Anda di halaman 1dari 9

MISI DALAM MASYARAKAT MAJEMUK

“Elemen-Elemen Paradigma Misi Ekumenis


(Missio Dei – Misi dan Orang-Orang Dari Kepercayaan Lain)”

DOSEN :

Pdt. Dr. Denny Najoan, S.Th, M.Si

DISUSUN OLEH KELOMPOK 3 :


Angelia Lasut
Aldino Sumendap
Kevin Lantang
Leonardo Kawulur

YAYASAN GMIM Ds. A. Z. R. WENAS


UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON

FAKULTAS TEOLOGI
TEOLOGI KRISTEN PROTESTAN
BAB I
PENDAHULUAN

Kenyataan bahwa pemahaman dan pelaksanaan misi Gereja di Indonesia sangat


terpengaruh oleh adanya dua pola pendekatan, yaitu ekumenikal dan evangelical (lebih
dikenal dengan sebutan gerakan keesaan dan gerakan injili). Paham ekumenikal muncul dari
gerakan oikumene, sedangkan gerakan evangelikal muncul dari paham Injili. Kaum
oikumenikal adalah gabungan Katolik , Anglikan dan Protestan oikumenikal (GPIB,HKBP
dan kawan2) dalam payung PGI, sementara kaum Injili (Protestan Injili Indonesia) lebih
cenderung kepada kaum marjinal dan dispensasional berada dibawah payung PII. Gereja-
gereja yang terhimpun dalam PII: GBI. GKRI, GEKARI, GISI, dll. Gereja-gereja ekumenikal
cenderung lebih menitikberatkan pada dimensi sosial atau antroposentrisme dari Injil, dalam
artian keselamatan itu berdampak sosial dan kemanusiaan secara keseluruhan. Sedangkan
Gereja-gereja evangelikal cenderung lebih menitikberatkan dimensi spiritual individu-
individu dari Injil, dalam artian bahwa pertobatan dan kesalehan pribadi merupakan kunci
keselamatan. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan dari segi teologi baik menyangkut
pemahaman akan misi, ataupun masalah-masalah khusus seperti soal Roh Kudus dan
pekerjaan-Nya, baptisan, pemahaman akan karunia-karunia dan lain sebagainya.Pola-pola ini
menyentuh kehidupan Gereja sampai pada tingkat lokal, terutama di kota-kota, baik secara
kognitif maupun praktis. Pemikiran teologi misi yang merupakan respon terhadap kenyataan
agama-agama dan modernisasi di Asia yang mendorong gerakan ekumenikal. Perkembangan
ekumenikal ini muncul setelah teolog-teolog Gereja-gereja di Asia ikut ambil bagian dalam
mengembangkan pemikiran teologis di kalangan ekumenikal. Pengaruh pemikiran ini masuk
ke Indonesia karena para teolog Indonesia juga terlibat dan mengembangkan pemikiran
teologi ekumenis. Menyadari adanya kenyataan bahwa di balik setiap arus terdapat suatu
paradigma teologi tertentu yang menentukan corak misi yang dilancarkan oleh masing-
masing arus, maka Gereja-gereja di Indonesia harus menentukan pilihan paradigma teologi
(misi) yang sesuai dengan konteks Indonesia. Pemilihan paradigma ini bersifat inklusif, agar
paradigma lain yang masih hidup dan berkembang tetap dihargai walaupun seringkali akan
terjadi konflik, baik dalam pemahaman maupun pelaksanaan misi. Misalnya dalam
perjumpaan dengan arus fundamentalisme, muncul persoalan apakah kelompok ini dapat
diikutsertakan dalam gerakan ekumenis di Indonesia. Arus fundamentalisme ini, pada intinya
adalah gerakan kultural berbahaya dan destruktif, karena mereka, pada pihak lain, anti nilai-
nilai modern: demokrasi, pluralisme, sekularisme, liberalisme, persamaan hak-hak gender
pria dan wanita, anti-teokratisme, sosialisme ekonomi, gerakan civil society, kebebasan
individual, pencerahan akal budi, evolusionisme, toleransi, spiritualitas New Age, . Dalam
semangat anti-modernisme ini, mereka mengembangkan wacana-wacana polemis pseudo
atau non-ilmiah untuk menunjukkan bahwa ide-ide mereka (dalam pikiran dan keyakinan
mereka) adalah alternatif-alternatif yang lebih religius dan lebih ilmiah dan lebih biblis,
misalnya sebagai ganti ilmu fisika, astronomi, astrofisika dan kosmologi modern mereka
mempromosikan kreasionisme dangkal pseudo-sains; sebagai ganti teori evolusi mereka
mengembangkan doktrin Intelligent Design; sebagai ganti pluralisme religius dan toleransi
mereka memperjuangkan dan berkampanye bahwa hanya ada satu agama yang benar, agama
Yesus Kristus versi mereka; sebagai ganti teologi agama-agama mereka mengembangkan
apologetika terhadap agama-agama lain; sebagai ganti dialog antar agama mereka
mengembangkan proklamasi Kristen yang menuntut pertobatan manusia masuk Kristen bila
manusia tidak ingin masuk neraka; dsb. Jelas, arus fundamentalisme Kristen adalah gerakan
kultural sangat berbahaya yang harus dicegah dan dieliminir daya sengatnya oleh orang
beragama Kristen yang masih berhatinurani bersih. Itulah sebabnya, kita perlu membangun
pemahaman mengenai misi Gereja dan Gereja misioner di Indonesia secara konsisten dalam
paradigma misi ekumenis itu.
BAB II
PEMBAHASAN

