S. Dhammasiri
Catatan:
1. Buku ini dapat dibagikan atau disebarluaskan dengan cara apa pun
dan untuk keperluan apa pun tanpa perlu meminta izin dari penulis.
Sutta ini disampaikan oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu. Karena
itu, isinya pun secara spesifik, ditujukan untuk para bhikkhu atau mereka
yang telah menjalani kehidupan monastik. Namun, tidak ada salahnya
jika sutta ini juga dijadikan referensi untuk membangkitkan semangat
bagi khalayak umum. Artinya, sutta ini juga bisa diimplementasikan
oleh mereka yang tidak menjalani kehidupan monastik.
Dalam sutta ini, disebutkan ada tiga jenis otoritas atau lebih
tepatnya, tiga landasan berpikir. Ketiga hal tersebut adalah diri
sendiri (attādhipateyya), dunia (lokādhipateyya) dan ajaran
(dhammādhipateyya). Bagaimana ketiga hal ini bisa dijadikan
landasan berpikir dalam praktik?
[1]
nyaman, dia tidak akan betah untuk mengenakan jubah yang kasar,
juga akan protes saat mendapatkan makanan yang tidak sesuai dengan
seleranya. Demikian juga, dia akan menjadi gusar saat mendapatkan
tempat tinggal yang dianggap kurang layak.
Bukan hanya karena alasan itu saja, melainkan juga perlu diingat
bahwa menjalani kehidupan monastik bukan untuk menjadi ini
atau itu (itibhavābhavahetu). Saat seseorang berpikir bahwa dirinya
menjalani kehidupan monastik agar bermanfaat bagi masyarakat, bisa
membantu masyarakat, bisa melakukan aktivitas sosial, menduduki
posisi ini atau itu, atau menjadi penasihat atau orang yang lebih tinggi,
dirinya akan sibuk dengan aktivitas-aktivitas yang sifatnya duniawi,
melupakan kepentingan pribadinya sendiri atau mengabaikan tugas
utama yang seharusnya dilakukan.
[2]
Sang Buddha menekankan bahwa menjalani kehidupan monastik
adalah karena alasan dirinya masih terjebak dalam kelahiran, usia
tua, kematian, penderitaan, ratap tangis dan keluh kesah. Karena itu,
sangat penting untuk mengakhiri siklus penderitaan ini secepatnya,
tanpa perlu ditunda dengan berbagai alasan. Ini adalah tugas utama
mereka yang menjalani kehidupan monastik.
[4]
Dhamma yang dibabarkan oleh Sang Buddha dapat dialami secara
langsung, di sini dan saat ini juga, kapan saja sepanjang ada usaha,
ada semangat untuk mempraktikkannya. Dhamma tersebut telah
dibuktikan oleh murid-murid Sang Buddha dari zaman dahulu hingga
sekarang. Oleh sebab itu, tidak ada alasan baginya untuk bermalas-
malasan dalam berlatih, tidak perlu pula berdalih dengan berbagai
cara agar bisa menghindarkan diri dari tugas utama sebagai seorang
murid Sang Buddha.
Itulah tiga landasan berpikir agar seseorang giat dan bisa terus
mempertahankan usahanya dalam latihan. Dengan adanya latihan
secara terus menerus, dengan adanya perjuangan tanpa henti, dia
mampu meninggalkan apa yang tidak baik, mengembangkan sifat-
sifat luhur, dirinya menjadi manusia yang tidak layak lagi dicela,
tetapi justu layak untuk dipuji. Apa pun yang dicapai, paling tidak, dia
telah berusaha untuk menjadi yang terbaik, baik bagi dirinya sendiri
maupun bagi semua makhluk di dunia ini.
Semoga dengan tiga landasan berpikir ini, kita semua selalu konsisten
untuk berjuang, berlatih tanpa henti, apa pun status kita, apakah
perumah tangga atau mereka yang telah meninggalkan kehidupan
rumah tangga karena pada dasarnya, semua adalah murid Sang
Buddha.
[5]
Anuruddha Sutta: Memahami Pengalaman
dari Perspektif yang Benar
[6]
melampaui mata manusia, saya menyurvei alam semesta; semangat
selalu membara tanpa henti. Perhatian kokoh tanpa kebingungan.
Tubuh saya tenang tanpa gangguan; pikiran terkonsentrasi dengan
baik. Tetapi mengapa pikiran saya masih juga belum terbebaskan?”
Inilah pernyataan dan pertanyaan Y.M. Anuruddha.
[7]
orang lain? Baik dalam sutta maupun Kitab Komentar, tidak ada
indikasi akan hal tersebut.
[8]
tidak dirasakan, batin bertambah menderita, merasa tidak memiliki
kemampuan untuk berlatih. Dalam kondisi semacam itu, muncullah
berbagai pertanyaan, “Apa yang kurang dari latihan ini?”, “Apa yang
salah dari latihan ini?”, “Mengapa saya tidak sukses?”, “Mengapa
yang lain begitu mudah?”, “Kapan saya bisa sukses?”
[9]
Buddha.
Inti atau pesan yang disampaikan dalam sutta ini adalah bahwa kita
perlu praktik dengan baik; berjuang dengan kesungguhan. Tidak ada
larangan untuk memiliki pengetahuan ini atau itu, tetapi kita pun harus
memahami bahwa tujuan akhir dari praktik adalah melepaskan semua
belenggu, semua kotoran batin tanpa sisa. Untuk bisa melepaskan
semua belenggu, menghancurkan semua kotoran batin, harus ada
keberanian untuk melepaskan diri dari obsesi terhadap pencapaian
yang ada, juga pencapaian yang belum dicapai. Dalam bentuk apa pun,
obsesi atau keingian untuk bisa bebas adalah juga belenggu dalam
praktik. Semoga sutta ini bisa menyadarkan, meningkatkan praktik
hingga tercapai kebebasan yang sebenarnya.
[10]
Anuruddhamahāvitakka Sutta: Delapan
Pemikiran Manusia Agung
Narasi yang ada dalam sutta ini hanya mengatakan bahwa ketika
Y.M. Anuruddha sedang sendirian, muncullah serangkaian pemikiran.
Namun, Kitab Komentar menjelaskan bahwa pada akhir masa vassa
pertama Y.M. Anuruddha telah mampu mencapai tingkat meditasi
yang tinggi dan mendapatkan mata deva (dibbacakkhu). Setelah
mendapatkan nasihat dari Y.M. Sāriputta, beliau menyendiri dan
melakukan meditasi jalan selama delapan bulan. Karena lelah, beliau
beristirahat dan muncullah serangkaian pemikiran tersebut.
[11]
orang yang memiliki banyak keinginan adalah bebasnya diri dari
keingin untuk dikenal atau menjadi populer. Popularitas seorang
bhikkhu dapat dicapai karena praktiknya yang ada kaitannya secara
langsung dengan delapan pemikiran manusia agung. Karena itu,
ketika hidup dengan sedikit keinginan, puas, hidup dalam kesunyian,
bersemangat, memiliki kesadaran, bisa berkonsentrasi, bijaksana dan
tidak terjebak dalam proliferasi, tidak ada keinginan untuk dikenal
atau diketahui oleh orang lain mengenai hal-hal tersebut. Sebenarnya,
keinginannya untuk dikenal karena hal-hal tersebut adalah bentuk
kesombongan. Keinginan tersebut juga merupakan manifestasi dari
bhavataṇha. Keinginannya juga bisa menyeretnya untuk terjebak
dalam berbagai aktivitas yang sering kali berseberangan atau tidak
kondusif untuk praktiknya.
