Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

MORAL
VIVY
BUDDHA
(SILA)
Buddha
yang
disebut
sebagai
bahasa
Pali
Panca
;menyebabkan
lima
Sila
dasar
(dari
moralitas)
pembunuhan
menyaki*
segala
atau
kehidupan
kasih
sangat
dan
berperan
welas
asih
pen*ng.
Umat
Buddha
mengembangkan
tersebut
terhadap
sikap
segala
bentuk
pada
kehidupan,
baik
hewan.
Berikut
merupakan
salah
dari
sila
satu
contoh
*ndakan
pertama
;seni
merupakan
konsumsi
makanan
umat
Buddha
sama
sekali
Melalui
Budha
belajar
hal
kecil
untuk
ini
umat
menghargai
segala
adalah
Budha,
hewan.
umat
dari
Selain
ajaran
umat
manapun
juga
mencoba
Karena
makanan
bervegetarian.
vegetarian
universal.
ini
bersifat
atau
mengambil
yang
*dak
diberikan
kepada
kita
mengajarkan
*dak
mencuri,
umatnya
seper*
ajaran
halnya
dengan
memang
bukan
*ndakan
pandang
baik,
dari
apa
lagi
jika
di
karena
itu,
kita
sebagai
umat
atas
senan*asa
apa
bersyukur
rasa
untuk
menginginkan
lain
*dak
akan
milik
orang
kita.
asusila
(penyelewengan
seksual)
tersebut,
wanita
sangat
khususnya
di
wajibkan
untuk
menggunakan
pakai/sopan
mampu
menjaga
.manusia
wanita
aurat
harus
nya
agar
*dak
di
pantas
semes*nya
di
perlihatkan
*dak
.yang
Selain
pakaian,
umat
bimbingan
saling
atau
menghorma*
ajaran
baik
pria
kepada
wanita
pria.
kebohongan
kita
telah
sebagai
di
didik
baik
dari
aspek
keagamaan
sekitar
untuk
berkata
jujur.
haruskan
Jika
ada
*ndakan
yang
jika
benar.
benar
Dari
harus
hal
kecil
bilang
di
bentuk
kejujuran
dengan
baik.
dapat
penggunaan
bahan-bahan
yang
melemahnya
dapat
dan
ketagihan
alcohol.
Sedikit
alcohol
saja
dapat
mengganggu
mempengaruhi
besar
alcohol
dapat
sangat
merusak
biasanya
tubuh.
Alcohol
pelarian
diri
dari
tekanan
hidup.
baiknya
Tetapi
untuk
alangkah
hidup
atau
setres,
kita
dapat
posi*f.
melakukan
Seper*
hal
yang
divihara,
baik
dari
kegiatan
religious.
Dengan
maupun
terhindar
dari
penggunaan
bahan-bahan
bagi
tubuh.
yang
*dak
Buddha
yang
sangat
di
tersebut
atau
atau
baik
MORAL BUDDHA (SILA)

Lima dasar moralitas umat Buddha yang disebut sebagai Panca Sila (dari bahasa
Pali ; lima dasar moralitas)

1. Menghindari pembunuhan atau menyakiti segala kehidupan


Dalam sila ini sikap cinta kasih dan welas asih sangat berperan penting.
Umat Buddha berusaha mengembangkan sikap tersebut terhadap segala
bentuk kehidupan, baik pada manusia, alam maupun hewan. Berikut
merupakan salah satu contoh tindakan dari sila pertama ;
Bervegetarian / vegan merupakan makanan yang di konsumsi umat
Buddha yang sama sekali tidak mengandung hewani. Melalui hal kecil ini
umat Budha belajar untuk menghargai segala kehidupan, salah satunya
adalah hewan. Selain umat Budha, umat dari ajaran manapun juga berhak
apabila ingin mencoba bervegetarian. Karena makanan vegetarian ini
bersifat universal.
2. Menghindari pencurian atau mengambil yang tidak diberikan kepada kita
Semua agama pasti mengajarkan umatnya untuk tidak mencuri, seperti
halnya dengan ajaran agama Buddha. Pencurian memang bukan tindakan
yang baik, apa lagi jika di pandang dari sudut keagamaan. Oleh karena itu,
kita sebagai umat Buddha senantiasa bersyukur atas apa yang telah
dimiliki. Melalui bersyukur rasa untuk menginginkan milik orang lain tidak
akan muncul dalam pemikiran kita.
3. Menghindari tindakan asusila (penyelewengan seksual)
Untuk menghindari hal tersebut, khususnya untuk wanita sangat di
wajibkan menggunakan pakaian yang layak di pakai/sopan . wanita harus
mampu menjaga aurat nya agar tidak di lihat oleh orang lain apa yang
semestinya tidak pantas di perlihatkan . Selain pakaian, umat Buddha
mendapat bimbingan atau ajaran untuk saling menghormati baik pria
kepada wanita maupun wanita kepada pria.
4. Menghindari diri dari kebohongan
Dalam keadaan apapun kita sebagai manusia yang telah di didik baik dari
aspek keagamaan maupun lingkungan sekitar sangat di haruskan untuk
berkata jujur. Jika ada tindakan yang salah maka bilang salah, jika benar
harus bilang benar. Dari hal kecil tersebut kejujuran dapat di bentuk
dengan baik.
5. Menghindari diri dari penggunaan bahan-bahan yang dapat menyebabkan
melemahnya atau berkurangnya kesadaran dan ketagihan
Contohnya minuman alcohol. Sedikit alcohol saja dapat mempengaruhi
atau mengganggu diri apa lagi dalam jumlah besar alcohol dapat sangat
merusak tubuh. Alcohol biasanya digunakan bahan untuk pelarian diri dari
tekanan hidup. Tetapi alangkah baiknya untuk menghilangkan tekanan
hidup atau setres, kita dapat melakukan hal yang positif. Seperti mengikuti
kegiatan positif divihara, baik dari kegiatan seni maupun religious. Dengan

demikian kita dapat terhindar dari penggunaan bahan-bahan yang tidak


baik bagi tubuh.