Missio Dei
Misio Dei diartikan secara literer sebagai misi Allah. Kata "missio dei" berasal dari
bahasa Latin, missio adalah misi atau tugas, dan dei adalah Tuhan atau Allah. Sebuah bentuk
yang digunakan dalam teologi Trinitas. Misi Allah di dunia adalah maksud Allah untuk
menyelamatkan dunia dalam hubungan khusus dalam Allah, Yesus dan Roh Kudus. Allah
Bapa mengutus Yesus, dan keduanya (Allah dan Yesus) mengutus Roh Kudus.
Setelah perang dunia yang pertama, para teolog misi mulai mencatat adanya perkembangan
dalam teologi biblical dan sistimatika. Karl Barth(1932) menyebutkan misi sebagai aktivitas
Allah sendiri. Pengaruh karl barth sangat penting, karena dia telah menerobos secara radikal
pendekatan teologi era pencerahan. Pengaruh itu terasa sampai konferensi willingten (1952)
yang mencuatkan ide Missio dei secara jelas, misi dimengerti sebagai datang hanya dari
Allah sendiri. Keyakinan ini diambil bukan hanya dari eklesiologi atau soteriologi, melainkan
dari doktrin trinitas. Misi adalah partisipasi dalam pengutusan Allah dan karena itu Misi tidak
ada dengan sendirinya, tetapi hanya karena inisiatif Allah. Willingen juga mengenali relasi
yang erat antar Missio Dei dengan Misi sebagai solidaritas dalam inkarnasi dan salib Kristus.
Moltmann kemudian menyebutkan peranan Gereja sebagai instrument dari misi yang
merupakan gerakan Allah sendiri masuk kedalam dunia. Konsekuensinya kita harus berkata,
“Gereja ada karena Misi Dan ukannya sebaliknya. Berpartisipasi dalam Misi berarti
berpartisipasi dalam gerakan kasih Allah kepada Manusia. Pengaruh pandangan Willingen ini
meluas sampai ke Gereja ortodoks timur dan kaum Evangelical, serta Gereja katolik. Dalam
dokumen Konsili Vatican II decree on mission dirumuskan “Misi adalah manifestasi dari
rencana Allah yang penampakan dan relasasinya ada dalam dunia dan sejarah”.
Setelah willingen, konsep Missio Dei mengalami perkembangan karena pengertian Missio
Dei mencakup seluruh dunia dan semua aspek kehidupan manusia. Concern Allah tidak
eksklusif di dalam dan melalui gereja, tetapi kepada seluruh dunia dan dalam sejarahnya.
Jadi, misi Allah lebih luas daripada misi gereja. Karena misi Allah adalah aktivitas Allah
yang mencakup Gereja dan dunia yang di dalamnya Gereja memperoleh hak istimewa untuk
ikut ambil bagian dalam dokumen Konsili Vatican II Gaudium et spes, pengertian yang lebih
luas tentang misi diangkat secara pneumatologis lebih dari pada kristologis. Sejarah dunia
bukan hanya suatu sejarah yang penuh kejahatan, melainkan juga sejarah kasih yang di
dalamnya Kerajaan Allah berkembang melalui pekerjaan Roh Kudus. Dalam aktivitas
misinya Gereja berhadapan dengan manusia dan dunia yang didalamnya keselamatan Allah
sudah dilaksanakan dengan tersembunyi melalui Roh Kudus. Subject dari sejarah
kemanusiaan itu adalah Roh Kudus.
Harus diakui bahwa perkembangan pemikiran tersebut tidak lagi sesuai dengan apa yang di
maksudkan oleh Karl Bahr. Karena sebenarnya konsep semula adalah untuk melindungi misi
terhadap sekularisasi dan horizontalisme dengan menekankan peranan Allah secara eksklusif.
Kendati begitu, konsep Missio Dei telah mematahkan pemahaman yang sempit dari
pemahaman misi yang bersifat ‘Gereja sentris’. Dalam konsep ini misi Gereja tetap
dijalankan sebagai partisipasi dalam Missio Dei. Landasan dari Missio Dei ini terdapat pada
Injil Yohanes 20:21 tentang Diri-Nya yang diutus oleh Allah, kemudian mengutus manusia
untuk melanjutkan karyanya di bumi. Orang Kristen, baik pada masa lalu maupun masa kini
banyak yang mengartikan bahwa misi Allah adalah memberitakan keselamatan dalam diri
Yesus, yaitu dengan melakukan missionari ke seluruh dunia yang bisa dijangkaunya.

