengan kebaikan yang setara.
Memuja Harta Karun

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang Brahmana miskin di kota Benares. Hidupnya
susah dan serba menderita. Karena itu, setiap hari dia melakukan puja kepada deva
penunggu pohon besar yang ada di kota itu. Dia bersihkan daerah sekitar pohon itu.
Dia tabur batu kerikil dan pasir di sekeliling pohon itu dan mencabuti rumput yang
menempel di pohon tersebut. Selain itu, dia juga mempersembahkan bunga dan dupa.
Dia pun rajin menyirami pohon itu.

Setiap pagi, Brahmana itu rajin melakukan puja semacam itu. Setelah puja
dilakukan, dia selalu mengatakan “Semoga engkau selalu berbahagia.” Demikianlah,
Brahmana itu melakukan puja itu. Setelah itu, dia akan kembali ke rumahnya.

Pada suatu hari, Brahmana itu datang lagi. Dia membersihkan daerah sekeliling
pohon itu. Saat dengan penuh ketekunan dia menyapu, muncullah seorang petapa tua
dari belakangnya. “Oh Brahmana, mengapa engkau selalu membersihkan tempat ini?
Mengapa engkau selalu melakukan puja setiap hari di sini?” selidik petapa tua itu.

“Oh guru, saya adalah orang miskin. Saya percaya deva penunggu pohon ini tahu
tempat harta karun tersembunyi,” jawab Brahmana itu dengan polos. Mendengar
jawaban itu, petapa itu tertawa gembira. Dia pun berubah wujud, dan terbang di
udara, tepat di depan pintu gerbang istana emasnya.

“Oh Brahmana, aku bahagia dengan rasa bakti dan ketulusanmu. Karena itu, akan
kuberi engkau harta karun. Sebenarnya, di bawah pohon ini terdapat harta karun yang
berlimpah. Tapi, engkau sudah terlalu tua. Tak mungkin engkau menggalinya, apalagi
membawanya pulang. Pulanglah dan aku akan mengantarkan harta itu ke rumahmu,”
kata petapa yang telah berubah wujud menjadi seorang deva itu.

Brahmana itu pun sangat bahagia. Dia pulang ke rumah dan menemukan tumpukan
emas di dalam rumahnya. Dia pun hidup bahagia dengan harta karun itu. Brahmana itu
kemudian melakukan berbagai tindak kebajikan. Dia berderma membantu orang-orang
miskin. Dia juga menjalankan moralitas dengan baik.
Pesan moral: Suatu tindakan baik bila dilakukan dengan ketulusan, akan
membuahkan harta karun kebahagiaan yang berlimpah.
Mencabut Tulang, Menuai Belang

Pada suatu hari, seekor singa menangkap binatang buruannya. Karena lapar
setelah berlari dan bertengkar dengan binatang buruannya, dia makan dengan rakus
sehingga sebuah tulang melukai tenggorokannya. Sang raja hutan kesakitan; dia tidak
bisa makan; lehernya pun bengkak. Dia tak bisa berbuat apa-apa selain terbaring
menahan rasa sakit.

Pada hari itu, burung pelatuk yang baik hati hinggap di dahan tepat di atas singa
itu terbaring. “Hai sahabatku, apakah engkau sedang sakit?” Tanya burung pelatuk
dengan sopan. “Ya, sebuah tulang tersangkut di tenggorokanku,” singa menjelaskan
sambil menahan sakit.

“Baiklah, aku akan menolongmu. Tapi, kau harus janji untuk tidak membunuhku,”
pinta burung pelatuk agak khawatir. “Tak perlu khawatir. Cukup selamatkan nyawaku.
Cabutlah tulang ini karena tenggorokanku sakit sekali,” pinta sang singa.

Burung pelatuk itu turun, menghampiri sang singa. Dia meminta singa untuk
membuka mulutnya. Burung pelatuk kemudian mengambil sebuah ranting dan
menaruhnya di mulut singa sambil berpikir, “Siapa bisa menyangka kalau singa
mengatupkan mulutnya?” Burung pelatuk itu kemudian mematuk tulang yang ada dalam
tenggorokan singa dan tercabutkan tulang itu. Burung itu pun kemudian terbang
sambil mematuk ranting yang ada di mulut singa.

Setelah sekian lama, burung pelatuk melihat singa itu sedang memakan kerbau
liar dengan rakusnya. Terbersitlah dalam pikiran burung pelatuk untuk mengetes
singa. “Hai singa, aku telah menolongmu. Sudikah engkau melakukan sedikit balas budi
kepadaku?” kata burung pelatuk sambil bertengger di atas ranting.