Makna Agama Budha dan Tujuan Hidup Umat Buddha


Agama Buddha (Buddha Dhamma)
Agama Buddha biasanya lebih dikenal dengan sebutan Buddha Dhamma.
Seluruh ajaran Sang Buddha merupakan ajaran yang membahas tentang hukum
kebenaran mutlak, yang disebut Dhamma. Dhamma adalah kata dalam bahasa
Pali. Dhamma artinya kesunyataan mutlak, kebenaran mutlak atau hukum abadi.
Dhamma tidak hanya terdapat di dalam hati sanubari atau di dalam pikiran
manusia saja, tetapi juga terdapat di seluruh alam semesta.
Seluruh alam semesta juga merupakan Dhamma. Jika bulan timbul atau
tenggelam, hujan turun, tanaman tumbuh, musim berubah, dan sebagainya, hal
ini tidak lain juga merupakan Dhamma; juga yang membuat segala sesuatu
bergerak, yaitu sebagai yang dinyatakan oleh ilmu pengetahuan modern, seperti
ilmu fisika, kimia, biologi, astronomi, psikologi, dan sebagainya, adalah juga
merupakan Dhamma.
Dhamma merupakan hukum abadi yang meliputi seluruh alam semesta; tetapi
Dhamma seperti yang baru dijelaskan ini, adalah merupakan Dhamma yang
berkondisi atau kebenaran mutlak dari segala sesuatu yang berkondisi;
sedangkan selain itu, Dhamma adalah juga merupakan kebenaran mutlak
dari yang tidak berkondisi, yang tidak bisa dijabarkan secara kata-kata, yang
merupakan tujuan akhir kita semua.
Jadi sifat Dhamma adalah mutlak, abadi, tidak bisa di-tawar-tawar lagi.
Ada Buddha atau tidak ada Buddha, hukum abadi (Dhamma) ini akan tetap ada
sepanjang zaman.
Di dalam Dhammaniyama sutta, Sang Buddha bersabda demikian:
O, para bhikkhu, apakah para Tathagatha muncul di dunia atau tidak, terdapat
hukum yang tetap dari segala sesuatu (Dhamma), terdapat hukum yang pasti
dari segala sesuatu. .
Buddha, adalah merupakan suatu sebutan atau gelar dari suatu keadaan batin
yang sempurna. Buddha bukanlah nama diri yg dimiliki oleh seseorang, Buddha
berarti yang sadar, yang telah mencapai penerangan sempurna, atau yang telah
merealisasi kebebasan agung dengan kekuatan sendiri.
Dengan demikian, Buddha Dhamma adalah Dhamma yang telah direalisasi dan
kemudian dibabarkan oleh Buddha (yang sekarang ini bernama Gotama); atau
dapat juga dikatakan agama yang pada hakekatnya mengajarkan hukum-hukum
abadi, pelajaran tata susila yang mulia, ajaran yang mengandung paham filsafat
mendalam, yang semuanya secara keseluruhan tidak dapat dipisahkan.

Buddha Dhamma memberikan kepada penganutnya suatu pandangan tentang


hukum abadi, yaitu hukum alam semesta yang berkondisi dan yang tidak
berkondisi.
Hal tersebut semuanya juga berarti menunjukkan bahwa selain ada kehidupan
keduniaan yang fana ini, yang masih berkondisi, atau yang masih belum
terbebas dari bentuk-bentuk penderitaan; ada pula suatu kehidupan yang lebih
tinggi, yang membangun kekuatan-kekuatan batin yang baik dan benar, untuk
diarahkan pada tujuan luhur dan suci.
Dengan mengerti tentang hukum kebenaran ini, atau dapat pula dikatakan, bila
manusia sudah berada di dalam Dhamma, maka ia akan dapat membebaskan
dirinya dari semua bentuk penderitaan atau akan dapat merealisasi
Nibbana, yang merupakan terhentinya semua derita.
Tetapi, Nibbana, yang merupakan terhentinya semua derita tersebut, tidak dapat
direalisasi hanya dengan cara sembahyang, mengadakan upacara atau
memohon kepada para dewa saja, terhentinya derita tersebut hanya dapat
direalisasi dengan meningkatkan perkembangan batin.
Perkembangan batin ini hanya dapat terjadi dengan jalan berbuat kebajikan,
mengendalikan pikiran, dan mengembangkan kebijaksanaan, sehingga dapat
mengikis semua kekotoran batin, dan tercapailah tujuan akhir.
Sehingga dalam hal membebaskan diri dari semua bentuk penderitaan, untuk
mencapai kebahagiaan yg mutlak, maka kita sendirilah yang harus berusaha.
Di dalam Dhammapada ayat 276, Sang Buddha sendiri bersabda demikian :
Engkau sendirilah yang harus berusaha,
para Tathagata hanya menunjukkan jalan.
Tujuan Hidup Umat Buddha
Setelah kita dapat mengerti atau memahami apa arti Buddha Dhamma, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya tadi, maka kita sudah dapat mengetahui
bahwa tujuan hidup umat Buddha adalah tercapainya suatu kebahagiaan, baik
kebahagiaan yang masih bersifat keduniawian
Banyak orang yang masih memiliki salah pengertian mengatakan bahwa,Agama
Buddha (Buddha Dhamma) hanya menaruh perhatian kepada cita-cita yang
luhur, moral tinggi, dan pikiran yang mengandung filsafat tinggi saja, dengan
mengabaikan kesejahteraan kehidupan duniawidari umat manusia.
Padahal, Sang Buddha di dalam ajaran-Nya, juga menaruh perhatian besar
terhadap kesejahteraan kehidupan duniawi dari umat manusia, yang merupakan
kebahagiaan yang masih berkondisi.
Memang, walaupun kesejahteraan kehidupan duniawi bukanlah merupakan
tujuan akhir dalam Agama Buddha, tetapi hal itu bisa juga merupakan salah satu

