Anda di halaman 1dari 98

Aneka Sutta:

Implementasi Dalam Praktik

S. Dhammasiri
Catatan:

1. Buku ini dapat dibagikan atau disebarluaskan dengan cara apa pun
dan untuk keperluan apa pun tanpa perlu meminta izin dari penulis.

2. Semua artikel yang ada dalam buku ini telah dipublikasikan


melalui akun Facebook: Dhammasiri Sam
Daftar Isi:
1. Ādhipateyya Sutta: Membangkitkan Semangat Juang Melalui
Tiga Landasan Berpikir 1
2. Anuruddha Sutta: Memahami Pengalaman dari Perspektif yang
Benar 6
3. Anuruddhamahāvitakka Sutta: Delapan Pemikiran Manusia
Agung 11
4. Aṭṭhakanāgara Sutta: Banyak Jalan Menuju Nibbāna
17
5. Bhikkhunī Sutta: Antara Melawan dan Memutuskan 23
6. Cūḷagosiṅga Sutta: Membangun Kebersamaan, Maju dalam
Praktik 29
7. Dutiyalokadhamma Sutta: Delapan Sifat Dunia 35
8. Ghatīkāra Sutta: Fleksibilitas Para Ariya 40
9. Indriyabhāvanā Sutta: Pengendalian Diri yang Sebenarnya
45
10. Mahāgosiṅga Sutta: Hidup Damai di Tengah Perbedaan
51
11. Memahami Kālāma Sutta dalam Praktik Pengembangan
Kesadaran 57
12. Paccaya Sutta: Dhamma yang Tidak Mungkin Dipungkiri
66
13. Paṭhamasekha Sutta: Rintangan dalam Praktik 72
14. Sedaka Sutta: Pengembangan Cinta Kasih yang Sebenarnya
78
15. Yuganaddha Sutta: Empat Alternatif Menuju Nibbāna
83
16. Siṃsapā Sutta: Ajaran yang Bermanfaat 88
17. Gavampati Sutta: Pemahaman Empat Kebenaran Mulia 92
Ādhipateyya Sutta: Membangkitkan
Semangat Juang Melalui Tiga Landasan
Berpikir

Ādhipateyya Sutta adalah salah satu sutta yang terletak di dalam


Aṅguttara Nikāya. Dalam edisi Pāli Text Society (PTS), sutta ini
terletak di halaman 147, volume atau buku pertama. Dalam urutan
nipāta, sutta ini terdapat dalam Tikanipāta atau "Buku Kelompok
Tiga".

Sutta ini disampaikan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu. Karena
itu, isinya pun secara spesifik, ditujukan untuk para bhikkhu atau mereka
yang telah menjalani kehidupan monastik. Namun, tidak ada salahnya
jika sutta ini juga dijadikan referensi untuk membangkitkan semangat
bagi khalayak umum. Artinya, sutta ini juga bisa diimplementasikan
oleh mereka yang tidak menjalani kehidupan monastik.

Dalam sutta ini, disebutkan ada tiga jenis otoritas atau lebih
tepatnya, tiga landasan berpikir. Ketiga hal tersebut adalah diri
sendiri (attādhipateyya), dunia (lokādhipateyya) dan ajaran
(dhammādhipateyya). Bagaimana ketiga hal ini bisa dijadikan
landasan berpikir dalam praktik?

Sang Buddha menjelaskan bahwa mereka yang telah menjalani


kehidupan monastik seharusnya merenungkan bahwa dirinya
menjalani kehidupan monastik bukan karena alasan pakaian atau jubah
(cīvarahetu), makanan (piṇḍapātahetu), atau karena alasan tempat
tinggal (senāsanahetu). Memahami hal ini sangat penting sebab ketika
seseorang meninggalkan kehidupan rumah tangga demi mencari
jubah yang lembut, makanan yang lezat atau tempat tinggal yang

[1]
nyaman, dia tidak akan betah untuk mengenakan jubah yang kasar,
juga akan protes saat mendapatkan makanan yang tidak sesuai dengan
seleranya. Demikian juga, dia akan menjadi gusar saat mendapatkan
tempat tinggal yang dianggap kurang layak.

Bukan hanya karena alasan itu saja, melainkan juga perlu diingat
bahwa menjalani kehidupan monastik bukan untuk menjadi ini
atau itu (itibhavābhavahetu). Saat seseorang berpikir bahwa dirinya
menjalani kehidupan monastik agar bermanfaat bagi masyarakat, bisa
membantu masyarakat, bisa melakukan aktivitas sosial, menduduki
posisi ini atau itu, atau menjadi penasihat atau orang yang lebih tinggi,
dirinya akan sibuk dengan aktivitas-aktivitas yang sifatnya duniawi,
melupakan kepentingan pribadinya sendiri atau mengabaikan tugas
utama yang seharusnya dilakukan.

Tanpa bermaksud mengkritik atau menjelekkan, sering kali terjadi,


setelah seseorang menjalani kehidupan monastik, mengenakan jubah,
dirinya merasa bahwa taringnya telah bertambah panjang. Tidak
cukup dengan taring yang panjang, dia merasa telah terpatri dua taji
di kakinya dan dua tanduk telah muncul di kepalanya. Tidak puas
dengan persepsi semacam ini, dia pun merasa telah tumbuh bulu-bulu
runcing di sekujur tubuhnya, persis seperti landak. Kalaupun ini tidak
cukup memuaskan, dirinya pun menjelma menjadi dinosaurus yang
penuh duri. Hal ini terjadi sejak zaman Sang Buddha masih hidup dan
tidak dipungkiri pula, terjadi hingga saat ini. Untuk mengantisipasi
pola pikir semacam ini, Sang Buddha selalu mengingatkan bahwa
mereka yang telah menjalani kehidupan monastik adalah pengemis
yang paling hina di dunia ini. Hal ini bisa terjadi, karena seluruh
hidupnya tergantung dari pemberian dan kedermawanan umat-umat
yang menyokongnya. Tanpa sokongan dari umat-umat yang memiliki
jiwa kedermawanan, dirinya bukanlah apa-apa.

[2]
Sang Buddha menekankan bahwa menjalani kehidupan monastik
adalah karena alasan dirinya masih terjebak dalam kelahiran, usia
tua, kematian, penderitaan, ratap tangis dan keluh kesah. Karena itu,
sangat penting untuk mengakhiri siklus penderitaan ini secepatnya,
tanpa perlu ditunda dengan berbagai alasan. Ini adalah tugas utama
mereka yang menjalani kehidupan monastik.

Saat menjalani kehidupan rumah tangga, seseorang memiliki hak


untuk menikmati kesenangan-kesenangan indrawi, namun begitu
menjalani kehidupan monastik dirinya tidak layak lagi untuk
mencari kesenangan indrawi yang setara atau bahkan lebih rendah
dari apa yang telah ditinggalkan. Dalam terminologi Sang Buddha,
kesenangan-kesenangan yang dihasilkan oleh kepuasan indrawi atas
dasar interaksi dengan objeknya, disebut sebagai sāmisā pīti, sāmisā
sukha, sāmisā upekkhā, sāmisā vimokkha. Dalam tahap awal, apa
yang perlu dikejar dan perlu dicapai atau perlu dicari adalah kepuasan
dari pengembangan batin atau kepuasan yang didapat dari meditasi.
Secara teknisnya, kepuasan tersebut disebut sebagai nirāmisā pīti,
nirāmisā sukha, nirāmisā upekkhā, nirāmiso vimokkho. Kepuasan-
kepuasan semacam ini atau kepuasan non-materi pun dianggap masih
belum memadahi. Ada yang lebih tinggi dari sekedar kepuasan-
kepuasan non-materi ini atau dalam bahasa palinya disebut sebagai
nirāmisā nirāmisatarā pīti, nirāmisā nirāmisatarā upekkhā, nirāmisā
nirāmisataro vimokkho. Apakah kepuasan yang melebihi kepuasan
non-materi ini? Kepuasan yang melebihi kepuasan non-materi ini
adalah terbebasnya pikiran dari nafsu keserakahan (rāga), kebencian
(dosa) dan kebodohan (moha).

Ini adalah landasan berpikir yang pertama sehingga seseorang yang


telah menjalani kehidupan monastik tetap gigih berjuang untuk
melaksanakan tugas utamanya. Dalam konteks ini, dirinya harus
menyadari bahwa dia telah meninggalkan kesenangan duniawi yang
[3]
dapat dinikmati selama menjalani kehidupan rumah tangga demi
cita-cita yang lebih luhur. Karena itu, singkatnya, dirinya rugi jika
harus terjerumus kembali dalam kesenangan duniawi yang sama atau
bahkan lebih rendah dari apa yang telah didapatkan selama menjalani
kehidupan rumah tangga.

Landasan berpikir yang kedua adalah dunia (lokādhipateyya).


Apa yang dijelaskan oleh Sang Buddha dalam sutta ini mengenai
lokādhipateyya adalah bahwa seseorang yang telah meninggalkan
kehidupan duniawi merenungkan bahwa dunia ini sangat luas.
Dalam dunia yang sangat luas ini, ada orang-orang atau para dewa
yang mampu membaca pikiran orang lain. Mereka mungkin tidak
tampak secara fisik di hadapannya. Namun, dari kejauhan mereka bisa
memahami dan membaca dengan baik kondisi batinnya yang dipenuhi
oleh nafsu (kāmavitakka), kebencian (byāpādavitakka) atau keinginan
untuk melukai yang lain (vihiṃsāvitakka). Dengan memahami
kemampaun orang lain, seharusnya dia merasa malu. Dengan rasa
malu tersebut, dia akan berjuang dengan baik, berjuang dengan
sungguh-sungguh agar tidak dicela oleh orang lain atau para dewa
yang mampu membaca pikirannya. Suara celaannya mungkin tidak
sampai hingga ke telinganya tetapi hal itu seharusnya sudah cukup
untuk membangkitkan hasratnya demi tercapainya pembebasan diri
dari saṃsāra.

Landasan berpikir yang ketiga adalah bahwa Dhamma telah diajarkan


dengan baik oleh Sang Buddha. Untuk bisa membabarkan Dhamma
dibutuhkan perjuangan yang tidak sedikit. Sebagai seorang pangeran,
Beliau harus meninggalkan kemewahan duniawi, segala kemilau yang
dapat dinikmati oleh umat manusia. Tidak cukup hanya itu saja, Beliau
pun harus berjuang hingga titik darah penghabisan selama enam tahun
untuk bisa memahami dan merealisasi dhamma.

[4]
Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Buddha dapat dialami secara
langsung, di sini dan saat ini juga, kapan saja sepanjang ada usaha,
ada semangat untuk mempraktikkannya. Dhamma tersebut telah
dibuktikan oleh murid-murid Sang Buddha dari zaman dahulu hingga
sekarang. Oleh sebab itu, tidak ada alasan baginya untuk bermalas-
malasan dalam berlatih, tidak perlu pula berdalih dengan berbagai
cara agar bisa menghindarkan diri dari tugas utama sebagai seorang
murid Sang Buddha.

Praktik yang dilakukan, itulah wujud ungkapan terimakasihnya kepada


Sang Buddha yang telah menemukan dan membabarkan Dhamma,
kepada para pendahulu yang telah menjaga kelestarian Dhamma,
dan kepada para guru yang telah membimbing, mengarahkan dan
mengajarkan dhamma. Praktik adalah ungkapan paling tinggi, paling
mulia, paling luhur terhadap mereka semua yang telah berjasa dalam
kehidupannya.

Itulah tiga landasan berpikir agar seseorang giat dan bisa terus
mempertahankan usahanya dalam latihan. Dengan adanya latihan
secara terus menerus, dengan adanya perjuangan tanpa henti, dia
mampu meninggalkan apa yang tidak baik, mengembangkan sifat-
sifat luhur, dirinya menjadi manusia yang tidak layak lagi dicela,
tetapi justu layak untuk dipuji. Apa pun yang dicapai, paling tidak, dia
telah berusaha untuk menjadi yang terbaik, baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi semua makhluk di dunia ini.

Semoga dengan tiga landasan berpikir ini, kita semua selalu konsisten
untuk berjuang, berlatih tanpa henti, apa pun status kita, apakah
perumah tangga atau mereka yang telah meninggalkan kehidupan
rumah tangga karena pada dasarnya, semua adalah murid Sang
Buddha.

[5]
Anuruddha Sutta: Memahami Pengalaman
dari Perspektif yang Benar

Anuruddha Sutta, juga disebut sebagai Dutiyaanuruddha Sutta,


merupakan salah satu sutta yang paling saya sukai, sutta favorit
yang menjadi dasar praktik saya. Sutta ini sangat sederhana, mudah
dicerna, tidak bertele-tele dalam penjelasannya. Artinya, sutta ini
berbicara secara langsung apa yang perlu dipahami dalam menghadapi
pengalaman.

Anuruddha Sutta berada dalam Kusināra Vagga, Tikanipāta. Menjadi


salah satu sutta dalam Aṅguttara Nikāya, sutta ini berada di halaman
281, Volume I. Sutta ini tidak menyebutkan lokasi diceramahkan
sutta ini; juga tanpa menyebutkan waktunya secara spesifik. Sutta ini
diceramahkan oleh Y.M. Sāriputta atas pertanyaan Y.M. Anuruddha.

Dalam menjalani karier sebagai seorang sāmana, Y.M. Anuruddha


memang tidak melakukannya atas keinginan sendiri. Beliau
meninggalkan kehidupan rumah tangga karena desakan dari
Mahānāma. Meski bukan atas dasar inisiatif sendiri, Y.M. Anuruddha
berjuang dengan kesungguhan. Dalam waktu singkat, beliau telah
mampu mengembangkan meditasi dengan konsentrasi tingkat tinggi.
Selain itu, juga mampu memiliki mata deva (dibbacakkhu). Dengan
kemampuan ini beliau sanggup menyurvei alam semesta untuk melihat
makhluk hidup berproses dalam saṃsāra.

Sekalipun mampu menikmati ketenangan meditasi dan dibbacakkhu,


Y.M. Anuruddha masih belum mampu menikmati kebebasan batin
yang sesungguhnya. Y.M. Anuruddha pun mengonsultasikan masalah
ini kepada Y.M. Sāriputta.

“Begini, Āvuso Sāriputta, dengan mata deva yang murni dan

[6]
melampaui mata manusia, saya menyurvei alam semesta; semangat
selalu membara tanpa henti. Perhatian kokoh tanpa kebingungan.
Tubuh saya tenang tanpa gangguan; pikiran terkonsentrasi dengan
baik. Tetapi mengapa pikiran saya masih juga belum terbebaskan?”
Inilah pernyataan dan pertanyaan Y.M. Anuruddha.

Sebagai orang yang telah berpengalaman dalam praktik, Y.M. Sāriputta


memberikan nasihat yang cukup singkat. Y.M. Sāriputta mengatakan
bahwa saat Y.M. Anuruddha mengatakan bahwa dengan kemampuan
mata deva, beliau bisa menyurvei alam semesta, ini adalah wujud
kesombongan (māna).

Tentu analisis Y.M. Sāriputta akan menggelitik banyak yogi.


Masalahnya, banyak orang yang tergila-gila untuk memiliki
kemampuan batin seperti mata deva, telinga deva, membaca pikiran
orang lain dan sebagainya. Mereka merasa bahwa pencapaian semacam
itu adalah kesuksesan dalam bermeditasi.

Dalam konteks meditasi Buddhis, memiliki kemampuan batin


bukanlah tujuan utama. Dari enam kemampuan batin (abhiññā), yang
utama hanyalah āsavakkhayañāṇa atau lenyapnya kotoran batin.
Kalau melihat sutta ini dengan jeli, lima kekuatan batin selebihnya
dapat dikategorikan sebagai perhatian yang tidak benar (amanasikāra)
jika dikembangkan secara sengaja. Oleh karena itu, dalam nasihatnya
kepada Y.M. Anuruddha, Y.M. Sāriputta mengatakan agar beliau
melepaskan (pahāna) dan tidak memberikan perhatian (amanasikāra)
terhadap hal ini. Seandainya kemampuan ini muncul dengan sendirinya,
tidak sepatutnya terobsesi dengan pencapaian tersebut.

Tentu akan menjadi pertanyaan, mengapa pernyataan Y.M. Anuruddha


bahwa dengan mata deva, beliau dapat menyurvei alam semesta
dikategorikan sebagai kesombongan? Apakah beliau memamerkan
kemampuan tersebut? Apakah beliau membanggakan di hadapan

[7]
orang lain? Baik dalam sutta maupun Kitab Komentar, tidak ada
indikasi akan hal tersebut.

Sebagaimana yang telah disebutkan dalam Māhaniddesa, kesombongan


sifatnya sangat kompleks. Merasa punya pengetahuan dan kemampuan,
merasa bisa begini atau begitu dengan kemampuan tersebut, itu juga
bagian dari kesombongan sekalipun tidak memamerkan kemampuan
semacam itu kepada orang lain. Merasa bangga, menunjukkannya
kepada diri sendiri, juga masih bagian dari kesombongan. Karena itu,
apa pun kemampuan yang dimiliki, tidak perlu ditunjukkan kepada
orang lain, ataupun kepada diri sendiri. Dalam konteks praktik,
jika memang kemampuan tersebut ada, biarkan ada, tanpa perlu
ditunjukkan kepada siapa pun.

Dalam analisis yang kedua, ketika Y.M. Anuruddha mengatakan


bahwa dirinya mampu hidup penuh semangat, memiliki perhatian
yang kokoh, mendapatkan ketenangan, dan juga pikiran terkonsentrasi,
itu adalah bentuk kegelisahan (uddhacca). Sekalipun semangat,
kesadaran, ketenangan, bersifat positif dalam latihan, terobsesi dengan
hal itu juga tidak baik. Ini tidak ada bedanya dengan kecewa, takut dan
cemas menghadapi ketidaktenangan, kemalasan, ketidakmampuan
berkonsentrasi, merasa tidak memiliki sati. Oleh sebab itu, sekalipun
sifatnya baik, semua itu harus dilihat tanpa bias, tanpa intervensi.
Pengalaman-pengalaman semacam itu harus dilihat sebagaimana apa
adanya.

Ketika telah merasakan dan bisa menikmati kemampuan batin seperti


mata deva, yang didapat karena usaha melalui keseriuan meditasi,
latihan pun tampak menyenangkan karena semua terlihat sempurna,
akan muncul kekecewaan apabila tidak mendapatkan apa yang
diharapkan. Dalam praktik, apa yang diharapkan adalah bebasnya
batin dari berbagai belenggu. Ketika tujuan tersebut tidak tercapai,

[8]
tidak dirasakan, batin bertambah menderita, merasa tidak memiliki
kemampuan untuk berlatih. Dalam kondisi semacam itu, muncullah
berbagai pertanyaan, “Apa yang kurang dari latihan ini?”, “Apa yang
salah dari latihan ini?”, “Mengapa saya tidak sukses?”, “Mengapa
yang lain begitu mudah?”, “Kapan saya bisa sukses?”

Dalam analisis yang diberikan oleh Y.M. Sāriputta, pertanyaan Y.M.


Anuruddha dan juga pertanyaan-pertanyaan sejenis seperti di atas
adalah bentuk kukkucca. Jika uddhacca adalah obsesi terhadap apa
yang telah dan sedang terjadi, kukkucca adalah obsesi terhadap
apa yang belum terjadi. Dalam Saṃyutta Nikāya disebutkan bahwa
uddhacca dan kukkucca muncul karena pikiran yang tidak stabil (cetaso
avūpasamo). Kedua berkembang biak karena sering memberikan
perhatian yang tidak benar terhadap keduanya.

Analisis yang diberikan oleh Y.M. Sāriputta sangat singkat. Beliau


hanya mengidentifikasi pengalaman Y.M. Anuruddha. Sebagai
nasihat, Y.M. Sāriputta mengatakan agar Y.M. Anuruddha melepaskan
ketiga pemikiran tersebut. Setelah melepaskan (pahāna) dan tidak
memberikan perhatian (amanasikāra) terhadap ketiga hal tersebut,
Y.M. Anuruddha harus mengarahkan pikirannya untuk memperhatikan
elemen tanpa kematian (amata dhātu). Apa yang dimaksud sebagai
amata dhātu adalah Nibbāna.

Jika mengacu pada Sappurisa Sutta dalam Majjhima Nikāya,


mengidentifikasi diri dengan berbagai pencapaian hanya dilakukan
oleh mereka yang disebut sebagai orang yang tidak benar (asappurisa).
Sedangkan mereka yang disebut sebagai orang baik (sappurisa) tidak
akan mengidentifikasi apa pun pencapaiannya. Karena itu, tidaklah
mengherankan ketika Y.M. Anuruddha mempraktikkan nasihat Y.M.
Sāriputta, beliau mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik. Beliau
memutuskan semua belenggu dan menjadi petapa sejati, murid Sang

[9]
Buddha.

Inti atau pesan yang disampaikan dalam sutta ini adalah bahwa kita
perlu praktik dengan baik; berjuang dengan kesungguhan. Tidak ada
larangan untuk memiliki pengetahuan ini atau itu, tetapi kita pun harus
memahami bahwa tujuan akhir dari praktik adalah melepaskan semua
belenggu, semua kotoran batin tanpa sisa. Untuk bisa melepaskan
semua belenggu, menghancurkan semua kotoran batin, harus ada
keberanian untuk melepaskan diri dari obsesi terhadap pencapaian
yang ada, juga pencapaian yang belum dicapai. Dalam bentuk apa pun,
obsesi atau keingian untuk bisa bebas adalah juga belenggu dalam
praktik. Semoga sutta ini bisa menyadarkan, meningkatkan praktik
hingga tercapai kebebasan yang sebenarnya.

[10]
Anuruddhamahāvitakka Sutta: Delapan
Pemikiran Manusia Agung

Anuruddhamahāvitakka Sutta atau kadang disebut Anuruddha Sutta


merupakan salah satu sutta dalam Aṅguttara Nikāya. Secara nipāta,
sutta ini berada dalam Aṭṭhakanipāta atau Kelompok Delapan. Dalam
edisi Pali-Texts Society, sutta ini berada di halaman 228, Volume IV.

Disebut Anuruddha Sutta karena sutta ini diceramahkan kepada Y.M.


Anuruddha, yang saat itu sedang berjuang untuk mencapai pembebasan
terakhir. Hanya saja, ada beberapa sutta yang memiliki nama yang
sama. Karena itu, dalam edisi Chaṭṭa Saṅgāyana, sutta ini diberi nama
Anuruddhamahāvitakka. Nama ini dapat diartikan sebagai “Khotbah
kepada Anuruddha tentang Pemikiran Agung”. Secara singkat, sutta
ini cukup unik, karena satu sutta mengandung dua kali ceramah
dengan tema yang sama kepada dua pendengar yang berbeda.

