Anda di halaman 1dari 105

DIKTAT

MISIOLOGI

Dosen pengampu
Andrias Chandra Putra Dewanto. M.Th

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI ARASTAMAR


MAMASA
2019

8
9

BAB 1
PENDAHULUAN

Pengertian Misi secara Etimologis


Sebelum membahas mengenai konsep misi Rasul Paulus, adalah hal yang bijak
bila di mulai dengan membahas pengertian misi itu sendiri. seperti yang di paparkan
oleh Y. Tomatala dalam bukunya yang berjudul “Teologi Misi”17 yakni:
Istilah Pengertian

Kata “misi” berasal dari Kata "pempro” atau “apostello” tidak hanya berarti
kata “mittete”. Kata mengirim secara umum, malainkan mengirim dengan
mittete adalah terjemahan otoritas. Di sini seseorang yang dikirim/diutus dengan
dari kata Yunani otoritas untuk tujuan khusus dari yang ingin dicapai.
penzpein/pempro dan Tekanan terpenting dari misi atau pengutusan Allah
apostelein yang berarti adalah berbicara tentang Allah sebagai pengutus, di mana
mengutus. Ia adalah sebagai inisiator, dinamisator, penatalaksana,
dan penggenap misi-Nya

Istilah untuk menegaskan Istilah ini berasal dari kata "Prostithenai” (Kis. 2:41, 47,
kata misi "Prostetics”. ll:24). yang mengaitkan misi dengan apa yang disebut
"Tuhan menambahkan bilangan orang - orang yang
diselamatkan kedalam jemaat-Nya.

Gabungan kata Almanics berarti bertambah dan berkembang keluar, dan


"Almanics" dan apabila dihubungkan dengan kata "Halietttics" dapat
"Halietttics” berarti “menjala orang.'' Dengan demikian dapat dilihat
bahwa penggunaan istilah ini juga mengaitkan misi
dengan pekabaran Injil dan pertumbuhan gereja.

17 Di Sarikan Penulis Dari Yakob Tomatala, Teologi Misi, (Jakarta: YT Leadership Foundation,
2005), 16 - 22
10

Istilah lain yang dipakai Istilah misi yang dikembangkan dari


untuk menjelaskan
kata apostolate ini menekankan tentang "apostolik
tentang misi adalailah
marturia" (saksi) dengan tugas didakhe (mengajar), dan
"Apostalate".
kerygma (pemberitaan) tentang Yesus Kristus.

Di sisi yang lain istilah Untuk menjelaskan tentang missions dan theory of
misiologi yang berangkat missions, telah memiliki isi yang inklusif. Isi inklusif
dari kata “mission”. misiologi adalah

 Missio Dei ( the mission of God )


 Missiones Dei (diakonia development, sharing)
 Missio Ecclesiae (misi gereja, yaitu partisipasi
gereja dalam misi Kristus), dan
 Missio hominum (missions by men), artinya
keterlibatan orang percaya dalam pelayanan
pemberitaan Injil Yesus Kristus
 Missio Ecclesiarum, artinya partisipasi gereja
dalam misi Allah kepada dunia.
Bahasa Inggris memakai Ministry sebagai "God program for humans" yang
dua kata untuk menekankan seluruh aspek teologi (rencana total) dari
menjelaskan Kata misi Allah. Sedangkan
“Ministry” dan
kata “missions” dijelaskan sebagai
“Missions”.
the task of missiori yang menekankan tentang aspek dan
nilai dari tugas misi itu sendiri.

Lebih lanjut, menurut Yacobus Hariprabowo kata missio berarti “perutusan”,


dapat dijabarkan sebagai suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang berdasarkan
suatu tugas atau perutusan yang diberikan kepadanya. 18 Ari De Kuiper juga membahas
pengertian misi kedalam dua bentuk yakni, bentuk tunggal dalam bahasa Inggris,
mission, berarti tugas yang diberikan oleh Tuhan kepada orang yang percaya untuk

18 Yacobus Hariprabowo, “Keberagaman Agama Dan Misi Gereja: Salam Damai Atau
Genderang Perang?”, Dalam Rajawali, No.01:1-69 (Januari 2005), 57.
11

bersaksi tentang Kristus dalam perkataan dan perbuatan. Sedangkan bentuk jamak
missions, dalam pengertian tradisional berarti usaha Gereja untuk penginjilan dunia. 19
Senada denga Kuiper, Bosch juga membedakan pengertian kata “misi” dalam bentuk
tunggal dan kata “misi” dalam bentuk jamak.
Kata “misi” (bentuk tunggal) mengacu pada Missio Dei (misi Allah), artinya,
penyataan diri Allah sebagai Dia yang mengasihi dunia, keterlibatan Allah di
dalam dan dengan dunia, sifat dan kegiatan Allah, yang merangkul Gereja dan
dunia serta di mana Gereja mendapatkan kesempatan istimewa untuk ikut serta.
Missio Dei memberitakan kabar baik bahwa Allah adalah Allah-untuk-manusia.
Sedangkan kata “misi” dalam bentuk jamak, mengacu pada bentuk-bentuk
khusus, yang berhubungan dengan waktu, tempat, atau kebutuhan tertentu dari
partisipasi di dalam Missio Dei.20

Emanuel Gerrit Singgih menyatakan bahwa Missio Dei berarti pengutusan yang
berasal dari atau kepunyaan Allah.21 Missio Dei adalah pengutusan oleh Allah, dimana
Allah sendiri yang bertindak sebagai subjek segala pengutusan, terutama pengutusan
Anak-Nya. Dialah pengutus agung.22 Pengutusan ini berhubungan erat dengan
keseluruhan pekerjaan Allah untuk menyelamatkan dunia, pemilihan Israel, pengutusan
para nabi kepada bangsa Israel dan kepada bangsa-bangsa di sekitarnya, pengutusan
Yesus Kristus ke tengah-tengah dunia, pengutusan rasul-rasul dan pekabar-pekabar Injil
kepada bangsa-bangsa.23 John Stott. Ia berpendapat bahwa misi Alkitabiah mencakup
penginjilan dan pelayanan, tetapi penginjilan tetap menjadi inti misi. 24 Sejalan dengan
pemikiran Stott, David Bosch menyatakan
Istilah “misi” (atau zending) mempradugakan pengutus, seseorang atau orang-
orang yang diutus oleh si pengutus, orang-orang yang kepadanya seseorang
diutus, dan sebuah tugas. Dengan demikian keseluruhan terminologi ini
mempradugakan bahwa orang yang mengirim mempunyai kuasa untuk

19 Arie De Kuiper, Missiologia Ilmu Pekabaran Injil, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998)., 9.
20 David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan
Berubah (BPK Gunung Mulia, 1997), 15.
21 Emanuel Gerrit Singgih,. Berteologi Dalam Konteks (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), 161.
22 H. Venema, Injil Untuk Semua Orang Jilid I, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 1997,
48
23 Arie De Kuiper, Missiologia, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2004), 10
24 John R. W. Stott, Christian Mission In The Modern World, (Downer Grove: Inter-Varsity Press,
1975), 15-34
12

melakukan hal tersebut. Seringkali diperdebatkan bahwa pengutus yang


sesungguhnya adalah Allah yang mempunyai kuasa yang pasti untuk
menetapkan bahwa orang-orang diutus untuk melaksanakan kehendaknya. Kata
“misi” dalam penggunaanya sering dipertukarkan dengan frase “pekabaran Injil”
untuk maksud tertentu. Tetapi pada umumnya diterima bahwa “pekabaran Injil”
merupakan salah satu unsur yang menyatu di dalam “misi”. Misalnya salah satu
dari tiga belas definisi misi yang ditawarkan oleh Bosch yaitu misi mencakup
penginjilan sebagai salah satu dimensinya yang esensial.25

Gagasan tentang mission Dei, mula-mula muncul pada konferensi IMC di


Wilingen pada tahun 1952. Pertemuan IMC itu juga memikirkan kembali kewajiban
missioner gereja.
Kewajiban missioner gereja berasal dari kasih Allah dalam hubungannya yang
aktif dengan umat manusia. Oleh karena Allah mengirimkan Anak-Nya, Yesus
Kristus, untuk mencari dan mengumpulkan, serta mengubah semua orang yang
terasingkan karena dosa dari Allah dan sesamanya. Inilah yang merupakan
kehendak Allah dan itu terwujud di dalam Kristus dan akan disempurnakan di
dalam Kristus. Karena Allah juga mengutus Roh Kudus, melalui Roh Kudus,
gereja, yang mengalami kasih Allah yang aktif, diyakinkan bahwa Allah akan
menyempurnakan apa yang telah dimulainya dengan pengutusan anak-Nya itu.26
Di dalam Missio Dei, karya misi pertama-tama dilihat sebagai karya Allah,
yakni Allah yang mengutus diri-Nya kepada dunia. Allah hadir di tengah-tengah
kehidupan manusia dan memanggilnya untuk menerima tawaran rahmat-Nya. Dampak
dari karya shalom Allah di dalam kehidupan manusia adalah dengan menjadikan setiap
orang percaya saksi Kristus mengenai tawaran Allah untuk menjalin hubungan yang
intim dengan manusia dalam kekekalan di Surga. Manusia yang telah menerima rahmat
keselamatan diutus (secara implisit dan eksplisit) untuk menjadi sakramen keselamatan,
yakni saksi persatuan antara Allah dengan manusia. Baik panggilan maupun perutusan
berorientasi pada rencana Allah untuk menyelamatkan dunia, di mana Allah sendiri
“meraja” atas dunia dan menjadi segalanya dalam segalanya (1 Kor. 15: 28).27
25 David J Bosch, Transformasi Misi Kristen, Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah
(BPK Gunung Mulia, 1997), 16
26 Norman E. Thomas, Teks-Teks Klasik Tentang Misi Dan Kekristenan Di Dunia, (Jakarta: BPK-
Gunung Mulia, 1998), 147
27 Edmund Woga, Dasar- Dasar Misiologi, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 57
13

Istilah Misiologi berasal dari kata bahasa latin ‘missio’ artinya utusan, bahasa
Inggris, Jerman dan Prancis ‘mission’. Dalam bahasa Belanda ‘missie’ dipergunakan
dalam kalangan gereja Katholik, padahal gereja Protestan umumnya memakai istilah
‘zending’. Dalam bahasa Inggris bentuk ‘mission’ berarti karya Allah, ‘God’s
mission’ atau tugas yang diberikan oleh Tuhan kepada kita ‘our mission’, sedangkan
bentuk jamak ‘mission’ menandakan kenyataan praktis atau pelaksanaan pekerjaan itu.

Dalam hubungan Misiologi ini dapat membicarakan ‘Missio Ekklesia’ artinya


pengutusan gereja, pekerjaan yang dikerjakan oleh para misionaris dari jemaat Kristen
sepanjang sejarah dunia. Atau selain itu ‘Missio Apostolorum’ pengutusan para Rasul
dan ‘Missio Christi’ pengutusan Kristi dalam arti :

a. Kritus mengutus murid-muridNya.

b. Kristus diutus oleh Allah (Yoh.20:21 “Sama seperti Bapa mengutus Aku,
demikian juga sekarang Aku utus kamu”).

‘Missio Dei’ artinya seluruh pekerjaan Allah untuk menyelamatkan dunia. Ini
berarti Missio Dei adalah teocentri dan christocentris bukan ekklesiocentris atau
anthropocnetris.:

a. Pemilihan Israel.

b. Pengutusan para nabi kepada Israel dan kepada bangsa-bangsa sekitarnya.

c. Pengutusan Kristus kepada dunia.

d. Pengutusan Rasul-rasul dan pekabar Injil kepada bangsa-bangsa. Dengan kata


lain Allah adalah Pengutus Agung.

Dulu istilah Misiologi terutama dipakai oleh para ahli teologi Roma Katholik,
tetapi barubaru ini mulai diterima oleh teolog-teolog Protestan. Istilah Misiologi
merangkum Misiologi Alkitabiah, Misiologi sejarah, Misiologi sistimatik dan Misiologi
praktis-metodis. Tidak dapat disangkali lagi bahwa ini merupakan satu pengertian yang
baik.
14

Sejarah
Sejarah Misiologi belum terlalu panjang karena pada abad-abad pertama sejarah
gereja umum belum menerima misiologi sebagai satu ilmu. Walaupun misi dilakukan,
baik oleh para Rasul maupun orang-orang biasa, seperti Tertulianus yang berbicara
tentang hubungan gereja dengan agama Yahudi, atau Yustinus Martyr atau Agustinus
dalam buku de Civitate Dei.

a. Abad – abad pertengahan


Thomas Aquinas yang menulis buku Summa kontra gentiles (ajaran
melawan orang kafir) terutama menguraikan pendekatan kepada orang kafir dan
orang Islam karena kedua golongan ini tidak mengakui Perjanjian Lama,
sedangkan Perjanjian Baru diterima oleh mereka sebagai bidat saja.
Raimundus Lullus (1235 – 1315) seorang biarawan Dominikan
mengadakan PI kepada orang Yahudi dan Islam. Dia pernah menulis sebuah
buku yang berjudul ‘Kitab tentang orang kafir dan tiga orang berhikmat’
(Kristen, Yahudi dan Islam). Mereka bertiga meyakinkan bahwa ada Allah yang
benar. Kemudian mereka mempunyai rencana akan berdialog bersama-sama
untuk mencapai persetujuan dalam satu iman untuk memuliakan Allah kita.
Sesudah itu Thomas A Yesus menulis buku (1613) di dalamnya dibahas
berturut-turut hubungan orang yang berbidat yaitu Yahudi, Islam dan orang
kafir.
b. Zaman reformasi
Para reformator tidak sedikitpun berminat kepada Pekabaran Injil,
mereka tidak terlalu memikirkan misi secara ilmiah. Marthin Bucer merupakan
satu perkecualian. Dari Pihak Lutheran yang menonjol yaitu Yustinian von
Wels. Ada beberapa orang lain yang juga menguraikan hubungan dengan orang
Yahudi.

c. Zaman pietisme
Tokoh-tokoh seperti Spehner, Francke dan Zinzendorf mengarahkan
lebih banyak tentang Pekabaran Injil tetapi karangan-karangan merela lebih
bersifat alkitabiah-metodis daripada teoritis ilmiah.
15

d. Zaman modern
Pada tahun 1792 William Carey menulis sebuah buku yang berjudul ‘An
Inquiry into the Obligation of Christians to use Means for the Conversation
of be Heathens’. Dengan buku ini William Carey menjdai Bapak Misi modern.
Selain itu ada Aleksander Duff di Edinburgh tahun 1867 dan seorang Roma
Katholik Josef Schmitlin dari Muenster tahun 1910 yang menulis buku
Misiologi. Selain ilmu PI yang pertama bisa dikatakan adalah karangan Gustav
Warneck Evangelische Missionslehre. Karangan ini mempengaruhi
perkembangan Misiologi sebagai ilmu di kemudian hari, memperlihatkan ciri-
ciri zamannya yakni mencampuri Pekabaran Injil dan kebudayaan Barat.
Beberapa buku yang penting dalam Pekabaran Injil pada zaman itu adalah

J. Richter, Evangelische Missionslehre, Leipzig 1927


R. Allen, The spontaneous Expansion of the Church, London, 1927
E.D. Soper, The Philosophy of the Christian World Mission, New
York,
1929
H.W. Schomerus, Missionswissenschaft, Leipzig, 1935
H. Kraemer, The Christian Mission in a non-Christian World,
London, 1938
M.A.C. Waren, The Christian Mission, London, 1953
W. Holsten, Das Kergyma und der Mensch, London, 1953
J.H. Bavinck, Inleiding in de Zendingswetenschap, Kampen
1954:
J.H Benwinck An introduction to the Science of Missions,
Philadelphia, 1960
H. Kraemer, Religion and Christian Faith, London, 1956
H. Lindsell, Missionary Principles and Practice, Westwood, N.J.1955
W. Anderson, Towards a Theology of Mission, London, 1955
G.F. Vicedom, Missio Dei (Einfuehrung in eine Theologie der Mission),
Muenchen, 1958
16

H.J. Margull, Theologie der missionarischen Verkuendingung,


Struttgart, 1959
K. Barth, Kirchliche Dogmatik IV/3, Zollikon, 1959
G.H. Anderson (ed) The Theology of the Christian Mission, London
1961
A.Th. van Leeuwen, Chistianity in World History, London, 1964
M Linz, Anwalt der Welt (zur Theologie der Mission), Berlin 1964
Dari pihak Katholik :

J. Schmidlin, Katholische Missionslehre im Grundriss, Muenster,


1923
J. Schmidlin, Einfuehrung in die
Missionswissenschaft, Muenster, 1925
A. Mulders, Inleiding tot de Missie Wetenschaft,
’s Hertogenbosch, 1937
A.V. Seumois, Introduction a la Missiologie, Schoeneck-Beckenried, \
1952
A. Mulders, Missiologisch Bestek, Hilversum, 1962
Th. Ohm, Machet zu Juengern alle Voelker (Theorie der Mission), Freiburg,
i.B. 1962 (band. Kuiper, 13-14)
Selain itu laporan-laporan dan konferensi-konferensi besar di bidang
misi, pertemuanpertemuan Missionary International Counsel ini sangat penting,
sesuai dengan konferensi yang diadakan di Edinburgh tahun 1910 dstnya.

