Anda di halaman 1dari 13

Misi NZG (Nederlandsch Zendeling Genootschap)

dan RMG (Rheinische Mission Gesselschaft) di Sumatera


Utara (Tanah Batak)

Disusun Oleh : Kelompok X

Nama : Delfi Haning

Mispa Br Ginting

Mata Kuliah : Misiologi

Dosen Pengampu : Pdt. Zulkarnain Siagian, M.Th

Tahun Ajaran 2022/2023 Ganjil


Pendahuluan

Misi menjadi kewajiban dan tanggung jawab setiap umat Kristiani karena tema utama
seluruh Alkitab adalah misi Allah. Maksudnya rencana dan tindakan Allah untuk
menyelamatkan manusia dari kuasa dosa melalui pengorbanan Yesus Anak-Nya. Teks-teks
Alkitab ditujukan kepada orang-orang supaya dapat melihat dan mendapatkan keselamatan
dari Allah serta mendorong para pembacanya untuk turut serta dalam Missio Christo (Misi
Kristus) dengan mengikuti teladan missioner nya.

Yesus Kristus tidak sekedar menyelamatkan manusia dari kuasa dosa, namun juga
menebus dan mengutus. Ia datang untuk menebus manusia yang telah tergadai oleh dosa.
Namun, kemudian ia mengutus anak-anak tebusan-Nya baik secara perorangan maupun
lembaga (gereja) agar terlibat dalam rencana-Nya. Bapa mengutus Tuhan Yesus, kemudian
Tuhan Yesus mengutus manusia. “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga
sekarang Aku mengutus kamu.” (Yoh. 20:21). Dengan demikian usaha misi menjadi
kewajiban dan tanggung jawab setiap umat Kristen. Ia telah memberikan suatu model atau
bentuk pelayanan untuk menyiapkan kedatangan-Nya ke dunia, yaitu model pengutusan atau
misi kepada manusia secara perorangan maupun lembaga (gereja). 1

Pada masa sekarang ini, banyak umat Kristen yang tidak mengerti tugas dan tanggung
jawab melaksanakan misi. Dengan demikian, melalui tulisan singkat ini, kelompok akan
membuka wawasan kita untuk mengerti dan menyadari misi sebagai kewajiban dan tanggung
jawab umat Kristen. Lebih dari semua itu, kelompok berharap dari tulisan ini dapat
membimbing setiap orang percaya (khususnya kita calon-calon hamba-Nya) untuk
berpartisipasi dalam melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus sebagai misi Kristen yang
utama.

ISI
1
Bambang Eko Putranto, Misi Kristen “Menjangkau Jiwa menyelamatkan Dunia” (Yogyakarta:
ANDI, 2007), 1-2.
Definisi Misi

Secara etimologis ilmu (ilmu yang mempelajari arti dan asal usul kata), istilah
misi berasal dari kata mission (latin) dan dalam bahasa Yunani berasal dari kata
evangelion atau biasa disebut Injil yang berarti kabar baik. Kemudian dari kata
evangelion muncul kata kerja yaitu evangelizo yang berate memberitakan kabar baik
atau Injil. Selanjutnya sehubungan dengan kata itu muncul kata evangelos yang
berarti pemberita Injil. Kata evangelos ini merupakan sebutan bagi para rasul atau
dalam dunia misi modern disebut misionaris. Jadi secara etimologis misi adalah
pengiriman kabar baik (pengiriman utusan Injil). Sedangkan arti dari kabar baik
adalah kabar atau berita yang telah ditunggu manusia tentang datangnya Mesias (yang
diurapi Allah) untuk menyelamatkan manusia dari kuasa-kuasa iblis.2

Istilah misi tidak dapat didefinisikan secara baku atau normatik karena akan
mucul kesulitan-kesulitan seperti secara historis (sejarah) pengertian misi dapat
berubah dari suatu masa kemasa lainnya. Kemudian secara historis (doktrin)
pengertian misi dapat berbeda dari satu denominasi dengan denominasi lainnya.
Masing-masing di denominasi gereja mempunyai pandangan sendiri-sendiri menegnai
misi. Sebagai contoh ada gereja yang menekankan bahwa misi adalah usaha untuk
berbagi keselamatan pribadi (fundamental). Ada juga gereja yang menekankan bahwa
misi adalah usaha untuk berbagi tanggung jawab sosial (liberal). Kedua usaha misi
tersebut tidak bisa dipisahkan. Jadi meskipun istilah misi tidak dapat didefinisikan
secara pasti, tetapi kembali dalam pengertian etimologi bahwa misi adalah pengiriman
kabar baik atau pengutusan Injil.3

