Dosen:
Pdt. Stevi Christian Wowor, M.Th
Disusun Oleh:
CRISTIN RAWUNG
SYALOMITA PONTOH
SUMARYO MUNDIAHI
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus, Tokoh sentral kehidupan orang
percaya, yang atas berkat dan rahmat-Nya, kami kelompok 3 Paradigma Misi Teologi dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Penyusunan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen Pdt. Stevi
Christian Wowor, M.Th, dalam mata kuliah Paradigma Teologi Misi. Penulisan makalah ini
disusun dengan memperhatikan referensi yang relevan dengan tugas yang diberikan.
Ucapan terima kasih kepada dosen pengampu, Pdt. Stevi Christian Wowor yang boleh
mengarahkan bahkanpun membimbing kami dalam mata kuliah ini. Wawasan pengetahuan
semakin bertambah selama proses perkuliahan. Lewat motivasi dan arahan beliau kami dapat
menyusun makalah ini. Juga mengucapkan banyak terima kasih kepada saudara-saudara yang
membantu untuk kelengkapan literature dalam pembahasan materi kami. Tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada semua anggota kelompok 3 yang boleh berkontribusi dalam
penyusunan makalah ini.
Kami kelompok mengharapkan dukungan, baik berupa kritik dan saran dari pembaca
untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan membawa
berkat bagi kita semua.
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………..
BAB I……………………………………………………………………………………………….
PENDAHULUAN…………………………………………………………………………………
BAB II……………………………………………………………………………………………...
PEMBAHASAN…………………………………………………………………………………...
A. PENGERTIAN MISIOLOGI…………………………………………………………….
B. MISI DALAM PARADIGMA MATIUS………………………………………………...
BAB III……………………………………………………………………………………………..
A. REFLEKSI TEOLOGIS………………………………………………………………….
B. KESIMPULAN……………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………...
BAB I
PENDAHULUAN
Misi merupakan suatu tugas yang gereja tanggapi sebagai amanat atau perintah langsung
dari Tuhan Yesus dalam rangka peranannya di dunia ini. Misi adalah inisiatif dari Allah. Ia
mengutus umatNya untuk memproklamasikan Injil secara jelas. Misi bukanlah pilihan yang
dapat dipertimbangkan tetapi misi adalah suatu perintah yang harus dilaksanakan. Tujuan dari
misi yaitu memulihkan hubungan manusia dengan Allah, membawa orang mengenal satu-
satunya Allah yang benar, dan memuliakan Allah. Misi juga merupakan rancangan damai
sejahtera dari Allah untuk menyelamatkan dan menyatakan kerajaanNya di dunia, yang harus
dikerjakan oleh setiap orang percaya lewat pelayanan kepada sesama.
Hadirnya gereja di dalam dunia karena adanya tugas yang harus disampaikan kepada
dunia. Salah satu tugas gereja adalah untuk memberitakan kabar sukacita kepada dunia tentang
karya penyelamatan Allah kepada manusia. Alkitab telah banyak memberikan catatan-catatan
penting tentang bagaimana pergerakan para murid dan gereja mula-mula dalam merespon hal ini.
Sesuai dengan perintah yang diberikan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya pada waktu akan
naik ke sorga yaitu “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah
mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka 1 2 melakukaan segala
sesuatu yang telah kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa
sampai akhir zaman.” (Matius 28:19-20).
Amanat Agung Yesus ini bukan merupakan sebuah tantangan, melainkan suatu
tanggungjawab yang harus dipikul, dan diperuntukkan bagi semua orang percaya untuk pergi ke
seluruh dunia dalam memberitakan Injil kepada segala makhluk.1 Setiap orang percaya
mengemban amanat untuk membaktikan diri dalam membuat Injil menjadi perhatian seluruh
umat manusia, ini merupakan tanggung jawab yang tidak dapat diabaikan.2
Injil Matius mencerminkan suatu subparadigma yang penting dan berbeda dengan
penafsiran gereja mula-mula dan pengalaman misinya. Injil kita yang pertama pada hakikatnya
adalah sebuah teks missioner. Pertama, karena visi misionernyalah, maka Matius mulai menulis
Injilnya, bukan untuk menyusun suatu “riwayat Yesus”, melainkan untuk memberikan
bimbingan kepada suatu teks komunitas yang mengalami krisis tentang bagaimana mereka harus
memahami panggilan dan misinya’.3
1
Murray W. Downey, Cara-cara Memenangkan Jiwa (Bandung: Kalam Hidup, 1957) 5.