Narasi yang ada dalam sutta ini hanya mengatakan bahwa ketika
Y.M. Anuruddha sedang sendirian, muncullah serangkaian pemikiran.
Namun, Kitab Komentar menjelaskan bahwa pada akhir masa vassa
pertama Y.M. Anuruddha telah mampu mencapai tingkat meditasi
yang tinggi dan mendapatkan mata deva (dibbacakkhu). Setelah
mendapatkan nasihat dari Y.M. Sāriputta, beliau menyendiri dan
melakukan meditasi jalan selama delapan bulan. Karena lelah, beliau
beristirahat dan muncullah serangkaian pemikiran tersebut.

Rangkaian pikiran yang pertama yang muncul adalah Dhamma ini


adalah untuk orang yang memiliki sedikit keinginan, bukan untuk
orang yang memiliki banyak keinginan (appicchassāyaṃ dhammo,
nāyaṃ dhammo mahicchassa). Apa yang dimaksud dengan Dhamma
ini adalah untuk orang yang memiliki sedikit keinginan, bukan untuk

[11]
orang yang memiliki banyak keinginan adalah bebasnya diri dari
keingin untuk dikenal atau menjadi populer. Popularitas seorang
bhikkhu dapat dicapai karena praktiknya yang ada kaitannya secara
langsung dengan delapan pemikiran manusia agung. Karena itu,
ketika hidup dengan sedikit keinginan, puas, hidup dalam kesunyian,
bersemangat, memiliki kesadaran, bisa berkonsentrasi, bijaksana dan
tidak terjebak dalam proliferasi, tidak ada keinginan untuk dikenal
atau diketahui oleh orang lain mengenai hal-hal tersebut. Sebenarnya,
keinginannya untuk dikenal karena hal-hal tersebut adalah bentuk
kesombongan. Keinginan tersebut juga merupakan manifestasi dari
bhavataṇha. Keinginannya juga bisa menyeretnya untuk terjebak
dalam berbagai aktivitas yang sering kali berseberangan atau tidak
kondusif untuk praktiknya.

Yang kedua, Dhamma ini adalah untuk orang yang puas dan bukan
untuk orang yang tidak puas (santuṭṭhassāyaṃ dhammo, nāyaṃ
dhammo asantuṭṭhassa). Dalam penjelasan-Nya kepada para bhikkhu,
Sang Buddha mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan merasa
puas adalah puas dengan empat kebutuhan pokok yang didapatkan.
Bhikkhu tersebut tidak komplain atas apa yang diterimanya.

Ketika kepuasan didapatkan, bhikkhu tersebut akan menyukai tempat


yang tenang dan tidak ramai. Ini adalah rangkaian pemikiran yang
ketiga: Dhamma ini adalah untuk orang yang menyukai tempat
yang tenang dan bukan untuk orang yang menyukai keramaian
(pavivittassāyaṃ dhammo, nāyaṃ dhammo saṅgaṇikārāmassa).
Dengan sedikit keinginan dan merasa puas, saat ada yang lain
mengunjunginya, nasihat atau topik mengenai pentingnya hidup
dalam kesunyian akan disampaikan. Dengan demikian, yang lain pun
akan memahami bahwa hidup dalam kesunyian dibutuhkan untuk
menjalani praktik yang lebih serius.

[12]
Dhamma ini adalah untuk orang yang bersemangat dan bukan untuk
orang yang malas (āraddhavīriyassāyaṃ dhammo, nāyaṃ dhammo
kusītassa). Ini adalah rangkaian pemikiran selanjutnya yang muncul
dalam diri Y.M. Anuruddha. Memiliki semangat berarti giat, tekun dan
ulet untuk melepaskan dan menghancurkan sifat-sifat buruk yang ada
dan mengembangkan sifat-sifat baik yang ada serta memunculkan yang
belum ada. Perlu diingat bahwa sebelum seseorang menyelesaikan
tugasnya hingga menjadi seorang arahat, dia belum menghancurkan
seluruh sifat buruknya. Juga belum mengembangkan sifat baiknya
secara maksimal.

Yang kelima, Dhamma ini adalah untuk orang yang kesadarannya kokoh
dan bukan untuk orang yang kesadarannya lemah (upaṭṭhitassatissāyaṃ
dhammo, nāyaṃ dhammo muṭṭhassatissa). Memiliki sati yang kokoh
berarti mengembangkan empat perhatian murni. Di sisi lain, memiliki
sati yang kokoh juga dapat dipahami sebagai memiliki ingatan akan
apa yang telah dilakukan atau dibicarakan sejak lama.

Dengan adanya perhatian yang benar, kesadaran yang kokoh,


konsentrasi pun akan terbentuk. Oleh karena itulah mengapa dikatakan
bahwa Dhamma ini adalah untuk orang yang konsentrasinya tinggi
dan bukan untuk orang yang konsentrasinya lemah (samāhitassāyaṃ
dhammo, nāyaṃ dhammo asamāhitassa). Konsentrasi dalam konteks
ini telah dipahami sebagai pencapaian jhāna. Meski penjelasannya
hanya hingga jhāna keempat, tidak menuntut kemungkinan bahwa
konsentrasi juga bisa dipahami sebagai pencapaian jhāna yang lebih
tinggi.

Dhamma ini adalah untuk orang yang bijaksana dan bukan untuk orang
yang bodoh (paññavato ayaṃ dhammo, nāyaṃ dhammo duppaññassā).
Memiliki kebijaksanaan dalam pandangan Buddhis bukan berarti
memiliki segudang pengetahuan atau telah membaca seluruh Tipiṭaka.

[13]
Apa yang dimaksud dengan kebijaksanaan adalah kemampuan untuk
melihat muncul dan lenyapnya fenomena atau Dhamma. Dengan
kemampuan ini, seseorang akan mampu mengakhiri penderitaan dan
mendapatkan kebahagiaan sejati.

Itulah serangkaian pikiran yang dimiliki oleh Y.M. Anuruddha.


Menyadari hal tersebut, Sang Buddha langsung mengunjungi Y.M.
Anuruddha dengan kemampuan batin-Nya. Sang Buddha kemudian
meminta Y.M. Anuruddha untuk merefleksikan bahwa Dhamma ini
adalah untuk orang-orang yang menyukai non-proliferasi dan bukan
untuk orang-orang yang menyukai proliferasi (nippapañcārāmassāyaṃ
dhammo nippapañcaratino, nāyaṃ dhammo papañcārāmassa
papañcaratino). Maksudnya, Dhamma yang diajarkan oleh Sang
Buddha bukan untuk orang-orang yang terjebak dalam obsesi
pada fenomena atau dhamma. Karena itu, perlu mengembangkan
perhatian benar agar dapat terlepas dari obsesi tersebut. Sang Buddha
mengajarkan hal ini karena ketika Y.M. Anuruddha merefleksikan
tujuh pemikiran manusia agung tersebut, dalam tataran yang paling
halus, itu pun dapat dikategorikan sebagai proliferasi. Oleh sebab itu,
Y.M. Anuruddha pun harus menyadarinya sebagai bentuk proliferasi.

Sang Buddha kemudian menjelaskan bahwa dengan merenungkan


delapan pemikiran manusia agung ini, Y.M. Anuruddha akan mampu
memasuki ketenangan batin yang penuh konsentrasi dari jhāna
pertama hingga jhāna keempat kapan pun menghendakinya. Ketika
berada dalam keempat jhāna ini, jubahnya yang kasar akan tampak
begitu indah, begitu menyenangkan seolah seperti brankas yang berisi
berbagai jenis pakaian indah bagi para perumah tangga. Persepsi
semacam ini akan menimbulkan rasa senang, nyaman dan lega dan
juga bisa menjadi kondisi untuk merealisasi Nibbāna.

Dengan kondisi batin yang tenang dan puas, setiap suapan akan

[14]
tampak seperti piring bersih yang mengkilat seperti habis dicuci.
Pohon yang dipergunakan untuk tempat tinggal akan tampak seperti
rumah yang kokoh, dan sangat indah. Tempat tidur dan tempat duduk
yang terbuat dari rerumputan akan tampak seperti tempat tidur dan
tempat duduk yang dilapisi permadani, juga dihiasi dengan kanopi
yang begitu mengagumkan. Obat-obatan yang terbuat dari urin sapi
yang difermentasikan akan terasa seperti obat mewah bagi perumah
tangga.

Secara singkat dapat dikatakan, diawali dengan perenungan perenungan


terhadap delapan pemikiran manusia agung, Y.M. Anuruddha akan
bisa memasuki jhāna satu hingga empat. Saat berada dalam jhāna satu
hingga keempat, semua yang ada tampak indah, tidak sedikit pun yang
tampak tidak menyenangakan. Kondisi-kondisi semacam ini bisa
menimbulkan rasa nyaman, lega, senang sehingga menjadi kondisi
untuk merealisasi Nibbāna.

Setelah selesai memberikan penjelasan kepada Y.M. Anuruddha, Sang


Buddha meninggalkan beliau dan menemui para bhikkhu. Di hadapan
para bhikkhu Sang Buddha memberikan penjelasan tentang delapan
pemikiran manusia agung tersebut. Hanya saja, bedanya, jika kepada
Y.M. Anuruddha Sang Buddha menjelaskan tentang menggunakan
dan memanfaatkan perenungan terhadap delapan pemikiran manusia
agung untuk menjadi landasan memasuki jhāna dan perealisasian
Nibbāna, kepada para bhikkhu Sang Buddha menjelaskan rincian atau
detail mengenai delapan pemikiran manusia agung sebagaimana telah
disebutkan di atas.

Jika dalam beberapa sutta yang telah dibahas terdahulu, telah dibutkan
beberapa cara untuk merealisasi Nibbana, dalam sutta ini, Sang Buddha
kembali menunjukkan cara baru. Cara tersebut adalah perenungan
terhadap delapan pemikiran manusia agung. Ketika dipraktikkan

[15]
dengan baik, Y.M. Anuruddha pun mampu menyelesaikan tugasnya
sebagai bhikkhu. Beliau menjadi murid sejati Sang Buddha.

Jika diperhatikan secara seksama, banyak jalan menuju pembebasan


batin. Cara tersebut tidak hanya satu, cara tersebut tidak kaku, tetapi
luwes, elastis. Semua yang berkaitan dengan batin dan jasmani,
dapat dipergunakan sebagai cara untuk merealisasi Nibbāna. Semua
yang ada dalam badan jasmani yang disertai dengan kesadaran ini,
dapat dijadikan kendaraan untuk membebaskan diri dari penderitaan
sepenuhnya. Oleh sebab itu, praktiklah sesuai kebutuhan kita masing-
masing. Lakukanlah yang terbaik untuk diri sendiri, karena praktik
adalah mengenai diri sendiri, tentang diri sendiri, bukan tentang Sang
Buddha atau orang lain. Apa pun cara yang ditempuh, sepanjang cara
tersebut dapat mengurangi keserakahan, kebencian dan kebodohan,
lanjutkanlah praktik tersebut. Sebaliknya, jika praktik tersebut
menyuburkan ketiganya, praktik tersebut perlu dievaluasi kembali.

[16]
Aṭṭhakanāgara Sutta: Banyak Jalan Menuju
Nibbāna

Aṭṭhakanāgara Sutta merupakan sutta yang muncul dua kali.


Pertama, sutta ini muncul dalam Majjhima Nikāya. Dalam Majjhima
Nikāya, sutta ini berada dalam urutan ke-52. Secara paṇṇāsa sutta
ini dikelompokkan dalam Majjhimapaṇṇāsa. Meski dimasukkan ke
dalam Majjhimapaṇṇāsa, sutta ini tetap dimasukkan dalam volume I
edisi Pali-Texts Society dan berada di halaman 349. Yang kedua, sutta
ini muncul dalam Aṅguttara Nikāya. Muncul dalam Ekadasanipāta;
secara edisi Pali-Texts Society, sutta ini muncul di volume V, di
halaman 342.

Aṭṭhakanāgara sebenarnya mengacu pada nama sebuah kota.


Diberi nama Aṭṭhakanāgara bukan karena sutta ini diceramahkan
di Aṭṭhakanāgara, melainkan orang yang mendengarkan khotbah
ini berasal dari Aṭṭhakanāgara. Sementara itu, yang mendengarkan
bernama Dasama. Karena itu, selain disebut Aṭṭhakanāgara Sutta,
sutta ini juga dikenal dengan sebutan Dasama Sutta.

Aṭṭhakanāgara Sutta diceramahkan oleh Y.M. Ānanda di Beluvagāmaka,


dekat Vesali. Melihat narasi pengantar maupun isi sutta, tampaknya
sutta ini diceramahkan setelah Sang Buddha parinibbāna. Biasanya,
sekalipun suatu sutta diceramahkan oleh murid-Nya, sutta tersebut
akan dibuka dengan narasi, “Evaṃ me sutaṃ – ekaṃ samayaṃ
bhagavā …” dan kemudian akan disambung dengan narasi bagaimana
sutta tersebut diceramahkan. Dalam Aṭṭhakanāgara Sutta, narasi
pembukanya adalah “Evaṃ me sutaṃ – ekaṃ samayaṃ āyasmā
ānando …” dan dilanjutkan dengan kronologi bagaimana sutta ini
diceramahkan.

[17]
Sutta ini diceramahkan atas pertanyaan Dasama. Pertanyaannya
adalah apakah ada satu hal yang telah dideklarasikan dan dinyatakan
oleh Sang Buddha bahwa jika seorang bhikkhu rajin, ulet, dan mau
berjuang, pikirannya yang tidak terbebaskan menjadi terbebaskan,
kotoran batinnya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan,
merealisasi kebebasan batin yang belum direalisasi sebelumnya.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Y.M. Ānanda memberikan jawaban


secara positif. Ketika ditanya lebih lanjut, Y.M. Ānanda menjelaskan
sebelas metode untuk merealisasi Nibbāna. Sebelas metode tersebut
adalah pencapaian jhāna satu hingga empat, empat brahmavihāra dan
tiga arūpajhāna yang pertama.

Apa yang dijelaskan oleh Y.M. Ānanda adalah bahwa setiap rūpajhāna,
yaitu jhāna pertama hingga keempat, dapat dipergunakan untuk
merealisasi Nibbāna. Caranya, para yogi perlu mencapai suatu jhāna,
misalnya jhāna pertama. Setelah memasuki atau mencapai jhāna
pertama dia harus menyadari dan memahami bahwa jhāna pertama
tersebut sifatnya terkondisi (abhisaṅkhata) dan dapat dicapai karena
adanya niat (abhisañcetayita). Apa pun yang terkondisi dan dihasilkan
oleh niat sifatnya tidak kekal dan pasti berubah. Dengan pemahaman
semacam itu, seluruh kotoran batinnya akan hancur. Dengan kata
lain, pemahamannya bahwa jhāna pertama sifatnya terkondisi dan
dicapai atas dasar niat, mampu membuatnya menyelesaikan seluruh
tugasnya sebagai seorang manusia dengan sempurna. Nibbāna,
kebahagiaan tertinggi, direalisasi melalui pemahaman terhadap sifat
atau karakteristik jhāna pertama.

Jika dalam praktiknya rasa melekat dan tertarik pada dhamma


(dhammarāga) serta menyukai dan merasa senang terhadap dhamma
(dhammanandi) masih ada, seluruh kotoran batin tidak dapat
dilenyapkan. Hal ini hanya akan menyebabkan seluruh lima belenggu

[18]
terkikis secara sempurna dan masih menyisakan lima belenggu yang
lebih halus. Y.M. Ānanda menjelaskan bahwa lima belenggu sisanya
akan dilenyapkan dalam kehidupan selanjutnya.

Aṭṭhakanāgara Sutta tidak menjelaskan istilah dhammarāga dan


dhammanandi. Namun, Kitab Komentar menjelaskan kedua istilah
ini sebagai kemelekatan dan ketertarikan pada ketenangan dan
pandangan terang (Dhammarāgena dhammanandiyāti padadvayehi
samathavipassanāsu chandarāgo vutto). Karena itu, sekalipun samatha
dan vipassanā sifatnya baik, kemelekatan dan ketertarikan pada
keduanya perlu dilepaskan agar dapat merealisasi kebebasan yang
susungguhnya. Perlu diingat bahwa Sang Buddha mengatakan tidak
hanya hal-hal yang buruk yang perlu dilepaskan; yang baik sekalipun
perlu dilepaskan (dhammāpi vo pahātabbā pageva adhammā).

Setelah menjelaskan bahwa setiap rūpajhāna, dari jhāna pertama


hingga jhāna keempat, dapat dipergunakan untuk merealiasi Nibbāna
tanpa harus mencapai jhāna yang lebih tinggi terlebih dahulu, Y.M.
Ānanda kemudian menjelaskan empat brahmavihāra yang juga dapat
dipergunakan untuk merealisasi Nibbāna.

Dalam penjelasnnya, Y.M. Ānanda mengatakan bahwa untuk


merealisasi Nibbāna melalui cinta kasih (mettā), kasih sayang (karuṇā),
rasa simpati (muditā) dan keseimbangan batin (upekkhā), apa yang
perlu dilakukan adalah memancarkan pikiran yang dipenuhi mettā,
karuṇā, muditā dan upekkhā ke segenap penjuru tanpa batas, tanpa
rasa permusuhan, tanpa adanya niat jahat. Setelah pikiran dipenuhi
cinta kasih atau kasih sayang atau rasa simpati atau keseimbangan
batin, harus disadari bahwa pikiran yang demikian masih terkondisi
dan masih didasari oleh niat. Dengan pemahaman dan pengertian
demikian, pikirannya akan terbebas dari semua noda. Namun, jika
masih ada dhmmarāga dan dhmmanandi, lima belenggu yang kasar

[19]
dapat dilenyapkan sepenuhnya dan menyisakan lima belenggu yang
lebih halus.

Dibagian terakhir, Y.M. Ānanda menjelaskan tentang bagaimana


merealisasi Nibbāna melalui arūpajhāna. Dalam hal ini, hanya tiga
arūpajhāna yang dijelaskan. Ketiganya adalah ākāsānañcāyatana,
viññāṇañcāyatana, dan ākiñcaññāyatana.

Caranya pun tidak ada bedanya. Suatu jhāna harus dicapai dan
kemudian disadari dan dipahami sifatnya sehingga bisa menjadi
landasan untuk merealiasasi Nibbāna. Dalam komentarnya,
Bhikkhu Bodhi mengatakan bahwa arūpajhāna yang terakhir
(nevasaññānāsaññāyatana) tidak disebutkan karena terlalu halus untuk
disadari dan dipahami. Namun, dalam Jhāna Sutta, yang terdapat dalam
Aṅguttara Nikāya, Sang Buddha mengatakan bahwa lenyapnya kotoran
batin dapat terjadi karena tergantung pada sembilan hal. Sembilan hal
tersebut adalah empat rūpajhāna, tiga arūpajhāna yang disebutkan di
atas. Selain itu, ditambah pula dengan nevasaññānāsaññāyatana dan
saññāvedayitanirodha (nevasaññānāsaññāyatanampāhaṃ, bhikkhave,
nissāya āsavānaṃ khayaṃ vadāmi; saññāvedayitanirodhampāhaṃ,
bhikkhave, nissāya āsavānaṃ khayaṃ vadāmi). Hanya saja, dalam
menutup sutta ini, Sang Buddha mengatakan bahwa keduanya hanya
bisa dilakukan oleh mereka yang mahir dalam memasuki dan keluar
dari kedua kondisi tersebut.

Cara yang dipergunakan untuk merealisasi Nibbāna dalam Jhāna Sutta


juga berbeda. Jika dalam Aṭṭhakanāgara Sutta lebih menekankan sifat
jhāna yang terkondisi dan berdasarkan niat, Jhānā Sutta menekankan
rūpa, vedanā, saññā, saṅkhārā, dan viññāṇa yang bersifat anicca,
dukkha dan anattā. Dengan demikian, sutta ini membuktikan
bahwa empat rūpajhāna dan empat arūpajhāna ditambah dengan
saññāvedayitanirodha dapat dipergunakan untuk merealisasi Nibbāna.

[20]
Itulah sebelas cara yang dapat dipergunakan untuk merealisasi
Nibbāna. Jika ditambah dengan nevasaññānāsaññāyatana dan
saññāvedayitanirodha, berarti ada tiga belas. Ini artinya, jalan
ke Nibbāna terbuka lebar, bisa melalui mana saja, dan bisa
menggunakan cara apa saja yang dianggap cocok dan sesuai dengan
kebutuhan dan kesukaan masing-masing individu. Bagi yang ingin
merealisasi Nibbāna melalui salah satu rūpajhāna atau arūpajhāna
atau saññāvedayitanirodha atau empat brahmavihāra, dengan cara
memahami dan menyadari sifat jhāna yang terkondisi dan berdasarkan
niat atau memahami dan menyadari pañcakkhandha yang sifatnya
anicca, dukkha dan anattā, tidak ada masalah sama sekali.

Dasama yang begitu senang mendengarkan uraian Dhamma dari Y.M.


Ānanda, mengibaratkan sebelah cara merealisasi Nibbāna ini seperti
sebelas pintu dalam satu rumah. Di kala rumah dilalap api, penghuni
dapat keluar dari salah satu pintu yang disuka. Dengan demikian, sang
penghuni bisa selamat, tidak terbakar hangus bersama rumahnya.

Kalau mengacu pada Ādittapariyāya Sutta, sutta ketiga yang dibabarkan


oleh Sang Buddha atau sutta-sutta yang lainnya, kehidupan ini terbakar
api dari segala penjuru. Sekalipun demikian, ada pintu-pintu yang
dapat dipergunakan untuk menyelamatkan diri. Di kala mengetahui
secara pasti kehidupan ini kelilingi oleh api, yang dibutuhkan adalah
menyelamatkan diri secepatnya; bukan memperdebatkan pintu mana
yang paling tepat untuk keluar, bagaimana cara keluar, atau apa yang
ada di luar pintu. Sebaik apa pun perdebatan tersebut, perdebatan
tersebut tidak akan menyelamatkan kita dari panasnya api kehidupan.
Kita hanya membuang-buang waktu, menyia-nyiakan kesempatan
yang ada. Sekecil apa pun usaha yang dilakukan untuk lari, usaha
tersebut jauh lebih baik daripada tidak melakukannya sama sekali.
Karena itu, marilah kita selamatkan diri kita masing-masing sebelum
api kehidupan ini melahap kita sepenuhnya. Pergunakanlah pintu yang
[21]
terbaik menurut diri kita masing-masing. Yakinlah pintu tersebut akan
mampu menyelamatkan kita sehingga kita tidak akan terbakar sia-sia,
menjadi sate tanpa ada yang mau menikmatinya.

