Anda di halaman 1dari 20

PARADIGMA TEOLOGI MISI

“MISI DALAM PARADIGMA MATIUS”

Dosen:
Pdt. Stevi Christian Wowor, M.Th

Disusun Oleh:
CRISTIN RAWUNG
SYALOMITA PONTOH
SUMARYO MUNDIAHI

YAYASAN DS. A. Z. R. WENAS


UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON
FAKULTAS TEOLOGI
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Tokoh sentral kehidupan orang
percaya, yang atas berkat dan rahmat-Nya, kami kelompok 3 Paradigma Misi Teologi dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen Pdt. Stevi
Christian Wowor, M.Th, dalam mata kuliah Paradigma Teologi Misi. Penulisan makalah ini
disusun dengan memperhatikan referensi yang relevan dengan tugas yang diberikan.
Ucapan terima kasih kepada dosen pengampu, Pdt. Stevi Christian Wowor yang boleh
mengarahkan bahkanpun membimbing kami dalam mata kuliah ini. Wawasan pengetahuan
semakin bertambah selama proses perkuliahan. Lewat motivasi dan arahan beliau kami dapat
menyusun makalah ini. Juga mengucapkan banyak terima kasih kepada saudara-saudara yang
membantu untuk kelengkapan literature dalam pembahasan materi kami. Tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada semua anggota kelompok 3 yang boleh berkontribusi dalam
penyusunan makalah ini.
Kami kelompok mengharapkan dukungan, baik berupa kritik dan saran dari pembaca
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan membawa
berkat bagi kita semua.

Tomohon, Maret 2022


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………..
BAB I……………………………………………………………………………………………….
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………
BAB II……………………………………………………………………………………………...
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………...
A. PENGERTIAN MISIOLOGI…………………………………………………………….
B. MISI DALAM PARADIGMA MATIUS………………………………………………...
BAB III……………………………………………………………………………………………..
A. REFLEKSI TEOLOGIS………………………………………………………………….
B. KESIMPULAN……………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN

Misi merupakan suatu tugas yang gereja tanggapi sebagai amanat atau perintah langsung
dari Tuhan Yesus dalam rangka peranannya di dunia ini. Misi adalah inisiatif dari Allah. Ia
mengutus umatNya untuk memproklamasikan Injil secara jelas. Misi bukanlah pilihan yang
dapat dipertimbangkan tetapi misi adalah suatu perintah yang harus dilaksanakan. Tujuan dari
misi yaitu memulihkan hubungan manusia dengan Allah, membawa orang mengenal satu-
satunya Allah yang benar, dan memuliakan Allah. Misi juga merupakan rancangan damai
sejahtera dari Allah untuk menyelamatkan dan menyatakan kerajaanNya di dunia, yang harus
dikerjakan oleh setiap orang percaya lewat pelayanan kepada sesama.
Hadirnya gereja di dalam dunia karena adanya tugas yang harus disampaikan kepada
dunia. Salah satu tugas gereja adalah untuk memberitakan kabar sukacita kepada dunia tentang
karya penyelamatan Allah kepada manusia. Alkitab telah banyak memberikan catatan-catatan
penting tentang bagaimana pergerakan para murid dan gereja mula-mula dalam merespon hal ini.
Sesuai dengan perintah yang diberikan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya pada waktu akan
naik ke sorga yaitu “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka 1 2 melakukaan segala
sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa
sampai akhir zaman.” (Matius 28:19-20).
Amanat Agung Yesus ini bukan merupakan sebuah tantangan, melainkan suatu
tanggungjawab yang harus dipikul, dan diperuntukkan bagi semua orang percaya untuk pergi ke
seluruh dunia dalam memberitakan Injil kepada segala makhluk.1 Setiap orang percaya
mengemban amanat untuk membaktikan diri dalam membuat Injil menjadi perhatian seluruh
umat manusia, ini merupakan tanggung jawab yang tidak dapat diabaikan.2
Injil Matius mencerminkan suatu subparadigma yang penting dan berbeda dengan
penafsiran gereja mula-mula dan pengalaman misinya. Injil kita yang pertama pada hakikatnya
adalah sebuah teks missioner. Pertama, karena visi misionernyalah, maka Matius mulai menulis
Injilnya, bukan untuk menyusun suatu “riwayat Yesus”, melainkan untuk memberikan
bimbingan kepada suatu teks komunitas yang mengalami krisis tentang bagaimana mereka harus
memahami panggilan dan misinya’.3

1
Murray W. Downey, Cara-cara Memenangkan Jiwa (Bandung: Kalam Hidup, 1957) 5.
2
J. I. Packer, Penginjilan Dan Kedaulatan Allah Evangelism And The Sovereignty Of God (Surabaya: Momentum,
2003) 16.
3
David J. Bosh, Transformasi Misi Kristen. sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012). 87, 88.
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN TEOLOGI MISI