Konteks Kehidupan Suku Batak Karo Sebelum Injil Masuk di Tanah Batak
Karo

Masyarakat Karo sangat dekat dengan alam. Oleh karena itu, kehidupan masyarakat
suku Karo juga sangat dipengaruhi oleh alam, dalam artian segala ritus atau pun upacara yang
dilakukan sebagian besar terlukiskan untuk alam beserta segala bentuk yang menjadi bagian
dari alam. Dalam alam antara makhluk yang satu dengan makhluk yang lainnya membentuk
sebuah siklus saling membutuhkan. Manusia membutuhkan makhluk lainnya untuk
2
Bambang Eko Putranto, Misi Kristen Menjangkau Jiwa Menyelamatkan Dunia (Yogyakarta: ANDI,
2007), 3.
3
Ibid, 4-5.
memenuhi kebutuhannya begitu juga sebaliknya. Alam bagi masyarakat Karo sangat penting
karena mata pencaharian sebagian masyarakat bersumber dari alam. Oleh karena itulah yang
menjadikan masyarakat Karo memiliki hubungan yang kuat dengan alam. Latar belakang
mata pencaharian mereka yang hampir keseluruhan bergelut dengan alam membawa mereka
kepada sebuah pemahaman bahwa ada yang lebih tinggi dan menguasai bumi ini dari pada
mereka. Keadaan alam yang membawa mereka memiliki pengalaman religius dan dari hal ini
kepercayaan mereka tumbuh karena adanya pengalaman hidup mereka sehari-hari.4

Masyarakat dulu percaya bahwa leluhur/nenek moyang mereka mempunyai banyak


pengalaman dan memiliki kekuatan moral tinggi dan sakti, sehingga diyakini bahwa arwah
para leluhur berada melekat diluar tubunya, berkelana di alam raya yang padanya melekat
pengalaman, kekuatann dan kesaktian.5 Roh nenek moyang yang diyakini memiliki kesaktian
tersebut juga melekat pada lingkup alam Karo. Dikarenakan segala kegiatan yang dilakukan
oleh seluruh masyarakat Karo dalam hidupnya bersinggungan dengan alam, maka alam pun
menjadi obyek bagi masyarakat Karo untuk “berjumpa” dan “mengenal” roh nenek moyang
mereka. Dalam kepercayaan orang Karo terdapat elemen yang paling kudus di dalam dunia
mereka yakni begu (roh orang mati) yang secara khusus adalah roh nenek moyang.

Berkaitan dengan pemahaman roh dan jiwa, masyarakat Karo memiliki pemahaman
bahwa hubungan antara orang yang sudah mati dan masih hidup tidak berakhir karena
kematian. Dipercaya bahwa roh orang mati masih memiliki hubungan dengan kerabat yakni
dapat mengunjungi keluarga dan sanak saudaranya untuk memberi nasehat atau petunjuk-
petunjuk yang biasanya melalui guru atau dukun yang dipercaya oleh keluarga. Dengan
demikian ada pemahaman didalam setiap keluarga Karo memiliki tuhan pelindung dalam
setiap rumah tangga yang dikenal sebagai “dibata jabu/begu jabu” (tuhan pelindung
keluarga). Keselamatan yang mereka peroleh dari roh tersebut bagaimana pun juga dipahami
sebagai kekuatan yang menghindarkan keluarga dari penyebab sakit penyakit dan
permasalahan-permasalahan lain.6 Sehingga dengan kehadiran orang Eropa dalam masyarakat
Karo pada akhirnya membawa perubahan baik secara pemerintahan, religi, demokrasi dan
lain-lain. Pengaruh pretisme barat, kehadiran para zendeling memberikan warna baru dalam

4
Niarisa Meliala, Fungsi Kehadiran “Roh Nenek Moyang” Bagi Orang Karo: Sebuah Tinjauan
Theologis Kontekstual (Yogyakarta: UKDW, 2012), 8.
5
Tridah Bangun, Penelitian dan Pencatatan Adat Istiadata Karo (Medan: Yayasan Merga Silima,
1990), 24.
6
Niarisa Meliala, Fungsi Kehadiran “Roh Nenek Moyang” Bagi Orang Karo: Sebuah Tinjauan
Theologis Kontekstual (Yogyakarta: UKDW, 2012), 9.
perkembangan religius di tanah Karo tetapi bagi mereka yang non-Kristen kadang-kadang
kurang bisa terbuka.7