[22]
Bhikkhunī Sutta: Antara Melawan dan
Memutuskan

Bhikkhunī Sutta adalah salah satu sutta yang terdapat dalam Aṅguttara
Nikāya. Secara tradisional, sutta ini terletak di Catukkanipāta atau
Buku Kelompok Empat. Dalam edisi modern atau edisi Pali Texts
Society, sutta ini terdapat pada halaman 144, Volume II.

Sutta ini dibuka dengan keinginan seorang bhikkhunī. Hanya saja,


bhikkhunī tersebut tidak disebutkan namanya. Bhikkhunī tersebut
meminta seseorang untuk mengundang Y.M. Ānanda datang ke asrama
para bhikkhuī. Alasannya, bhikkhunī tersebut sakit.

Mendengar undangan dari bhikkhunī tersebut, Y.M. Ānanda pun


setuju untuk datang. Saat melihat Y.M. Ānanda datang dari jarak
kejauhan, bhikkhunī tersebut langsung berbaring di ranjang dengan
menutup seluruh tubuhnya menggunakan jubah luarnya. Sebenarnya,
ini hanyalah alasan yang dibuat-buat. Artinya, bhikkhunī tersebut
berpura-pura sakit. Bhikkhunī tersebut bersandiwara karena dia suka
pada Y.M. Ānanda atau dengan bahasa kasarnya sedang jatuh cinta
pada Y.M. Ānanda.

Begitu duduk di tempat yang disediakan, Y.M. Ānanda langsung


memberikan wejangan. Wejangan tersebut berisi tentang empat sebab
yang bisa mengondisikan adanya kehidupan. Keempat sebab tersebut
adalah makanan (āhāra), nafsu keinginan (taṇhā), kesombongan
(māna) dan hubungan seksual (methuna).

Cukup menarik bahwa dalam sutta ini seluruh rangkaian kehidupan


dirujuk dengan istilah “kāya”. Istilah kāya biasanya secara spesifik
mengacu pada badan jasmani. Namun dalam artian yang lebih luas,
istilah tersebut mengacu pada seluruh proses kehidupan. Karena itu,

[23]
kalimat yang diucapkan oleh Y.M. Ānanda adalah “Saudari, tubuh
ini terbentuk dari makanan” (āhārasambhūto ayaṃ, bhagini, kāyo).
Kalimat ini juga berlaku untuk tiga hal lainnya: taṇhā, māna dan
methuna. Merujuk arti yang lebih luas ini, tidak mengherankan jika
istilah kāya juga dipergunakan untuk merujuk batin dan jasmani
sebagaimana ditunjukkan dalam istilah sakkāyadiṭṭhi. Sakkāyadiṭṭhi
adalah pandangan salah yang meliputi badan jasmani, perasaan,
persepsi, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran.

Tidak sekadar menyebutkan bahwa proses kehidupan dapat terjadi


karena dikondisikan oleh empat sebab tersebut, tetapi juga Y.M.
Ānanda menyebutkan bahwa dengan bergantung pada makanan
(āhāra), nafsu keinginan (taṇhā) dan kesombongan (māna), makanan,
nafsu keinginan dan kesombongan dapat dihancurkan. Khusus untuk
hubungan seksual tidak dapat diputuskan dengan hubungan seksual
tetapi harus dipotong seperti jembatan.

Dalam artian yang luas, istilah āhāra bisa ditafsirkan untuk mengacu
pada empat jenis makanan: makanan yang kita makan (kabaḷiṅkāhāra),
kontak indria (phassāhāra), kontak pikiran (manosañcetanāhāra), dan
kesadaran (viññāṇāhāra). Dalam sutta ini, Y.M. Ānanda menggunakan
istilah āhāra untuk mengacu makanan yang dimakan.

Dalam penjelesannya, makanan dapat dihancurkan, dapat dilepaskan,


dapat ditinggalkan dengan makanan. Maksudnya adalah bahwa ketika
memakan makanan, makanan tersebut bukan untuk tujuan bersenang-
senang, bukan untuk pemabukan, bukan untuk membuat tubuh menjadi
lebih menarik, menjadi lebih indah. Tetapi, sekadar menghilangkan
rasa lapar yang telah muncul, untuk mempertahankan kelangsungan
hidup.

Jika makan berdasarkan rasa suka dan tidak suka, cara makan tersebut
masih diliputi oleh keinginan. Cara makan seperti inilah yang terus

[24]
memupuk kebencian, mengembangkan keserakahan dan menyuburkan
kebodohan. Keserakahan, kebencian dan kebodohan tidak hanya
muncul dari hal-hal yang sangat kompleks, rumit dan tak terjangkau,
tetapi muncul dari setiap lini kehidupan, yang tampak sangat sepele
dan terlihat tak berarti.

Jika makan bukan lagi berdasarkan rasa suka dan tidak suka, tetapi
sekadar untuk menghilangkan rasa lapar yang telah muncul, untuk
mempertahankan kelangsungan hidup, cara makan seperti inilah
yang disebut sebagai makan berdasarkan kebutuhan. Jika makan
berdasarkan kebutuhan, cara makan tersebut tidak akan menimbulkan
penderitaan, tidak akan menimbulkan penyakit. Memahami kebutuhan
untuk makan akan membuat bebas dari celaan orang lain.

Lalu, bagaimanakah taṇhā dapat dihancurkan, dapat dilepaskan, dapat


ditinggalkan dengan taṇhā? Dalam sutta ini, dikatakan saat seorang
yogi mendengar bahwa ada orang yang telah mencapai kebebasan
tertinggi, bebas dari penderitaan dalam kehidupan sekarang ini juga,
hal ini kemudian menimbulkan semangat untuk berjuang, keinginan
untuk bebas dari penderitaan, motivasi pun muncul. Dengan semangat,
keinginan, dan motivasi pada akhirnya dia mampu mencapai kebebasan
yang sebenarnya, merealisasi Nibbāna dalam kehidupan sekarang ini
juga.

Dalam poin ketiga, dikatakan bahwa kesombongan dapat dilepaskan,


dapat dihancurkan dan dapat ditinggalkan dengan kesombongan.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara membandingkan dirinya dengan
orang yang telah mencapai kesucian, mencapai pembebasan dalam
kehidupan sekarang ini juga: Kalau orang lain bisa, mengapa dirinya
tidak bisa? Dengan menggunakan orang lain sebagai model, sebagai
perbandingan, dirinya pun semangat berjuang, termotivasi untuk
berlatih sehingga dirinya mampu mendapatkan apa yang layak

[25]
didapatkan dalam kehidupan ini.

Khusus untuk nafsu keinginan (taṇhā) dan kesombongan (māna) dapat


dilihat bahwa keduanya memiliki dua ciri khas: positif dan negatif.
Dalam Nettippakaraṇa juga disebutkan bahwa ada taṇhā dan māna
yang bersifat kusala dan akusala. Setiap taṇhā dan māna yang bersifat
destruktif, menimbulkan penderitaan, terus menyebabkan seseorang
mengembara di alam saṃsāra adalah taṇhā dan māna yang bersifat
akusala atau tidak baik. Sementara itu, setiap taṇhā dan māna yang
mampu mengondisikan seseorang untuk bisa berjuang, termotivasi
untuk mengakhiri penderitaan adalah taṇhā dan māna yang bersifat
baik atau kusala.

Dalam konteks di atas, saat seseorang memiliki keinginan untuk bebas


dari saṃsāra, memiliki kehendak untuk berjuang, ini adalah bentuk
taṇhā. Sedangkan, saat membandingkan diri sendiri dengan orang
lain dengan berpikir, jika orang lain bisa, mengapa dirinya tidak, ini
adalah kesombongan. Oleh sebab itu, dapat dilihat dengan jelas bahwa
baik nafsu keinginan (taṇhā) maupun kesombongan (māna) tetap
dibutuhkan untuk berjuang agar seseorang bisa bebas dari saṃsāra.
Keduanya tidak selalu bermakna negatif, bersifat destruktif. Dalam
konteks semacam ini, taṇhā dan māna dapat dimaknai sebagai sesuatu
yang positif dan konstruktif.

Meski dalam tiga poin yang pertama Y.M. Ānanda memberikan


penjelasan, dalam poin keempat tidak ada penjelasan sama sekali.
Apa yang dilakukan hanyalah mengulang apa yang telah dikatakan
di awal: “Kehidupan ini berbentuk dari hasil hubungan seksual,
tetapi mengenai hubungan seksual, Sang Buddha telah menyatakan
penghancuran jembatan” (methunasambhūto ayaṃ bhagini kayo
methuno ca setughāto vutto Bhagavata).

Y.M. Ānanda tidak memberikan penjelasan mengenai poin keempat

[26]
ini karena yang diajak bicara adalah sesama orang yang telah bertekad
untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga. Sesuai dengan
kesepaktan yang ada, salah satu tindakan yang tidak boleh dilakukan
adalah hubungan seksual. Hubungan seksual akan menyebabkan
bhikkhu atau bhikkhunī tidak lagi valid menyebut dirinya sebagai
bhikkhu dan bhikkhunī. Karena itu, tindakan ini harus dihindari secara
total, persis seperti jembatan yang dihancurkan.

Perumpamaan jembatan sungguh perumpamaan yang sangat tepat.


Jembatan adalah sarana penyeberangan, menghubungkan antara satu
daratan dengan daratan lainnya yang dipisahkan oleh sungai. Jembatan
yang dihancurkan akan menyebabkan kita tidak lagi mungkin untuk
menyeberang. Artinya, cukup sampai di daratan ini saja dan tidak ada
perjalanan ke daratan lainnya. Maksudnya, proses saṃsāra diakhiri
cukup sampai di sini saja, tidak perlu diperpanjang hingga dalam
kehidupan selanjutnya.

Perlu diketahui dan dicatat bahwa menghindari hubungan seksual


bukanlah suatu kewajiban bagi perumah tangga yang serius dalam
praktik. Tidak ada konsekuensi yang harus mereka tanggung
seandainya mereka melakukan hubungan seksual. Para perumah
tangga tetap memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memilih antara
melakukan hubungan seksual atau tidak sekalipun mereka sangat gigih
dalam praktik. Para perumah tangga tidak memiliki tanggung jawab
sosial, sedangkan para bhikkhu dan bhikkhunī memiliki tanggung
jawab sosial, kontrak sosial yang telah disepakati bahwa mereka akan
menjalani kehidupan selibat, tidak terlibat dalam hubungan seksual.

Dari empat poin di atas, tiga poin pertama dapat dihancurkan dan
dilawan dengan menggunakan poin tersebut itu sendiri. Dengan kata
lain, makanan dapat dikonter dengan makanan, nafsu keinginan dapat
diperangi dengan nafsu keinginan, kesombongan dapat dipadamkan

[27]
dengan kesombongan. Sedangkan, hubungan seksual harus
diputuskan dan dihancurkan secara total. Artinya, hubungan seksual
tidak bisa dilawan dengan hubungan seksual. Hubungan seksual harus
dihancurkan secara total karena hubungan seksual adalah puncak
dari kāmataṇhā, rāga, lobha. Dengan memutuskan hubungan seksual
diharapkan praktik akan dapat maju jauh lebih cepat, praktik pun akan
jauh lebih efesien.

[28]
Cūḷagosiṅga Sutta: Membangun
Kebersamaan, Maju dalam Praktik

Cūḷagosiṅga Sutta adalah sutta nomor 31 dalam Majjhima Nikāya


atau tepatnya, berada sebelum Mahāgosiṅga Sutta. Sutta ini terletak
di halaman 205, Volume I, edisi Pali-Texts Society. Sama seperti
Mahāgosiṅga Sutta, sutta ini juga terletak dalam Mūlapaṇṇāsa.

Sutta ini memuat percapakan atau lebih tepatnya interview Sang


Buddha kepada tiga orang murid-Nya. Mereka adalah Y.M. Anuruddha,
Y.M. Nandiya, dan Y.M. Kimbila. Ketiganya, saat itu berdiam di
hutan Gosiṅga. Mereka bertiga mempraktikkan kehidupan selibat
dengan keseriusan. Sang Buddha, yang saat itu berdiam di Nādikā,
mengunjungi mereka.

Menarik untuk disimak bahwa ketika tiba di hutan Gosiṅga, Sang


Buddha justru diusir oleh penjaga hutan tersebut. “Petapa, mohon tidak
memasuki wilah ini. Ada tiga petapa sedang mencari kebaikan bagi
diri mereka sendiri. Harap tidak mengganggu mereka!” Permintaan ini
menunjukkan bahwa penjaga hutan tersebut tidak mengenali bahwa
yang datang adalah Sang Buddha, guru para petapa yang sedang dia
jaga. Fakta ini menyiratkan bahwa Sang Buddha, bisa jadi, tampak
tak ada bedanya dengan para petapa lain pada umumnya. Selain itu,
bisa juga sang penjaga tidak pernah bertemu dengan Sang Buddha dan
hanya mendengar nama besar-Nya saja.

Mendengar sang penjaga hutan melarang Sang Buddha untuk


masuk, Y.M. Anuruddha langsung meminta sang penjaga hutan
untuk membiarkan Sang Buddha memasuki hutan. Y.M. Anuruddha
pun memanggil Y.M. Nandiya dan Y.M. Kimbila. Mereka bertiga
menyambut guru pujaan mereka dengan penuh rasa hormat. Ada

[29]
yang mengambil jubah mangkuk-Nya, ada yang mengambil air untuk
membasuh kaki dan ada pula yang sibuk mempersiapkan tempat
duduk.

Setelah mereka semua bersujud, Sang Buddha berharap ketiganya


hidup nyaman di tempat tinggal mereka dan tidak mendapatkan
kesulitan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini adalah kebiasaan
Sang Buddha. Beliau selalu menanyakan kesejahteraan murid-murid-
Nya ketika baru pertama bertemu, apakah ketika Sang Buddha
mengunjungi mereka atau saat mereka mengunjungi Sang Buddha.
Setelah itu, barulah Sang Buddha akan menanyakan mengenai praktik
mereka.

Setelah mendapatkan jawaban afirmatif, Sang Buddha berharap mereka


bertiga hidup damai, saling mengapresiasi, tidak cekcok dan saling
membaur seperti air dan susu. Juga saling memandang satu sama lain
dengan tatapan penuh cinta kasih. Mereka pun membenarkan harapan
tersebut. Hanya saja, ketika mendengar hal ini, Sang Buddha bertanya
kepada mereka, “Bagaimana cara kalian hidup demikian?”

Mendengar pertanyaan tersebut, mereka menjelaskan bahwa mereka


merasa beruntung, sungguh sangat beruntung bisa tinggal bersama
orang-orang yang luar biasa dalam kehidupan selibat. Karena itu,
mereka saling menjaga ucapan, perbuatan dan pikiran mereka. Mereka
saling memperlakukan dengan penuh cinta kasih baik melalui ucapan,
perbuatan maupun pikiran. Hal ini dilakukan tidak hanya ketika berada
di hadapan mereka, tetapi juga di belakang mereka. Artinya, mereka
saling memiliki pikiran penuh kasih sayang, tidak hanya saat berada di
hadapan mereka, saat mereka ada, tetapi juga saat yang lain tidak ada.

Sikap perilaku seperti itu penting, sebab banyak orang yang bermuka
dua. Mereka hanya baik saat sahabatnya ada, tetapi begitu mereka pergi,
mereka tidak ada, mereka membicarakan kejelekannya, bahkan tidak

[30]
jarang yang dengan sengaja membeberkan kejelekan dan kekurangan
sahabatnya. Inilah tipe orang-orang yang munafik, bibirnya tersenyum
manis tetapi pikirannya kotor, penuh trik dan intrik. Mereka bertiga
adalah orang-orang yang bebas dari trik dan intrik. Mereka adalah
orang-orang yang jujur, apa adanya, dan tidak munafik. Karena itu,
tidaklah berlebihan ketika mereka menganggap bertemu orang-orang
seperti mereka adalah sebuah keberuntungan.

Karena merasa beruntung, mereka rela mengorbankan kepentingan


pribadi demi kepentingan yang lainnya. Mereka berani
mengesampingkan perkerjaan pribadi dan mengutamakan pekerjaan
orang lain. Mereka sepakat bahwa mereka berbeda tubuh, tetapi satu
pikiran. Inilah kehidupan monastik yang sangat indah, sangat luar
biasa.

Setelah mengetahui bahwa mereka hidup rukun, Sang Buddha berharap


agar mereka semua rajin, bersemangat dan gigih dalam berlatih. Tentu,
ada alasan yang kuat mengapa Sang Buddha menanyakan terlebih
dahulu mengenai hubungan ketiganya, karena kerukunan adalah dasar
untuk maju dalam berlatih. Tanpa adanya kerukunan, mustahil latihan
akan bisa mencapai kemajuan.

Menanggapi pertanyaan Sang Buddha tentang kerajinan, semangat


dan kegigihan, Y.M. Anuruddha menjelaskan bahwa siapa pun yang
kembali dari piṇḍapāta akan menyiapkan tempat duduk, air minum dan
untuk membasuh kaki, juga meletakkan tempat sampah di tempatnya.
Siapa pun yang kembali terakhir, bisa memakan makanan yang tersisa
jika mereka menginginkan. Jika tidak, mereka dapat membuang
sisa makanan ke tempat yang aman. Dia juga bertugas untuk
mengembalikan tempat duduk, air minum dan air untuk membasuh
kaki, serta mengembalikan tempat sampah setelah membersihkannya.
Selain itu, juga bertugas untuk menyapu ruang makan.

[31]
Saling pengertian semacam itu tidak hanya terjadi di ruang makan.
Mereka juga melakukannya di tempat lain. Siapa pun yang mengetahui
ada tempat air yang telah berkurang atau kosong, mereka akan
mengisinya. Seandainya ada yang membutuhkan bantuan, mereka
hanya melambaikan tangan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Setiap lima hari sekali, barulah mereka akan berbicara saat sedang
berdiskusi dhamma sepanjang malam.

Di tengah kesibukan, aktivitas yang tinggi semacam itu apakah ada


pencapaian yang layak dicapai oleh seorang samana? Ini adalah
pertanyaan Sang Buddha. Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang
krusial, sebab kehidupan seorang samana didedikasikan sepenuhnya
untuk mencapai uttarimanussadhamma atau kondisi luhur bagi seorang
manusia, demi tercapainya Nibbāna, akhir saṃsāra.

Dalam taraf awal, Y.M. Anuruddha hanya menjelaskan tentang


pencapaian jhāna pertama. Ketika ditanya lebih lanjut, Y.M.
Anuruddha menjelaskan tentang pencapaian rūpa dan arūpajhāna,
nirodhasamāpatti, hingga hancurnya semua kotoran batin (āsava
parikkhīṇa). Sang Buddha pun memuji pencapaian mereka dan
mengatakan bahwa tidak ada pencapaian yang lebih baik dan lebih
menyenangkan dari itu.

Sutta ini memberikan gambaran yang sangat konkrit bahwa memiliki


sahabat yang mampu memahami perjuangan kita dalam mengikis
kotoran batin adalah sangat penting. Sahabat yang mampu memahami
akan bisa memberikan motivasi dan dorongan baik secara langsung
maupun tidak langsung. Sekalipun tidak bisa diajak berdiskusi,
kemampuannya untuk memahami perjuangan kita sebenarnya sudahlah
sangat cukup. Orang-orang yang mengerti dan memahami orang yang
sedang berjuang, tidak akan merintangi, tidak akan menghalangi atau
bahkan merendahkan, meremehkan dan menghancurkan semangat

[32]
juang orang tersebut.

Bagi orang-orang yang belum mapan dalam praktik, belum memiliki


rasa percaya diri, dikritik atau bahkan dilirik dengan tatapan mata yang
masam sekalipun sudah akan memberikan dampak yang negatif bagi
praktiknya. Lalu bagaimana jika mereka dihalangi, dirintangi, dan
dihancurkan langkah-langkah perjuanganya? Tentu, tindakan semacam
itu akan mematahkan seluruh semangat juangnya. Apa yang dilakukan
bukannya melepaskan penderitaan dan mendapatkan kebahagiaan
tetapi justru menggali kuburan sendiri, semakin terperosok dalam
penderitaan.

Mengingat pentingnya peranan seorang sahabat, Sang Buddha


mengatakan bahwa praktik, tidak hanya separuhnya, tetapi
sepenuhnya tergantung dari seorang sahabat atau secara teknis disebut
kalyāṇamitta. Ketika memiliki seorang kalyāṇamitta, dia bisa diajak
untuk berdiskusi dan bukan berdebat. Perlu digarisbawahi bahwa
berdiskusi dan berdebat memiliki arti yang berbeda, juga tujuan yang
berbeda.

Berdiskusi adalah suatu cara untuk saling memahami dan menimbulkan


pengertian demi kemajuan batin. Karena itu, ciri khas diskusi
adalah menumbuhkan semangat untuk terus berjuang, menimbulkan
pemahaman sehingga semakin ringan dalam melangkah, semakin
terbebas dari beban batin yang ada. Inti dari diskusi adalah mengarah
pada kedamaian, terealisasinya kebahagiaan tertinggi, yaitu Nibbāna.

Berdebat, di sisi lain, memiliki ciri khas untuk menumbuhkan


kebencian, mematahkan pendapat orang lain, memupuk ego pribadi.
Inti dari berdebat adalah merasa bangga atas kemenangan dan
kemampuan berargumen, senang melihat yang lain menderita karena
kalah dalam berdebat. Ciri-ciri semacam ini tidak ditemukan dalam
berdiskusi dhamma sebab berdiskusi dhamma adalah untuk lenyapnya

[33]
ego, hilangnya rasa bangga karena merasa lebih tinggi dan mampu
merendahkan orang lain, timbul rasa nyaman dan rasa percaya diri.
Yang sanggup melakukan hal ini hanyalah seorang sahabat dan bukan
seorang musuh. Karena itu, berbahagialah ketika mampu menemukan
seorang sahabat dalam berjuang untuk menyeberangi samudera
saṃsāra.

[34]
Dutiyalokadhamma Sutta: Delapan Sifat
Dunia

Dutiyalokadhamma Sutta adalah sutta yang terdapat dalam Anguttara


Nikāya. Secara nipāta, sutta ini terdapat dalam Aṭṭhakanipāta, tepatnya
dalam Mettāvagga. Dalam edisi modern (PTS), sutta ini terdapat
dalam halaman 157, Volume IV.

Sebenarnya, ada dua sutta yang memiliki nama yang sama, sehingga
sutta yang pertama diberi nama Paṭhamalokadhamma, dan yang kedua
diberi nama Dutiyalokadhamma. Secara umum, sutta ini memuat tema
yang sama, namun sutta kedua memuat penjelasan yang lebih detail.

Istilah “lokadhamma” dapat diartikan sebagai “sifat dunia”, “ciri khas


dunia”, “kondisi dunia”. Karena itu, kedua sutta ini memuat tentang
delapan sifat dunia, suatu sifat yang umum dialami oleh umat manusia,
apakah yang masih belum mencapai kesucian (assutava putthujjana)
atau telah mencapainya (sutava ariyasāvaka). Keduanya tidak bisa
terlepas dari delapan sifat dunia tersebut. Dua jenis manusia tersebut
juga tidak mungkin menghindarinya.