“Kuberi hidup saja sudah beruntung,” jawab sang singa dengan sombongnya.
Akhirnya, burung pelatuk itu menyadari bahwa singa bukanlah teman yang tahu balas
budi. Dia hanya mau mendapatkan pertolongan tetapi tidak mau menolong yang lain.
Pesan moral: Jangan pernah melupakan orang yang menyelamatkan nyawa kita
saat kita sedang dalam bahaya dan penderitaan.
Karena Kesalahan

Suatu ketika, Bodhisatta terlahir sebagai lelaki miskin di India saat itu. Dia
memiliki seorang istri yang sedang hamil. Karena hamil, dia ingin sekali makan mangga.
Tetapi, saat itu bukan musim mangga. Sang Bodhisatta pun bingung, sementara sang
istri terus menuntut untuk makan mangga. Sang Bodhisatta menyodorkan buah-buah
lainnya, namun sang istri menolaknya. Hanya mangga yang dia harapkan. Bukan buah
yang lainnya.

Sang Bodhisatta berpikir keras dan dia ingat bahwa di kebun raja ada mangga
yang selalu berbuah sepanjang tahun. Pada malam hari, dia pergi ke kebun raja dan
memanjat pohon mangga dengan hati-hati. Dia pun memetik mata dengan hati-hati
agar tidak diketahui oleh para penjaga.

Karena sangat hati-hati, tanpa dia sadari, ketika dia mau turun hari telah terang.
Matahari mulai menampakkan sinarnya. “Kalau aku turun, pasti aku akan ditangkap dan
hukum mati. Lebih baik aku diam di sini saja,” pikirnya. Bodhisatta kemudian duduk di
ranting yang aman dan tak terlihat oleh orang lain.

Pada pagi hari itu, sang raja datang ke taman bersama gurunya untuk belajar.
Sang raja duduk di tempat yang lebih tinggi, sedangkan sang guru yang mengajar
duduk di tempat yang lebih rendah. Melihat hal itu, Bodhisatta kemudian berpikir,
“Sombong sekali raja ini. Sang guru juga tidak tahu diri.”

Bodhisatta kemudian turun dan mendekati raja yang sedang mendapatkan


pelajaran dari gurunya. Lalu, dengan ramah dia berkata, “Oh baginda raja, hamba
adalah orang yang tersesat; baginda raja sendiri adalah orang yang begitu sombong;
sedangkan guru ini tidak ada bedanya seperti orang mati.”

Sang raja bingung atas ucapan Bodhisatta dan memintanya untuk menjelaskan apa
yang dia maksudkan. Sang Bodhisatta kemudian menjelaskan, bahwa dia telah menjadi
pencuri karena tak tega dengan istri yang sangat dia cintai. Sang raja tidak
menghormati guru yang mengajarnya, karena dia duduk di tempat yang lebih tinggi
saat menerima pelajaran. Sang guru sendiri rela duduk di tempat yang lebih rendah
demi ketenaran dan upah semata, tanpa mengerti bagaimana menghormati ajaran yang
dia ajarkan.

Sang raja sangat gembira atas penjelasan itu. Kemudian, sang raja mengangkat
Bodhisatta menjadi raja pada malam hari, dan dirinya sendiri menjadi raja pada siang
hari. Sang raja sendiri selalu mendengarkan wejangan dari Bodhisatta sehingga dia
memerintah kerajaannya dengan kebijaksanaan.

Pesan moral: Berterima kasihlah kepada orang yang telah menunjukkan


kesalahan kita karena kesombongan, sering kali kita tidak menyadari kesalahan
kita sendiri.
Pencuri Budiman

Saat itu, Bodhisatta terlahir sebagai burung heriang. Dia memiliki dua orangtua
yang sudah tua dan sulit untuk mencari makan. Karena itu, dengan penuh rasa bakti
Bodhisatta merawat kedua orangtuanya. Namun, suatu hari terjadilah angin yang
begitu kencang. Mereka tidak dapat melawan kencangnya angin dan terseret angin.
Mereka jatuh di tempat yang lembab, sehingga semua menggigil kedinginan.

Pada pagi hari, seorang pedagang melewati tempat itu. Melihat ketika burung itu,
sang pedagang kemudian menolong mereka. Dia membuat api unggun dan memberinya
makan daging sapi yang dia ambil dari tempat penyembelihan sapi. Sang pedagang
kemudian menyuruh seseorang untuk merawat ketiga burung itu. Orang tersebut
merawatnya dengan baik, karena dia mendapatkan upah dari pedagang itu.

Setelah ketiga burung itu pulih, mereka kembali terbang ke alam bebas. “Kita
telah ditolong oleh orang yang budiman. Pepatah mengatakan, orang yang telah
menolong, layak ditolong. Karena itu, kalau di antara kita ada yang melihat baju
dijemur atau perhiasan, kita harus mengambilnya dan menjatuhkannya di halaman
pedagang itu,” kata salah satu burung itu.

Sesuai kesepakatan, mereka bertiga mengembara di kota. Mereka pun mencuri


berbagai pakaian dan perhiasan saat pemiliknya lalai. Setelah itu, mereka
menjatuhkan baju dan perhiasan itu di halaman sang pedagang. Sebagai dampaknya,
penduduk kota menjadi resah karena ulah mereka bertiga. Mereka melaporkan
masalah itu kepada sang raja. Sang raja lalu memerintahkan agar mereka menangkap
burung heriang tersebut.