Tugas ilmu Misiologi adalah: di bawah pimpinan Allah menyelediki


kehendak Allah untuk menyelamatkan dunia dengan pusat terfokus kepada
Yesus Kristus . Misiologi dipimpin oleh Roh Kudus untuk meningkatkan doa,
kasih, pengorbanan, ketaatan dan keterlibatan dalam misi sedunia. Selain itu ia
harus menyelidiki pelayanan gereja di seluruh dunia untuk lebih efektif lagi.
Kasdorf, seorang Misiolog Jerman mengatakan bahwa Misiologi melayani gereja
dan misi lewat memikirkan dan mempertanyakan secara kreatif dan kritis semua
aktifitas mereka.
17

Lingkup Misiologi :
 Teologi Misi
 Sejarah
 Ekklesiologi
 Apologia
 Metodik
 Sosiologi lintas budaya
Etnologi, dsbnya.

Untuk melaksanakan tugas ini dibutuhkan : Homiletik, Hermeneutik,


Komunikasi, Linguistik, Pengetahuan dalam bidang Politik dan Ekonomi. Misiologi
memiliki hubungan yang erat dengan Theologi dan tidak boleh menjadi satu fak minor.
Menurut Georges Peters Misiologi harus masuk dalam pusat Theologi tentang Allah.
Theologi yang mempengaruhi Misiologi

Golongan Misiologi yang Injili


a) sistematis : Peters, Stott dan Beyerhaus
b) strategi : R.D. Winter, Perspective on the World Christian Movement
E.R. Dayton : Planning strategies for world evangelization

D.B. Barett : 700 plans to evangelize the world

P. Johnstone : Operation World

c) komunikasi : E.A. Nida : Message and Mission


D.J. Hasselgrave : Communication Christ cross-culturally

d) sosiologis : Mc. Gavran : Church Growth


e) antropologis : C.H. Kraft : Christianity in Culture
f) sosial-etis : (Holistik)
18

V. Samuel and C. Sugden : Sharing Jesus in the Tow Third


World

R. J. Sider :

R. Padilla

V. Grigg

g) historis : K.S. Latourette : A History of Christian Mission

Situasi Indonesia:
Lokakarya Persetia pada tahun 1992 menentukan bahwa wajah Misioloig yang
kontekstual bagi Indonesia harus (Persetia: 1992: 225):

1. Terbuka terhadap agama-agama.

2. Terbuka kepada cerita-cerita rakyat, ungkapan mitologis agama-agama suku dan


nilainilai leluhur yang terkandung di dalamnya.
3. Terbuka kepada masalah-masalah praktek agama suku dalam gereja-gereja suku.

4. Terbuka kepada dunia modern dengan segala masalahnya yang sangat kompleks
dalam era idustri dan komunikasi ini.
Konteks para Misiolog yang di bawah naungang Persetia bermisiologi di Indonesia
seperti berikutnya (Persetia: 1992: 227 dst.)

1. Refleksi Biblika yang terfokus kepada kerajaaan Allah dengan kuasa Allah di
dalamnya dan pada keutuhan ciptaan. Selain itu kerja berhubungan dengan
perkerjaan yang cocok dalam kerajaan Allah direfleksikan dan dipikirkan, siapa
mitra kerja gereja
2. Refleksi Analisis Sosial

3. Releksi Praktikal (life oriented)

Tugas teologi Misi:

• Memikirkan dasar misi


• Menyelidiki hakekat misi sesuai dengan Alkitab
19

• Member tujuan dan init misi


• Mempertanyakan motivasi untuk pelayanan lintas budaya
• Menjelaskan penerima pelayanan misi
• Menekankan pentingnya misi
• Mempertanyakan tujuan dan “closure” misi

Misi Alkitabiah adalah kegiatan Allah melalui PutraNya dan gerejaNya lewat
penginjilan, pengajaran dan diakonia. Misi mulai local (di tempat di mana orang Kristen
berada) dan mengalir ke suku-suku terabaikan supaya semua ethne tercapai dengan Injil
sampai Krists datang lagi. Misi berkaitan dengan Kerajaan Allah yang sudah mulai dan
tetap harus dinantikan.

9 Aspek Misi
• Misi adalah tindakan Allah yang universal untuk menyelamatkan Yoh. 3:16
• Misi terkait dengan sejarah kesalamatan Ibr. 1:1-3
• Misi terlaksana oleh seluruh gereja Yesus Kristus 1 Petr. 2:9
• Misi terjadi di dunia yang tersesat yang dikasihi Allah untuk diselamatkan 1
Tim. 2:4
• Misi terdiri dari penginjilan, pengajaran dan diakonia Mt. 4:23
• Misi mulai secara local Kis 13:1-3
• Misi berarti pelayanan lintas budaya Mk. 16:15
• Misi berusaha mencapai semua kaum, suku dan bangsa (ethne) Mt. 24:14; Wah 7
• Misi terkai Kerajaan Allah yang sudah mulai dan tetap dinantikan Mt. 28:20
20

BAB II
MISI DALAM ALKITAB

Misi memiliki 4 tujuan utama

Doksologis:
Penyembahan kepada
Allah (Wahyu 7)

Ekklesiologis;
Soteriologis;
MISI Membangun Gereja (EF
Keselamatan (Kis 4:12)
4:15, dst)

Antagonistis;
Kemenangan atas kuasa
gelap (Kol 1:13;
2:15)

Dalam sejarah Teologi Misi tujuan Misi sering tidak dijelaskan seperti di atas.
Andar Lumbantobing (azaz 31) berbicara tentang tiga tujuan misi, yaitu : unsur
doxologis (pemulian), unsur soteriologis (pelepasan) dan unsur eschotologis (achirat).
Dulu selalu gereja yang mandiri dianggap sebagai tujuan terakhir usaha misi, misalnya
seperti Rufus Anderson dan Herny Venn yang menentukan tujuan misi lewat 3-self,
yaitu self-govering, self-supporting dan self-proclaiming. Tetapi hakekat misi bukan
otonomi melainkan Kristonomi.
21

a) Penginjilan bukan suatu mekanisme untuk mempercepat kedatangan Kristus.


Walaupun visi eskatologi menjadi dorongan dalam penginjilan, kedatangan Kristus
adalah pemenuhan Kerajaan Allah yang dikerjakan Allah sendiri.
b) Penginjilan bukan hanya proklamasi verbal walaupun dimensi ini jelas ada dalam
penginjilan dan dunia juga membutuhkan pernyataan verbal tentang nama Yesus di
tengah-tengah ketidakpastian yang melanda duia. Akan tetapi, hal itu tidak
terpisahkan dari perbuatan bagai ‘kehadirang Kristen’ atau ‘Firman yang menjadi
daging.

Pada umumnya kalau kita mendengar istilah misi, kita cepat mengasosiasikan
misi dengan Yesus Kristus dan Amanat Agung. Sebenarnya misi pertama kali harus
dihubungkan dengan Allah sendiri. Kita hanya mengenal Allah yang menghendaki
misi. Setiap oknum Allah Tritunggal terlibat dalam memprakarsai proses misi dengan
tujuan pertama untuk memuliakan Allah yang Mahatinggi. Roma 11: 36 “ Sebab segala
sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia dan kepada Dia. Bagi Dialah kemuliaan sampai
selama-lamanya!”. Dalam proses Misi atau penyelamatan manusia adalah persamaan
dalam tindakan setiap oknum Allah Tritunggal yaitu masing-masing mencari manusia
dan mengutus wakilNya dalam melaksanakan Misi, karena Allah Bapa bertindak
sebagai pelopor Misi, Yesus Kristus (Allah Anak dan Putera) sebagai fondasi Misi dan
Roh Kudus sebagai pembina Misi.

Misi Allah Tritunggal

1. Peranan Allah Bapa Dalam Misi


Misi lahir dari kasih Allah yang mencari manusia. Allah itu Kasih (I Yoh.
4:8,16), yang tidak ingin tinggal sendiri, terpisah dari manusia, tetapi ingin
berkomunikasi dengan makhlukNya. Itu sebabnya Allah sudah membuktikan kasihNya
dalam mengutus AnakNya yang Tunggal untuk menyelamatkan manusia yang berdosa.
Yoh. 3:16 “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah
mengaruniakan AnakNya yang Tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya
tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Andres Mc. Gorwan mengungkapkan
ini dalam makalahanya « Misi dari Allah, Misi dari Roh » seperti berikutnya (Persetia :
1992 : 132) : Misi dari Allah berarti : « misi yang berasal dari dan diperintahkan-Nya,
atau misi dimana Allah adalah yang dikirim/diutus.
22

Chamberlain dalam buku Misi Allah dan Anda I, (h.10.no.14) memberitahukan


9 alasan bagi Allah sebagai pelopor misi :

1. Allah Bapa ada sebelum segala sesuatu ada.

2. Allah Bapa menciptakan segala sesuatu dalam keadaan amat baik adanya.

3. Allah Bapa menyediakan kerajaan sorga bagi manusia sejak dunia dijadikan.

4. Allah Bapa langsung mencari hubungan dengan manusia yang baru jatuh dalam
dosa.
5. Allah Bapa langsung menolong manusia yang telah berdosa.

6. Allah Bapa langsung menjanjikan keselamatan kepada manusia yang berdosa.

7. Allah Bapa yang adil dan suci menghukum manusia dengan jujur.

8. Allah Bapa memilih suatu bangsa supaya mereka menjadi saluran keselamatan bagi
manusia.
9. Allah Bapa mengutus AnakNya yang Tunggal sebagai juruselamat manusia.

Keberadaan Allah yang sesugguhnya serta karakter-Nya adalah dasar terdalam


pekabaran Injil. Manusia tidak mungkin berpikir mengenai Allah, kecuali dalam hal
mensyaratkan gagasan pekabaran Injil. Bukan kesejahteraan dan kemuliaan manusia,
bukan pertumubah gereja, melainkan kemuliaan Allah membentuk sasaran tertinggi
dalam pemberitaan Injil, karena keberadaan dan karakter Allah adalah dasar paling
dalam dari pemberitaan Injil “Sebab segala adalah dari Dia, dan oleh Dia dan kepada
Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya. Allah Bapa sebagai tokoh Misi:

• Allah bukan allah terasing


• Allah adalah Roh Yoh. 4:24
• Allah adalah terang 1 Yoh 1:5
• Allah adalah kasih 1 Yoh 4:8+ 16).
Kesimpulan: Allah adalah Allah yang ramah, karena Dia adalah terang dan kasih,
menghendaki kebaikan bagi manusia dan selalu memberikan diri-Nya kepada manusia.

2. Peranan Allah Anak Dalam Misi


Fondasi mutlak yang diletakkan untuk misi adalah Yesus Kristus, Firman Allah
yang menjadi manusia, mati di kayu salib dan bangkit. Walaupun diutus oleh Allah
23

Bapa, Dia datang secara sukarela ke dunia ini. (Yoh.10:17-19 “Bapa mengasihi Aku,
oleh karena Aku memberikan nyawaKu untuk menerimanya kembali. Tidak seorangpun
mengambilnya dari padaKu, melainkan Aku memberikannya menurut kehendakKu
sendiri. Aku berkuasa memberikannya dan berkuasa mengambilnya kembali. Inilah
tugas yang Kuterima dari BapaKu”). Paulus juga menyaksikan bahwa Yesus Kristus
tidak dipaksa untuk menyelamatkan dunia ini (Fil.2:6-8). Pengantara satu-satunya
manusia dengan Allah adalah Yesus Kristus (Yoh.14:6, Kis. 4:12, I Tim. 2:5, Yoh.
10:9). Dia mempunyai 4 fungsi dalam penyelamatan :

a. Pengantara satu-satunya bagi manusia dengan Allah


b. Mesias yang menyelamatkan orang berdosa (Kis.5:42, Yoh.17:3, 1:14, dll)
c. Teladan (Yoh.13:15
d. Penguasa (Mat.28:18-20)
Penting sekali bahwa kita mengetahui bahwa Yesus Kristus tidak mempunyai
keselamatan melainkan Dia adalah Keselamatan. Keselamatan bukan suatu kumpulan
berkat khusus, melainkan keselamatan adalah diri Yesus Kristus sendiri. Di dalam
Dialah berdiam seluruh kepenuhan keAllahan, kehidupan, kuasa, damai sejahtera dan
sukacita (Kol.2:9; Yoh.1:12).

Keselamatan :

1. Merupakan suatu realitas :

• Yang masuk ke dalam diri manusia


• Untuk mengubah kecenderungan dasar manusia
• Membersihkan manusia dari dosa dan tidakkeberan
• Melepaskan manusia dari perhambaan dan kebejatan
• Mengajarkan sifat Allah kepada manusia
• Menciptakan kembali citra Kristus di dalam manusia
• Menjadikan manusia sebagai anak Allah yakni anggota rumah tangga
Allah
• Memperlengkapi manusia lewat karunia Roh Kudus
2. Berasal dari yang Ilahi

3. Bersifat Kristosentris
24

4. Terkait salib dan kebangkitan

5. Diberberi berdasarkan anugerah dan iman

6. Berlaku universal

3. Peranan Allah Roh Kudus Dalam Misi


Dalam pelaksanaan Misi, Allah Roh, oknum yang ketiga dari Allah Tritunggal
mempunyai peranan yang penting. Hal ini sejak penciptaan. Kej. 1:2 “Roh Kudus
melayang-layang di atas permukaan air.” Peranan Roh Kudus sebagai Pembina Misi
ialah:

A. Mempersiapkan gereja. Tanpa karya Roh Kudus jemaat tidak bisa melaksanakan
apa-apa.
Karya Roh Kudus :

1. Mempersatukan jemaat (Ef. 4:3)

2. Mengajar jemaat (Yoh.16:13)

3. Mengggerakan jemaat (Kis. 4:8, 20; 20:22-24)

4. Menyucikan jemaat (II Kor. 3:16)

5. Menguasai jemaat (Kis. 3:16; Luk. 24:49)

6. Memperlengkapi jemaat (Gal. 5:22-23; I Kor. 14:4-11)

B. Roh Kudus tidak cuma mempersiapkan gereja, tetapi juga dunia, supaya manusia
yang seharusnya binasa dapat bertobat. Karya Roh Kudus :
1. Membuka mata orang berdosa supaya mereka bisa mengerti tentang
keselamatan (I Kor. 2:14).
2. Membuka hati manusia (Kis. 2:14).

3. Menginsafkan dunia akan dosa (Yoh.16:8-10).

C. Roh Kudus mengkoordir program Misi, karena Dia yang :

1. Memanggil pribadi-pribadi untuk pelayanan Misi.

2. Menuntun utusan Misi.

3. Memprakarsai strategi Allah di dunia.


25

4. Meneguhkan Injil dengan tanda-tanda dan mujizat-mujizat.

Kesimpulan : Allah Tritunggal melalui keberadaan-Nya sebagai Roh, terang dan kasih
adalah Allah yag tidak menutup diri, yang missioner, bahkan yang mengutus diri-Nya
sendiri dalam berbagai hubungan yang member kebajikan kepada manusia, yan selalu
penuh kasih dan berusaha memberikan diri-Nya melalui berkat-berkat kepada manusia
dan yang selalu memberikan diri-Nya melalui pengurbanan luar biasa untuk
menyediakan keselamatan bagi manusi Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus sedang
bekerja sama dan berkoordinasi membawa manusia kembang dari pengmbaraannya dan
kesalahannya yang penuh dosa dan memulihkan manusia pada keadaan, tujuan, nasib
serta kemuliannya yang mula-mula.