Yang kedua, Dhamma ini adalah untuk orang yang puas dan bukan
untuk orang yang tidak puas (santuṭṭhassāyaṃ dhammo, nāyaṃ
dhammo asantuṭṭhassa). Dalam penjelasan-Nya kepada para bhikkhu,
Sang Buddha mengatakan bahwa apa yang dimaksud dengan merasa
puas adalah puas dengan empat kebutuhan pokok yang didapatkan.
Bhikkhu tersebut tidak komplain atas apa yang diterimanya.
[12]
Dhamma ini adalah untuk orang yang bersemangat dan bukan untuk
orang yang malas (āraddhavīriyassāyaṃ dhammo, nāyaṃ dhammo
kusītassa). Ini adalah rangkaian pemikiran selanjutnya yang muncul
dalam diri Y.M. Anuruddha. Memiliki semangat berarti giat, tekun dan
ulet untuk melepaskan dan menghancurkan sifat-sifat buruk yang ada
dan mengembangkan sifat-sifat baik yang ada serta memunculkan yang
belum ada. Perlu diingat bahwa sebelum seseorang menyelesaikan
tugasnya hingga menjadi seorang arahat, dia belum menghancurkan
seluruh sifat buruknya. Juga belum mengembangkan sifat baiknya
secara maksimal.
Yang kelima, Dhamma ini adalah untuk orang yang kesadarannya kokoh
dan bukan untuk orang yang kesadarannya lemah (upaṭṭhitassatissāyaṃ
dhammo, nāyaṃ dhammo muṭṭhassatissa). Memiliki sati yang kokoh
berarti mengembangkan empat perhatian murni. Di sisi lain, memiliki
sati yang kokoh juga dapat dipahami sebagai memiliki ingatan akan
apa yang telah dilakukan atau dibicarakan sejak lama.
Dhamma ini adalah untuk orang yang bijaksana dan bukan untuk orang
yang bodoh (paññavato ayaṃ dhammo, nāyaṃ dhammo duppaññassā).
Memiliki kebijaksanaan dalam pandangan Buddhis bukan berarti
memiliki segudang pengetahuan atau telah membaca seluruh Tipiṭaka.
[13]
Apa yang dimaksud dengan kebijaksanaan adalah kemampuan untuk
melihat muncul dan lenyapnya fenomena atau Dhamma. Dengan
kemampuan ini, seseorang akan mampu mengakhiri penderitaan dan
mendapatkan kebahagiaan sejati.
Dengan kondisi batin yang tenang dan puas, setiap suapan akan
[14]
tampak seperti piring bersih yang mengkilat seperti habis dicuci.
Pohon yang dipergunakan untuk tempat tinggal akan tampak seperti
rumah yang kokoh, dan sangat indah. Tempat tidur dan tempat duduk
yang terbuat dari rerumputan akan tampak seperti tempat tidur dan
tempat duduk yang dilapisi permadani, juga dihiasi dengan kanopi
yang begitu mengagumkan. Obat-obatan yang terbuat dari urin sapi
yang difermentasikan akan terasa seperti obat mewah bagi perumah
tangga.
Jika dalam beberapa sutta yang telah dibahas terdahulu, telah dibutkan
beberapa cara untuk merealisasi Nibbana, dalam sutta ini, Sang Buddha
kembali menunjukkan cara baru. Cara tersebut adalah perenungan
terhadap delapan pemikiran manusia agung. Ketika dipraktikkan
[15]
dengan baik, Y.M. Anuruddha pun mampu menyelesaikan tugasnya
sebagai bhikkhu. Beliau menjadi murid sejati Sang Buddha.
[16]
Aṭṭhakanāgara Sutta: Banyak Jalan Menuju
Nibbāna
[17]
Sutta ini diceramahkan atas pertanyaan Dasama. Pertanyaannya
adalah apakah ada satu hal yang telah dideklarasikan dan dinyatakan
oleh Sang Buddha bahwa jika seorang bhikkhu rajin, ulet, dan mau
berjuang, pikirannya yang tidak terbebaskan menjadi terbebaskan,
kotoran batinnya yang belum dihancurkan menjadi dihancurkan,
merealisasi kebebasan batin yang belum direalisasi sebelumnya.
Apa yang dijelaskan oleh Y.M. Ānanda adalah bahwa setiap rūpajhāna,
yaitu jhāna pertama hingga keempat, dapat dipergunakan untuk
merealisasi Nibbāna. Caranya, para yogi perlu mencapai suatu jhāna,
misalnya jhāna pertama. Setelah memasuki atau mencapai jhāna
pertama dia harus menyadari dan memahami bahwa jhāna pertama
tersebut sifatnya terkondisi (abhisaṅkhata) dan dapat dicapai karena
adanya niat (abhisañcetayita). Apa pun yang terkondisi dan dihasilkan
oleh niat sifatnya tidak kekal dan pasti berubah. Dengan pemahaman
semacam itu, seluruh kotoran batinnya akan hancur. Dengan kata
lain, pemahamannya bahwa jhāna pertama sifatnya terkondisi dan
dicapai atas dasar niat, mampu membuatnya menyelesaikan seluruh
tugasnya sebagai seorang manusia dengan sempurna. Nibbāna,
kebahagiaan tertinggi, direalisasi melalui pemahaman terhadap sifat
atau karakteristik jhāna pertama.
[18]
terkikis secara sempurna dan masih menyisakan lima belenggu yang
lebih halus. Y.M. Ānanda menjelaskan bahwa lima belenggu sisanya
akan dilenyapkan dalam kehidupan selanjutnya.
[19]
dapat dilenyapkan sepenuhnya dan menyisakan lima belenggu yang
lebih halus.
Caranya pun tidak ada bedanya. Suatu jhāna harus dicapai dan
kemudian disadari dan dipahami sifatnya sehingga bisa menjadi
landasan untuk merealiasasi Nibbāna. Dalam komentarnya,
Bhikkhu Bodhi mengatakan bahwa arūpajhāna yang terakhir
(nevasaññānāsaññāyatana) tidak disebutkan karena terlalu halus untuk
disadari dan dipahami. Namun, dalam Jhāna Sutta, yang terdapat dalam
Aṅguttara Nikāya, Sang Buddha mengatakan bahwa lenyapnya kotoran
batin dapat terjadi karena tergantung pada sembilan hal. Sembilan hal
tersebut adalah empat rūpajhāna, tiga arūpajhāna yang disebutkan di
atas. Selain itu, ditambah pula dengan nevasaññānāsaññāyatana dan
saññāvedayitanirodha (nevasaññānāsaññāyatanampāhaṃ, bhikkhave,
nissāya āsavānaṃ khayaṃ vadāmi; saññāvedayitanirodhampāhaṃ,
bhikkhave, nissāya āsavānaṃ khayaṃ vadāmi). Hanya saja, dalam
menutup sutta ini, Sang Buddha mengatakan bahwa keduanya hanya
bisa dilakukan oleh mereka yang mahir dalam memasuki dan keluar
dari kedua kondisi tersebut.
[20]
Itulah sebelas cara yang dapat dipergunakan untuk merealisasi
Nibbāna. Jika ditambah dengan nevasaññānāsaññāyatana dan
saññāvedayitanirodha, berarti ada tiga belas. Ini artinya, jalan
ke Nibbāna terbuka lebar, bisa melalui mana saja, dan bisa
menggunakan cara apa saja yang dianggap cocok dan sesuai dengan
kebutuhan dan kesukaan masing-masing individu. Bagi yang ingin
merealisasi Nibbāna melalui salah satu rūpajhāna atau arūpajhāna
atau saññāvedayitanirodha atau empat brahmavihāra, dengan cara
memahami dan menyadari sifat jhāna yang terkondisi dan berdasarkan
niat atau memahami dan menyadari pañcakkhandha yang sifatnya
anicca, dukkha dan anattā, tidak ada masalah sama sekali.