Apakah delapan sifat dunia tersebut? Delapan sifat dunia tersebut


adalah untung (lābha) dan rugi (alābha), tenar (yasa) dan tidak tenar
(ayasa), dipuji (pasaṃsā) dan dicela (nindā), bahagia (sukha) dan
menderita (dukkha). Delapan kondisi duniawi ini terus berputar di
dunia ini, dan dunia pun berputar dengan menjadikan delapan sifat
duniawi ini sebagai dasarnya. Oleh karena itu, mereka yang masih
hidup di dunia ini tidak bisa terlepas dari delapan sifat dunia ini.

Jika orang-orang yang masih belum mencapai kesucian batin dan


juga yang telah mencapai kesucian batin, sama-sama mengalami
delapan kondisi dunia ini, lalu apakah keduanya sama saja? Apakah

[35]
keduanya tidak ada bedanya? Keduanya dapat dikatakan sama dalam
artian bahwa keduanya tidak bisa terlepas dari delapan sifat duniawi
ini. Hanya saja, mereka memiliki cara yang berbeda dalam merespons
delapan sifat duniawi ini.

Orang-orang puthujjana ketika berhadapan dan mengalami delapan


sifat duniawi tersebut tidak merefleksikan bahwa delapan sifat duniawi
tersebut bersifat tidak kekal (aniccā), tidak memuaskan (dukkha), dan
selalu berubah (vipariṇāmadhamma). Karena tidak merefleksikan
sifat yang sesungguhnya, delapan sifat duniawi tersebut mengobsesi
diri mereka. Dampaknya, mereka bangga dan senang mendapatkan
keuntungan, ketenaran, pujian dan kebahagiaan. Sebaliknya, menderita
dan menolak kerugian, ketidaktenaran, celaan dan penderitaan.

Jika dilihat, sebenarnya, orang-orang seperti itu terjebak dalam rasa


suka dan tidak suka. Mereka menyukai apa yang mereka anggap baik,
dan tidak menyukai apa yang mereka anggap tidak baik. Keuntungan,
ketenaran, pujian dan kebahagiaan dianggap baik. Karena itu, hal-hal
semacam ini disenangi. Sedangkan kerugian, ketidaktenaran, celaan
dan penderitaan dianggap tidak baik sehingga ditolak sedemikian
rupa, tanpa mau kompromi. Dampaknya, mereka terus berkonflik
di dunia ini; mereka terus terjerumus dalam kubangan penderitaan,
ratap tangis, kegelisahan yang tiada henti. Singkat kata, mereka terus
mengembara di lautan saṃsāra.

Orang-orang ariya yang terpelajar (sutava ariyasāvaka) merespons


fenomena delapan sifat duniawi dengan merefleksikan bahwa semua
yang baik maupun buruk, semua yang menyenangkan dan tidak
menyenangkan, sifatnya tidak kekal, tidak memuaskan dan selalu
berubah sesuai dengan kondisi yang ada. Dengan demikian, seorang
ariyasāvaka mampu memahami fenomena sebagaimana apa adanya
(yathābhūtaṃ pajānāti).

[36]
Karena memahami sebagaimana apa adanya, ariyasāvaka tidak
menganggap keuntungan, ketenaran, pujian dan kebahagiaan sebagai
sesuatu yang baik. Sebaliknya, juga tidak menganggap kerugian,
ketidaktenaran, celaan dan penderitaan sebagai sesuatu yang jelek.
Dikotomi sifat dunia, untung dan rugi, hina dan mulia, dicela dan
dipuji, senang dan susah, tidak mengobesi pikirannya. Karena
tidak ada ketertarikan untuk mendapatkan apa yang secara duniawi
dianggap baik, juga tidak ada ketertarikan untuk menghindari apa
yang secara duniawi dianggap tidak baik, batinnya tidak menderita
saat berhadapan dengan fenomena semacam itu; juga tidak terjebak
dalam ratap tangis dan kesedihan.

Dengan lenyapnya semua bahan untuk tenggelam dalam rasa suka dan
tidak suka, lenyaplah semua bahan untuk bertahan di lautan saṃsāra.
Jika kembali pada awal sutta ini, dengan jelas Sang Buddha mengatakan
bahwa dunia ini bisa berputar karena terjebak dalam delapan sifat
dunia. Demikian juga, delapan sifat dunia ini terus mencengkram
dunia ini sehingga dunia ini bisa menjaga eksistensinya.

Dalam konteks kehidupan sehari-hari, delapan sifat dunia yang telah


disebutkan di atas adalah hal yang umum terjadi. Karena itu, delapan
sifat itu bukanlah sesuatu yang istimewa sesungguhnya. Hanya saja,
kebanyakan orang, pada umumnya, senang mendapatkan keuntungan,
ketenaran, pujian dan kebahagiaan, dan tidak senang mendapatkan
kerugian, ketidaktenaran, celaan dan penderitaan. Padahal keduanya
datang silih berganti. Di dunia ini, tidak ada orang yang selalu untung;
juga tidak ada yang selalu rugi. Ada kalanya dipuji; ada kalanya
dicela. Ada saatnya tenar dan ada saatnya menjadi hina. Ada waktunya
bahagia dan ada waktunya menderita.

Orang-orang yang tidak dapat melihat dengan cara yang benar bahwa
dikotomi kehidupan tersebut datang silih berganti, akan menderita,

[37]
terjebak dalam ratap tangis, kesedihan dan terus mengarungi samudra
saṃsāra. Oleh sebab itulah, Sang Buddha memandang penting untuk
melihat fenomena semacam ini sebagaimana apa adanya (yathābhūtaṃ
pajānāti), dan bukan sebagaimana yang diharapkan.

Kata “yathā” dapat dipahami sebagai “sebagaimana”; “bhūta”


dapat diartikan sebagai “terjadi”. Sedangkan, “pajānāti” dapat
diartikulasikan sebagai “memahami” atau “melihat”. Dengan
demikian, frase “yathābhūtaṃ pajānāti” dapat dipahami sebagai
“memahami sebagaimana yang terjadi” atau “melihat sebagaimana
yang terjadi”. Saat seseorang melihat sebagaimana yang terjadi, di
situ tidak ada komentar, tidak ada logika, tidak ada respons. Apa yang
terjadi hanyalah mengamati semua fenomena yang berlangsung.

Ketika melihat sebagaimana yang terjadi, tidak ada keinginan untuk


mengubah, tidak ada keinginan untuk menolak, juga tidak ada keinginan
untuk mencari sesuatu yang berbeda, apakah dengan sikap semacam
ini seseorang kemudian menjadi apatis? Jelas tidak. Keberanian
untuk menghadapi realitas sebagaimana apa adanya membutuhkan
komitmen, semangat, motivasi dan usaha yang sungguh-sungguh.
Tanpa adanya komitmen, semangat, motivasi dan usaha yang sungguh-
sungguh tidak akan mungkin bisa melewati dan menghadapi delapan
fenomena itu dengan tanpa obsesi, tanpa penderitaan.

Dalam konteks kehidupan spiritual agama Buddha, kalaupun untung,


terhormat, dipuji dan bahagia, lalu mau untuk apa semua itu? Demikian
juga, kalau rugi, hina, dicela dan menderita, ya mau untuk apa juga?
Adakah manfaatnya? Adakah kerugiannya? Jika bicara dalam konteks
yang sebenarnya, tidak ada manfaatnya, juga tidak ada kerugiannya.
Kalaupun dipuji, pujian itu akan berlalu. Kalaupun dicela, celaan itu
pun akan lewat begitu saja.

Jangankan manusia biasa, Sang Buddha pun masih mengalami

[38]
delapan kondisi duniawi ini. Ada saatnya, Sang Buddha mendapatkan
materi berlimpah. Sang Buddha tidak bangga. Ada saatnya Sang
Buddha diboikot sehingga tidak mendapatkan makanan sama sekali.
Sang Buddha pun tidak menderita karena hal itu. Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa respons dan obsesi terhadap fenomena kehidupan
itulah yang menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan. Jika
tidak ada respons dan obsesi, tidak akan ada penderitaan. Dengan
kata lain, penderitaan dan kebahagiaan ditentukan oleh bagaimana
cara merespons fenomena kehidupan, dan bukan fenomena kehidupan
tersebut yang menentukan kebahagiaan kita. Namun perlu diingat
bahwa, apa pun respons kita terhadap fenomena duniawi, semua
adalah tanggung jawab kita masing-masing. Tidak ada orang yang akan
bertanggung jawab atas respons yang kita ambil terhadap fenomena
yang sedang kita hadapi.

[39]
Ghatīkāra Sutta: Fleksibilitas Para Ariya

Ghaṭīkāra Sutta mungkin merupakan sutta yang tidak begitu populer di


kalangan umat Buddha. Sutta ini tidak begitu populer karena tampak
tidak memberikan penekanan yang berarti untuk kepentingan praktik.
Namun, jika ditelaah dengan serius, sutta ini justru memberikan
gambaran konkrit tentang bagaimana praktik yang sebenarnya.

Ghaṭīkāra Sutta terdapat dalam Majjhima Nikāya, tepatnya Majjhima


Paṇṇāsa. Sutta ini menduduki urutan ke-81 dari 152 sutta yang ada
dalam Majjhima Nikāya. Dalam edisi modern, sutta ini berada pada
halaman 45, Volume II.

Sutta ini dimulai dengan sebuah narasi tentang perjalanan Sang


Buddha di antara suku Kosala bersama para bhikkhu. Ketika tiba di
suatu tempat, Sang Buddha tersenyum. Y.M. Ānanda merasa penasaran
mengapa Sang Buddha tersenyum. Y.M. Ānanda pun menanyakan
alasan-Nya karena Sang Buddha tidak mungkin tersenyum tanpa
alasan.

Mendengar pertanyaan tersebut, Sang Buddha menjelaskan bahwa


pada zaman dahulu, tempat tersebut adalah kota perdagangan bernama
Vebhalinga. Kota tersebut dihuni oleh banyak penduduk. Di dekat kota
tersebut Buddha Kassapa tinggal di sebuah vihara. Di vihara tersebut
pula Buddha Kassapa membimbing, mengarahkan, membangkitkan
semangat juang para bhikkhu. Merasa tertarik dengan penjelasan
singkat tersebut, Y.M. Ānanda langsung menyiapkan tempat untuk
duduk. Harapannya, tempat tersebut telah dipergunakan oleh dua
Buddha dari zaman yang berbeda.

Sang Buddha pun melanjutkan cerita-Nya. Di Vebhalinga, Buddha


Kassapa memiliki seorang penyokong utama. Namanya, Ghaṭīkāra.

[40]
Ghaṭīkāra memiliki seorang teman dari kasta Brahmana. Namanya,
Jotiphala. Memahami manfaat mendengarkan ajaran Buddha Kassapa,
Ghaṭīkāra mengajak Jotiphala untuk mengunjungi Buddha Kassapa.
Pada dasarnya, Jotiphala menolak. Setelah diajak dengan berbagai
cara, akhirnya, Jotiphala mau mengunjungi Buddha Kassapa. Setelah
mendengarkan wejangan dari Buddha Kassapa, Jotiphala menjadi
bhikkhu. Ghaṭīkāra tetap menjalani kehidupan rumah tangga demi
merawat kedua orangtuanya yang buta.

Setelah merasa cukup tinggal di Vebhalinga, Buddha Kassapa


mengunjungi Benares. Di Benares, ada seorang raja bernama KiKī.
Dia adalah orang yang cukup dermawan dalam menyokong kehidupan
Buddha Kassapa maupun para bhikkhu anggota saṅgha. Dalam
pertemuan tersebut, Raja Kikī memohon kepada Buddha Kassapa
untuk bervassa di Benares. Buddha Kassapa menolak permohonan
tersebut.

Dengan perasaan sedih, Raja Kikī bertanya kepada Buddha Kassapa


apakah ada penyokong lain yang lebih peduli kepada Buddha Kassapa
maupun para bhikkhu. Buddha Kassapa menceritakan kedermawanan
dan keyakinan Ghatīkāra. Buddha Kassapa mengatakan, jika Raja Kikī
masih merasa kecewa dan sedih karena undangannya ditolak, Ghaṭīkāra
tidak merasa sedih, juga tidak akan bersedih jika undangannya ditolak.

Ghaṭīkāra juga memiliki keyakinan yang tak tergoyahkan kepada


Sang Tiratana. Menjalankan sīla dengan baik, bebas dari keraguan
akan empat kebenaran mulia, hidup selibat, dan menjalani kehidupan
yang sederhana. Dia tidak pernah menggali tanah, tetapi sedakar
mengumpulkan dari galian tikus atau semut. Ghaṭīkāra memiliki
sifat dermawan kepada semua orang. Dia mendermawakan apa yang
dimilikinya untuk kebutuhan orang lain. Lebih dari itu, Ghaṭīkāra
adalah orang telah maju dalam praktik, dia telah menjadi seorang

[41]
anagāmi dan tidak akan terlahir kembali.

Suatu pagi, Buddha Kassapa mengunjungi rumah Ghaṭīkāra. Yang ada


di rumah hanya kedua orangtuanya yang buta. Menyadari tidak ada
orang yang melayani, orangtua Ghaṭīkāra menyuruh Buddha Kassapa
untuk mengambil makanan dan sayur sendiri di panci. Sang Buddha
pun mengambil sendiri. Dalam kesempatan lain, Buddha Kassapa
datang kembali dan Ghaṭīkāra pun tidak ada di rumah. Orangtua
Ghaṭīkāra menyarankan Buddha Kassapa untuk mengambil bubur dan
lauknya di panci. Buddha Kassapa melakukannya.

Pada saat musim hujan, atap kuṭi, tempat tinggal Buddha Kassapa
bocor sehingga air pun membasahi kuṭi tersebut. Sang Buddha
meminta kepada para bhikkhu untuk mengambil rumput di rumah
Ghaṭīkāra. Para bhikkhu menjawab bahwa yang ada hanyalah atap
yang menempel di rumah. Buddha Kassapa memerintahkan untuk
mengambil atap tersebut. Mendengar ada orang yang mengambil
atap rumah, orangtua Ghaṭīkāra bertanya siapa mereka. Mereka pun
menjawab dan menjelaskan permasalahannya. Orangtua Ghaṭīkāra
mempersilakan para bhikkhu untuk mengambil atap tersebut.

Bagi orang-orang pada umumnya, orang-orang yang begitu melekat


pada aturan, akan melihat tindakan yang dilakukan oleh Buddha
Kassapa dan para bhikkhu adalah tindakan yang kurang pantas, kurang
layak; bahkan tindakan mengambil atap yang melekat di rumah orang
dan berfungsi melindungi rumah orang dari panas dan hujan, dapat
dikategorikan sebagai pencurian.

Kalau tindakan tersebut adalah tindakan yang tidak pantas, tidak layak
atau bahkan dapat dianggap sebagai pencurian, tentu Sang Buddha
tidak akan menceritakannya. Sang Buddha sudah dapat dipastikan
tidak akan mengulang kembali cerita tersebut. Keberanian Sang
Buddha mengulang kembali atau menceritakan pengalaman Buddha

[42]
Kassapa tentu memiliki pesan moral yang tidak bisa diremeh atau
disepelekan begitu saja.

Dari cerita tersebut ada beberapa pesan moral yang ingin disampaikan
oleh Sang Buddha. Pertama, Sang Buddha adalah orang yang fleksible,
luwes dan tidak kaku. Meskipun dalam aturan seorang bhikkhu atau
seorang Buddha harus menerima dana makanan secara langsung,
diserahkan dari tangan ke tangan dalam jarak “hatthapāsa” atau dalam
jangkauan tangan yang sopan, dalam kondisi seperti di atas, seorang
bhikkhu atau seorang Buddha dapat mengambil makanan sendiri
dari panci, dari tempat makanan yang telah disediakan, tanpa perlu
diserahkan dari tangan ke tangan, atau bahkan diserahkan dalam jarak
“hatthapāsa”. Dalam situasi seperti itu, ucapan sudah dapat dianggap
sebagai penyerahan secara sah.

Kedua, antara Buddha Kassapa dan Ghaṭīkāra, keduanya saling


memiliki kepercayaan antara satu dengan yang lainnya. Karena
itu, Sang Buddha bisa mengambil barang milik Ghaṭīkāra dengan
bebas, tanpa ada rasa keengganan sedikit pun. Saat mengetahui Sang
Buddha bisa mengambil barang miliknya dengan bebas, Ghaṭīkāra
justru merasakan kebahagiaan yang luar biasa sehingga kebahagiaan
tersebut baru berakhir setelah dua minggu. Bagi Ghaṭīkāra, tindakan
Sang Buddha bukanlah pencurian, tetapi itu adalah suatu berkah,
keuntungan yang luar biasa, tidak mudah mendapatkan kepercayaan
semacam itu dari seorang Buddha (lābhā vata me, suladdhaṃ vata
me, yassa me kassapo bhagavā arahaṃ sammāsambuddho evaṃ
abhivissattho).

Ketiga, ketika dalam suatu masyarakat ada rasa saling mempercayai,


moralitas tidak dibutuhkan. Moralitas, aturan dan undang-undang
hanya dibutuhkan ketika tidak ada rasa saling percaya. Sebagai
contohnya, saat dalam sebuah keluarga ada rasa saling percaya satu

[43]
sama lain, semua anggota keluarga bisa menggunakan barang dengan
bebas, tanpa perlu meminta izin anggota yang lainnya. Namun, ketika
rasa saling percaya tidak ada, setiap anggota keluarga yang ingin
menggunakan barang yang ada dalam rumah tersebut, harus meminta
izin dari anggota yang lainnya. Ketika menggunakan barang tanpa
izin, tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran hak-hak anggota
keluarga yang lainnya. Prinsip yang sama sebenarnya berlaku juga di
kalangan masyarakat secara luas.

Memahami perilaku mereka yang telah menapakkan kaki pada jalan


yang benar, tidaklah mudah. Pada umumnya, orang terjebak dalam
moralitas, aturan, undang-undang, norma dan sebagainya. Oleh
karena itu, ketika ada orang yang bertindak di luar aturan, tidak sesuai
dengan nilai-nilai moral yang berlaku, orang dianggap sebagai orang
yang tidak bermoral, tidak beradab, tidak memiliki etika. Padahal,
bertindak dengan bebas adalah moralitas mereka. Berperilaku sesuai
kebutuhan adalah etika mereka.

Mereka memang kadang tampak tidak beretika, tetapi itulah pola


kehidupan mereka. Kita tidak bisa langsung menyalahkan pola
perilaku mereka karena mereka telah memiliki standar kehidupan yang
berbeda. Mereka memiliki pemahaman yang berbeda dari manusia
pada umumnya. Mereka adalah orang-orang yang waras, orang-orang
yang tidak gila. Mereka mampu melihat dunia sebagaimana apa
adanya. Sementara itu, mereka yang masih belum mencapai kesucian,
melihat dunia dari perspektif yang berbeda. Oleh karena itu, tidak
mengherankan kalau dalam kitab komentar dikatakan “orang yang
masih belum mencapai kesucian tak ubahnya seperti orang gila”
(ummattako viya hi puthujjano).

[44]
Indriyabhāvanā Sutta: Pengendalian Diri
yang Sebenarnya

Indriyabhāvanā Sutta adalah sutta terakhir dalam Majjhima Nikāya.


Dengan kata lain, sutta ini adalah sutta dalam urutan ke-152 atau
sutta nomor 152 dalam Nikāya kedua ini. Sutta ini dibabarkan oleh
Sang Buddha di sebuah hutan pohon mukhelu, di wilayah Kajaṅgalā,
sebuah wilayah yang terletak di bagian timur Majjhimadesa.

Sutta ini dibuka dengan pertanyaan Sang Buddha kepada Uttara,


yang pada saat itu mengunjungi Sang Buddha. Uttara adalah murid
Brahmana Pārāsariya. Pertanyaan Sang Buddha adalah apakah
gurunya, Pārāsariya, mengajarkan tentang pengembangan indria
(indriyabhāvana). Dalam jawabannya, Uttara mengatakan bahwa
gurunya mengajarkan hal tersebut. Sistem pengembangan indriya
yang diajarkan oleh Pārāsariya adalah dengan cara tidak melihat
bentuk melalui mata, tidak mendengar suara melalui telinga.
Mendengar jawaban tersebut, Sang Buddha memberikan komentar
yang cukup sarkastis: tentu orang buta dan orang tuli adalah orang
yang indrianya telah dikembangkan dengan sempurna. Alasannya,
orang buta tidak melihat bentuk melalui mata. Demikian juga, orang
tuli tidak mendengar melalui telinga. Mendengar komentar sarkastis
tersebut, Uttara tidak bisa memberikan komentar apa pun. Dia hanya
bisa tertunduk malu.

Untuk mencairkan suasana, Sang Buddha lalu berkata kepada Y.M.


Ānanda bahwa Pārāsariya mengajarkan suatu bentuk pengembangan
indria dan Sang Buddha juga mengajarkannya. Hanya saja, keduanya
memiliki ajaran yang berbeda. Menyadari pentingnya akan hal ini,
Y.M. Ānanda memohon kepada Sang Buddha untuk membabarkan

[45]
Dhamma yang ada kaitannya dengan pengembangan indria.

Dalam pembabarannya, Sang Buddha menjelaskan tiga tahap


pengembangan indria: orang biasa yang masih diliputi oleh noda batin
(saṃkilesa) atau boleh dikatakan orang yang masih berjuang untuk
mencapai kesucian karena belum mencapai kesucian. Kedua adalah
orang yang telah melenyapkan sebagian noda batinnya (saṃkilesampi
nikkilesampi) dan masih perlu berjuang untuk melenyapkan noda
batin yang tersisa. Yang ketiga adalah orang yang telah melenyapkan
seluruh noda batinnya (nikkilesa) dan sudah tidak perlu lagi berjuang
untuk melenyapkan noda batinnya.

Dalam konteks orang-orang yang masih diliputi oleh noda batin


(saṃkilesa), masih berjuang untuk melenyapkan noda batinnya, apa
yang perlu dilakukan bukan menghindari objek apakah itu bentuk,
suara, bau, rasa, sentuhan atau bentuk-bentuk pikiran. Bukan pula
menjauhi atau menyingkirkan objek indria tersebut sehingga tidak
terjadi kontak dengan objek-objek tersebut.