kondisi (sarana / syarat) untuk tercapainya tujuan yang lebih tinggi dan luhur,
yang merupakan kebahagiaan yang tidak berkondisi,yaitu terealisasinya
Nibbana.
Sang Buddha tidak pernah mengatakan bahwa kesuksesan dalam kehidupan
duniawi adalah merupakan suatu penghalang bagi tercapainya kebahagiaan
akhir yang mengatasi keduniaan.
Sesungguhnya yg menghalangi perealisasian Nibbana, bukanlah kesuksesan
atau kesejahteraan kehidupan duniawi tersebut, tetapi kehausan dan
keterikatan batin kepadanya itulah, yang merupakan halangan untuk
terealisasinya Nibbana.
Di dalam Vyagghapajja sutta, seorang yang bernama Dighajanu, salah seorang
suku Koliya, datang menghadap Sang Buddha. Setelah memberi hormat, lalu ia
duduk di samping beliau dan
kemudian berkata:
Bhante, kami adalah upasaka yang masih menyenangi kehidupan duniawi,
hidup berkeluarga, mempunyai isteri dan anak. Kepada mereka yang seperti
kami ini, Bhante, ajarkanlah suatu ajaran (Dhamma) yang berguna untuk
mendapatkan kebahagiaan duniawi dalam kehidupan sekarang ini,dan juga
kebahagiaan yang akan datang.
Menjawab pertanyaan ini, Sang Buddha bersabda bahwa ada empat hal yang
berguna yang akan dapat menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi
sekarang ini, yaitu:
1. Utthanasampada: rajin dan bersemangat dalam mengerjakan apa saja,
harus terampil dan produktif; mengerti dengan baik dan benar terhadap
pekerjaannya, serta mampu mengelola pekerjaannya secara tuntas.
2. Arakkhasampada: ia harus pandai menjaga penghasilannya, yang
diperolehnya dengan cara halal, yang merupakan jerih payahnya sendiri.
3. Kalyanamitta: mencari pergaulan yang baik, memiliki sahabat yang baik,
yang terpelajar, bermoral, yang dapat membantunya ke jalan yang benar, yaitu
yang jauh dari kejahatan.
4. Samajivikata: harus dapat hidup sesuai dengan batas-batas kemampuannya.
Artinya bisa menempuh cara hidup yang sesuai dan seimbang dengan
penghasilan yang diperolehnya, tidak boros, tetapi juga tidak pelit / kikir.
Keempat hal tersebut adalah merupakan persyaratan (kondisi) yang dapat
menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi sekarang ini, sedangkan
untuk dapat mencapai dan merealisasi kebahagiaan yang akan datang, yaitu
kebahagiaan dapat terlahir di alam-alam yang menyenangkan dan kebahagiaan
terbebas dari yang berkondisi, ada empat persyaratan pula yang harus dipenuhi,
yaitu sebagai berikut:

1. Saddhasampada: harus mempunyai keyakinan, yaitu keyakinan terhadap


nilai-nilai luhur. Keyakinan ini harus berdasarkan pengertian, sehingga dengan
demikian diharapkan untuk menyelidiki, menguji dan mempraktikkan apa yang
dia yakini tersebut.
Di dalam Samyutta Nikaya V, Sang Buddha menyatakan demikian:
Seseorang yang memiliki pengertian, mendasarkan keyakinannya sesuai
dengan pengertian.
2. Silasampada: harus melaksanakan latihan kemoralan, yaitu menghindari
perbuatan membunuh, mencuri, asusila, ucapan yang tidak benar, dan
menghindari makanan/minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran
(hilangnya pengendalian diri).
Sila bukan merupakan suatu peraturan larangan, tetapi merupakan ajaran
kemoralan yang bertujuan agar umat Buddha menyadari adanya akibat baik dari
hasil pelaksanaannya, dan akibat buruk bila tidak melaksanakannya. Dengan
demikian, berarti dalam hal ini, seseorang bertanggung jawab penuh terhadap
setiap perbuatannya.
Pelaksanaan sila berhubungan erat dengan melatih perbuatan melalui ucapan
dan badan jasmani. Sila ini dapat diintisarikan menjadi hiri (malu berbuat jahat /
salah) dan ottappa (takut akan akibat
perbuatan jahat / salah).
Bagi seseorang yang melaksanakan sila, berarti ia telah membuat dirinya
maupun orang lain merasa aman, tentram, dan damai. Keadaan aman, tenteram
dan damai merupakan kondisi yang tepat untuk membina, mengembangkan &
meningkatkan kemajuan serta kesejahteraan masyarakat dalam rangka
tercapainya tujuan akhir, yaitu terealisasinya Nibbana.
3. Cagasampada: murah hati, memiliki sifat kedermawanan, kasih sayang, yang
dinyatakan dalam bentuk menolong mahluk lain, tanpa ada perasaan
bermusuhan atau iri hati, dengan tujuan agar mahluk lain dapat hidup tenang,
damai, dan bahagia.
Untuk mengembangkan caga dalam batin, seseorang harus sering melatih
mengembangkan kasih sayang dengan menyatakan dalam batinnya
(merenungkan) sebagai berikut:
Semoga semua mahluk berbahagia, bebas dari penderitaan, kebencian,
kesakitan, dan kesukaran. Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan
mereka sendiri.
4. Panna: harus melatih mengembangkan kebijaksanaan, yang akan membawa
ke arah terhentinya dukkha (Nibbana).
Kebijaksanaan di sini artinya dapat memahami timbul dan padamnya segala
sesuatu yang berkondisi; atau pandangan terang yang bersih dan benar