Istilah misi (Mission) berasal dari bahasa Latin mission yang diangkat dari kata dasar mittere
yang artinya to send, mengirim, mengutus, act of sending. Padanan dari kata Yunani ialah
apostello.4
Kata mission adalah bentuk substantive dari kata kerja mittere (mitto, missi, missum) yang
mempunyai beberapa pengertian dasar: (1) membuang, menembak, (2) mengirim, mengutus, (3)
membiarkan, melepaskan pergi, (4) mengambil – menyadap. 5 Mission juga dapat berarti
pengutusan Tuhan, dimana Mission beranjak dari hati Allah kedalam dunia ciptaanNya. Mission
adalah rencana pengutusan Allah (Missio Dei) yang kekal untuk membawa syalom kepada
manusia dan segenap ciptaanNya demi kejayaan Kerajaan Allah.
Defenisi ini mengemukakan bahwa misi adalah rencana Allah Yang Esa, yang merupakan isi
hati-Nya sejak kekal yang bertujuan untuk membawa syalom bagi manusia dan segenap
ciptaanNya.6
Berangkat dari pengertian misi yakni sebagai “pengutusan”, muncul dua istilah yaitu Missio
Dei (misi Allah) dan Missio Christi. Missio Dei artinya penyataan diri Allah sebagai Dia yang
mengasihi dunia, keterlibatan Allah di dalam dan dengan dunia, sifat dan kegiatan Allah. 7 Missio
Dei merupakan titik tolak dalam memulai penyelidikan tentang hakekat misi. 8 Yang mana Missio
Dei memberitakan kabar baik bahwa Allah adalah Allah untuk manusia. 9 Misi Allah
diungkapkan melalui keseluruhan pekerjaan-Nya untuk menyelamatkan dunia dan segala isinya.
Kepedulian Allah terhadap manusia dan segala ciptaan-Nya diwujudkan dengan cara mengutus
Yesus Kristus untuk keselamatan dunia.
Escard Schanabel menerangkan perbedaan misi dalam bentuk tunggal dan jamak secara lebih
jelas. Misi (tunggal) adalah menjelaskan karya Allah secara konfrehensif untuk dunia yang
pelaksanaannya melibatkan umat Allah. Sedangkan misi (jamak) adalah aktifitas-aktifitas
misionaris, penginjil, pendiri gereja, dan kaum-kaum awam yang menjangkau orang-orang yang
belum percaya pada Injil Yesus Kristus.10 J. Andrew Kirk da lam bukunya “Apa itu Misi?”
mengatakan bahwa “Misi” adalah realitas mendasar tentang kehidupan Kekristenan. Lebih lanjut
dijelaskan bahwa orang Kristen dipanggil oleh Allah untuk bekerja dengan-Nya di dalam
mencapai tujuan-Nya bagi umat manusia secara keseluruhan. Hidup di dunia ini adalah
4
Arie De Kuiper, Missiologia: Ilmu Pekabaran Injil, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), h 9
5
Edmund Woga CSsR, Dasar-dasar Misiologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h 15
6
David J Bosch, Transformasi Misi Kristen, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005)
7
Ibid, h. 15
8
Ibid, h. 27 10
9
Ibid, h. 15
10
P.H. Nikkijuluw Victor dan Sukarto Arischtarchus, Kepemimpinan di Bumi Baru, (Jakarta: Literatur Perkantas,
2014) h. 43-44
kehidupan di dalam misi. Hidup hanya mempunyai tujuan selama ia mempunyai dimensi
misioner.11
Jadi, misi dapat diartikan sebagai tugas yang berasal dari Allah sendiri untuk menyelamatkan
dunia dan diamanatkan kepada gereja yang sekaligus menjadi tugas dan panggilan gereja di
tengah-tengah dunia ini. Misi gereja sendiri adalah rangkaian dari misi Allah yang menghendaki
dunia dan segala isinya diselamatkan dan Allah telah melakukan karya penyelamatan tersebut
yang terpusat dalam Yesus Kristus sebagai penebus dosa, sehingga manusia terbebas dari
perbudakan dosa. Karena itu gereja sebagai persekutuan orang percaya harus ikut dalam
panggilan bermisi, ikut berkarya dalam mengabarkan kabar sukacita dari Allah kepada dunia.

B. MISI DALAM PARADIGMA MATIUS

11
J. Andrew Kirk, Apa itu Misi?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), h. 36
TINJAUAN/ KONSEP AMANAT AGUNG
Dalam rencana-Nya untuk menebus dan menyelamatkan orang-orang pilihan, Allah
mengutus Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus untuk berinkarnasi ke dalam dunia untuk
menjadi seorang manusia sejati dan Allah sejati yang menyerahkan nyawa-Nya di atas kayu salib
untuk menebus manusia dan bangkit pada hari yang ketiga untuk memberikan anugerah
keselamatan kekal bagi orang-orang yang dipilihNya.
Setelah kebangkitan-Nya dan menjelang kenaikan-Nya ke Sorga, Yesus memberikan sebuah
amanat terakhir yang populer dikenal sebagai Amanat Agung pada kitab injil Matius 28:18-20.
Amanat Agung adalah sebuah perintah sekaligus sebuah kehormatan kepada semua umat
percaya yang selalu menyebut dirinya umat pilihan untuk mengambil bagian dalam pekerjaan
Tuhan untuk menjadikan semua suku, kaum, bangsa menjadi murid-Nya.
Amanat Agung adalah bagian integral hidup orang percaya. Ini adalah amanat Kristus bagi
semua warga kerajaan Allah. Disebut Amanat Agung itu bukan berarti kedudukannya lebih
penting dari bagian lain di dalam Alkitab. Namun ini memiliki tuntutan yang harus dilakukan
oleh setiap orang percaya. Di sisi lain dapat dipertegas bahwa Amanat Agung tidak lain adalah
denyut nadi orang percaya. Dalam Matius 28:18-20, pembahasan tentang Amanat Agung dapat
dibagi ke dalam tiga bagian utama. Ketiga bagian ini berdiri untuk saling menopang satu dengan
yang lain, dan mengacu pada tema sentral tentang Amanat Agung. Pertama, Amanat Agung itu
didasarkan pada otoritas Bapa yang dilimpahkan kepada Kristus. Kedua, Amanat Agung itu
merupakan aktivitas berkesinambungan yang selalu melekat dalam hidup orang percaya. Ketika
Amanat Agung itu ditopang oleh abilitas atau penyertaan Kristus. Ketiga hal ini merupakan
hakekat atau intisari dari intepretasi Amanat Agung dalam hidup harian orang percaya.
Dalam Matius 28:20 Yesus memberikan perintah agar mereka menjangkau semua
bangsa. Pelayanan Yesus di dunia juga memerhatikan orang-orang non Yahudi, misalnya
perwira Romawi (Mat 8:5-13), perempuan Kanaan (Mat 15:21-28), perempuan Samaria
(Yoh 4), orang-orang Yunani di Yerusalem (Yoh 12:20-32). Ketika Yesus hendak naik ke
surga, Ia memberikan perintah yang terfokus pada penyelesaian misi Allah. Sebagai Bapa
mengutus Yesus, sekarang Yesus mengutus para murid (Yoh 20:21). Ia memerintahkan para
murid untuk pergi menjadikan semua bangsa murid-Nya (Mat 28:19 21). Ia menjanjikan Roh
Kudus bagi orang percaya agar mereka mampu menjadi saksi (Kis 1:8). Sejarah
perkembangan gereja di Kisah Rasul juga merupakan sejarah perkembangan misi. Intinya,
misi Yesus tetap dilakukan oleh murid-murid-Nya.12
Dalam Perjanjian Baru, para murid diutus untuk memberitakan dan mendemonstrasikan
kuasa pemerintahan Allah yang membebaskan dan menyembuhkan (Matius 10:5-8). Sebagai
rasul, mereka diutus untuk memuridkan, membaptis, dan mengajar (Matius 28:18-20). Yesus
mengutus mereka ke dunia dalam cara yang sama seperti Bapa telah mengutus-Nya, dan ini
memunculkan berbagai pertanyaan dan tantangan yang menarik (Yohanes 17:18; 20:21).
Paulus dan Barnabas diutus untuk membawa bantuan bencana kelaparan (Kisah Para Rasul