[22]
Bhikkhunī Sutta: Antara Melawan dan
Memutuskan
Bhikkhunī Sutta adalah salah satu sutta yang terdapat dalam Aṅguttara
Nikāya. Secara tradisional, sutta ini terletak di Catukkanipāta atau
Buku Kelompok Empat. Dalam edisi modern atau edisi Pali Texts
Society, sutta ini terdapat pada halaman 144, Volume II.
[23]
kalimat yang diucapkan oleh Y.M. Ānanda adalah “Saudari, tubuh
ini terbentuk dari makanan” (āhārasambhūto ayaṃ, bhagini, kāyo).
Kalimat ini juga berlaku untuk tiga hal lainnya: taṇhā, māna dan
methuna. Merujuk arti yang lebih luas ini, tidak mengherankan jika
istilah kāya juga dipergunakan untuk merujuk batin dan jasmani
sebagaimana ditunjukkan dalam istilah sakkāyadiṭṭhi. Sakkāyadiṭṭhi
adalah pandangan salah yang meliputi badan jasmani, perasaan,
persepsi, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran.
Dalam artian yang luas, istilah āhāra bisa ditafsirkan untuk mengacu
pada empat jenis makanan: makanan yang kita makan (kabaḷiṅkāhāra),
kontak indria (phassāhāra), kontak pikiran (manosañcetanāhāra), dan
kesadaran (viññāṇāhāra). Dalam sutta ini, Y.M. Ānanda menggunakan
istilah āhāra untuk mengacu makanan yang dimakan.
Jika makan berdasarkan rasa suka dan tidak suka, cara makan tersebut
masih diliputi oleh keinginan. Cara makan seperti inilah yang terus
[24]
memupuk kebencian, mengembangkan keserakahan dan menyuburkan
kebodohan. Keserakahan, kebencian dan kebodohan tidak hanya
muncul dari hal-hal yang sangat kompleks, rumit dan tak terjangkau,
tetapi muncul dari setiap lini kehidupan, yang tampak sangat sepele
dan terlihat tak berarti.
Jika makan bukan lagi berdasarkan rasa suka dan tidak suka, tetapi
sekadar untuk menghilangkan rasa lapar yang telah muncul, untuk
mempertahankan kelangsungan hidup, cara makan seperti inilah
yang disebut sebagai makan berdasarkan kebutuhan. Jika makan
berdasarkan kebutuhan, cara makan tersebut tidak akan menimbulkan
penderitaan, tidak akan menimbulkan penyakit. Memahami kebutuhan
untuk makan akan membuat bebas dari celaan orang lain.
[25]
didapatkan dalam kehidupan ini.
[26]
ini karena yang diajak bicara adalah sesama orang yang telah bertekad
untuk meninggalkan kehidupan rumah tangga. Sesuai dengan
kesepaktan yang ada, salah satu tindakan yang tidak boleh dilakukan
adalah hubungan seksual. Hubungan seksual akan menyebabkan
bhikkhu atau bhikkhunī tidak lagi valid menyebut dirinya sebagai
bhikkhu dan bhikkhunī. Karena itu, tindakan ini harus dihindari secara
total, persis seperti jembatan yang dihancurkan.
Dari empat poin di atas, tiga poin pertama dapat dihancurkan dan
dilawan dengan menggunakan poin tersebut itu sendiri. Dengan kata
lain, makanan dapat dikonter dengan makanan, nafsu keinginan dapat
diperangi dengan nafsu keinginan, kesombongan dapat dipadamkan
[27]
dengan kesombongan. Sedangkan, hubungan seksual harus
diputuskan dan dihancurkan secara total. Artinya, hubungan seksual
tidak bisa dilawan dengan hubungan seksual. Hubungan seksual harus
dihancurkan secara total karena hubungan seksual adalah puncak
dari kāmataṇhā, rāga, lobha. Dengan memutuskan hubungan seksual
diharapkan praktik akan dapat maju jauh lebih cepat, praktik pun akan
jauh lebih efesien.
[28]
Cūḷagosiṅga Sutta: Membangun
Kebersamaan, Maju dalam Praktik
[29]
yang mengambil jubah mangkuk-Nya, ada yang mengambil air untuk
membasuh kaki dan ada pula yang sibuk mempersiapkan tempat
duduk.
Sikap perilaku seperti itu penting, sebab banyak orang yang bermuka
dua. Mereka hanya baik saat sahabatnya ada, tetapi begitu mereka pergi,
mereka tidak ada, mereka membicarakan kejelekannya, bahkan tidak
[30]
jarang yang dengan sengaja membeberkan kejelekan dan kekurangan
sahabatnya. Inilah tipe orang-orang yang munafik, bibirnya tersenyum
manis tetapi pikirannya kotor, penuh trik dan intrik. Mereka bertiga
adalah orang-orang yang bebas dari trik dan intrik. Mereka adalah
orang-orang yang jujur, apa adanya, dan tidak munafik. Karena itu,
tidaklah berlebihan ketika mereka menganggap bertemu orang-orang
seperti mereka adalah sebuah keberuntungan.
[31]
Saling pengertian semacam itu tidak hanya terjadi di ruang makan.
Mereka juga melakukannya di tempat lain. Siapa pun yang mengetahui
ada tempat air yang telah berkurang atau kosong, mereka akan
mengisinya. Seandainya ada yang membutuhkan bantuan, mereka
hanya melambaikan tangan, tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Setiap lima hari sekali, barulah mereka akan berbicara saat sedang
berdiskusi dhamma sepanjang malam.
[32]
juang orang tersebut.
[33]
ego, hilangnya rasa bangga karena merasa lebih tinggi dan mampu
merendahkan orang lain, timbul rasa nyaman dan rasa percaya diri.
Yang sanggup melakukan hal ini hanyalah seorang sahabat dan bukan
seorang musuh. Karena itu, berbahagialah ketika mampu menemukan
seorang sahabat dalam berjuang untuk menyeberangi samudera
saṃsāra.
[34]
Dutiyalokadhamma Sutta: Delapan Sifat
Dunia
Sebenarnya, ada dua sutta yang memiliki nama yang sama, sehingga
sutta yang pertama diberi nama Paṭhamalokadhamma, dan yang kedua
diberi nama Dutiyalokadhamma. Secara umum, sutta ini memuat tema
yang sama, namun sutta kedua memuat penjelasan yang lebih detail.
[35]
keduanya tidak ada bedanya? Keduanya dapat dikatakan sama dalam
artian bahwa keduanya tidak bisa terlepas dari delapan sifat duniawi
ini. Hanya saja, mereka memiliki cara yang berbeda dalam merespons
delapan sifat duniawi ini.
[36]
Karena memahami sebagaimana apa adanya, ariyasāvaka tidak
menganggap keuntungan, ketenaran, pujian dan kebahagiaan sebagai
sesuatu yang baik. Sebaliknya, juga tidak menganggap kerugian,
ketidaktenaran, celaan dan penderitaan sebagai sesuatu yang jelek.
Dikotomi sifat dunia, untung dan rugi, hina dan mulia, dicela dan
dipuji, senang dan susah, tidak mengobesi pikirannya. Karena
tidak ada ketertarikan untuk mendapatkan apa yang secara duniawi
dianggap baik, juga tidak ada ketertarikan untuk menghindari apa
yang secara duniawi dianggap tidak baik, batinnya tidak menderita
saat berhadapan dengan fenomena semacam itu; juga tidak terjebak
dalam ratap tangis dan kesedihan.