terhadap segala sesuatu yang berkondisi, yang membawa ke arah terhentinya


penderitaan.
Panna muncul bukan hanya didasarkan pada teori, tetapi yang paling penting
adalah dari pengalaman dan penghayatan ajaran Buddha.
Panna berkaitan erat dengan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak perlu
dilakukan. Singkatnya ia mengetahui dan mengerti tentang: masalah yang
dihadapi, timbulnya penyebab masalah itu, masalah itu dapat dipadamkan /
diatasi dan cara atau metode untuk memadamkan penyebab masalah itu.
Itulah uraian dari Vyagghapajja sutta yang ada hubungannya dengan kesuksesan
dalam kehidupan duniawi yang berkenaan dengan tujuan hidup umat Buddha.
Sutta lain yang juga membahas tentang kesuksesan dalam kehidupan duniawi
ini, bisa kita lihat pula dalam Anguttara Nikaya II 65, di mana Sang Buddha
menyatakan beberapa keinginan yang wajar
dari manusia biasa (yang hidup berumah tangga), yaitu:
1. Semoga saya menjadi kaya, dan kekayaan itu terkumpul dengan cara yang
benar dan pantas.
2. Semoga saya beserta keluarga dan kawan-kawan, dapat mencapai kedudukan
social yang tinggi.
3. Semoga saya selalu berhati-hati di dalam kehidupan ini, sehingga saya dapat
berusia panjang.
4. Apabila kehidupan dalam dunia ini telah berakhir, semoga saya dapat
terlahirkan kembali di alam kebahagiaan (surga).
Keempat keinginan wajar ini, merupakan tujuan hidup manusia yang masih
diliputi oleh kehidupan duniawi; dan bagaimana caranya agar keinginankeinginan ini dapat dicapai, penjelasannya adalah sama dengan uraian yang
dijelaskan di dalam Vyagghapajja sutta tadi.
Jadi, jelaslah sekarang bahwa Sang Buddha di dalam ajaran Beliau, sama sekali
tidak menentang terhadap kemajuan atau kesuksesan dalam kehidupan duniawi.
Dari semua uraian di atas tadi, bisa kita ketahui bahwa Sang Buddha juga
memperhatikan kesejahteraan dalam kehidupan duniawi; tetapi memang, Beliau
tidak memandang kemajuan duniawi sebagai sesuatu yang benar, kalau hal
tersebut hanya didasarkan pada kemajuan materi semata, dengan mengabaikan
dasar-dasar moral dan spiritual;
Sebab seperti yang dijelaskan tadi, yaitu bahwa tujuan hidup umat Buddha,
bukan hanya mencapai kebahagiaan di dalam kehidupan duniawi (kebahagiaan
yang masih berkondisi saja), tetapi juga bisa merealisasi kebahagiaan yang tidak
berkondisi, yaitu terbebas total dari dukkha, terealisasinya Nibbana.

Maka meskipun menganjurkan kemajuan material dalam rangka kesejahteraan


dalam kehidupan duniawi, Sang Buddha juga selalu menekankan pentingnya
perkembangan watak, moral, dan spiritual, untuk menghasilkan suatu
masyarakat yang bahagia, aman, dan sejahtera secara lahir maupun batin;
dalam rangka tercapainya tujuan akhir, yaitu terbebas dari dukkha atau
terealisasinya Nibbana.

Kerukunan Hidup Umat Beragama


Kerukunan hidup umat beragama akan bisa tercapai apabila setiap golongan
agama memiliki prinsip setuju dalam perbedaan yang artinya mau menerima
dan menghormati orang lain dengan seluruh aspiraasi, keyakinan, kebiasaan dan
pola hidupnya.Memelihara kerukunan antar umat beragama tidaklah berarti
bahwa masing-masing agama harus mempertahankan status masing-masing
sehingga menghyambat kemajuan.
Agar kerukunan hidup beragama dapar dipelihara dengan baik, kita wajib
membina dan melaksanakan usaha-usaha kearah terbinanya kerukunan hidup
yaitu:
1. Tidak memaksakan kehendak atau keyakinan kepada orang lain.
2. Bekerjasama dan gotong royong untuk mengerjakan sesuatu yang menyagkut
kepentingan bersama.
3. Tidak membeda-bedakan antar umat dal hal agama dan keyakinan yang
dianut.
4. Memberi kesempatan penuh kepada orang lain untuk menjalankan ibadahnya.
5. Menghormati orang lain yang sedang menjalankan ibadahnya.
6. Saling menghormati perayaan hari besar agama.
Agama Buddha adalah agama yang menjunjung tinggi keerukunan umat
beragama. Sejarah perkembangan agama Buddha telah membuktikan bahwa
apabila kerukunan umat beragama dapat terbina, maka dengan sendirinya akan
terwujud pula persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk memelihara kerukunan hidup antar umat beragama, sang Buddha
telah memberi petunjuk berupa enam Faktor yang Membawa Keharmonisan
atau (Saraniya Dhamma) yaitu:
1.
Cinta kasih diwujudkan dalam cinta kasih
2.
Cinta kasih diwujudkan dalam tutur kata
3.
cinta kasih diwujudkan dalam pikiran dan pemikiran dengan itikad baik
kepada orang lain
4.
memberi kesempatan yang wajar kepada sesamanya untuk menikmati apa
yang diperoleh secara halal.
5.
Didepan umum maupun pribadi, ia menjalankan kehidupan bermoral, tidak
berbuat sesuatu yang melukai orang lain.
6.
Didepan umum maupun pribadi, memiliki pandangan yang sama yang
bersifat membebaskan dari penderitaan dam membawanya bebuat sesuai