Misi NZG di Tanah Karo

Pada dasarnya meskipun sebenarnya dapat memberi resiko bagi diri sendiri atau pun
keluarganya, masyarakat suku Karo dengan berani dan percaya diri atas kekuatannya sendiri.
Mereka jarang menggantungkan diri pada orang lain dan hal ini juga mendasari mengapa
orang Karo dengan berani menunjukan rasa ketidaksenangan mereka terhadap orang Belanda
pada masa pemerintahannya dengan cara membakar gudang-gudang tembakau dan mencabuti
tanaman tembakau yang baru ditanam di perkebunan milik Belanda. Tindakan orang Karo ini
oleh Belanda disebut musuh berngi (musuh malam) karena mereka melakukan aksinya pada
malam hari. Pada tahun 1890 meskipun perkebunan tembakau Deli dan pemerintah kolonial
Belanda memasukkan misi Kristen melalui NZG ke Buluhawar tanah Karo, dimana pada
masa peperangan membakar Karo Jahe (Deli), Karo Serdang dan Karo Langkat antara
kompeni Belanda dengan laskar-laskar simbisa Karo. Mulai pada saat itu 110 tahun yang lalu
sejarah penginjilan masyarakat Karo dimulai. Kehadiran misi Protestan dan kolonialisasi di
tanah Karo dimulai ketika seorang zendeling dari badan NZG dan beberapa orang dari
Minahasa pada tahun 1890. Tepat pada tanggal 18 April 1890 zendeling pertama dari
Belanda bernama Pdt. Hendrik C. Kruyt bersama salah satu utusan Tondano Minahasa yakni
Nikolas Ponto tiba di Belawan.8

Setelah melihat situasi yang ada mereka membuat tempat perhentian di sebuah desa di
Sibolangit bernama Buluhawar, sebuah kampung yang dihuni masyarakat Karo. Pada masa
permulaan penginjilan, para penginjil memberikan pelayanan pendidikan umum di 5 desa,
masing-masing desa didirikan pos pelayanan. Pelayanan pendidikan yang dilakukan ini
mendapat kecurigaan dari masyarakat setempat. Mereka menganggap kegiatan yang
dilakukan zendeling adalah suatu siasat untuk menarik simpati rakyat. Bagi orang Karo NZG
adalah Belanda yang termasuk sebagai penjajah. Oleh karena hal tersebut maka guru injil
pribumi ikut dikirim untuk melayani agar masyarakat Karo mau membuka diri terhadap para
zendeling. Kedatangan zendeling Belanda merupakan ujung tombak dimulainnya pendidikan
masyarakat Karo, dengan membuka sekolah-sekolah sederhana di pos-pos mereka untuk
mengajari orang Karo membaca dan menulis. Akan tetapi kekristenan belum diterima oleh
orang Karo pada masa itu. Ketika H.C. Kruyt digantikan oleh J.K Wijngaarden yang
7
www.gbkp.co.id.
8
Ibid, 2-4.
dipindahkan dari Sawu Indonesia Timur melakukan pembaptisan pertama terhadap 6 orang
Karo pada bulan Agustus 1893. Kemudian kekristenan berkembang walaupun menghadapi
banyak tantangan mengingat pada waktu itu kedudukan guru mbelin (Dukun yang bisa
menghubungkan manusia dengan roh nenek moyangnya) yang disegani di kalangan Karo.
Sikap orang Karo yang menjadi Kristen memiliki dua tantangan yaitu, mengkomunikasikan
kepercayaan orang Kristen bagi mereka yang masih hidup dalam agama awal dan mengajak
orang Karo untuk tidak memandang Kristen itu secara otomatis Belanda hitam.9

Tanggal 24 Desember 1899 telah ditahbiskan gereja Batak Karo yang pertama di
Buluhawar. Gereja Batak Karo Protestan merupakan salah satu jenis gereja kesukuan dan
merupakan jenis gereja beraliran Calvinis. GBKP merupakan lembaga keagamaan yang
keanggotaan umatnya salah satu etnis di Indoensia yakni Batak Karo. Setiap periode sejarah
GBKP menunjukan adanya teologi misi yang dikembangkan oleh GBKP yang dipengaruhi
oleh konteks sosial, religius, ekonomi dan politik. Kerja sama antara NZG dengan pihak
perkebunan Deli Mij, menandakan dimulainya usaha misi di tanah Karo yang berawal dari
rencana ekonomi kapitalis pihak perkebunan dan politik kolonial Belanda. Teologi misi yang
dijalankan dan dibawa oleh para misionaris NZG sangat menekankan pertobatan individu
secara rohani yang bersifat pietis serta menunjukan keunggulan agama Kristen dan budaya
Barat terhadap kepercayaan dan kebudayan masyaakat Karo. Kehadiran zending membawa
kemajuan atau pengaruh modern kepada masyarakat suku Karo dalam bidang Pendidikan,
Kesehatan dan ekonomi.