Ketika berusaha untuk menghindari, menjauhi dan menyingkirkan,


apa yang sebenarnya terjadi adalah dirinya menghadapi objek
tersebut dengan kebencian. Saat kebencian ada, tidak dapat
dipungkiri keserakahan pun termanifestasi. Dengan kata lain, dirinya
menghindari, menjauhi dan menyingkirkan objek tersebut karena
menghendaki dan mengharapkan objek lainnya. Hal ini sering
dilakukan karena ketidaktahuan bahwa sikap semacam itu masih
diliputi oleh keserakahan dan kebencian.

Ambillah contohnya, ketika seseorang mengalami kebosanan. Orang


tersebut berusaha sekuat tenaga agar kebosanan tersebut hilang
dari darinya. Dia berusaha menghilangkan kebosanan, menghindari
kebosanan dan menjauhi kebosanan karena berpikir bahwa kebosanan
adalah salah satu sifat negatif pikiran. Karena itu, kebosanan harus

[46]
dijauhi, dihindari, dilenyapkan. Dia berpikir demikian karena hidup
penuh semangat, ceria adalah sifat positif pikiran sehingga hal itulah
yang perlu terus dimiliki dan didapatkan.

Perlu dipahami bahwa apakah kebosanan ataukah keceriaan,


semangat keduanya adalah dhamma. Keduanya adalah realitas yang
harus dihadapi, bukan realitas yang harus dihindari, dijauhi, atau
dicari. Menghindari, menjauhi kebosanan adalah kebencian terhadap
dhamma. Sedangkan mencari semangat, menginginkan keceriaan
adalah keserakahan terhadap dhamma. Kita selalu melakukan hal ini
dalam kehidupan kita karena kita tidak memahami, tidak mengerti,
tidak mengetahui bahwa keduanya adalah dhamma, realitas kehidupan.

Apa yang dinasihatkan oleh Sang Buddha adalah ketika berhadapan


dengan objek apapun, apakah itu menyenangkan, tidak menyenangkan
ataukah netral, yang perlu dilakukan hanya memahami dan mengetahui
bahwa telah timbul rasa menyenangkan, tidak menyenangkan atau
netral dalam dirinya. Dengan sikap semacam ini, akan muncul
pemahaman bahwa semua kondisi semacam itu sifatnya selalu datang
untuk menghilang, sesuai dengan kondisi pendukungnya. Pemahaman
semacam ini muncul secara otomatis dan bukan hasil berlogika atau
berpikir. Jika yang terjadi adalah pemahaman secara langsung, akan
timbul ketenangan, keseimbangan batin yang begitu kokoh; semua
yang menyenangkan, tidak menyenangkan, serta netral akan lenyap
dan yang tersisa adalah keseimbangan batin.

Bagi orang-orang yang sudah terlatih, dengan pemahaman dhamma


yang cukup, begitu dia berhadapan dengan objek-objek yang mampu
memicu perasaan yang menyenangkan, tidak menyenangkan atau yang
netral, dia tidak mengharapkan, tidak menghendaki objek tersebut.
Dengan kata lain, apakah rasa senang, tidak senang ataukah netral
muncul atau tidak, tidak ada masalah baginya. Hanya saja, karena

[47]
masih adanya kotoran batin yang tersisa, sering kali pula dia merasa
muak, tidak suka. Hal ini bisa terjadi karena masih ada rasa suka dan
tidak suka dalam dirinya meski sifatnya cukup halus. Karena itu, rasa
tidak suka terhadap perasaan yang muncul, bisa saja terjadi. Meskipun
demikian, dia memahami hal itu. Dia mampu melihat rasa muak, tidak
suka tersebut.

Bagi orang-orang yang telah sempurna dalam berlatih, tidak perlu


lagi mengikis kotoran batin yang tersisa, begitu berhadapan dengan
objek yang menyenangkan, tidak menyenangkan, atau netral, dia bisa
mengubah sifat objek tersebut sesuai dengan dengan keinginannya.
Misalnya, objeknya menyenangkan. Orang-orang dalam kategori ini,
mampu mengubah sifat objek tersebut menjadi tidak menyenangkan.
Demikian, juga seandainya objeknya tidak menyenangkan, sifat objek
tersebut bisa diubah menjadi menyenangkan. Hal ini pun berlaku
untuk objek yang sifatnya netral.

Dalam kelompok pertama, mereka sedang berlatih untuk


mengembangkan indrianya. Karena itu, masih sering larut terbawa
objek. Dalam kelompok kedua, mereka telah berhasil menguasai
objek meski baru separuhnya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika
orang-orang dalam kelompok ini masih merasa kecewa, tidak suka dan
muak saat melihat kondisi batin yang tidak sesuai dengan harapan.
Dalam kelompok ketiga, mereka telah sukses dalam mengembangkan
indria sehingga mampu menguasai objek sepenuhnya. Karena
kemampuan ini, bukan dirinya yang dipermainkan oleh objek, tetapi
dialah yang memiliki kekuasaan untuk memainkan objek. Walaupun
mampun mempermainkan objek sesuai dengan kehendaknya, di sini
perlu dicatat bahwa mereka yang telah sempurna dalam latihan, sudah
terbebas dari rasa suka dan tidak suka. Seandainya sifat objek tersebut
diubah, semua itu dilakukan bukan atas dasar rasa suka dan tidak suka,
tetapi atas dasar kebutuhan.
[48]
Itulah praktik pengembangan indria atau boleh dikatakan sebagai
praktik pengendalian diri. Pengembangan indria atau pengendalian
diri dilakukan bukan dengan cara menghindari kontak dengan
objek, melainkan dengan cara mengetahui apa yang terjadi. Dengan
memahami apa yang terjadi, dirinya tidak akan terjebak untuk terobsesi
dengan objek tersebut.

Karena yang terjadi bukan menghindari objek, dalam berbagai sutta,


apa yang disebutkan adalah setelah melihat bentuk dengan mata,
mendengar suara dengan telinga, mencium bau dengan hidung,
mengecap rasa dengan lidah, merasakan sentuhan dengan kulit dan
pikiran kontak dengan bentuk-bentuk pikiran (cakkhunā rūpaṃ disvā,
… sotena saddaṃ sutvā… ghānena gandhaṃ ghāyitvā… jivhāya
rasaṃ sāyitvā… kāyena phoṭṭhabbaṃ phusitvā… manasā dhammaṃ
viññāya). Ketika telah terjadi kontak antara indria dengan objek, objek
tersebut tidak digenggam bersamaan dengan tanda-tanda utamanya dan
tanda-tanda sekundernya (na nimittaggāhī hoti nānubyañjanaggāhī).
Hal ini akan bisa terjadi bila saat terjadi kontak, apa yang dilakukan
adalah menyadari bahwa sedang terjadi kontak dengan objek tersebut.

Praktik pengendalian diri yang diajarkan oleh Sang Buddha bukan


bersifat menghindari, sebab jika mengendalikan diri berarti menghindari
objek, praktik semacam ini akan terasa kaku, tidak praktis sebab para
praktisi akan terkesan sebagai orang yang “anti-objek”. Sang Buddha
adalah orang yang sederhana dalam praktik. Oleh karena itu, praktik
pengendalian diri pun tidak akan dibuat ruwet. Yang terpenting adalah
bagaiman praktik tersebut bisa membuat para praktisi bisa bebas dari
kebencian, keserakahan dan kebodohan, tanpa perlu memusuhi atau
menggenggam objek yang ada di sekitarnya.

Memusuhi objek adalah ekstrem, demikian juga menggenggam juga


ekstrem. Keduanya adalah ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Jika

[49]
dilakukan, keduanya akan menimbulkan penderitaan, ratap tangis,
kegelisahan dan kekecewaan. Agar tidak menimbulkan penderitaan,
kegelisahan, kekecewaan dan ratap tangis, keduanya harus dipahami
melalui praktik secara nyata, bukan sebatas logika semata.

Selamat berjuang dalam praktik. Semoga memahami apa yang layak


dipahami hingga terbebas dari roda saṃsāra.

[50]
Mahāgosiṅga Sutta: Hidup Damai di Tengah
Perbedaan

Mahāgosiṅga Sutta adalah salah satu sutta yang terdapat dalam


Majjhima Nikāya. Sutta ini merupakan sutta ke-32 dari 152 sutta
yang ada dalam Nikāya tersebut. Secara Paṇṇāsa atau Kelompok
Lima Puluhan, sutta tersebut dimasukkan dalam Mūlapaṇṇāsa atau
Kelompok Lima Puluhan Pertama. Dalam edisi Pali-Texts Society,
sutta ini terletak pada halaman 212, Volume I.

Ada dua sutta yang berhubungan dengan Gosiṅga. Karena itu, sutta
yang pertama diberi nama Cūḷagosiṅga Sutta dan yang kedua diberi
nama Mahāgosiṅga Sutta. Istilah Cūḷa dapat diartikah kecil dan mahā
berarti besar. Gosiṅga sendiri mengacu pada nama sebuah hutan sala.

Dari segi pesan moral dari kedua sutta tersebut, tentu keduanya
memberikan pesan yang sangat penting bagi kemajuan praktik. Oleh
sebab itu, pesan moral tidak dapat dijadikan alasan pemilihan nama
sutta tersebut. Demikian juga orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Kedua sutta tersebut melibatkan orang-orang besar di dalamnya.
Pemilihan istilah cūḷa dan mahā tampaknya lebih berdasarkan pada
jumlah bhikkhu atau orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Mahāgosiṅga Sutta tampaknya kurang tepat dikategorikan sebagai


khotbah atau ceramah. Sutta ini lebih tepat dikatakan sebagai
pandangan pribadi beberapa orang besar, termasuk pandangan
pribadi Sang Buddha. Artinya, jika dalam khotbah atau ceramah yang
menyampaikan pesan Dhamma adalah satu orang, dalam sutta ini,
isinya adalah pandangan pribadi beberapa orang penting dalam saṅgha.
Pandangan pribadi tersebut pun dilontarkan atas dasar pertanyaan dari
orang lain.

[51]
Saat itu, Sang Buddha sedang berada di hutan Gosiṅga bersama
beberapa bhikkhu penting. Di antaranya, Y.M. Sāriputta, Y.M. Mahā
Moggallāna, Y.M. Mahā Kassapa, Y.M. Anuruddha, Y.M. Revata,
Y.M. Ānanda dan masih banyak yang lainnya. Hanya saja, nama
mereka tidak disebutkan secara spesifik dalam sutta ini.

Pada sore hari, setelah bangun dari meditasi, Y.M. Mahā Moggallāna
mengajak Y.M. Mahā Kassapa untuk mengunjungi Y.M. Sāriputta.
Tujuannya adalah untuk mendengarkan uraian Dhamma dari orang
yang dikenal sebagai Dhammasenāpati. Melihat orang-orang besar
menuju kediaman murid utama, Y.M. Ānanda pun tidak ingin menyia-
nyiakan kesempatan tersebut. Beliau lalu mengajak Y.M. Revata untuk
bergabung.

Saat melihat Y.M. Ānanda datang, sebagai orang yang dituakan,


Y.M. Sāriputta pun langsung menyapa Y.M. Ānanda dengan gaya
memuji posisi Y.M. Ānanda sebagai pembantu utama Sang Buddha.
Selanjutnya, Y.M. Sāriputta menanyakan kepada Y.M. Ānanda tentang
pandangan pribadi Y.M. Ānanda bagaimana caranya agar seorang
bhikkhu bisa menerangi, atau dengan kata lain, menambah keindahan
hutan Gosiṅga. Kebetulan, malam itu, hutan Gosiṅga tampak indah,
pohon sala tumbuh rindang dengan bunganya yang bermekaran.
Aromanya, bagai aroma surgawi. Sinar rembulan pun menambah
keindahan hutan tersebut.

Sebagai seorang yang terpelajar, pun telah banyak belajar, Y.M. Ānanda
perpendapat bahwa seorang bhikkhu dapat dikatakan menambah
keindahan hutan Gosiṅga jika bhikkhu tersebut telah banyak
belajar, menghafalkan apa yang dipelajari, dan mengonsolidasikan
ajaran tersebut. Tidak kalah pentingnya, ajaran tersebut indah pada
awalnya, pertengahannya, dan akhirnya baik dalam konteks artinya
maupun frasenya. Juga ajaran tersebut tidak bertentangan dengan

[52]
kehidupan selibat. Setelah mempelajari, mengingat, menghafalkan,
menginvestigasi dalam batin dan memahaminya dengan pandangan
benar, dia mengajarkan ajaran tersebut kepada sesama praktisi dalam
kehidupan monastik, juga kepada para perumah tangga dengan kalimat
yang jelas dan tidak membingungkan. Tujuan mengajarkan ajaran
tersebut adalah untuk mengikis dan melenyapkan kecenderungan laten
(anusaya) yang ada dalam diri pendengarnya. Ini adalah pandangan
pribadi Y.M. Ānanda bagaimana seorang bhikkhu dapat dikatakan
mampu menghiasi hutan Gosiṅga.

Ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada Y.M. Revata, beliau pun
memberikan pandangan pribadinya. Dalam pandangan Y.M. Revata,
seorang bhikkhu akan mampu menerangi hutan Gosiṅga jika bhikkhu
tersebut senang menghabiskan waktunya untuk bermeditasi dalam
kesunyian. Dirinya mendedikasikan waktunya untuk ketenangan batin,
tidak mengabaikan meditasi, memiliki pandangan terang (vipassanāya
samannāgato), dan senang tinggal di kuṭi yang kosong.

Y.M. Anuruddha memiliki pandangan yang berbeda dari keduanya.


Bagi beliau, seorang bhikkhu akan menghiasi hutan Gosiṅga jika
dirinya menggunakan mata devanya (dibbacakkhu) untuk menyurvei
alam semesta. Sutta ini tidak menyebutkan apa tujuan menggunakan
mata deva tersebut. Namun, Kitab Komentar menjelaskan bahwa
tujuan menggunakan mata deva semacam itu adalah untuk melihat
kematian dan kelahiran makhluk-makhluk. Pemahaman semacam
ini bisa menimbulkan semangat juang untuk bisa bebas dari saṃsāra
dalam kehidupan sekarang ini juga.

Dalam opini Y.M. Mahā Kassapa, seorang bhikkhu akan mampu


menambah keagungan hutan Gosiṅga jika bhikkhu tersebut hidup
mempraktikkan kehidupan selibat secara serius, sedikit keinginan,
puas dengan dirinya sendiri, menyendiri, bersemangat, memiliki

[53]
moral yang baik, mengembangkan samādhi, memiliki kebijaksanaan,
merealisasi Nibbāna. Selain mempraktikkan, memiliki dan merealisasi
hal itu, dia juga memuji hal-hal tersebut. Dengan kata lain, seorang
bhikkhu akan mampu menambah keagungan hutan Gosiṅga jika
dirinya mampu memberikan contoh yang terbaik melalui praktik.

Ketika giliran Y.M. Mahā Moggallāna memberikan pandangan, beliau


mengatakan bahwa jika dua orang bhikkhu saling mendiskusikan
abhidhmma (dve bhikkhū abhidhammakathaṃ kathenti), bhikkhu
semacam itulah yang dapat dikatakan sebagai penghias utan Gosiṅga.
Mereka saling bertanya dan memberikan jawaban atas pertanyaan
tersebut. Perlu dicatat, istilah abhidhamma dalam sutta ini tidak
mengacu pada Abhidhamma Piṭaka, tetapi istilah semacam ini
menjadi cikal bakal munculnya Abhidhamma Piṭaka. Hal ini dapat
dilihat dalam kenyataan bahwa Abhidhamma Piṭaka pada umumnya
dipresentasikan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban.

Ketika semua telah mendapatkan pertanyaan dari Y.M. Sāriputta dan


memberikan jawaban sesuai pandangan masing-masing, Y.M. Mahā
Moggallāna pun bertanya kepada Y.M. Sāriputta tentang pertanyaan
yang sama. Dalam pandangan Y.M. Sāriputta, seorang bhikkhu akan
mampu menghiasi hutan Gosiṅga jika bhikkhu tersebut mampu
menguasai pikirannya sendiri, dan bukan sebaliknya dikuasai dan
diperbudak oleh pikirannya sendiri. Ketika seorang bhikkhu mampu
menguasai pikirannya sendiri, dirinya mampu memasuki kondisi batin
sesuai yang diharapkan kapan pun, apakah itu pagi, siang atau malam.

Setelah semua selesai memberikan pandangan masing-masing,


mereka pun menghadap Sang Buddha. Sebagai yang dituakan, Y.M.
Sāriputta melaporkan apa yang telah terjadi dan menyampaikan
pandangan setiap pribadi bhikkhu yang hadir. Sebagai penutup, Y.M.
Mahā Moggallāna melaporkan pandangan Y.M. Sāriputta. Sang

[54]
Buddha memuji setiap pandangan yang telah disampaikan oleh pribadi
bhikkhu yang hadir. Ketika Y.M. Sāriputta bertanya kepada Sang
Buddha, mana pandangan yang paling baik, Sang Buddha menjawab
bahwa setiap orang telah berbicara dan menyampaikan pandangannya
dengan baik. Mereka telah berbicara sesuai dengan karakter mereka
masing-masing. Sebagai tambahan, Sang Buddha menjelaskan bahwa
seorang bhikkhu dapat dikatakan mampu menghiasi hutan Gosiṅga
jika bhikkhu tersebut selalu berjuang dengan tekun untuk mengikis
kotoran batinnya. Dia berjuang dengan gigih demi tercapainya
kebahagiaan tertinggi, Nibbāna.

Dari sutta ini dapat dilihat bahwa, setiap orang memiliki hak untuk
menganut suatu pandangan sesuai dengan kecenderungan masing-
masing, tanpa memaksakan pandangan tersebut kepada orang lain.
Sang Buddha pun menghargai pandangan pribadi tersebut, tanpa
menyalahkan pandangan tertentu dan hanya membenarkan pandangan
yang lainnya. Tambahan pandangan dari Sang Buddha menunjukkan
bahwa apa pun pandangan yang dianut, semuanya sah-sah saja
sepanjang pandangan tersebut mampu mengarahkan seseorang untuk
gigih berjuang, bersemangat dalam mengikis kotoran batinnya.
Dengan kata lain, perbedaan pandangan bukan dipergunakan untuk
menyuburkan keserakan, kebencian dan kebodohan.

Keberanian Sang Buddha mengapresiasi setiap pandangan


menunjukkan bahwa Sang Buddha menghargai perbedaan pandangan,
perbedaan pendapat, perbedaan prinsip yang dianut. Setiap pandangan
adalah benar menurut versi masing-masing, tidak bisa disalahkan.
Namun, perlu diingat bahwa kita tidak memiliki hak untuk memaksa
orang lain untuk menerima dan mengakomodasi pandangan yang kita
anut. Pemaksaan pandangan akan menimbulkan ketidaknyamanan
yang pada akhirnya menjurus pada konflik sosial. Selain itu,
pemaksaan pandangan juga akan merampas hak-hak mereka untuk
[55]
hidup merdeka, hidup bebas tanpa terintimidasi oleh pandangan dan
otoritas dari orang lain.

Perlu diingat bahwa menghargai dan mengapresiasi pandangan orang


lain, bukan berarti menerima pandangan orang lain. Bukan pula
tunduk pada pandangan tersebut. Menghargai dan mengapresiasi
berarti memberikan kebebasan kepada orang lain untuk menganut
suatu pandangan sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan orang
tersebut. Dengan demikian, kerukunan dapat tercapai di tengah-tengah
kemajemukan pendapat, prinsip atau pandangan.

[56]
Memahami Kālāma Sutta dalam Praktik
Pengembangan Kesadaran
Pengantar

Dari sekian banyak sutta yang telah banyak dipelajari oleh masyarakat
Buddhis, Kālāma Sutta atau Kesaputtiya Sutta adalah salah satu sutta
yang cukup populer. Salah satu alasan mengapa sutta ini menjadi
populer adalah bahwa sutta ini memberikan ruang kebebasan kepada
umat Buddha untuk menganut suatu pandangan yang relevan sesuai
kebutuhan mereka. Hanya saja, sejauh ini, kekuatan Kālāma Sutta
lebih sering digunakan untuk kepentingan eksternal, sekadar untuk
menjustifikasi pandangan pribadi bahwa pandangannya adalah benar
adanya. Dengan kata lain, lebih sering sutta ini dipergunakan untuk
menyerang pandangan orang lain, menjatuhkan ide atau pendirian
yang dipegang oleh orang lain. Dampaknya, perbedaan pendapat
semakin meruncing dan menemukan jalan buntu. Percekcokan dan
perdebatan semakin mencuat seiring meroketnya kebencian seseorang
karena tidak mampu menerima pandangan orang lain.

Hingga saat ini, sangat jarang yang menggunakan sutta ini untuk
menjustifikasi suatu pandangan yang ada kaitannya secara langsung
pada praktik, melihat ke dalam batin masing-masing. Dengan kata lain,
Kālāma Sutta sangat jarang diimplementasikan untuk pemahaman
praktik yang menyeluruh, demi hancurnya kotoran batin masing-
masing, demi terealisasinya Nibbāna dalam kehidupan sekarang ini
juga.

Memahami Kālāma Sutta dalam konteks praktik demi terealisasinya


Nibbāna dalam kehidupan sekarang ini juga sangat penting artinya,
sebab belakangan ini muncul berbagai guru meditasi dengan berbagai
tekniknya, juga muncul berbagai interpretasi tentang ajaran Sang
[57]
Buddha. Pada akhirnya, umat Buddha menjadi bingung, umat
Buddha menjadi bimbang sebab setiap guru meditasi berbica begitu
menyakinkan; setiap orang memberikan interpretasi yang begitu
memukau sehingga menimbulkan pandangan bahwa apa yang
disampaikan adalah benar adanya.
Antara Suku Kālāma dan Umat Buddha saat ini

Dari pengantar yang ada dalam sutta tersebut, dapat langsung dipahami
bahwa suku Kālāma telah dikunjungi oleh banyak kaum intelektual
maupun praktisi. Mereka datang untuk memaparkan ajaran mereka
masing-masing. Selain memuji kehebatan ajaran mereka, di sisi lain
mereka menganggap ajaran orang lain salah, tidak bisa dipraktikkan
dan menyesatkan. Kondisi semacam ini tentu membuat mereka
menjadi bingung; mereka bimbang karena setiap orang mengklaim
ajaran merekalah yang paling benar dan yang lainnya salah (idameva
saccaṃ moghamaññaṃ).

Lihatlah kondisi umat Buddha saat ini dengan jujur, bukan dengan
bias, bukan dengan favoritisme sesaat. Apa yang dialami oleh suku
Kālāma persis, tidak ada bedanya dengan yang dialami oleh umat
Buddha, baik di Indonesia sendiri maupun di luar sana. Umat Buddha
menjadi bingung, bimbang karena guru A datang dengan teori A. Guru
B datang dengan teori B. Ironisnya, guru A mengklaim ajarannyalah
yang paling mampu membuat seseorang segera merealisasi Nibbāna
dan ajaran yang lainnya salah, lamban untuk merealisasi Nibbāna. Guru
B juga bersikap tidak ada bedanya. Dia pun mengklaim teorinyalah
yang paling benar.

