Anda di halaman 1dari 34

PENGANTAR SINGKAT SEJARAH FILSAFAT BUDDHIS

February 2, 2013 at 9:48pm

Oleh: Victor Alexander Liem, C.Ht, M.CH

BuddhaBuddha

Pada tahun 1970-an ketika saya berkunjung ke India sebagai seorang


mahasiswa, tanpa disadari saya mempelajari Abhidharma, salah satu
contoh istimewa psikologi kuno dari agama Buddha. Saya terkejut
sekaligus kagum ketika menemukan bahwa pertanyaan mendasar yang
diajukan oleh ilmu pengetahuan telah dibahas serta diselidiki selama
ribuan tahun, bukan sekedar satu atau dua ratus tahun. Psikologi klinik,
bidang saya pada waktu itu, adalah cabang psikologi yang berusaha
membantu meringankan bermacam-macam penyakit menyangkut emosi.
Tetapi saya terkejut ketika saya menemukan kalau sistem yang usianya
mencapai milenium ini mengungkapkan sekumpulan metode yang bukan
hanya berguna untuk menyembuhkan penderitaan mental, tetapi juga
mengembangkan sifat positif manusia seperti kasih sayang dan empati.
Saya takjub karena saya belum pernah mendengar jenis psikologi ini di
mana pun juga pada masa-masa studi saya.
(Daniel Goleman, perintis Teori Emotional Intelegence)

1.

Pendahuluan

Ketertarikan saya terhadap sejarah agama adalah mempelajari sistem


pemikiran yang dipengaruhi keadaan dari zaman ke zaman sebelum
sistem filsafat tersebut diadopsi menjadi bentuk agama formal dengan
sejumlah pengikutnya. Tulisan ini adalah kelanjutan dari tulisan saya
sebelumnya yang berjudul Pengantar Singkat sejarah filsafat India. Pada

kesempatan ini saya akan mengupas sejarah filsafat Buddhis, sebelum


nanti tentang sejarah tantra baik tantra Hindu maupun Buddhis.

Saya membatasi tulisan ini pada sejarah filsafat Buddhis di India


khususnya perkembangan Mahyna (yang merupakan fase pra-tantra)
dan sekilas aliran Theravda yang berkembang pada mulanya di
Srilangka,

yang

sering

keliru

digolongkan

sebagai

Hnayna.

Perkembangan Buddhisme dalam bentuk tantra maupun penyebarannya


diluar batas India memiliki corak dan bentuknya tersendiri, yang terlalu
luas jika dibahas dalam tulisan ini.

Tujuan penulisan ini hanya untuk menyajikan penjelasan singkat, sebelum


nantinya

mungkin

pembaca

berminat

untuk

mempelajari

dan

mengkajinya lebih mendalam. Tanpa dasar pemahaman sejarah filsafat,


sering hanya mengikuti sesuai tradisi, tanpa memahami berpijak pada
fondasi dari ajaran itu sendiri. Masih belum setiap aliran melakukan
pembenaran diri, namun jika kita menganalisa dalam konteks sejarah,
tentu ada hikmah-hikmah tertentu yang bisa dipetik bahkan bagi mereka
yang bukan Buddhis sekalipun.

2.

Buddhisme

Buddhisme didirikan oleh Siddhartha Gautama / Siddhattha Gotama (563483 SM) atau yang lebih dikenal sebagai Buddha, yang berarti: yang
tersadarkan. Siddhartha sebelumnya adalah seorang pangeran dari
kerajaan Kapilavastu, di India Utara yang berbatasan dengan Nepal.
Setelah melihat dan merealisasikan adanya fakta tentang penderitaan
(dukkha), pada usia 29 tahun, Siddhartha memilih menjadi seorang
pertapa meninggalkan sanak keluarga dan kerajaannya untuk mencari
resep obat penderitaan. Siddhartha berkelana dan belajar dari guru-guru

terkenal pada zamannya. Siddhartha juga pernah melakukan praktik jain


dengan

menyiksa

diri

dan

tidak

mendapatkan

hasil.

Akhirnya

memutuskan untuk menggunakan metodenya sendiri dan mencapai


pencerahan pada usia 35 tahun.

Buddha mengajar pertama kali di Benares kepada lima orang pertapa


yang pernah menjadi rekan praktik bertapa menyiksa diri. Ajaran yang
diberikan pada mereka adalah jalan tengah (majjhim patipad) dan
empat kebenaran utama (cattri ariya saccni). Ajaran jalan tengah
menunjukkan posisi filsafat Buddhis dalam konteks filsafat India pada
waktu itu. Buddhisme lahir atas reaksi ortodoks Veda. Sikap non ortodoks
seperti ini, bukan hanya dari Buddhisme, diantara yang lain adalah
Carvakisme dan Jainisme. Namun perlu dipahami bahwa Buddhisme juga
merupakan reaksi atas Carvakisme dan Jainisme. Carvakisme yang
termasuk

paham

materialis

menganjurkan

pengejaran

kesenangan

(kma). Jainisme terlalu mengedepankan sel kehidupan yang dipercaya


sebagai kemurnian sejati yang akan sempurna jika melakukan disiplin
bertapa keras dan menyiksa diri. Jalan tengah (majjhim patipad) adalah
menolak dua ekstrim, yaitu ekstrim pengejaran kesenangan indriawi
maupun

ekstrim

bertapa

menyiksa

diri.

Melalui

jalan

tengah,

kebijaksanaan akan tumbuh dan akhirnya membawa pada kebebasan.

Empat kebenaran utama merupakan sistematika dasar ajaran Buddha.


Semua aliran Buddhis menerima doktrin dasar ini dan menjadikannya
sebagai acuan. Empat kebenaran utama yang pertama adalah kebenaran
tentang penderitaan (dukkha ariya sacca). Kebenaran kedua adalah sebab
penderitaan

(dukkha

samudaya

ariya

sacca).

Yang

ketiga

adalah

lenyapnya penderitaan (dukkha nirodha arya sacca), dan terakhir adalah


kebenaran tentang jalan menuju lenyapnya penderitaan (dukkha nirodha
gaminipatipada ariya sacca). Pokok ajaran ini mengemukakan aspek
permasalahan dan tujuan hidup yang lengkap. Penderitaan adalah
menjawab

pertanyaan

penderitaan.

Sebab

apa

(what).

penderitaan

Permasalahan

adalah

nafsu

manusia

keinginan

adalah
(tanh).

Kebodohan (avijj) membuat nafsu keinginan tidak terkendali, yang


dicirikan dengan upaya pemuasan yang tiada henti. Ini menjawab
pertanyaan mengapa (why). Lenyapnya penderitaan adalah lenyapnya
nafsu keinginan sepenuhnya. Kebenaran ini menjawab pertanyaan kapan
(when).

Dan

jalan

menuju

lenyapnya

penderitaan

adalah

dengan

mempraktikkan kemoralan (sila), meditasi (samdhi) dan kebijaksanaan


(paa).

Kebenaran

ini

menjawab

pertanyaan

bagaimana

(how).

Lenyapnya penderitaan adalah kebahagiaan dan menjadi tujuan hidup


yang sesungguhnya.

Buddhisme menyusun sistematika dengan memahami dukkha untuk


menuju lenyapnya dukkha.

Lenyapnya dukkha sebagai kebahagiaan

memiliki penekanan arti bahwa kebahagiaan bukanlah hasil pencapaian.


Ketika Buddha mengajarkan Jalan Tengah dan Empat Kebenaran mulia,
salah satu dari lima orang pertapa bernama Kondanna memahami
ajarannya dan mencapai pencerahan. Pemahaman Kondanna adalah
penembusan bahwa penderitaan karena suatu sebab, ketika sebab itu
lenyap, maka terbebaslah dari penderitaan dan tercapailah kebahagiaan
tertinggi atau nibbna (nirvna). Penjelasan bahwa Nibbna adalah
lenyapnya

penderitaan

(dukkha

nirodha)

menggarisbawahi

bahwa

kebahagiaan bukanlah obyek pencapaian. Karena apapun yang bisa


dicapai selalu tidak kekal. Sesuatu yang bisa muncul maka sesuatu itu
pasti juga bisa lenyap. Jika kebahagiaan bisa dicapai, maka kebahagiaan
juga bisa lenyap. Dukkha nirodha ini bisa dianalogikan sebagai permata
indah

yang

tertutupi

oleh

lumpur.

Ketika

yang

menutupinya

itu

disingkirkan, maka kebahagiaan secara alami akan nampak keluar.

Ajaran Buddha tentang kemunculan dan kelenyapan sebagai sifat


fenomena mirip sekali dengan Vaishesika. Kemungkinan Vaishesika
mengadopsi logika Buddhisme, mengingat pendiri Vaishesika yaitu Uluka
diperkirakan hidup diantara 200-400 M ketika pada zaman itu Buddhisme
sedang berkembang. Kemunculan dan kelenyapan menunjukkan sifat
saling keterkaitan. Sesuatu yang bisa muncul selalu didahului oleh

kelenyapan, dan demikian juga sebaliknya. Sesuatu yang tercipta selalu


membutuhkan sesuatu yang lain, yang sudah ada sebelumnya. Konsep
penciptaan tidak diterima dalam Buddhisme atas dasar dunia fenomenal
selalu berubah dan tidak berawal.

