Anda di halaman 1dari 6

MORAL SOSIAL

 Membuat analisis sosial atas sebuah persoalan atau masalah sosial yang ada di sekitar atau
tanah air kita.
 Persoalan atau masalah tersebut dianalisis dan direfleksikan sesuai dengan materi
perkuliahan yang sudah dipelajari dan berdasarkan kerangka atau format yang diberikan
(boleh diperluas, tetapi tidak boleh dikurangi)
 Penilaian: TUGAS: Judul, BAB I – Metodologi, UTS: BAB II & III, UAS: BAB IV & V
 Dikumpul pada 8 November 2022
 Contoh format penulisan:

Kerangka Analisis – Persoalan Sosial:


…JUDUL…

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
I. Pendahuluan
1. Latar belakang pemilihan masalah dan judul yang ditetapkan
2. Metode penelitian dan pembahasan
II. Masalah atau Persoalan yang dibahas
1. Data atau fakta (sumber yang bisa dipertanggungjawabkan)
2. Perumusan & Pembatasan masalah
3. Landasan teori atau Argumentasi
III. Analisis – Refleksi Inklusif
1. Ilmiah (ilmu-ilmu atau komentar atau analisis yang berkaitan dengan masalah yang
dibahas)
2. Kebijaksanaan atau Kearifan atau Nilai-nilai lokal
IV. Analisis – Refleksi dan Relevansi Teologis Moral Sosial
V. Tindakan Sosial (Pastoral)
1. Landasan dan tujuan tindakan pastoral
2. Program atau aksi

1
3. Jaringan atau gerakan
4. Sosialisasi

DAFTAR PUSTAKA

BAGIAN FUNDAMENTAL

BAB I
GEREJA DI DALAM DUNIA: MISTERI, PERSEKUTUAN DAN PERUTUSAN (LG 1-8,
AG)
1.1 Rencana Bapa yang Bermaksud Menyelamatkan Semua Orang (LG 2)
1.2 Perutusan Putera (LG 3)
1.3 Roh Kudus yang Menguduskan Gereja (LG 4)
1.4 Kerajaan Allah (LG 5)
1.5 Aneka Gambaran Gereja (LG 6)
1.6 Gereja, Tubuh Mistik Kristus (LG 7)
1.7 Gereja yang Kelihatan dan Sekaligus Rohani (LG 8)
1.8 Sifat Misioner Gereja (LG 17; AG)

BAB II
DIMENSI HISTORIS AJARAN SOSIAL GEREJA

2.1 Keterlibatan Sosial Gereja


 Pada kenyataannya, Gereja terlibat di dalam permasalahan sosial
 Keterlibatan tersebut diwujudkan melalui hidup dan karya-karya maupun melalui ajaran-
ajarannya
2.1.1 Dasar Keterlibatan
 Pemahaman dan kesadaran akan pesan Injil beserta tuntutan-tuntutan etisnya dan
permasalhan yang muncul dalam kehidupan manusia memperkokoh alasan keterlibatan
sosial Gereja

2
Alasan Keterlibatan
1. Hidup: sebuah Anugerah – Karya (Proyek – Panggilan) Sosial
Keterlibatan sosial gereja didasarkan pada suatu kesadaran fundamental bahwa hidup
adalah sebuah anugerah. Sebagai sebuah anugerah, hidup adalah karya (panggilan) sosial
yang harus diwujudkan dalam keterliabtan bersama.

2. Keselamatan Manusia Diwujudkan dalam Dunia


Paus Yohanes XXIII menegaskan bahwa hukum cinta merupakan dasar kometensi
Gereja dalam urusan permasalahan sosial yang sedang dihadapi oleh umat manusia. Cinta kasih
merupakan ikhtisar seluruh ajaran sosial dan keterlibatan sosial Gereja (MM 6).

3. Kekristenan sebagai Agama di Dunia


 Gereja sadar bahwa ia berada di dunia dan mewujudkan keselamatan manusia di dunia ini.
 Paus Yohanes XXIII menegasakan: “Kristianitas merupakan titik temu dunia dan surga,
sebab merangkum manusia seutuhnya, jiwa dan raga, budi dan kehendak. Kristianitas
mengajaknya mengangkat jiwanya ke atas kondisi-kondisi hidupnya di dunia ini yang silih
berganti, dan menjangkau hidup kekal di surga. Di situ ia suatu ketika akan menemukan
kebahagiaan dan damai untuk selamanya.” (MM 2).