Misi dan Kesaksian Bersama


Gerakan ekumene di kalangan Protestan adalah hasil dari pelbagai ‘kebangkitan’ dan
keterlibatan Gereja-gereja dalam usaha missioner pada abad ke-18 dan ke-19, saat mana
muncul banyak badan misi dari pelbagai Gereja dan kelompok penginjilan. Namun kemudian
terjadi persaingan, bahkan konflik, di antara mereka, seperti misalnya dalam usaha misi ke
Cina oleh begitu banyak badan misi. Konferensi Misi Sedunia di Edinburgh tahun 1910
dengan adanya pembentukan International Missionary Council (IMC, 1921) dan kemudian
WCCC (1948, yang muncul dari gerakan Faith and Order dan Life and Work). Nairobi
(1975) menyatakan, bahwa “tujuan dari persatuan adalah supaya dunia dapat percaya”.
Dokumen Mission and Evangelism (1982) menegaskan, bahwa kita tidak mungkin
melepaskan diri dari relasi antara kesaatuan Kristen dan panggilan misi, ekumenis dan
penginjilan yang tidak bergabung dengan WCC, hal itu tidak menunjukkan bahwa mereka
anti gerakan ekumene, melainkan karena gerakan ekumene sebenarnya lebih luas daripada
WCC.
Pengaruh Konsili Vatikan II sangat besar dalam mengembangkan saling pengertian
dalam bahasa masing-masing dan munculnya ungkapan baru Common Witness (Kesaksian
Bersama) yang menunjukkan kesatuan Gereja dan misi. Dalam keduanya kesatuan Gereja
dan misi mendapat tekanan, karena misi dibicarakan sebagai satu misi dari satu Gereja.
Dalam pergumulan dan perkembangan usaha-usaha keesaan itu nampak beberapa cirri
yang diperjuangkan dan ingin terus dikembangkan sebagai wujud dari paradigm misi
ekumenis.
a. Antara kesatuan dan misi terdapat koordinasi yang saling menguntungkan.
b. Kesatuan bukan berarti penyeragaman, karena di tengah-tengah perbedaan yang ada
(sosial, ekonomi, politik, budaya) terdapat satu pusat, yaitu Yesus Kristus. Kesatuan
dalam misi tidak akan hilang sepanjang Alkitab dibaca bersama.
c. Gereja harus bersatu dalam misi, karena tugas missioner tidak pernah selesai. Semua
temoat atau wilayah di dunia ini adalah wilayah misi dan dalam tugas yang terus
menerus itu. kesatuan dalam misi sangat dibutuhkan.
d. Kesatuan itu dinyatakan bukan dalam relasi paternalistic, melainkan suatu
partnership.
e. Pada tingkat local, kesatuan dalam misi juga harus diwujudkan dengan menghindari
‘perebutan mendirikan Gereja bari di tempat yang sama’.