Buddhisme juga tidak mengakui adanya atman (att). Dengan tidak


mengakuinya, maka Buddhisme juga tidak mengakui bersatunya Brahman
sebagai moksa. Pembebasan atau pencerahan bukan bersatu dengan
Brahma, tapi adalah lenyapnya nafsu keinginan yang juga berarti nibbna.
Nibbna sebagai lenyapnya penderitaan, bukanlah dunia fenomenal yang
memiliki kondisi (sakhata). Nibbna adalah tak terkondisi (asakhata).
Yang memiliki kondisi adalah penderitaan (dukkha) dan kesenangan
(sukha). Karena itu sukkha dan dukkha selalu hadir silih berganti, tidak
kekal, dan selalu berubah. Konsep nibbna memiliki peranan utama dalam
Buddhisme. Karena jika Nibbna itu tidak kekal, maka sia-sia pula sistem
filsafat Buddhis. Justru karena nibbna (akhir dari penderitaan) itu ada,
maka layaklah nibbna menjadi tujuan. Untuk itulah Buddhisme lahir dan
menawarkan pedoman hidup bahagia, pedoman hidup untuk menuju pada
nibbna.

Buddha menyebutkan bahwa status brahmana tidak ditentukan sesuai


kelahiran tapi sesuai dengan ucapan dan perbuatannya. Pengikut Buddha
terdiri dari banyak kalangan, semua kasta termasuk yang paling rendah.
Sebagaimana Jainisme, Buddhisme memahami bahwa jalan menuju
kebebasan bisa dipercepat dengan praktik yang sungguh-sungguh. Usaha
dibutuhkan namun dengan jalan tengah. Sementara jalan cepat menurut
Jainisme adalah dengan disiplin praktik menyiksa diri.

Ciri umum Buddhisme yang lain adalah menolak ritualitas yang dipercayai
membawa pada pembebasan. Pada sekitar 500 SM, banyak Brahmana

yang menyandarkan diri pada ritualitas yang diharapkan membawa pada


pembebasan. Buddha dengan tegas menolak ritualitas seperti itu bahkan
menganggap

sebagai

perilaku

yang

tidak

akan

menumbuhkan

kebijaksanaan. Penekanan Buddhisme lebih merupakan psikologi dasar


yang menjelaskan bahwa penyebab penderitaan adalah akibat kebodohan
(avijj

/avidy).

Penderitaan

adalah

ulah

diri

sendiri.

Karena

itu

kebahagiaan juga tergantung pada diri sendiri. Seorang guru, dalam hal
ini termasuk Buddha sendiri, hanya seorang penunjuk jalan. Sikap bhakti
terhadap Buddha bukan menghilangkan partisipasi diri untuk berusaha
mengatasi penderitaan. Ada kemiripan dengan sistem filsafat yoga yang
menempatkan pemujaan Brahma hanya sebagai alat bantu memperoleh
tahapan ketenangan tertentu, bukan untuk menghilangkan upaya diri.

Buddha juga memberikan kebebasan yang besar bagi pengikutnya tanpa


harus mengandalkan keyakinan (faith). Sebuah kisah dimana suku Kalama
yang bingung dan ragu dengan pengakuan setiap pertapa bahwa
ajarannya

yang

paling

benar.

Buddha

justru

memaklumi

bahwa

pengakuan-pengakuan para pertapa seperti itu memang bisa membuat


seseorang bimbang dan ragu-ragu. Untuk itu kebenaran harus dibuktikan
dan jangan hanya mempercayai tradisi saja, termasuk apa yang telah
dipercayai banyak orang. Kebenaran mesti diselami dan dipahami dan
dilihat apakah bermanfaat dengan alasan bisa mengurangi penderitaan.
Buddhisme sangat menekankan bahwa kebahagiaan adalah tujuan.
Skeptisisme bukanlah penghalang untuk memahami realitas. Justru
keragu-raguan harus dilampaui dengan memahami, bukan mempercayai.
Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa penderitaan disebabkan oleh
kebodohan

(avidy),

untuk

itu

butuh

pemahaman

(vidy)

dan

kebijaksanaan (paa).

Buddhisme juga memuat ajaran sebab-sebab yang saling bergantungan


(paticcasamuppda

/dependent origination). Sebab-sebab yang saling

bergantungan sering disebut dengan duabelas mata rantai, berawal dari


kebodohan (avijj / avidy), kegiatan (samkara / samskra), kesadaran

penyambung (patisandhi vinnana / vijna), batin dan jasamani (nma


rpa), enam landasan indria (salyatana / salyatana), sentuhan/kontak
(phasa / parha), sensasi (vedan), nafsu keinginan (tanha / tn),
keterikatan (updna), kemenjadian (bhava), kelahiran (jti), lapuk dan
kematian (jar marana). Dua belas siklus ini terjadi berulang-ulang. Inilah
roda samsara, roda penderitaan yang tidak berhenti, kecuali jika
mencapai nibbna. Nibbna bukan termasuk dari dua belas mata rantai,
karena

nibbna

tidak

berkondisi

(asakhata).

Ajaran

ini

nantinya

digunakan oleh Ngrjuna yang memberi fondasi ajaran Mahyna.

Buddha mengajarkan karma (kamma). Setiap perbuatan memberikan


akibat. Perbuatan baik (kusala kamma) menyebabkan akibat baik.
Perbuatan buruk (akusala kamma) mengakibatkan hal-hal buruk. Hukum
menuai dan menabur ini juga disebut sebagai hukum karma. Jainisme juga
memahami hukum kamma. Jainisme menghindari segala perbuatan
merugikan baik disengaja maupun tidak disengaja. Karena itu jainisme
sangat disiplin dalam menjaga agar tidak berbuat, karena setiap
perbuatan akan memberikan akibat dan membuat roda kelahiran kembali
terjadi. Yang berbeda pengertian karma Buddhisme dengan Jainisme,
bahwa

Buddhisme

membatasi

bahwa

hanya

niat

(cetan)

yang

memberikan akibat kamma (kamma vipakkha).

Buddhisme tidak menggunakan istilah prakrti dan purana sebagaimana


dalam sistem filsafat Samkhya. Dalam Samkya, purana memuat atman.
Karena Buddhisme tidak mengakui atman, maka digunakan istilah batin
(nma) dan fisik (rpa). Walaupun Buddhisme mengakui adanya kelahiran
kembali, namun tidak ada diri yang kekal (roh / atman) yang berpindah.
Kesadaran tetap berlanjut, kecuali mereka yang telah mencapai nibbna.
Tapi itu bukan diri yang kekal, karena apa yang disebut diri itu
hanyalahkumpulan proses yang selalu berubah seperti kognisi (vijna),
sensasi (vedan), persepsi (sanna) dan bentuk-bentuk pikiran (samskra).
Ajaran anatt (anatman) adalah ciri khas Buddhisme dan menjadikannya
sebagai

bagian

dari

pemahaman

akan

corak

kehidupan,

yaitu:

ketidakkekalan (anicca), penderitaan (dukkha), dan tanpa aku (anatt).


Dalam

Buddhisme,

atman

adalah

belenggu

dan

penghalang

bagi

pembebasan. Dengan merealisasikan bahwa atman itu sesungguhnya


tidak ada (anatt), maka segala jerih upaya ego dilepas, terbebas dari
nafsu keinginan (tanha), dan mencapai nibbna.

3.

Konsili Buddhis

Memahami sejarah filsafat Buddhis mesti tidak melewati sejarah konsili


Buddhis, karena sejarah konsili menunjukkan ada pemisahan kelompok
persamuan

para

bhikkhu

bhiksu

(sangha)

dan

beberapa

akar

permasalahan yang mendasarinya.

Tiga bulan setelah Buddha wafat (sekitar 483 SM), diadakan konsili
pertama untuk menghimpun ajaran Buddha. Konsili pertama di adakan di
Rajagaha, dipimpin oleh Maha Kassapa, salah seorang murid senior
Buddha. Pada konsili ini doktrin ajaran (dharma) di kompilasi oleh Ananda,
dan Kode peraturan (vinaya) oleh Upali. Pada waktu itu ada kontroversi
tentang Vinaya. Dikisahkan beberapa peraturan minor diperbolehkan
diganti namun Ananda sebagai murid terdekat Buddha tidak tahu bagian
manakah yang dimaksudkan Buddha agar diperbolehkan diubah. Dalam
konsili

tidak

disinggung

tentang

Abhidhamma,

dan

diakhir

konsili

disepakati bahwa vinaya tidak akan diubah mengingat Buddha baru saja
mangkat, maka perubahan vinaya dianggap terlalu terburu-buru.