Merasa tidak cukup menggunakan diri sendiri sebagai sarana untuk


menyakinkan umat Buddha, utusan pun dikirimkan. Ada juga sebagian
orang yang merasa sebagai bagian dari lingkaran tersebut, berusaha
untuk mempromosikan ajaran guru-guru tertentu. Ironisnya, dia pun

[58]
menggunakan cara-cara yang destruktif dengan cara menjelekkan
ajaran lain dan menganggap ajaran yang dianutnya sebagai yang
paling benar.

Dampak dari pandangan ini yang paling benar dan yang lainnya salah,
ternyata sangat fatal. Pertama, umat Buddha terpecah belah, menjadi
kelompok-kelompok kecil. Tak pelak, mereka hidup saling membenci,
saling bermusuhan antara satu kelompok dengan kelompok yang
lainnya. Kebencian yang ditanamkan dan gendang pengkultusan
terhadap seorang figure yang ditabuh ternyata hanya demi keuntungan
materi semata. Hanya saja banyak yang menyadari akan hal ini. Karena
itu, berhati-hatilah ketika ada yang berusaha untuk menanamkan
kebencian dan pengkultusan seorang figure atas nama praktik.

Kedua, dengan adanya berbagai teori yang diklaim paling benar, umat
Buddha justru hanya melakukan window shopping dalam praktik.
Artinya, begitu mereka mendapatkan kabar teori ini sangat bagus,
umat Buddha langsung mencoba teori tersebut. Nanti, begitu teori
baru datang, mereka pun mencoba lagi teori yang baru. Dampaknya,
mereka tidak akan pernah serius mendalami suatu teori, tetapi terus
menerus berusaha untuk mencicipi teori baru yang dianggap lebih baik,
lebih mumpuni, dan lebih hebat. Bagaimana mungkin mereka akan
sukses jika baru mencicipi mereka telah membuang teori tersebut?
Ibarat menggali sumur, bagaimana mungkin air bisa didapatkan jika
baru menggali belum seberapa dalam lalu pindah tempat lagi?
Sikap Genius Sang Buddha

Ketika suku Kālāma mengungkapkan kebingungan mereka, Sang


Buddha tidak serta merta memihak pada suatu pandangan dan
menyalahkan pandangan yang lainnya. Sebaliknya, Sang Buddha
justru mengajak suku Kālāma untuk melakukan introspeksi diri. Sang
Buddha mengajak mereka untuk melihat ke dalam batin masing-

[59]
masing dan bukan sebaliknya, melihat keluar.

Sang Buddha mengajak mereka untuk terjun ke dalam praktik secara


langsung dan bukan sekadar terjebak pada debat teoretis yang tidak
ada pangkal unjungnya, sebab jika dituruti akan selalu ada pandangan
yang baru, interpretasi yang baru pula. Jika demikian, kapankah mereka
akan bisa memikirkan kebahagiaan mereka sendiri? Kapankah mereka
akan bekerja untuk mengikis kotoran batin mereka jika sepanjang
waktu selalu memikirkan pandangan yang terus berlalu lalang?

Orang-orang yang sibuk berdebat, tidak akan memiliki waktu


untuk melihat kotoran batin mereka sendiri. Orang-orang yang
sibuk memikirkan pandangan orang lain, akan terus terjebak dalam
memikirkan kekurangan dan kelebihan pandangan orang tersebut.
Dampaknya, jika ditemukan kekurangan yang akan dilakukan adalah
mengkritik pandangan tersebut. Jika menemukan kelebihan, apa yang
akan dilakukan adalah memuji pandangan tersebut. Jika demikian,
apa yang dilakukan hanya berkutat pada kebencian dan keserakahan
karena mereka tidak tahu secara pasti mana yang berfaedah dan mana
yang tidak bermanfaat.
Pentingnya Pengembangan Kesadaran

Seni introspeksi diri atau seni melihat ke dalam diri sendiri dalam
Bahasa Pāli disebut sati. Kata sati sering diterjemahkan sebagai
kesadaran, kewaspadaan, mawas diri, eling atau perhatian. Dalam
implementasinya, kata ini sering digantikan dengan dua kata yaitu
jānati dan passati. Kedua kata ini biasanya dipergunakan secara
bersamaan. Namun, dalam Kālāma Sutta, dari kedua kata tersebut,
hanya kata jānati yang dipergunakan. Meski demikian, bukan berarti
akan mengurangi makna sutta tersebut.

Kata jānati dapat diartikan mengetahui, mengerti, memahami.

[60]
Sedangkan kata passati dapat dipahami sebagai melihat, mengamati,
mencermati dengan mata batin dan bukan dengan mata biasa.

Pengembangan kesadaran yang diharapkan oleh Sang Buddha


bukanlah kesadaran yang dipaksakan oleh suatu otoritas tertinggi atau
tradisi yang telah berlangsung turun temurun. Bukan pula kesadaran
yang dibangun di atas pondasi logika semata, tetapi kesadaran yang
dibangun atas dasar pemahaman sendiri, atas dasar kebutuhan pribadi
masing-masing. Frasa attanāva jāneyyātha sungguh menggarisbawahi
akan hal ini.

Frasa attanāva jāneyyātha dapat diterjemahkan sebagai “memahami


sendiri”, “melihat secara langsung” dan bukan sekadar laporan yang
tertulis dalam kitab suci yang keabsahannya tidak boleh dipertanyakan.
Apa pun yang terdapat dalam kitab suci bukanlah pengetahuan murni
milik kita, tetapi sebatas “katanya” saja. Apa pun yang masih sebatas
“katanya” validitasnya masih perlu diragukan, masih perlu dibuktikan
sendiri oleh setiap individu. Jika apa yang tertulis dalam kita suci
tersebut tidak dapat dibuktikan, tidak dapat dialami sendiri oleh
individu tersebut, apa pun kebenaran fakta tersebut, fakta tersebut
tidak dapat dikatakan sebagai kebenaran bagi orang yang tidak bisa
membuktikannya secara empiris, membuktikannya secara langsung.
Kebenaran tersebut hanya akan menjadi milik orang yang sanggup
membuktikannya.

Attanāva jāneyyātha juga bukan produk analitis atau kemampuan


berlogika. Apa pun kebenaran yang dihasilkan dari kemampuan
berlogika semua itu tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, sebab
kebenaran itu tidak dialami secara langsung, kebenaran tersebut
tidak dilihat secara nyata dalam kehidupan, melainkan hanya sebatas
pemikiran semata. Hanya karena kita berpikir ini benar, ini sesuai
dengan realitas, tidak serta merta fakta tersebut menjadi kebenaran

[61]
yang sesungguhnya.

Kebenaran yang masih sebatas logika semata validitasnya masih


perlu dipertanyakan sebab kebenaran tersebut masih bisa disangkal,
masih bisa diperdebatkan, akan tetapi kebenaran yang berdasarkan
pada pengalaman secara langsung tidak mungkin diperdebatkan, tidak
mungkin disangkal oleh siapa pun karena itulah yang dialami, itulah
yang dilihat secara langsung dalam praktik.

Dalam konteks Kālāma Sutta, Sang Buddha tidak mengajak anggota


suku Kālāma untuk menyadari betapa buruknya pandangan atau apa
kekurangan dan kelebihan pandangan yang telah dijabarkan oleh
para sāmaṇa dan Brahmana. Sang Buddha justru mengajak mereka
untuk menyadari bahwa setiap perbuatasan yang masih didasari
oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan akan menimbulkan
penderitaan. Sebaliknya, setiap tindakan yang tidak disertai oleh ketiga
akar kejahatan tersebut akan membawa kebahagiaan. Dengan kata
lain, Sang Buddha mengajak mereka semua untk terjun memahami
secara langsung betapa berbahayanya tindakan-tindakan yang masih
disertai dengan keserakahan, kebencian dan kebodohan, dan betapa
bermanfaatnya tindakan-tindakan yang tidak lagi ditunggani oleh
keserakahan, kebencian dan kebodohan.
Hancurnya Keraguan, Munculnya Keyakinan

Apa yang dimaksud dengan keraguan dalam praktik pengembangan


kesadaran adalah kita selalu tergantung pada kekuatan luar; kita
selalu menyandarkan diri pada kekuatan di luar diri sendiri, dan
tidak percaya pada pengalaman sendiri. Dengan kata lain, ini bukan
keraguan terhadap isi kitab suci, bukan keraguan terhadap keabsahan
sebuah tradisi, juga bukan ketidakpercayaan terhadap kata-kata guru
yang dihormati, melainkan keraguan terhadap apa yang dialami.

[62]
Sepanjang kita masih menyandarkan pengalaman pada tradisi, pada
otoritas tertinggi, kitab suci atau menjadikan kata-kata guru sebagai
ukuran pengalaman, di situ masih ada keraguan. Di situ, masih ada
ketidakyakinan pada diri sendiri. Dalam konteks ini, biasanya apa
yang terjadi adalah kita selalu mempertanyakan pengalaman sendiri,
apakah yang saya alami sesuai dengan tradisi yang ada? Apakah yang
saya alami sesuai dengan isi kitab suci? Apakah yang saya alami sesuai
dengan apa yang dikatakan guru saya? Ketika pertanyaan-pertanyaan
semacam ini masih muncul, di situlah dapat dilihat dengan jelas bahwa
keraguan masih bertengger dengan kuat; di situlah keyakinan pada
pengalaman sendiri belum tumbuh.

Pertanyaan lain yang biasa muncul dalam praktik pengembangan


kesadaran adalah mengapa saya mengalami hal ini? Bagaimana
pengalaman ini bisa terjadi? Apa yang sedang saya alami? Semua
pertanyaan itu adalah wujud keraguan terhadap apa yang dialami.

Ketika pertanyaan-pertanyaan semacam itu muncul, apa yang biasa


terjadi adalah kita berlogika bahwa secara tradisi dikatakan demikian
dan demikian, dalam kita suci dituliskan seperti itu, dan guru yang kita
hormati telah membabarkan begitu. Logika semacam ini sebenarnya
hanyalah manifestasi dari inferiority complex atau rasa rendah
diri. Ketika rasa rendah diri bercokol, kita selalu terintimidasi oleh
kekuatan luar, entah itu tradisi, kitab suci atau guru yang kita hormati.
Ketika kita menderita inferiority complex, apa yang kita lakukan
adalah selalu menyandarkan diri kita pada kemampuan dan kekuatan
di luar diri kita, sebaliknya kita tidak berani berdiri di atas kedua kaki
kita sendiri.

Ketika kesadaran terhadap fenomena batin dan jasmani terus


dikembangkan, kita akan tahu secara pasti bagaimana keserakahan,
kebencian dan kebodohan bisa mempengaruhi fenomena batin

[63]
dan jasmani tersebut. Kita pun akan tahu sebesar apa keserakahan,
kebencian dan kebodohan tersebut masih sanggup terus termanifestasi
dalam setiap fenomena batin dan jasmani. Kita pun akan tahu jika
ketiganya sudah tidak mampu lagi mempengaruhi setiap fenomena
batin dan jasmani.

Dalam Kālāma Sutta disebutkan bahwa mereka yang telah mampu


memahami bahwa dirinya tidak lagi dibelenggu oleh keserakahan,
kebencian dan kebodohan, hidupnya disertai dengan perhatian murni,
akan muncul empat keyakinan dalam dirinya. Empat keyakinan
tersebut adalah: Jika ada kehidupan yang akan datang dan ada akibat
perbuatan baik, muncul keyakinan bahwa dirinya akan terlahir di alam
bahagia. Sebaliknya, jika tidak ada kehidupan selanjutnya, muncul
keyakinan bahwa dirinya telah menjalani kehidupan yang baik, tanpa
menimbulkan permusuhan atau penderitaan baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi orang lain.

Dalam diri orang yang telah mengembangkan kesadaran juga akan


muncul keyakinan bahwa seandainya tindakan jahat membuahkan
penderitaan, muncul keyakinan dalam dirinya bahwa dia tidak
berbuat jahat kepada siapa pun. Karena itu, penderitaan tidak bisa
menyentuhnya. Seandainya yang terjadi adalah sebaliknya, dia pun
akan bahagia karena dirinya telah menjadi orang yang baik.

Salah satu sutta yang memiliki isi mirip dengan Kālāma Sutta adalah
Sāḷha Sutta. Sutta ini tepat berada setelah Kālāma Sutta. Hanya saja,
Sāḷha Sutta memiliki sedikit variasi dan dibabarkan oleh seorang
bhikkhu. Pertama pertanyaan mengenai keserakahan, kebencian
dan kebodohan. Dalam Kālāma Sutta, pertanyaan mengenai ketiga
hal tersebut adalah apakah ketiganya menimbulkan penderitaan
dan apakah jika ketiganya tiada akan menimbulkan kebahagiaan.
Sedangkan dalam Sāḷha Sutta pertanyaan agak diubah, apakah ada

[64]
keserakahan, kebencian dan kebodohan dan apakah ketiganya tidak
ada.

Jika Kālāma Sutta diakhiri dengan empat jenis keyakinan seperti telah
disebutkan di atas, Sāḷha Sutta diakhiri dengan pemahaman secara
langsung akan hancurnya keserakahan, kebencian dan kebodohan: Dulu
ada keserakahan, kebencian dan kebodohan. Sekarang keserakahan,
kebencian dan kebodohan tersebut telah lenyap sepenuhnya. Karena
itu, inilah yang disebut sebagai kusala. Muncullah pengetahuan
bahwa dirinya telah menyelesaikan tugasnya, dirinya telah menjalani
kehidupan spiritual sebagaimana layaknya dan dirinya sendiri telah
menjadi brahma dalam kehidupan sekarang ini juga.
Kesimpulan

Kālāma Sutta dibabarkan bukan untuk mempersenjatai kita agar kita


mampu berdebat dengan baik, melainkan sutta tersebut dibabarkan
agar kita semakin tenggelam dalam praktik, memahami pentingnya
pengembangan kesadaran, melihat ke dalam seutuhnya. Kesibukan
untuk terus melihat ke luar, hanya akan menimbulkan penderitaan,
kebimbangan, keraguan yang berkepanjangan dan tidak berkesudahan,
sebab apa pun permasalahan yang ada di luar, sifatnya adalah mati satu
tumbuh seribu permasalahan baru, sedangkan apa pun permasalahan
yang ada dalam diri sendiri, begitu permasalahan tersebut lenyap,
permasalahan tersebut tidak akan pernah muncul kembali. Dengan
kata lain, setiap kotoran batin yang telah kita hancurkan, kotoran batin
tersebut tidak akan pernah memiliki kekuatan untuk bercokol kembali
dalam diri kita. Ketika kotoran batin tersebut, tidak lagi muncul dalam
diri kita, kita pun paham seutuhnya, tanpa perlu diberi tahu oleh orang
lain. Sepanjang kita masih diberi tahu orang lain, sepanjang itu pula
kita masih belum paham bahwa kita telah melenyapkan kotoran batin
tersebut.

[65]
Paccaya Sutta: Dhamma yang Tidak
Mungkin Dipungkiri

Paccaya Sutta adalah salah satu sutta yang terdapat dalam


Nidānasaṃyutta, atau saṃyutta kedua belas dari limapuluh dua
saṃyutta yang ada dalam Saṃyutta Nikāya. Dalam edisi Pāli Texts
Society, sutta ini terdapat dalam halaman 25, Volume II.

Istilah “paccaya” dapat diartikan sebagai “kondisi”, “sebab”,


“pendukung”, “syarat”, “sarana”, “motivasi”. Karena itu, frase
“Paccaya Sutta” dapat diterjemahkan sebagai “Khotbah tentang
Kondisi”, “Uraian Mengenai Sebab” atau “Penjelasan tentang
Sebab”. Oleh Bhikkhu Bodhi, frase ini hanya diterjemahkan sebagai
“Conditions” atau dapat diterjemahkan sebagai “Kondisi-kondisi”.

Paccaya Sutta memuat tiga tema: paṭiccasamuppāda,


paṭiccasamuppannā dhammā dan konsekuensi memahami kedua ajaran
tersebut. Dapat dikatakan bahwa ketiganya adalah ajaran murni Sang
Buddha. Ketiganya belum pernah diajarkan oleh agama lainnya yang
telah muncul sebelum Sang Buddha ada. Bahkan, Sang Buddha pun
mendeklarasikan bahwa ajaran ini belum pernah didengar sebelumnya
(pubbe ananussutesu dhammesu. Artinya, ini adalah ajaran baru, ajaran
yang belum pernah dideklarasikan sebelum Buddha Gotama muncul.

Ajaran tentang paṭiccasamuppāda dan paṭiccasamuppannā dhammā


ditemukan tepat pada momen pencapaikan kebuddhaan, di bawah
pohon Bodhi. Pemahaman tentang ajaran inilah yang kemudian
membuat Sang Buddha menjadi manusia besar dalam sejarah umat
manusia. Para cendikiawan Buddhis pun setuju untuk mengatakan
bahwa paṭiccasamuppāda dan paṭiccasamuppannā dhammā adalah inti
ajaran filsafat agama Buddha (the central of Buddhist philosophy).

[66]
Istilah paṭiccasamuppāda dapat diterjemahkan sebagai “hukum sebab
musabab yang saling bergantung” dan paṭiccasamuppannā dhammā
adalah “fenomena yang muncul saling bergantungan”. Apakah yang
membedakan keduanya?

Dalam penjelasan-Nya, Sang Buddha mendefinisikan bahwa


paṭiccasamuppāda adalah dengan kelahiran sebagai kondisi, usia tua
dan kematian terjadi (Jātipaccayā, bhikkhave, jarāmaraṇaṃ). Hukum
ini pun terjadi pada faktor-faktor yang lainnya. Faktor-faktor lain yang
disebutkan dalam sutta ini, selain jāti dan jarāmaraṇa, adalah bhava,
upādāna, taṇhā, vedanā, phassa, saḷāyatana, nāmarūpa, viññāṇa,
saṅkhāra dan avijjā.

Ketika menyebutkan kelahiran mengondisikan usia tua dan kematian


dan faktor-faktor lainnya, Sang Buddha membicarakan realita yang
sebenarnya. Realitas ini sebenarnya selalu ada apakah Sang Buddha
muncul ke dunia ini atau tidak; apakah fakta ini dideklarasikan oleh Sang
Buddha atau tidak. Ini adalah fakta yang tidak mungkin dipungkiri. Ini
adalah hukum dhamma itu sendiri. Apa yang dilakukan Sang Buddha
hanya menemukan dan memahami hukum sebab musabab yang
saling bergantungan ini. Setelah menemukan dan memahaminya,
Sang Buddha menjelaskan, mendeklarasikan, menganalisis untuk
kepentingan dan pemahaman umat manusia.

Karena paṭiccasamuppāda adalah realitas yang tidak mungkin


dipungkiri, realitas yang selalu ada, Sang Buddha menjelaskan bahwa
hukum ini memiliki empat karakteristik. Empat karakteristik tersebut
adalah objektivitas (tathatā), nesesitas (avitathatā), invaribilitas
(anaññathatā) dan kondisionalitas (idappaccayatā).

Dalam kitab komentar, paṭiccasamuppāda memiliki karakteristik


tathatā karena kondisi-kondisi tersebut itu sendiri, tidak kurang dan
tidak lebih, mengakibatkan kejadian ini atau itu. Dikatakan avitathatā

[67]
karena mampu memproduksi fenomena tanpa kegagalan sedikit pun
jika semua kondisinya telah lengkap. Disebut anaññathatā karena
tidak ada fenomena lain yang muncul dengan fenomena atau kondisi
yang lainnya. Dikatakan idappaccayatā karena satu atau sekelompok
kondisi memunculkan kondisi-kondisi tersebut, seperti usia tua dan
kematian.

Apa yang dimaksud dengan paṭiccasamuppannā dhammā adalah


bahwa usia tua dan kematian bersifat tidak kekal, terkondisi, muncul
karena ada kondisi, pasti mengalami kehancuran, kemusnahan, binasa
dan berhenti secara total. Sifat-sifat semacam ini berlaku untuk semua
faktor yang ada dalam paṭiccasamuppāda. Oleh karena itu, sekalipun
semua aspek dalam paṭiccasamuppāda muncul karena adanya kondisi
yang mendukung, semua faktor tersebut pun memiliki sifat yang tidak
bisa dipungkiri. Tidak ada usia tua yang kekal, tidak ada kematian
yang tidak terkondisi, tidak ada kelahiran yang tidak mengalami
pemberhentian secara total.

Dari semua penjelasan yang ada, pada umumnya, Sang Buddha


mengajarkan konsep paṭiccasamuppāda dan paṭiccasamuppannā
dhammā khusus untuk memahami proses penderitaan, dan bukan
untuk tujuan lainnya. Tujuannya adalah agar mereka yang memahami
kedua hal ini bisa mengakhiri penderitaan dalam kehidupan sekarang
ini juga, tanpa menundanya hingga dalam kehidupan yang akan
datang. Sesumgguhnya, ini adalah wujud kasih sayang Sang Buddha
yang luar biasa (māhakaruṇā).

Pemahaman terhadap kedua ajaran tersebut, tentu memberikan


konsekuensi. Konsekuensi tersebut tentu sangat menarik untuk dibahas
karena selama ini banyak orang yang memahami secara kurang tepat.

Dengan jelas Sang Buddha menegaskan bahwa mereka yang


memahami paṭiccasamuppāda dan paṭiccasamuppannā dhammā tidak

[68]
mungkin memikirkan tiga masa kehidupan: Lampau, sekarang atau
yang akan datang. Bagi yang telah memahami paṭiccasamuppāda dan
paṭiccasamuppannā dhammā, tidak mungkir pikirannya lari ke masa
lampau atau kehidupan lampau dengan mempertanyakan: “Apakah
saya ada di masa lampau? Apakah saya tidak ada di masa lampau?
Hidup sebagai apakah saya di masa lampau? Bagaimanakah kondisi
saya di masa lampau? Setelah menjadi ini atau itu, lalu saya menjadi
apa lagi?”

Juga mustahil bagi mereka yang telah memahami kedua ajaran ini
memikirkan masa depan: “Akankah saya ada di masa yang akan
datang? Akankah saya tidak ada di masa yang akan datang? Akan
menjadi apa saya di masa yang akan datang? Bagaimana kondisi saya
dalam kehidupan yang akan datang? Setelah menjadi ini atau itu, lalu
saya akan menjadi apa lagi?”

Musykil pula bagi mereka yang telah memahami kedua ajaran ini
bingung akan kondisi saat ini, dengan bertanya: “Apakah saya ada?
Apakah saya tidak ada? Seperti apakah saya? Bagaimana kondisi
saya? Dari mana asal saya dan ke mana saya akan pergi?”

