Anda di halaman 1dari 6

DIKOTOMI FILSAFAT BARAT DAN TIMUR DALAM MENCAPAI TERANG

KEBENARAN AKHIR
Oleh: Agustinus Rabit (190510003)

1. Pengantar
Pada zaman milenial ini, apakah masih relevan mendikotomikan Filsafat Barat dan
Filsafat Timur? Manusia cendrung menempatkan paradigmanya yang merujuk pada terpilah-
pilahnya Filsafat Barat dan Timur. Dalam situasi ini, seolah-olah kedua kawasan tersebut saling
bertolak belakang. Kedua terminologi ini mampu menghantarkan manusia kepada individu yang
utuh. Melalui paper ini, penulis mencoba mengkaji dikotomi antara Filsafat Barat dan Timur
dalam mencapai terang kebenaran akhir. Dikotomi kedua kawasan filsafat tersebut tidak
dimaksudkan sebagai pemisahan pemahaman keduanya, melainkan untuk mencari titik temu
keduanya.

2. Filsafat Sebagai Wahana Independen


2.1 The Way of life
Pemikiran Aristoteles tentang alam semesta dan manusia dalam Filsafat Barat dianggap
sebagai sesuatu yang lahir dari keajaiban. Di sisi lain, Filsafat Timur umumnya dipahami sebagai
yang berorientasi pada hal-hal praktis, menyelidiki penderitaan manusia dan cara meringankan
penderitaan itu sekaligus menekankan pada kehidupan manusia yang harmonis.1 Filsafat Timur
bersifat eksistensial. Artinya, sebagai paham yang berpusat pada manusia dan sebagai individu
yang bertanggung jawab. Dalam konteks Filsafat Barat, kehidupan diatur oleh akal dan bukan
oleh kebiasaan, insting atau pun gairah. Sebagai Contoh: Filsuf Socrates (4699-399 SM), yang
mencari-cari arti dari kebahagiaan dengan bertanya pada setiap orang. Prinsipnya ialah
“kehiduapan yang diperiksa”.
Dalam trend nalar Filsafat Timur memiliki tempatnya dalam kehidupan, tetapi tujuan
akhir dari kehidupan ialah pembebasan diri sendiri. Sifat manusia lemah dan rawan korupsi,
tidak mungkin bagi seluruh orang untuk menjadi suci atau bahkan hanya berpandangan jernih. 2

1
Narayana Moorty, Eastern Philosophy:An Outline (California: Monterey Peninsula College, 1987), hlm.
10.
2
Harry Oldmeadow, Light from the East: Eastern Wisdom for the Modern West (Canada: World Wisdom,
2007), hlm. 4.
Lalu, apakah sarana yang dipakai untuk mencapainya? Kuncinya ialah bagaimana cara kita
menjalani kehidupan ini. tanpa mengaburkan tujuan akhir kehidupan.

2.2 Dikotomi: Jurang yang Memisahkan?


Pemisahan yang begitu tajam antara Filsafat Barat dan Timur dapat dirasakan oleh
mereka yang dididik oleh budaya Barat maupun Timur. Mengapa? Karena adanya
“kecendrungan” yang timbul untuk memisahkan kedua kawasan ini. Kecendrungan inilah yang
menjadi jurang pemisah, seolah-olah keduanya tidak bisa didamaikan. Pun penilaian yang salah
mampu membuat distingsi yang berbeda dan berakibat fatal dalam memahami Filsafat Barat dan
Timur dalam mencapai terang kebenaran. Maka, semakin kita memahami Filsafat Barat dan
Timur, maka kita akan melihat perbedaanya masing-masing sekaligus kita akan melihat “titik
jumpa” keduanya dan tidak melihatnya sebagai sesuatu yang saling bertolak-belakang layaknya
kutub utara dan kutub selatan.