Pada 100 tahun berikutnya, Konsili kedua diadakan. Vinaya didiskusikan


kembali. Beberapa bhikkhu ingin mengubah peraturan minor, namun
beberapa bhikkhu yang lain merasa tidak perlu mengubah vinaya. Dalam
konsili itu tidak ada kata sepakat, maka golongan yang ingin mengubah
meninggalkan konsili dan membentuk Mahsagika. Sering dianggap
Mahsagika adalah Mahyna, padahal pada konsili ke dua ini belum ada
diskusi tentang doktrin ajaran. Semata-mata hanya tentang vinaya. Jadi

kurang

tepat

jika

Mahsagika

identik

dengan

Mahyna.

Baru

belakangan Mahsagika mengembangkan doktrin ajaran namun bentuk


definitif Mahyna belum ada pada zaman itu. Istilah Mahyna dan
Hnayna muncul sekitar 1 SM-1 M dalam Saddharma Pundarika Sutra.
Abad 2 M, Mahyna baru dalam bentuknya yang lebih definitif.

Konsili ketiga diadakan pada abad 3 SM pada masa pemerintahan raja


Asoka. Konsili ini dipimpin oleh Mogaliputta Tissa. Dikisahkan ada
perbedaan Ajaran dan Vinaya. Diakhir konsili Tissa menyusun Kathavatthu
yang menjelaskan doktrin-dokstrin ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran
Buddha. Abidhamma Pitaka termasuk dibahas dan Katthavatthu adalah
termasuk bagian dari pitaka tersebut. Jadi, itu menandai munculnya
Tipitaka, tiga keranjang, yaitu keranjang tentang Vinaya (Vinaya Pitaka),
tentang ajaran (Sutta Pitaka), dan tentang metafisika (Abidhamma Pitaka).
Konsili menyepakati semua hal itu dan menamakan dirinya Theravda
(straviravlasanda), yang berarti tradisi para sesepuh. Setelah konsili ini,
anak raja Asoka bernama Mahinda, yang juga seorang bhikkhu, membawa
Tipitaka ke Srilangka beserta komentarnya. Pada waktu itu belum ada
istilah Mahyna.

Reginald A. Ray dalam Indestructible Truth, yang membahas sejarah


Budhisme Tibet, menjelaskan bahwa Istilah Hnayna sering mengacu
pada sekolah spesifik seperti Theravda, Sarvstivda, dan sekolah non
Mahyna lainnya. Sekolah Buddhis Tibet tidak pernah kontak dengan
Buddhisme

awal,

sehingga

seringkali

istilah

Hnayna

merupakan

pengelompokan non Mahyna saja. Dalam tradisi Tibet, teks Hnayna


yang dimiliki hanyalah versi Sarvstivda. Pada akhir abad ke-8 M, Vinaya
dari Sarvstivda digunakan oleh Gelukpa sebagai bagian dari langkah
reformasi Buddhisme Tibet yang dilakukan Lama Tsongkapa (1357-1419
M).

Berkembangnya Buddhisme di Srilangka membuat Theravda terisolasi


dengan iklim skolastik India pada waktu itu. Srilangka tidak memiliki

atmosfir yang mendukung perbedaan filsafat sebagaimana di India,


walaupun di Srilangka juga mencatat beberapa sekolah (vihra) yang
seperti Mahavihara dan Abhayagiri. Mahavihara didirikan oleh putera
Asoka, bernama Mahinda, dan bersikukuh dan ortodok pada sumber
bahasa Pli hingga abad ke-1 SM. Kemungkinan studi sansekerta masih
sedikit,

sehingga

Mahavihara

bisa

bertahan

dan

berpengaruh

di

Anuradhapura. Perkembangan filsafat Buddhis sansekerta dari India mulai


memberi pengaruh. Abhayagiri dengan sendirinya sibuk dan menyokong
perkembangan
Abhayagiri.

ini.

Ajaran

Mahyna

awal

turut

mempengaruhi

Mahavihara dan Abhayagiri saling mempengaruhi, namun

akhirnya pengaruh Mahavihara menjadi dominan di Srilangka. Teks


penting Mahavihara dan menjadi terkenal adalah Visuddhimagga yang
ditulis

oleh

Bhadantacariya

Buddhaghosa.

Buddhagosa

datang

ke

Srilangka dari India pada zaman raja Upatisa (370-412 M). Karyanya lebih
bisa diterima di Srilangka daripada di India sendiri. Studi Pli di India
sangatlah sedikit, perkembangan filsafat Buddhis India lebih banyak
menggunakan sansekerta. Teks lainnya yang sering dihubungkan dengan
Abhayagiri adalah Vimuttimagga, karya Upatissa (bukan Arahat Upatissa
abad ke-3 SM). Teks Vimuttimagga sekarang hanya dijumpai dalam versi
terjemahan

bahasa

Visuddhimagga

Cina.

ditemukan

Pemikiran-pemikiran
dalam

Vimuttimagga.

yang
Akan

ditolak
tetapi

Vimuttimagga itu sendiri tidak memuat doktrin Mahyna. Namun dari sisi
bentuk, Visuddhimagga lebih bersifat buku referensi/pedoman, sedangkan
Vimuttimagga yang lebih sedikit, lebih merupakan buku yang praktis.

namoli dalam pendahuluan terjemahan Visudhimagga dalam bahasa


Inggris, memberi penjelasan sejarah singkat. Kira-kira abad 1 M, bahasa
sansekerta sudah menggantikan bahasa Pli. Bahasa sansekerta menjadi
sarana belajar dalam semua sekolah Buddhis di India. Aktivitas sastra di
Srilangka terkatung-katung sekitar tahun 150-350 M. Kebangkitan bahasa
Pli digairahkan oleh Buddhaghosa sekitar tahun 400 M. Aktivitas sastra

yang

berkembang

membuat

Theravda

menyebar

ke

Myanmar,

berkembang hingga abad ke-12 M.

Theravda tidak mengalami perkembangan doktrin sebagaimana dalam


Mahyna di India. Sarvstivda (Vaibhsika), Sautrntika, Vibhajjavada,
dan Sammitiya, yang digolongkan sebagai kelompok Hnayna, hanya
eksis di India dan belum sempat menyebar diluar batas India. Diduga
Mahyna mempengaruhi Abhayagiri di Srilangka, namun Buddhisme
Theravda di sana didominasi oleh Mahavihara. Sarvstivda pernah
dianggap identik dengan Theravda. Dalam World Fellowship of Buddhist
di Colombo tahun 1950 disepakati istilah Hnayna bukanlah Theravda
yang eksis di Srilangka, Burma, Kamboja, Laos dan lain sebagainya. Sudah
umum, kini Theravda disebut sebagai aliran Selatan, sedangkan
Mahyna sebagai aliran Utara karena berkembang di Tibet, Cina, Jepang,
Korea, dan lain sebagainya.

Keadaan skolastik India awal melahirkan Sarvstivda (Vaibhsika),


Sautrntika, Vibhajjavada, dan Sammitiya. Empat sekolah ini sering
disebut Hnayna.

Sarvstivda yang menggunakan kanon sansekerta

memiliki kemiripan dengan Theravda yang menggunakan kanon Pali.


Empat sekolah tersebut memiliki sumber awal yang mirip Theravda tapi
memiliki pengembangan sistem pemikirannya sendiri. Itu yang membuat
Abhidhamma

versi

Theravda

dan

abhidharma

versi

Sarvstivda

memiliki perbedaan. Raja Kaniska (78-102 M/ 127-147M) mendukung


konsili ke empat di Kashmir, Vayobasha-sastra dikompilasi pada konsili ini.
Disebutkan konsili ini didominasi oleh Sarvstivda. Pada waktu itu
Sautrntika menolak abhidharma Sarvstivda, dan menganggap hanya
Sutra saja yang valid.

Mahsagika juga memiliki konsilinya sendiri setelah memisahkan diri


pada konsili ke dua. Namun tidak banyak ahli sejarah yang menjelaskan
hasil konsili Mahsagika. Yang jelas, Mahsagika pecah menjadi tiga
yaitu: Lokuttaravada, Bahushrutiya, dan Chaitika. Ada sumber yang

menyebutkan, bukan hanya tiga tapi delapan, yaitu: Mula Mahsagika,


Ekavyavaha,

Lokuttaravada,

Bahustrutiya,

Nityavada,

Caityaka,

Purvasailika, dan Uttarasailika. Karena keterbatasan sumber, saya hanya


bahas sekilas tiga yang pertama. Lokuttaravada menyebar di Afganistan
dan menganggap Buddha sebagai mahhluk lintas fana. Ini yang menjadi
cikal bakal doktrin tiga perwujudan (trikaya) yang ada dalam Mahyna.
Chaitika yang merupakan pecahan dari Bahushrutiya memahami bahwa
sebelumnya Buddha sudah tercerahkan sebelum muncul di dunia ini.
Tidak semua Mahyna menerima hal ini, namun Buddhisme Tibet
menerimanya.