f. Kesatuan Gereja dalam misi ini harus disadari bukan untuk kesatuan itu sendiri,
melainkan dalam rangka masa depan kemanusiaan dan dunia ini.
g. Kesatuan bukan hanya pilihan ekstra, tetapi panggilan prinsip untuk menjadi satu
sama seperti Allah Bapa, Putra, dan Roh Kudus yang adalah satu.
Karakter misi dalam kesatuan dan kesaksian bersama ini adalah karakter yang
menonjol dalam paradigm misi ekumenis, baik di tingkat dunia maupun nasional. Usaha
keesaan Gereja seperti yang ditempuh di Filipina, India Selatan, dan India Utara merupakan
contoh-contoh dari kesadaran itu. namun ada banyak perbedaan dalam pola-pola keesaan
Gereja itu, seperti yang nampak bila dibandingkan antara pola keesaan Gereja-gereja di
Indonesia dan di Filipina dan India. Hal ini sesuai dengan salah satu karakter dari paradigma
misi ekumenis yaitu kesatuan yang bukan berarti penyeragaman.

Misi dan Keadilan


Gerakan ekumenis dan gereja katolik kontemporer cendrung pada ‘etika rasional’ dengan
dimensi profetis yang dominan. Hal ini Nampak dalam banyak dokumen ekumenis sejaka
tahun 1966 sampai 1973 dan konseling vatikan II. Sedangkan kelompok evangelika memilih
‘etika religious’ yang cenderung mendorong individu atau kelompok untuk mengundurkan
diri dari dunia dan mencari persekutuan dengan Allah dan kurang peduli terhadap sesama.
Untuk mengatasi ketegangan itu, relasi antara penginjilan dan tanggung jawab sosial harus di
bedakan sebagai dua mandat yang di terima dari Allah. Yang pertama adalah amanat untuk
memproklamasikan injil keselamatan melalui Yesus Kristusdan yang ke dua adalah panggilan
Kristen untuk berpartisipan dan bertanggung jawab dalam masyarakat manusia demi
keadilan. Kemudian perubahan mendasar mulai nampak jelas dalam konsultasi Word
Evanglical Fellowship di Wheaton, 1983, setelah melihat perkembangan di Afrika Selatan
dimana dosa tidak hanya bersifat individual tetapi structural (diskriminasi, rasialisme, dan
sebagainya). Dualisme tubuh-jiwa tidak cocok dengan injil dan karena itu penginjilan harus
diperluas dengan pelayanan yang menjawab kebutuhan manusia yang meliputi, baik
transformasi pribadi oleh Roh Allah maupun transformasi sosial-sturktural. Dengan
perkembangan itu terdapat kemungkinan terjadinya konvergensi antara kaum evangelical
dengan kelompok ekumenis dan kotolik kontemporer.