12
Yakub Tri Handoko, Bagian 2: Misi dalam Alkitab; diakses tanggal 14 Maret 2022; tersedia di
http://ebookbrowse.com/gdoc.php?id=172478927&url=709e9b1dcc5fbac10b9935a6e5457eeb
11:27-30). Kemudian mereka diutus untuk melakukan penginjilan dan perintisan jemaat
(Kisah Para Rasul 13:1-3).13
Secara khusus penulis juga membahas dalam Perjanjian Baru tentang amanat agung.
Konsep yang benar terhadap Amanat Agung (Matius 28:19-20). Mayoritas orang memahami inti
amanat agung terletak pada penginjilan (bandingkan kata “pergilah” yang diletakkan di
awal kalimat) dan langkah selanjutnya adalah pemuridan, baptisan dan pengajaran.
Bagaimanapun, menurut struktur kalimat Yunani di ayat 19-20, inti Amanat Agung justru
terletak pada pemuridan.14 Hal ini didasarkan pada mood imperatif untuk kata kerja
“jadikanlah murid” (lihat: “muridkanlah”) yang diikuti oleh tiga participle (anak kalimat),
yaitu “pergi”, “baptiskanlah” dan “ajarkanlah”. Penggunaan kata “muridkanlah” di sini
menempatkan penginjilan dalam konteks mempelajari hukum (ajaran) Yesus. 15 Yesus juga
memerintahkan para pengikut-Nya: “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku.” Pengarang
mengubah kata benda mathetes menjadi kata kerja. Bentuk kata kerja dari kata ini muncul
empat kali dalam Perjanjian Baru (dalam Matius 13:52;27:57;Kisah Para Rasul 14:21 dan
Matius 28:20). Menjadi seorang murid Yesus berarti ikut terlibat dalam kematian dan
kebangkitan-Nya dan ikut barisan-Nya sampai ke penyingkapan akhir Kerajaan mesianis-
Nya.16

AJARLAH MEREKA MELAKUKAN SEGALA SESUATU


Bagian terakhir dari “amanat agung” menyebutkan perintah “ajarlah mereka melakukan
segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat. 28:20). Dari apa yang kita lihat,
perintah “ajarlah mereka” ini, bersama-sama dengan perintah “baptislah mereka”, tampaknya
merupakan isi yang sesungguhnya dari upaya pemuridan, karena itu pula, merupakan misi di
dalam pemahaman Matius. Lebih jauh tampak bahwa ini adalah sesuatu yang berbeda dengan
misi dalam ayat-ayat parallel dalam injil-injil yang lain dan di dalam Kisah Para Rasul. Dalam
Lukas 24:47 pesan yang diberitakan kepada bangsa-bangsa adalah pesan pertobatan dan
pengampunan dosa di dalam nama Yesus. Dalam Kisah Para Rasul 1:8 kepada para murid
diberitahukan bahwa mereka aan menjadi saksi peristiwa paskah, yang dikuatkan oleh Roh
Kudus. Dalam Yohanes 20:21-23, para murid pun dijanjikan Roh Kudus dan diutus ke dalam
dunia oleh Kristus yang bangkit dengan kuasa untuk mengampuni dosa. Tiga istilah dalam
“Amanat Agung” menyimpulkan hakikat misi untuk Matius: menjadikan murid, membaptiskan,
mengajarkan. Sementara Markus menggunakan kata “memberitakan” (kerusso) dan “mengajar”
(didasko) sebagai sinonim, Matius secara konsisten membedakan kedua aktivitas
13
Christopher J. H. Wright, Misi Umat Allah:Sebuah Teologi Biblika Tentang Misi Gereja (Jakarta,
Literatur Perkantas, 2011), 26-27.
14
D. A. Carson, “Matthew” dalam Expositor’s Bible Commentary on the New Testament (Frank E.
Gaebelein. Zondervan Reference Software).
15
Robert H. Gundry, Matthew: A Commentary on His Handbook for a Mixed Church under Persecution
(Grand Rapids:Eedrmans Publishing Company, 1994), 596.
16
Johannes Verkuyl, “Dasar Alkitabiah untuk Mandat Penginjilan Seantero Dunia” dalam Misi Menurut
Perspektif Alkitab (Jakarta:Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2007), 75
tersebut.Kosakata yang sangat mendesak dari “Amanat Agung” jelas, sekurangnya sebagian,
dihubungkan dengan perbedaan-perbedaan si penulis Injil dengan kaum entusias di
komunitasnya.
Israel, Kehendak Allah terkandung dalam Torah atau bagi paguyuban Qumran, di dalam
buku petunjuk mereka. Bagi Yesus dan murid-murid-Nya tidak demikian. Ungkapan ini
khususnya sangat menentukan bagi pemahaman kita mengenai Khotbah di Bukit yang pusatnya
ditempatkan Doa Bapa Kami oleh Matius. Kasih kepada sesama dapat di anggap sebagai tolok
ukur untuk kasih kepada Allah. Hal yang sama pun berlaku bagi perbuatan. Perbuatan pun
merupakan ujian bagi otentisitas dari kata “percaya” “mengikut Yesus” “mengerti”, semuanya
mengandung unsur komitmen aktif yang mengalir ke dalam perbuatan. Para murid sejati Yesus
di tantang untuk menghasilkan buah. Yohanes sudah berkotbah, “Hasilkanlah buah yang sesuai
dengan pertobatan” (3:8) Matius telah menemukan hal ini di dalam logia,tetapi kemudian juga
menggunakannya, dalam suatu bentuk atau lainnya, di tempat lain di dalam Injilnya