Mahyna adalah keturunan dari Mahsagika, namun doktrin Mahyna


yang definitif tidak terjadi seketika, tapi melalui tahapan perkembangan.
Penyebutan Mahsagika identik dengan Mahyna tidaklah tepat.
Pembagian Mahyna dan Hnayna sering terlalu sederhana dilihat dari
sudut pandang aspirasi spiritual. Hnayna bertujuan menjadi arahat,
mahkluk spiritual yang mencapai nibbna bagi dirinya sendiri. Sedangkan
Mahyna memiliki aspirasi untuk menunda mencapai nibbna dan
memilih menjadi penyelamat mahkluk lain (bodhisattva) selama dalam
roda samsara. Inilah doktrin bodhicitta dalam Mahyna. Buddhisme Tibet
memahami aspirasi bodhisatva bukan menunda pencapaian pencerahan,
tapi menggunakan

bodhicitta sebagai cara mempercepat mencapai

pencerahan. Doktrin dalam Caitika digunakan untuk menjelaskan bahwa


Buddha sebelumnya sudah mencapai pencerahan. Kelahiran Buddha di
dunia hanyalah teladan untuk menunjukkan caranya saja pada mahkluk
lain.

4.

Hnayna dan Mahyna

Seperti yang sudah saya sebutkan, pengertian Hnayna dan Mahyna


yang paling umum adalah dilihat dari sudut pandang aspirasi spritual.
Disebut Hnayna, karena menggunakan kendaraan kecil (hina), yaitu
aspirasi menjadi Arahat. Ketika konflik Mahyna dan Hnayna terjadi,

sering Mahyna menuduh Hnayna terlalu egois karena bercita-cita


membebaskan

diri

sendiri

dari

penderitaan.

Sementara

Mahyna

menggunakan kendaraan besar (maha) karena beraspirasi menjadi


bodhisattva yang bertujuan membebaskan penderitaan pada mahkluk lain
sebelum diri sendiri. Beberapa Sutra secara khusus memahami jalan
Mahyna sebaai menunda mencapai nibbna dengan menunggu semua
makhluk telah mencapainya lebih dulu. Dalam tradisi Tibet, aspirasi
Bodhisattva justru dianggap sebagai cara tercepat untuk mencapai
nirvna.

Aspirasi bodhisattva juga ada dalam kanon Pli yang menjadi acuan
Theravda. Bukan hanya itu, pembelaan Arahat dianggap egois juga
kurang tepat. Karena untuk membebaskan diri dari penderitaan justru
dengan mengurangi sifat egois ini. Cita-cita menjadi Arahat atau
Bodhisattva tergantung pada tekad masing-masing orang. Pengertian
bodhisattva dalam Theravda berbeda dengan Mahyna. Bodhisattva
dalam kanon Pli mengacu pada aspirasi menjadi sammsambuddh
(pendiri

ajaran

Buddha).

Theravda

menyakini

bahwa

bodhisattva

mengumpulkan penyempurnaan kebajikan (paramita) dalam waktu yang


panjang untuk mendukung menjadi sammsambuddh di masa datang.
Sementara pemahaman bodhisattva dalam Mahyna lebih bersifat mistik
dan simbolis, yang disertai praktik altruistik.

Pergeseran aspirasi arahat menjadi bodhisattva bermula dari dalil


Mahdeva yang menyebutkan arahat belumlah sempurna. Lima dalil
Mahdeva tentang status arahat yang diterima oleh Mahsagika:

i.

Seorang arahat mungkin bisa tergoda secara tidak sadar. Hal ini

ii.

dihubungkan dengan mimpi erotis.


Seorang arahat masih diliputi ketidaktahuan. Bukan ketidaktahuan
religius, tapi ketidaktahuan akan sesuatu hal, seperti pribadi

iii.

seseorang, dan lain-lain.


Seorang arahat masih memiliki keragu-raguan.

iv.

Seorang arahat mungkin kurang tajam mata batinnya dan menjadi

v.

mengetahui (sadar) melalui instruksi orang lain.


Seorang arahat bisa menangis dibawah tekanan.

Dalil Mahdeva tentang ketidaksempurnaan arahat membuat pergeseran


aspirasi Mahyna, terutama aspirasi bodhisattva yang menggantikan
aspirasi Arahat. Dalam teks Vaibhsika, Mahdeva dikenal sebagai figur
yang

penuh

kontroversi.

Semua

pecahan

Mahsagika,

seperti:

Ekavyvahrika, Lokottaravda, Bahurutya, Prajaptivda, dan Caitika,


menganggap arahat belum sempurna. Hal ini memberikan pengaruh pada
perkembangan Mahyana belakangan. Namun bentuk definitif Mahyana
nampaknya

justru

menunjukkan

kesamaan

realisasi

dengan

cara

pendekatan yang berbeda saja.

Terlepas dari kontroversi aspirasi bodhisattva dan arahat, saya pribadi


memahami

Theravda

dan

Mahyna

memiliki

perbedaan

cara

penyampaian. Bahwa aspirasi dengan tidak menginginkan mencapai


nirvna, juga berarti mencapai nirvna. Karena nirvna bukanlah obyek
keinginan. Doktrin Mahyna bahwa samsara dan nirvana adalah sama,
bukanlah operasi identitas, tapi lebih sebagai penyampaian dialektik
dimana penerimaan samsara adalah merealisasikan nirvana. Penolakan
samsara justru kepanjangan dari nafsu keinginan. Menurut Alan W. Watts,
relativitas samsara-nirvana adalah ciri khas Prajnaparamita Sutra, seperti
dalam ungkapan kosong (sunya) adalah bentuk (rpa) dan bentuk adalah
kosong. Pandangan ini menekankan bahwa pencerahan tidaklah dicapai
dengan berusaha lari dari pengalaman. Samsara bagaimanapun adalah
nirvna adalah pemahaman dialektik Madhymaka, yang menjadi fondasi
Mahyna selain Yogchra.

Ada banyak studi mengenai Theravda dan Mahyna. Salah satunya


adalah Dr. W. Rahula yang mengambil kesimpulan bahwa baik Theravda

maupun Mahyna memiliki ajaran fundamental yang sama dalam enam


hal:

Keduanya menerima Sidharta Gotama sebagai guru utama.


Empat kebenaran utama untuk Theravda dan Mahyna adalah

sama.
Demikian juga Jalan Utama beruas Delapan (Ariya atthangika magga

/ Arya Ashtangika marga).


Patica samuppda juga sama.
Menolak ide mahkluk adikodrati yang mencitakan dan mengatur

dunia.
Menerima anicca, dukkha, anatt dan sila, samdhi, paa tanpa
perbedaaan.

Meruntut perbedaan dan persamaan antara Mahyna dan Hnayna,


sering akan terlalu panjang, karena setiap aliran memiliki interpretasi
yang berbeda, mirip, bahkan saling tumpang tindih. Saya tidak akan
membahasnya lebih jauh. Dalam tulisan ini saya lebih mengutamakan
untuk menampilkan sejarah pengembangan filsafat Buddhis.

5.

Tiga Periode Buddhisme India

Saya membagi perkembangan Buddhisme di India menjadi tiga, yaitu:


periode buddhisme dasar, periode sekolah Buddhis (Buddhist school), dan
periode Buddhisme Tantra.

Saya hanya akan lebih banyak membahas

periode kedua saja, karena sesuai dengan tema utama dalam tulisan ini.

Periode Buddhisme dasar adalah lahirnya Buddhisme oleh Sidharta


Gautama hingga konsili ke dua (4 SM-2 SM). Pada Konsili kedua belum

terjadi perbedaan doktrin ajaran, tapi pada vinaya saja. Diantara konsili
kedua hingga ketiga, sudah mulai ada perkembangan doktrin. Itu yang
membuat Mogaliputta Tissa menulis Katthavatu untuk menunjukkan
doktrin mana yang dianggap salah dan mana yang benar. Sebagai
tambahannya,

ditetapkan

abhidhamma

sebagai

salah

satu

pitaka.

Abidharma konon hasil kompilasi ajaran yang sudah ada sebelumnya.


Karena itu Abhidharma bisa dipahami sebagai perkembangan filsafat yang
paling awal, mengingat pada konsili kedua hanya dibahas tentang Ajaran
dan Vinaya, tidak disinggung tentang abhidharma.

Periode sekolah Buddhis, dimulai setelah konsili kedua hingga periode


sebelum munculnya tantra Buddhis (2 SM-7 M). Perkembangan filsafat
diramaikan dengan perbedaan Hnayna dan Mahyna. Masing-masing
aliran Buddhis memberikan pengaruh. Puncak perkembangan filsafat
Buddhis terjadi pada periode ini.