2
J. I. Packer, Penginjilan Dan Kedaulatan Allah Evangelism And The Sovereignty Of God (Surabaya: Momentum,
2003) 16.
3
David J. Bosh, Transformasi Misi Kristen. sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2012). 87, 88.
BAB II
PEMBAHASAN
11
J. Andrew Kirk, Apa itu Misi?, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), h. 36
TINJAUAN/ KONSEP AMANAT AGUNG
Dalam rencana-Nya untuk menebus dan menyelamatkan orang-orang pilihan, Allah
mengutus Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus untuk berinkarnasi ke dalam dunia untuk
menjadi seorang manusia sejati dan Allah sejati yang menyerahkan nyawa-Nya di atas kayu salib
untuk menebus manusia dan bangkit pada hari yang ketiga untuk memberikan anugerah
keselamatan kekal bagi orang-orang yang dipilihNya.
Setelah kebangkitan-Nya dan menjelang kenaikan-Nya ke Sorga, Yesus memberikan sebuah
amanat terakhir yang populer dikenal sebagai Amanat Agung pada kitab injil Matius 28:18-20.
Amanat Agung adalah sebuah perintah sekaligus sebuah kehormatan kepada semua umat
percaya yang selalu menyebut dirinya umat pilihan untuk mengambil bagian dalam pekerjaan
Tuhan untuk menjadikan semua suku, kaum, bangsa menjadi murid-Nya.
Amanat Agung adalah bagian integral hidup orang percaya. Ini adalah amanat Kristus bagi
semua warga kerajaan Allah. Disebut Amanat Agung itu bukan berarti kedudukannya lebih
penting dari bagian lain di dalam Alkitab. Namun ini memiliki tuntutan yang harus dilakukan
oleh setiap orang percaya. Di sisi lain dapat dipertegas bahwa Amanat Agung tidak lain adalah
denyut nadi orang percaya. Dalam Matius 28:18-20, pembahasan tentang Amanat Agung dapat
dibagi ke dalam tiga bagian utama. Ketiga bagian ini berdiri untuk saling menopang satu dengan
yang lain, dan mengacu pada tema sentral tentang Amanat Agung. Pertama, Amanat Agung itu
didasarkan pada otoritas Bapa yang dilimpahkan kepada Kristus. Kedua, Amanat Agung itu
merupakan aktivitas berkesinambungan yang selalu melekat dalam hidup orang percaya. Ketika
Amanat Agung itu ditopang oleh abilitas atau penyertaan Kristus. Ketiga hal ini merupakan
hakekat atau intisari dari intepretasi Amanat Agung dalam hidup harian orang percaya.