Misi dan Pembebasan


Teologi pembebasan adalah salah satu dari elemen paradigma era ekumenis yang secara
mendasar telah menunjukkan pergeseran paradigma misi gereja, baik dalam pemikiran
maupun praktek. Yang dimaksudkan dengan Teologi pembebasan di sini bukanlah Teologi
pembebasan dari Amerika Latin, melainkan teologi-teologi yang memusatkan parhatian pada
pembebasan. Teologi pembebasan, khususnya di Amerika Latin sebenarnya merupakan
protes terhadap ketidakmampuan Gereja dan misi Barat untuk mengatasi masalah-masalah
dari struktur yang tidak adil, karena sampai tahun 1960 hampir tidak ada perhatian terhadap
aspek pembebasan dalam misi gereja. Lingkungan misi sebelum 1960 hanya mengenal
karitatif yang dianggap memadai di bidang pelayanan kesehatan, pendidikan, dan training
pertanian sebagai bagian dari pendekatan komprehensif dalam misi. Namun kemudian
muncul strategi baru yang lebih mendasar yang disebut pembangunan. Negara-negara barat
berlomba-lomba untuk ambil bagian dalam pemacahan masalah kemiskinan dari dunia ketiga
dengan menyalurkan dan dan skill mereka untuk proyek-proyek pambangunan. Bagi barat,
pembangunan berarti modernisasi. Seluruh proyek didasari oleh asumsi bahwa ‘apa yang baik
untuk barat juga baik untuk dunia ketiga. Kemudian sejak Tahun 1950-an, di Negara-negara
dunia ketiga, terutama Amerika Lattin, terjadi pergeseran dari ide pembangunan ke ide
pembebasan , baik secara teologis maupun eklesiologi. Istilah teologi pembebasan itu sendiri
mulai dipakai pada awal dekade 60-an dan memuncak dalam konferensi para Uskup Amerika
Lattin di Medellin tahun 1968. Di kalangan protestan, tema pembebasan bergema dengan
pengaruh langsung maupun tidak langsung dari gebrakan baru teologi pembebasan Amerika
Lattin. Sidang Raya WCC di Uppsala tahun 1968 menyatakan bahwa ‘Gereja-gereja
mendengarkan jeritan mereka yang merindukan perdamaian. Nada baru dari WCC ini telah
menggeser interpretasi terhadap ‘orang miskin’ yang metaforis sebagai ‘kemiskinan Rohani’
namun terminology yang dipakai adalah ‘Pembangunan’ (development) yang saat itu sedang
di anggap sebagai strategi yang tepat untuk memecahkan masalah ketidakadilan dunia.
‘Pergeseran Paradigma Misi’ Setelah era konstantinus, Gereja menjadi makin kaya dan
mengabaikan orang miskin. Namun kemudian muncul lagi perhatian kepada orang miskin
yang di pelopori oleh gerakan monastic. Pertama-tama miskin adalah miskin secara materi
yang nyata, tetapi harus juga di mengerti sebgai korban dari masyarakat. Mereka adalah
kelompok yang tersingkir dan sangat sedikit berpartisipasi dalam masyarakat, karena tidak
mempunyai daya apapun. Arus teologis dari teologi pembebasan tidaklah bebasa dari kritik
dan prasangka. Ada tiga masalah yang sering dipersoalkan, Pertama, teologi pembebasan
sering di hibungkan dan dianggap sebgai variasi dari teologi liberal yang muncul pada abad
ke 19 di Eropa. Kedua, penggunaan analisis Marxis oleh teologi pembebasan (terutama dari
Amerika Lattin) mengundang kritik, karena bisa menimbulkan aksi kekerasan yang dianggap
bertentangan dengan sikap Kristen yang utama. Dan Ketiga, pengertian pembebasan itu
sendiri yang tidak dapat diterapkan untuk semua konteks, seperti misalnya konteks Asia
begitu berbeda dengan konteks Amerika Lattin. Oleh karena itu, teologi pembebasan tidak
dapat diterima begitu saja oleh gereja dan teologi barat dan juga bahkan dari bagian Dunia
ketiga lainnya.