Periode Tantra (7 M -11 M) muncul ketika filsafat Mahyna sudah dalam


bentuknya yang matang. Tantra juga berkembang dalam Hinduisme.
Dalam sejarah Tibet dikenal Santaraksita, dan Padmasambhava, guru
terkenal pada abad ke-8 yang mengenalkan Buddhisme Tantra di Tibet.
Berarti sebelum abad ke-8, Tantra sudah berkembang. Guru bernama
Vajrabodhi

dan

Amoghavajra

tiba

di

Cina

tahun

718

yang

menerjemahkan kitab Tantra dalam Bahasa Cina. Pada abad ke-7 bentuk
Buddhisme yang sedang berkembang adalah Buddhisme Chan (Zen) dan
mencapai puncaknya pada Dinasti Tang dan Song. Pada abad ke-8 di Tibet
pernah terjadi debat di Samye antara Buddhisme Tantra dengan
Buddhisme Chan. Beberapa teknik meditasi Chan juga mempengaruhi
Buddhisme Tibet. Pada periode ini, filsafat Vedanta juga berkembang
seperti yang disistematisasi oleh Sankhara (788 M-820 / 850 M),
Ramanuja (1175 M 1250 M) dan Madhva (1238-1278 M). Pada abad ke11,

Buddhisme

perlahan

lenyap

melampaui batas benua asalnya.

di

India

namun

telah

menyebar

6.

Periode Sekolah Buddhis (Buddhist School)

Berikut adalah beberapa pokok filsafat perkembangan dalam periode


Sekolah Buddhis. Masing-masing sekolah Buddhis memiliki pendapatnya
sendiri. Kadang aliran Buddhis belakangan mengaku

memiliki sistem

filsafat yang lebih baik karena menyempurnakan dasar pandangan sistem


filsafat sebelumnya. Namun jika kita melihat secara utuh, filsafat Buddhis
belakangan bisa memiliki pandangan yang lebih definitif, itu karena
hadirnya karya-karya filsafat sebelumnya. Lompatan pemikiran tidak
datang tiba-tiba tapi dibentuk dan dipengaruhi oleh sistem filsafat
sebelumnya.

Pandangan

yang

lebih

utuh

adalah

melihat

proses

pembelajaran dalam sejarah filsafat secara keseluruhan. Menampilkan


adanya proses pembelajaran itulah yang menjadi tujuan saya dalam
menulis tema sejarah filsafat Buddhis.

Pada periode Sekolah ini muncul banyak sistem filsafat. Ada empat sistem
filsafat

yang

(Vaibhsika),

berpengaruh
Sautrntika,

pada

zaman

Madhymaka,

itu,

dan

yaitu:

Yogchra.

Sarvstivda
Dua

yang

pertama digolongkan sebagai Hnayna, dan dua yang terakhir adalah


Mahyna.

Secara sederhana, masing-masing sekolah memiliki cara pandangnya


sendiri. Pembagian yang paling lazim adalah pembagian tentang dua
macam realitas, yaitu realitas konvensional dan realitas tertinggi (realitas
ultimit). Sebuah contoh: meja adalah realitas konvensional. Orang
mengenalnya sebagai meja, sebuah benda untuk meletakkan sesuatu.
Namun secara realitas tertinggi, meja bukanlah meja. Apa yang disebut
meja tersusun oleh banyak benda lainnya, seperti sekrup, kayu, cat, dan
lain-lain. Pandangan Buddhis yang khas adalah ajaran tentang anatt,
yang menjelaskan bahwa aku itu tidak ada secara realitas tertinggi.
Namun istilah aku digunakan dalam realitas konvensional. Setiap
sekolah Buddhis memiliki definisinya masing-masing mengenai dua
macam realitas ini.

6.1. Sarvstivda (Vaibhsika)

Sarvstivda

berasal

dari

kata

sarvam

asti,

yang

berarti:

ada

selamanya. Sarvstivda mengakui adanya atom (paramanu). Filsafat


atom seperti ini bukan hanya Sarvstivda, tapi juga dalam Vaishesika,
salah satu filsafat ortodoks Veda. Rupanya filsafat atom adalah filsafat
awal yang mencoba memahami kebenaran tertinggi. Realitas tertinggi
adalah atom, sebagai elemen yang paling kecil dan eksis (exist), dan
momen terkecil dari kesadaran. Sarvstivda berkembang pesat di
Kashmir dan Gandara pada masa raja Kaniskha.

Dalam Maugdalyna-Skandhaka, salah satu bagian Vijnakaya (salah


satu bagian dari Abhidharma Sarvstivda), Masa lalu dan masa depan
adalah tidak eksis, [hanya] masa sekarang dan yang tidak terkondisi
(asainskta / asakhata). Secara definitif, menurut Abdhidharmakosabhasya: Mereka yang menerima dan berpedoman bahwa eksistensi
Dharma dalam tiga periode (masa lalu, sekarang dan masa depan) adalah
seorang Sarvstivda. Pada zaman raja Kanishka II (158-176) lahirlah
teks Jnanaprasthana yang merevisi teks Sarvstivda sebelumnya.
Jnanaprasthana

(cause

of

knowledge)

dan

Mahvibhsa

(great

comentary / teks komentarnya) mendeklarasikan ortodoks Vaibhsika.


Inilah yang menyebabkan Sarvstivda juga disebut sebagai Vaibhsika.
Disebut Vaibhsika karena ajarannya mengacu pada Vibhsa, kitab
komentar. Ini yang membuat Abhidharma versi Sarvstivda memiliki
tujuh teks penting: [1] Sangitiparyaya (discourse on Gathering together)
karya Mahakausthila, [2] Dharmaskanda (agregation of dharma) karya
Arya Sariputra, [3] Prahnaptisastra (treastise on designations) karya Arya
Maudgalyayana, [4] Dhatukaya (body of element) karya Purna, [5]

Vijnanakaya (body of Consciousness) karya Sthavira Devasarma, [6]


Prakaranapada

(exposition)

karya

Sthavira

Vasumitra,

Jnanaprasthana (fondation of knowledge) karya

dan

[7]

Arya Katyaniputra.

Mahavibhasa termasuk bagian dari Jnanaprasthana.

Disebutkan aliran Buddhis lain seperti Dharmagupta dan Pudgalavada


juga memiliki versi Abhidharma-nya masing-masing. Namun penyebutan
Abhidharma oleh Mahyna sering mengacu pada versi Sarvstivda
(Vaibhsika) saja. Sebagai perbandingan, Abhidhamma versi Theravda
juga ada tujuh teks namun berbeda dengan Vaibhsika, yaitu: [1]
Dhammasangani, [2] Vibhanga, [3] Kathavatthu, [4] Puggalapaati, [5]
Dhtukath, [6] Yamaka, dan [7] Patthana. Abhidhamma Theravda
berbeda dengan Abhidharma versi Vaibhsika.

Ada ulasan tambahan dari prof. Anukul Chandra Benerjee dalam The
Vaibhasika School of Buddhist Tought. Disebutkan Vaibhsika cenderung
lebih mengakui Abhidharma terutama Jnanaprasthana daripada Sutra.
Bagian-bagian

lain

hanya

Mahvibhsa terdiri atas

dianggap

pelengkap

Jnanaprasthana.

delapan kelompok (khandha) dengan empat

puluh tiga bagian (vagga) yang dikompilasi oleh lima ratus arahat (orang
yang telah mencapai tingkat kesucian tertinggi / telah mencapai nirvana),
empat ratus tahun setelah wafatnya (parinirvana) Buddha, yang dimulai
dari Vasumitra.

Sikap ortodoks Vaibhsika mendapat otoritas karena ajarannya berasal


dari Buddha sendiri yang dikompilasi bersama oleh lima ratus Arahat.
Karena

itu

Vaibhsika

menyebutkan

ajaran

ortodoksnya

sebagai

Buddhabhasita (kata-kata Buddha). Klaim Vaibhsika juga ditentang oleh


Sautantrika walaupun Sautntrika juga beraspirasi

menjadi Arahat.

Sautntrika meragukan Abhidharma yang diyakini hasil kompilasi Arahat


itu sesuai dengan Ajaran Buddha.

6.2. Sautrntika

Pada awalnya Sautntrika adalah Sarvstivda yang menolak sstra dan


menerima strnta. Abhidharma dianggap sstra dan bukan ajaran dari
Buddha sendiri. Ini yang membuat Sarvstivda disebut Vaibhsika untuk
membedakan Sautrntika. Sautrntika dikembangkan oleh Dignaga (5-6
M), murid Vasubandhu. Menurut Sautrntika, realita bukan hanya obyek
eksternal, tapi juga pikiran. Sautrntika menggunakan pendekatan realitas
obyektif dan penganjur realisme tidak langsung (indirect realism).
Sautrntika menerima eksternal obyek tapi menganggapnya sebagai
obyek

kesimpulan

saja,

karena

itu

juga

disebut

sebagai

representationalist.