Dalam Matius 28:20 Yesus memberikan perintah agar mereka menjangkau semua
bangsa. Pelayanan Yesus di dunia juga memerhatikan orang-orang non Yahudi, misalnya
perwira Romawi (Mat 8:5-13), perempuan Kanaan (Mat 15:21-28), perempuan Samaria
(Yoh 4), orang-orang Yunani di Yerusalem (Yoh 12:20-32). Ketika Yesus hendak naik ke
surga, Ia memberikan perintah yang terfokus pada penyelesaian misi Allah. Sebagai Bapa
mengutus Yesus, sekarang Yesus mengutus para murid (Yoh 20:21). Ia memerintahkan para
murid untuk pergi menjadikan semua bangsa murid-Nya (Mat 28:19 21). Ia menjanjikan Roh
Kudus bagi orang percaya agar mereka mampu menjadi saksi (Kis 1:8). Sejarah
perkembangan gereja di Kisah Rasul juga merupakan sejarah perkembangan misi. Intinya,
misi Yesus tetap dilakukan oleh murid-murid-Nya.12
Dalam Perjanjian Baru, para murid diutus untuk memberitakan dan mendemonstrasikan
kuasa pemerintahan Allah yang membebaskan dan menyembuhkan (Matius 10:5-8). Sebagai
rasul, mereka diutus untuk memuridkan, membaptis, dan mengajar (Matius 28:18-20). Yesus
mengutus mereka ke dunia dalam cara yang sama seperti Bapa telah mengutus-Nya, dan ini
memunculkan berbagai pertanyaan dan tantangan yang menarik (Yohanes 17:18; 20:21).
Paulus dan Barnabas diutus untuk membawa bantuan bencana kelaparan (Kisah Para Rasul
12
Yakub Tri Handoko, Bagian 2: Misi dalam Alkitab; diakses tanggal 14 Maret 2022; tersedia di
http://ebookbrowse.com/gdoc.php?id=172478927&url=709e9b1dcc5fbac10b9935a6e5457eeb
11:27-30). Kemudian mereka diutus untuk melakukan penginjilan dan perintisan jemaat
(Kisah Para Rasul 13:1-3).13
Secara khusus penulis juga membahas dalam Perjanjian Baru tentang amanat agung.
Konsep yang benar terhadap Amanat Agung (Matius 28:19-20). Mayoritas orang memahami inti
amanat agung terletak pada penginjilan (bandingkan kata “pergilah” yang diletakkan di
awal kalimat) dan langkah selanjutnya adalah pemuridan, baptisan dan pengajaran.
Bagaimanapun, menurut struktur kalimat Yunani di ayat 19-20, inti Amanat Agung justru
terletak pada pemuridan.14 Hal ini didasarkan pada mood imperatif untuk kata kerja
“jadikanlah murid” (lihat: “muridkanlah”) yang diikuti oleh tiga participle (anak kalimat),
yaitu “pergi”, “baptiskanlah” dan “ajarkanlah”. Penggunaan kata “muridkanlah” di sini
menempatkan penginjilan dalam konteks mempelajari hukum (ajaran) Yesus. 15 Yesus juga
memerintahkan para pengikut-Nya: “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku.” Pengarang
mengubah kata benda mathetes menjadi kata kerja. Bentuk kata kerja dari kata ini muncul
empat kali dalam Perjanjian Baru (dalam Matius 13:52;27:57;Kisah Para Rasul 14:21 dan
Matius 28:20). Menjadi seorang murid Yesus berarti ikut terlibat dalam kematian dan
kebangkitan-Nya dan ikut barisan-Nya sampai ke penyingkapan akhir Kerajaan mesianis-
Nya.16
KHOTBAH DI BUKIT
Dalam bagian sebelumnya telah disinggung beberapa acuan pada apa vang disebut
Khotbah di Bukit (Mat. 5-7). Beberapa komentar tambahan tentang kumpulan literatur yang luar
biasa mungkin akan menolong kita untuk menangkap dimensi misioner dari Injil Matius khu-
susnya karena, selama berabad-abad, telah mempesona orang Kristen maupun mereka yang
berkepercayaan lain. Di mata banyak orang bagian ini adalah bagaikan pesan terakhir Yesus.