Di pasca Zending GBKP mengalami kesulitan dan keterasingan dari masyarakat


Karo. GBKP menyadari krisis tersebut sehingga mulai mengubah pandangannya terhadap
budaya Karo dan makin menunjukan keterlibatannya ditengah-tengah masyarakat. Sikap
akomodatif GBKP terhadap adat dan budaya Karo turut mengubah pandangan masyarakat
Karo terhadap agama Kristen. Akhirnya GBKP melaksanakan pembaptisan masal dan
penginjilan masal ke desa-desa di tanah Karo, yang telah mengubah aspek kehidupan
beragama masyarakat Karo. Sampai saat ini GBKP Buluhawar sebagai salah satu bukti
sejarah masuknya para misionaris khususnya NZG masih berdiri kokoh dan tetap
dipergunakan untuk melakukan ibadah oleh jemaat GBKP Buluhawar.

Konteks Kehidupan Suku Batak Sebelum Injil Masuk di Tanah Batak

9
Ibid, 4.
Di wilayah Sumatera bagian Utara, tepatnya di daerah tapanuli, dahulunya merupakan
daerah yang masih belum mengenal Tuhan. Masyarakatnya yang merupakan suku Batak,
pada umumnya masih percaya kepada arwah-arwah nenek moyang. Sampai tahun 1800 M
penduduk Tanah Batak di pedalaman Sumatera Utara di daerah-daerah Toba, Angkola,
Mandailing, Simalungun, Dairi dan Karo masih menganut paham animisme.

Kondisi masyarakat Batak yang hidup di daerah pedalaman Sumatera Utara pada
zaman dahulu amat memprihatinkan, jauh dari jangkauan kemajuan di dalam setiap aspek
kehidupannya. Keterbelakangan dalam kehidupan sosialnya, hal ini ditandai dengan
kehidupan yang amat miskin dan sederhana. Keterbelakangan dalam bidang pendidikan,
ditandai dengan masyarakat yang buta huruf dan penuh dengan kebodohan. Mereka hidup
dalam adat istiadat yang mengikat dan yang harus dilaksanakan supaya ilah yang disembah
jangan marah. Peperangan antar kampung dan antar marga, saling bermusuhan dan
mendengki merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan sehari-harinya.10

Sebelum suku Batak menganut agama Kristen mereka mempunyai sistem kercayaan
dan religi tentang Mulajadi Nabolon (tuhannya orang Batak sebelum mengenal Tuhan Yesus)
yang memiliki kekuasaan diatas langit dan pancaran kekuasaannya terwujud dalam Debata
Natolu (tuhan yang tiga). Orang Batak percaya pada ilah-ilah lain, serta dalam hidup
keagamaan mereka memuja arwah leluhur. Mereka diperbudak oleh banyak sekali kuasa-
kuasa kegelapan yang selalu mengancam dari segala penjuru. Itulah sebabnya menurut
mereka, sangat penting mengambil hati arwah nenek moyang yang dianggap sebagai
pelindung utama mereka terhadap ancaman maut itu. Tindakan mengambil hati arwah nenek
moyang adalah dengan memberikan sesajen. Dengan adanya kepercayaan ini, maka bisa
dikatakan pada awalnya suku Batak masih menyembah berhala. Menyangkut jiwa dan roh,
suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu: pertama Tondi, adalah jiwa atau roh seseorang yang
merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi didapat
sejak seseorang di dalam kandungan. Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang
tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari
sombaon yang menawannya. Kedua Sahala, adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki
seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala
sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula. Ketiga

10
Http://sabda.org/artikel/siapakah_debata_dewa_itu/15-09-2011/11.53.
begu, adalah tondi orang yang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah
laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.11