Misi menurut Perjanjian Lama


Dr George Petters mengatakan bahwa “perjanjian lama adalah buku misi”. 28
Tuhan sedang mengerjakan rencana yang disusun-Nya dalam kekekalan masa lalu dan
akan diwujudkannya dalam kekekalan masa depan. Allah adalah poemberita kabar baik
yang pertama kepada manusia yang telah jatuh kedalam dosa. 29 Seluruh rencana-Nya
terpusat pada rencana pemulihan ciptaan-Nya yang istimewa yaitu manusia yang telah
hancur karena dosa, dimana pemulihan manusia ini akan menghasilkan pemulihan
seluruh ciptaan.
Karya penyelamatan Allah dalam Perjanjian Lama di lakukan dengan
membangkitkan pribadi – pribadi yang meresponi karya Tuhan dengan bergaul dengan
Tuhan seperti Enos yang memanggil nama Tuhan, Henokh yang bergaul karib dengan
Tuhan, Nuh yang menaati Tuhan untuk membangun bahtera dan puncaknya pada saat
Tuhan memanggil Abram untuk pergi dari sanak keluarganya dan mengubah nama
Abram menjadi Abraham. Abraham sangat memahami apa yang terkandung dalam
panggilannya yang dibuktikan dengan ketaatanta pada perintah Allah. 30 Janji Tuhan
kepada Abraham Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: “ Pergilah dari negerimu dan
dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan
kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati
engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan

28 David R. Brougham, Merencanakan Misi Lewat Gereja – Gereja Asia, (Malang: Gandum Mas,
2001), 13
29 M. David Sills, Panggilan Misi,( Surabaya: Momentum, 2011), 45
30 Nely P. Tuhumury Dalam, Utuslah Aku, Ed: Daniel Ronda, (Bandung,Kalam Hidup,2012), 117
26

memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang


mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat (Kej
12:1-3). Menurut J. Soot janji Allah pada Abraham dapat di bagi dalam tiga bagian 31
yaitu:
• Negeri: yang akan ditunjukkan
Sebuah janji akan adanya daerah kekuasaan Abraham dan akan di
wariskan kepada keturunannya. Menmberikan penegasan bahwa melalui
Abraham Tuhan mau menghimpunkan bangsa - bangsa dalam satu daerah
kekuasaan Allah melelui Abraham.
• Keturunan: menjadi bangsa yang besar
Allah memberkati Abraham dengan keturunan yang akan menjadi
bangsa yang besar dengan tujuan mempengaruhi bangsa lain agar menyembah
Allah Abraham.
• Berkat: melimpah sampai ke semua bangsa
Abraham di berkati dengan sangat melimpah oleh Tuhan dengan maksud
memperkenalkan diri-Nya pada bangsa – bangsa agar menyembah dan percaya
pada Tuhan Allah yang di sembah dan di layani oleh Abraham. Tuhan tidak
memanggil Abraham untuk kepentingan Abraham sendiri, melainkan pandangan
kedepan, yakni demi umat mausia. Tuhan ingin memberi berkat dan
keselamatan kepada semua ras dan bangsa melalui satu orang, dari benih dan
keturunannya. Jadi, janji-janji Allah kepada Abraham memunyai tujuan umum.
Anak Abraham -- Isak, mewarisi janji ini, kemudian Yakub – Kejadian 26:4;
28:14, lalu Yehuda – Kejadian 49:10. Warisan untuk memberkati bangsa –
bangsa bergerak melalui keturunan Abraham.
Setelah memilih Abraham Allah meneruskannya dengan membangkitkan suatu
bangsa yang istimewa. Karena ketaan Abraham maka keturunannya mewarisi panggilan
yang di percayakan Tuhan pada Abraham. Melalui keturunan Abraham semua kaum di
muka bumi hanya akan diberkati firman Tuhan mengatakan: “Aku bersumpah demi
diri-Ku sendiri – demikianlahfirman TUHAN –: Karena engkau telah berbuatdemikian,
dan engkau tidak segan-segan untukmenyerahkan anakmu yang tunggal kepada-
Ku,maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu

31 John R. W. Stott, Christian Mission In The Modern World, (Downer Grove: Inter-Varsity
Press, 1975), 14
27

sangat banyakseperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut,dan keturunanmu itu
akan menduduki kota-kota musuhnya. Oleh keturunanmulah semua bangsa dibumi akan
mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku.” (Kejadian 22:16-18).
Panggilan Misi Israel terdapat dalam tiga teks dasar dalam Perjanjian Lama
(Kejadian 12:1-3, Keluaran 19:4-6, Mazmur 67) yang menunjukkan tanggung jawab
Israel untuk memberitakan pesan Tuhan kepada bangsa-bangsa lain. Dalam keluaran 19
bangsa Israel mendapatkan tugas dari Allah untuk berfungsi bagi kepentingan Kerajaan
Allah sebagai perantara (mediator) kepada bangsa-bangsa. menjalankan dua hubungan:
satu sisi kepada Allah, sisi yang lain kepada bangsa-bangsa. Mereka menjadi umat yang
dikhususkan/dipisahkan bagi semua bangsa. Kitab Keluaran kita mempelajari
bagaimana Tuhan mengangkat bangsa Israel, serta mengingatkan bahwa merekalah
pewaris-pewaris Abraham dan sekaligus pewaris janji Tuhan Melalui mereka, Tuhan
akan memberkati bangsa-bangsa. Melalui mereka, Dia akan menyampaikan rencana
keselamatan-Nya sampai kepada suku bangsa di tempat yang paling terpencil sekalipun!
Israel akan menjadi sebuah kerajaan imam dan bangsa yang kudus Dr George Peters
mengingatkan bahwa Tuhan tidak saja memanggil bangsa Israel untuk menjadi umat-
Nya, tetapi juga untuk menjadi hamba-Nya. 32 Sebagai bangsa pilihan Allah bangsa
Israel di anugrahi hak – hak istimewa dan juga pada saat yang sama di berikan
tanggungjawab untuk menjadi teladan di antara bangsa – bangsa agar bangsa – bangsa
takut pada Allah Israel. Bangsa Israel harus memancarkan kemuliaan Tuhan di antara
bangsa-bangsa, dan meski masih hidup di tengah bangsa-bangsa di dunia, bangsa Israel
harus mengasingkan diri dalam hal mematuhi hukum-hukum Tuhan dengan sempurna.
Tujuan akhir Tuhan adalah agar bangsa-bangsa memuliakan Dia karena keselamatan
dan berkat-Nya (Mazmur 67:3-4,7-8) dan supremasi ke-raja-an-Nya (Mazmur 67:4).
Allah memilih bangsa yang kecil dan lemah seperti Israel untuk menunjukkan
kepada bangsa – bangsa kekuasaan Allah bangsa Israel yang pada akhirnya semua
bangsa akan menyembah Allah Israel dan menerima keselamatan dari pada-Nya. Dr.
George Peters menerangkan hal ini. Perjanjian Lama menjunjung tinggi metode
sentripetal, yang bisa diumpamakan sebagai sebuah magnet suci yang memunyai daya
tarik ke arah dirinya sendiri.33 Dengan menjalani sebuah kehidupan di hadirat Tuhan
yang disertai rasa takut kepada-Nya, Israel mengalami berkat Tuhan. Dengan cara ini

32 David R. Brougham, Merencanakan Misi Lewat Gereja – Gereja Asia, (Malang, Gandum Mas,
2001 ), 15
33 Ibid
28

bangsa Israel menjadi berkat untuk menjangkau bangsa – bangsa bagi Allah sehingga
mereka tertarik kepada-Nya. Tuhan telah membentuk bangsa Israel untuk diri-Nya
sendiri, untuk memberitakan kemasyhuran-Nya kepada bangsa-bangsa.

1. Rencana Keselamatan Allah dimaksudkan bagi seluruh umat manusia.


Karena Allah yang menciptakan segala sesuatu (Kej.1-2), Dia juga mengatakan
diri sebagai pencipta manusia (Kej. 1:27, 2:7). Itu sebabnya tidak ada Allah lain yang
sanggup menyelamatkan manusia (Ul. 4:39; Yes. 44:6; 45:21). Dia juga menuntun
sebagai penguasa mutlak seluruh umat manusia, Roma 3:29 “Atau adakah Allah hanya
Allah orang Yahudi saja? Bukankah ia juga adalah Allah bangsa-bangsa lain!” Dialah
Allah bagi semua manusia. Itu sebabnya Dia melarang manusia menyebah ilah-ilah lain.

Allah cemburu terhadap patung dewa yang disembah oleh manusia, karena Dia
yang layak dipuji dan tidak bersedia memberi kemuliaanNya kepada mereka. Ilah-ilah
yang lain bukan allah yang benar melainkan kekejian bagi Allah, sebab bukan Allah
yang benar.

Allah menghendaki keselamatan seluruh umat manusia karena :

1. Seluruh umat manusia menjadi milik Allah sebagai ciptaanNya.

2. Seluruh umat manusia adalah puncak ciptaan Allah yang unik dan
istimewa.
3. Seluruh umat manusia adalah Adam yang terpisah dari Allah dan perlu
diselamatkan.
4. Seluruh umat manusia memperoleh janji keselamatan dari Allah.

2. Proto-Injil (Kej.3:15)
Seperti sudah dijelaskan di atas Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa dan
mereka kehilangan persekutuan dengan Allah. Dumbrell (hal 20) menekankan bahwa
Adam sukarela mengambilkeputusan untuk berdosa. Dia tidak menaati perintah Tuhan
dan makan dari buah yang terlarang. “By eating of the fruit man was intruding into an
area reserved for God alone, and the violation of the command is tantamount to an
assertion of equlity to God, a snatching at deity. (Acountrepart of Adam’s action is
clearly the attitude of Jesus referred to I Philippians 2:6).”(band Dunbrell, 1997:38f).
29

Sesudah makan dari buah tersebut, manusia dari satu segi seperti Allah, tetapi dari segi
yang lain tidak, oleh karena “he would constantly be uncertain of the nature of the
issuses before which he was placed. He would never be able to foresee the
consequences of the choices which he would make. Putting himself into a position of
moral defiance to his Creator, he plunged himself into a life of tension and absolute
moral uncertainty. (Dumbrell: 1997: 39). Oleh karena seluruh umat manusia
berhubungan dengan Adam (Rom. 5:12-21; I Kor. 15:22a “Karena sama seperti semua
orang mati dalam persekutuan dengan Adam, berarti seluruh umat manusia di bawah
kutuk dosa dan perlu diselamatkan.”) Baru saja manusia berdosa (Kej.3:1-14), Tuhan
sudah mempersiapkan jalan keluar atau keselamatan (Kej.3:15).

Proto Injil : “ Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan


perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya; keturunannya akan
meremukkan kepalamu, dan engkau akan meremukkan tumitnya.”
Menurut Peters, ada 6 hal yang penting :

a. Keselamatan adalah prakarsa Allah, bukan manusia. Keselamatan


berasal dari Allah. Tidak satu orangpun yang bisa menyelamatkan
diri sendiri.
b. Keselamatan akan menghancurkan iblis. Tidak ada Dualisme.

c. Keselamatan bersifat universal bagi semua manusia (Kej.1:15),


‘keturunan’ termasuk semua bangsa, tetapi tidak berarti, bahwa tiap-
tiap pribadi langsung diselamatkan. Keselamatan tersedia bagi semua,
tetapi harus diterima secara individu. Tanpa pertobatan secara pribadi
tidak ada keselamatan.
d. Keselamatan hanya bisa lewat keturunan perempuan ini. Dengan kata
lain penebus yang dijanjikan Allah adalah manusia sungguh-sungguh
keturunan perempuan. Bandingkan Yesus Kristus yang sungguh-
sungguh menjadi manusia, lahir dari anak dara = perempuan.
e. Tidak ada keselamatan tanpa penderitaan si penebus ini. (Kej. 3:15b
“engkau akan meremukkan tumitnya (lih.Yes.53).
f. Keselamatan adalah suatu peristiwa yang historis yang sungguh-
sungguh terjadi.
30

3. Janji Allah dengan Nuh


Walaupun Allah terus-menerus mencoba untuk bersekutu dengan manusia,
manusia tidak mau mendengar dan taat. Itu sebabnya Allah ingin menghapuskan
manusia yang diciptakan Allah, tetapi Nuh mendapat kasih karunia di mata Allah
(Kej.6:1-8) dan dia tidak dimusnahkan lewat air bah. Kemudian sesudah air bah, Allah
mengucapkan janji keselamatan kepada segala makluk yang hidup bukan hanya kepada
Nuh sekeluarga saja. Allah menjanjikan berkat jasmani, Dia tidak akan mengirimkan
air bah lagi dan akan melindungi seluruh makhluk. Tetapi manusia tidak taat dan tidak
memuliakan Allah.

4. Allah memperhatikan semua bangsa (Kej.1-11).


Kejadian 1-11 merupakan prasejarah (sejarah sebelum sejarah Allah dengan
bangsa Israel secara khusus). Allah sebagai pencipta mencoba bersekutu dengan semua
bangsa, tetapi mereka tidak mau mentaati Allah dan memilih dosa :

Kejadian 3 Manusia jatuh ke dalam dosa (masuknya dosa).


Kejadian 4 Kain membunuh Habel (evolusi dosa).
Kejadian 6-7 Kejahatan manusia yang bermoral-rendah berzinah berkembang
terus menerus (hukuman Allah bagi dosa).
Kejadian 11 Manusia merencanakan Menara Babel (puncak dosa).

Cara Allah sebagai pencipta memperhatikan bangsa-bangsa ialah :

a. Allah memandang semua bangsa sederajat, karena nenek moyang segala bangsa
terdaftar di Kej.10. Paulus di PB (Kis.17:26-27) mengatakan bahwa Allah
menjadikan semua bangsa dari satu orang, menentukan musim-musim dan batas-
batas untuk mereka dengan tujuan agar mereka mencari Dia dan semua bangsa
berpencar dari keturunan Nuh setelah air bah (Kej. 10:32).
b. Allah berjanji memelihara segala makhluk, karena :

1. Allah mengawasi bangsa-bangsa (Maz.66:7)

2. Tuhan berjanji tidak akan memusnahkan bumi lagi dengan air bah (Kej.9:10-
11)
31

3. Allah memperhatikan pekerjaan semua anak manusia (Maz.33:13-15).

4. Allah memerintah dan menuntun bangsa-bangsa (Maz.67:5)

5. Allah berjanji musim tetap teratur selama bumi masih ada (Kej.8:22)

c. Allah menghakimi semua bangsa tanpa perkecualian : Karena semua bangsa-


bangsa tidak mentaati perintah-perintah Allah dan melanggar peraturan, maka
Allah menghukum mereka (Maz.9:9). Dialah yang menghakimi dunia dengan
keadilan dan mengadili bangsa-bangsa dengan kebenaran (Yes.13:23).
d. Allah memakai bangsa-bangsa sebagai alat pelaksana kehendakNya. Dia
memangggil Nebukadnesar (Yer.25:9) atau Koresy (Yes.44:28) dan Asyur
(Yes.10:5) untuk menghukum bangsa Israel.
e. Allah menyalurkan anugerahNya kepada bangsa-bangsa. Semua bangsa diajak
menyembah Tuhan (Mal.1:11). Seluruh bumi sempat menyaksikan perbuatan-
perbuatan Tuhan yang ajaib di tengah-tengah bangsa Israel dan namaNya
disembah di antara bangsa-bangsa (Maz.117:1).
f. Allah memberi tempat bagi bangsa-bangsa lain di dalam silsilah Tuhan Yesus.
Ada 4 orang yang berkebangsaan non Yahudi di dalam silsilah Tuhan Yesus
(Tamar, Rahab, Rut dan Betsyeba, bdk. Mat.1:3-6).

5. Janji Allah kepada Abraham


Sesudah menara di Babel, Allah mengubah strategiNya untuk menyelamatkan
umat manusia. Di dalam Kej.1-11, Dia memfokuskan kepada semua bangsa, tetapi pada
Kej.12:1-3, Dia memilih Abraham sebagai alat untuk menyelamatkan seluruh umat
Allah. Tujuan Allah tetap universal (semua bangsa) tetapi strategiNya partikular (lewat
Abraham dan bangsa Israel) (Kej.12:1-3). Dengan Abraham mulai satu tahap baru
dalam sejarah Allah dengan umat manusia. Itu sebabnya Allah Israel selalu dipanggil
Allah Abraham, Isaak dan Yakub, tetapi tidak pernah Allah Musa. “While Moses may
be brought into direct contact with the law, it is always Abraham who bears the
promises which control the national or the future of Israel (band. As.M.Segal: 1967,
125.

Dengan pemilihan Abraham Allah tetap mempertahankan rencana untuk


memberkati seluruh umat manusia walaupun mereka sudah jauh dari Allah.
32

Drumbrell(1997: 59) katakan dengan benar: “Yet the destribution of general blessing
continues, and this is seen in the table of nations (Gen. 10), with which the family of
Shem is prominently connected. But though chapter 10 is the evidence of the spread of
the human race, and thus a manifestation of blessings in terms of 9:11ff, it represents
also the consequences of the sin of Gen. 11:1-9. The logical order of these two chapters
(10 dan 11) has been reversed.” Allah tetap memberkati umat manusia, tetapi lewat
memilih Abraham sebagai alat-Nya. Allah berjanji bahwa Abraham akan menjadi satu
bangsa besar. Pertama-tama yang dimaksudkan dengan bangsa adalah Israel, sebagai
satu negeri yang besar dan kuat, teapi ini belum cukup. Kata Ibrani yang dipakai di sini
adalah goy bukam ‘am yang biasanya dipakai untuk bangsa Israel. Itu sebabnya kita
bisa menarika kesimpulan bahwa dari panggilan Abraham satu bangsa besar yang
meliputi seluruh dunia dimaksudkan. Dengan demikian negara Israel merupakan hanya
bayangan tentang apa yang masih harus dinantikan untuk seluruh dunia.