Misi dan Kesaksian Bersama


Gerakan ekumene di kalangan protestan adalah hasil dari pelbagai ‘kebangkitan’ dan
keterlibatan Gereja-gereja dalam usaha missioner pada abad ke- 18 dan ke- 19, saat mana
muncul banyak badan misi dari palbagai Gereja dan kelompok penginjilan. Konferensi misi
Sedunia di Edinburgh tahun 1910 merupakan tonggak pertama yang memanifestasi kesatuan
sebagai ekspresi iman dan menemukan bahwa kesatuan yang autentik tidak akan pernah ada
tanpa misi yang autentik yang membuka pintu kearah dunia. Namun kemudian diatasi dengan
penyatuan IMC kedalam WCC pada tahun 1961.Peristiwa itu terjadi bukan karena tuntutan
zaman ekumene harus menggantikan zaman misi, melainkan suatu penemuan kembali dan
misi dalam satu gerakan bersama.Nairobi (1975) menyatakan,bahwa “tujuan dari persatuan
adalah supaya dunia dapat percaya”.Dokumen mission and evangelism {1982} menegaskan,
bahwa kita tidak mungkin melepaskan diri dari realasi antara kesatuan Kristen dan panggilan
misi.

Misi dan Pelayanan Umat


Pada era ini terjadi pergeseran dalam pelaksanaan pelayanan Gereja yang dahulu
dimonopoli oleh pejabat Gereja sekarang dilihat sebagai tanggung jawab seluruh umat Allah,
baik yang berjabatan maupun yang tidak berjabatan. Pada abad III peranan para pejabat
Gereja makin kuat dan memiliki wewenang terhadap kaum awam. ‘Clericalizing’ dalam
kehidupan Gereja ini terus berkembang dalam Gereja (Katolik) sampai Reformasi. Hirarki
sebagai pemegang kekuasaan, kebijakan dan bahkan juga hak pengudusan telah membatasi
peranan anggota Gereja biasa. Kemudian Luther menekankan ‘imamat am orang percaya’
dengan tetap menetapkan pejabat-pejabat : pendeta, tua-tua, gerakan dari kelompok warga
Gereja untuk menjembatani antara iman dan politik dengan menggunakan metode Medellin
(see, judge, and then, act) dalam menginterpretasikan perikop-perikop Alkitab. Kelompok-
kelompok kaum awam ini telah menjadi sumber inspirasi dan kekuatan yang membuktikan
bahwa misi bukanlah urusan kaum elite Gereja, melainkan pelayanan atau aksi dari seluruh
umat Allah. Para pejabat Gereja harus mendukung komunitas basis dan kelompok warga
Gereja itu dan bukan malah membelokkan arah dengan menjadikan kelompok-kelompok itu
sekedar sebagai kelompok kegiatan kesalehan keagamaan yang tertutup.