Dalam sutta ini, mereka yang tidak mungkin bingung akan tiga
masa kehidupan ini adalah siswa ariya (ariyasāvaka). Mengacu
pada ariyasāvaka, ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang-
orang yang telah mencapai kesucian minimal sotāpanna. Hanya saja,
menurut Visuddhimagga, pemahaman tentang paṭiccasamuppāda
dan paṭiccasamuppannā dhammā telah muncul semenjak seseorang
menjadi seorang cūḷasotāpanna atau sotāpanna kecil, tepatnya
setelah mematahkan kaṅkhāvitaraṇa dan beranjak menuju
maggāmaggañāṇadassana.

Sebelum menemukan sutta ini, bahkan pada saat menulis artikel


“Memahami Dasasaṃyojana dalam Konteks Praktik Pengembangan

[69]
Kesadaran” yang diterbitkan dalam buku 40 Tahun Pengabdian
STI, saya masih belum bisa memahami mengapa mereka yang
telah mencapai kesucian, tidak lagi tertarik akan surga dan neraka,
atau kehidupan lampau atau kehidupan yang akan datang. Ada juga
yang mengalami bahwa konsep surga dan neraka, kehidupan lampau
atau yang akan datang tidak lagi dalam persepsi mereka. Oleh sebab
itu, ketika menginterpretasikan rūparāga dan arūparāga, saya tidak
menyertakan referensi dari Tipitaka. Saat itu, referensi yang saya
pergunakan hanyalah pengalaman langsung mereka yang telah sukses
dalam praktik, minimal menjadi seorang sotāpanna.

Dari sutta ini, sangat jelas terlihat bahwa mereka yang telah menjadi
ariyapuggala, tidak akan bingung memikirkan kehidupan lampaunya,
kehidupan masa akan datang atau mengenai kehidupan saat ini. Bingung
dengan berbagai pertanyaan seperti di atas, sudah tidak relevan lagi
bagi kehidupannya. Apa yang ada adalah mengamati fenomena yang
datang dan pergi, fenomena yang muncul silih berganti.

Memikirkan kehidupan lampau, kehidupan yang akan datang atau


bingung memikirkan kondisi saat ini atau asal-usul kehidupan saat ini
adalah tidak penting. Dengan kata lain, memikirkan kelahiran kembali
adalah hal yang tidak perlu, sesuatu yang sudah tidak layak dilakukan
dalampraktik. Karena itu, memikirkan hal-hal semacam itu dianggap
sebagai perhatian yang tidak benar (ayonisomanasikāra).

Ketika surga dan neraka dianggap tidak penting lagi, kehidupan


lampau atau yang akan datang tidak lagi ada dalam persepsinya,
tentu kurang tepat menerjemahkan rūparāga dan arūparāga, yang
merupakan belenggu nomor enam dan tujuh, sebagai keinginan
untuk terlahir di rūpaloka dan arūpaloka. Lebih tepat istilah tersebut
dipahami sebagai keinginan untuk mempertahankan dan keinginan
untuk menghancurkan. Sebagai contohnya, ketika mengerti bahwa sati

[70]
memiliki manfaat, dia berusaha untuk mempertahankan sati. Ini adalah
rūparāga. Begitu memahami bahwa sati pun masih dalam konteks
yang terkondisikan, dia berusaha untuk menghancurkan sati tersebut.
Ini adalah arūparāga. Dapat dilihat bahwa rūparāga adalah manifestasi
dari bhāvataṇhā. Untuk arūparāga, jelas ini adalah manifestasi dari
vibhāvataṇhā.

Demikianlah penjelasan tentang paṭiccasamuppāda, paṭiccasamuppannā


dhammā dan konsekuensi memahami keduanya sebagaimana terdapat
dalam Paccaya Sutta. Semoga bisa memberikan tambahan pengetahuan
sehingga meningkatkan semangat dalam praktik.

[71]
Paṭhamasekha Sutta: Rintangan dalam
Praktik

Paṭhamasekha Sutta mungkin salah satu dari sekian ribu sutta yang
jarang didengar keberadaannya. Masalahnya adalah sutta ini cukup
singkat, sehingga keberadaannya sering kali terselip di antara
tumpukan sekiran ribu sutta. Sutta ini terdapat di dalam Aṅguttara
Nikāya. Dalam urutan Nipāta, sutta ini terdapat dalam Theravagga,
sebuah vagga yang terdapat dalam Pañcakanipāta. Dalam edisi Pāli
Texts Society, sutta ini terdapat di halaman 116, Volume III.

Sutta ini dibabarkan oleh Sang Buddha sendiri. Dari namanya,


kemungkinan besar, sutta ini dibabarkan kepada para bhikkhu yang
sudah maju dalam praktik. Artinya, mereka sekurang-kurangnya telah
menjadi pemenang arus (sotāpanna).

Istilah “sekha” lebih sering mengacu pada orang yang serius berlatih
menapaki sang jalan caNibbāna secara total. Karenanya, praktiknya
pun bukan lagi praktik yang biasa, praktik asal-asalan, melainkan
praktik yang lebih tinggi. Apa yang dipraktikkan bukan moralitas,
samādhi dan paññā biasa, tetapi moralitas yang lebih luhur, latihan
pikiran yang lebih luhur dan kebijaksanaan yang luhur (adhisīlampi
sikkhati, adhicittampi sikkhati, adhipaññampi sikkhati).

Meskipun berlatih dalam tataran yang berbeda, bukan berarti tidak


ada rintangan. Masih saja rintangan akan ada, terus membelenggu,
menghalangi kemajuan batin. Dalam sutta ini, Sang Buddha
menyebutkan ada lima hal yang akan merintangi latihan seorang yang
telah berstatus sebagai orang yang berlatih (sekha).

Yang pertama adalah menyukai bekerja atau lebih tepatnya menyukai


kesibukan, kecanduan untuk beraktivitas (kammārāmatā). Saat

[72]
seseorang telah menjadi pemenang arus (sotāpanna) hidupnya penuh
semangat. Ini disebabkan oleh lima kekuatan (pañcabala) telah
berubah menjadi lima indria (pañcindriya). Dalam pañcabala maupun
pañcindriya, semangat (viriya) adalah salah satu faktornya. Karena
itu, semangatnya telah mencapai titik kulminasi. Rasa lelah hampir
tidak ada. Hal ini bisa memicu seseorang untuk sibuk beraktivitas,
menenggelamkan diri dalam berbagai kegiatan. Karena kesibukannya
untuk memikirkan dunia luar, dia menjadi lalai akan tugasnya untuk
menyelesaikan tugasnya yang belum terselesaikan.

Yang kedua adalah menyukai untuk berbicara, senang bercakap-cakap


(bhassārāmatā). Ketika keraguan telah dipatahkan, keyakinan pada
diri sendiri tampak begitu menonjol. Hal ini akan memicu seseorang
berani untuk tampil di muka umum. Jika dulu pendiam, kini berani
untuk bicara. Jika dulu merasa khawatir untuk mengutarakan sesuatu,
kini berani untuk berbicara apa adanya. Lebih dari itu, dia akan
merasa bahwa telah memiliki pengalaman yang cukup, pengetahuan
yang bagus sehingga merasa perlu untuk membagikan pengalaman
tersebut kepada orang lain. Dia merasa perlu membebaskan orang lain
juga. Dia merasa perlu agar yang lain pun bisa merasakan indahnya
Dhamma, indahnya praktik. Oleh karena itu, dia akan menghabiskan
banyak waktunya untuk berbicara.

Ketika seseorang memiliki keinginan untuk berbicara, memiliki hasrat


untuk menyampaikan sesuatu, mau tidak mau, dia harus berkumpul
dengan yang lain (saṅgaṇikārāmatā). Menyukai berkumpul, menyenangi
untuk hidup berkelompok, juga bisa menyebabkan seseorang lupa akan
tugas yang harus dilakukan. Kesibukannya berkumpul, berkelompok
akan menyita perhatiannya, menyita praktikknya. Meskipun di satu
sisi hidup berkelompok bisa menguntungkan, di sisi lain, keinginan
untuk terus berkelompok juga bisa sangat destruktif. Alasannya,
tidak semua orang akan sejalan dengan pemikirannya; tidak semua
[73]
orang mampu memahami apa yang disampaikannya. Hal ini bisa
menimbulkan perdebatan, menimbulkan percekcokan, polemik, adu
pendapat dan sebagainya. Hal ini bisa mengganggu praktiknya.

Yang keempat adalah suka tidur (niddārāmatā). Mampu melangkah


dan sukses menjadi seorang sekha adalah suatu kehormatan tersendiri,
kehormatan yang sudah tidak dapat dinilai dengan materi apa pun.
Untuk bisa menjadi seorang pemenang arus juga butuh perjuangan
yang tidak sedikit. Sering kali terjadi, perjuangan menjadi seorang
sotāpanna adalah perjuangan yang paling sulit, perjuangan yang penuh
dengan penderitaan. Karena merasa telah sukses, merasa telah di jalur
aman, hal ini bisa menyebabkan seseorang untuk bersantai, dengan
cara lebih banyak tidur.

Selain karena memang keinginan, tidur bisa juga disebabkan oleh


kondisi batin yang tenang. Ketika batin dipenuhi dengan berbagai
permasalahan, akan sulit baginya untuk tidur. Begitu batinnya tenang,
kotoran batinnya mengendap, ini akan menyebabkan dirinya menyukai
tidur. Banyak beraktivitas, banyak bicara dan banyak berkumpul
juga bisa menguras energi sehingga menyebabkan seseorang mudah
tertidur. Dengan banyak tidur, praktik pun akan terbengkalai.

Yang terakhir adalah tidak mereview kembali mana kotoran batin


yang telah dilenyapkan dan mana yang belum (yathāvimuttaṃ cittaṃ
na paccavekkhati). Terus menerus mereview kotoran batin yang telah
dilenyapkan itu penting. Tujuannya adalah menumbuhkan semangat
juang, merasa senang atas apa yang telah dicapai. Terus menerus
meninjau kotoran batin yang belum dilenyapnya juga penting agar kita
tidak lengah dalam berjuang, terus termotivasi untuk menyelesaikan
tugas yang masih ada. Karena itu, ketika seseorang tidak mereview
kotoran batinnya yang telah dilenyapkan dan yang belum dilenyapkan,
dirinya akan menjadi lengah, menjadi teledor dalam berlatih.

[74]
Itulah lima rintangan yang masih bisa membelenggu mereka yang
telah menjadi sekhapuggala atau orang yang telah menapaki jalah
dalam berlatih. Perlu dipahami bahwa kelima hal tersebut bukannya
boleh dan tidak boleh dilakukan, tetapi jika masih ada, harus dilihat,
diamati, diketahui dan dipahami, baik keberadaannya maupun proses
timbul dan lenyapnya. Dengan cara seperti ini, kelima hal tersebut
tidak menimbulkan kebencian yang berlarut-larut, juga tidak memicu
munculnya keserakahan.

Ketika kelima hal tersebut dilihat, diperhatikan, diketahui, diamati dan


dipahami, sekalipun kelima hal tersebut muncul, kelima hal itu tidak
akan merintangi praktik. Saat kelima hal tersebut terus diamati, disadari
keberadaannya, kelima hal tersebut akan meredup, akan semakin kecil
skalanya. Jika semakin kecil, kehidupannya akan tampak semakin
sederhana, tetap semangat tetapi tidak mencari kesibukan. Berbicara
seperlunya sesuai dengan kebutuhan, dan tidak mencari celah,
mencari waktu, mencari kesempatan untuk bisa mengekspresikan diri.
Kalaupun istirahat atau tidur, dia akan tidur sesuai dengan kebutuhan
fisiknya dan bukan karena hasrat untuk memuaskan diri.

Salah satu ciri khas orang yang serius dalam praktik adalah semakin
menarik diri dari keramaian. Ini bukan karena kemauan tetapi karena
kebutuhan. Ini terjadi bukan karena diinginkan tetapi terjadi secara
otomatis. Dirinya akan menarik diri dari keramaian karena dirinya
menemukan kepuasan dalam dirinya sendiri. Ada kedamaian. Ada
ketenangan. Ada kebahagiaan sehingga semua itu tidak perlu dicari di
luar, di dalam keramaian, tetapi cukup melihat ke dalam.

Kondisi penarikan diri dari keramaian sering kali tidak bisa dipahami
oleh kebanyakan orang pada umumnya. Dampaknya, orang-orang
pada umumnya mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi,
mengapa tidak aktif, mengapa tidak seperti dulu lagi. Ketika seseorang

[75]
yang serius dalam praktik menarik diri dari keramaian, banyak
yang menuding telah terjadi suatu kesalahan, terjadi sesuatu yang
tidak wajar sehingga menimbulkan rasa malu, rasa tidak nyaman.
Pandangan semacam ini benar dari perspektif orang yang mengamati,
tetapi tidak demikian dari sisi orang yang mengalami. Masalahnya
adalah orang-orang yang tidak praktik, selalu mengharapkan sesuatu
berjalan secara konsisten, sementara orang-orang yang serius dalam
praktik memahami arti perubahan. Orang-orang yang tidak praktik
memegang persepsi tentang kekekalan (niccasaññā), sedang mereka
yang praktik memegang prinsip aniccasaññā.

Alasan lainnya, frase “viviceva kāmehi vivicca akusalehi dhammehi”


umumnya hanya dipahami terjadi pada saat seseorang sedang duduk
bermeditasi, memasuki jhāna pertama. Frase tersebut dapat dipahami
sebagai menghindarkan diri dari kepuasan nafsu indrawi yang bersifat
akusala dhamma atau tidak bermanfaat. Bagi orang-orang yang serius
dalam praktik, hal ini dialami dalam kehidupan sehari-hari. Sekali lagi
perlu dicatat, ini bukan karena kemauan atau keinginan. Ini otomatis
terjadi.

Karena keseriusan dalam praktik, dirinya akan dilindungi oleh dhamma


(dhammo have rakkhati dhammacāriṃ). Inilah yang menyebabkan
dirinya terhindar dari hal-hal yang sifatnya tidak baik, tidak bermanfaat
bagi perkembangan praktiknya. Kehidupan pada umumnya tidak
terlepas dari pemuasan nafsu indrawi, juga tidak terlepas dari hal-
hal yang tidak bermanfaat (akusala dhamma). Sedangkan, praktik
adalah untuk menghancurkan kemelekatan terhadap kesenangan
nafsu indrawi, hal-hal yang tidak bermanfaat. Oleh sebab itu, orang-
orang yang serius dalam praktik cenderung terhindar dari hal-hal
semacam itu, batinnya mengarah pada kebebasan batin. Hidupnya
akan diluangkan untuk mengamati mana kotoran batin yang telah
dilenyapkan, dan mana yang belum dihancurkan.
[76]
Sebagai penutup, dunia praktik adalah dunia yang fokus ke dalam
diri sendiri, melihat diri sendiri, mengamati diri sendiri. Dunia
praktik bukanlah dunia ke luar; bukan mengatamati orang lain, bukan
memperhatikan orang lain, juga bukan mengurusi orang lain. Oleh
karena itu, dunia praktik sering juga disebut sebagai dunia kontemplatif.
Dalam arti yang sebenarnya, kontemplasi tidak mungkin dilakukan
untuk tujuan ke luar, tetapi hanya untuk tujuan ke dalam diri sendiri.

[77]
Sedaka Sutta: Pengembangan Cinta Kasih
yang Sebenarnya

Umat Buddha tentu sering melakukan meditasi dengan cara


mengembangkan cinta kasih atau biasa disebut dengan istilah
mettābhāvana. Dalam praktik ini, metode yang biasanya dipakai
adalah dengan mengucapkan “semoga semua makhluk berbahagia”
dalam batin. Tujuan utama meditasi semacam ini adalah agar makhluk
lain berbahagia. Sering juga dikatakan, meditasi jenis ini bisa mengikis
kebencian. Benarkah dengan mengucapkan kata-kata semacam itu,
makhluk lain akan bahagia? Mungkinkah dengan ucapan semacam itu
semua makhluk akan bebas dari penderitaan?

Mengharapkan makhluk lain untuk berbahagia saat kita bermeditasi


tentu tidak ada salahnya. Sikap semacam itu bisa dikatakan sebagai
niat baik terhadap sesama makhluk hidup. Hanya saja, jika Sedaka
Sutta dicermati dengan jeli, cara yang benar untuk mengembangkan
cinta kasih bukan dengan mengucapkan kata-kata, tetapi melalui aksi
nyata.

Sedaka Sutta dibabarkan oleh Sang Buddha di kota Sedaka, sebuah


kota yang dihuni oleh suku Sumbha dan disampaikan di hadapan
para bhikkhu. Sutta ini terdapat dalam Saṃyutta Nikāya; dalam
urutan saṃyutta, sutta ini termasuk dalam Satipaṭṭhāna Saṃyutta atau
halaman 168, volume V, edisi Pāli Text Society.

Sebenarnya, sutta ini tidak panjang. Intinya sangat singkat, bertujuan


untuk mengingatkan pentingnya mengembangkan perlindungan pada
diri sendiri. Tampaknya, sutta ini dibabarkan karena persepsi yang
kurang tepat, suatu pandangan yang umum dianut oleh kebanyakan
orang. Kebanyakan orang berprinsip bahwa melindungi orang lain itu

[78]
penting, perlu diutamakan. Sebagaimana yang bisa dipahami dalam
sutta ini, cara tersebut kurang tepat.

Dalam sutta ini, Sang Buddha memulai ceramahnya dengan


menceritakan tentang seorang guru dan seorang murid. Keduanya
berprofesi sebagai pemain sirkus. Karena sirkus tersebut membutuhkan
keahlian dan keterampilan tersendiri, sang guru berpendapat bahwa
muridnya harus melindunginya, dan dia akan melindungi muridnya.
Dengan cara tersebut, permainan akan bisa dilakukan dengan baik,
keselamatan guru dan murid bisa terjamin.

Sang murid tidak serta merta mengikuti atau menuruti perintah


gurunya. Justru, dia memiliki pendapat lain. Menurutnya, setiap
pemain seharusnya tidak menghabiskan energi untuk memikirkan
keselamatan orang lain, tetapi fokus pada keselamatan masing-masing.
Dengan demikian, konsentrasinya tidak terpecah, antara memikirkan
dirinya sendiri dan juga pemain lain. Dengan fokus memikirkan
peranan yang harus dimainkan, justru di situlah dia akan bisa bermain
dengan sempurna.

Persis seperti metode yang diimplementasikan oleh sang murid,


demikian juga pengembangan kesadaran dipraktikkan. Saat seseorang
fokus dalam pengembangan kesadaran, fokus terhadap proses yang
terjadi dalam batin dan jasmaninya, di situlah seorang yogi telah
melindungi dirinya sendiri. Meski fokus pada dirinya sendiri, hanya
melihat dirinya sendiri, pada saat yang bersamaan, dia juga telah
melindungi orang lain. Oleh karena itu, Sang Buddha mengatakan
bahwa siapa pun yang melindungi diri sendiri, dia melindungi orang
lain, dan siapa pun yang melindungi orang lain, dia melindungi
diri sendiri (Attānaṃ, bhikkhave, rakkhanto paraṃ rakkhati, paraṃ
rakkhanto attānaṃ rakkhati).

Banyak orang yang berpikir, metode di atas adalah metode pasif,

[79]
metode tidak langsung sehingga dampaknya tidak efektif. Kalau jeli
melihat sutta ini, justru cara ini adalah metode yang sangat aktif, metode
yang sangat efektif. Dalam pandangan Sang Buddha, saat seseorang
mengembangkan kesadaran, melihat ke dalam dirinya sendiri, melihat
aktivitas batin dan jasmaninya, di situlah dia telah mengembangkan
kesabaran (khanti), sikap tidak bermusuhan dan tidak ingin melukai
(avihiṃsa), kasih sayang (mettā) dan juga simpati (anudaya).

Ketika seseorang selalu aktif dari waktu ke waktu melihat fenomena


batin dan jasmani yang terus menerus muncul, di situ dibutuhkan
kesabaran, diperlukan sikap bersahabat, kasing sayang dan juga simpati.
Tanpa adanya sifat-sifat tersebut, yang terjadi bukan hancurnya noda
batin, tetapi justru sebaliknya, noda batin akan terus berkembang biak,
beranak pinak. Ambillah contoh, kebencian muncul.

Ketika kebencian sedang muncul, lalu yogi menolaknya, tidak menyukai


kebencian tersebut karena dianggap kondisi negatif, tidak baik, yogi
tersebut akan berusaha keras untuk menyingkirkan, mengesampingkan
kebencian tersebut. Jika hal ini dilakukan, kebenciannya akan semakin
kuat, semakin bertambah. Yogi tersebut harus ingat pesan Sang Buddha:
Kebencian tidak akan berakhir jika dibalas dengan kebencian. Pesan
ini umumnya hanya diimplementasikan untuk kepentingan sosial.
Padahal, pesan tersebut akan jauh lebih efektif bila diimplementasikan
ke dalam diri masing-masing.

Ketika ada usaha untuk menyingkirkan, menghilangkan kebencian


yang sedang muncul, di situ ada kebencian, ada rasa tidak suka terhadap
kebencian yang sedang berproses. Jelas ini tidak akan menyelesaikan
masalah, tetapi justru memperumit masalah yang sudah ada. Apa yang
perlu dilakukan adalah mengembangkan kesabaran, kasih sayang,
simpati dan keinginan untuk tidak menyakiti. Artinya, apa yang
perlu dilakukan oleh sang yogi adalah melihat dan mengamati serta

[80]
mengetahui bagaimana kebencian tersebut berproses, bagaimana
kebencian tersebut muncul, bagaimana kebencian tersebut berkembang
dan pada akhirnya bagaimana kebencian tersebut lenyap.

Hanya dengan cara mengamati dan mengetahui kebencian akan lenyap


dan hancur sepenuhnya dan bukan tanpa mengetahui dan menyadari
(Jānato ahaṃ, bhikkhave, passato āsavānaṃ khayaṃ vadāmi, no
ajānato no apassato). Saat seorang yogi sekadar mengetahui dan
menyadari, di situ dia menunjukkan kasih sayangnya pada dirinya
sendiri, tidak memusuhi dirinya sendiri, sebab kebencian tersebut
adalah bagian dari kehidupannya, harta yang telah dia kumpulkan
sendiri selama ini. Kebencian tersebut bukanlah warisan dari leluhur,
bukan pemberian dari masyarakat sekitar, tetapi murni hasil kerja
kerasnya selama menjalani kehidupan ini.

Saat seseorang mengamati dan menyadari kebencian yang sedang


berproses, saat itu juga, dia tidak menyakiti siapa pun: Dia tidak
menyakiti dirinya sendiri, dia tidak menyakiti makhluk lain juga. Apa
yang dia lakukan adalah mengembangkan cinta kasih, kesabaran, sifat
tanpa permusuhan dan simpati baik bagi dirinya sendiri maupun bagi
orang lain.