Mengetahui kehidupan orang Batak dalam adat-istiadatnya, para misiolog telah


mencoba meneliti kehidupan beragama orang Batak dan berpendapat bahwa pusat agama
kuno orang Batak adalah pemujaan terhadap arwah nenek moyang.12

Misi RMG di Tanah Batak

Injil masuk ke tanah batak sejak tahun 1861. Penetapan ini didasarkan pada hari jadi
HKBP, bersamaan dengan kegiatan penginjilan RMG di tanah batak, yang kemudian
diteruskan oleh I.L. Nommensen. Nommensen sebenarnya adalah generasi pencoba tahap
keempat yang membawa injil di kalangan masyarakat batak di Sumatra Utara, tapi
Nommensen adalah yang paling berjasa merubah wajah tanah Batak sehingga Nommensen
juga disebut sebagai rasul orang Batak selama 56 tahun melayani di tanah Batak dengan
metode empat pilar penginjilan yakni baptisan, Pendidikan, Kesehatan dan komunikasi. 13

Menurut penjelasan J.T Nommensen, I.L Nommensen dilahirkan di Noordstrand


Jerman pada tanggal 6 Februari 1834. Latar belakang perekonomian orangtuannya yang
miskin dan menderita memperkuat iman keluarga Nommensen kepada Tuhan. Mereka tetap
menjunjung tinggi budi pekerti. Sejak umur delapan tahun, Nommensen telah masuk Sekolah
Dasar. Ia juga bekerja sebagai gembala domba para peternak kaya di tempat kelahirannya.
Ketika ia berumur 10 tahun, ia bekerja sebagai pembantu pada seorang petani kaya seraya
belajar seluk beluk tanah. Pekerjaan diluar sekolah ia kerjakan untuk meringankan beban
hidup orangtuanya.14

Salah seorang gurunya yang bernama Callisa sering menceritakan pengalaman para
misionaris yang mengabarkan Injil ketempat penginjilan. Cerita sang guru sangat berkesan
serta berpengaruh dalam kehidupan Nommensen. Suatu ketika kaki Nommensen terluka dan
bernanah. Dokter menganjurkan agar kakinya diamputasi. Nommensen menggumuli
penyakitnya dengan membaca kitab Yohanes 16:23-26. Isi nats itu mengubah Nommensen
untuk terus berdoa memohon kesembuhan dari Tuhan. Ia berdoa sambil bernazar “ya Tuhan
sembuhkanlah kaki saya dan saya bersedia untuk pergi kepada orang yang masih menyembah
berhala”. Pada minggu Advent tahun 1847, ia benar-benar sembuh dan nazar dalam doanya

11
Http://sejarahsukubatak.2010/07/penyebaran_agama_kesuku_batak/11.40.
12
H. Gultom, Imanmu Menyelamatkanmu (Jakarta: Yayasan Pembangunan Bona Pasogit, 2004), 136.
13
T. h Van Den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1988), 264.
14
Jusen Boangmanalu, Kristologi Lintas Budaya Batak (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), 223-224.
itu tetap menggerakan keinginannya itu untuk bekerja sebagai misionaris. Itulah satu-satunya
tujuan dalam hidupnya.15

Upaya mewujudkan cita-cita menjadi seorang misionaris mengharuskan Nommensen


meninggalkan tempat kelahirannya dan menemui pamanya di kota Okkolm. Atas bantuan
sang paman ia dikirim ke Foehr. Dari sana ia meneruskan niatnya mencari pekerjaan ke
Wrixum. Di tempat itu Nommensen bekerja pada seorang petani tua yang banyak
memperluas wawasannya dan mendorongnya untuk tetap rajin bekerja serta beribadah ke
gereja. Di gereja itu ia bertemu dengan bekas gurunya yang bernama Heinsen. Heinsen
banyak membekali dan mendorongnya beralih profesi menjadi guru pembantu bagi Nahnsen
di kota Risum.kehadiran Nahnsen banyak menambah pengetahuan dan semangatnya untuk
memasuki sekolah tinggi.

Atas bantuan dan rekomendasi Ephorus Tondern, Nommensen dapat mengajar


sebagai guru tetap di satu sekolah di kota Gotteskoog. Profesinya sebagai guru tetap di kota
Gotteskoog membuat Nommensen sering bertemu dengan Haudest, seorang pendeta dari kota
Nibull yang merangkap sebagai penilik sekolah (orang yang memeriksa sekolah). Pendeta
Haustedt banyak membekali Nommenses khusunya dalam mempelajari Bahasa Latin dan tata
Bahasa Jerman. Pendeta Haustedt juga mengirim surat kepada Ephorus Versman, yang
menceritakan tentang keinginan Nommensen menjadi seorang misionaris.