Dengan lenyapnya semua bahan untuk tenggelam dalam rasa suka dan
tidak suka, lenyaplah semua bahan untuk bertahan di lautan saṃsāra.
Jika kembali pada awal sutta ini, dengan jelas Sang Buddha mengatakan
bahwa dunia ini bisa berputar karena terjebak dalam delapan sifat
dunia. Demikian juga, delapan sifat dunia ini terus mencengkram
dunia ini sehingga dunia ini bisa menjaga eksistensinya.
Orang-orang yang tidak dapat melihat dengan cara yang benar bahwa
dikotomi kehidupan tersebut datang silih berganti, akan menderita,
[37]
terjebak dalam ratap tangis, kesedihan dan terus mengarungi samudra
saṃsāra. Oleh sebab itulah, Sang Buddha memandang penting untuk
melihat fenomena semacam ini sebagaimana apa adanya (yathābhūtaṃ
pajānāti), dan bukan sebagaimana yang diharapkan.
[38]
delapan kondisi duniawi ini. Ada saatnya, Sang Buddha mendapatkan
materi berlimpah. Sang Buddha tidak bangga. Ada saatnya Sang
Buddha diboikot sehingga tidak mendapatkan makanan sama sekali.
Sang Buddha pun tidak menderita karena hal itu. Oleh sebab itu, dapat
disimpulkan bahwa respons dan obsesi terhadap fenomena kehidupan
itulah yang menimbulkan penderitaan yang berkepanjangan. Jika
tidak ada respons dan obsesi, tidak akan ada penderitaan. Dengan
kata lain, penderitaan dan kebahagiaan ditentukan oleh bagaimana
cara merespons fenomena kehidupan, dan bukan fenomena kehidupan
tersebut yang menentukan kebahagiaan kita. Namun perlu diingat
bahwa, apa pun respons kita terhadap fenomena duniawi, semua
adalah tanggung jawab kita masing-masing. Tidak ada orang yang akan
bertanggung jawab atas respons yang kita ambil terhadap fenomena
yang sedang kita hadapi.
[39]
Ghatīkāra Sutta: Fleksibilitas Para Ariya
[40]
Ghaṭīkāra memiliki seorang teman dari kasta Brahmana. Namanya,
Jotiphala. Memahami manfaat mendengarkan ajaran Buddha Kassapa,
Ghaṭīkāra mengajak Jotiphala untuk mengunjungi Buddha Kassapa.
Pada dasarnya, Jotiphala menolak. Setelah diajak dengan berbagai
cara, akhirnya, Jotiphala mau mengunjungi Buddha Kassapa. Setelah
mendengarkan wejangan dari Buddha Kassapa, Jotiphala menjadi
bhikkhu. Ghaṭīkāra tetap menjalani kehidupan rumah tangga demi
merawat kedua orangtuanya yang buta.
[41]
anagāmi dan tidak akan terlahir kembali.
Pada saat musim hujan, atap kuṭi, tempat tinggal Buddha Kassapa
bocor sehingga air pun membasahi kuṭi tersebut. Sang Buddha
meminta kepada para bhikkhu untuk mengambil rumput di rumah
Ghaṭīkāra. Para bhikkhu menjawab bahwa yang ada hanyalah atap
yang menempel di rumah. Buddha Kassapa memerintahkan untuk
mengambil atap tersebut. Mendengar ada orang yang mengambil
atap rumah, orangtua Ghaṭīkāra bertanya siapa mereka. Mereka pun
menjawab dan menjelaskan permasalahannya. Orangtua Ghaṭīkāra
mempersilakan para bhikkhu untuk mengambil atap tersebut.
Kalau tindakan tersebut adalah tindakan yang tidak pantas, tidak layak
atau bahkan dapat dianggap sebagai pencurian, tentu Sang Buddha
tidak akan menceritakannya. Sang Buddha sudah dapat dipastikan
tidak akan mengulang kembali cerita tersebut. Keberanian Sang
Buddha mengulang kembali atau menceritakan pengalaman Buddha
[42]
Kassapa tentu memiliki pesan moral yang tidak bisa diremeh atau
disepelekan begitu saja.
Dari cerita tersebut ada beberapa pesan moral yang ingin disampaikan
oleh Sang Buddha. Pertama, Sang Buddha adalah orang yang fleksible,
luwes dan tidak kaku. Meskipun dalam aturan seorang bhikkhu atau
seorang Buddha harus menerima dana makanan secara langsung,
diserahkan dari tangan ke tangan dalam jarak “hatthapāsa” atau dalam
jangkauan tangan yang sopan, dalam kondisi seperti di atas, seorang
bhikkhu atau seorang Buddha dapat mengambil makanan sendiri
dari panci, dari tempat makanan yang telah disediakan, tanpa perlu
diserahkan dari tangan ke tangan, atau bahkan diserahkan dalam jarak
“hatthapāsa”. Dalam situasi seperti itu, ucapan sudah dapat dianggap
sebagai penyerahan secara sah.
[43]
sama lain, semua anggota keluarga bisa menggunakan barang dengan
bebas, tanpa perlu meminta izin anggota yang lainnya. Namun, ketika
rasa saling percaya tidak ada, setiap anggota keluarga yang ingin
menggunakan barang yang ada dalam rumah tersebut, harus meminta
izin dari anggota yang lainnya. Ketika menggunakan barang tanpa
izin, tindakan tersebut dianggap sebagai pelanggaran hak-hak anggota
keluarga yang lainnya. Prinsip yang sama sebenarnya berlaku juga di
kalangan masyarakat secara luas.
[44]
Indriyabhāvanā Sutta: Pengendalian Diri
yang Sebenarnya
[45]
Dhamma yang ada kaitannya dengan pengembangan indria.
[46]
dijauhi, dihindari, dilenyapkan. Dia berpikir demikian karena hidup
penuh semangat, ceria adalah sifat positif pikiran sehingga hal itulah
yang perlu terus dimiliki dan didapatkan.
[47]
masih adanya kotoran batin yang tersisa, sering kali pula dia merasa
muak, tidak suka. Hal ini bisa terjadi karena masih ada rasa suka dan
tidak suka dalam dirinya meski sifatnya cukup halus. Karena itu, rasa
tidak suka terhadap perasaan yang muncul, bisa saja terjadi. Meskipun
demikian, dia memahami hal itu. Dia mampu melihat rasa muak, tidak
suka tersebut.
[49]
dilakukan, keduanya akan menimbulkan penderitaan, ratap tangis,
kegelisahan dan kekecewaan. Agar tidak menimbulkan penderitaan,
kegelisahan, kekecewaan dan ratap tangis, keduanya harus dipahami
melalui praktik secara nyata, bukan sebatas logika semata.
[50]
Mahāgosiṅga Sutta: Hidup Damai di Tengah
Perbedaan
Ada dua sutta yang berhubungan dengan Gosiṅga. Karena itu, sutta
yang pertama diberi nama Cūḷagosiṅga Sutta dan yang kedua diberi
nama Mahāgosiṅga Sutta. Istilah Cūḷa dapat diartikah kecil dan mahā
berarti besar. Gosiṅga sendiri mengacu pada nama sebuah hutan sala.
Dari segi pesan moral dari kedua sutta tersebut, tentu keduanya
memberikan pesan yang sangat penting bagi kemajuan praktik. Oleh
sebab itu, pesan moral tidak dapat dijadikan alasan pemilihan nama
sutta tersebut. Demikian juga orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Kedua sutta tersebut melibatkan orang-orang besar di dalamnya.