Berbagai jerat dan jebakan di pasang di setiap tempat. Mereka yakin bahwa
mereka bisa menangkap burung heriang itu. Memang benar, Bodhisatta pun
tertanggap. Dia pun dibawa menghadap sang raja. Melihat burung heriang yang telah
dia tolong dibawa menghadap sang raja, pedagang itu pun mengikuti mereka. Dia
khawatir bila burung itu disakiti atau dibunuh.
“Benarkah engkau telah mencuri pakaian dan perhiasan penduduk kota?” tanya
sang raja. “Benar, baginda raja,” jawab Bodhisatta. “Mengapa engkau melakukan hal
itu?” tanya raja lebih lanjut. Bodhisatta pun menjelaskan bahwa pedagang itu telah
menyelamatkan hidupnya dan kedua orangtuanya. Karena itu, mereka melakukan
semua itu demi membalas budi kebaikan pedagang itu.

“Di manakah pakaian dan perhiasan itu kini berada?” tanya raja kepada pedagang
itu. Sang pedagang pun menjelaskan bahwa semua pakaian dan perhiasan dia simpan
dengan baik. Semua akan dia kembalikan kepada pemiliknya. Namun, dia memohon agar
burung itu dibebaskan. Sang raja pun membebaskan burung itu dan sang pedagang
mengembalikan semua pakaian dan perhiasan kepada pemiliknya.

Pesan moral: Orang yang telah menyelamatkan hidup kita, layak diperjuangkan
dengan hidup kita pula.
Utusan sang Perut

Tersebutlah seorang raja yang hobinya adalah makan makanan yang enak dan
berlebihan. Ketika dia ingin makan, dia tidak ingin makan di dalam istana kerajaan.
Tapi, dia selalu memerintahkan untuk membuat tempat makan di luar istana. Tempat
itu dihias dengan indah. Berbagai jenis makanan dipersembahkan. Dia pun tidak akan
makan sendirian. Namun, akan ditemani oleh putri-putri kerajaan. Mereka juga makan
makanan istimewa, lezat dan mahal.

Ketika sang raja sedang makan, seorang yang serakah melihatnya. Dia begitu
tergiur melihat makanan yang dimakan oleh sang raja. Tak tahan melihat hal itu, dia
pun berlari menuju sang raja. "Utusan, utusan,” teriaknya. Semua orang yang ada di
tempat itu pun minggir dan memberinya jalan.

Bukannya menyampaikan pesan kepada sang raja, justru orang itu langsung
mengambil makanan dari piring sang raja dan melahapnya. Seorang prajurit penjaga
menjadi marah dan langsung menghunus pedangnya. “Letakkan pedangmu,” perintah
sang raja. “Makanlah; tak perlu takut,” kata sang raja kepada utusan itu. Utusan itu
makan makanan sang raja dengan rakus, karena itulah makanan yang paling lezat yang
pernah dia makan dalam hidupnya; tak pernah dia mendapatkan makanan selezat itu.

“Sekarang, katakan kepadaku, siapakah yang mengutusmu dan apakah pesan yang
kau bawa?” tanya sang raja setelah orang itu selesai makan. “Baginda raja, hamba
adalah utusan perut dan keserakahan. Keserakahan mengatakan, “Pergilah!” dan
mengirimku kemari,” kata orang tersebut. Orang itu kemudian menjelaskan bahwa
demi perut, banyak orang yang merantau ke tempat yang jauh; demi perut banyak
orang yang meninggalkan anak dan istri, serta sanak famili; demi perut banyak yang
meninggalkan negara yang mereka cintai. Bahkan, tidak segan-segan menyerahkan diri
kepada musuh sekedar mengisi perut.
Sang raja sangat tertegun mendengar penjelasan itu. Penjelasan itu adalah
penjelasan yang tak pernah dia dengar; pun tak pernah dia pikirkan sebelumnya. Oleh
sebab itu, raja sangat menghormati orang tersebut dan memberinya banyak hadiah.

Pesan moral: Pelajaran yang baik bisa saja dipetik dari orang yang serakah;
kalau orang semacam itu harus diberi penghormatan, bukan keserakahannya
tetapi nilai-nilai kebaikannya yang perlu dihargai dan dihormati.
Karena Sisa Makanan

Suatu ketika, Bodhisatta terlahir sebagai seorang anak orang kaya. Dia memiliki
seorang adik lelaki yang agak nakal. Tapi, Bodhisatta sangat menyayanginya. Dia selalu
menasihatinya; memberinya contoh untuk menjadi orang yang baik. Namun, adiknya
tidak berubah sikap.