Selanjutnya Ephorus Versman melanjutkan keinginan Nommensen itu kepada


Walman, seorang pejabat Inspektur Zending Barmen dan tamat pada tahun 1860. Tahu 1861
ia di tabiskan menjadi pendeta. Karir Nommensen berlanjut, hingga pada tanggal 24
Desember 1861 Nommensen berangkat melalui Amsterdam menuju Sumatra dengan
menumpang kapal layer “pertinax”. Ia tiba pada tanggal 16 Mei 1862 di pleabuhan Teluk
Bayur-Padang. Dari Padang Nommensen melanjutkan perjalanan dengan berlayar melalui
Silboga menuju Barus. Nommensen tiba di Barus tanggal 25 Juni 1862. Selama lima bulan
lamanya Nommensen tinggal di Barus dan mengadakan penginjilan. Pada tanggal 30
November 1862, ia pindah dari Barus dan melalui Silboga hendak menuju Sipirok.
Nommensen tiba di Prausorat. Di tempat itu Nommensen memulai pengginjilan dengan
membuka sekolah. Kegiatan penginjilannya mulai dengan mengajar anak-anak sekolah,
mengunjungi orang sakit dan memberi obat, serta menghubungii warga sekitar untuk

15
Ibid, 224-225.
mengajar mereka mendengarkan Firman Tuhan. Hanya enam bulan Nommensen tinggal di
Prausorat karena kuatnyapersaingan dari Islam maupun dari pihak sekolah pemerintah.16

Nommensen mendengar kabar dari hasil perkunjungan misionaris Van Asselt dan
Heine yang telah mengunjungi daerah Silindung tahun 1962 bahwa permusuhan disana telah
berhenti dan wilayah di sana sangat terbuka luas bagi kegiatan penginjilan. Tanggal 7
November 1863 Nommensen menuju Silindung. Perjalanan Nommensen ditemani oleh
misionaris Betz sampai ke perbatasan daerah hukum Belanda. Setelah itu, rombongan
Nommensen melanjutkan perjalanan melalui Simangambat, Silantom, lalu ke Batunadua.
Disana ia diterima dengan baik oleh raja Ompu Gumara Gultom.

Dari sana, Nommensen melanjutkan perjalanan mengitari desa Sigotom menelusuri


lereng bukit Tarindak yang berhutan lebat. Setelah perjalanan hari kelima, ia tiba diatas bukit
yang dahulu disebut Tor. Yaitu suatu bukit yang membatasi desa Sitompul dan Pansurnapitu.
Dari atas gunung Nommensen memandang seluruh wilayah lembah Silindung dengan
kampung-kampung yang banyak dan sawah yang luas hingga kearah Sipoholon. Di tempat
itulah Nommensen berdoa kepada Tuhan “Hidup atau mati, di tengah bangsa-bangsa yang
telah Kau tebus inilah saya akan tinggal memberitakan Firman-Mu. Setelah berdoa,
rombongan Nommensen pun berjalan memasuki di daerah Silindung.17

Setelah Nommensen tiba di daerah Silindung ia diterima oleh raja Ompu Tunggul di
desa Saidnihuta. Berdasarkan hasil mufakat raja-raja setempat, Nommensen diijinkan
membangun sebuah rumah di satu lokasi yang berawa-rawa di Saidnihuta Tarutung. Tempat
tinggal tersebut didirikan pada tanggal 12 Juni 1864. Tahun 1865 desa itu resmi disebut oleh
Nommensen dalam Bahasa Batak Toba “Huta Dame” yang berati “desa damai”. Menurut
sejarah dari desa Huta Dame inilah, Nommensen memulai kegiatan penginjilan dengan
mengunjungi desa-desa yang ada di sekitarnya. Secara umum masyarakat Batak disana
kelihatan menerima dan memperlakukannya dengan baik. Akan tetapi, setelah Nommensen
mencoba memberitakan Yesus Kristus lewat kegiatan perkunjungan pastoral (keluar dari desa
Huta Dame) yaitu desa Sipoholon, Nommensen mengalami perlawanan. Masyarakat
Sipoholon menyangka bahwa Nommensen adalah wakil Belanda atau barangkali salah satu
roh jahat karna mata kambingnya, karena kambing adalah satu-satunya makhluk yang
bermata biru yang pernah dilihat oleh orang Batak. Mendengar maksud Nommensen untuk
tinggal di Silindung, dengan terang-terangan raja-raja menunjukan sikap memusuhi. Namun
16
Ibid, 226.
17
Ibid 227.
karena sikapnya yang ramah dan kepandaiannya mengobati orang sakit membantunya
menjembatani jurang kesalahpahaman.18