dengan pandangan tersebut, hidup harmonis, tidak bertengkar karena


perbedaan pendapat (Anguttara Nikaya III, 288-289).
Tiga kerukunan hidup umat beragama yaitu:
Kerukunan intern umat beragama, artinya harus ada kerukunan dalam satu
agama sendiri. Contohnya antara aliran agama Buddha yaitu Theravada,
Mahayana, dan Tantrayana.
Kerukunan antar umat beragama, artinya terdapat kerukunan antara agama satu
dengan yang lainya Contohnya antara agama Buddha dengan Islam, Kristen
dengan Hindu.
Kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah, artinya setiap kegiatan
keagamaan tidak boleh bertentangan dengan peraturan dan kebijaksanaan
pemerintah. Contohnya dalam hal pendataan, pengandaan kitab suci, dan
pembinaan umat.
Tiga kerukunan hidup beragama merupakan landasan utama yang dapat
memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Sikap-Sikap Dalam Kehidupan Bermasyarakat
1. Eksklusivisme
Adalah suatu paham yang mempunyai kecenderungan untuk melihat
kelompoknya sendiri sebagai satu-satunya yang ada, sedangkan keberadaan
kelompok lain tidak termasuk dalam perhitungan atau dipandang sebagai serba
kurang dari kelompoknya sendiri.
2. Inklusivisme
Adalah suatu paham yang mencakup atau terbuka artinya kenyataan diluar
lingkungannya tidak ditolak, melainkan dicakup, diakui keberadaannya dan diberi
perhatian, bukan untuk menghilangkan tetapi untuk menghargainya.
3. Paralelisme atau Pluralisme
Orang-orang yang menganut paham ini bertumbuh dari sikap eksklusivisme
menjadi terbuka kepada orang lain. Keberadaan kelompok paham ini dapat
memperkaya kelompoknya, sikap menghargai kelompok lain dengan
memandang sebagai bermakna dalam dirinya sendiri, dan terbuka menerima
kelompok lain juga disebut paralelis, artinya sikap sejajar karena menerima
kemajemukan.

4. Utuh terbuka
Adalah sikap menghormati orang lain dan budaya lain, serta sekaligus tradisi
mereka sehingga nilai-nilai budaya tidak menjadi prinsip-prinsip tetapi

penghayatan yang membentuk tradisi. Sikap ini tumbuh melalui perkembangan


sikap inklusivisme dan pluralisme.
Peranan Agama-Agama
Di dalam keyakinan umat beragama, umat Buddha hendaknya menanamkan
keyakinan yang kokoh kepada Tuhan Yang Maha Esa, Buddha, Dhamma dan
Sangha, sehingga terjalin suatu toleransi sesama agama yang ada di Indonesia.
Dasar keyakinan agar terbentuknya suatu kerukunan umat beragama dalam
agama Buddha, diikrarkan oleh raja Asoka Wardana yang merupakan salah satu
raja yang berkeyakinan terhadap Buddha. Hal ini dapat dibuktikan dengan
adanya Prasasti Batu Kalinga No XXII Raja Asoka yang memeluk agama Buddha
pada abad ketiga sebelum masehi, yang berbunyi:
Janganlah kita menghormati (mazhab) sendiri dengan mencela agama orang
lain tanpa sesuatu dasar yang kuat.Sebaliknya agama orang lain hendaknya
dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian, kita telah
membantu agama kita sendiri untuk berkembang, disamping pula tidak
merugikan agama orang lain. Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan
dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya memperhatikan dan
bersedia mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain.

Tripitaka atau Tipitaka


Tripitaka / Tipitaka merupakan kitab suci agama Buddha yang berisi berbagai
sutta atau ajaran dari Sang Buddha untuk umat Buddha.Kitab suci ini ditemukan
dalam bahasa Pali dan bahasa Sansekerta. Nama umum yang diberikan untuk
kumpulan kitab suci agama Buddha adalah Tripitaka. "Tri " berarti "tiga " dan
"pitaka " berarti "keranjang " atau bisa diartikan sebagai "kumpulan ". Jadi
Tripitaka mempunyai arti " Tiga Keranjang " atau "Tiga Kumpulan", yang terdiri
dari:
1. Vinaya Pitaka atau Kumpulan ajaran yang diperuntukkan bagi upasakaupasika atau
umat vihara.
2. Sutta/Sutra Pitaka atau Kumpulan Ceramah/Dialog.
3. Abhidhamma/Abhidharma Pitaka atau Kumpulan Doktrin Yang Lebih
Tinggi, hasil susunan sistematis dan analisis skolastik dari bahan-bahan yang
ditemukan dalam Sutta/Sutra Pitaka.
Tipitaka terbagi atas 3 bagian :
1. VINAYA PITAKA : berisi peraturan & disiplin bagi bhikkhu/ni & samanera/ri
terdiri dari 5 kitab
a. Parajika
b. Pacittiya
c. Mahavagga
d. Culavagga
e. Parivara
2. SUTTA PITAKA : berisi kumpulan khotbah Sang Buddha terdiri dari 5 Nikaya
a. Digha Nikaya : berisi khotbah ukuran panjang 34 sutta.
1. Silakkhanda vagga (13 sutta)