Allah memberkati Abraham, sehingga dia pun bisa menjadi saluran berkat untuk
yang lain dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau. Kutuk (Ibr. ‘arar) 5 kali di
kitab Kejadian dipakai. Kutuk berarti (band. Drumbell: 71: loss of freedom (3:14),
alienation from the soil (3:17), estragement from society (4:11) and shameful
degradation (9:25) Kej. 17 paling penting untuk mengerti panggilan Abraham.
Pertama-tama Allah menyatakan diri sebagai El Shaddai, God Almighty, Allah
Mahatinggi. Di sini Abraham minta untuk hidup di hadapan-Nya. Di situ nama
Abraham yang sebelum Abram diganti dengan Abraham dengan pengertian: (Drumbell
73, footnote 34) “It is often suggested that the fuller Abraham is simply a variant of the
shorter name. But N.M. Sarna, ‘Abraham’, The Encyclopedia Judaica, Vol. ii,
(Jerusalem: Keter, 1972), p. 112 notes that ‘father of multitudes’ is certainly a possible
meaning of the new name.” Dalam Kej. 17 Allah menkonfirmasikan lagi apa yang
sudah terjadi di Kej. 12 dan 15. Berkat yang luar biasa untuk seluruh dunia disiapkan
lewat Abraham, oleh karena seluruh dunia sudah di bawah kutuk sejak Kej. 3.

Menurut Peters ada 3 hal penting dalam pemilihan Abraham (Kej.12:1-3) :

a. Lewat pemilihan Abraham bangsa Israel lahir. Allah membatasi diri dan memilih
Abraham dan keturunannya yaitu bangsa Israel sebagai saluran berkatNya.
33

b. Lewat pemilihan Abraham Allah menjadi Bapa Israel. Semua bangsa harus
datang kepada Israel dan melalui Israel mereka dapat mengenal Allah.
c. Dengan pemilihan Abraham moral dan pengetahuan tentang Allah lebih jelas.
Kej.17:1 Manusia harus saleh dan tidak boleh bercela.

6. Janji Allah kepada Musa.


Di gunung Sinai Allah menyatakan diri lagi kepada bangsa Israel, supaya
mereka dapat dipakai sebagai saluran berkat bagi semua bangsa. Allah
memperkenalkan Diri sebagai Yahwa Kel. 19:3 “In giving his name, the deity was
considered to be giving himself, for a causal connection was recognized as existing
between the name which the deity bore and the nature which stood behind the name.”
(Drumbell: 82). Justru dalam susanna yang negeri, dengan kabut, gunung dan api, di
mana Isarel sangat membutuhkan angruh, Allah memwakyukan diri sebagi Allah, yang
ada dan yang berada bagi bangsa-Nya. “I am who I am’ (or ‘I will be who I will be) as
Qal, or ‘I create (i.e. cause to be) what I create’ (or “I will bring into being what I will
bring into being’) as Hiphil. (Drumbell 85). Allah adalah allah yang membawa mereka
ke luar dari Mesir, Allah adalah allah leluhur, termasuk Abraham.

Israel menjadi bangsa kesayangan Allah (Kel.19:5-6 “kamu akan menjadi


bagiKu kerajaan imam dan bangsa yang kudus”). Di sini Israel dipanggil ke luar dari
lingkungan, ke luar dari umat manusia (ammin, ke luar dari bangsa-bangsa) untuk
sikilttu berasal dari bahasa Akad dengan pengeritan bahasa Ibrani “owned personally,
or what has been carefully put aside for personal use.” (Drumbell 85). Israel dijadikan
kerajaan imam, mamleket-kohanim, kingdom of priests. Oleh karena biasanya kata
kedua menjelaskan kata pertama, bisa diterjemahkan sesuai dengan Drumbell:86) “be ‘a
kingdom, namely priests’ i.e. the exercise of royal office by those who are in fact
priests.” Israel ditugaskan untuk hidup kudus, bangsa yang kudus satu parallelisme.
Sifat kudus itu di dalam PL selalu dikaitkan dengan Allah sendiri. Itu sebabnya Irael
memiliki hubungan yang khusus dengan Yahwe.

Bagaimana Israel harus hidup ini dijelaskan dalam Hukum Taurat atau Torah.
Dengan demikian Israel mengetahui bagaimana Israel harus hidup untuk tidak lagi jatuh
ke luar dari persekutuan dengan Allah. Berit/perjanjian ini diratifikasikan dengan darah
34

Kel. 24. Sebagai hamba Allah, Israel ditugaskan Allah agar bangsa-bangsa mengenal
Allah dan tertarik untuk mengabdi kepadaNya. Karena itu Israel harus menjadi :

1. Teladan (Ul.28:9-10)

2. Hamba Allah (Yes.49:3)

3. Saksi Allah (Yes.55:4)

4. Imam (kel.19:6)

5. Nabi (Yes.51:4)

Janji ini diingatkan kepada: a) Daud (II Sam.7); b) Pinehas (Bil.25:11); dan c)
Lewi (Mal.2:4). Diperbaharui dengan: a) Yosua (Yos.24); b) Yosia (II raja. 22:23); dan
c) Ezra (Neh.8-10). Di dalam perjanjian dengan Musa Isarael diadopsi oleh Allah. Kel.
4:22 ”Israel ini anakKu” yang ditebus Kel. 15:13. Allah menjadi goel, redeemer untuk
Israel dan menyelamat mereka dari kuasa bangsa lain dan dari kuasa dosa lewat Anak-
Nya Tuhan Yesus Kristus sendiri. Israel menjadi a “new Creation” Israel akan diberi
tanah, di mana mereka boleh menikmati persekutuan dengan Tuhan seperti dulu Adam
dan Hawa di Eden (Kel. 15). Kel. 15:17 di tanah yang dijanjikan Allah berjanji ingin
tinggal bersama-sama dengan bangsa-Nya. Banyak sarjana memanggil ini “restoration
of the Eden conditions”. Dengan demikian bisa dikatakan bangsa Israel dibawa keluar
dari Mesir untuk menjadi suatu bangsa yang kudus, yang dikhususkan bagi Allah untuk
menjadi satu berkat bagi bangsabangsa.

7. Janji Allah kepada Daud.


Daud sangat penting dalam sejarah bangsa Israel, karena dia menyatukan
kerajaan Israel dan Yehuda. Dia membangun Yerusalem, sehingga kota ini menjadi
pusat ibadat kepada Allah, walaupun bait Allah belum dibangun. Daud sudah
merencanakan dan mempersiapkan pembangunan bait suci sebagai pusat ibadat. Puncak
kehidupannya adalah berit/perjanjian yang dibuat Allah dengan dia di dalam 2 Sam. 7.
Daud mengetahui bahwa dia sangat bergantung pada Allah. Raja Daud mengakui bahwa
kerajaanya tidak bertahan jika Allah tidak menjadi raja di Israel dan menentukan segala
sesuatu. Allah sudah memberi keamanan kepada hambanya 2 Sam 7:1. Sesuai dengan
Ul. 12:10 ini merupakan berkat yang terbesar dari Allah: keamanan terhadap musuhnya.
Itu sebabnya Daud ingin membangun rumah bagi Allah, tetapi Allah tidak setuju (2
35

Sam7:5) oleh karena: “The building of a temple would mark a major theological change
for which Israel must gradually be prepared; kingship must become more firmly
entrenched and its benefits seen, and prophetic opposition be overborne.” (Drumbell,
147) Itu sebabnya baru Salomo diijinkan untuk membangun bait suci oleh karena Israel
sudah memiliki tanah yang aman dan keluarga Daud menjadi keluarga rajani. Itu
sebabnya ada berit Allah di dalam ayat 13-15 dengan puncak ayat 15, bahwa “kasih
setiaKu tidak akan hilang” Kasih setia (hesed). Tuhan terus-menerus memperhatikan
Daud dan akan berdiam di tengah bangsa Israel dengan kepastian berkat Tuhan terus-
menerus mengalir dari Tuhan kepada Israel, sehingga tanah Kanaan dengan Israel dan
kediaman Allah menjadi seperti Eden kedua. “The absolute character of the promise to
David and thus the eternal covenant with David was found not to be inconsistent with
the rejection of particular individuals within the line. 2 Sam. 7:18-29, with its notion to
the Davidic covenant as ‘humanity’s charter’, provided for the future of the race under
the leadership of the Davidic house and thus forshadowed the fulfillment of the
Abrahamic promises.” (Drumbell. 163).

8. Para Nabi dan Misi


Seorang nabi berbicara atas dorongan Allah dan menyampaikan kabar dari
Allah. Mereka selalu mengingatkan bangsa Israel untuk mentaati perintah-perintah
Allah supaya dapat dipakai sebagai saluran berkat Allah bagi bangsa-bangsa.
Pengharapan akan Mesias yang menyelamatkan seluruh umat manusia menonjol di
dalam pemberitaan mereka.

Visi Misi Para Nabi :


Zefanya; Walaupun terfokus kepada kerajaan Allah, dia mengetahui daerah
pesisir (2:11) dan murka Allah terhadap seluruh bumi (3:8).

Habakuk yang mempunyai 3 prinsip :

a. Pembenaran melalui (2:4)

b. Pengetahuan seluruh bumi tentang kemuliaan Allah (2:14)

c. Ibadat semua bangsa kepda Allah (2:20)

Joel; Semua bangsa akan mengenal Tuhan (3:9-12)


36

Amos; Menyebutkan dosa bangsa-bangsa. Pembangunan Israel adalah


pengharapan bagi bangsa-bangsa.

Hosea; Kurang universal, karena dia memfokuskan kepada Israel dan Yehuda.

Mikha; Tekanannya kepada Mesias (4:1-5; 5:1-8).

Yesaya; Adalah ‘penginjilan’PL bagi seluruh dunia. Dia menjelekkan berhala-


berhala (pasal 10 dan 13-23) dan memperkenalkan hamba Allah (pasal 40-53). Mesias
akan menderita (Yes.53) dan melalui penderitaanNya ini, bangsa-bangsa diselamatkan.
Hamba Allah atau Mesias diutus :

a. Atas kehendak Allah (43:21)

b. Untuk mengarahkan semua kepada Allah yang universal (Yes.44:6).

c. Bagi semua bangsa (Yes.40:5; 42:1-6)

Nabi Yeremia, Yehezkiel, Daniel, Hagai dan Meleakhi menguatkan kabar Yesaya
mengenai hamba Allah. Misalnya: Yes. 66:18-24 berbicara tentang kemulian Allah
yang dilihat semua orang, termasuk orang kafir (ayat 18-19). Allah sendiri akan
mewahyukan kemuliaan-Nya, tetapi Dia tetap memakai bangsa Israel sebagai alat-Nya
dalam proses ini. Dalam gerakan ini bangsa-bangsa ynag belum mengenal kemulianNya
mendapat prioritas. Ayat 20 mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang bisa
menghalangi Allah. Juga ada orang non Lewi yang menjadi hamba Tuhan dan yang
dipakai oleh Allah. Walaupun banyak penderita umat Allah tidak akan dimusnahkan
(ayat 22). Semua bangsa memuji Allah (ayat 23). Tanpa misi sedunia tidak ada harapan
untuk umat manusia dan barang siapa tidak memuji Yahwe, dikena oleh murka-Nya.
Leopold di dalam Mueller: 2000: 95 katakan bahwa kitab Yesaya menutup dengan:
“Peace eternal and death eternal!”.

Secara khusus nabi Yeremia, Yesaya dan Yehzkiel menekankan bahwa Allah
tidak pernah melupakan perjanjianNya dengan bangsa Israel, walaupun mereka sudah
kehilangan tanah mereka oleh karena harus tinggal di pengasingan di Babel berkat dosa
mereka. Yeremia (secara khusus pasal 30 –31) ingin menyiapkan Israel bagi transisi «
from Israel as a nation to Israel as a theological ideal » Yehzkiel dan Yesaya dalam
37

pasal 44-66 ingin menjelaskan bahwa ini berarti Israel tidak terfokus lagi kepada Israel
secara daging melainkan ini mengakitkan suatu globalisasi di mana semua bangsa
terlibat dan diberkati.

Menurut Yer. 31 :31-34 ada « elements of continuity and discontinuity. The


‘new covenant appears to have in mind a fresh dispensation of the Sinai covenant, or
better a re-writing of the provisions of the Sinai covenant on the individual heart.”
(Drumbell 199). Hanya di sini di PL dosa diampuni dan tidak lagi diingat sama sekali.
Akhir zaman semua berubah. Perjanjian denga Musa di gunung Sinai sudah berlalu,
oleh karena sekarang manusia pun ingin memperhatikan perjanjiannya dengan Allah.
Yehezkiel katakan bahwa mereka sudah memiliki hati yang baru. Di Yesaya 40-55
keluaran yang baru membawa manusia untuk hidup dengan tenang. Drumbell
menyimbulkan (hal. 200): “The Abrahamic traditions are combined in Isa. 51:1-11 with
both the Sinai and the Creation covenant traditions. Covenant motifs are especially
associated with the figure of the servant who was a pledge that the ideal Israel would
continue with the welfare of the world finally in view. On the basis of the Servant’s
atoning sufferings fuller covenant materials were introduced in Isa. 54-55. Isa. 54
contained an amalgam incorporating materials from the Abrhamic, Noachian and Sinai
covenants, whereby those are presented as interrelated and as leading to the concept of
the New Covenant with which the chapter ends. Chapter 55 refers to democratization of
the leadership of Israel (under the imagery of the Davidic covenant) in the new age. The
chapter concluded with a brief survey which indicated that Isa. 56-66 consistently
presented naterial relating to the renewal of Israel and the resulting renewal of creation
in chapters which expanded the eschatological detail of chapters 40 – 55.

Kesimpulan Perjanjian Lama menyatakan bahwa rencana keselamatan Allah


dimaksudkan bagi seluruh umat manusia.

Misi Menurut Perjanjian Baru


Jika Perjanjian Lama Allah menyatakan rencana-Nya untuk menyelamatkan
dunia melalui kedatangan sang Juru Selamat, maka dalam Perjanjian Baru Allah
menggenapi nubuatan tersebut. Jika Perjanjian Lama bersifat sentripetal (dari luar ke
dalam/pusat/yerusalem), dalam pengertian bangsa-bangsa datang kepada Israel dan
mereka dapat mengenal serta menyembah Tuhan yang benar. Sedangkan misi dalam
38

Perjanjian Baru bersifat sentrifugal (dari pusat/yerusalem ke luar), yang berarti bahwa
dari gereja atau dari Israel kabar keselamatan akan disampaikan kepada semua suku-
suku bangsa.
Misi dalam Perjanjian Baru (PB) merupakan kelanjutan misi Allah dalam
Perjanjian Lama. Perjanjian Baru berada di atas segala sesuatu buku-buku misi.
Perjanjian Baru ditulis oleh para misionaris bagi gereja-gereja yang misioner dan
delapan belas berita misi mengungkapkan sebuah agama yang misioner bagi seluruh
dunia. “Dalam situasi yang nyata dan penting, Perjanjian Baru menunjukkkan bahwa
aspek – aspek penting dalam penginjilan yang efektif bukanlah peristiwa atau tehnik –
tehniknya, melainkan integritas dalam kerohanian dan gaya hidup.34

1. Perbandingan Misi dalam PL dan PB


Misi dalam Perjanjian Lama bersifat sentripetal (dari luar ke dalam) dalam
pengertian bangsa-bangsa datang kepada Israel dan mereka dapat mengenal dan
menyembah Tuhan yang benar sedangkan Misi dalam Perjanjian Baru bersifat
sentrifugal (dari pusat ke luar) yang berarti bahwa dari gereja atau dari Israel kabar
keselamatan akan disampaikan kepada semua suku-suku bangsa.

2. Yesus dan Misi


Dalam kehidupan Tuhan Yesus pada waktu Dia masih tinggal di dunia ini, kita
dapat melihat dua cara tersebut digunakan oleh Tuhan Yesus. Sewaktu-waktu Tuhan
seolah-olah hanya memikirkan Israel saja, tetapi dalam kesempatan yang lain Dia juga
memperhatikan orangorang kafir.

a. Tuhan memperhatikan Israel secara khusus


1. Dia datang sebagai “Raja orang Yahudi”

a. Atas petunjuk Allah, orang Majus dari Timur mencari “Raja orang
Yahudi yang telah dilahirkan” (Mat.2:2).
b. Pengakuan Natanael “Engkau Raja orang Yahudi”, diterima oleh
Tuhan Yesus.