Pemilihan istilah cūḷa dan mahā tampaknya lebih berdasarkan pada
jumlah bhikkhu atau orang-orang yang terlibat di dalamnya.
[51]
Saat itu, Sang Buddha sedang berada di hutan Gosiṅga bersama
beberapa bhikkhu penting. Di antaranya, Y.M. Sāriputta, Y.M. Mahā
Moggallāna, Y.M. Mahā Kassapa, Y.M. Anuruddha, Y.M. Revata,
Y.M. Ānanda dan masih banyak yang lainnya. Hanya saja, nama
mereka tidak disebutkan secara spesifik dalam sutta ini.
Pada sore hari, setelah bangun dari meditasi, Y.M. Mahā Moggallāna
mengajak Y.M. Mahā Kassapa untuk mengunjungi Y.M. Sāriputta.
Tujuannya adalah untuk mendengarkan uraian Dhamma dari orang
yang dikenal sebagai Dhammasenāpati. Melihat orang-orang besar
menuju kediaman murid utama, Y.M. Ānanda pun tidak ingin menyia-
nyiakan kesempatan tersebut. Beliau lalu mengajak Y.M. Revata untuk
bergabung.
Sebagai seorang yang terpelajar, pun telah banyak belajar, Y.M. Ānanda
perpendapat bahwa seorang bhikkhu dapat dikatakan menambah
keindahan hutan Gosiṅga jika bhikkhu tersebut telah banyak
belajar, menghafalkan apa yang dipelajari, dan mengonsolidasikan
ajaran tersebut. Tidak kalah pentingnya, ajaran tersebut indah pada
awalnya, pertengahannya, dan akhirnya baik dalam konteks artinya
maupun frasenya. Juga ajaran tersebut tidak bertentangan dengan
[52]
kehidupan selibat. Setelah mempelajari, mengingat, menghafalkan,
menginvestigasi dalam batin dan memahaminya dengan pandangan
benar, dia mengajarkan ajaran tersebut kepada sesama praktisi dalam
kehidupan monastik, juga kepada para perumah tangga dengan kalimat
yang jelas dan tidak membingungkan. Tujuan mengajarkan ajaran
tersebut adalah untuk mengikis dan melenyapkan kecenderungan laten
(anusaya) yang ada dalam diri pendengarnya. Ini adalah pandangan
pribadi Y.M. Ānanda bagaimana seorang bhikkhu dapat dikatakan
mampu menghiasi hutan Gosiṅga.
Ketika pertanyaan yang sama diajukan kepada Y.M. Revata, beliau pun
memberikan pandangan pribadinya. Dalam pandangan Y.M. Revata,
seorang bhikkhu akan mampu menerangi hutan Gosiṅga jika bhikkhu
tersebut senang menghabiskan waktunya untuk bermeditasi dalam
kesunyian. Dirinya mendedikasikan waktunya untuk ketenangan batin,
tidak mengabaikan meditasi, memiliki pandangan terang (vipassanāya
samannāgato), dan senang tinggal di kuṭi yang kosong.
[53]
moral yang baik, mengembangkan samādhi, memiliki kebijaksanaan,
merealisasi Nibbāna. Selain mempraktikkan, memiliki dan merealisasi
hal itu, dia juga memuji hal-hal tersebut. Dengan kata lain, seorang
bhikkhu akan mampu menambah keagungan hutan Gosiṅga jika
dirinya mampu memberikan contoh yang terbaik melalui praktik.
[54]
Buddha memuji setiap pandangan yang telah disampaikan oleh pribadi
bhikkhu yang hadir. Ketika Y.M. Sāriputta bertanya kepada Sang
Buddha, mana pandangan yang paling baik, Sang Buddha menjawab
bahwa setiap orang telah berbicara dan menyampaikan pandangannya
dengan baik. Mereka telah berbicara sesuai dengan karakter mereka
masing-masing. Sebagai tambahan, Sang Buddha menjelaskan bahwa
seorang bhikkhu dapat dikatakan mampu menghiasi hutan Gosiṅga
jika bhikkhu tersebut selalu berjuang dengan tekun untuk mengikis
kotoran batinnya. Dia berjuang dengan gigih demi tercapainya
kebahagiaan tertinggi, Nibbāna.
Dari sutta ini dapat dilihat bahwa, setiap orang memiliki hak untuk
menganut suatu pandangan sesuai dengan kecenderungan masing-
masing, tanpa memaksakan pandangan tersebut kepada orang lain.
Sang Buddha pun menghargai pandangan pribadi tersebut, tanpa
menyalahkan pandangan tertentu dan hanya membenarkan pandangan
yang lainnya. Tambahan pandangan dari Sang Buddha menunjukkan
bahwa apa pun pandangan yang dianut, semuanya sah-sah saja
sepanjang pandangan tersebut mampu mengarahkan seseorang untuk
gigih berjuang, bersemangat dalam mengikis kotoran batinnya.
Dengan kata lain, perbedaan pandangan bukan dipergunakan untuk
menyuburkan keserakan, kebencian dan kebodohan.
[56]
Memahami Kālāma Sutta dalam Praktik
Pengembangan Kesadaran
Pengantar
Dari sekian banyak sutta yang telah banyak dipelajari oleh masyarakat
Buddhis, Kālāma Sutta atau Kesaputtiya Sutta adalah salah satu sutta
yang cukup populer. Salah satu alasan mengapa sutta ini menjadi
populer adalah bahwa sutta ini memberikan ruang kebebasan kepada
umat Buddha untuk menganut suatu pandangan yang relevan sesuai
kebutuhan mereka. Hanya saja, sejauh ini, kekuatan Kālāma Sutta
lebih sering digunakan untuk kepentingan eksternal, sekadar untuk
menjustifikasi pandangan pribadi bahwa pandangannya adalah benar
adanya. Dengan kata lain, lebih sering sutta ini dipergunakan untuk
menyerang pandangan orang lain, menjatuhkan ide atau pendirian
yang dipegang oleh orang lain. Dampaknya, perbedaan pendapat
semakin meruncing dan menemukan jalan buntu. Percekcokan dan
perdebatan semakin mencuat seiring meroketnya kebencian seseorang
karena tidak mampu menerima pandangan orang lain.
Hingga saat ini, sangat jarang yang menggunakan sutta ini untuk
menjustifikasi suatu pandangan yang ada kaitannya secara langsung
pada praktik, melihat ke dalam batin masing-masing. Dengan kata lain,
Kālāma Sutta sangat jarang diimplementasikan untuk pemahaman
praktik yang menyeluruh, demi hancurnya kotoran batin masing-
masing, demi terealisasinya Nibbāna dalam kehidupan sekarang ini
juga.
Dari pengantar yang ada dalam sutta tersebut, dapat langsung dipahami
bahwa suku Kālāma telah dikunjungi oleh banyak kaum intelektual
maupun praktisi. Mereka datang untuk memaparkan ajaran mereka
masing-masing. Selain memuji kehebatan ajaran mereka, di sisi lain
mereka menganggap ajaran orang lain salah, tidak bisa dipraktikkan
dan menyesatkan. Kondisi semacam ini tentu membuat mereka
menjadi bingung; mereka bimbang karena setiap orang mengklaim
ajaran merekalah yang paling benar dan yang lainnya salah (idameva
saccaṃ moghamaññaṃ).
Lihatlah kondisi umat Buddha saat ini dengan jujur, bukan dengan
bias, bukan dengan favoritisme sesaat. Apa yang dialami oleh suku
Kālāma persis, tidak ada bedanya dengan yang dialami oleh umat
Buddha, baik di Indonesia sendiri maupun di luar sana. Umat Buddha
menjadi bingung, bimbang karena guru A datang dengan teori A. Guru
B datang dengan teori B. Ironisnya, guru A mengklaim ajarannyalah
yang paling mampu membuat seseorang segera merealisasi Nibbāna
dan ajaran yang lainnya salah, lamban untuk merealisasi Nibbāna. Guru
B juga bersikap tidak ada bedanya. Dia pun mengklaim teorinyalah
yang paling benar.