Sautntrika menolak adanya pengetahuan perseptual tanpa obyek


eksternal. Jadi tidak ada pengetahuan tiba-tiba yang independen.
Pengetahuan selalu melibatkan

obyek eksternal. Sautrntika menerima

teori atom, tapi agak berbeda dengan Vaibhsika. Sautrntika menerima


adanya ruang (ksa). Karena adanya ruang, maka memungkinkan
adanya obyek eksternal. Pemahaman Sautrntika adalah keterlibatan
mental dalam mengenali obyek. Dalam bahasa yang lebih modern,
menurut

Sautrntika,

dunia

ini

adalah

mental

hologram

raksasa.

Seseorang tidak bisa mengenali obyek tanpa memiliki gambaran mental


tentangnya. Gambaran mental (image) adalah realitas konvensional
dalam Sautrntika. Sedangkan realitas tertinggi adalah segala hal yang
berubah, walaupun Sautrntika juga mengakui adanya partikel terkecil
yang tidak terbagi (atom). Segalanya berubah dan tidak kekal, tapi tetap
ada hal terkecil yang tidak berubah.

Jika Vaibhsika menyebutkan bahwa hanya masa sekarang dan yang tak
terkondisi (asamskrta) adalah eksis, maka Sauntrantika memahami
asamskrta tidak nyata dan terpisah atau berbeda dengan dharma lain
seperti rpa, vedan, dan lain-lain. Yang tidak terkondisi adalah yang
tanpa sebab. Sauntrantika kembali pada konsep nibbna sebagai dasar

lahirnya Buddhisme. Justru karena nibbna itu tidak terkondisi, maka


pencapaian nibbna itu mungkin dan kebahagiaan itu memang ada.

Dalam bentuk praktis. Misalkan: mobil rusak karena tergores. Pandangan


cerah Vaibhsika adalah dengan memahami bahwa yang rusak itu hanya
kumpulan atom. Tidak perlu marah pada atom. Pada pandangan cerah
Sautrntika, mengapa bersedih pada mobil yang rusak, karena mobil itu
tidak kekal. Inilah yang dimaksud realitas obyektif dalam Sautrntika.

6.3. Madhymaka

Yang

menjadi

Yogchra.

fondasi

Namun

filsafat

bentuk

Mahyna

definitif

adalah

Mahyna

Madhymaka

muncul

dan

setelah

itu.

Beberapa sarjana memahami bahwa madhymaka menunjukkan titik


temu antara Theravda dan Mahyna.

Madhymaka adalah sistem filsafat yang menggunakan kekosongan


(sunyata)

sebagai

sistematisasi

oleh

titik

tolak

Ngrjuna

pembahasan.
(200

M)

Madhymaka

ini

yang

mengelaborasi

di

ajaran

Prajnaparamita.

Ngrjuna mengkritik abhidharma dari Sarvstivda yang menjelaskan


patica samupda. Dua belas mata rantai tidaklah eksis sendiri tapi eksis
karena

berhubungan

dengan

mata

rantai

yang

lain.

Inilah

yang

memunculkan istilah sunyata (kekosongan), seperti dalam ungkapan:


semua

fenomena

adalah

kosong

(sunya)

dari

substansi/ezensi

(svabhva), karena keberadaaannya tergantung dengan keberadaan


lainnya. Beberapa menterjemahkan sunyata sebagai voidness selain
emptiness.

Pengertian sunyata yang lain adalah nirvna / nibbna itu sendiri. Menurut
W.S. Karunaratne, sunyata yang dihubungkan dengan patica samupda

adalah karya inovatif Ngrjuna. Namun penyebutan bahwa sunyata


sinonim dengan nibbna, bukan pertamakali dari Ngrjuna, karena dari
sutta sudah menjelaskan hal itu. Dalam Dhammapada 92 disebutkan
sunnato animitto ca vimokkho yesam gocaro. Sunyata adalah vimokkha
(kebebasan), dalam hal ini adalah nibbna. Sunyata dalam Theravda
lebih menampilkan aspek etika, sedangkan dalam Madhymaka, sunyata
digunakan untuk menunjukkan ketidakmampuan logika dan akal untuk
menangkap realita atau mendiskripsikan realita secara akurat.

Saya

akan jelaskan lebih

lanjut mengenai Madhymaka

terutama

mengenai Madhymaka Svtantrika dan Prsagika setelah penjelasan


tentang Yogchra.

6.4.Yogchra

Yogchra dikembangkan oleh Asanga (350 M) dan Vasubhandu. Asanga


mengenalkan logika Nyaya pada Buddhisme. Vasubhandu sebelumnya
menulis Abhidharmakosa ketika masih menganut Sarvstivda. Namun
akhirnya menganut Mahyna dan mengembangkan Yogchra bersama
Asanga yang adalah saudaranya sendiri.

Abdhidharmakosa sering dianggap teks Vaibhsika. Namun beberapa


sarjana

menemukan

bahwa

Abhidharmakosa

juga

menempatkan

Sautrntika dan beberapa pemikiran filsafat yang menjadi fondasi


Yogchra. Menurut Robert Kritzer, Abdhidharmakosa adalah interpretasi
abdhidharma yang dijelaskan dalam sudut pandangan Sautrntika,
sebelum Vasubhandu akhirnya mengembangkan Yogchra. Vasubhandu
tumbuh dimasa mudanya dengan belajar Sarvstivda, lalu pada tahap
perkembangannya mempelajari Sautrntika, dan masa tuanya turut
mengembangkan Yogchra.

Yogchra tidak memposisikan pikiran (citta) menentang konsepsi materi


(rpa). Tidak ada substansi materi pada rupa selain dari citta itu sendiri.
Penegasan Yogchra bahwa dunia hanyalah pikiran (cittamatram lokam),
ini yang membuat Yogchra juga sering disebut sebagai cittamtra. Ini
berarti bahwa eksternal dan internal, sebelum dan sesudah, berat dan
ringan, diam dan pergerakan, dan sebagainya hanyalah ide-ide atau
klasifikasi mental.

Dengan sangat sistematis, Yogchra mengenali hal ini dalam tiga sifat
alami, yaitu: sifat imajinatif (parikalpita), sifat tergantung (paratantra),
dan sifat sempurna yang sudah ada (parinishpanna). Yang termasuk
realitas imajinatif adalah obyek ekternal dan diri sendiri. Segala hal yang
imajinatif selalu tergantung.

Pemahaman akan paratantra menjelaskan

sebuah konsep muncul karena adanya konsep-konsep yang lain. Realitas


tertinggi adalah sifat sempurna yang sudah ada. Parinishpanna ini, tidak
lain, adalah sunyata, realitas esensial. Parinishpanna ini mengacu pada
kesadaran

penyangga

(laya

vijna),

yang

tidak

lain

adalah

Tathgatagarbha (Buddha Nature). Merealisasikan diri adalah kembali


pada diri sejati, yaitu diri yang kosong. Dalam kekosongan, tidak ada
sesuatu

yang

perlu

ditambahkan,

pada

hakikatnya

sudah

murni,

sempurna, dan damai. Yogchra menggunakan istilah laya vijna


untuk menunjukkan subyek dan obyek adalah sama, sehingga tidak ada
yang patut direngguh. Kembali pada sifat alami adalah kembali pada sifat
damai.

Yogchra juga disebut hanya representasi (vijapti-mtra) dari kesadaran


penyangga

(laya

vijna).

Pada

awalnya

Asanga

menulis

Samdhinirmocana Sutra yang lebih konsen pada keadaan samdhi, bukan


menolak eksistensi obyek eksternal. Ketika subyek dan obyek menyatu
dalam

samdhi,

maka

Samdhinirmocana

lebih

menolaknya.

Sekolah

eksistensi
diam
Yogchra

eksternal

tentang

sudah

obyek

belakangan

tidak

eksternal,
terutama

dikenal.
bukan
setelah

Vasubhandu, lebih mengembangkan filsafat Yogchra yang secara


definitif menolak eksistensi obyek eksternal.

Perkembangan Yogchra yang menolak eksistensi obyek eksternal,


membuatnya digolongkan sebagai pandangan idealis subyektif. Menolak
adanya obyek eksternal, berarti memahami eksitensi itu hanya rangkaian
kognisi yang hadir dengan caranya sendiri. Dharmakirti, salah satu
penerus Yogchra, mengatakan: seseorang yang tidak dapat menerima
kognisi, juga tidak dapat menerima obyek. Ada dua implikasi logis dari
Dharmakirti:

Kita tidak punya persepsi tanpa kognisi. Obyek tanpa persepsi

adalah tidak mungkin.


Tidak ada obyek diluar kognisi. Obyek dan kognisi adalah satu dan
sama.

Posisi Yogchra lain dalam mengkritik Vaibhsika dan Sautrntika adalah


eksistensi

independen

bukanlah

obyek

eksternal.

Jadi

tidak

bisa

mentransenden pengetahuan. Selama belum diketahui obyek adalah


bagian dari kesadaran, maka muncul dualisme yang membuat ilusi
keterpisahan antara subyek dan obyek. Avidy, dalam Yogchra, juga
termasuk ketidaktahuan bahwa obyek adalah bagian dari kesadaran. Isi
(content) dari kesadaran bukan didatangkan dari luar tapi hadir karena
sudah menjadi sifat dari kesadaran itu sendiri.