Injil Matius mengandung lima khotbah atau percakapan besar(yang, menurut sejumlah
ahli, membentuk "pentateukh" Matius). Kelimanya adalah khotbah tentang (1) kemuridan (psl. 5-
7); (2) misi pa- ra rasul (psl. 10); (3) bagaimana pemerintahan Allah datang (psl. 13): (4) disiplin
gereja (psl. 18); dan (5) para guru palsu serta akhir zaman (psl. 23-25). Ungkapan "ajarlah
mereka untuk melakukan segala sesuatu" (Mat. 28:19) mengacu ke belakang terutama pada yang
pertama dari percakapan-percakapan ini yaitu Khotbah di Bukit. Sesungguhnya, khotbah ini,
berbeda dengan nats-nats Perjanjian Baru lainnya, mengungkapkan intisari etika Yesus. Namun,
selama berabad- abad, orang Kristen biasanya telah menemukan cara untuk menghindari makna
yang jelas dari Khotbah di Bukit. Strecker (1983:169) 6) mendaftarkan tidak kurang dari
delapan. Saya hanya menyebut- menyebutkan tiga kekeliruan penafsiran, sementara Lapide
(1985:4- kan sebagian saja:
a. Sejak Gereja Mula-mula, dan kemudian khususnya Thomas Aquinas, dipercayai bahwa tidak
semua orang Kristen perlu menaati perintah-perintah dalam Matius 5-7; mereka dimaksudkan
hanya untuk kalangan khusus orang Kristen, khususnya para pendeta.
b. Ortodoksi Lutheran dari abad ke-17 berpendapat tidak mungkin menaati semua tuntutan Yesus
dalam pasal-pasal ini, tetapi, secara tegas, bukan itu tujuan pasal-pasal tersebut. Justru tuntutan-
tuntutan yang supermanusiawi yang sangat tidak mungkin ini seha- rusnya mengungkapkan
kekurangan dan keberdosaan kita dan membuat kita menaruh seluruh percaya kita hanya pada
Kristus daripada pada kemampuan kita sendiri untuk melakukan kehendak Allah
c. Pada abad ke-19, dengan tekanannya pada individualisme, dipercaya bahwa yang penting
bukanlah ketaatankonkrettuntutan-tuntutan ini, melainkan lebih pada kecenderungan hati yang
benar. Sikap pribadi lebih penting daripada perbuatan-perbuat an itu sendiri.
d. Penjelasan lainnya lagi adalah menuliskan perintah-perintah dari Khotbah di Bukit ini sebagai
perwujudan dari "etika sementara" Prestasi-prestasi luar biasa seperti yang dituntut di sini,
demikian pendapat tersebut, hanya masuk akal dalam konteks suatu penantian terhadap parousia
yang akan segera datang. Hanya dalam periode se mentara yang sangat singkat itu orang dapat
menaati tuntutan-tuntutan yang demikian tinggi.
Namun, saat ini kebanyakan ahli sepakat bahwa penafsiran-penafsiran ini dan yang
serupa tidaklah memadai, dan tidak ada cara untuk menghindari kenyataan bahwa, di dalam
pandangan Matius, Yesus sungguh-sungguh menuntut para pengikutnya untuk selalu dan dalam
keadaan apa pun hidup sesuai dengan norma-norma ini (bnd. Strecker 1983:169 ; Lapide 1986:6
dyb.). Namun, bila kita meng. akui hal ini, kita pun harus mengakui bahwa, selama berabad-
abad, sangat sedikit pengikut Yesus yang benar-benar hidup sesuai dengan tuntutan-tuntutan ini.
Ada kesenjangan antara apa yang Yesus ajar- kan dengan apa yang sungguh-sungguh terjadi
pada pengajaran-Nya. Hal ini khususnya berlaku bagi perintah-Nya untuk mengasihi mu- suh-
musuh kita yang, lebih daripada perintah-perintah lainnya, men- cerminkan hakikat yang sejati
dari pelayanan Yesus yang menerobos segala batas (Lapide 1986:96-104). Ajaran ini merupakan
puncak etika Yesus tentang pemerintahan Allah. Namun, pada titik ini "sang nabi eskatologis
dari Nazaret ini merupakan batu penghalang bagi orang-orang Yahudi pada zamannya maupun
gereja dari segala zaman"; malah pada kenyataannya, sejarah gereja mungkin dapat ditulis
"sebagai sejarah dari mereka yang telah menutup diri dari perintah ini" (Strecker 1983:167 – terj.
saya).