2. Maha vagga (10 sutta)


3. Pathika vagga (11 sutta)
b. Majjhima Nikaya : berisi khotbah ukuran sedang (5 vagga) 152 Sutta.
1. Mula Pannasa
a. Mula pariyaya vagga (10 sutta)
b. Silanda vagga (10 sutta)
c. Opamma vagga (10 sutta)
d. Culamaya vagga (10 sutta)
2. Majjhima Pannasa
a. Gahapati vagga (10 sutta)
b. Bhikkhu vagga (10 sutta)
c. Paribbajaka vagga (10 sutta)
d. Raja vagga (10 sutta)
e. Culamayaka vagga (10 sutta)
3. Uppari Pannasa
a. Devadaha vagga (10 sutta)
b. Anupada vagga (10 sutta)
c. Sunnata vagga (10 sutta)
d. Vibhanga vagga (10 sutta)
e. Salayatana vagga (10 sutta)
c. Samyutta Nikaya : berisi 5 Samyutta (7.762 sutta)
1. Sagatha ragga samyutta
2. Nidana ragga samyutta
3. Khanda ragga samyutta
4. Salayata ragga samyutta
5. Maha raga samyutta
d. Anguttara Nikaya : berisi 11 Nipata (9.557 sutta)
1. Ekaka Nipata
2. Duka Nipata
3. Tika Nipata
4. Cattuka Nipata
5. Pancaka Nipata
6. Chakka Nipata
7. Sattaka Nipata
8. Attaka Nipata
9. Navaka Nipata
10. Dasaka Nipata
11. Ekadasaka Nipata
e. Khuddaka Nikaya : berisi 15 kitab
1. Khuddaka Patta
2. Dhammapada

3. Udana
4. Ittivuttaka
5. Sutta Nipata
6. Vimana vatthu
7. Peta vatthu
8. Thera vatthu
9. Theri vatthu
10. Jataka
11. Nidessa
12. Patismbhidamaga
13. Apadana
14. Buddhavamsa
15. Carita pitaka
3. ABHIDHAMMA PITAKA : berisi tentang ilmu jiwa, metafisika, filsafat Buddha
terdiri dari 7 kitab
a. Dhamma sangani
b. Dhatukattha
c. Puggala Pannati
d. Katha vatthu
e. Yamaka
f. Patthana

MAKNA BERIMAN KEPADA TUHAN


A. DASAR-DASAR KEYAKINAN UMAT BUDDHA
Keyakinan atau kepercayaan adalah kekayaan yang terbaik yang dapat
dimiliki seseorang (Samyutta Nikaya I, 41) Kekayaan yang dimaksud tidak
hanya harta benda, tetapi juga sukses dalam kehidupan sosial, hingga
dilahirkan dialam-alam surga dan puncaknya mencapai Nibbana.
Keyakinan dapat merubah penderitaan menjadi kebahagiaan. Dalam
rumusan sebabmusabab yang saling bergantungan disebutkan bahwa
penderitaan menimbulkan kebahagian, keyakinan menimbulkan rasa
gembira. Rasa gembira menimbulkan rasa terpesona dst.
Keyakinan dalam agama Buddha (Saddha atau sradha) bukanlah suatu
keyakinan yang tidak disasri dengan pengertian (keyakinan yang
membuta), tetapi keyakian yang berlandaskan pada pengertian yang
benar, kebijaksanaan, yang diperoleh dari penyelidikan, pengamatan,
pembuktian (datang, melihat, mengalami) kejadian dengan sendiri.
Dengan demikian ketika seseorang mengalami hal tersebut, maka
keyakinan itu akan tumbuh dengan kuat didalam dirinya, karena ia telah
membuktikan sendiri. Umat Buddha mempunyai Saddha dalam bahasa
Pali atau Sraddha dalam bahasa Sanskerta yang berarti keyakinan sering
disebut Sad Saddha, yaitu:
1.
Keyakinan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa;
Setiap agama yang berkembang atau yang diakui oleh pemerintah
Indonesia harus memenuhi beberapa kriteria yang salah satunya adalah
mempunyai Tuhan, dan dalam sebutannyapun berbeda-beda sesuai
dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Semua sekte agama

Buddha di Indonesia berkeyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan


menyebut-Nya dengan sebutan yang berbeda-beda tetapi pada
hakekatnya adalah satu. Sebutan Tuhan Yang Maha Esa; antara lain:
Parama Buddha, Sanghyang Adi Buddha, Hyang Tathagata, Yang Esa dan
sebagianya.
Ajaran agama tentang keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa berbedabeda. Sekalipun tampaknya ada hal-hal yang bertentangann, terdapat halhal yang sama yaitu Dia yang Mutlak. Sang Buddha mengungkapkan
sebagai berikut
Para Bhikkhhu, ada yang tidak dilahirkan (Ajata), yang tidak menjelma
(Abhuta), yang tidak dicciptakan (Akata), yang mutlak (Asankhata). Para
Bhikkhu, apabila tiada yang dilahirkan, yang tidak menjelma, yang tidak
diciptakan, yang mutlak, maka tidak akan ada kemungkinan untuk bebas
dari hal-halberikut ini, yaitu kelahiran,
penjelmaan,penciptaanpembentukan dari sebab yang lalu. Tetapi para
Bhikkhu, karena ada yang tidak dilahirkan yang tidak menjelma, yang
tidak diciptakan, yang mutlak, maka ada kemungkinan untuk bebas dari
hal-hal berikut ini, kelahiran, penjelmaan,penciptaan pembentukan dari
sebab yang lalu. (Udana.VII:3)
2.
Keyakinan Terhadap Tri Ratna/Tiratana:
Keyakinan terhadap Tri Ratna/ Tiratana adalah keyakinan terhadap
Buddha, Dhamma dan Sangha. Umat memiliki keyakinan kepada Buddha,
karena jasa sang Buddha kita dapat mengenal dan belajar Dhamma. Umat
Buddha mempunyai keyakinan terhadap Dhamma, dengan melaksanakan
Dhamma dalam kehidupannya dan merealisasikannya ia mencapai
tingkat-tingkat kesucian, mereka yang mencapai tingkat Arahat
dapat mengatasi usia tua, sakit dan mati, serta mematahkan roda
samsara. Umat Buddha yakin kepada Sangha, karena Sanghalah maka
Dhamma dapat lestari di dunia ini sampai sekarang. Tanpa adanya
Sangha, kita tidak dapat mengenal Dhamma yang dibabarkan oleh Sang
Buddha Gotama.
3.
Keyakinan Terhadap Adanya Bodhisatva, Arahat dan Deva:
Bodhisatva adalah calon Buddha atau seorang yang bercita-cita dan
bertekad untuk menjadi Buddha. Buddha Sakyamuni Gotama sebelum
menjadi Buddha terlebih dahulu terlahir sebagai seorang Bodhisatva yang
harus menyempurnakan paramita atau sifat-sifat luhur.
Arahat adalah siswa Sang Buddha, karena ketekunan dan keyakinannya
melaksanakan ajaran Sang Buddha dalam kehidupan sehari-hari, berlatih
dalam sila, Samadhi dan Panna, sehingga dapat mengatasi serta
melenyapkan semua kekotoran batin dan mencapai tingkat kesucian
tertinggi.
Dewa adalah makhluk yang hidup di alam Dewa/Surga , yang hidup dari
hasil ciptaanya sendiri berkat kekuatan karma baik atau kusala- kamma
yang dilakukan pada kehidupannya lampau maupun semasa di alam
Dewa.
4.
Keyakinan Terhadap Hukum Kesunyataan;
Umat Buddha mempunyai keyakinan terhadap Hukum Kesunyataan yang
telah diajarkan oleh Sang Buddha. Hukum Kesunyataan tersebut terdiri
dari:

a.
Hukum Empat Kesunyataan Mulia (Cattari Ariya Saccani)
yang memuat tentang: Kesunyataan Mulia tentang Dukkha atau
penderitaan; Sebab dukkha (Dukkha Samudaya) yaitu Tanha; Lenyapnya
dukkha (Dukkha Nirodha) yaitu Nibbana atau Nirvana; dan Jalan untuk
melenyapkan Dukkha (Dukkha Nirodha Gaminipatipada) yaitu delapan
Jalan Utama beruas delapan yang terdiri dari 1) Pandangan Benar
(Sammaditthi); 2) Pikiran Benar (Samma Sankapa); 3) Ucapan Benar
(Samma Vacca); 4) Perbuatan Benar (Samma Kammanta); 5)
Matapencaharian Benar (Samma Ajiva); 6) Daya Upaya Benar
(Samma Vayama); 7) Perhatian Benar (Samma Sati) dan 8)
Konsentrasi Benar (Samma Samadhi).
b.
Hukum Karma dan Punarbhava (tumimbal lahir)
c.
Hukum Tilakkhana (Hukum tentang Tiga corak umum yaitu:
Anicca, Dukkha, dan Anatta)
d.
Hukum Paticca Samuppada yaitu Hukum sebab musabab yang
saling bergantungan.
5.
Keyakinan Terhadap Kitab Suci;
Keyakinan umat Buddha terhadap isi Kitab Tipitaka dilandaskan pada
pandangan (teoritis) bahwa dalam kitab suci dibahas hal-hal yang diyakini
seperti:
Adanya Tuhan Yang Maha Esa, Tiratana, Tilakkhana, Cattari Ariya Saccani,
Paticca-samuppada, kamma, punarbhava, Nibbana dan Bodhisatva,
pencapaian Nibbana atau kesucian batin, adanya surga, neraka, alamalam kehidupan lain, dsb.Adanya siswa Sang Buddha yang mencapai
kesucian seperti apa yang dicapai Sang Buddha sendiri, yang dicapai
mereka ketika mereka sedang mendengarkan khotbah Dhamma dari Sang
Buddha.Adanya uraian tentang cara yang dapat dilaksanakan, yang
sesuai dengan apa yang diajarkan Sang Buddha, yang bila dipraktekkan
dan berhasi, maka kita akan dapat mencapai kesucian batin (nibbna) pada
kehidupan sekarang ini juga.
Ajaran Agama Buddha yang diuraikan dalam kitab suci Tipitaka dikatakan
realistis, karena yang diuraikan dalam kitab suci Tipitaka merupakan
pengalaman Sang Buddha dan para siswanya.
6.
Keyakinan Terhadap Nirvana atau Nibbana.
Keyakinan umat Buddha terhadap adanya Nibbana didasarkan pada
khotbah Sang Buddha yang pertama yaitu Dhammacakkhapavatthana-Sutta. Khotbah tersebut dinyatakan bahwa untuk
mengatasi penderitaan akibat roda samsara adalah dengan pencapaian
Nibbana. Selain itu Sang Buddha menjelaskan tentang Nirvana atau
Nibbana kepada Ananda demikian: Ini adalah aman tentram, ini adalah
suci, luhur, dimana semua bentuk kamma telah berhenti, gugurnya semua
lapisan kehidupan, padamnya keinginan nafsu (tanha) disanalah Nirvana
atau Nibbana.
B. HAKEKAT KETUHANAN
Ajaran Agama Buddha menekankan keyakinan adanya Tuhan Yang Maha
Esa sebagai Yang tidak dilahirkan, Yang tak dijadikan, Yang tak diciptakan
dan Yang Mutlak, Kemutlakan Tuhan Yang Maha Esa adalah impersonal
yang tak dapat dijabarkan secara anthropomorphisme (mempunyai raga
atau bentuk seperti manusia) maupun secara anthropopatisme