34 Robert Banks Dan Paul Stevens, The Complete Book Of Everyday Christianity, (Banddung
Kalam Hidup 2012), 580
39

c. Yesus menerima dengan senang hati sambutan orang banyak sebagai


“Raja orang Yahudi” sewaktu ia naik keledai memasuki kota
Yerusalem (Yoh.12:13)
d. Prajurit-prajurit Romawi mengolok-olok Yesus sebagai “Raja orang
Yahudi” (Yoh.19:3)
e. Pilatus memasang sebuah papan “Yesus Raja orang Yahudi” di kayu
salib Tuhan Yesus tetapi para imam tidak setuju dengan tulisan itu
karena Yesus sendiri berkata “Aku adalah Raja orang Yahudi”.
2.Yesus berkata Dia diutus kepada umat Israel saja (Mat.15:24).

3. Pemilihan Israel tetap nyata dalam Perjanjian Baru, bangsa Israel disebut :

• Kebun Anggur (Mark.12:1-12)


• Kawanan domba (Yoh.10:6)
• Anak-anak Kerajaan (Yoh.8:12)
4. Bangsa-bangsa lain disebut sebagai bangsa kafir atau bangsa yang tidak
mengenal Allah (Mat.6:7; Luk. 12:30).
5. Yesus mengutus murid-muridNya hanya kepada bangsa Israel saja (Mat.
10:5-6).

b. Tuhan memperhatikan semua bangsa


Visi dan Misi Yesus juga tertuju kepada bangsa-bangsa lain di luar Israel.
Hal ini dapat dilihat melalui peristiwa-peristiwa yang dicatat oleh Kitab Suci
antara lain :

1. Kelahiran Yesus diberitahukan kepada orang Majus dari Timur, yaitu


orang-orang non Yahudi.
2. Simeon bernubuat bahwa Yesus ditetapkan sebagai sumber keselamatan
dan terang bagi segala bangsa (Luk. 2:31-32).
3. Yohanes Pembaptis menyatakan Yesus sebagai anak Domba Allah yang
menghapus dosa dunia (Yoh.1:29).
4. Yesus menyebut dirinya sebagai terang dunia (Yoh.8:12).
40

5. Yesus mempunyai rencana untuk menuntun “domba-domba lain yang


bukan dari kandang ini (Yahudi)” sehingga mereka menjadi “satu
kawanan” (Yoh.10:16).
6. Yesus menyembuhkan anak dari perempuan Kanaan yang percaya
(Mat.15:21-28).
7. Yesus menjelaskan bahwa orang dari segala bangsa akan masuk ke dalam
Kerajaan Allah (Luk.13:29).
8. Yesus menugaskan murid-muridNya untuk memberitakan Injil sampai ke
ujung-ujung bumi (Mat.28:18-20).

Dari beberapa contoh di atas, kita dapat melihat bahwa Tuhan Yesus
tidak hanya memperhatikan orang Yahudi saja melainkan Ia juga memperhatikan
orang-orang non Yahudi atau orang kafir.

3. Amanat Agung
Bagian Alkitab yang paling terkenal berhubungan dengan tugas misi adalah
Amanat Agung. Amanat Agung merupakan kerinduan dan isi hati Allah terhadap dunia
ini. Dalam Perjanjian Baru diuraikan tentang kepribadian Allah yang ingin
berkomunikasi dengan manusia. Melalui Roh Kudus, Allah menggerakkan murid-murid
untuk mengkomunikasikan Injil. Pada umumnya orang Kristen hanya mengenal satu
atau dua nats Alkitab yang memuat Amanat Agung, tetapi Alkitab sendiri menceritakan
ada 5 bentuk ucapan Amanat Agung :

* Matius : Mat.28:18-20 Allah mempunyai otoritas dalam misi


sampai akhir zaman.

* Markus : Mrk.16:15-18 Metode dan akibat misi sedunia.


* Lukas : Luk.24:46-49 Kristus adalah dasar misi.
* Yohanes : Yoh.20:11-23 Misi bersifat rohani.
* Kisah Rasul : Kis. 1:8

Amanat Agung berfokus kepada keselamatan dalam 2 hal :


1. Pemberitaan Injil.

2. Pemuridan.
41

Misi sedunia adalah kehendak Allah, oleh karena itu setiap orang Kristen harus
terlibat dalam pekerjaan yang mulia ini. Roh Kudus yang akan memampukan gerejaNya
untuk mentaati Amanat Agung.

a. anat Agung menurut Matius.


Menurut Matius Amanat Agung dimulai pada saat Allah mengutus
murid-murid untuk memberitakan Injil. Dialah Tuhan atas tuaian, ia dapat
membuka dan menutup pintu bagi pekerjaan misi, oleh karena itu murid-murid
tidak perlu takut atas kesulitan yang akan dihadapi, sebab mereka mempunyai
Allah yang Maha kuasa.

Tugas pengikut-pengikut Tuhan Yesus :


1. Menjadikan semua bangsa muridNya

2. Membaptis mereka

3. Mengajar mereka

Tujuan Amanat Agung dan penginjilan adalah pemuridan supaya


manusia menjadi serupa dengan Allah (II Kor.3:18) sehingga kita diubah
menjadi serupa dengan gambarNya, dalam kemuliaan yang semakin besar
(Yoh.3:2). Menjadi murid Kristus berarti mengidentifikasikan diri sendiri secara
total dengan Kristus dan memikul salibNya. Memikul salibNya berbeda dengan
memikul beban yang dalam kehidupan manusia seperti : sakit penyakit,
kesulitan, kecelakaan, dll.

Memikul salib :

1. Sukarela (Mat.16:24-28) setiap orang yang mau mengikut.

2. Terus-menerus/setiap hari (Mat.16:24).

3. Salib adalah satu bagian dari pemuridan tanpa salib tidak bisa
mengikut Yesus.
4. Memikul salib karena Kristus.

Seorang murid Kristus terus-menerus mengindentifikasikan diri sendiri


dengan Kristus dan bersedia mati bagi Tuhan. Tuhan Yesus ingin mempunyai
murid dari setiap suku bangsa (Mat.28:18-20). Manusia terus-menerus
42

bertumbuh dalam pemuridan, hal ini hanya bisa melalui persekutuan dan
pengajaran, supaya Kristus makin lama makin dikenal. Waktu Tuhan Yesus
menyampaikan perintah-Nya kepada kesebelas murid-Nya, Dia membuka
tembok yang ada di antara orang Yahudi dan orang kafir yang dulu tidak
bersedia bersekutu satu dengan yang lain. Dengan ungkapan ini Tuhan
menyiapkan beberapa orang Yahudi untuk menjadi pangkalan bagi misi sedunia
(band. Heldlung, 1991:188).

Bagi Karl Barth Amanat Agung menentukan sejarah “kekuasaan Tuhan


di gereja dan di dunia” (Barth, 1961:57). Pekabaran kuasa Tuhan yang universal
memiliki implikasi etnis, social, teologis, politis dan spiritual. Oleh karena
Tuhan Yesus memiliki otoritas universal, “mereka (ketujubelas murid)
menyembah-Nya” (Mt. 28:17). Walaupun Tuhan sudah sering sebelum
menunjukkan kuasa dan otoritas, itu selalu terjadi secara tersempunyi,
bandingkan misalnya Mt. 9:1-8 di mana Dia menyembuhkan seorang lumpuh.
Mujizat ini terjadi agar Mt. 9:6-7: “… kamu tahu, bahwa di dunia ini Anak
Manusia berkuasa mengampuni dosa” – lalu berkatalah Ia kepada orang lumpuh
itu: - “Bangunlah, angkatlah tempat tidurmu dan pulanglah ke rumahmu. Dan
orang itupun bangun lalu pulang.” Baru sesudah Tuhan Yesus bangkit,
kuasaan-Nya harus nyata untuk semua orang supaya seluruh dunia mengetahui,
bahwa Dia mati dan “menanggung dosa banyak orang” (Yes. 53:12). Sesudah Ia
naik ke surga, di sejarah manusia mulai satu era baru, yaitu era misi sedunia, di
mana Kabar Baik disampaikan kepada semua suku bangsa.

Bukit di Galilea
Menarik sekali bagi umat Kristen, bahwa Tuhan Yesus memberi perintah
terakhir ini di satu bukit. Bukit dan gunung main peran penting dalam sejarah
bangsa-bangsa di Timur Tengah Kuno. Menurut cerita dan mitos mereka,
sebuah gunung berakar di bumi tetapi puncaknya mencapai surga. Itu sebabnya
jika para dewa mereka menyampaikan berita penting, ini sering terjadi di sebuah
bukit atau gunung di mana “surga dan bumi” bisa bertemu (band. Donaldson,
1985:26, 61). Kebiasaan ini dipakai Tuhan Yesus untuk menjelaskan bahwa Ia
memiliki “segala kuasa di surga dan di bumi” (Mat. 28:18). “Jesus echoes
cosmic mountain imagery which links heaven and earth when he declares from a
43

mountain in Galilee that he has all authority ‘in heaven and earth.’ (ebd.35 )
Kebiasaan ini dipakai Tuhan Yesus untuk menjelaskan bahwa Ia memiliki
“segala kuasa di surga dan di bumi” (Mat. 28:18). “The common feature of the
mountain episodes in Matthew is the Sonship of Christ. For instance, the
enthronement of the Son in the transfiguration mountain scene in which God
says, ‘This is my Son …’ (Mattthew 17:5), is echoed in Jesus words of Matthew
28:18. The mountain tradition of the anointing of the king comes to a head when
Jesus announces his kingship, declaring, ‘All authority in heaven and on earth
has been given to me’ in Matthew 28:18” (Donaldson 1985:156)

Bangsa Israel juga mengetahui gunung yang penting bagi mereka dalam
hubungan dengan Yahwe, Allah mereka. Di Gunung Sinai Allah membuat satu
perjanjian dengan mereka dan memilih mereka untuk menjadi bangsa-Nya agar
lewat mereka dunia mengetahui bahwa Allah mengasihi dan mencari seluruh
dunia yang Ia sudah ciptakan. Tradisi ini diteruskan dengan bukit Zion yang
akhir zaman menjadi pusat penyembahan bagi seluruh dunia (band. Zak. pasal
14). Bukit Zion menurut tradisi Perjanjian Lama adalah lokasi di mana Allah
bertakhta dan ingin berdiam di tenggah-tenggah umat manusia bukan hanya
untuk bangsa Israel melainkan bagi seluruh dunia (band. Mz. 2:8; 110:6 dan
43:3). Di situ tempat di mana ciptaan-Nya menikmati kehadiran Allah dan
persekutuan dengan Dia sesuai dengan perjanjian-Nya (Mz. 102:21f).
Kesalamatan mengalir dan datang dari Zion (Mz. 14:7). “Thus by making
explicit the mountain settting of this text, Matthew has shown that the hopes of
Zion have been transferred to Christ and fulfilled through him. Zon eschatology
takes on a christological meaning” (Herting, 2001: 343)

Di bukit di Galilea Tuhan Yesus menunjukkan bahwa Dialah Putra Allah


yang berkuasa dan dikasihi Allah. Di situ Tuhan menjadi raja dan kuasa-Nya
kelak nyata bagi semua orang. “Kepada-Ku telah diberikan segala kuasa di sorga
dan di bumi” (Mat. 28:19). Dengan demikian pengharapan yang dikaitkan
dengan bukit Zion dialihkan kepada Tuhan Yesus Kristus. Dia merupakan
pengenapan dari janji-janji yang sudah diberikan kepada Israel. Kali ini bukit
Zion tidak diganti dengan satu bukit seperti pengharapan yang dikaitkan dengan
gunung Sinai dikembangkan dan dialihkan ke bukit Zion. Di sini sebuah bukit
44

diganti dengan seorang, yaitu dengan Tuhan Yesus. Itu sebabnya nama bukit di
Galilea juga tidak diberitahukan Matius kepada kita, agar focus utama hanya
pada si pemilik kuasa di sorga dan di bumi yaitu pada Tuhan Yesus Kristus.

Matius 28:17: Penyembahan dan Keraguan


Pelayanan Tuhan Yesus di bumi ini selalu disertai oleh penyembahan
dan keraguan. Selalu ada orang yang percaya kepada-Nya sebagai Putra Allah
dan meyembah kepada-Nya, tetapi selalu ada orang yang meragu-ragukan Dia
dan mengangkap Dia sebagai manusia, sebagai anak Yusuf orang Nazaret saja,
bandingkan Mt. 16:13-20 di mana Petrus mengakui bahwa Tuhan Yesus adalah
Mesias, tetapi orang lain berpikir dia Yohanes Pembaptis, Elia atau salah satu
nabi lain). Sampai saat terakhir di bukit di Galilea ini masih ada orang yang sulit
percaya penuh kepada-Nya. Para murid merupakan orang yang belum siap untuk
diberi tugas memberitakan Injil.

Itu sebabnya kita bisa terhibur lewat contoh mereka. Tuhan tidak
mencari orang yang sudah sempurna yang sudah mencapai satu tingkat
kerohanian atau kesalehan yang tinggi, sebelum mereka bisa dilibatkan dalam
misi sedunia. Tuhan mencari orang yang biasa-biasa saja seperti murid-murid di
bukit ini, yang sudah mulai percaya sedikit dan yang bisa diperlengkapi untuk
bersaksi. Bandingkan Mt. 4:19 di mana Tuhan memanggil orang dari pelbagi
latar belakang untuk menjadi penyala manusia.

Berarti sukses misi sedunia tidak bergantung pada kehebatan murid-


murid-Nya atau gereja, melainkan tetap bergantung pada Kristus yang memiliki
“segala kuasa”. Barth (1961:60) katakan bahwa manusia yang tidak bisa
mengandalkan kekuatan dan kehendak diri sendiri dapat dipakai oleh Allah
untuk tugas terakhir ini. Oleh karena pengerak dan motivator utama dan terakhir
adalah Tuhan Yesus Kristus sendiri. Dia merupakan jaminan bahwa Amanat
Agung bisa terselesaikan pada waktu yang ditentukan oleh Allah sendiri.

Matius 28:18: Kuasa


Tuhan Yesus menjunkkan kepada murid-murid-Nya bahwa dengan
kebangkitan Dia sudah mulai bertakhta sebagai raja yang kuat dan berkuasa. Itu
45

sebabnya Dia katakan: “Segala kuasa di sorga dan di bumi diberi kepada-Ku”.
Sebenarnya kata kerja diberi bisa diterjemahkan dengan “telah diberi” (Dalam
bahasa Yunani edothe dalam Aorist ingressive dipakai.) Jika kita menerima
terjemahan ini, kita diingatkan kepada Daniel 7:13f “di mana anak manusia
diberikan kekuasaan sebagai raja, dan orang-orang dari segala bangsa, suku
bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya (band. Jeremias, 1971:310).

Kata kuasa dalam Alkitab bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari


kata eksousia bahasa Yunani dengan pengertian “hak, otoritas atau kuasa”. Jika
Tuhan memproklamasikan diri Sendiri sebagai otoritas mutlak, Dialah yang
melatar belakani amanat dari Mt. 28:19. Pertanyaan mengenai otoritas atau
wibawa Tuhan Yesus sering diangkat dalam Injil Matius. Apakah itu raja
Herodes, kaum Farisi atau orang lain yang mempertanyakan Tuhan Yesus.
Selalu jelas sekali bahwa Tuhan berkuasa dan mampu seperti diungkap oleh
Rasul Paulus dalam surat Filipi 2:9-11: “Allah sangat meninggikan Dia dan
mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama
Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan
yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: ‘Yesus Kristus adalah
Tuhan’ bagi kemuliaan Allah Bapa.

Kuasa seperti ini diberikan oleh Tuhan kepada para murid baik waktu di
bukit di Galilea maupun sebelum pada waktu Dia masih bersama-sama dengan
mereka dalam Mt. 18:18 “Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan
terikat di sorga dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.”
Itu sebabnya seperti Tuhan Yesus para murid pun di Injil Matius mencerminkan
kehendak Allah di dunia ini.

Matius 28:19 : Pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid


Sesudah Tuhan menjelaskan kepada para murid bahwa Dia berkuasa atas
segala-galanya di sorga dan di bumi, Dia memberi inti perintah terakhir kepada
mereka. Ini diawali dengan kata “karena itu” dalam bahasa Indonesia (bahasa
Yunani oun), jadikanlah semua bangsa “muridKu”. Fokus utama Amanat Agung
adalah pemuridan (matheteusate, jadikanlah murid). Pemuridan ini bisa
dilaksanakan lewat pergi, membaptis dan mengajar mereka. Ketika kata kerja
46

sama rata, tetapi di bawah kata kerja “matheteusate”. Ini berarti inti atau focus
Amanat Agung adalah pemuridan. Kata “matheteuw” (menjadikan murid) dalam
Injil Matius 73 kali, dalam Injil Markus 46 kalij dan dalam Injil Lukan 37 kali
dipakai (band. Bosch: 1991:71). Kata kerja ini sudah mengganti perintah
memberitahukan atau mengabarkan (keryssete) di Mt. 10:7. Berarti pemuridan
adalah perintah terakhir dari Tuhan yang sudah bangkit.