Suatu hari mereka pergi ke suatu desa untuk bekerja. Mereka pun diberi upah
yang cukup besar: Seribu keping uang. Karena sebagai kakak, Bodhisatta membawa
uang itu. Dia bungkus uang itu dengan rapi dan pulang ke rumah.

Dalam perjalanan mereka harus menyeberangi sungai. Sungainya sangat


berbahaya sehingga mereka harus naik perahu. Tetapi, tukang perahu tidak banyak
sehingga mereka harus menunggu untuk beberapa saat.

Sambil menunggu, mereka makan nasi bungkus yang mereka bawa dari rumah.
Bodhisatta tidak mampu menghabiskan seluruh nasinya. Dia buang ke sungai sisa nasi
tersebut agar dapat dimakan oleh ikan. “Semoga kebajikan ini melimpah kepada peri
air yang menunggu tempat ini. Semoga dia berbahagia,” demikian kata Bodhisatta
setelah memberi makan ikan.

Di sungai itu memang ada peri air. Peri air tersebut menjadi bahagia karena niat
baik Bodhisatta. Hidupnya pun menjadi lebih bahagia dan dia mendapatkan kesaktian.
Dengan kesaktian tersebut, dia mengetahui bahwa Bodhisattalah yang membuatnya
demikian.

Setelah memberi makan ikan, Bodhisatta menggelar bajunya di pasir dan


membaringkan tubuhnya. Dia pun tertidur lelap. Namun, adiknya yang nakal ingin
memiliki seluruh uang hasil kerja mereka. Karena itu, dia membuat bungkusan yang
mirip dengan bungkusan uang tersebut. Ketika sedang berada di tengah sungai, dia
menjatuhkan salah satu bungkusan itu.
“Kak, uangnya jatuh. Bagaimana ini?” tanya adiknya berpura-pura. “Jatuh ya
sudah. Jangan dipikirkan. Apa yang sudah hilang, biarlah hilang,” jawab Bodhisatta
dengan bijaksana. Namun peri air menjelma menjadi ikan yang besar dan menelan
bungkusan itu.

Sesampainya di rumah, sang adik membuka bungkusan itu. Betapa terkejutnya dia
karena apa yang dia temukan hanyalah bungkusan batu kerikil. Ternyata dia salah
menjatuhkan bungkusan. Dia pun sangat sedih. Dia telah kehilangan uangnya sendiri
dan juga uang hasil tipu muslihatnya.

Pada keesokan harinya, seorang nelayan menangkap ikan yang cukup besar. Dia
membawa ikan tersebut dan menjualnya di pasar. Tidak ada yang membeli karena sang
nelayan menjualnya sangat mahal: seribu keping dan tujuh Sen. Semua orang di pasar
pun menertawakannya. Nelayan itu kemudian pergi ke rumah Bodhisatta dan
menawarkannya hanya dengan harga tujuh Sen. Bodhisatta membelinya dan menyuruh
istrinya untuk membersihkan ikan tersebut.

Ketika sang istri membersihkan perut ikan tersebut, dia menemukan bungkusan
uang. Dia pun memanggil Bodhisatta. Bodhisatta mengenali bahwa bungkusan itu
adalah miliknya yang jatuh di sungai. Saat itulah, peri air muncul di angkasa dan
mengatakan kepada Bodhisatta apa yang sesungguhnya terjadi. Dia lakukan semua itu
sebagai ungkapan balas budi atas kebaikan Bodhisatta.

Peri air pun menyarankan agar Bodhisatta tidak membagi uang tersebut dengan
adiknya. Tetapi, Bodhisatta sangat menyayangi adiknya. Dia pun memanggil adiknya
dan memberinya sesuai haknya. Sang adik pun melompat kegirangan dan meminta maaf
kepada sang kakak atas sikapnya yang kurang ajar. Sejak saat itu, dia berubah sikap;
dia menjadi anak yang baik.

Pesan moral: Orang yang baik akan selalu mendapatkan pertolongan dan
dilindungi oleh makhluk lain. Orang yang jahat akan selalu celaka dan
menderita.
Karena Ketekunan

Suatu ketika Bodhisatta menjadi seorang raja yang bijaksana. Dia juga sangat
cerdik. Dia tidak percaya begitu saja pada apa yang telah dikatakan oleh para menteri
dan penasihatnya. Karena itu, suatu malam dia menyamar menjadi Brahmana tua dan
berkelana di jalan. Dia ingin mengetahui kondisi kerajaan yang sesungguhnya.

Saat sedang dalam penyamaran, segerombolan pencuri sedang mabuk setelah


mereka mencuri. Dalam perjalanan pulang, mereka bertemu dengan raja yang sedang
menyamar. Karena tidak tahu, mereka mempermainkan sang raja sesuka mereka.
Mereka memukul sang raja dan memakinya dengan berbagai ucapan kotor. Mereka
menarik-narik sang raja seolah itu adalah benda mati.