4. Masalah Sosial yang Dihadapi


 Keterlibatan sosial Gereja berkiprah dalam permasalahan sosial yang dihadapi dan dialami
oleh umat manusia. Berhadapan dengan permasalahan sosial tersbeut Gereja tampil untuk
“membela” manusia.
 Untuk tujuan itulah, konstitusi pastoral GS menyatakan bahwa Gereja senantiasa wajib
menyelidiki tanda-tanda zaman dan menafsirkannya dalam cahaya Injil. Sehingga,
dengan cara yang sesuai dengan manusia sezaman dan tantangan zaman yang dihadapinya,
Gereja akan mampu menanggapi persoalan-persoalan yang diajukan tentang makna hidup
kini dan di masa menatang, serta hubungan timbal balik antara keduanya (GS 40).
 Paus Paulus VI dalam ensiklik OA menegaskan bahwa keterlibatan sosial Gereja itu
berkembang melalui:
1. Refleksi atas pelbagai situasi yang berubah-berubah, atas dorongan kekuatan Injil
sebagai sumber pembaharuan.
2. Kepekaan Gereja, yang ditandai oleh hasrat tanpa pamrih untuk melayani manusia,
terutama yang miskin dan tertindas.
 Sehubungan dengan kenyataan manusia dan realitas sosial yang dihadapinya, maka dapat
dikatakan ada dua ciri khas keterlibatan sosial Gereja:

3
1.) keterlibatan sosial yang bersifat tetap, karena senantiasa sama saja dalam asas-asasnya
yang paling mendasar, dalam prinsip-prinsip refleksinya, dalam norma-norma penilainnya,
dalam pedoman dasarnya untuk bertindak, dan tertutama dalam hubungannya yang vital
dengan Injil.
2.) keterlibatan sosial yang selalu baru, karena Gereja harus selalu tanggap dan
menyesuaikan keterlibatannya dengan pelbagai situasi zaman yang silih berganti dan dengan
pelbagai peristiwa perubahan yang tiada hentinya, yang menandai perikehidupan manusia
dan masyarakat manusia (SRS 8).

5. Kewenangan Gereja
 Kewenangan ini ditegaskan oleh Paus Leo XII dalam ensiklik RN dan diperkuat oleh para
Paus sesudahnya, seperti Paus Pius XI melalui ensiklik QA. Ia menegaskan bahwa:
- Paus mempunyai hak dan kewajiban untuk memberi keputusan denagn kekuasaan
tertinggi perihal masalah-masalah sosial dan ekonomi.
- Gereja bertugas membimbing manusia bukan hanya kepada kebahagiaan yang bersifat
fana dan sementara melainkan juga kepada kebahasiaan yang abadi (QA 41).
 Kewenangan ini kemudian ditegaskan juga oleh Paus Pius XII melalui pidato radio pada
Hari Raya Pentakosta 1 Juni 1941, La Solennita della Pentecosta. Paus Yohanes XXIII
kemudian memahkotai pernyataan ini dalam ensiklik MM (bdk 3.6).

2.1.2 Batas-batas Keterlibatan Gereja


 Gereja tidak menjalankan kewenangannya itu dalam urusan yang bersifat teknis.
Gereja menjalankan keprihatinannya dan keterlibatannya dalam urusan kemanusiaan dan
moral.
 Paus Yohanes Paulus II melalui ensiklik SRS menegaskan bahwa Gereja tidak memiliki
solusi teknis atas pelbagai permasalahan sosial. Hal nini mengingatkan bawa Gereja
bertugsa bukan di bidang politik dan ekonomi.
 Paus juga menekankan bahwa urusan Martabat Pribadi Manusia dan Umat Manusia
Pada Umumnya tidaklah dapat direndahkan menjadi sekedar persoalan teknis belaka. Hal
ini mengingatkan bahwa Gereja menawarkan sumbangan utamanya dalam solusi
permalasahan pokok pembangunan pada situasi yang konkret, manakala Gereja mewartakan
kebenaran tentang Kristus, tentang Gerja itu sendiri, dan tentang kemanusiaan (SRS 41).

2.1.3 Hakikat keterlibatan Sosial Gereja


 “Di mana posisi keterlibatan sosial Gereja?”
 Paus Yohanes XXIII melalui ensiklik MM menjelaskan keterlibatan sosial Gereja
merupakan bagian integral ajaran Gereja mengenai (kehidupan) manusia (MM 222).