KHOTBAH DI BUKIT
Dalam bagian sebelumnya telah disinggung beberapa acuan pada apa vang disebut
Khotbah di Bukit (Mat. 5-7). Beberapa komentar tambahan tentang kumpulan literatur yang luar
biasa mungkin akan menolong kita untuk menangkap dimensi misioner dari Injil Matius khu-
susnya karena, selama berabad-abad, telah mempesona orang Kristen maupun mereka yang
berkepercayaan lain. Di mata banyak orang bagian ini adalah bagaikan pesan terakhir Yesus.
Injil Matius mengandung lima khotbah atau percakapan besar(yang, menurut sejumlah
ahli, membentuk "pentateukh" Matius). Kelimanya adalah khotbah tentang (1) kemuridan (psl. 5-
7); (2) misi pa- ra rasul (psl. 10); (3) bagaimana pemerintahan Allah datang (psl. 13): (4) disiplin
gereja (psl. 18); dan (5) para guru palsu serta akhir zaman (psl. 23-25). Ungkapan "ajarlah
mereka untuk melakukan segala sesuatu" (Mat. 28:19) mengacu ke belakang terutama pada yang
pertama dari percakapan-percakapan ini yaitu Khotbah di Bukit. Sesungguhnya, khotbah ini,
berbeda dengan nats-nats Perjanjian Baru lainnya, mengungkapkan intisari etika Yesus. Namun,
selama berabad- abad, orang Kristen biasanya telah menemukan cara untuk menghindari makna
yang jelas dari Khotbah di Bukit. Strecker (1983:169) 6) mendaftarkan tidak kurang dari
delapan. Saya hanya menyebut- menyebutkan tiga kekeliruan penafsiran, sementara Lapide
(1985:4- kan sebagian saja:
a. Sejak Gereja Mula-mula, dan kemudian khususnya Thomas Aquinas, dipercayai bahwa tidak
semua orang Kristen perlu menaati perintah-perintah dalam Matius 5-7; mereka dimaksudkan
hanya untuk kalangan khusus orang Kristen, khususnya para pendeta.
b. Ortodoksi Lutheran dari abad ke-17 berpendapat tidak mungkin menaati semua tuntutan Yesus
dalam pasal-pasal ini, tetapi, secara tegas, bukan itu tujuan pasal-pasal tersebut. Justru tuntutan-
tuntutan yang supermanusiawi yang sangat tidak mungkin ini seha- rusnya mengungkapkan
kekurangan dan keberdosaan kita dan membuat kita menaruh seluruh percaya kita hanya pada
Kristus daripada pada kemampuan kita sendiri untuk melakukan kehendak Allah
c. Pada abad ke-19, dengan tekanannya pada individualisme, dipercaya bahwa yang penting
bukanlah ketaatankonkrettuntutan-tuntutan ini, melainkan lebih pada kecenderungan hati yang
benar. Sikap pribadi lebih penting daripada perbuatan-perbuat an itu sendiri.
d. Penjelasan lainnya lagi adalah menuliskan perintah-perintah dari Khotbah di Bukit ini sebagai
perwujudan dari "etika sementara" Prestasi-prestasi luar biasa seperti yang dituntut di sini,
demikian pendapat tersebut, hanya masuk akal dalam konteks suatu penantian terhadap parousia
yang akan segera datang. Hanya dalam periode se mentara yang sangat singkat itu orang dapat
menaati tuntutan-tuntutan yang demikian tinggi.
Namun, saat ini kebanyakan ahli sepakat bahwa penafsiran-penafsiran ini dan yang
serupa tidaklah memadai, dan tidak ada cara untuk menghindari kenyataan bahwa, di dalam
pandangan Matius, Yesus sungguh-sungguh menuntut para pengikutnya untuk selalu dan dalam
keadaan apa pun hidup sesuai dengan norma-norma ini (bnd. Strecker 1983:169 ; Lapide 1986:6
dyb.). Namun, bila kita meng. akui hal ini, kita pun harus mengakui bahwa, selama berabad-
abad, sangat sedikit pengikut Yesus yang benar-benar hidup sesuai dengan tuntutan-tuntutan ini.
Ada kesenjangan antara apa yang Yesus ajar- kan dengan apa yang sungguh-sungguh terjadi
pada pengajaran-Nya. Hal ini khususnya berlaku bagi perintah-Nya untuk mengasihi mu- suh-
musuh kita yang, lebih daripada perintah-perintah lainnya, men- cerminkan hakikat yang sejati
dari pelayanan Yesus yang menerobos segala batas (Lapide 1986:96-104). Ajaran ini merupakan
puncak etika Yesus tentang pemerintahan Allah. Namun, pada titik ini "sang nabi eskatologis
dari Nazaret ini merupakan batu penghalang bagi orang-orang Yahudi pada zamannya maupun
gereja dari segala zaman"; malah pada kenyataannya, sejarah gereja mungkin dapat ditulis
"sebagai sejarah dari mereka yang telah menutup diri dari perintah ini" (Strecker 1983:167 – terj.
saya).
Namun, kegagalan orang Kristen untuk hidup sesuai dengan standar Khotbah di Bukit,
tidak membebaskan mereka dari tantangan untuk melakukannya. Khususnya dalam dunia kita di
masa kini yang penuh dengan kekerasan dan kontrakekerasan, penindasan dari kiri dan kanan,
dengan yang kaya semakin kaya dan yang miskin se makin miskin, gereja dalam misi wajib
menyertakan "keadilan yang superior" dari Khotbah di Bukit ini (bnd. Mat. 5:20) dalam agenda
sinyal. Misinya tidak dapat memusatkan perhatian semata-mata pa aspek-aspek pribadi, rohani,
spiritual dan "vertikal" dari hidup manusia. Pendekatan semacam itu menunjukkan suatu
dikotomi yang ma sekali asing bagi tradisi Yesus seperti yang ditafsirkan Matius. Dalam bab
sebelumnya saya telah mengajukan pendapat Dana Yesus tidak mempunyai maksud untuk
mendirikan sebuah kerajaan damai, rekonsiliatif, adil, menolak pembalasan dendam (saya akan
kembali pada aspek ini dengan lebih terinci dalam bab berikutnya),sangat jelas bersifat politis
karena khotbah ini menantang hampir setiap struktur masyarakat yang tradisional. Namun,
politiknya bersifat politik di Israel. Namun, ini tidak berarti bahwa pelayanan-Nya tidak bersifat
politis. Sama sekali tidak. Khotbah di Bukit, khususnya, khasusnya berlaku karena tidak ada
ketegangan antara apa yang la katakan dan apa yang la lakukan. dan, terutama sekali, mengasihi
musuh. Kembali mengutip Lapide, "Yesus) adalah pemberontak kasih tiga kali lipat, jauh lebih
radikal daripada kaum revolusioner di zaman kita" (1986:103).
Oleh karena itu, Frankemölle dengan tepat menganggap ungkapan ta erga tou Khristou
(pekerjaan atau perbuatan Kristus) dalam Matius 11:2 sebagai suatu "titik persetujuan dalam Injil
Matius" di berbagai alur praktek misioner Yesus mengalir bersama-sama. Ung- kapan ta erga tou
Khristou merupakan semacam Oberbegriff (istilah umum) yang menerangi berbagai aspek misi
Yesus (Frankemölle 1982: 98, 128). "Pekerjaan" puncak-Nya dalam kasih yang tidak
mementing- kan diri sudah tentu adalah kematian-Nya pada kayu salib. Tanpa itu, pengajaran di
Bukit akan tetap merupakan khotbah yang indah tetapi kosong. "Khotbah ini mendapatkan
kekuatannya yang sung- guh-sungguh mengikat hanya melalui kehidupan penuh keteladanan,
penderitaan, dan kematian dari orang Nazaret ini yang memeterai- kan kesahihannya dengan
darah-Nya sendiri" (Lapide 1986:141).