[58]
menggunakan cara-cara yang destruktif dengan cara menjelekkan
ajaran lain dan menganggap ajaran yang dianutnya sebagai yang
paling benar.
Dampak dari pandangan ini yang paling benar dan yang lainnya salah,
ternyata sangat fatal. Pertama, umat Buddha terpecah belah, menjadi
kelompok-kelompok kecil. Tak pelak, mereka hidup saling membenci,
saling bermusuhan antara satu kelompok dengan kelompok yang
lainnya. Kebencian yang ditanamkan dan gendang pengkultusan
terhadap seorang figure yang ditabuh ternyata hanya demi keuntungan
materi semata. Hanya saja banyak yang menyadari akan hal ini. Karena
itu, berhati-hatilah ketika ada yang berusaha untuk menanamkan
kebencian dan pengkultusan seorang figure atas nama praktik.
Kedua, dengan adanya berbagai teori yang diklaim paling benar, umat
Buddha justru hanya melakukan window shopping dalam praktik.
Artinya, begitu mereka mendapatkan kabar teori ini sangat bagus,
umat Buddha langsung mencoba teori tersebut. Nanti, begitu teori
baru datang, mereka pun mencoba lagi teori yang baru. Dampaknya,
mereka tidak akan pernah serius mendalami suatu teori, tetapi terus
menerus berusaha untuk mencicipi teori baru yang dianggap lebih baik,
lebih mumpuni, dan lebih hebat. Bagaimana mungkin mereka akan
sukses jika baru mencicipi mereka telah membuang teori tersebut?
Ibarat menggali sumur, bagaimana mungkin air bisa didapatkan jika
baru menggali belum seberapa dalam lalu pindah tempat lagi?
Sikap Genius Sang Buddha
[59]
masing dan bukan sebaliknya, melihat keluar.
Seni introspeksi diri atau seni melihat ke dalam diri sendiri dalam
Bahasa Pāli disebut sati. Kata sati sering diterjemahkan sebagai
kesadaran, kewaspadaan, mawas diri, eling atau perhatian. Dalam
implementasinya, kata ini sering digantikan dengan dua kata yaitu
jānati dan passati. Kedua kata ini biasanya dipergunakan secara
bersamaan. Namun, dalam Kālāma Sutta, dari kedua kata tersebut,
hanya kata jānati yang dipergunakan. Meski demikian, bukan berarti
akan mengurangi makna sutta tersebut.
[60]
Sedangkan kata passati dapat dipahami sebagai melihat, mengamati,
mencermati dengan mata batin dan bukan dengan mata biasa.
[61]
yang sesungguhnya.
[62]
Sepanjang kita masih menyandarkan pengalaman pada tradisi, pada
otoritas tertinggi, kitab suci atau menjadikan kata-kata guru sebagai
ukuran pengalaman, di situ masih ada keraguan. Di situ, masih ada
ketidakyakinan pada diri sendiri. Dalam konteks ini, biasanya apa
yang terjadi adalah kita selalu mempertanyakan pengalaman sendiri,
apakah yang saya alami sesuai dengan tradisi yang ada? Apakah yang
saya alami sesuai dengan isi kitab suci? Apakah yang saya alami sesuai
dengan apa yang dikatakan guru saya? Ketika pertanyaan-pertanyaan
semacam ini masih muncul, di situlah dapat dilihat dengan jelas bahwa
keraguan masih bertengger dengan kuat; di situlah keyakinan pada
pengalaman sendiri belum tumbuh.
[63]
dan jasmani tersebut. Kita pun akan tahu sebesar apa keserakahan,
kebencian dan kebodohan tersebut masih sanggup terus termanifestasi
dalam setiap fenomena batin dan jasmani. Kita pun akan tahu jika
ketiganya sudah tidak mampu lagi mempengaruhi setiap fenomena
batin dan jasmani.
Salah satu sutta yang memiliki isi mirip dengan Kālāma Sutta adalah
Sāḷha Sutta. Sutta ini tepat berada setelah Kālāma Sutta. Hanya saja,
Sāḷha Sutta memiliki sedikit variasi dan dibabarkan oleh seorang
bhikkhu. Pertama pertanyaan mengenai keserakahan, kebencian
dan kebodohan. Dalam Kālāma Sutta, pertanyaan mengenai ketiga
hal tersebut adalah apakah ketiganya menimbulkan penderitaan
dan apakah jika ketiganya tiada akan menimbulkan kebahagiaan.
Sedangkan dalam Sāḷha Sutta pertanyaan agak diubah, apakah ada
[64]
keserakahan, kebencian dan kebodohan dan apakah ketiganya tidak
ada.
Jika Kālāma Sutta diakhiri dengan empat jenis keyakinan seperti telah
disebutkan di atas, Sāḷha Sutta diakhiri dengan pemahaman secara
langsung akan hancurnya keserakahan, kebencian dan kebodohan: Dulu
ada keserakahan, kebencian dan kebodohan. Sekarang keserakahan,
kebencian dan kebodohan tersebut telah lenyap sepenuhnya. Karena
itu, inilah yang disebut sebagai kusala. Muncullah pengetahuan
bahwa dirinya telah menyelesaikan tugasnya, dirinya telah menjalani
kehidupan spiritual sebagaimana layaknya dan dirinya sendiri telah
menjadi brahma dalam kehidupan sekarang ini juga.
Kesimpulan
[65]
Paccaya Sutta: Dhamma yang Tidak
Mungkin Dipungkiri
[66]
Istilah paṭiccasamuppāda dapat diterjemahkan sebagai “hukum sebab
musabab yang saling bergantung” dan paṭiccasamuppannā dhammā
adalah “fenomena yang muncul saling bergantungan”. Apakah yang
membedakan keduanya?
[67]
karena mampu memproduksi fenomena tanpa kegagalan sedikit pun
jika semua kondisinya telah lengkap. Disebut anaññathatā karena
tidak ada fenomena lain yang muncul dengan fenomena atau kondisi
yang lainnya. Dikatakan idappaccayatā karena satu atau sekelompok
kondisi memunculkan kondisi-kondisi tersebut, seperti usia tua dan
kematian.
[68]
mungkin memikirkan tiga masa kehidupan: Lampau, sekarang atau
yang akan datang. Bagi yang telah memahami paṭiccasamuppāda dan
paṭiccasamuppannā dhammā, tidak mungkir pikirannya lari ke masa
lampau atau kehidupan lampau dengan mempertanyakan: “Apakah
saya ada di masa lampau? Apakah saya tidak ada di masa lampau?
Hidup sebagai apakah saya di masa lampau? Bagaimanakah kondisi
saya di masa lampau? Setelah menjadi ini atau itu, lalu saya menjadi
apa lagi?”
Juga mustahil bagi mereka yang telah memahami kedua ajaran ini
memikirkan masa depan: “Akankah saya ada di masa yang akan
datang? Akankah saya tidak ada di masa yang akan datang? Akan
menjadi apa saya di masa yang akan datang? Bagaimana kondisi saya
dalam kehidupan yang akan datang? Setelah menjadi ini atau itu, lalu
saya akan menjadi apa lagi?”
Musykil pula bagi mereka yang telah memahami kedua ajaran ini
bingung akan kondisi saat ini, dengan bertanya: “Apakah saya ada?