Hanya orang-orang yang memiliki cinta kasih, kesabaran, sifat tanpa


permusuhan dan simpati pada dirinya sendiri, yang akan mampu
memberikan dan mengimplementasikan kesabaran, kasih sayang,
sifat tanpa permusuhan dan simpati kepada orang lain. Jika seseorang
tidak memiliki kesabaran, cinta kasih, sifat tanpa permusuhan dan
simpati kepada dirinya sendiri, tidak memungkinkan bagi dirinya
untuk memberikan dan mengimplementasikan kesabaran, cinta kasih,
sifat tanpa permusuhan dan simpati kepada orang lain. Dengan kata
lain, hanya orang-orang yang memiliki nasi, yang bisa memberikan
sesuap nasi kepada orang lain. Tanpa memiliki nasi, tidak mungkin

[81]
bagi orang tersebut bisa memberikan nasi kepada orang lain.

Itulah praktik pengembangan cinta kasih, kesabaran, sifat tanpa


permusuhan dan simpati sebagaimana terdapat dalam Sedaka Sutta.
Semoga ajaran ini bisa memberikan inspirasi dalam pengembangan
meditasi cinta kasih (mettābhāvana).

[82]
Yuganaddha Sutta: Empat Alternatif
Menuju Nibbāna

Yuganaddha Sutta, kadang juga disebut Yuganandha Sutta, adalah


sutta yang terdapat dalam Aṅguttara Nikāya. Sutta ini terdapat pada
halaman 157, Volume II, edisi Pali Texts Society. Secara tradisional,
sutta ini terdapat dalam Catukkanipāta atau Kelompok Empat.

Yuganaddha sutta dikhotbahkan oleh Y.M. Ānanda di Ghosita Ārāma,


Kosambi kepada para bhikkhu. Istilah “yuganaddha” dapat dipahami
sebagai “berpasangan”, karena tiga cara yang disebutkan adalah
berpasangan. Selain itu, cara ketiga secara spesifik menyebutkan
istilah “yuganaddha”.

Secara singkat, Yuganaddha Sutta dapat dikatakan sebagai kesaksian


Y.M. Ānanda, karena status istmewa beliau sebagai pembantu utama
Sang Buddha selama 25 tahun. Dalam rentang waktu tersebut, beliau
telah menyaksikan banyak fenomena, terutama interaksi Sang Buddha
dengan para bhikkhu dan bhikkhunī. Tentu, kesempatan seperti ini,
hak istimewa seperti ini, tidak dinikmati, juga tidak dimiliki oleh
bhikkhu lainnya, sekalipun Y.M. Sāriputta atau Y.M. Moggallāna.

“Āvuso, siapa pun bhikkhu atau bhikkhunī yang telah mendeklarasikan


pencapaian kearahatannya saat saya hadir, telah melakukannya
dengan menggunakan empat jalan ini (sabbo so catūhi maggehi) atau
salah satu dari keempat jalan ini (etesaṃ vā aññatarena).” Ini adalah
kalimat pembukaan yang diucapkan oleh Y.M. Ānanda. Kalimat
ini menunjukkan bahwa selama Y.M. Ānanda menjadi pembantu
utama Sang Buddha telah banyak bhikkhu dan bhikkhunī yang
mendeklarasikan pencapaian kearahatannya kepada Sang Buddha.
Deklarasi tersebut dilakukan tepat saat Y.M. Ānanda mendampingi

[83]
Sang Buddha.

Empat metode atau empat jalan tersebut adalah:

1. Mengembangkan vipassanā dengan didahului samatha


(samathapubbaṅgamaṃ vipassanaṃ bhāveti)

2. Mengembangkan samatha didahului vipassanā


(vipassanāpubbaṅgamaṃ samathaṃ bhāveti)

3. Mengembangkan samatha dan vipassanā secara bersamaan


(samathavipassanaṃ yuganaddhaṃ bhāveti)

4. Pikirannya terobesi oleh keraguan terhadap dhamma


(dhammuddhaccaviggahitaṃ mānasaṃ hoti).

Empat cara tersebut sungguh sangat menarik untuk dibahas karena


pada umumnya umat Buddha terjebak pada suatu pandangan bahwa
tanpa samatha, vipassanā tidak bisa dilakukan; samatha menimbulkan
kecanduan, vipassanā adalah jalan terbaik; tentu masih ada banyak
pandangan lainnya. Jika disimpulkan, pada umumnya umat Buddha
terjebak pada dikotomi antara samatha dan vipassanā. Samatha atau
vipassanā adalah satu-satunya jalan menuju pembebasan; tidak ada
jalan lain; tidak ada cara lain.

Karena setiap praktisi berusaha untuk mempertahankan pandangan


pribadi masing-masing, akhirnya umat Buddha pun sibuk
memperdebatkan cara yang mereka anggap terbaik, dan menyalahkan
cara yang ditempuh oleh orang lain. Padahal, menganggap pandangan
sendiri yang paling benar, dan pandangan orang lain salah, adalah sikap
yang bertentangan dengan Dhamma yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Sang Buddha mengizinkan untuk menganut suatu keyakinan, tetapi
tidak menganjurkan untuk mengambil keputusan akhir, kesimpulan
absolut (final conclusion): hanya ini yang benar yang lainnya salah

[84]
(idameva saccaṃ moghamaññaṃ).

Jika melihat apa yang disampaikan oleh Y.M. Ānanda, seorang praktisi
meditasi bisa melakukan meditasi dengan cara apa saja. Praktik
tersebut boleh saja dilakukan dengan cara mendahulukan samatha atau
vipassanā. Juga boleh saja, keduanya dilakukan secara bersamaan.
Tidak ada masalah sama sekali. Intinya, mana yang dianggap nyaman,
dianggap cocok dan mampu membawa perubahan, mampu membantu
untuk menghancurkan kotoran batin, itulah yang perlu dilakukan.

Dari laporan tersebut juga dapat dilihat bahwa tidak semua orang
bisa melakukan meditasi dengan cara yang sama. Semua memiliki
kecenderungan yang berbeda. Ada yang lebih senang untuk
mendapatkan ketenangan terlebih dahulu, baru dilanjutkan dengan
pandangan terang. Ada juga yang senang mendapatkan pandangan
terang terlebih dahulu baru kemudian mengembangkan ketenangan.
Namun, ada juga yang mengembangkan keduanya secara bersama-
sama. Apa pun cara yang dipilih, pada akhirnya mereka menjadi
arahat.

Seandainya samatha dan vipassanā masih dianggap kurang sanggup


menjadi jembatan untuk membebaskan diri dari saṃsāra, ada juga
yang menggunakan keraguan terhadap dhamma sebagai salah satu cara
untuk bermeditasi. Dalam penjelasan yang ada dalam sutta ini, jelas
cara ini di luar konteks samatha maupun vipassanā. Dalam praktiknya,
juga tidak ada teknik samatha atau vipassanā yang dipergunakan untuk
bisa mencapai pembebasan batin sepenuhnya.

Dengan jelas Y.M. Ānanda mengatakan bahwa ada bhikkhu yang


pikirannya terobsesi oleh keraguan terhadap dhamma. Dhamma dalam
konteks ini dapat diterjemahkan sebagai ajaran Sang Buddha maupun
fenomena yang terjadi dalam batin dan jasmani, namun kalau dicermati
dengan seksama, ajaran Sang Buddha pun intinya hanya tentang batin

[85]
dan jasmani serta segala fenomena yang terjadi di dalamnya. Ajaran
Sang Buddha tidak pernah keluar dari konteks tersebut. Karena itu,
keraguan terhadap dhamma adalah keraguan terhadap fenomena batin
dan jasmani.

Contohnya, kemarahan. Ketika kemarahan ini dilihat dalam konteks


fenomena, sang yogi tidak bisa melihat fenomena kemarahan
sebagaimana apa adanya. Dia akan selalu menyalahkan dirinya sendiri,
menyalahkan moralitasnya, menyalahkan orang lain, menyalahkan
kondisi yang ada dan sebagainya. Dia akan terjebak dalam logika
dan pemikiran yang tiada habisnya. Inilah yang dimaksud sebagai
keraguan terhadap dhamma.

Sekalipun dia terobsesi dengan kondisi pikiran yang seperti itu, ada
saatnya batinnya akan tenang. Batinnya mengalami kedamaian.
Pikirannya terkonsentrasi sepenuhnya. Mungkinkah hal ini terjadi?
Sangat memungkinkan. Pertama, hal ini bisa terjadi karena dia
tenggelam begitu hebat, pikirannya hanya terfokus pada fenomena
tersebut sehingga tercapailah konsentrasi yang sangat kuat. Kedua,
sehebat apapun pikiran mengembara, ada saatnya pikiran menjadi
lelah. Tidak ada bedanya seperti fisik kita, seaktif apa pun fisik
kita, pasti ada saatnya fisik ini butuh istirahat. Batin juga demikian.
Sekencang apapun pikiran berlari, pikiran pasti butuh waktu untuk
beristirahat.

Apakah karena alasan pertama atau kedua, keduanya bisa dijadikan


landasan untuk menemukan sang jalan. Jalan tersebut kemudian
dikembangkan, diperbanyak, diolah sehingga bisa muntun pada
pembebasan sepenuhnya. Cara ini pun tidak ada bedanya dengan cara
yang ditempuh dalam melakukan samatha atau vipassana.

Y.M. Ānanda telah memberikan kesaksian bahwa ada empat alternative


yang bisa dipergunakan untuk merealisasi Nibbāna. Manakah cara

[86]
yang terbaik? Yang tahu secara persis mana cara yang terbaik dari
empat cara tersebut adalah diri sendiri. Ketika seorang yogi merasa
cocok dan nyaman dengan yang pertama, belum tentu yogi yang lain
akan merasa cocok dengan caranya. Apa pun caranya, pilihlah cara
tersebut. Tekuni, kembangkan hingga maksimal sehingga bisa menjadi
jalan untuk mencapai pembebasan batin.

Selama menekuni cara yang kita pilih, tidak perlu mengkritik,


mencela, atau merendahkan cara yang ditempuh orang lain. Kita harus
menyadari bahwa cara yang kita tempuh hanyalah salah satu cara dan
masih ada tiga cara yang lainnya. Kalau kita tidak cocok dengan cara
pertama, bukan berarti cara tersebut tidak cocok untuk orang lain. Cara
tersebut bisa saja tidak cocok untuk kita, tetapi mungkin cara tersebut
adalah cara yang terbaik bagi orang lain. Karena itu, yang terbaik
jalanilah cara yang kita pilih. Majulah dengan pilihan kita sehingga
kita benar-benar bisa menjadi manusia yang terbebaskan, dan bukan
manusia yang terbelenggu oleh teori ini atau itu.

Selamat berjuang dengan cara yang dipilih. Meski cara tersebut belum
tentu cocok untuk saya, saya yakin cara tersebut adalah cara yang
terbaik bagi Anda untuk berjuang. Saya yakin cara tersebut adalah
cara yang tepat bagi Anda untuk mengakhiri dukkha.

[87]
Siṃsapā Sutta: Ajaran yang Bermanfaat

Siṃsapā Sutta adalah salah satu sutta dalam Saṃyutta Nikāya. Secara
saṃyutta, sutta ini terletak dalam Sacca Saṃyutta, dalam Mahāvagga.
Dalam edisi PTS, sutta ini terletak pada halaman 437, Volume V. Sutta
ini diberi nama “siṃsapā” karena sutta ini dikhotbahkan di hutan
siṃsapā oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu.

Jika dalam berbagai sutta, dapat ditemukan ekspresi bahwa dhamma


telah dijelaskan dalam berbagai cara oleh Sang Buddha (evamevaṃ
bhagavatā anekapariyāyena dhammo pakāsito), apa yang terdapat dalam
Siṃsapā Sutta adalah salah satunya. Sang Buddha bisa menggunakan
apa saja yang ada saat itu sebagai media untuk menjelaskan Dhamma.
Dengan demikian, yang mendengarkan akan mudah memahami apa
yang disampaikan oleh Sang Buddha.

Saat Sang Buddha berada di hutan siṃsapā yang terletak di Kosambi,


Sang Buddha mengambil segenggam daun. Sang Buddha lalu bertanya
kepada para bhikkhu, “Mana yang lebih banyak, yang ada di dalam
genggaman tangan saya atau yang ada di hutan?” Apa yang dilakukan
oleh Sang Buddha hanyalah sebagai cara untuk menarik perhatian para
bhikkhu. Tujuannya agar para bhikkhu memperhatikan sepenuhnya
kepada Sang Buddha.

Mendapatkan pertanyaan dengan contoh yang konkrit, para bhikkhu


yang ada saat itu langsung menjawab bahwa daun yang ada dalam
genggaman tangan Sang Buddha lebih sedikit, sementara daun yang
ada di hutan jumlahnya jauh lebih banyak. Mendapatkan respons yang
positif, Sang Buddha pun langsung menjelaskan bahwa apa yang
Beliau ajarkan pun tidak ada bedanya seperti itu.

Sesungguhnya, apa yang diajarkan oleh Sang Buddha dapat

[88]
dibandingkan dengan dedaunan yang ada dalam genggaman tangan-
Nya. Sementara yang tidak diajarkan dapat diibaratkan seperti
dedaunan yang ada di hutan. Perumpamaan ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya pengetahuan yang dimiliki oleh Sang Buddha sungguh
luar biasa. Jika dibandingkan, tentu apa yang ada dalam genggaman
tangan Sang Buddha tidak ada satu persennya dari seluruh dedaunan
yang ada di hutan siṃsapā.

Dari seluruh pengetahuan yang dimiliki, apa yang diajarkan hanyalah


tentang dukkha, sebab dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan menuju
lenyapnya dukkha. Pengetahuan lainnya tidak diajarkan karena
dianggap tidak bermanfaat, tidak ada kaitannya dengan kehidupan
brahmacariya; jika diajarkan tidak akan menimbulkan pemahaman
terhadap penghancuran kotoran batin, tidak menimbulkan kedamaian
batin, tidak memicu munculnya pengetahuan secara langsung, juga
tidak bisa mengondisikan perealisasian Nibbāna.

Empat kebenaran mulia yang diajarkan oleh Sang Buddha memberikan


manfaat secara nyata, dan ada kaitannya dengan kehidupan brahmacari.
Jika diajarkan akan mampu menimbulkan pemahaman terhadap
penghancuran kotoran batin, menimbulkan kedamaian, munculnya
pengetahuan secara langsung, dan juga terealisasinya Nibbāna.

Jika berpedoman pada sutta ini, dapat disimpulkan bahwa apa yang
diajarkan oleh Sang Buddha adalah untuk memahami dukkha, untuk
melenyapkan sebab dukkha, merealisasi Nibbāna dan mempraktikkan
jalan mulia berunsur delapan. Apa pun ajarannya atau teorinya, apa
pun caranya atau metodenya, sepanjang ajaran dan teori tersebut
berfungsi secara langsung untuk kepentingan tersebut, tidak perlu
diperdebatkan, tidak perlu dipermasalahkan. Bahkan, diberi label
sekalipun tidak perlu, dan tidak dibutuhkan sama sekali.

Apa pun yang diajarkan oleh Sang Buddha, tujuannya hanyalah untuk

[89]
bisa membebaskan manusia dari penderitaan secepatnya, tanpa perlu
ditunda hingga besok atau bahkan dalam kehidupan yang akan datang.
Oleh karena itu, ketika ada yang datang kepada Sang Buddha dengan
berbagai permasalahan yang ada, Sang Buddha akan berbicara secara
langsung yang bertujuan untuk membuat orang tersebut bebas dari
penderitaan, tanpa perlu menganalisis masalah yang dihadapi hingga
dalam kehidupan yang lampau.

Penderitaan adanya saat ini. Demikian juga kebahagiaan. Jika


penderitaan adanya saat ini, berarti memungkinkan untuk menghentikan
penderitaan tersebut saat ini. Sang Buddha tidak ingin bertele-tele,
mengulur penderitaan orang lain. Sang Buddha mengharapkan agar
orang yang menderita bisa bebas dari penderitaan sesegera mungkin.
Semua ini adalah wujud kasih sayang Sang Buddha yang tiada taranya
kepada dunia ini, kepada makhluk-makhluk yang tercengkeram
dalam roda saṃsāra. Hanya saja, kebanyakan orang tidak paham,
tidak mengerti, juga tidak menyadari akan hal ini sehingga sekalipun
Sang Buddha telah mengupayakan sekuat tenaga untuk membebaskan
orang-orang yang terjebak dalam lumpur penderitaan, orang-orang
yang menderita tetap santai bermain dalam lumpur. Mereka asyik
berkubang dalam dekilnya lumpur, bahkan tidak jarang saling
melempar lumpur antara satu dengan yang lainnya, dengan harapan
yang lain pun ikut kotor seperti dirinya.

Mengingat besarnya kasih sayang yang dicurahkan oleh Sang Buddha,


mereka yang mengaku sebagai umat Buddha seharusnya berjuang
dengan kesungguhan, serius mempraktikkan apa yang diajarkan
oleh Sang Buddha. Bukan sebaliknya, hanya bangga beretorika,
tanpa praktik yang nyata. Sendok bisa saja berbangga diri karena
dipergunakan untuk mengolah makanan yang paling lezat, tetapi
apalah artinya makanan yang paling lezat jika sendok tersebut tidak
bisa merasakan nikmatnya makanan tersebut.
[90]
Umat Buddha seharusnya tidak hanya bangga terhadap kemewahan,
keagungan ajaran agama Buddha, tetapi menjadi praktisi yang nyata,
menyelaminya dengan seksama, sehingga keindahan ajaran Sang
Buddha tidak hanya sebatas kalimat pemanis bibir. Sungguh sangat
disayangkan jika ajaran yang telah diperjuangkan sedemikian rupa,
hanya dipergunakan sebagai pemanis bibir.

Semoga sutta ini bisa memberikan inspirasi untuk terus praktik.

[91]
Gavampati Sutta: Pemahaman Empat
Kebenaran Mulia

Gavampati Sutta adalah salah satu sutta dalam Saṃyutta Nikāya.


Sutta ini terdapat dalam Sacca Saṃyutta, saṃyutta terakhir dalam
Mahāvagga. Dalam edisi PTS, sutta ini berada di halaman 436, Volume
V. Sutta ini tepat berada sebelum Siṃsapā Sutta.

Nama gavampati disematkan sebagai nama sutta ini karena yang


menjadi tokoh atau pemberi wejangan adalah Y.M. Gavampati. Sutta
ini dapat digolongkan sebagai sutta yang unik dan original. Alasannya,
sebagaimana yang dituturkan oleh Bhikkhu Bodhi dalam komentarnya,
sutta ini tidak ada persamaannya dalam Nikāya atau Sutta Pitaka.
Hanya saja, sutta ini dikutip dalam Kathavatthu dan Visuddhimagga
sebagai referensi bahwa pemahaman dilakukan secara menyeluruh
dan tidak sebagian saja.

Dalam sutta ini dituturkan bahwa ketika para bhikkhu telah pulang dari
piṇḍapata dan menyantap makan siang, mereka berkumpul di pavilium
yang ada di Sahajāti. Saat mereka berkumpul itulah seorang bhikkhu
bertanya, “Para Āvuso, apakah orang yang melihat penderitaan juga
melihat sebab penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan menuju
lenyapnya penderitaan?”

Dalam kesempatan tersebut, hadir pula Y.M. Gavampati. Beliau


adalah salah satu murid paling awal, sahabat Y.M. Yasa. Mendengar
pertanyaan tersebut, Y.M. Gavampati memberikan penjelasan. Untuk
menyingkirkan keraguan dan demi meyakinkan para bhikkhu yang
hadir, Y.M. Gavampati mengutip bahwa penjelasan tersebut dipelajari
dan didengar di hadapan Sang Buddha.

Dalam penjelasannya, Y.M. Gavampati mengatakan bahwa orang yang

[92]
melihat dukkha, pasti melihat sebab dukkha, lenyapnya dukkha dan
jalan menuju lenyapnya dukkha. Orang yang melihat sebab dukkha
juga melihat dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan menuju lenyapnya
dukkha. Prinsip ini juga berlaku bagi orang yang melihat lenyapnya
dukkha atau jalan menuju lenyapnya dukkha.

Inti dari pernyataan Y.M. Gavampati, apa pun yang dilihat, tiga
aspek yang lainnya pasti dilihat dengan sempurna. Dengan kata lain,
seseorang tidak bisa hanya melihat dukkha saja, atau sebab dukkha
atau lenyapnya dukkha atau jalan menuju lenyapnya dukkha. Empat
aspek tersebut adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Karena itu,
terpahaminya satu aspek semua aspek yang lainnya akan terpahami
juga.

Melihat sutta ini, dapat disimpulkan bahwa ajaran Sang Buddha


adalah ajaran yang menyeluruh, ajaran yang terintegrasi antara satu
dengan yang lainnya. Satu praktik memiliki keterkaitan dengan
praktik yang lainnya. Satu praktik tidak bisa dipisahkan sendiri,
atau tidak dikaitkan dengan praktik yang lainnya. Jika ajaran-ajaran
yang ada bisa dipisahkan, pemisahan tersebut hanya dapat dilakukan
di level akademik, level intelektual. Sementara di level praktik, hal
semacam itu tidak bisa dilakukan sama sekali. Karena itu, ketika
seseorang mempraktikkan secara salah salah satu ajaran, seluruh
ajaran dipraktikkan secara salah pula. Jika dipraktikkan dengan benar,
seluruh ajaran pun dipraktikkan dengan benar.

Jika mengacu pada Siṃsapā Sutta, bahwa apa yang diajarkan oleh
Sang Buddha hanyalah tentang empat kebenaran mulia, berarti dāna,
hukum kamma, paṭiccasamuppāda dan yang lainnya, juga masih
dalam konteks empat kebenaran mulia, dan tidak di luar konteks
tersebut. Dengan kata lain, memahami satu ajaran apa pun, jika
dilakukan dengan keseriusan, sama artinya memahami seluruh ajaran

[93]
yang diajarkan oleh Sang Buddha.

Dengan menjadikan sutta ini sebagai bahan pertimbangan, seandainya


ada yang ingin menekuni satu ajaran saja secara serius, sebenarnya
dia telah mempelajari seluruh ajaran tanpa pengecualian. Oleh
karena itu, apa pun yang dipelajari, pelajarilah dengan keseriusan,
dengan seksama. Apa pun yang dipraktikkan, praktikkanlah
dengan kesungguhan sehingga bisa mendapatkan manfaat terbaik
demi tercapainya kebahagiaan tertinggi, bebas dari roda saṃsāra
sepenuhnya.

[94]
Ciraṃ tiṭṭhatu saddhammo!

Anda mungkin juga menyukai