PEMERINTAHAN ALLAH DAN KEADILAN-KEBENARAN


Kita tidak bisa lagi menghindari dua ungkapan Matius lainnya yang selama ini telah
seolah-olah membayang-bayangi kita dari belakang dan telah mendesakkan diri kepada kita
sebagai pemahaman-pema- haman misioner vang menonjolSaya mengacu pada istilah basileig
(pemerintahan [Allah] ) dan dikaiosune (keadilan atau kebenaran)
Konsep basileia telah ditelaah dalam bab berikutnya dan akan a: acu di sini hanya sebatas
ia terkait dengan dikaiosune dan sebatasmempunyai warna khas Matius. Dibandingkan dengan
18kali kemunculannya di dalam Markus, Matius menggunakan istilahbasileia sebanyak 52 kali,
bahwa iakebanyakan dengan tambahan "sorga". Tema ini dominan di dalam pemberitaan Yesus
menurut Matius, dalam perumpamaan-perumpamaan-Nya (bnd. khususnya percakapan per
umpamaan dalam pasal 13), penyembuhan-Nya dan pengusiran roh. roh jahat (bnd. 12:28). Dua
kali, dalam ringkasannya tentang pelayanan Yesus, Matius menggunakan ungkapan
"memberitakan Injil Kerajaan" (4:23; 9:35). "Kabar baik" atau "Injil" di sini mengacu pada
seluruh peristiwa kedatangan Yesus. Basileia yang kemudian meng. ikutinya (dalam konstruksi
genetif "Injil dari basileia") tampaknya mengacu kepada Yesus sendiri. "Dari perspektif Matius,
bertemu dengan kerajaan berarti bertemu dengan Yesus Kristus" (Senior dan Stuhlmueller
1983:237 dyb.). Dalam diri Yesus, pemerintahan Allah telah datang kepada umat manusia.
Ungkapan yang unik "Injil basi- leia", menggarisbawahi sifat universal dan misioner yang
terkandung di dalam pelayanan kerajaan Yesus. Cakrawala universal dari meta- fora kerajaan ini
tersirat di dalam Markus, tetapi semakin muncul ke permukaan dalam teologi misi Matius"
(:238).
Terkait dengan pemerintahan Allah dalam cara yang misterius adalah konsep dikaoisune
yang barangkali merupakan konsep yang paling khas Matius dari semuanya. Sebuah analisis
yang cermat menunjukkan bahwa tidak mungkin Matius menemukan istilah ini da- lam sumber-
sumbernya; konsep inidiperkenalkannya sendiri pada setiap bagian, biasanya dalam cara
sedemikian rupa sehingga dengan jelas mengontraskan apa yang telah dijumpainya di dalam
sumber- sumbernya (bnd. Strecker 1962:149-158).
Namun, penerjemahan dikaoisune menimbulkan masalah, paling tidak dalam bahasa
Inggris. Kata ini dapat mengacu pada pembenaran (tindakan belas kasihan Allah dalam
menyatakan bahwa kita be- nar hingga dengan demikian mengubah status kita dan menyatakan
bahwa kita dapat diterima oleh-Nya) atau pada kebenaran (suatu konsep yang sangat religius
atau rohani: suatu ciri Allah atau sifat rohani yang kita terima dari Allah), atau pada keadilan
(perilaku manusia yang benar dalam hubungan dengan sesama mereka, mengusa hakan bagi
mereka apa yang menjadi hak mereka). Kebanyakan terjemahan Perjanjian Baru dalam bahasa
Inggris mengungkapkan biae pada makna yang kedua. Kata "keadilan" sering kali tidak muncul
sa ma sekali dalam sebuah Perjanjian Baru bahasa Inggris konsekuensi-konsekuensi yang
penting. Kita dapat menemukan ha ini bila kita menerjemahkan dikaoisune dalam ucapan-ucapan
Yesus secara berganti-ganti dengan "kebenaran" dan "keadilan", Jadi, ucap an bahagia yang
keempat (Mat. 5:6) dapat mengacu pada merek yang haus dan lapar terhadap kebenaran (rohani)
dan kesucian, atau perumpamaan-perumpamaan-Nya (bnd. khususnya percakapan per
umpamaan dalam pasal 13), penyembuhan-Nya dan pengusiran roh. roh jahat (bnd. 12:28). Dua
kali, dalam ringkasannya tentang pela. yanan Yesus, Matius menggunakan ungkapan
"memberitakan Inil Kerajaan" (4:23; 9:35). "Kabar baik" atau "Injil" di sini mengacu pada
seluruh peristiwa kedatangan Yesus. Basileia yang kemudian meng. ikutinya (dalam konstruksi
genetif "Injil dari basileia") tampaknya mengacu kepada Yesus sendiri. "Dari perspektif Matius,
bertemu dengan kerajaan berarti bertemu dengan Yesus Kristus" (Senior dan Stuhlmueller
1983:237 dyb.). Dalam diri Yesus, pemerintahan Allah telah datang kepada umat manusia.
Ungkapan yang unik "Injil basi- leia", menggarisbawahi sifat universal dan misioner yang
terkandung di dalam pelayanan kerajaan Yesus. Cakrawala universal dari meta- fora kerajaan ini
tersirat di dalam Markus, tetapi semakin muncul ke permukaan dalam teologi misi Matius"
(:238). Terkait dengan pemerintahan Allah dalam cara yang misterius adalah konsep dikaoisune
yang barangkali merupakan konsep yang paling khas Matius dari semuanya. Sebuah analisis
yang cermat me- nunjukkan bahwa tidak mungkin Matius menemukan istilah ini da- lam
sumber-sumbernya; konsep ini diperkenalkannya sendiri pada setiap bagian, biasanya dalam cara
sedemikian rupa sehingga dengan jelas mengontraskan apa yang telah dijumpainya di dalam
sumber- sumbernya (bnd. Strecker 1962:149-158). Namun, penerjemahan dikaoisune
menimbulkan masalah, paling tidak dalam bahasa Inggris. Kata ini dapat mengacu pada