Apakah saya tidak ada? Seperti apakah saya? Bagaimana kondisi
saya? Dari mana asal saya dan ke mana saya akan pergi?”
Dalam sutta ini, mereka yang tidak mungkin bingung akan tiga
masa kehidupan ini adalah siswa ariya (ariyasāvaka). Mengacu
pada ariyasāvaka, ini menunjukkan bahwa mereka adalah orang-
orang yang telah mencapai kesucian minimal sotāpanna. Hanya saja,
menurut Visuddhimagga, pemahaman tentang paṭiccasamuppāda
dan paṭiccasamuppannā dhammā telah muncul semenjak seseorang
menjadi seorang cūḷasotāpanna atau sotāpanna kecil, tepatnya
setelah mematahkan kaṅkhāvitaraṇa dan beranjak menuju
maggāmaggañāṇadassana.
[69]
Kesadaran” yang diterbitkan dalam buku 40 Tahun Pengabdian
STI, saya masih belum bisa memahami mengapa mereka yang
telah mencapai kesucian, tidak lagi tertarik akan surga dan neraka,
atau kehidupan lampau atau kehidupan yang akan datang. Ada juga
yang mengalami bahwa konsep surga dan neraka, kehidupan lampau
atau yang akan datang tidak lagi dalam persepsi mereka. Oleh sebab
itu, ketika menginterpretasikan rūparāga dan arūparāga, saya tidak
menyertakan referensi dari Tipitaka. Saat itu, referensi yang saya
pergunakan hanyalah pengalaman langsung mereka yang telah sukses
dalam praktik, minimal menjadi seorang sotāpanna.
Dari sutta ini, sangat jelas terlihat bahwa mereka yang telah menjadi
ariyapuggala, tidak akan bingung memikirkan kehidupan lampaunya,
kehidupan masa akan datang atau mengenai kehidupan saat ini. Bingung
dengan berbagai pertanyaan seperti di atas, sudah tidak relevan lagi
bagi kehidupannya. Apa yang ada adalah mengamati fenomena yang
datang dan pergi, fenomena yang muncul silih berganti.
[70]
memiliki manfaat, dia berusaha untuk mempertahankan sati. Ini adalah
rūparāga. Begitu memahami bahwa sati pun masih dalam konteks
yang terkondisikan, dia berusaha untuk menghancurkan sati tersebut.
Ini adalah arūparāga. Dapat dilihat bahwa rūparāga adalah manifestasi
dari bhāvataṇhā. Untuk arūparāga, jelas ini adalah manifestasi dari
vibhāvataṇhā.
[71]
Paṭhamasekha Sutta: Rintangan dalam
Praktik
Paṭhamasekha Sutta mungkin salah satu dari sekian ribu sutta yang
jarang didengar keberadaannya. Masalahnya adalah sutta ini cukup
singkat, sehingga keberadaannya sering kali terselip di antara
tumpukan sekiran ribu sutta. Sutta ini terdapat di dalam Aṅguttara
Nikāya. Dalam urutan Nipāta, sutta ini terdapat dalam Theravagga,
sebuah vagga yang terdapat dalam Pañcakanipāta. Dalam edisi Pāli
Texts Society, sutta ini terdapat di halaman 116, Volume III.
Istilah “sekha” lebih sering mengacu pada orang yang serius berlatih
menapaki sang jalan caNibbāna secara total. Karenanya, praktiknya
pun bukan lagi praktik yang biasa, praktik asal-asalan, melainkan
praktik yang lebih tinggi. Apa yang dipraktikkan bukan moralitas,
samādhi dan paññā biasa, tetapi moralitas yang lebih luhur, latihan
pikiran yang lebih luhur dan kebijaksanaan yang luhur (adhisīlampi
sikkhati, adhicittampi sikkhati, adhipaññampi sikkhati).
[72]
seseorang telah menjadi pemenang arus (sotāpanna) hidupnya penuh
semangat. Ini disebabkan oleh lima kekuatan (pañcabala) telah
berubah menjadi lima indria (pañcindriya). Dalam pañcabala maupun
pañcindriya, semangat (viriya) adalah salah satu faktornya. Karena
itu, semangatnya telah mencapai titik kulminasi. Rasa lelah hampir
tidak ada. Hal ini bisa memicu seseorang untuk sibuk beraktivitas,
menenggelamkan diri dalam berbagai kegiatan. Karena kesibukannya
untuk memikirkan dunia luar, dia menjadi lalai akan tugasnya untuk
menyelesaikan tugasnya yang belum terselesaikan.
[74]
Itulah lima rintangan yang masih bisa membelenggu mereka yang
telah menjadi sekhapuggala atau orang yang telah menapaki jalah
dalam berlatih. Perlu dipahami bahwa kelima hal tersebut bukannya
boleh dan tidak boleh dilakukan, tetapi jika masih ada, harus dilihat,
diamati, diketahui dan dipahami, baik keberadaannya maupun proses
timbul dan lenyapnya. Dengan cara seperti ini, kelima hal tersebut
tidak menimbulkan kebencian yang berlarut-larut, juga tidak memicu
munculnya keserakahan.
Salah satu ciri khas orang yang serius dalam praktik adalah semakin
menarik diri dari keramaian. Ini bukan karena kemauan tetapi karena
kebutuhan. Ini terjadi bukan karena diinginkan tetapi terjadi secara
otomatis. Dirinya akan menarik diri dari keramaian karena dirinya
menemukan kepuasan dalam dirinya sendiri. Ada kedamaian. Ada
ketenangan. Ada kebahagiaan sehingga semua itu tidak perlu dicari di
luar, di dalam keramaian, tetapi cukup melihat ke dalam.
Kondisi penarikan diri dari keramaian sering kali tidak bisa dipahami
oleh kebanyakan orang pada umumnya. Dampaknya, orang-orang
pada umumnya mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi,
mengapa tidak aktif, mengapa tidak seperti dulu lagi. Ketika seseorang
[75]
yang serius dalam praktik menarik diri dari keramaian, banyak
yang menuding telah terjadi suatu kesalahan, terjadi sesuatu yang
tidak wajar sehingga menimbulkan rasa malu, rasa tidak nyaman.
Pandangan semacam ini benar dari perspektif orang yang mengamati,
tetapi tidak demikian dari sisi orang yang mengalami. Masalahnya
adalah orang-orang yang tidak praktik, selalu mengharapkan sesuatu
berjalan secara konsisten, sementara orang-orang yang serius dalam
praktik memahami arti perubahan. Orang-orang yang tidak praktik
memegang persepsi tentang kekekalan (niccasaññā), sedang mereka
yang praktik memegang prinsip aniccasaññā.
[77]
Sedaka Sutta: Pengembangan Cinta Kasih
yang Sebenarnya
[78]
penting, perlu diutamakan. Sebagaimana yang bisa dipahami dalam
sutta ini, cara tersebut kurang tepat.
[79]
metode tidak langsung sehingga dampaknya tidak efektif. Kalau jeli
melihat sutta ini, justru cara ini adalah metode yang sangat aktif, metode
yang sangat efektif. Dalam pandangan Sang Buddha, saat seseorang
mengembangkan kesadaran, melihat ke dalam dirinya sendiri, melihat
aktivitas batin dan jasmaninya, di situlah dia telah mengembangkan
kesabaran (khanti), sikap tidak bermusuhan dan tidak ingin melukai
(avihiṃsa), kasih sayang (mettā) dan juga simpati (anudaya).
[80]
mengetahui bagaimana kebencian tersebut berproses, bagaimana
kebencian tersebut muncul, bagaimana kebencian tersebut berkembang
dan pada akhirnya bagaimana kebencian tersebut lenyap.