2.3 Kolektivitas Pencarian Makna Kehidupan


Pertanyaan yang sering kita ajukan terkait Filsafat Timur ialah bagaimana Budhisme
mengolah pikiran? apakah ada peran intuisi di dalamnya? Perlu kita ketahui bahwa intuisi
bukanlah sebagai daya untuk memahami sesuatu tanpa berpikir, melainkan intuisi juga
merupakan suatu pikiran itu sendiri. Menurut hemat saya, agama Budha bukan untuk pertama-
tama “diketahui” melainkan untuk “dialami” dan “dipraktekan”. Kita perlu mengamati pikiran
karena pikiran inilah yang membentuk ke-Aku-an (ke-ego-an), melekatkan pikiran pada sesuatu
yang menyenangkan saja, dst. yang berujung pada dukkha. Intisari ajaran Budha harus diuji oleh
masing-masing individu. Tekanannya hanya mencapai pada pencerahan sekaligus sebuah kondisi
kedamaian dan kebijaksanaan batin.
Buddha Gautama mengajarkan bahwa pikiran hanya dapat ditaklukkan apabila pikiran
kita tenang - diam sehingga kita mampu mengamati pikiran itu. Lalu langkah seperti apa yang
mesti diambil untuk mengamati pikiran? Singkatnya, Sang Budhis melakukan meditasi mengenal
diri (vipassana). Hasil yang kita peroleh dari mengamati pikiran tersebut ialah runtuhnya tembok
ke-Aku-an dan kemelekatan, serta berkahirlah kelahiran kembali dan penderitaan. 3 Proses inilah
yang dilalui oleh manusia dalam mengarahkan dirinya kepada kebenaran.

3
Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Ajaran Budha (Yogyakarta: Vidyasena Production, 2008), hlm. 33-34.
3. Tujuan dan kebenaran akhir
3.1 Hukum Tilakkhana4 dalam Ajaran Budha
Terdapat tiga corak kehidupan / tilakhana atau hukum kebenaran mutlak berarti bahwa
ada tiga corak kehidupan yang pasti terjadi. dari 3 hal tersebut sejatinya tidak ada sesuatu yang
kekal. Bahasa Pali untuk penderitaan adalah dukkha. Pun demikian dalam bahasa Pali,
kebahagiaan artinya sukha. Baik suka maupun dukha sama” tidak abadi. 3 corak kehidupan
tersebut, yakni:

1. Sabba Sankhara Anicca (ketidakkekalan atau perubahan). Segala sesuatu yang ada di
alam semesta terdiri dari perpaduan unsur-unsur adalah tidak kekal. Gautama melihat
segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah sebagai proses yang terus berubah.
2. Sabbe Sankhara Dukkha. Segala sesuatu yg tidak kekal itu adalah tidak memuaskan,
sehingga menyebabkan dukkha, karena tidak bisa menerima perubahan yangg terjadi.
Jadi, dukkha seringkali menjadi titik tolak Budhisme, karena terdapat prinsip perubahan
sebagai realitas yang tidak bisa terelakan dan tidak ada yang abadi.
Kebahagiaan sejati ialah ketika jiwa lepas dari perubahan atau disebut sebagai
“lingkaran karma”. Ketika kita lepas dari lingkaran karna dan mencapai pengetahuan
yang sejati, kita menemukan kondisi, yang disebut Nirwana. Tapi, apakah Budhisme
mengejar kehidupan setelah kematian? Tidak. Yang menjadi sukkha maupun dukkha
yang selalu berubah itu dapat dirasakan sekarang. Inilah uniknya Budhisme, bahwa
budhisme tidak meletakan titik refleksinya pada “hidup setelah kematian”. Hal ini tidak
relevan bagi Budhisme. Budhisme berbicara tentang “bagaimana hidupku saat ini?”
apakah aku bisa mencapai Nirwana”. Nirwana bukanlah suatu yg dapat dicapai setelah
kematian, melainkan suatu kondisi dimana budi tercerahkan, jiwa mengenal unsur /
elemen yang tidak kekal itu, sehingga Nirwana dapat dicapai saat ini juga.
3. Sabbe Dharma Anatta (tidak ada jiwa yang abadi). Segala sesuatu (jiwa-roh) berubah dan
tidak ada yang abadi. Mengapa demikian? Karena semuanya itu hanyalah pandangan
egois dalam diri. Fenomena tersebut terjadi karena tunduk pada konstan dan perubahan
dari waktu ke waktu.5