pembenar- an (tindakan belas kasihan Allah dalam menyatakan bahwa kita be- nar hingga
dengan demikian mengubah status kita dan menyatakan bahwa kita dapat diterima oleh-Nya)
atau pada kebenaran (suatu konsep yang sangat religius atau rohani: suatu ciri A llah atau sifat
rohani yang kita terima dari Allah), atau pada keadilan (perilaku ma- nusia yang benar dalam
hubungan dengan sesama mereka, mengusa hakan bagi mereka apa yang menjadi hak mereka).
Kebanyakan ter jemahan Perjanjian Baru dalam bahasa Inggris mengungkapkan biae pada
makna yang kedua. Kata "keadilan" sering kali tidak muncul sa ma sekali dalam sebuah
Perjanjian Baru bahasa Inggris konsekuensi-konsekuensi yang penting. Kita dapat menemukan
ha ini bila kita menerjemahkan dikaoisune dalam ucapan-ucapan Yesus secara berganti-ganti
dengan "kebenaran" dan "keadilan", Jadi, ucap an bahagia yang keempat (Mat. 5:6) dapat
mengacu pada merek yang haus dan lapar terhadap kebenaran (rohani) dan kesucian, atae –
dengan narkan kita. membuat kita benar dan kudus di hadapan-Nya. Sekak kita dibentuk dalam
keadilan Allah, maka "Allah memakai kita untul menumbuhkan kebenaran dan puji-pujian di
depan semua bangsa. bangsa (Yes. 61:11)". Dan inilah dimensi normatif-nya: Allah mem.
bangkitkan umat yang akan menjadi pelayan bagi bangsa-bangsa lain atas keadilan yang telah
mereka alami dari Allah (Crosby 1981:118 dyb; kutipan pada hlm. 118). Jadi, keadilan Allah,
adalah tindakan Nya yang menyelamatkan atas nama umat-Nya. Keadilan manusia adalah usaha
yang kita lakukan untuk menjawab kebaikan Allah dengan melaksanakan kehendak-Nya (:139).
Bila Yesus menurut Matius memanggil murid-murid-Nya untuk mempraktikkan dikaoisune,
maka terutama dimensi yang kedua ini- lah yang ada di dalam benak-Nya, tetapi dalam cara yang
demikian rupa sehingga dimensi yang pertama tetap konstitutif (bnd. Giessen 1982:259- 263).
Menekankan hanya aspek etis sangatlah tidak sesuai dengan polemik keras Matius melawan
legalisme (bnd. Frankemölle 1984:281, 287). Dikaoisune adalah iman di dalam perbuatan,
praktik devasi atau, sebagaimana yang dikesankan dalam Matius 6:1, sebuah perilaku yang benar
"di hadapan Bapamu" (:283); melakukan kehen- dak Allah. Seperti Dasatitah dan ringkasannya
(Mat. 22:37-40), dikaoisune berkaitan dengan Allah dan sesama (:281 dyb.). Konsep ini terwujud
di dalam iman yang aktif pada keterlibatan Allah di dalam sejarah. Hal ini, pertama-tama, adalah
karunia dan baru kemudian merupakan kewajiban. Dalam hal ini konsep ini mirip dengan mak-
sud mula-mula Dasatitah: Israel memahami dan merayakan pembe- ritaan kesepuluh firman
sebagai peristiwa penyelamatan yang utama karena "Yahweh membuktikan kesetiaan perjanjian-
Nya kepada Israel" dalam pengalaman ini (G. von Rad, dikutip oleh Frankemölle 1974:292 - terj.
saya)." Imbauan-imbauan Matius pada keadilan yang "melampaui ke adilan orang-orang Farisi
dan untuk "menjadi sempurna" harus dili hat dalam terang yang sama (bnd. Giessen 1982: 122-
146) , Sama seka li tidak masuk akal bila kita melihat perintah-perintah ini dalam kon- teks
keunggulan moral atau prestasi-prestasi yang lebih tinggi. Kalau memang begitu cara Matius
menafsirkannya, bagaimana mungkin orang menggunakan ungkapan seperti "haruslah kamu
sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna" (5:48)? "Sem- purna" tak
pernah merupakan ciri Allah dalam Septuaginta, namun demikian Matius meletakkan ungkapan
ini - yang tidak ada paralel- nya juga dalam teks-teks Qumran dan Yudaisme pada zamannya
(bnd. Frankemölle 1974:282, 288) – ke dalam mulut Yesus. Namun, ia tidak berpikir tentang
penggenapan Torah yang lebih tinggi secara kuantitatif, tetapi tentang suatu transformasi
kualitatif dan transen- densi atas Torah. "Kesempurnaan, bagi Matius, adalah suatu konsep yang
sepenuhnya teosentrik yang meninggalkan pemahaman tradi- sional mana pun tentang Torah"
(Frankemölle 1974: 293 – terj. saya, bnd 283, 292). Dikaoisune pemerintahan Allah secara
khusus diung- kapkan dalam serangkaian pernyataan yang digunakan Yesus untuk
mengontraskan perintah-perintah-Nya dengan apa yang telah dide- ngar oleh para pendengar-
Nya disampaikan kepada mereka yang hi- dup di masa lampau (Mat. 5:21- 45). Tak satu pun dari
perintah-pe- rintah ini yang semata-mata dapat dilihat sebagai upaya untuk mem- perketat Torah;
semuanya itu mengacu pada ketaatan yang lain, sua- tu perintah yang lain, karena mereka
dilahirkan oleh terobosan pe- merintahan Allah dalam kehidupan Yesus. Melakukan tindakan-
tin- dakan kurban yang paling tinggi saja tidaklah cukup dan tidak akan memadai. Orang muda
yang kaya itu tidak hanya disuruh memberi semua hartanya kepada orang miskin, tetapi juga
mengikut Yesus. Perintah yang terakhir inilah yang benar-benar menentukan; "ke- sempurnaan"
itu terwujud dalam kemuridan (bnd. Barth 1965:90, 93).