[81]
bagi orang tersebut bisa memberikan nasi kepada orang lain.
[82]
Yuganaddha Sutta: Empat Alternatif
Menuju Nibbāna
[83]
Sang Buddha.
[84]
(idameva saccaṃ moghamaññaṃ).
Jika melihat apa yang disampaikan oleh Y.M. Ānanda, seorang praktisi
meditasi bisa melakukan meditasi dengan cara apa saja. Praktik
tersebut boleh saja dilakukan dengan cara mendahulukan samatha atau
vipassanā. Juga boleh saja, keduanya dilakukan secara bersamaan.
Tidak ada masalah sama sekali. Intinya, mana yang dianggap nyaman,
dianggap cocok dan mampu membawa perubahan, mampu membantu
untuk menghancurkan kotoran batin, itulah yang perlu dilakukan.
Dari laporan tersebut juga dapat dilihat bahwa tidak semua orang
bisa melakukan meditasi dengan cara yang sama. Semua memiliki
kecenderungan yang berbeda. Ada yang lebih senang untuk
mendapatkan ketenangan terlebih dahulu, baru dilanjutkan dengan
pandangan terang. Ada juga yang senang mendapatkan pandangan
terang terlebih dahulu baru kemudian mengembangkan ketenangan.
Namun, ada juga yang mengembangkan keduanya secara bersama-
sama. Apa pun cara yang dipilih, pada akhirnya mereka menjadi
arahat.
[85]
dan jasmani serta segala fenomena yang terjadi di dalamnya. Ajaran
Sang Buddha tidak pernah keluar dari konteks tersebut. Karena itu,
keraguan terhadap dhamma adalah keraguan terhadap fenomena batin
dan jasmani.
Sekalipun dia terobsesi dengan kondisi pikiran yang seperti itu, ada
saatnya batinnya akan tenang. Batinnya mengalami kedamaian.
Pikirannya terkonsentrasi sepenuhnya. Mungkinkah hal ini terjadi?
Sangat memungkinkan. Pertama, hal ini bisa terjadi karena dia
tenggelam begitu hebat, pikirannya hanya terfokus pada fenomena
tersebut sehingga tercapailah konsentrasi yang sangat kuat. Kedua,
sehebat apapun pikiran mengembara, ada saatnya pikiran menjadi
lelah. Tidak ada bedanya seperti fisik kita, seaktif apa pun fisik
kita, pasti ada saatnya fisik ini butuh istirahat. Batin juga demikian.
Sekencang apapun pikiran berlari, pikiran pasti butuh waktu untuk
beristirahat.
[86]
yang terbaik? Yang tahu secara persis mana cara yang terbaik dari
empat cara tersebut adalah diri sendiri. Ketika seorang yogi merasa
cocok dan nyaman dengan yang pertama, belum tentu yogi yang lain
akan merasa cocok dengan caranya. Apa pun caranya, pilihlah cara
tersebut. Tekuni, kembangkan hingga maksimal sehingga bisa menjadi
jalan untuk mencapai pembebasan batin.
Selamat berjuang dengan cara yang dipilih. Meski cara tersebut belum
tentu cocok untuk saya, saya yakin cara tersebut adalah cara yang
terbaik bagi Anda untuk berjuang. Saya yakin cara tersebut adalah
cara yang tepat bagi Anda untuk mengakhiri dukkha.
[87]
Siṃsapā Sutta: Ajaran yang Bermanfaat
Siṃsapā Sutta adalah salah satu sutta dalam Saṃyutta Nikāya. Secara
saṃyutta, sutta ini terletak dalam Sacca Saṃyutta, dalam Mahāvagga.
Dalam edisi PTS, sutta ini terletak pada halaman 437, Volume V. Sutta
ini diberi nama “siṃsapā” karena sutta ini dikhotbahkan di hutan
siṃsapā oleh Sang Buddha kepada para bhikkhu.
[88]
dibandingkan dengan dedaunan yang ada dalam genggaman tangan-
Nya. Sementara yang tidak diajarkan dapat diibaratkan seperti
dedaunan yang ada di hutan. Perumpamaan ini menunjukkan bahwa
sesungguhnya pengetahuan yang dimiliki oleh Sang Buddha sungguh
luar biasa. Jika dibandingkan, tentu apa yang ada dalam genggaman
tangan Sang Buddha tidak ada satu persennya dari seluruh dedaunan
yang ada di hutan siṃsapā.
Jika berpedoman pada sutta ini, dapat disimpulkan bahwa apa yang
diajarkan oleh Sang Buddha adalah untuk memahami dukkha, untuk
melenyapkan sebab dukkha, merealisasi Nibbāna dan mempraktikkan
jalan mulia berunsur delapan. Apa pun ajarannya atau teorinya, apa
pun caranya atau metodenya, sepanjang ajaran dan teori tersebut
berfungsi secara langsung untuk kepentingan tersebut, tidak perlu
diperdebatkan, tidak perlu dipermasalahkan. Bahkan, diberi label
sekalipun tidak perlu, dan tidak dibutuhkan sama sekali.
Apa pun yang diajarkan oleh Sang Buddha, tujuannya hanyalah untuk
[89]
bisa membebaskan manusia dari penderitaan secepatnya, tanpa perlu
ditunda hingga besok atau bahkan dalam kehidupan yang akan datang.
Oleh karena itu, ketika ada yang datang kepada Sang Buddha dengan
berbagai permasalahan yang ada, Sang Buddha akan berbicara secara
langsung yang bertujuan untuk membuat orang tersebut bebas dari
penderitaan, tanpa perlu menganalisis masalah yang dihadapi hingga
dalam kehidupan yang lampau.
[91]
Gavampati Sutta: Pemahaman Empat
Kebenaran Mulia
Dalam sutta ini dituturkan bahwa ketika para bhikkhu telah pulang dari
piṇḍapata dan menyantap makan siang, mereka berkumpul di pavilium
yang ada di Sahajāti. Saat mereka berkumpul itulah seorang bhikkhu
bertanya, “Para Āvuso, apakah orang yang melihat penderitaan juga
melihat sebab penderitaan, lenyapnya penderitaan dan jalan menuju
lenyapnya penderitaan?”
[92]
melihat dukkha, pasti melihat sebab dukkha, lenyapnya dukkha dan
jalan menuju lenyapnya dukkha. Orang yang melihat sebab dukkha
juga melihat dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan menuju lenyapnya
dukkha. Prinsip ini juga berlaku bagi orang yang melihat lenyapnya
dukkha atau jalan menuju lenyapnya dukkha.
Inti dari pernyataan Y.M. Gavampati, apa pun yang dilihat, tiga
aspek yang lainnya pasti dilihat dengan sempurna. Dengan kata lain,
seseorang tidak bisa hanya melihat dukkha saja, atau sebab dukkha
atau lenyapnya dukkha atau jalan menuju lenyapnya dukkha. Empat
aspek tersebut adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Karena itu,
terpahaminya satu aspek semua aspek yang lainnya akan terpahami
juga.
Jika mengacu pada Siṃsapā Sutta, bahwa apa yang diajarkan oleh
Sang Buddha hanyalah tentang empat kebenaran mulia, berarti dāna,
hukum kamma, paṭiccasamuppāda dan yang lainnya, juga masih
dalam konteks empat kebenaran mulia, dan tidak di luar konteks
tersebut. Dengan kata lain, memahami satu ajaran apa pun, jika
dilakukan dengan keseriusan, sama artinya memahami seluruh ajaran
[93]
yang diajarkan oleh Sang Buddha.
[94]
Ciraṃ tiṭṭhatu saddhammo!