Pemuridan artinya menjadi pengikut Kristus. Dalam segala hal seorang


murid menjadi pengikut tuannya yaitu pengikut Yesus Kristus. Mt. 10:24
“Seorang murid tidak lebih dari pada gurunya, atau seorang hamba dari pada
tuannya.” Dia diberi kuasa seperti Tuhan Yesus sendiri, tetapi dia juga diikut
sertakan dalam penderitaan seperti Dia. Yang jelas, hanya Tuhan Yesus Kristus
adalah tuan, Putra Allah, layak dipuji dan disembah, semua murid-Nya seumur
hidup, selama mereka masih di dunia ini bergumul dengan keterbatasan mereka.
Rasa takut dan keraguaan tidak bisa terlepas dari seorang manusia yang percaya
kepada yang Mahakuasa. Misi seduni tidak dilaksanakan dalam kelimpaan
melainkan dalam pergumulan, lewat penderitaan seperti dialami Hamba Allah di
Yes. 53. Rasul Matius mengingatkan kita bahwa agen atau pelaksana misi
sedunia adalah orang yang biasa-biasa saja yang diperlengkapi dan dipakai oleh
Tuhan secara luar biasa. Gereja tidak bisa melaksanakan Amanat Agung oleh
karena merasa mampu, melainkan walaupun keterbatasanya orang-orang Kristen
dipakai oleh Tuhan untuk tugas yang mulia ini.

Tuhan memerintahkan para murid untuk “pergi”. Dia tidak ijinkan


mereka terisolir dari dunia, hidup satu kehidupan untuk diri sendiri. Mereka juga
tidak boleh pasra dan menunggu Tuhan saja, mereka dituntut untuk bertindak,
oleh karena dipimpin dan diperlengkapi oleh Tuhan sendiri. Pemuridan, inti
Amanat Agung, tidak berarti bahwa gereja hanya boleh terfokus untuk “mencari
jiwa” supaya demikian jumlah anggota jemaat mereka bertambah dan mereka
dianggap hebat. Pengertian pemuridan jauh lebih luas. Pemuridan berarti
memahami kehendak Tuhan dan menaatinya tanpa kompromi. Ini satu gaya
hidup baru yang sangat mahal. Ini dijelaskan Tuhan Yesus dalam Mt. 7:24-27:
“Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama
dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.
47

Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu,
tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu. Tetapi siap orang yang
mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang
yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan
dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu
dan hebatlah kerusakannya.” Dengan kata lain pemuridan adalah satu
transformasi kehidupan orang percaya atau murid Tuhan Yesus yang bersifat
total. Semua orang yang percaya kepada-Nya menyerahkan kehidupan secara
total kepada-Nya.

Matius 28:19: Semua bangsa


Penerima Kabar Baik adalah semua bangsa (panta ta ethne dalam bahasa
Yunani). Ungkapan ini berasal dari Perjanjian Lama, ini jantung berita yang
disampaikan kepada Abraham dalam Kej. 12: 1-3: Berfirmalah Tuhan kepada
Abram: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah
bapamu ini ke negeri yang Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau
menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu
masyhur; dan engkau akan menjadi berkat. Aku akan memberkati orang-orang
yang memberkati engkau, dan mengutuk orang yang mengutuk engkau, dan
olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.” Semua bangsa di
dunia ini perlu dicapai dengan berita yang baik yang berasal dari Tuhan. Orang
Yahudi dan orang kafir (orang non-Yahudi). Tidak ada perkecualian. Orang
Timur dan orang Barat, Orang Indonesia dan orang non-Indonesia.

Matius 28:19: Baptislah mereka


Pemberitakan Injil tidak bisa terlepas dari baptisan. Semua murid harus
dibaptis dalam nama Allah Tritunggal. Pengeritan frase “dalam nama Bapa,
Anak dan Roh Kudus” adalah suatu identifikasi berarti semua yang dibaptis
mengidentifikasi diri dengan Allah Tritunggal, tidak hidup untuk diri sendir lagi
melainkan untuk Allah saja. Paulus mengungkap hal yang sama dalam Gal. 2:20
“namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus
yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging,
adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan
menyerahkan diriNya untuk aku.”
48

Sekarang orang percaya dimasukkan ke dalam persekutuan yang baru,


suatu persekutuan di mana Allah disembah (Brunner 1990:1102). Michel
(1995:47) melihat pembatisan sebagai suatu transfer ke dalam status di mana
manusia dimiliki Allah. Seorang murid sekarang seorang hamba Tuhan yang
melayani Tuhan berdasarkan otoritas Allah. Dia sudah menjadi anak Allah.

Matius 28:20: Pelayanan Holistis


Dalam ayat 20 ini dijelaskan apa yang terjadi dalam pross pemuridan.
Murid-murid mengajar “mereka melakukan segala sesuatu yang telah
Kuperintahkan kepadamu”. Pemuridan baru komplet jika segala sesuatu
diberitahukan kepada orang yang mulai percaya kepada Tuhan sebagai Allah.

Dalam Mt. 22:37-39 Tuhan sendiri memberi suatu kesimpulan tentang


pelajaran yang perlu dibelajari, tidak hanya diketahui dengan otak melainkan
juga dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari: “Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang
terutama dan pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah:
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.

Menaati Amanat Agung berarti bagi para murid, berbicara tentang


perdamaian manusia dengan Allah dalam Yesus Kristus dan menjunkkan kasih
Allah dalam mengasihi sesama. Yang sudah dikasihi oleh Allah tidak bisa lain
daripada mengasihi orang lain juga. Tubuh dan jiwa sesamamanusia menjadi
target pengikut Yesus Kristus. Oleh karena manusia diselamatkan dan dikasihi
oleh Allah secara holistis, keselamatan ini perlu juga diberi secara holitis kepada
sesama manusia di dunia ini. Perjanjian Lama mendukung inti Amanat Agung
ini lewat istilah “shalom”. Shalom artinya damai atau perdamaian (pertama-tama
manusia dengan Allah dan sesama manuisa) tetapi juga artinya kemakmuran
(secara fisik manusia yang diperdamaikan dengan Allah boleh menikmati
kesalamatannya). Proklamasi Injil selalu harus disertai kasih atas belas kasihan
terhadap orang yang membutuhkannya. Bosch (1991:412) katakana bahwa
Amanat Agung adalah “love in action” (kasih yang bertindak). Akhir abad ke 20
kaum Injili pun melihat pentingnya pendekatan holistik. George Verwer, pendiri
sending OM (Operation Moblisation) bisa menjadi wakil untuk golongan
49

tersebut. Pemimpin misi ini mengatakan (Verwer, 2001: 190-191): “Meskipun


rekonsiliasi dengan manusia bukanlah rekonsiliasi dengan Allah, bukan juga
aksi penginjilan sosial atau keselamatan liberasi politik, namun kami tegaskan
bahwa penginjilan dan keterlibatan secara sosialpoltik, keduanya adalah bagian
dari kewajiban Kristiani kita. Karena keduanya merupakan ekspresi penting dari
doktrin kita tentang Allah dan manusia, kasih kita kepada sesama dan kepatuhan
kita kepada Yesus Kristus.”

Mengajar tidak berarti bahwa murid harus duduk di ruang kelas dan
menyampaikan berita yang baik ini dari mimbar atau harus mengundang dunia
ke gedung gereja untuk menghadiri sebuah kebaktian atau KKR. Yang
dimaksudkan ini adalah mengajar mereka selalu, di mana saja segala sesuatu
yang disampaikan Tuhan sendiri, sehingga dia berkuasa atas seluruh kehidupan
orang percaya.

Matius 28:20: Aku menyertai kamu


Tuhan Yesus berjanji satu kali lagi bahwa Dia selalu menyertai para
murid. Lewat frase ini para murid diingatkan kepada “Immanuel” “Tuhan
menyertai kanu”. Waktu Yesus lahir, Dia sudah diperkenalkan sebagai
Immanuel Mt. 1:23 “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan
melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia ‘Imanuel’
yang berarti ‘Allah menyertai kita’.” Yesus Kristus mengulangi lagi, bahwa
oleh karena segala kuasa diberi kepada-Nya Dia akan menyertai para murid
senantiasa. Tidak ada hari, di mana Dia lupa mereka dan tidak ada tempat di
mana Tuhan tidak ingin hadir bersama-sama dengan murid-Nya agar Injil
diberitahkan.

Seperti dulu waktu Perjanjian Lama, waktu Yesaya, di mana bangsa


Israel putus asa, karena meninggalkan Allah dan berdosa terus-menerus kepada-
Nya, Allah memberi tanda Imanuel kepada mereka, apalagi sekarang dalam
pelaksanaan misi sedunia Tuhan Yesus menyertai para murid. Dia membuktikan
bahwa Dialah Imanuel (band. Yes. 7:14; 8:8). Kehadiran Allah dalam Alkitab
selalu juga berarti bahwa Tuhan berjuang demi umat-Ny. (band. Brunner,
1990:1106 Aku berjuang untuk kamu).
50

Tanpa penyertaian Tuhan para murid terjamin gagal. Mereka sudah


berpengalaman misalnya waktu mereka tidur di taman Gesemani (Mt. 26:36-56)
atau waktu Petrus menyangkal Tuhan (Mt. 26:69-75). Jika Tuhan memberi tugas
atau beban kepada mereka, Dia juga memberi kuk kepada para murid, alat untuk
melaksanakan tugas tersebut. Itu sebabnya dikatakan Tuhan Yesus Mt. 11:29-30
“Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lehmah
lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang
Kupasang itu enak dan beban-Kupun riF`DCXngan.”

Tuhan menyertai para murid sampai “kepada akhir zaman”. Di sini


muncul dimensi eskatologis. Misi sedunia, pelaksanaan Amant Agung
mencakup jangka waktu antara kebangkitan sampai ke kedatangan-Nya yang
kedua kalinya, sampai akhir zaman. “Dan Injil Kerjaan ini akan diberitakan di
seluruh dumia menjadi kesaksian bagi semua bansa, sesudah itu barulah tiba
kesudahaanya.” Mt. 24:14. Seluruh tugas Tuhan Yesus adalah pemuridan dan
setiap orang Kristen di mana dia berada harus partisipasi dalam tugas mulia
Tuhan Yesus ini.

b. Amanat Agung menurut Markus.


1. Ditujukan kepada semua makhluk oleh karena Allah adalah pencipta, Kristus
meminta jemaatNya membawa keselamatan kepada seluruh makhluk di dunia
tanpa terkecuali.
2. Pemberitaan Injil dibuktikan dengan tanda-tanda.

c. Amanat Agung menurut Lukas.


Karena murid-muridnya sangat kecewa dengan rencana untuk mendirikan
kerajaan secara politis tidak terlaksana, maka Yesus menghibur mereka dengan
sambutan : “Damai sejahtera bagi kamu.” Sesudah itu Tuhan menjelaskan rencana
misi kepada mereka :

1. Misi berdasarkan kitab-kitab suci : Taurat Musa, Nabi-nabi dan Mazmur


(Luk.24:44).
2. Inti Injil : kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus (Luk.24:22).
51

3. Tujuan : pertobatan dan pengampunan.

4. Pemberitaan Injil bagi segala Bangsa (Luk.24:47).

5. Alat yang dipakai bagi misi sedunia adalah murid-muridNya.

6. Kuasa dan kekuatan untuk melaksanakan Amanat Agung berasal dari Roh
Kudus yang sudah dijanjikan Allah Bapa (Luk.24:49).

d. Amanat Agung menurut Yohanes.


Injil Yohanes mengingatkan kita, bahwa murid-murid diutus sama seperti
Bapa mengutus AnakNya yang Tunggal yaitu Tuhan Yesus (Yoh.20:21-23).
Murid-murid harus mengidentifikasikan diri dengan Kristus, karena mereka
telah diperlengkapi oleh Roh Kudus “terimalah Roh Kudus” (Yoh.21:22).
Seringkali hal ini menjadi perdebatan : Kapan mereka diperlengkapi dengan Roh
Kudus? Sebelum Pentakosta (Yoh.21) atau pada hari Pentakosta ketika Yesus
menghembusi mereka dengan Roh Kudus? Dia memberikan Roh Kudus kepada
mereka secara terbatas sesuai dengan cara Perjanjian Lama, tetapi pada hari
Pentakosta mereka dipenuhi dengan Roh Kudus untuk melaksanakan misi
Amanat Agung Tuhan Yesus (Kis.2).

Kesimpulan. Amanat Agung adalah pokok dalam kekristenan yang sangat


penting, hal ini terbukti dengan semua kitab Injil yang menceritakan pokok ini.
Fokus Amanat Agung terletak dalam penginjilan dan pemuridan dan sasarannya
supaya seluruh dunia dapat mengecap keselamatan yang ada di dalam Tuhan
Yesus Kistus.

4. Rasul Paulus dan Misi.


Paulus adalah seorang Penginjil dan Misionaris yang paling berhasil. Dia
berkotbah di sinagoga, di pasar dan di tempat-tempat yang lain, menguatkan jemaatnya
yang baru didirikan agar sungguh-sungguh percaya kepada Tuhan. Paulus senantiasa
mengabarkan bahwa Allah sudah mengutus seorang Juruselamat, yaitu Yesus Kristus
untuk menyelamatkan seluruh umat manusia. Dalam II Kor.5:19 “Sebab Allah
mendamaikan dunia dengan diriNya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan
pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kita.”
52

Walaupun Paulus tidak mengulangi Amanat Agung, dia menyebutkan bagian tersebut
dalam Roma 10:12-18; II Kor.5:4-21; Ef.3:1-12; Roma 1:13-17; I Kor.9:1-16; Fil.2:14-
16; I Tim.2:1-7. Dasar Theologia Paulus : Yesus Kristus yang tersalib bagi manusia.

Hal-hal yang penting di dalam Teologi Misi Paulus :

1. Seluruh alam semesta (universum) adalah makhluk Allah (Rom1:18).

2. Seluruh umat manusia mempunyai hubungan dengan alam (Rom5:12-21).

3. Di dalam Adam, seluruh umat manusia telah berdosa (Rom.5:12)

4. Semua orang berhutang kepada Allah (Rom.1:18-21).

5. Kristus adalah Juruselamat bagi semua orang, tetapi keselamatan ini harus
diperoleh secara pribadi (Rom.5:12-21).
6. Tuhan Yesus Kristus adalah jalan satu-satunya bagi keselamatan manusia
(Rom.3:21; 5:21).
7. Keselamatan harus diberikan oleh Allah dan tidak bisa ditemukan oleh
manusia sendiri (Rom.10:17; 16:25-26).
8. Rasul Paulus merasa dipanggil untuk memberitakan Injil kepada bangsa-
bangsa non Yahudi dan dia taat kepada panggilanNya.

Rasul Paulus hanya mengenal dua golongan manusia yaitu yang sudah
diselamatkan atau sudah di dalam Kristus dan yang belum di dalam Kristus. Paulus
juga mengenal universalitas Allah yang sudah diwahyukan dalam PL :

1. Allah sebagai pencipta (Rom.1:25).

2. Abraham dipanggil waktu dia masih orang kafir dan dibenarkan karena iman
(Rom.4).
3. Karena Israel menolak Mesias, maka Allah memakai orang non-Israel
(Rom.2:11).
4. PB melanjutkan PL, jemaat melanjutkan pelayanan Israel (Ef.2:11; 3:12).

5. Jemaat sebagai tubuh Kristus terdiri dari orang Yahudi dan non Yahudi
(Ef.3:1-12).
6. Paulus dipanggil untuk menjadi rasul orang non Yahudi (Gal.2:8-9).
53

Tujuan dan puncak misi terdapat di Wahyu 7:9. Jemaat yang memuji Allah.
“Kemudian dari pada itu aku melihat: Sesungguhnya, suatu kumpulan besar orang
banyak yang tidak dapat terhitung banyaknya. Dari segala bangsa dan suku dan bahasa,
berdiri dihadapan takhta dan di hadapan Anak Domba.” Menurut Peters di dalam
Alkitab ada 2 macam mandat, yaitu Mandat Budaya Kej. 1:28 dan Amanat Agung Mt.
28:18-20.

Informasi tentang Paulus hanya di peroleh dari tiga sumber, yaitu Kisah Para

Rasul yang merupakan tulisan kedua dari penginjil Lukas, dari surat-surat Paulus itu

sendiri dan dari tulisan Petrus.

Dari sumber pertama, orang percaya mendapatkan informasi dari narasi yang

disampaikan Lukas; sementara dari sumber kedua, orang Kristen mendapatkan

informasi dari beberapa hal yang disampaikan Paulus dalam surat-suratnya tersebut.

Dan dari tulisan Petrus dapat di peroleh data bahwa Paulus adalah salah satu pengajar

Kristen di jemaat mula – mula, dalam tulisanya Petrus menyebut Paulus sebagai saudara

yang kekasih (2 Petrus 3: 15). Di luar sumber ini, praktis tidak ada lagi teks Perjanjian

Baru yang berbicara tentang Paulus. Untuk memahami siapa sebenarnya Paulus maka

adalah hal yang sangat perlu untuk mengetahui latar belakang Paulus secara pribadi.