Saat itu terjadi gerhana bulan; seorang Brahmana yang telah dipecat dari
jabatannya, melihat gerhana itu. Dia pun memanggil istrinya, “Oh istriku, sang raja
sedang ditangkap oleh orang yang jahat.” “Tidak usah pedulikan lagi pertanda seperti
itu. Penasihat raja pasti akan melihat hal itu,” sahut istrinya dengan nada kesal.
Tetapi, tidak lama kemudian dia melihat raja telah terbebas dari mara bahaya.

Pada saat yang bersamaan, sang raja pun telah dibebaskan oleh para pencuri.
Mereka merasa iba karena Brahmana tua itu terus merengek minta dibebaskan. Raja
pun kembali ke istana dengan selamat setelah dia tahu tempat persembunyian para
pencuri.

Keesokan harinya, sang raja memanggil penasihatnya. Dia pun memanggil


Brahmana penasihat yang telah dipecat. Mereka berdua bersama para menteri yang
lainnya duduk di hadapan sang raja.

“Apakah engkau telah melihat tanda-tanda buruk?” tanya sang raja kepada
penasihatnya. Penasihatnya menjelaskan bahwa tidak ada pertanda buruk dan semua
tampak baik. Sang raja kemudian bertanya kepada Brahmana tua pertanyaan yang
sama. “Tadi malam baginda raja jatuh ke tangan orang-orang jahat, tapi sesaat
kemudian baginda raja dibebaskan,” kata Brahmana tua itu.
Sang raja puas dengan penjelasan Brahmana tua dan akan mengabulkan
permintaan Brahmana tua tersebut. Brahmana tersebut kemudian pamit pulang untuk
berdiskusi dengan keluarganya. Dari diskusi tersebut, istrinya meminta seribu sapi
perah; anaknya meminta kereta kencana dengan kuda yang bagus; menantunya
meminta berbagai perhiasan; pembantunya meminta penumbuk dan lesung serta
penampi. Sedangkan sang Brahmana sendiri meminta seluruh pajak dari suatu desa
untuknya.

Sang raja mengabulkan seluruh permintaan mereka. Tak satu pun yang ditolak.
Sejak saat itu, sang raja pun memerintah kerajaannya sesuai nasihat Brahmana
tersebut.

Pesan moral: Orang yang selalu tekun bekerja akan mendapatkan kebahagiaan,
ketenaran dan kekayaan.
Ungkapan Terima Kasih Burung Kakaktua

Suatu ketika, hiduplah sekawanan burung kakaktua di pegunungan Himalaya.


Mereka hidup dengan tenang, damai dan bahagia karena makanan berlimpah. Air
sungai Gangga pun terus mengalir sepanjang tahun. Dari situlah mereka minum dan
mandi.

Kawanan kakaktua tersebut dipimpin oleh seorang raja yang sangat sederhana.
Dia merasa puas dengan apa yang dia miliki. Dia pun tinggal di sebuah pohon. Ketika
pohon tersebut berbuah lebat, dengan senang hati dia memakan buah-buahan dari
pohon tersebut. Ketika buah telah habis, dia tidak mencari makan di tempat lain.
Melainkan, dia akan makan daun, ranting atau kulit kayu pohon tersebut. Setelah itu,
dia akan ke sungai Gangga untuk minum dan mandi. Kemudian hinggap kembali ke pohon
itu meski tampak gersang.

Karena rasa puas dan bahagia raja burung kakaktua tersebut, singgasana Deva
Sakka pun terasa panas. Dia pun berusaha merenungkan apa yang sesungguhnya
terjadi. Sesaat kemudian, dia menyadari bahwa singgasananya menjadi panas karena
rasa puas dan bahagia raja burung kakaktua.

Sekedar untuk mengetes raja tersebut, dengan kesaktiannya, Sakka membuat


pohon itu mati. Tidak ada daun, ranting-ranting pun rapuh, berjatuhan diterpa angin.
Pohon itu pun tampak rapuh sehingga keluar bubuk kayu dari pohon itu. Namun, sang
raja tidak goyah. Dia memakan tepung kayu itu dan ranting-ranting yang telah rapuh.
Setelah itu, dia akan minum di sungai dan kembali lagi tinggal di pohon tersebut, tanpa
peduli terik matahari, hujan deras atau pun angin yang kencang. Dengan cara itulah
dia bertahan hidup.

Sakka pun turun ke bumi. Dia menyamar sebagai burung belibis. Sakka yang telah
menjelma menjadi burung belibis terbang ke hutan tersebut, dan hinggap di ranting
dekat pohon rapuh tersebut. “Biasanya burung-burung berkerumun hanya saat buah-
buahan lebat. Setelah itu, mereka akan mencari makan ke tempat lainnya. Mengapa
dirimu masih saja tetap setia di pohon ini?” tanya burung belibis dengan ramah.