Penolakan masyarakat Batak terhadap Nommensen bukanlah penolakan masyarakat


terhadap Yesus Kristus Tuhan yang telah menjadi manusia. Penolakan itu merupakan
gambaran dan sikap tegas masyarakat Batak untuk menolak pelbagai doktrin yang sifatnya
menindas dan menjajah. Masyarakat Batak kala itu belum dapat membedakan secara kritus
antara misionaris dan kolonialis. Oleh karena itu penolakan segelintir masyarakat Batak
terhadap Nommensen bukan berarti penolakan Injil keselamatan yang ia bawa, tetapi
penolakan terhadap figure Nommensen yang dianggap sebagai bagian dari orang-orang
kolonialis Barat. Ada praduga bahwa Injil yang diberitakan Nommensen adalah bagian dari
politik koloniallisme dan bukan kabar baik. Namun walaupun demikian ada beberapa yang
menerima Injil yang disampaikan Nommensen dengan baik dan bersahabat seperti Ompu
Jarida dan raja Ompu Tunggul di Huta Dame Sainihuta Tarutung.19

Adapun metode yang Nommensen terapkan sehingga akhirnya berhasil dalam


memberitakan Yesus Kristus di Huta Dame adalah teaching dialog (dialog pengajaran) atau
evangelizing dialog (dialog penginjilan), metode pendekatan pribadi dimana Nommensen
tetap berusaha mendekati para raja di tanah Batak untuk mengkristenkan masyarakatnya.
Bahkan Nommensen menjalin persahabatan dengan pemimpin tertinggi Batak. Sisimangaraja
XI. Kemudian Nommensen bersikap ramah dan memperlihatkan kepedulian sosial yang
tinngi terhadap penyakit yang di derita masyarakat sekitarnya, Nommensen mendidik SDM
orang Batak sebagai perintis terdepan dalam pengkabaran Injil, dan metode terakhir yang
paling membuat Nommensen berhasil mengkabarkan injil yaitu ia menggunakan Bahasa
Batak Toba sehingga percakapannya dengna masyarakat Batak terjalin dengan baik.

Di Huta Dame Nommensen merefleksikan arti Kristologi Reformasi dan


Protestanisme yang menekankan “keselamatan hanya oleh anugerah Allah semata di dalam
Yesus Kristus.” Nommensen merefleksikan konsep Yesus sebagai Mediator dan
Rekonsiliator antara manusia dengan Allah. Ia mencoba merefleksikan arti teologi dari karya
penebusan Yesus Kristus, dimana karya Yesus Kristus lah yang mendamaikan manusia
dengan Allah dan manusia dengan sesamanya Bersama seluruh ciptaan Allah. Itulah
Sebagian faktor yang menyebabkan Huta Dame popular sebagai tempat untuk mengikat
perjanjian damai antara masyarakat yang bertikai kala itu.
18
Ibid, 230.
19
Ibid, 231.
Kemudian ada satu peristiwa yang akhirnya membuat masyarakat Batak semakin
banyak yang mau menerima dan mengikut Tuhan Yesus, yakni pesta penyembahan terhadap
dewa di gunung Siatas Barita pada tahun 1865. Nommensen datang dari Huta Dame untuk
menghadiri dan menjelaskan pada masyarakat yang hadir di acara itu, bahwa dewa yang
mereka puja adalah jahat dan sesat karena melaluiritus tersebut masyarakat Batak yang hadir
diajak untuk saling curiga, bermusuhan dan saling membunuh antar sesamanya. Ajakan
Nommensen agar masyarakat Batak segera meninggalkan ritus penyembahan dewa itu dan
menerima serta menyembah Tuhan Yesus menimbulkan pro dan kontra. Sikap Nommensen
dalam memberitakan Yesus Kristus kepada masyarakat Batak yang hadir adalah
“mementingkan garis pemisah” yang jelas dan tegas antara Injil dan tradisi religi suku Batak.
Adapun kontra yang terjadi adalah tentang pengertian masyarakat Batak tentang tujuan
mempersembahkan korban kepada nenek moyang adalah agar roh-roh leluhur tidak datang
mengganggu, dan supaya sumangot leluhur mereka datang memberkati hidup dan
memberikan harapan dalam cita-cita hidup sebagaimana konsep falsafah Batak tentang
hamoraon (kekayaan), hagabeon (keturunan yang banyak) dan hasangapon (kehormatan
dalam pelbagai jabatan mulia).20