Bagi Paus Benediktus, Santo Paulus “bersinar laksana bintang yang bercahaya di dalam

sejarah Gereja, dan bukan hanya dalam kisah awalnya.” Paulus bukan hanya penulis

Surat-surat yang kita warisi sekarang ini. Ia pertama-tama dan terutama adalah

misionaris. Ia dikenal dengan sebutan Rasul Segala Bangsa dan seorang tokoh penting

dalam Gereja,35

Latar Belakang Pribadi Paulus

35 Paus Benediktus XVI, Dalam Audiensi Pada 25 Oktober Tahun 2006 Tersedia Di
Https://Sekretarisdpi.Wordpress.Com/2009/04/22/Ajaran-Paus-Benediktus-Tentang-Santo-Paulus-Sang-
Rasul/ Di Akses Tanggal 10 Maret 2015
54

Paulus dilahirkan di Tarsus, Kilikia (Kis. 9:11; 21:39; 22:3). Menurut Paul Enns

Paulus lahir sekitar 3 AD dari keluarga terpandang. 36 Ia terlahir sebagai anak dari

keluarga Yahudi dari suku Benyamin (Flp. 3:5). Orang tuanya memberinya nama Saul

(Kis. 13:9) seperti nama raja Israel pertama yang juga dari suku Benyamin (2 Sam. 9:1-

2, 21), ia memiliki seorang saudari dan seorang keponakan (Kis 23,16). ia adalah

seotrang farisi yang belajar hokum Yahudi di bawah Gamaliel (kis 21:39), ia bertobat

dan menjadi Rasul bagi orang – orang bukan Yahudi (kis 26:12 - 20). 37 Dalam

perjalanan misinya yang pertama, namanya diganti Paulus (Kis. 13:9), Menurut catatan

C. Gorenen, nama paulus dipilih karena bunyinya berdekatan dengan Saulus. Ia sendiri

lalu lebih menyukai nama Yunaninya (bdk. Kis 13:6-9) dan sangat terbuka terhadap

kebudayaan asing (Yunani) daripada kebanyakan orang Yahudi di Palestina, khususnya

Yerusalem.38 Nama ini dapat diterima, baik oleh orang-orang Romawi, maupun orang-

orang Yunani. Dalam bahasa Ibrani, nama ini berarti luar biasa, agung, mengagumkan

atau seseorang yang memiliki kemauan kuat. Hal ini sesuai dengan sosok yang

digambarkan dalam Kisah 8:3. Sekalipun demikian, menurut pengakuannya sendiri,

secara fisik Paulus memiliki berbagai kelemahan dan menanggung berbagai

penderitaan, baik fisik, maupun mental (2 Kor. 4:7; 5:2; 11:30; Ef. 3:8; Flp. 3:21).

Sekalipun Paulus tergolong orang Farisi tulen, namun sebagai seorang Yahudi

yang tinggal di Tarsus (Kis. 22:3), namun, ia juga adalah warga Negara Roma sejak

lahir,39 karena ayahnya adalah warga negara Romawi (Kis. 22:25-29). Taesus adalah

kota utama dai propinsi di Kilikia di bagian Timur Asia Kecil. Di kota ini Saulus muda

36 Paul Enns, The Moody Handbook Of The Teology, (Malang, Literatur SAAT, 2003), 123
37 JL Packer, Merrill C Tenney Dan Wiliam White, Ensiklopedi Fakta Alkitab, (Malang, Gandum
Mas, 1995), 1386
38 C. Groenen, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 211.
39 Xavier Leon Dan Doufour, Ensiklopedi Perjanjian Baru, (Yogyakarta, Kanisius1990), 431
55

tumbuh menjadi dewasa.40 Pada akhir hidupnya, Paulus di kenal sebagai manusia dari

tiga dunia yaitu: Yahudi, Yunani dan Kristen.41

Latar belakang pendidikan Paulus

Secara eksplisit Paulus mengaku sebagai seorang Yahudi, seorang Ibrani yang

terdidik dalam tradisi para leluhurnya dengan baik, bahkan dalam tulisanya William

Barclay menyatakan bahwa

Sejak dahulu orang Yahudi sangat teliti mengenai pendidikan anak – anak
mereka. Seorang sarjana merekayang ternama mengatakan bahwa anak – anak
Yahudi begitu dini mempelajari hokum agama sehingga hokum itu tertanam dan
tak mungkin dilupakan.42 Lagi menuriut Barclay Paulus pada usia enam tahun
telah pergi ke sekolah dan ketika ia sudah dapat membaca dia di berikan
gulungan perkamen kecil yang bertulisan bagian – bagian tertentu dari hokum
Taurat. Dan itu harus dihafalnya. Dan ketika ia telah berusia dua belas atau
tigabelas tahun ia menjadi apa yang di sebut “anak hokum Taurat”.43

Paulus di latih oleh Gamaliel seorang Farisi dan anggota Sanhedrin (Kis 5:34).

Gamaliel adalah satu - satunya dari tujuh sarjana dalam sejarah bangsanya yang

menerima sebutan “Rabban”(tuan kami). Gamaliel adalah cucu dari Hilel, pendiri

sekolah penafsiran Hilel.44 Sehingga Paulus tergolong orang Farisi (Flp. 3:5; 2 Kor.

11:22; Kis. 22:3). Siapakah kelompok Farisi itu?45 Kata “Farisi” berasal dari kata Ibrani

Pharisees yang berarti terpisah. Mereka adalah kelompok orang Yahudi saleh yang

terbentuk sekitar abad kedua SM. Mereka menerima hukum tertulis dan lisan lalu

dengan teliti menaati pelbagai kewajiban dengan tuntutan 366 aturan positif dan 250

aturan negatif. Lebih dari seorang murid Gamaliel yang menjadikanya seorang farisi

terkemuka, HHormighausen menyatakan bahwa Paulus seorang guru yang ulung. Ia

40 JL Packer, Merrill C Tenney Dan Wiliam White, Ensiklopedi Fakta Alkitab, (Malang, Gandum
Mas, 1995), 1142
41 George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru 2,(Bandung, Kalam Hidup, 1999), 80
42 Willian Barclay, Duta Bagi Kristus, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1985), 9 - 10
43 Ibid, 10 - 11
44 Paul Enns, The Moody Handbook Of The Teology, (Malang, Literatur SAAT, 2003), 123
45 “Farisi” Dalam: Gerald O’Collins Dan EG. Farrugia, Kamus Teologi, Yogyakarta: Kanisius,
2001, Hal. 78.
56

benar benar tokoh penting di lapangan pendidikan agama. Paulus sendiri di didik untuk

menjadi seorang rabbi bagi bangsanya.46

Selain menjapat pendidikan di sekolah Yahudi Paulus juga hidup dalam

lingkungan pendidikan Hellenis, Tarsus tempat asal Paulus adalah kota ilmu

pengetahuan. Banyak orang pendatang yang belajar di sekolah – sekolah terkenal di

Tarsus, dan kemudian tersebar ke seluruh bagian kekaisaran Romawi. 47 Karena

kemajuan kota Tausus ini membuat setiap anak yang cerdas terpengaruh oleh Bahasa

dan ide – ide kebudayaan Yunani yang kafir. Pengaruh itu tampak dalam tiga rujukan

sastra Yunani oleh Paulus, yakni kepada penyair – penyair Epimenides (Kis 17:28),

Aratus (Tit 1:12), dan Menander (1 Kor 15: 33).48

Paulus Menganiaya pengikut Yesus

Oleh karena keyakinan religiusnya yang mendalam dan fanatisme yang kuat

Paulus merasa wajib menantang “bidah”49 (bdk. Kis 24:5.14; 28:22) yang bermunculan

di kalangan Yahudi, yakni kelompok orang Kristen. Semakin luas dan besar pengaruh

kekristenan menyebabkan ia muncul sebagai tokoh yang melawan gerakan baru itu,

bahkan dengan kekerasan. Dalam pengakuannya, Paulus menandaskan bahwa ia pernah

“menganiaya jemaat Allah” (Gal 1:13, Fil 3:6, 1Kor 15:9). Pengakuan ini juga diperkuat

dengan ulasan Kisah para Rasul turut dalam pembunuhan Stefanus (Kis 7:58, 8:3,

22:20) dan sangat aktif menangkap dan memenjarakan orang Kristen sampai di luar

Palestina (Kis 9:1-2).

46 E. G Hormighausen Dan IH Enklaar, Pendidikan Agama Kristen, (Jakarta, BPK Gunung Mulia,
2008), 6 - 7
47 John Dume, Memahami Perjanjian Baru, (Jakarta, BOK Gunung Mulia, 1996)289
48 Ibid 290
49 “Bidah” Dalam PB Berarti Kelompok Sectarian (Kis 5:17), Yaitu Kelompok Atau Pendapat
Yang Memisahkan Diri (1Kor 11:19, Gal 5:20, 2Ptr 2:1). Dalam Pengertian Sehari-Hari Berarti Ajaran
Sesat.
57

Alasan Paulus sangat membenci Yesus dan parea pengikutnya adalah kerena

Paulus menganggap Yesus telah menghancurkan Taurat dan menganggap semua orang

Kristen sebagai musuh Taurat serta penghujat Allah yang harus di hancurkan dengan

segala cara termasuk dengan menggunakan kekerasan. Pengikut Yesus dianggap

sebagai ancaman terhadap dasar-dasar agama Yahudi yang tidak dapat lagi diampuni.

Bagi Paulus para pengikut jalan Tuhan adalah perusak tradisi Yahudi yang harus di

basmi. Bagi Paulus semua dasar ajaran Kristen adalah kebohongan yang jahat dan

menghina Allah.50 Ia adalah seorang Yahudi yang sangat taat dan yang karena

ketaatannya itu ia menganiaya jemaat Allah, sebab ia berpikir bahwa dengan

melakukannya ia berbuat sesuatu yang benar menurut hukum taurat: “Sebab kamu telah

mendengar tentang hidupku dahulu dalam agama Yahudi: tanpa batas aku menganiaya

jemaat Allah dan berusaha membinasakannya. Dan di dalam agama Yahudi aku jauh

lebih maju dari banyak teman yang sebaya dengan aku di antara bangsaku, sebagai

orang yang sangat rajin memelihara adat istiadat nenek moyangku.” (Gal 1:13-14),

tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi, tentang kegiatan aku

penganiaya jemaat, tentang kebenaran dalam mentaati hukum Taurat aku tidak

bercacat.” (Flp 3:5-6) Dalam usahanya membasmi pengikut Yesus, Saulus meminta

surat kuasa untuk mengejar dan memenjarakan para pengikut Yesus sampai kekota

Damsyik sekitar 240 km dari Yerusalem.51

Pertobatan Paulus

Pengalaman perjumpaan Paulus dengan Yesus dalam perjalanan ke Damsyik

Untuk menghentikan para pengikut Yesus yang semakin tersebar kemana –

mana Saulus dengan semangat membela dan mempertahankan Taurat Saulus berangkat

ke Damsyik untuk memenjarakan para pengikut Yesus dari Nazaret yang telah

50 Willian Barclay, Duta Bagi Kristus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), 41
51 Ibid 1149
58

meresahkan dan merusak ajaran tradisi Yahudi yang sangat ia junjung tinggi. Dalam

perjalanan misinya sebagai orang yahudi yang fanatic untuk membatasi gerakan

kekristenan (yang dianggapnya sebagai “bidah”),52

Ketika kota Damsyik sudah kelihatan, suatu peristiwa yang penting terjadi.

Dalam suatu kilatan cahaya yang membutakan, Saulus melihat dirinya dilucuti dari

seluruh kebanggaan dan keangkuhan, sebagai penganiaya Mesias Allah dan umat-Nya. 53

Melalui peristiwa ini Paulus menjadi percaya kepada Yesus dan masuk menjadi menjadi

orang Kristen. Melalui peristiwa ini Paulus memiliki relasi yang baru dengan Allah.

Menurur Soren Kierkegaard mengatakan bahwa “hubungan sejati manusia dengan Allah

akan membawanya mencapai eksistensinya yang sejati”. 54 Inti pertobatan Paulus adalah

pengakuan terhadap Yesus, Anak Allah yang bangkit dan mulia seperti yang

disaksikannya sendiri (1Kor 9:1, 15:8).Oleh Paulus, peristiwa pertobatan di kota

Damsyik dimaknai sebagai perutusan. Menurut pemikiran Martin Hengel yang di kutip

oleh Leon Morris bagwa Paulus bertobat antara tahun 32 dan 34. 55 Sejak saat itu dia

mulai mewartakan Yesus (Gal 1:17) dengan sangat aktif. Menurut catatan T. Jacobs,

peristiwa pertobatan Paulus adalah hal yang sangat penting bagi Paulus. Peristiwa

pertobatan bagi Paulus sendiri bukanlah suatu evolusi atau perkembangan biasa

melainkan sebuah revolusi. Tidak gampang bagi seorang yang sangat fanatic berubah

arah. Apa yang dilakukannya lebih merupakan sebuah tuntutan dari keyakinan agama

Yahudinya yang fanatic.56 Pertobatan Paulus tidak hanya penting bagi dirinya tetapi bagi
52 Para Rabbi Yahudi Memiliki Dua Alasan Mengapa Mereka Dengan Sangat Aktif Menentang
Pergerakkan Kekristenan Yakni Pertama Penegasan Kristen Bahwa Perjanjian Yang Diberikan Kepada
Musa Telah Digantikan Dengan Keselamatan Oleh Iman Dalam Kristus Dan Bahwa Yesus Adalah Mesias
Dan Putra Allah. Untuk Perluasan Bisa Baca J. Isaac, Has Anti-Semitism Roots In Christianity? New York,
1961.
53 JL Packer, Merrill C Tenney Dan Wiliam White, Ensiklopedi Fakta Alkitab, (Malang, Gandum
Mas, 1995), 1149
54 Ostina Panjaitan, Manusia Sebagai Eksistensi. Menurut Pandangan Soren A. Kierkegaard,
Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1996, 9
55 Leon Morris, Teologi Perjanjian Baru, (Malang, Gandum Mas, 1986), 28
56 T. Yacobs, Paulus Hidup, Karya Dan Teologinya, (Yogyakarta: Kanisius, 1990). 51.
59

sejarah gereja mula – mula, Tenney menjelaskan bahwa Dalam karya Yesus sendiri,

mungkin pertobatan Saulus adalah peristiwa yang terpenting dalam sejarah agama

Kristen, karena bukan saja mnyingkirkan seorang musuh Injil yang katiftetapi juga

mengubahnya menjadi salah seorangpengabarnya yang utama.57

Perjumpaan Paulus dengan Kristus di Damsyik mengubah perspektif Paulus.