Namun, kegagalan orang Kristen untuk hidup sesuai dengan standar Khotbah di Bukit,
tidak membebaskan mereka dari tantangan untuk melakukannya. Khususnya dalam dunia kita di
masa kini yang penuh dengan kekerasan dan kontrakekerasan, penindasan dari kiri dan kanan,
dengan yang kaya semakin kaya dan yang miskin se makin miskin, gereja dalam misi wajib
menyertakan "keadilan yang superior" dari Khotbah di Bukit ini (bnd. Mat. 5:20) dalam agenda
sinyal. Misinya tidak dapat memusatkan perhatian semata-mata pa aspek-aspek pribadi, rohani,
spiritual dan "vertikal" dari hidup manusia. Pendekatan semacam itu menunjukkan suatu
dikotomi yang ma sekali asing bagi tradisi Yesus seperti yang ditafsirkan Matius. Dalam bab
sebelumnya saya telah mengajukan pendapat Dana Yesus tidak mempunyai maksud untuk
mendirikan sebuah kerajaan damai, rekonsiliatif, adil, menolak pembalasan dendam (saya akan
kembali pada aspek ini dengan lebih terinci dalam bab berikutnya),sangat jelas bersifat politis
karena khotbah ini menantang hampir setiap struktur masyarakat yang tradisional. Namun,
politiknya bersifat politik di Israel. Namun, ini tidak berarti bahwa pelayanan-Nya tidak bersifat
politis. Sama sekali tidak. Khotbah di Bukit, khususnya, khasusnya berlaku karena tidak ada
ketegangan antara apa yang la katakan dan apa yang la lakukan. dan, terutama sekali, mengasihi
musuh. Kembali mengutip Lapide, "Yesus) adalah pemberontak kasih tiga kali lipat, jauh lebih
radikal daripada kaum revolusioner di zaman kita" (1986:103).
Oleh karena itu, Frankemölle dengan tepat menganggap ungkapan ta erga tou Khristou
(pekerjaan atau perbuatan Kristus) dalam Matius 11:2 sebagai suatu "titik persetujuan dalam Injil
Matius" di berbagai alur praktek misioner Yesus mengalir bersama-sama. Ung- kapan ta erga tou
Khristou merupakan semacam Oberbegriff (istilah umum) yang menerangi berbagai aspek misi
Yesus (Frankemölle 1982: 98, 128). "Pekerjaan" puncak-Nya dalam kasih yang tidak
mementing- kan diri sudah tentu adalah kematian-Nya pada kayu salib. Tanpa itu, pengajaran di
Bukit akan tetap merupakan khotbah yang indah tetapi kosong. "Khotbah ini mendapatkan
kekuatannya yang sung- guh-sungguh mengikat hanya melalui kehidupan penuh keteladanan,
penderitaan, dan kematian dari orang Nazaret ini yang memeterai- kan kesahihannya dengan
darah-Nya sendiri" (Lapide 1986:141).
17
Stephen Tong, Teologi Penginjilan (Surabaya: Momentum, 2004), 62.
18
Jim Petersen dan Mike Shamy, Menjadi Garam dan Terang Bagi Kalangan Terdekat (Bandung: Pionir Jaya, 2007),
9.
26:32 sebelum kematian-Nya. Nubuatan itu digenapi dengan pertemuan Yesus dan para
muridnya di Galilea. Peters menyatakan bahwa Amanat Agung adalah sebagai berikut:19
1. Merupakan suatu penyajian terakhir yang logis dan merupakan ekspresi alami dari
karakter Allah, seperti diwahyukan dalam Alkitab. 2. Ekspresi dari maksud serta tujuan misioner
Allah, ekspresi dari kehidupan, teologi, dan karya keselamatan Kristus. 3. Ekspresi dari sifat dan
pekerjaan Roh Kudus dan ekspresi dari hakikat dan rencana dari gereja Yesus Kristus. 4.