“Oh sahabatku, karena rasa terima kasihku, aku tak pernah meninggalkan pohon
ini. Aku telah bersahabat dengan pohon ini sejak aku masih kecil. Kami telah hidup
dalam susah dan senang; penderitaan dan kebahagiaan kami lalui bersama. Sahabat
yang baik adalah sahabat yang tak pernah meninggalkan temannya yang sedang dalam
kesusahan. Pohon ini telah menjadi sahabatku. Karena itu, aku tak akan pernah
meninggalkannya,” raja kakaktua menjelaskan.

Deva Sakka sangat senang mendengar kesetiaan dan ungkapan terima kasih raja
kakaktua. “Oh, betapa mengagumkan persahabatanmu dengan pohon ini. Baiklah, aku
akan mengabulkan apa pun permintaanmu,” kata Deva Sakka dengan wajah ceria.

“Kalau kau memang sanggup mengabulkan permintaanku, biarlah pohon yang


kusayangi ini tumbuh kembali. Biarlah pohon ini berbuah dengan lebat,” kata sang raja
kakaktua dengan penuh harap. Deva Sakka pun menjelma kembali ke bentuk aslinya.
Dengan kesaktiannya, dia mengubah pohon yang telah lapuk tumbuh kembali dan
berbuah dengan lebat. Pohon itu selalu berbuah sepanjang tahun dan tidak pernah
jeda. Raja kakaktua pun sangat bahagia.

Pesan moral: Orang bijaksana selalu berterima kasih kepada temannya yang
telah menolong dirinya. Dia tidak akan meninggalkan temannya saat temannya
dalam kesusahan.
Balas Budi Seorang Raja

Pada zaman dahulu, ada seorang raja yang sangat kekar badannya. Dia lebih kekar
dari para menteri atau pun prajuritnya. Dia mampu lari lebih cepat dari siapa pun.
Hobinya adalah berburu di hutan. Karena itu, dia sering pergi ke hutan bersama
prajurit dan menterinya untuk berburu.

Sesampainya di hutan, mereka sepakat untuk mengelilingi hutan. Namun, sebelum


mereka menjalankan tugasnya, sang raja berpesan, “Siapa pun yang membiarkan
binatang buruan lolos, dia akan dihukum.” Semua pun menyadari tugasnya. Karena itu,
mereka menjalankan tugasnya dengan hati-hati. Tetapi, secara diam-diam semua
prajurit dan menteri yang ikut berburu sepakat agar binatang buruan di arahkan
kepada sang raja.

Di hutan tersebut, ada seekor rusa yang sangat kuat dan cerdik. Menyadari
bahaya yang ada, dia berusaha untuk meloloskan diri, tapi kepungan para prajurit
begitu kuat; tak ada celah sedikit pun. Dia hanya melihat celah di dekat raja. Karena
itu, dia lari ke arah raja. Raja yang melihat ada rusa datang, langsung mengambil panah
dan membidik rusa tersebut. Rusa tersebut ternyata sangat cerdik. Dia bisa
menghindari semua anak panah yang diarahkan kepadanya. Dia lari dengan kencang
dan akhirnya lolos.

Semua prajurit dan para menteri tertawa melihat hal itu. Menyadari hal itu, raja
langsung mencabut pedang dan mengejar rusa itu ke tengah hutan. Rusa terus berlari
dan raja pun terus mengejarnya. Sang rusa menyadari bahwa di depannya ada lubang
yang sangat dalam tetapi telah tertutup oleh tumbuhan menjalar. Dia menghindari
lubang tersebut.

Sang raja berlari dengan gesit. Dia sangat berambisi untuk menangkap rusa itu.
Sebagai akibatnya, dia terperosok ke dalam lubang tersebut. Apa yang bisa dia
lakukan hanya berteriak-teriak minta tolong. Rusa mendengar teriakan itu dan karena
rasa belas kasihan, dia kembali ke tempat itu.
“Jangan takut. Hamba akan menolong baginda raja,” kata rusa meyakinkan sang
raja. Rusa itu kemudian membantu sang raja keluar dari lubang tersebut; rusa itu
membersihkan sang raja dan menenangkannya. Setelah tenang, rusa menasihatinya
untuk menjalankan moralitas dengan baik. “Hindari pembunuhan, pencurian, perbuatan
asusila, berbohong dan minumam memabukkan,” nasihat sang rusa.

Sang raja merasa sangat tersentuh atas kebaikan sang rusa. Dia telah berusaha
membunuhnya, tapi tak sedikit pun kebencian terbersit di hatinya; sang raja pun
mencucurkan air mata. “Atas kebaikanmu,” kata sang raja, “kupersembahkan separuh
kerajaanku kepadamu. Mari kita menjadi pemimpin yang bersahabat,” kata sang raja
sambil mengusap air matanya.

Rusa menolak persembahan itu karena dia menyadari bahwa dirinya hanyalah
seekor rusa. Dia tidak membutuhkan kerajaan. Apa yang dia butuhkan hanyalah hidup
bebas di hutan. “Kalau baginda raja ingin berterima kasih kepada hamba, cukup
jalankan moralitas dengan baik,” sang rusa memohon. Raja menyanggupi permintaan
tersebut. Rusa lalu membawa raja ke dekat peristirahatan para prajuritnya.