PARADIGMA MATIUS: KEMURIDAN MISIONER


● Matius menjelaskan identitas paguyuban sebagai identitas dalam misi dengan menulis sebuah
injil yang sejak awal sampai akhir, diwarnai oleh pemahaman tentang misi kepada orang Yahudi
dan bukan Yahudi dan dengan merancangnya dalam cara sedemikian rupa sehingga injil itu akan
memuncak pada "Amanat Agung". Praktis setiap kata dari pengutusan ini menoleh ke belakang,
pada kisah tentang Yesus seperti yang dikisahkan dalam bagian - bagian sebelumnya dari Injil
itu. Faktanya ialah bahwa pertemuan itu terjadi di sebuah gunung di Galilea; para murid
terombang-ambing antara penyembahan dan keragu-rauan ; acuan-acuan pada kuasa Yesus,
sampai pada perintah untuk menjadikan murid dan mengajar serta ungkapan-ungkapan seperti
"pergilah", "karena itu", "menjalankan", "perintah", "Aku menyertai kamu", dan "akhir zaman.
Juga tampak bahwa Matius telah menyusun "Amanat Agung" dalam cara sedemikian rupa
sehingga amanat tersebut menjadi tandingan bagi kisah pencobaan.
● Matius tampaknya berpegang pada satu kristologi "rendah" dalam pengertian bahwa ia
melukiskan Yesus dalam hal-hal yang mengingatkan kita pada Musa. Kristologinya yang rendah
ini memampukan dia untuk melukiskan para murid dalam cara sedemikian rupa sehingga
mereka, pada satu pihak sangat mirip dan dekat kepada Yesus, hampir seperti murid-murid yang
mengikuti seorang rabi; namun pada pihak lain, ia menekankan, lebih dari pada Injil-injil
Sinoptik lainnya, sikap para murid yang penuh hormat dan ketergantungan.
Penekanan pertama memampukan dia untuk menyajikan Yesus yang bangkit bukan sebagai Dia
yang telah naik ke sorga dan duduk di sebelah kanan Allah, dan yang akan kembali lagi pada
suatu hari kelak (band. Kis.1:1), melainkan sebagai Dia yang tetap menyertai murid-murid-Nya
selamanya, sampai akhir zaman.
Matius mengarahkan pandangannya pada situasi masanya, bukan pada "akhir zaman".
Penekanan yang kedua memampukan Matius menyoroti kenyataan bahwa Yesus bukanlah
sekadar seorang pemimpin seperti halnya Musa, melainkan Tuhan bagi para murid-Nya (karena
demikianlah mereka biasanya menyapa dia) dan Dia yang kepada-Nya telah diberikan seluruh
kuasa di sorga dan di bumi. Bagi Matius, kemuridan misioner menyingkapkan dirinya dalam
ketegangan yang kreatif antara kedua penekanan ini dan mempunyai konsekuensi-konsekuensi
yang luas bagi pemahamannya tentang misi.
● Bagi Matius, menjadi murid berarti melaksanakan ajaran-ajaran Yesus, yang telah dicatat oleh
si penulis Injil secara terinci di dalam Injilnya. Kemuridan melibatkan suatu komitmen pada
pemerintahan Allah, pada keadilan dan kasih, dan pada ketaatan pada keseluruhan kehendak
Allah. Misi tidak dipersempit pada kegiatan yang membuat seseorang suatu ciptaan yang baru,
dengan memberikan mereka "janji yang pasti" sehingga, apa pun yang terjadi, mereka akan
"diselamatkan untuk selama-lamanya". Menjadi seorang murid berarti suatu titik balik yang
menentukan dan pasti kepada Allah dan sesama. Yang muncul dari sini adalah suatu perjalanan
yang pada kenyataannya tidak pernah berakhir di dalam hidup ini, suatu perjalanan yang terus
menerus menemukan dimensi-dimensi baru dari kasih kepada Allah dan sesama sementara
"pemerintahan Allah dan keadilan-Nya" terus menerus tersingkap dalam kehidupan sang murid.
● Kecenderungan Matius untuk memilih ketegangan kreatif, untuk menggabungkan yang
pastoral dan yang kenabian juga dibuktikan oleh cara penggabarannya tentang panggilan misi
kepada orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi.
● Matius juga adalah satu-satunya penulis injil yang menempatkan kata ekklesia, 'gereja', ke
dalam ucapan Yesus yang di dunia (Mat. 16:8, 18:17).
Saya telah menunjukkan bahwa Matius tidak tertarik pada istilah misioner itu sendiri; ia
berangkat untuk melukiskan praktik misioner Yesus dan para murid, dan implikasinya, praktik
paguyuban pada zamannya sendiri dan pada masa-masa di kemudian hari. Istilah-istilah yang
digunakan dalam hubungan ini mencakup kata-kata berikut: "mengutus", "pergi",
"memberitakan", "menyembuhkan", "mengusir roh-roh", "mendamaikan", "bersaksi",
"mengajar" dan "menjadikan murid".
KESIMPULAN
Injil Matius 28:18-20 menjadi dasar bagi umat Kristen dalam melaksanakan misi bagi orang
lain karena pada ayat tersebut tersirat perintah untuk melanjutkan pelayanan Yesus Kristus
memberitakan Injil.19 Dalam Matius 28:18-20 dikatakan: Yesus mendekati mereka dan berkata:
“Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikanlah
semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan
ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah,
Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”
Ayat ini memuat tiga perintah yang harus dilakukan oleh para murid Yesus untuk
melaksanakan pelayanan misi, yaitu, pertama: menjadikan semua bangsa murid Yesus, kedua:
membaptis orang-orang yang menerima Yesus Kristus dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus,
dan yang ketiga: mengajarkan mereka segala sesuatu yang telah diajarkan Yesus Kristus. Yesus
telah melaksanakan misi Allah, maka murid-murid pun harus melakukan dan melanjutkan misi
tersebut. Sebelum Yesus naik ke sorga, Ia telah berkali-kali melakukan pengutusan bagi murid-
murid-Nya sebagai cara untuk melatih para murid melaksanakan misi Allah agar mereka tahu
dan paham tentang tujuan Yesus datang kedalam dunia ini.
Pengutusan murid-murid kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel untuk
memberitakan Kerajaan Sorga sudah dekat dan dalam pengutusan tersebut ada kuasa dan tugas
yang diberikan, yaitu menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, mentahirkan
orang kusta dan mengusir setan-setan, sebab mereka telah menerima dengan cuma-cuma, maka
para murid juga harus memberikan dengan cuma-cuma (Mat. 10:5-15). Ayat ini menjelaskan
Yesus mengutus dua belas murid atau rasul untuk memberitakan Kerajaan Sorga.
Penulis Injil sendiri mengindikasikan betapa pentingnya Amanat Agung. Terbukti semua
penulis Injil mencantumkan Amanat Agung dalam tulisannya, bahkan Lukas juga menuliskannya
dalam Kisah Para Rasul. Amanat Agung bukan sekedar agung tetapi amanat yang paling agung
di dalam sejarah.17 Dikatakan agung bila disadari betul siapa Pribadi pemberi amanat ini.
Dikatakan agung juga mengingat betapa besarnya amanat ini. 18 Data-data ini menunjukkan
betapa pentingnya Amanat Agung bagi orang percaya. Amanat Agung sendiri bukan sebuah
amanat yang situasional, dalam pengertian diberikan karena kematian Yesus. Pada
kenyataannya, Amanat Agung adalah penggenapan nubuatan Yesus yang dicatat pada Matius

17
Stephen Tong, Teologi Penginjilan (Surabaya: Momentum, 2004), 62.
18
Jim Petersen dan Mike Shamy, Menjadi Garam dan Terang Bagi Kalangan Terdekat (Bandung: Pionir Jaya, 2007),
9.
26:32 sebelum kematian-Nya. Nubuatan itu digenapi dengan pertemuan Yesus dan para
muridnya di Galilea. Peters menyatakan bahwa Amanat Agung adalah sebagai berikut:19
1. Merupakan suatu penyajian terakhir yang logis dan merupakan ekspresi alami dari
karakter Allah, seperti diwahyukan dalam Alkitab. 2. Ekspresi dari maksud serta tujuan misioner
Allah, ekspresi dari kehidupan, teologi, dan karya keselamatan Kristus. 3. Ekspresi dari sifat dan
pekerjaan Roh Kudus dan ekspresi dari hakikat dan rencana dari gereja Yesus Kristus. 4.
Membentuk kesatuan organik serta merupakan bagian tak terpisahkan dari pernyataan di atas.
Amanat Agung Tuhan Yesus dicatat dalam empat Injil dan Kisah Para Rasul yaitu Matius 28:16
– 20, Markus 16:15 – 18, Lukas 24:44 – 49, Yohanes 20:19 – 23; 21:15 – 29, dan Kisah Para
Rasul 1:6 – 8.
Kelima bagian ini ditulis oleh empat orang penulis dalam visi dan segi yang berbeda untuk
saling melengkapi.20 Hesselgrave menyatakan bahwa Markus 16:15 – 18 lebih menekankan
khotbah dan proklamasi dan Lukas 24: 46-49 lebih menekankan proklamasi dan kesaksian.8
Sedangkan Peters menyebutkan bahwa: Matius menekankan otoritas, tujuan yang lengkap dan
lingkup waktu yang diperluas dari karya tersebut. Markus menekankan keadaan yang mendesak,
metode dan lingkup geografis karya tersebut. Lukas menekankan amanat keuniversalan karya
tersebut dan Yohanes menekankan sifat dan peralatan rohani dari karya tersebut.9 Keempat
penulis Injil menampilkan Tuhan Yesus dengan caranya sendiri yang khas. Kebesaran Tuhan
Yesus tidak dapat ditangkap hanya dengan satu gambaran saja. Oleh karenanya Alkitab
menyajikan empat gambaran yang masing-masing mengungkapkan segi yang berbeda mengenai
karakter Tuhan Yesus.
Injil Matius mengandung lima khotbah atau percakapan besar(yang, menurut sejumlah ahli,
membentuk "pentateukh" Matius). Kelimanya adalah khotbah tentang (1) kemuridan (psl. 5-7);
(2) misi pa- ra rasul (psl. 10); (3) bagaimana pemerintahan Allah datang (psl. 13): (4) disiplin
gereja (psl. 18); dan (5) para guru palsu serta akhir zaman (psl. 23-25). Ungkapan "ajarlah
mereka untuk melakukan segala sesuatu" (Mat. 28:19) mengacu ke belakang terutama pada yang
pertama dari percakapan-percakapan ini yaitu Khotbah di Bukit. Sesungguhnya, khotbah ini,
berbeda dengan nats-nats Perjanjian Baru lainnya, mengungkapkan intisari etika Yesus. Namun,
selama berabad- abad, orang Kristen biasanya telah menemukan cara untuk menghindari makna
yang jelas dari Khotbah di Bukit. Strecker (1983:169) 6) mendaftarkan tidak kurang dari
delapan. Saya hanya menyebut- menyebutkan tiga kekeliruan penafsiran, sementara Lapide
(1985:4- kan sebagian saja:

19
George W. Peters, A Biblical Theology of Missions (Malang: Gandum Mas, 2006), 211 – 212.
20
Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini 1 (Malang: Gandum Mas, 2004), 25 – 26.
REFLEKSI TEOLOGIS
Misi menurut Paradigma Matius, terkhusunya membahas mengenai “Amanat Agung” yang
terdapat dalam Matius 28 ini adalah suatu perintah misi yang harus dilakukan oleh murid-murid
Yesus. Amanat agung merupakan bagian penting dalam kehidupan kekristenan atau gereja.
Gereja yang melaksanakan amanat agung merupakan gereja yang dinamis, terus bertumbuh dan
berkembang. Selain itu, amanat agung merupakan hakikat dari tugas dan panggilan gereja dalam
dunia yang tidak boleh diabaikan.1 Ini merupakan tugas yang tidak dapat ditolak oleh semua
orang Kristen, karena sesuai dengan sifatnya, yakni sebuah amanat yang datangnya dari Yesus.
Amanat agung, menjadi begitu “agung” bukan semata-mata karena Yesus yang
mengucapkannya, atau hanya karena ini merupakan pesan perpisahan atau pesan terakhir
Kristus.Amanat agung, menjadi begitu “agung” karena berita tentang pengorbanan Yesus untuk
menebus dosa dunia adalah berita yang “sangat penting” dan merupakan “inti dari segala
pembicaraan.” Amanat seperti inilah yang diminta oleh Yesus untuk kita kerjakan dengan
berkata, “Kamu adalah saksi dari semuanya ini.”
Perhatikan ketiga intinya: ”jadikanlah semua bangsa murid-Ku”, ”baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” dan ”ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu”.
Inti pertama adalah tentang hakikat murid. ”Menjadi murid” dan ”menjadikan murid”
merupakan konsep sentral dalam Injil Matius (Yun.: Matheteuein, hanya dipakai empat kali di
Perjanjian Baru, tiga diantaranya oleh Matius). Kata kerja yang biasanya dihubungkan oleh
Matius dengan murid adalah mengikut dan melakukan. Menjadi murid adalah mengikut guru dan
melakukan kehendaknya. Menjadi murid berarti hidup sesuai dengan ajaran guru dan
membuahkannya dalam bentuk perilaku sehari-hari. Menjadi  murid bukanlah sebuah status,
melainkan sebuah gaya hidup dengan sebuah misi (”supaya mereka melihat perbuatanmu”, 5:16)
dan dengan sebuah tujuan (”supaya mereka ... memuliakan Bapamu”, 5:16). Disini tampak
kaitan antara menjadi murid dan menjadikan murid. Gaya hidup sebagai murid akan membuat
orang lain menjadi murid Tuhan.
Inti kedua adalah tentang identitas: ”baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh
Kudus”. Matius mengakui keyahudian mereka. Namun mereka sekarang sudah mengikuti gaya
hidup Yesus. Sebab itu sekarang mereka berbeda. Baptisan mereka bukan lagi baptisan Yahudi
melaikan baptisan ” dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”. Mereka bukan lagi sebuah
bangsa yang terpisah, melainkan sebuah bagian dari ”semua bangsa”.
Inti ketiga adalah tentang belajar dan mengajar: ”ajarlah mereka melakukan segala sesuatu
yang telah Kuperintahkan kepadamu”. Untuk bisa mengajar orang perlu belajar terlebih dulu. Di
dalam mengajar kita belajar. Belajar apa dan mengajar apa? Belajar dan mengajar untuk
”melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu”. Simak kata melakukan.
Kembali di sini tampak sebuah konsep yang sentral bagi Matius, yaitu melakukan, yang terkait
erat dengan kehendak Allah. Simak penekanan yang khas Matius, misalnya 6:10; 7:21, 24 dan
21:31. Kita belajar bukan untuk sekedar mengetahui, melainkan untuk melakukan. Belajar bukan
hanya menyangkut ranah pikiran, melainkan juga ranah perasaan dan ranah kesediaan untuk
melakukan.
Itulah inti Amanat Agung. Apakah amanat itu masih berlaku sampai sekarang? Tentu saja.
Kita dipanggil untuk berkiprah sebagai murid Yesus sedemikian rupa  sehingga hidup kita itu
menjadikan orang lain juga murid-Nya. Amanat Agung bukanlah perintah tentang kuantitas,
melainkan kualitas kemuridan. Implikasi Amanat Agung bukanlah pada pertambahan melainkan
pada pertumbuhan warga. Amanat Agung bukan menyuruh kita ”menaklukkan jiwa”,
”mengkristenkan orang” atau ”menambah gereja”, melainkan menyuruh kita bersaksi, yaitu
memuridkan diri sedemikian rupa sehingga kemuridan kita itu juga memuridkan orang lain.21

21
Disadur dari Buku "Selamat Berkiprah" karangan Andar Ismail
DAFTAR PUSTAKA

David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen, Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah.
Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2012.
Arie De Kuiper, Missiologia: Ilmu Pekabaran Injil, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006)
Edmund Woga CSsR, Dasar-dasar Misiologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002)

Anda mungkin juga menyukai