Yogchrabhumi juga menyebut tentang ksa, tapi dipahaminya sebagai


ketidakhadiran fisik (absence of rpa). ksa hanya prajapti dan tidak
nyata. Prajapti (paati), maksudnya adalah produk konseptualisasi.
Sementara Sautrntika menganggap ksa adalah nyata.

Dalam bentuk praktis. Masih menggunakan contoh yang sama tentang


mobil yang rusak.

Jika Vaibhsika menggunakan pemahaman realitas terkecil dalam


dunia materi. Dan Sautantrika mengutamakan realitas obyektif
dengan memahami bahwa mobil itu rusak dan sudah menjadi
bagian alami jika mobil itu tidak kekal. Maka pandangan cerah
Madhymaka adalah dengan memahami apa itu mobil. Mobil yang
kita kenal bukanlah realitas sejati. Karena mobil hanyalah nama
yang tidak pernah mewakili realitas. Karena itu realitas sejati
hanyalah sunya (kosong). Jika demikian apa yang menjadi obyek
kemarahan? Dan mengapa mesti marah? Bahkan siapa juga yang
marah? Siapakah Aku ini? Sunyata juga mencakup eksistensi diri.
Tidak ada alasan yang mengharuskan marah. Inilah pandangan

cerah.
Pandangan

cerah

Yogchra

melengkapi

sudut

pandang

Madhymaka. Fenomena mobil rusak itu hanyalah penampakan


kognitif yang berhubungan dengan karma dan kesadaran (mental
continuum). Kita tidak bisa menyalahkan penderitaan kita pada
situasi eksternal atau juga pada orang lain. Seperti sedang
menonton film yang hanya proyeksi dari proyektor, tapi orang
sering sedih, marah, dan memiliki reaksi tertentu pada film.
Semuanya adalah proyeksi dari pikiran kita sendiri.

6.5.Madhymaka Svtantrika dan Prsagika

Ngrjuna menghubungkan ajaran sunyata dengan sebab-sebab yang


saling bergantungan (paticca samupda). Sunyata bisa dipahami sebagai
kesalingterkaitan alami pada realita (interdependent nature of reality).
Cara pandang ini yang selanjutnya membuat Madhymaka berkembang
menjadi dua, yaitu Madhymaka Prsagika yang dikembangkan oleh
Buddhaplita (5-6 M) dan Chandrakrti (7 M) dan, dan Madhymaka
Svtantrika

yang

dikembangkan

oleh

Bhvaviveka

(6

M).

Kedua

Madhymaka ini sama-sama memahami kesalingterkaitan alami pada


realitas, tapi dengan sedikit perbedaan sudut pandang. Pada Svtantrika,
walaupun sesuatu ada karena tergantung pada yang lain, tapi ada realitas
intrinsik pada sesuatu ini. Sementara Prsagika menolak adanya realitas
intrinsik ini.

Berikut ini saya akan jelaskan perbedaan Svtantrika dan Prsagika lebih
mendalam.

Secara definitif, saya mengutip dua sudut pandang Svtantrika dan


Prsagika dari Meditation on Emptiness, yang dikompilasi oleh Jeffrey
Hopkins.

Mdhyamaka Svtantrika:

Penganjur ketiadaan eksistensi nyata yang menegaskan bahwa secara


konvensional semua fenomena eksis dengan karakter sifatnya sendiri.

Mdhyamaka Prsagika:

yang

tidak

menegaskan

bahwa

semua

fenomena

eksis

dengan

karakternya sendiri meskipun secara konvensional.

Madhymaka Svtantrika memahami kombinasi eksternal dan internal


menentukan eksistensi suatu fenomena. Contoh: Jika kita pikir seekor
anjing adalah seekor kucing. Walaupun kita tetap melabelinya sebagai
kucing, itu tidak merubah seekor anjing menjadi kucing. Svatantika
menunjukkan bahwa penamaan mental tetaplah ada dasarnya. Walaupun
penamaan itu hanyalah realitas konvensional. Ini yang dimaksud dengan
realitas intrinsik.

Madhymaka

Prsagika

lebih

menekankan

bahwa

eksistensi

itu

ditentukan oleh penamaan metal saja. Tidak ada basis validitas bahwa
sesuatu itu harus bernama tertentu. Kata kucing, anjing, itu hanya
nama. Realitas intrinsik tidak ada karena yang disebut ada itu tergantung
dengan keberadaan yang lain. Lodro Gyatso, Guru Tibet dari Amdo,
menegaskan posisi Prsagika, dengan menyebutkan bahwa sunyata
bukan absen fungsionalitas. Patica samupda bukan tentang identitas
intrinsik tapi tentang ilusi. Fungsi penamaan itu memang ada, hanya saja
itu hanya penamaan tanpa dasar validitas.

Aliran Gelukpa sebagaimana yang dipahami H.H. Dalai Lama XIV adalah
penerus Yogchra Madhymaka Prsagika. Mengacu pada Madhymaka
sebagai jalan tengah. Tapi bukan jalan tengah sebagai majjima patipada
yang merupakan sikap terhadap Carvaka dan Jainisme. Jalan tengah
Madhymaka adalah menolak ekstrim eksis (eternalis) dan ekstrim tidak
eksis (nihilis). Dalai Lama memberi sebuah analogi untuk menjelaskan
pandangan Prsagika. Jari tengah itu ada. Namun jika sebuah tangan
memiliki empat jari, lalu mana jari tengahnya? Dalam konteks lima jari,
jari tengah eksis. Tapi dalam konteks empat jari, jari tengah tidak ada.
Madhymaka Prsagika memahami gagasan tentang jari tengah tidak
bisa eksis tanpa adanya gagasan lainnya. Jadi ada selalu melibatkan
ada yang lain. Inilah realitas konvensional. Disebut konvensional, karena
kebenarannya bersifat relatif.

Untuk itu digunakan kosong (sunya)

sebagai realitas tertinggi. Apapun konteksnya, sebuah keberadaan adalah


kosong. Paham eternalis akan menyebutkan eksis namun tidak melihat
sifat relatifnya. Sedangkan paham nihilis secara mutlak menyebutnya
tidak ada. Sunyata adalah jalan tengah, mengatasi paham eternalis dan
nihilis.

6.6. Dua metode untuk Memahami Kekosongan

Vaibhsika,

Sautrntika,

Madhymaka,

Yogacara,

lalu

Madhymaka

Svtantrika dan Prsagika dianggap sebagai tahapan perkembangan

filsafat Buddhis. Guru-guru modern sebagian menyebutkan Yogchra


Madhymaka Prsagika sebagai puncak filsafat sebagaimana dalam
aliran Gelukpa (Ordo Buddhist yang dipimpin Dalai Lama). Bagi mereka
yang membela Prsagika, akan menuduh Svatrantrika menikmati status
independen, artinya melekati sesuatu sebagai nyata. Pengakuan realitas
intrinsik hanya membuat kemelekatan dan penghalang bagi upaya
pencerahan. Prsagika dicetuskan oleh Buddhaplita (5-6 M), lalu
disanggah oleh Bhvaviveka (6 M). Buddhaplita hidup berdekatan
(sezaman), tapi tidak ada catatan mereka berdua bertemu muka.
Svtantrika yang dicetuskan Bhvaviveka disanggah oleh Candrakitri (7
M). Jadi debat Prsagika dan Svtantrika nampaknya hanya perbedaan
interpretasi tanpa adanya dialog langsung, sehingga beberapa guru mulai
memahami perbedaan tersebut perlu disikapi dengan sintesa pemahaman
tertentu. Salah satu upaya itu adalah gerakan Rime (non sektarian) di
Tibet.

Pemahaman sintesis itu memahami Svtantrika dan Prsagika sebagai


dua buah sudut pandang yang berusaha merealisasikan hal yang sama,
yaitu (merealisasikan) sunyata. Dengan kata lain, Svtantrika dan
Prsagika bukan tentang siapa yang lebih baik, tapi hanya perbedaan
metode saja.

Bhvaviveka

memahami

ketika

persepsi

muncul,

maka

muncul

penampakan entitas obyektif. Entitas itu menempatkan sudut pandang


obyektif yang adalah proyeksi dari persepsi. Status independen, bagi
Bhvaviveka, adalah pengenalan obyek saja. Svtantrika bisa disebutkan
sebagai metode penalaran silogistik. Selama pengenalan obyek dipahami
sebagai realitas konvensional, itu juga merupakan bagian dari memahami
realitas tertinggi, sunyata.

Chandrakrti tidak menggunakan sudut pandang obyektif dan memilih


penalaran (reason) untuk mengafirmasi apa yang berkaitan dengan diri,
tapi lebih menampilkan inkonsistensi internal dari sudut pandang yang

sedang dialami. Pendekatan ini mirip dengan reductio ad adsurdum dalam


logika Barat, yaitu:

apa yang keliru dibuang. Jika Svtantrika disebut

sebagai metode penalaran silogistik (syllogistic type reasoning), maka


Prsagika

disebut

sebagai

penalaran

cara

konsekuentialis

(consequentialist style of reasoning).