Sesampainya di istana kerajaan, sang raja memerintahkan agar seluruh rakyatnya


menjalankan moralitas dengan baik. Sejak saat itu, seluruh rakyatnya menjalankan
moralitas dan hidup bahagia, ceria setiap hari. Tidak ada lagi pembunuhan, pencurian,
perbuatan asusila, ucapan yang tidak benar, maupun minum minuman memabukkan.

Pesan moral: Menjalankan moralitas, menjadi orang yang mulia hatinya adalah
bentuk balas budi terbaik dalam kehidupan ini.
Pertolongan yang Dibalas Pentungan

Pada zaman dahulu ada seorang petani. Dia memiliki sawah yang cukup luas dan dia
selalu membajak sawahnya dengan kedua sapinya. Setelah selesai membajak, dia akan
melepaskan sapinya begitu saja. Sapi-sapi itu akan makan rumput dan daun-daunan di
sekitar sawah. Biasanya mereka tak akan pergi jauh.

Setelah cukup sore, petani itu mencari sapinya. Namun, dia tak menemukan sapi-
sapi itu. Dia terus mencari dan menelusuri jejak sapi. Sebagai akibatnya, dia masuk
terus ke dalam hutan dan kehilangan jejak sapinya. Dia pun tersesat. Hari telah gelap.
Dia tak tahu arah jalan, tetapi terus berjalan di hutan yang gelap gulita.

Orang tersebut tersesat di hutan selama tujuh hari. Dia hanya makan buah dan
daun-daun yang ada. Suatu ketika, dia melihat pohon yang buahnya sangat lebat. Pohon
itu tumbuh di dekat jurang. Dengan hati-hati dia memanjat pohon itu, dan berhenti
di salah satu rantingnya. Tetapi, rantingnya patah dan dia pun jatuh ke jurang yang
sangat dalam. Berhari-hari dia bertahan di jurang tersebut dan tidak ada orang yang
menolongnya.

Beberapa hari kemudian, seekor monyet melihat benda yang tampak aneh. Dia
melempari benda itu dan ternyata berdarah. “Oh, makhluk hidup,” monyet itu
bergumam. Dia pun bergegas menolong orang tersebut. Monyet itu turun ke dalam
jurang dan membantu orang tersebut naik ke atas. Sesampainya di atas, monyet itu
kelelahan. “Aku lelah sekali. Tolong tunggu sebentar aku ingin istirahat,” kata monyet
itu sambil terengah-engah.

Ketika sedang berjaga, muncullah pikiran jahat pada orang tersebut. “Aku sudah
sangat lapar. Seandainya kubunuh monyet ini dan kumasak dagingnya pasti tenagaku
akan pulih kembali,” pikirnya. Dia pun mengambil batu dan memukul kepala monyet itu
dengan batu tersebut. Tetapi, karena tenaganya sangat lemah, pukulannya tidak
mampu membunuh monyet itu. Monyet itu langsung lari sambil menjerit kesakitan.
Dari atas pohon, monyet itu berkata “Aku telah menolongmu. Tapi, justru engkau
ingin membunuhku. Sungguh manusia tidak tahu balas budi.” Monyet itu pun pergi
meninggalkan orang tersebut.

Orang tersebut dengan susah payah bisa keluar dari hutan tersebut. Namun,
selama tujuh tahun dia menderita sakit yang parah. Badannya menjadi kurus kering,
tinggal kulit pembalut tulang dan sepanjang hidupnya selalu menderita. Dia pun
meninggal dengan pikiran yang menderita.

Pesan Moral: Orang yang membalas kebaikan orang lain dengan kejahatan, akan
menderita dalam hidupnya.
Balas Budi Seorang Anak

Pada zaman dahulu, hiduplah seorang Brahmana yang kaya raya. Dia hidup bersama
istrinya yang cantik jelita. Mereka telah hidup bersama tetapi tak seorang anak pun
yang mereka miliki. Hati mereka sangat berharap agar memiliki keturunan, tapi apalah
daya, harapan tinggal harapan. Mereka telah berusaha keras, namun tidak juga menuai
apa yang mereka harapkan.

Ketika mereka telah menjalani kehidupan berumah tangga selama puluhan tahun,
barulah sang istri mengandung. Setelah cukup waktu, dia pun melahirkan seorang
putra yang sangat sehat, tampak gagah dan ceria. Mereka memberinya nama Sona.
Saat Sona telah mampu untuk berlari, lahirlah seorang putra dan diberi nama Nanda.

Mereka sangat bahagia karena memiliki dua putra yang sangat baik, lucu, pandai
dan selalu membahagiakan kedua orangtuanya. Mereka pun menyekolahkan mereka di
sekolah terkenal. Mereka mampu menguasai pelajaran dengan cepat karena mereka
bukanlah anak yang malas. Mereka rajin, mereka giat belajar sehingga apa yang
disampaikan gurunya mereka dapat mengingatnya dengan baik.