Selanjutnya masyarakat Batak yang menerima Yesus setelah peristiwa penyembahan


dewa di gunung Siatas Barita mulai berkembang. Awalnya perkembangan yang terjadi
memang kecil dan merupakan dampak sebagian sikap keras dari Nommensen yang menolak
tradisi penyembahan dalam religi suku Batak. Namun masyarakat yang masih “animise”
tidak senag mendengar sebagian masyarakatnya telah masuk agama Kristen. Mereka
mengancam bahwa barangsiapa pindah dari agama nenek moyang tidak boleh lagi
mengerjakan tanah leluhur. Pergumulan dan penderitaan masyarakat pertama yang menerima
Yesus Kristus luar biasa berat. Mereka dikucilkan dari hak kepemilikan tanah secara marga,
persekutuan sanak keluarga dan adat istiadat. Oleh sebab itu, mereka harus berlindung ke
Huta Dame. Disana mereka hidup serta bekerja sama dengam Nommensen.

Pekerjaan Nommensen diberkati Tuhan sehingga Injil makin meluas. Sekali lagi ia
memindahkan tempat tinggalnya ke kampung Sigumpar pada tahun 1891 dan ia tinggal di
sana sampai wafat. Nommensen menterjemahkan kitab Perjanjian Baru kedalam bahasa
Batak. Ia juga berusaha memperbaiki pertanian dan peternakan, sekolah-sekolah, balai-balai
pengobatan dibukanya. Dalam misinya ia menyadari perlunya melibatkan orang-orang Batak.
Maka dibukanyalah sekolah penginjil misi yang menghasilkan penginjil-penginjil Batak
20
Ibid, 234-235.
pribumi. Kesungguhan dan keteduhan Nommensen terbukti mampu memenangkan penolakan
besar masyarakat Batak yang berbuah pada dimulainya era baru bagi kehidupan sosial dan
spiritual, hinga berimplikasi luas bagi tatanan mayoritas Batak. Nommensen dalam
pelayanannya bukan hanya memberitakan Injil secara verbal tetapi sekaligus meningkatkan
ekonomi masyarakat, Pendidikan, pemahaman akan Kesehatan serta membangun seluruh
aspek kehidupan manusia, rohani kehidupan insan bangsa Indonesia khususnya yang berasal
dari Tapanuli Utara.

Pekerjaan misi yang dilakukan Nomensen, sungguh membawa perubahan yang sangat
berarti bagi masyarakat Batak, khusunya Batak Toba. Perubahan ataupun kemajuan yang
dilakukan Nommensen dalam kehidupan masyarakat adalah proses modernisasi seperti
pelayanan kesehatan dan pendidikan. Perubahan lainnya adalah dalam kehidupan sosial yaitu
sebelumnya masyarakat saling mendengki, hal ini berangsur-angsur kurang. Dengan segala
usaha yang dilakukan oleh Nommensen, dia diangkat sebagai Ephorus (pimpinan tertinggi
dalam gereja) yang pertama di HKBP. Hingga sekarang gereja HKBP menganggap
Nommensen sebagai rasul orang Batak karena berhasil membawa suku Batak dari kegelapan
menuju terang.

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan diatas, kelompok menyimpulkan bahwa misi adalah tugas


dan tanggung jawab semua orang yang percaya kepada Yesus Kristus. Dalam pelayanan misi
tidaklah terlepas dari tantangan, yang mungkin bahkan mengancam keselamatan diri sendiri.
Tetapi iman yang dimiliki oleh seorang pelayan misi sepatutnya menguatkan dan
menolongnya untuk mampu melalui tantangan tersebut, sehingga kabar baik atau Injil
tersampaikan dengan baik bagi orang-orang yang belum mengenal Kristus. Dalam pelayanan
misi, tidak tahu kapan dan kemana Tuhan akan mengutus para pelayan-Nya, yang pasti harus
mempersiapkan diri dan bekal (iman, pengetahuan, talenta) sehingga menolong dalam tempat
pelayanan misi.

Anda mungkin juga menyukai