Misi dan orang-orang dari kepercayaan lain


Pada Tahun 60-an muncul Theologia relegion,suatu disiplin Teologi yang tidak hanya
mempertanyakan siapakah orang-orang Kristen, tetapi siapakah orang-orang yang memeluk
agama lain atau kepercayaan seperti Hindu, Budha dan islam.hal ini tidak terlepas dari
kenyataan pluralitas agama, serta pertumbuhan agama-agama lain. Pada masalalu
pergumulan seperti ini tidak di angkat, karna Gereja katolik berpegang pada keyakinan
bahwa diluar Gereja tidak ada keselamatan sedang Gereja Protestan meyakini diluar Firman
tidak ada Namun perkembangan agama-agama lain mendorong sikap yang berbeda.
Pandangan era Pencerahan yang bersikap relativistis dan keruntuhan hegemoni kolonialisme
Barat mempengaruhi sikap Gereja selanjutnya. Gereja menghadapi dua problem besar, yaitu
dunia yang menawarkan keselamatan lewat kemajuan teknologi dan kemampuan manusia
yang dianggap dapat memecahkan masalah manusia dan agama-agama lain yang berkembang
begitu pesat. Menghadapi tantangan yang terakhir ini nampaknya Gereja tidak siap. "Kita
tidak mem- punyal teologi yang dapat menghadapi tantangan yang dihadapi orang Kristen
dengan kehadiran agama Buddha dan Hindu". Ada tiga macam sikap Gereja terhadap agama-
agama lain yang digambarkan oleh David J. Bosch. Sikap pertama adalah sikap eksklusif
yang menempatkan kekristenan se- bagai satu-satunya 'agama yang benar'. Yang kedua, sikap
yang memandang kekristenan sebagai pemenuhan dari agama-agama lain, seperti nyata
dalam konsep adaptasi, akomodasi, dan pemribumian. Yang ketiga adalah sikap relativisme
yang dipengaruhi oleh semangat Pencerahan yang menganggap kenyataan kepelbaglan
agama sebagai sesuatu yang relatif. Semua agama sama. Hanya namanya yang lain. Ketiga
sikap dan pandangan itu dianggap tidak memuaskan dan muncullah pandangan yang ke
empat, yaitu dialog. Menurut David J. Bosch, saat ini kita membutuhkan suatu theologi of
religions yang di tandai dengan ketegangan yang kreatif, karna hanya dengan itu kita bisa
berbicara tentang dialog sebagai perjumpaan dengan hati lebih dari pada dengan
pikiran.didalam dialog kita berhubungan dengan suatu misteri.
BAB III

REFLEKSI TEOLOGIS

Gereja misional adalah istilah baru yang ingin mengembalikan hubungan erat gereja
dan misi. Sudah cukup lama gereja memahami misi sebagai apa yang gereja lakukan di
tempat-tempat terpencil untuk memberitakan Injil. Pemahaman seperti ini pada gilirannya
menggerus kekristenan itu sendiri sekaligus memisahkan gereja dari dasar keberadaannya
yang sebenarnya sebagai umat pilihan Allah yang dipanggil untuk memberitakan Injil.
Gereja adalah alat untuk melaksanakan misi Allah di dunia ini. Gereja bukan ada
untuk dirinya sendiri. Tapi gereja lebih secara fungsional sebagai suatu komunitas yang
hidup, yang bertumbuh dan seharusnya menghasilkan sesuatu yang bermanfaat tidak hanya
untuk dirinya sendiri (internal) tetapi juga bagi dunia ini (eksternal). Untuk mewujudkan misi
Allah di dunia ini, gereja ditugaskan untuk bersekutu, bersaksi dan melayani.
Gereja misional adalah istilah baru yang ingin mengembalikan hubungan erat gereja
dan misi. Sudah cukup lama gereja memahami misi sebagai apa yang gereja lakukan di
tempat-tempat terpencil untuk memberitakan Injil. Pemahaman seperti ini pada gilirannya
menggerus kekristenan itu sendiri sekaligus memisahkan gereja dari dasar keberadaannya
yang sebenarnya sebagai umat pilihan Allah yang dipanggil untuk memberitakan Injil.
Seharusnya wajah misiologi yang kontekstual bagi Indonesia harus terbuka terhadap
agama-agama, terbuka kepada cerita-cerita rakyat, ungkapan mitologis agama-agama suku
dan nila inilai leluhur yang terkandung di dalamnya, terbuka kepada masalah-masalah
praktek agama suku dalam gereja-gereja suku, terbuka kepada dunia modern dengan segala
masalahnya yang sangat kompleks dalam era industri dan komunikasi ini. Namun demikian
dalam keterbukaan ini, inti dari misi yang sesungguhnya tetap harus menjadi perioritas, yaitu
memproklamsikan Injil Yesus Kristus sesuai dengan Amanat Agung Mat 28:19-20.

Anda mungkin juga menyukai