“Anakku, lebih baik engkau menikah,” kata sang ibu suatu hari saat Sona tumbuh
dewasa. “Ma, Sona tidak tertarik untuk menjalani kehidupan rumah tangga. Yang
terpenting bagi Sona adalah bagaimana membahagiakan papa dan mama. Setelah papa
dan mama meninggal, Sona akan menjadi petapa dan bertapa di gunung Himalaya,”
jawab Sona dengan lembut.

Mereka berusaha membujuk Sona, tapi Sona kokoh pada pendiriannya, dia tetap
tidak mau menikah, dan tetap ingin menjadi petapa. Setelah sekian kali mereka
membujuk, mereka kemudian membujuk Nanda agar mau berkeluarga. “Ma, Nanda
tidak akan mengambil apa yang telah ditolak oleh kakak, karena hal itu tidak ada
bedanya seperti ludah. Nanda juga akan menjadi petapa bersama kakak setelah papa
dan mama meninggal,” kata Nanda dengan penuh keyakinan.
“Kalian sungguh luar biasa!” kata sang Brahmana mengagumi tekad kedua anaknya.
“Kalau demikian, mari kita menjadi petapa bersama. Mari kita bertapa bersama di
Gunung Himalaya” lanjut Brahmana dengan penuh antusias.

Mereka pun melaporkan tekad mereka kepada raja. Lalu, mereka mendermakan
seluruh kekayaan mereka kepada orang-orang miskin yang membutuhkannya. Mereka
juga memberikan kekayaan yang cukup kepada para pembantu dan pekerja mereka,
sehingga mereka bisa hidup tenang dan damai, tidak kekurangan sandang dan pangan
setelah kepergian mereka.

Mereka kemudian bersama-sama pergi ke Himalaya. Mereka memilih hutan yang


nyaman untuk ditinggali, cukup persediaan air untuk minum dan mandi, serta buah-
buahan untuk dimakan. Mereka pun membangun gubuk sederhana di Himalaya. Mereka
bertapa dengan penuh ketekunan.

Sona dan Nanda adalah anak yang berbakti. Mereka merawat kedua orangtuanya
dengan baik. Namun, Nanda agak kurang hati-hati. Dia selalu memberikan buah yang
mentah dan setengah matang kepada orangtuanya. Sona berkali-kali telah
menasihatinya, tapi tidak pernah digubrisnya. Akhirnya, Sona mengusir Nanda.

Nanda pergi jauh dari kedua orangtua dan kakaknya. Dia bertapa dengan giat dan
mendapatkan kesaktian. Dengan kesaktian tersebut, Nanda membantu raja untuk
mendapatkan kekuasaan di seluruh India tanpa setetes darah yang mengalir. Semua
raja ditundukkan dengan kedamaian. India disatukan dalam waktu tujuh tahun, tujuh
bulan dan tujuh hari.

Setelah merayakan kemenangan itu, raja mengatakan bahwa dia akan


mengabulkan semua permintaan petapa Nanda. “Bantu saya meminta maaf kepada
kakak saya sehingga saya bisa merawat kedua orangtua saya,” katanya. Raja bersama
seluruh ratusan raja-raja yang ada di India saat itu mendatangi tempat pertapaan
Sona. Sona menasihati para raja dan seluruh menterinya, sehingga mereka lebih
percaya kepada Sona daripada Nanda.
Melihat hal itu, akhirnya Nanda tunduk pada kakaknya. Dia pun siap menjadi
pembantunya agar dia bisa membalas budi kepada kedua orangtuanya. Sona
mengizinkan Nanda dan sejak saat itu, seluruh raja bersama rakyatnya merawat
kedua orangtua mereka dengan baik. Tidak ada orangtua yang ditelantarkan. Tidak
ada orangtua yang hidup sengsara. Semua bahagia karena anak-anak mereka sangat
berbakti kepada mereka.

Pesan moral: Orangtua kita adalah orang yang telah memperjuangkan kita
dengan nyawanya. Karena itu, mereka layak mendapatkan balas budi yang
setimpal.
Untuk Cover Belakang

Jataka for Kids 1: Balas Budi adalah kumpulan 21 dongeng tentang balas budi.
Dongeng-dongeng tersebut sangat menarik: Bagaimanakah seekor lembu membalas
budi seorang grandma yang telah merawatnya sejak kecil? Bagaimana pula sang gajah
yang terluka membalas budi para tukang yang menyelamatkan hidupnya? Tidak hanya
balas budi kebaikan, tetapi juga bagaimana mereka yang melupakan kebaikan orang
lain, dimuat dalam buku ini. Semua dongeng disertai dengan pesan moral yang mudah
diingat dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Anda mungkin juga menyukai