Ada diskusi menarik yang menjelaskan titik temu Svtantrika dan


Prsagika. Ada tiga level analisis, yaitu: tanpa analisis (no analysis),
analisis menengah (slight analysis), dan analisis tuntas (thorough
analysis). Contoh: sebuah meja. Sebuah meja adalah meja, menurut tanpa
analisis. Pada tahap analisis menengah, sifat dari meja (inherent nature of
table) di negasi. Pada Analisis tuntas, tidak ada sesuatu yang dinegasi.
Jika secara realitas tertinggi adalah kosong, maka apa yang dinegasi.
Svtantrika dan Prsagika berbeda dalam hal analisa menengah (slight
analysis). Jika terburu-buru pada Analisis tuntas, maka memungkinkan
terperosok

pada

nihilisme.

Karena

itu

Svtantrika

menggunakan

pendekatan yang bertahap, dengan mengakui sifat dari obyek yang


nantinya dianalisis lagi lebih mendalam secara tuntas. Sementara
Prsagika, menjadikan konsep obyek dinegasi. Pendekatan Prsagika
bersifat langsung, bukan bertahap.

Guru Nyingma bernama Jamgn Mipham Rinpoche (1846-1912) menulis


komentar

Madhymakalamkara

karya

Shantarakshita,

yang

dikenal

sebagai Yogchra Madhymaka Svtantrika. Mipham tidak secara khusus


membela Svtantrika atau juga Prsagika, tapi lebih melihatnya sebagai
dua metode yang sama-sama ada kebenarannya. Mipham sendiri
termasuk penggerak tradisi Rime di Tibet.

Sejarah Svtantrika muncul ketika Bhvaviveka mengkritik Buddhaplita


agar menggunakan silogisme formal yaitu menggunakan pendekatan
kesalingtergantungan (svatantrnumna) dari pada terburu-buru dengan
argumen Prasanga. Argumen Bhvaviveka disanggah oleh Chandrakrti
yang juga dari Prsagika. Mipham memahami baik Svtantrika maupun

Prsagika memiliki tujuan yang sama yang berbeda pada metode


pedagogiknya saja. Pedagogik maksudnya metode itu merefleksikan
kebutuhan murid untuk mempelajari sunyata secara intelektual, bukan
pada level realisasi. Svtantrika bisa dipahami sebagai jembatan antara
kebenaran konvensional dan kebenaran tertinggi, walaupun keduanya
masih bersifat intelektual. Pemahaman akan realitas tertinggi hanya alat
sementara, sebelum nantinya mengalaminya sendiri.

Pembagian realitas konvensional dan tertinggi adalah upaya sistemasi


pemahaman intelektual untuk membantu realisasi. Realitas tertinggi,
sunyata, tidak bisa dibicarakan, karena bersifat transenden melampaui
batas elaborasi intelektual. Realitas tertinggi itu hanya bisa dialami tapi
tidak dapat diekspresikan dalam bentuk yang memuaskan

7.

Pengaruh pada Sistem Non Buddhis

Setelah Dharmakirti (7 M) muncul Shantarakshita (8 M) dan Kamalashila


(8 M) yang mengartikulasikan sintesis Yogchra dan Madhymaka.
Puncak filsafat Mahyna adalah sintesis Yogchra dan Madhymaka.
Sintesis ini mempengaruhi tradisi non Buddhis. Walaupun Buddhisme
termasuk non ortodoks, namun ajaran Vedanta ortodoks mengambil
sebagian

pemikiran

Buddhis.

Berikut

beberapa

penjelasan

singkat

pengaruh Buddhisme pada Vedanta, sebelum nantinya Buddhisme juga


dipengaruhi ajaran Tantra. Tantra berkembang baik dalam Hindu maupun
Buddhisme.

Ditulisan

berikutnya

saya

akan

membahas

tentang

perkembangan Tantra ini.

Jika Madhymaka mengambil sunyata sebagai realitas tertinggi, maka


Upanisad dengan jelas menyebutkan Tuhan (Brahman) sebagai realitas
tertinggi. Tradisi ortodoks mengakuinya secara absolut, sesuai dengan
monisme dalam Upanisad.

Dalam Nyaya dan Vaishesika, hakikat diri

adalah ada dan tanpa kesadaran. Samkhya dan Yoga, hakikat diri adalah
ada dan kesadaran. Pada Vedanta, hakikat diri adalah ada, kesadaran dan
bahagia (sat, cit, ananda). Penekanan pada bahagia mirip dengan

pemahaman Nirvana dalam Buddhisme. Shankara (788M-820/850M)


memahami kebebasan bukan mencapai sesuatu, tapi penemuan jati diri
(self-discovery). Gaudapada yang diduga guru Govinda, yang adalah guru
dari Sankhara pernah menyebutkan, Tidak ada keteruraian, tidak ada
perbudakan dan tidak ada calon Brahman; juga tidak ada orang yang
sangat menginginkan kebebasan atau jiwa yang terbebas. Inilah puncak
kebenaran. Inilah yang menjadi ajaran paradoksal yang meniadakan diri
dari Advaita (Vedanta versi Sankhara), yang selaras dengan teks-teks
Buddhisme terutama ajaran tanpa diri (anatman/anatt).

Ungkapan Vedanta tat tvam asi (dia adalah dirimu), mirip dengan
pandangan Yogchra yang memahami bahwa semua obyek ekternal,
tidak lain, adalah pikiran. Vedanta versi Sankhara menyatakan diri
sebagai non dualisme (advaita), maksudnya tidak ada perbedaan antara
Tuhan (Brahman) dan Diri (Atman). Tuhan adalah dasar dari seluruh
pengalaman. Tuhan tidak sama dengan dunia, juga tidak berbeda, dan
ada. Diri individual adalah sama dengan Atman yang dibatasi. Moksa atau
realisasi diri bisa dicapai dengan praktik devosi dan latihan

dan bisa

dicapai selama orang masih hidup (tidak menunggu setelah kematian).


Moksa bukan hancurnya dunia, dunianya tetap ada, hanya saja cara
pandang terhadap dunia yang sudah berubah dan telah menyingkirkan
kebodohan (avidya).

Vishishtadvaida versi Ramanuja (1175M-1250M) mengakui adanya dua


realitas, yaitu: realitas yang berdiri sendiri (sawatantra) yaitu Tuhan, dan
realitas yang tergantung dengan yang lain (paratantra). Bandingkan
dengan tiga sifat alami versi Yogchra, yaitu: sifat imajinatif (parikalpita),
sifat tergantung (paratantra), dan sifat sempurna yang sudah ada
(parinishpanna).

Buddhisme mempengaruhi sistem filsafat non Buddhis, terutama Hindu.


Prof. Anukul Chandra Benerjee menyebutkan bahwa Sistem filsafat Hindu
dan Jain menyingung empat sekolah (four schools), yaitu: Vaibhsika,

Sautrtika, Madhymaka, dan Yogchra. Dalam Sarvadarsanasamgraha


karya Madhavacarya juga dijelaskan empat sekolah Buddhis tersebut.

The religion of the future will be a cosmic religion. It should transcend


personal God and avoid dogma and theology. Covering both the natural
and the spiritual, it should be based on a religious sense arising from the
experience of all things natural and spiritual as a meaningful unity.
Buddhism answers this description. If there is any religion that could cope
with modern scientific needs it would be Buddhism.
(Albert Einstein)

8. Penutup

Perkembangan filsafat Buddhis di India didukung oleh keadaan dan situasi


politik yang memungkinkan pada waktu itu. Jika sebuah negara dalam
keadaan perang dan kacau, dan tidak mendukung perkembangan filsafat,
maka orientasi spiritual begitu rendah sehingga perkembangan filsafat
tidak terjadi. Ketika bangsa Yunani menginvasi India, tidak memusnahkan
iklim spiritual India. Yang terjadi justru pertukaran pengetahuan antara
peradaban Timur dan Barat. Hal itu nampak dalam pengaruh kesenian
Yunani pada kesenian Buddhis. Perkembangan Buddhisme perlu dilihat
dari sudut pandang ini.

Wawasan dalam tulisan ini walaupun sebatas teori, namun semakin


memperjelas arah dan tujuan dari praktik meditasi. Daya tarik Buddhisme
selanjutnya adalah penjabarannya dalam praktik meditasi, yang semakin
dipahami sebagia bentuk psikoterapi mandiri yang dapat diandalkan.

Ada satu fase perkembangan Buddhisme yang belum saya jelaskan di


tulisan ini, yaitu Periode Tantra (7 M -11 M). Periode Tantra ini terjadi

ketika Buddhisme Mahyna di India sudah dalam bentuknya yang


matang. Harapan saya, tulisan ini bisa menjadi dasar untuk memahami
Sejarah Tantra pada tulisan saya berikutnya.

Anda mungkin juga menyukai