Membentuk kesatuan organik serta merupakan bagian tak terpisahkan dari pernyataan di atas.
Amanat Agung Tuhan Yesus dicatat dalam empat Injil dan Kisah Para Rasul yaitu Matius 28:16
– 20, Markus 16:15 – 18, Lukas 24:44 – 49, Yohanes 20:19 – 23; 21:15 – 29, dan Kisah Para
Rasul 1:6 – 8.
Kelima bagian ini ditulis oleh empat orang penulis dalam visi dan segi yang berbeda untuk
saling melengkapi.20 Hesselgrave menyatakan bahwa Markus 16:15 – 18 lebih menekankan
khotbah dan proklamasi dan Lukas 24: 46-49 lebih menekankan proklamasi dan kesaksian.8
Sedangkan Peters menyebutkan bahwa: Matius menekankan otoritas, tujuan yang lengkap dan
lingkup waktu yang diperluas dari karya tersebut. Markus menekankan keadaan yang mendesak,
metode dan lingkup geografis karya tersebut. Lukas menekankan amanat keuniversalan karya
tersebut dan Yohanes menekankan sifat dan peralatan rohani dari karya tersebut.9 Keempat
penulis Injil menampilkan Tuhan Yesus dengan caranya sendiri yang khas. Kebesaran Tuhan
Yesus tidak dapat ditangkap hanya dengan satu gambaran saja. Oleh karenanya Alkitab
menyajikan empat gambaran yang masing-masing mengungkapkan segi yang berbeda mengenai
karakter Tuhan Yesus.
Injil Matius mengandung lima khotbah atau percakapan besar(yang, menurut sejumlah ahli,
membentuk "pentateukh" Matius). Kelimanya adalah khotbah tentang (1) kemuridan (psl. 5-7);
(2) misi pa- ra rasul (psl. 10); (3) bagaimana pemerintahan Allah datang (psl. 13): (4) disiplin
gereja (psl. 18); dan (5) para guru palsu serta akhir zaman (psl. 23-25). Ungkapan "ajarlah
mereka untuk melakukan segala sesuatu" (Mat. 28:19) mengacu ke belakang terutama pada yang
pertama dari percakapan-percakapan ini yaitu Khotbah di Bukit. Sesungguhnya, khotbah ini,
berbeda dengan nats-nats Perjanjian Baru lainnya, mengungkapkan intisari etika Yesus. Namun,
selama berabad- abad, orang Kristen biasanya telah menemukan cara untuk menghindari makna
yang jelas dari Khotbah di Bukit. Strecker (1983:169) 6) mendaftarkan tidak kurang dari
delapan. Saya hanya menyebut- menyebutkan tiga kekeliruan penafsiran, sementara Lapide
(1985:4- kan sebagian saja:
19
George W. Peters, A Biblical Theology of Missions (Malang: Gandum Mas, 2006), 211 – 212.
20
Yakob Tomatala, Penginjilan Masa Kini 1 (Malang: Gandum Mas, 2004), 25 – 26.
REFLEKSI TEOLOGIS
Misi menurut Paradigma Matius, terkhusunya membahas mengenai “Amanat Agung” yang
terdapat dalam Matius 28 ini adalah suatu perintah misi yang harus dilakukan oleh murid-murid
Yesus. Amanat agung merupakan bagian penting dalam kehidupan kekristenan atau gereja.
Gereja yang melaksanakan amanat agung merupakan gereja yang dinamis, terus bertumbuh dan
berkembang. Selain itu, amanat agung merupakan hakikat dari tugas dan panggilan gereja dalam
dunia yang tidak boleh diabaikan.1 Ini merupakan tugas yang tidak dapat ditolak oleh semua
orang Kristen, karena sesuai dengan sifatnya, yakni sebuah amanat yang datangnya dari Yesus.