(mempunyai sifat seperti manusia. Membayangkan atau menggambarkan


Tuhan dengan bayangan yang diciptakan oleh manusia sendiri secara
visual maupun abstrak hasilnya tidak tepat untuk dapat mengerti tentang
Tuhan. Menurut ajaran Agama Buddha, alam semesta dengan segala
isinya diatur oleh sebuah hukum universal yang berlaku di semua alam
kehidupan, kecuali (Nibbana)
(31 alam kehidupan, termasuk alam manusia), segala Isi Bumi, Tata Suryatata surya maupun semua galaksi di jagat raya ini.
Ketuhanan dalam Agama Buddha
Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha esa melalui proses secara
penalaran yang telah dikembangkan atau melalui Bodhi (penerangan
sempurna). Dalam agama Buddha telah diajarkan tentang ketuhanan
sejak Sang Buddha membabarkan Dhamma yang pertama kali, yang
memungkinkan kita terbebas dari samsara atau lingkaran tumimbal lahir.
Tidak benar sama sekali seandainya ada sementara orang yang
beranggapan bahwa agama Buddha tidak ber-Tuhan. Mungkin sementara
orang tersebut menuntut adanya konsep atau definisi dan nama sebutan
untuk Tuhan, seperti apa yang mereka ketahui dalam agama mereka.
Akan tetapi mereka itu apabila mau mempelajari Kitab Suci Tipitaka/ Tri
Pitaka maka akan menemukan sabda Sang Buddha tentang adanya
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam agama Buddha, Tuhan yang Maha Esa tidak dipandang sebagai
suatu pribadi (puggala adhitthana), yang kepada-Nya umat Buddha
memanjatkan doa dan menggantungkan hidupnya, akan tetapi agama
Buddha mengajarkan bahwa nasib, penderitaan dan keberuntungan
manusia adalah hasil perbuatan sendiri di masa lampau dan sekarang,
sesuai dengan hukum karma yang merupakan suatu aspek dari hukum
Universal, Dhammaniyama. Dhammaniyama tetap ada walaupun ada
Buddha atau tidak. Dhammaniyama ditemukan dan diformulasikan dalam
bahasa dan diajarkan kepada umat manusia agar dimengerti cara
kerjanya. Hukum Universal, Dhammaniyama akan diuraikan secara rinci
pada bagian lain.
Yang mutlak adalah istilah falsafah, bukan istilah yang biasa dipakai dalam
kehidupan sehari-hari dalam keagamaan. Dalam kehidupan beragama,
Yang mutlak disebut dengan Tuhan Yang Maha Esa. Kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam agama Buddha dapat kita temui
dalam kitab Udana VIII; 3 sebagai berikut:
Atthi bhikkhave ajatam abhutam akatam asankhatam, no cetam
bhikkhave abhavisam abhutam akatam asankhatam, nayidha
jatasa bhutassa sankhatassa nissaranam pannayetha. Yasma ca
kho bhikhave atthi sankhatassa nissaranam pan naya `ti
Artinya :
Para Bhikkhu ada yang tidak dilahirkan , tidak menjelma, tidak tercipta,
yang mutlak. Para Bhikkhu, jika tidak ada yang dilahirkan tidak menjelma,
tidak tercipta, yang mutlak maka kemungkinan untuk bebas dari
kelahiran, penjelmaan, pembentukan, pemunculan dari sebuah yang lalu.
Sabda Sang Buddha ini, menegaskan adanya Yang Mutlak, Tuhan Yang
Maha Esa, yang tak digambarkan atau dibayangkan bagaimana wujudnya,
karena tanpa wujud, abstrak dan absolut. Setelah mengetahui konsep

Ketuhanan tersebut di atas, maka timbul pertanyaan dari orang tentang


siapakah nama Tuhan dalam agama Buddha ? Karena kita tahu dalam
kebudayaan Indonesia yang sudah mendarah daging pada diri kita, atau
seluruh bangsa Indonesia, yang mana sudah terbiasa untuk mengetahui
nama sesuatu apapun, maka timbullah pertanyaan seperti itu.
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, kita bicara tetang hubungan
antara nama dan benda. Jika ada nama-nama pasti ada benda atau ada
wujud-Nya, meskipun itu dapat ditangkap oleh panca indera kita maupun
tidak. Kita ambil contoh : ada nama batu, maka kita akan langsung
mengetahui bentuk dari apa yang disebut tadi. Artinya kita dapat
menunjukan yang disebut dengan batu. Demikian juga dengan air kita
mengetahui bentuk dari apa yang disebut.
Dari pengertian-pengertian tersebut di atas, maka umat Buddha yang
mengenai benar tentang hal ini, tidak akan berani memusnahkan yang
mutlak. Tetapi untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas, dapat
diterangkan sebagai berikut : Tuhan dalam agama Buddha adalah Atthi
Ajatam Abbhutam Akatam Asankhatam: Jelas disini bahwa agama
Buddha adalah percaya dan yakin terhadap Tuhan yang Maha Esa.
Kalau ada orang yang mengatakan bahwa agama Buddha tidak
ber-Tuhan itu tidak benar. Walaupun dalam menyebut nama Tuhan
itu berbeda-beda, tetapi pada hakekatnya adalah sama.

Anda mungkin juga menyukai