4
Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar…, hlm. 11.
5
Thupten Jinpa, An Introduction to Buddhism (Boulder: Shambhala Publications, 2018), hlm. 11.
3.2 Dimensi Aksiologi dan Metode
Lalu, apakah masih relevan mendikotomikan Barat dan Timur itu sekarang ini?
Mengingat pemikiran filosofis, baik datang dari Barat maupun Timur, pada hakikatnya harus
bersifat terbuka untuk dapat saling menyapa, maka sangat naif apabila dewasa ini kedua kawasan
filsofis ini harus dihadap-hadapkan. Timur bisa belajar banyak dari Barat, khususnya dari
dimensi epistemologi, mencakup antara lain logika dan metodologi. Epistemologi cendrung
merujuk pada apa yang paling hakiki dari sebuah keyakian. Sebaliknya Barat dapat belajar
banyak pula dari Timur, terutama dari dimensi aksiologi, yang menyangkut kebijaksanaan-
kebijaksanaan Timur yang tersebar luas, bahkan sampai di pelosok-pelosok daerah. Guna
mencapai tujuan hidup yang lebih baik dengan berpaut pada kebajikan moral sebagai elemen
penting akanmampu menghantarkan manusia kepada kesejahteraan hidup, mulai dari individu,
keluarga dan masyarakat.6
Penulis melihat paham filsafat sebagai wahana yang independen dengan metode-metode
yang dimiliki. Di Barat, metode yang digunakan ialah spekulasi rasional, penggunaan nalar
secara dialektis yang menunjukan ketidakcukupan alasan atau analisis logis, dll. Sedangkan di
Timur sendiri, terdapat beberapa dari metode dari Barat yang juga digunakan di Timur dalam
membangun sistem kehidupan atau juga menunjukan suatu kontradiksi dari pandangan yang
berbeda tentang realitas. Bagi orang-orang Timur, pemikiran-pemikiran Barat adalah sebagai
bagian dari filsafat mereka. Begitu pun sebaliknya, sebagai orang yang dididik dalam budaya
Barat tentunya mempunyai suatu pandangan bahwa bagaimana Filsafat Timur bisa berkontribusi
dalam pandangan Barat.
4. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, kawasan Filsafat Timur dan Barat telah memberikan
kontribusi wawasan yang tajam dalam kehidupan manusia. Terang kebenaran keduanya berpusat
pada kenyataan sosial. Pemahaman manusia akan segala sesuatu berikut keyakinannya telah
mengantar manusia kepada cara hidup yang selaras dengan terang pemahaman sendiri. Maka
kebenaran yang yang dihadapi manusia ialah hidup ini tidak kekal (tidak ada yang abadi). Oleh
karena ketidak-kekalan itu, manusia menggunakan kemampuannya untuk menyikapinya secara
bijaksana. Pada akhirnya kebenaran itu harus diuji oleh masing-masing individu dalam hidupnya.

6
Jhon M. Koller, Filsafat Asia (Maumere: Ledalero, 2010), hlm. xviii.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Hansen, Sasanasena Seng. Ikhtisar Ajaran Budha. Yogyakarta: Vidyasena Production, 2008.

Jinpa, Thupten. An Introduction to Buddhism. Boulder: Shambhala Publications, 2018.

Koller, Jhon M. Filsafat Asia. Maumere: Ledalero, 2010.

Moorty, Narayana. Eastern Philosophy: An Outline. California: Monterey Peninsula College,


1987.
Oldmeadow, Harry Light from the East: Eastern Wisdom for the Modern West. Canada: World
Wisdom, 2007.

Anda mungkin juga menyukai