Amanat agung, menjadi begitu “agung” bukan semata-mata karena Yesus yang
mengucapkannya, atau hanya karena ini merupakan pesan perpisahan atau pesan terakhir
Kristus.Amanat agung, menjadi begitu “agung” karena berita tentang pengorbanan Yesus untuk
menebus dosa dunia adalah berita yang “sangat penting” dan merupakan “inti dari segala
pembicaraan.” Amanat seperti inilah yang diminta oleh Yesus untuk kita kerjakan dengan
berkata, “Kamu adalah saksi dari semuanya ini.”
Perhatikan ketiga intinya: ”jadikanlah semua bangsa murid-Ku”, ”baptislah mereka dalam
nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” dan ”ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu”.
Inti pertama adalah tentang hakikat murid. ”Menjadi murid” dan ”menjadikan murid”
merupakan konsep sentral dalam Injil Matius (Yun.: Matheteuein, hanya dipakai empat kali di
Perjanjian Baru, tiga diantaranya oleh Matius). Kata kerja yang biasanya dihubungkan oleh
Matius dengan murid adalah mengikut dan melakukan. Menjadi murid adalah mengikut guru dan
melakukan kehendaknya. Menjadi murid berarti hidup sesuai dengan ajaran guru dan
membuahkannya dalam bentuk perilaku sehari-hari. Menjadi murid bukanlah sebuah status,
melainkan sebuah gaya hidup dengan sebuah misi (”supaya mereka melihat perbuatanmu”, 5:16)
dan dengan sebuah tujuan (”supaya mereka ... memuliakan Bapamu”, 5:16). Disini tampak
kaitan antara menjadi murid dan menjadikan murid. Gaya hidup sebagai murid akan membuat
orang lain menjadi murid Tuhan.
Inti kedua adalah tentang identitas: ”baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh
Kudus”. Matius mengakui keyahudian mereka. Namun mereka sekarang sudah mengikuti gaya
hidup Yesus. Sebab itu sekarang mereka berbeda. Baptisan mereka bukan lagi baptisan Yahudi
melaikan baptisan ” dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”. Mereka bukan lagi sebuah
bangsa yang terpisah, melainkan sebuah bagian dari ”semua bangsa”.
Inti ketiga adalah tentang belajar dan mengajar: ”ajarlah mereka melakukan segala sesuatu
yang telah Kuperintahkan kepadamu”. Untuk bisa mengajar orang perlu belajar terlebih dulu. Di
dalam mengajar kita belajar. Belajar apa dan mengajar apa? Belajar dan mengajar untuk
”melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu”. Simak kata melakukan.
Kembali di sini tampak sebuah konsep yang sentral bagi Matius, yaitu melakukan, yang terkait
erat dengan kehendak Allah. Simak penekanan yang khas Matius, misalnya 6:10; 7:21, 24 dan
21:31. Kita belajar bukan untuk sekedar mengetahui, melainkan untuk melakukan. Belajar bukan
hanya menyangkut ranah pikiran, melainkan juga ranah perasaan dan ranah kesediaan untuk
melakukan.
Itulah inti Amanat Agung. Apakah amanat itu masih berlaku sampai sekarang? Tentu saja.
Kita dipanggil untuk berkiprah sebagai murid Yesus sedemikian rupa sehingga hidup kita itu
menjadikan orang lain juga murid-Nya. Amanat Agung bukanlah perintah tentang kuantitas,
melainkan kualitas kemuridan. Implikasi Amanat Agung bukanlah pada pertambahan melainkan
pada pertumbuhan warga. Amanat Agung bukan menyuruh kita ”menaklukkan jiwa”,
”mengkristenkan orang” atau ”menambah gereja”, melainkan menyuruh kita bersaksi, yaitu
memuridkan diri sedemikian rupa sehingga kemuridan kita itu juga memuridkan orang lain.21
21
Disadur dari Buku "Selamat Berkiprah" karangan Andar Ismail
DAFTAR PUSTAKA
David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen, Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah.
Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2012.
Arie De Kuiper, Missiologia: Ilmu Pekabaran Injil, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006)
Edmund Woga CSsR, Dasar-dasar Misiologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002)