4
 Paus Yohanes Paulus II melalui ensiklik SRS merumuskan keterlibatan sosial Gereja
adalah seperangkat asas untuk refleksi, tolak ukur untuk penelitian, dan petunjuk
pelaksanaan untuk bertindak (SRS 41).
2.1.4 Tiga tahap Perkembangan Kesadaran Sosial Gereja
 Rerum Novarum sebagai Magna Carta (Piagam Dasar) keterlibatan sosial Gereja (QA 39)
menyerukan keprihatinan Paus Leo XIII tentang upah, serikat buruh, hak millik pribadi dan
tatanan ekonomi, adalah sesuatu hal yang baru.
 Tulisan-tulisan PB tidak mengungkapkan hal itu secara langsung. Titik berat pesan Injil
terletak pada seruan “pertobatan untuk mempersiapkan datangnya Kerajaan Allah, bukan
pada perbaikan struktur-struktur sosial.
 Pertanyaannya adalah: “Apa yang membuat Gereja akhirnya mengajukan suatu ajaran
tentang keterlibatan sosial?”

Kesadaran bahwa struktur-sturktur itu tidak di luar tanggung jawab Gereja


berkembang dalam tiga tahap:
1. Tahap Karitatif
Gereja terdorong untuk memberikan perhatiannya kepada kaum miskin, papa, dan yatim-
piatu. Ciri khas pendekatan ini adalah bahwa Gereja didorong oleh caritas, cinta kasih Allah
sendiri yang melalui Roh-Nya hidup dalam Gereja.

2. Tahap Ajaran Sosial


Rerum Novarum merupakan cara pendekatan baru Gereja yang berada dengan pendekatan
kartitatif. Berhadapan dengan kenyataan yang disebut “masalah sosial”, Gereja menyadari dua
hal penting:
1. keadaan kelas buruh bukan pertama-tama masalah cinta kasih melainkan masalah keadilan.
2. bahwa ada ketidakadilan yang tidak dapat dikembalikan pada kesalahan orang-orang
tertentu, u7melainkan berdasarkan sturktur-struktur masyarakat. Maka, kalau cinta kasih
Kristus terhadap orang-orang yang menderita mau dijadikan nyata, Gereja harus mengusahakan
perubahan sturktur-struktur sosial.

3. Tahap Himbauan Profetis dan Solidaritas Praktis


 Dengan ensiklik Paus Yohanes XXIII menyaksikan munculnya sebuah dimensi baru dalam
keterlibatan Gereja pada keadilan. Gereja semakin menyadari bahwa memberikan ajaran
saja tentang bagaimana seharusnya masyarakat ditata tidak cukup (dalam ini pun Gereja
memahami tugasnya dengan semakin jernih: Ajarannya terbatas pada ‘prinsip-prinsip’ etis
(SRS 8) penataan masyarakat, bukan ‘pemecahan-pemecahan teknis’ (SRS 41).
Ketidakadilan sosial bukan sekadar akibat salah faman teoritis yang dapat diperbaiki dengan

5
ajaran yang tepat. Melainkan ketidakadilan sosial bercokol dalam struktur-struktur
kekuasaan ekonomis, politis, sosial dan budaya, jadi berkaitan dengan kepentingan-
kepentingan massif (masih kuat) kelas-kelas sosial dan individu-individu yang berkuasa.
 Dimensi baru itu lebih dari sekedar memberikan ajaran, ia berupa resiko. Tetapi Gereja
sadar bahwa mengikuti Yesus dalam seuran pertobatan memang membawa resiko, seperti
Yesus sendiri yang tidak tahu terhadap resiko.
 Contoh pertama pendekatan baru itu barangkali para “imam buruh” di Prancis tahun 50-an.

2.2 Ajaran Sosial Gereja


Secara singkat dapat dikatakan bahwa:
 Ajaran Sosial Gereja merupakan perwujudan konsep-konsep (kebenaran, prinsip-prinsip,
nilai-nilai) yang digali oleh Magisterium Gereja dari Wahyu dan Hukum Kodrat,
disesuaikan dan diterpakn kepada problem sosial sezaman supaya membantu, bagi Gereja,
bangsa-bansga dan pemerintahan-pemerintahan untuk mengatur masyarakat mansuia
menurut rencana Tuhan bagi dunia.

Terdapat di diktat Moral Sosial yang ditulis oleh Rm. Anton Moa, Pr

Anda mungkin juga menyukai