Paca perjumpaan Damsyik membawa perubahan dalam paradigma Paulus. Pengalaman

ini “self authenticating (membuktikan sendiri akan keasliannya). Tak perlu bukti

tambahan. Pengalaman ini mengatakan bahwa Allah yang benar dikenal hanya bila Ia

mengambil inisiatif dan menyatakan diri-Nya kepada manusia (Matius 11:27).

kebenaran ditemukan hanya bila manusia menanggapi inisiatif Allah. 58 Sebagai respon

Paulus atas perjumpaannya dengan Yesus. C. Groenen mencatat bahwa sejak peristiwa

pertobatannya, selama tiga tahun Paulus memberitakan Yesus kepada orang-orang non

Yahudi dan tidak menuntut mereka untuk menjadi Yahudi (Gal 1:16). 59 Bahkan

kemudian Paulus menyebut dirinya sebagai "rasul bagi bangsa-bangsa non-Yahudi"

(Roma 11:13). Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia kata ”rasul” berarti orang yang

menerima wahyu Tuhan untuk di sampaikanya kepada manusia.60

Dalam Kisah Para Rasul ada tiga versi berita mengenai peristiwa yang terjadi

dalam perjalanan ke Damsyik - yang secara populer sering disebut sebagai peristiwa

pertobatan Paulus, yaitu dalam Kisah 9:1-19a, 22:6-16 dan 26:12-18. Membandingkan

ketiga versi cerita tersebut, di temukan tiga perbedaan yang menarik untuk

diperhatikan:61

57 Merrill C Tenney, Survei Perjanjian Baru, (Malang, Gandum Mas, 1993),304.


58 Stanley, Heath, Filsafat Apologetika.Diktat, (Surakarta: STT Berita Hidup, 2007) 17.
59 C. Groenen, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru, (Yogyakarta: Kanisius, 1989), 212.
60 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasiona,
L2008), 730
61 A. Brunot SCJ, Paulus Dan Pesannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 26-28.
60

Pertama, Dalam Kisah 9:7 dikatakan bahwa teman-teman seperjalanan Paulus


termangu-mangu, karena mereka mendengar suara dari langit, namun tidak
melihat seorang jua pun. Sementara dalam Kisah 22:9 dikatakan bahwa teman-
teman yang menyertainya memang melihat cahaya, namun suara yang berbicara
kepadanya tidak mereka dengar. Sedangkan dalam Kisah 26:14, mereka semua
hanya mendengar suara saja. Ketiga versi tersebut memuat perbedaan mencolok,
yang dikutip oleh penulis Kisah Rasul ke dalam karyanya tanpa disadarinya.
Meskipun hal ini diketahui oleh jemaat Kristen abad pertama, mereka tidak
mempersoal-kannya. Rupanya, yang penting bagi mereka adalah bahwa ada
sekelompok orang bersama Paulus dalam perjalanan menuju Damsyik
mendengar suara dari langit, namun hanya Paulus sendirilah yang memahami
maknanya.
Masalah kedua menyangkut kata-kata yang didengar oleh Paulus. Dalam ketiga
versi berita itu ada suara, “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?”
(9:4; 22:7; 26:14). Tetapi hanya cerita dalam manuskrip tertua saja yang
menambahkannya dengan kalimat “Sukar bagimu menendang ke galah
rangsang” (26:14). Frasa ini merupakan ungkapan Yunani yang berarti
“perlawanan terhadap dewa.” Kemungkinan, ungkapan ini telah dikenal pula
oleh lingkungan Yahudi. Sangat mungkin, ketika berbicara dengan Agripa II,
Paulus menambahkan ungkapan ini pada perkataan Tuhan, untuk membuat sang
raja sadar bahwa kritik dari surga itu diberikan oleh Allah sendiri. Rasanya,
Paulus sendiri tidak memerlukan hal itu (Kis. 9), demikian pula bagi para
pendengar Yahudi di Yerusalem (Kis. 22); karena bagi mereka, suara dari langit
itu diyakini berasal dari Allah sendiri. Namun untuk menyampaikan berita itu
kepada orang kafir, Paulus merasa perlu menggunakan peribahasa Yunani,
sehingga pesan surgawi itu dapat dipahami oleh pendengar atau pembacanya.
Hal ketiga, kapan Paulus menerima penugasan untuk memberita-kan Injil
kepada orang kafir, sulit ditentukan. Kisah 9 menyiratkan bahwa hal tersebut
terjadi melalui Ananias yang dikirim untuk menjelaskan makna perjumpaan
Paulus dengan Tuhan di jalan ke Damsyik itu. Namun Kisah 22, meskipun
menyinggung pela-yanan Ananias, rupanya menghubungkan kata-kata “Aku
akan mengutus engkau jauh dari sini kepada bangsa-bangsa lain” (ayat 21)
dengan penglihatan yang diterimanya di kemudian hari, ketika Paulus berada di
Bait Allah di Yerusalem. Sedangkan Kisah 26 menyiratkan bahwa pengutusan
tersebut diterima ketika Paulus masih berada di jalan ke Damsyik. Namun bagi
Paulus, perjumpaan dengan Tuhan, pelayanan Ananias dan penglihatan yang
diterimanya di kemudian hari di Bait Allah, semua itu merupakan bagian dari
peristiwa yang sama. Kemungkinannya, Kisah 9 menceritakan rangkaian
peristiwa real sehubungan dengan teofani yang dialami Paulus; Kisah 22
menambahkan penglihatan di Yerusalem tiga tahun kemudian sebagai
penegasan pengutusan Paulus; dan Kisah 26 merupakan kesaksian ringkas
kepada raja Agripa.

Mana pun versi yang sebenarnya terjadi merupakan persoalan sekunder. Hal

penting yang hendak diberitakan adalah pengalaman Paulus yang mengalami

perjumpaan dengan Yesus yang coba ia aniaya. Peristiwa itu telah menjadi titik balik
61

yang menentukan bagi Paulus. Jika selama ini, sebagai ahli Kitab Suci dan Taurat,

Paulus cenderung menempatkan Allah sebagai objek pikirannya, maka kini melalui

pengalamanya Paulus menyadari bahwa Allah adalah pribadi yang menyatakan diri

melalui pengalaman pribadi. Dengan cara-Nya yang unik, Allah telah menyatakan

kehadiran-Nya kepada Paulus.

Bertolak dari pengalaman yang baru inilah Paulus memiliki relasi yang baru

dengan Allah dalam pribadi Yesus Kristus. Paulus di sadarkan bahwa melalui pribadi

Yesus Kristus, Allah telah mengadakan karya penyelamatan umat manusia. Melalui

pengalaman perjumpaanya dengan Yesus orientasi Paulus di ubahkan dari upaya

menghancurkan para pengikut Yesus ia di ubah oleh Yesus menjadi pemberita injil

yang paling berhasil dalam sejarah gereja mula – mula. Sebelum ke Damaskus, ia

memberikan diri sepenuhnya kepada hukum Taurat, dan setelah peristiwa Damaskus, ia

memberikan sepenuhnya kepada Kristus (Kis 9:1-9, 22:6-16, 26:12-18). Apa yang dulu

ia pikir berharga, kemudian ia anggap rugi (lih. Flp 3:7-8) jika dibandingkan dengan

pengenalan akan Kristus. Kasih Tuhan Yesus mengubah seluruh hidup Rasul Paulus,

dan karena pengalaman dikasihi oleh Tuhan ini, Rasul Paulus dapat mengatakan

ungkapan yang indah ini, yang juga dapat menjadi ungkapan hati semua yang

mengimani Kristus: “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup,

melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di

dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan

menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Gal 2:20).62

Perjumpaan Paulus dengan para pengikut jalan Tuhan

Pertobatan Paulus terjadi saat ia berjumpa dengan Yesus dalam perjalanannya ke

Damsyik. Namun, sebelum perjumpaanya dengan Yesus Paulus telah melihat kegigihan

62 Di Terjemahkan Secara Sederhana Oleh Penulis Dari Tulisan Laur, Gebhard M Heyder A. S.,
Paul Of Tarsus, (Manila: Logos Publication, 1994), 7-8
62

para pengikut Yesus yang ia aniaya agar ereka bersedia menyangkal iman mereka

namun para pengikut Yesus itu tetap tabah dalam penderitaan misalnya saat Paulus

yang masih muda menyaksikan saat Stefanus mati di rajam oleh orang Yahudi. Menurut

Barclay stefanus pernah mberkhotnah di rumah ibadah orang Libertini – anggota rumah

ibadat ini adalah orang – orang datri Kirene, dan dari Alexandria- bersama dengan

beberapa orang Yahudi dari Kilikia dan dari Asia (Kis6:9). 63 Psebagi orang dari Tarsus

tentunya Paulus pernah pernah duduk dalam rumah ibadat itu dan pernah mendengar

Stefanus berkhotbah.riwayat pelayanan Stefanus memang sangat singkat namu Stefanus

menjadi orang Kristen pertama yang mati mempertahankan imanya. Pada saat Stevanus

di hokum mati Paulus hadir di sana dan memaiknan peranan penting dalam

penghukuman terhadap Stefanus. Di sini Paulus meelihat keberanian dan ketulusan

pengikut Yesus yang dengan tulus meminta agar para penganiayanya di ampuni oleh

Allah dan dengan tenang menyerahkan nyawanya kepada Tuhan yang ia sembah dan

layani. Bahkan Agustinus pernah berkata bahwa Paulus menjadi Kristen karena doa

Stefanus ini.64

Selanjutnya setelah peristiwa perjumpaanya dengan Yesus Paulus bertemu

dengan salah seorang pengikut Yesus yang bernama Ananias. Sekalipun Ananuas

mengetahui bahwa Paulus membenci para pengikut Yesus karena ketaatan Ananias pada

Yesus, Ananiaspun pergi menemuli Paulus, membaptisnya dan berdoa bagi kesembuhan

Paulus serta melalui Ananias Tuhan menyatakan panggilanya pada Paulus untuk

menjadi alat pilihan Tuhan untuk memberitakan nama Tuhan yang akan mengalami

banyak penderitaan (kis 9:10 - 18). Orang yang berusaha ia penjarakan kini

menolongnya dan malah memanggilnya saudaraku. Penerimaan Ananias yang sangat

baik pada Paulus membuatnya meresa di terima oleh umat Tuhan di Damsyik. Setelah

63 Willian Barclay, Duta Bagi Kristus, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1985), 47
64 Ibid 49
63

ia kembali ke Yesusalem ia menggabungkan diri dengan murid yang lain namun banyak

murid tidak mempercayainya namun Barnabas menerima Paulus dan membawanya

kepada rasul – rasul (kis 9: 27). Pengalaman penerimaan ini semakin meneguhkan hati

Paulus untuk melayani Tuhan. Bahkan secara mengejutkan Barclay menyatakan bahwa

Paulus pernah melihat Yesus ketika masih di dnunia ini. 65 Pada masa pelayanan Yesus

Paulus sedang belajar di Yerusalem dan adalah hal yang mustahil kalau Paulus tidak

mendengar tentang pelayanan Yesus yang menggemparkan kota Yesrusalem itu. Dalam

2 Krorintis 5:16 ketika Paulus menggarisbawahi pentingnya hal –hal rohani di banding

hal – hal duniawi. Ayat ini mengidikasikan bahwa Pulus mengetahui dan memiliki

penilaian tersendiri tentang pelayanan Yesus.

Pelayanan Paulus

Paulus adalah pilihan Allah untuk mewartakan kasih karuniaNya kepada semua

orang (Gal 1:15). Suatu yang menakjubkan bahwa seorang Saulus yang tadinya

penganiaya pengikut Kristus, sekarang dengan semangat bergelora mau mewartakan

Kristus. Perjalanan misi Paulus bukanlah sesuatu yang mudah, tetapi dia berani

mengambil resiko untuk menderita, menghadapi tantangan untuk Kristus. Keberanian

dan kerelaan Paulus untuk mengambil resiko dalam pelayanannya terletak paada

pengalaman pribadinya berjumpa dengan Yesus Hidup Paulus sepenuhnya mengalami

perubahan ketika berjumpa dengan Yesus. Bavinck menyatalan bahwa: Sejak itu ia

harus menjadi seorang hamba Yesus dan bersaksi tentangsegala yang di lihatnya. Yesus

telah memilihnyadari antara orang Yahudi dan kafir, dan kini Saulus, hamba-Nya itu,

disuruhnya berkhotbah kepada ke dua golongan itu dan membuka mata merekaseperti

matanya yang sudah terbuka itu.66 Selanjutnya menurut Wielenga bahwa Tuhan

65 Ibid, 57
66 J H Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1996), 730
64

memanggil Paulus secara extra ordinary (Kis 9:15 - 16).67 Dan untuk menjalankan

karya ini, Paulus akan banyak menanggung penderitaan. Tetapi bagi Paulus sendiri

menderita demi Injil merupakan kebanggaan baginya, sebab bagi dia salib Kristus itu

merupakan suatu kebijaksanaan Allah dalam menampakan kasihNya yang besar ( bdk. 1

Kor 2:1-6).

Paulus adalah seorang pelayan Injil yang sangat piawai dan berhasil mencapai

pencapaian yang melampaui dari apa yang dapat dilakukan orang-orang pada jamannya.

Di perkirakan Paulus melayani Tuhan (sebagai rasul) kurang lebih selama dua puluh

tahun.68 Paulus mempunyai beban yang luar biasa kepada orang-orang Yunani (non-

Yahudi) karena Ia meyakini bahwa Allah memanggilnya untuk menjangkau bangsa-

bangsa lain. “Tetapi kata Tuhan kepadaku: Pergilah, sebab Aku akan mengutus engkau

jauh dari sini kepada bangsa-bangsa lain” (Kis. 22:21). “Aku akan mengasingkan

engkau dari bangsa ini dan dari bangsa-bangsa lain. Dan Aku akan mengutus engkau

kepada mereka.” (Kis. 26:17). Namun, meskipun demikian, ia tidak berarti

mengabaikan orang-orang Yaudi. Dalam suratnya ke jemaat Roma dan Galatia, jelas di

sana bahwa ia menaruh juga perhatian kepada bangsanya (Yahudi). Dalam pasal 9-11

kitab Roma, secara luar biasa Paulus menggambarkan akan pergeseran tempat orang

Yahudi dalam kerangka sejarah keselamatan Allah. Meski Israel belum ditinggalkan,

namun ia menekankan ancaman akan eksklusifisme orang Israel dan bagaimana orang-

orang non-Yahudi mendapat kasih karunia Allah yang juga merupakan umat pilihan-

Nya.

Paulus memahami bahwa pengalaman perjumpaanya dengan Yesus dalam

perjalananya ke Damaskus sebagai panggilan istimewa untuk diutus menjadi rasul

67 B Wielenga, Van Jerusalem Naar Rome, (Dell II, J H Kok, Kampen, 1928), 21
68 Simson Jenkins, Peta Alkitab, (Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF,1999), 100
65

untuk bangsa-bangsa non-Yahudi. “Tetapi sewaktu Allah, telah memilih aku sejak

kandungan ibuku dan memanggil aku oleh anugerah-Nya, berkenan menyatakan Anak-

Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan

Yahudi” (Gal 1,15-16). Ia sadar bahwa dirinya harus berhadapan dengan orang-orang

yang mempunyai latar belakang – baik religius maupun kultural – berbeda dengan

dirinya. Ketika berhadapan dengan orang-orang sebangsanya ia dapat dengan mudah

mengajak mereka merenungkan peristiwa Kristus sebagai pemenuhan janji Allah demi

keselamatan manusia. Karena itu dalam karya misionernya, Paulus selalu mulai dengan

mengunjungi synagoge-synagoge, tempat berkumpul mereka yang sering disebut

sebagai ‘orang-orang yang takut akan Allah’ (misalnya, di synagoga Antiokhia Pisidia,

Kis 13,16.26). Di tengah-tengah orang sebangsanya, ia dapat mengawali pewartaannya

bertolak dari latar belakang agama Yahudi yang sama.

Lain halnya ketika ia harus berhadapan dengan orang-orang non-Yahudi. Di

hadapan mereka, Paulus tidak mungkin menerapkan refleksi teologis berdasar latar

belakang Yahudinya. Ia membutuhkan ’bahasa’ yang berbeda. Di samping itu, dalam

melaksanakan panggilannya, ia harus keluar dari Yerusalem untuk bertemu dengan

bangsa-bangsa non-Yahudi di tempat tinggal mereka. Paulus tidak hanya menunggu,

melainkan dengan rajin ia membawa pesannya dan berkeliling ke pelosok-pelosok Asia

Kecil untuk mewartakan Injilnya. Perjalanan misi Paulus merupakan sebuah perjalanan

yang panjang. Paulus melakukan perjalanan misinya dengan berjalan kaki atau

terkadang berlayar dengan kapal yang tidak sebagus saat ini. Paulus memulai

pelayananya di Damsyik.69 Dan berlanjut keberbagai tempat lainya di daerah Asia dan

Eropa. Menurut Bosch

69 Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru. (Malang: Gandum Mas. 2003), 307
66

Pada decade pertama dari gerakan Kristen mula – mula, ada tiga tipe usaha misi
yang pertama yaitu: (1) para pengkhotbah keliling yang berpindah – pindah dari
satu tempat ke tempat lain di wilayah Yahudi dan memberitakan pemerintahan
Allah yang segera datang; (2) orang Kristen Yahudi yang berbahasa Yunani
yang melaksanakan misi kepada bangsa - bangsa bukan Yahudi, pertama – tama
dari Yesusalem (sering kali di paksa meninggalkan kota karena penganiayaan)
dan kemudian dari Antiokhia; dan misionaris Kristenyang Yudais yang pergi
kepada jemaat – jemaat Kristen yang sudah ada untuk ‘mengoreksi’ apa yang
mereka anggap sebagai penafsiran injil yang keliru.. 70

Dalam pelayanan misinya Paulis mengggabungkan tipe pertama dan tipe kedua

dari tipe – tipe usaha misi diatas. Ia adalah seorang pengkhotbah keliling yang

berkeliling keberbagai tempat untuk memberitakan Injil sekalipun banyak tantangan

yang ia alami tetapi ia tetapi tidak berhenti untuk memberitakan Injil Yesus Kristus

kepada bangsa – bangsa bukan Yahudi khususnya di kota – kota strategis kekaisaran

Romawi. Menurut Oeleg yang di kutip oleh Bosch

Paulus terlibat dalam “Zentrummission” artinya misi di pusat – pusat strategis


tertentu. Ia memusatkan perhatianya pada distrik atau ibu kota provinsi yang
masing – masih mewakili seluruh wilayahnya. Tesalonika untuk Makedonia,
Korintus untuk Akhaya, dan Efesus untuk Asia. Paulus berpikir secara regional,
bukan etnis. Di setiap kota ini ia meletakkan dasar – dasar paguyuban Kristen,
jelas dalam pengharapan bahwa dari pusat – pusat strategis ini, Injil akan di
bawa kepedesaan dan kota – kota sekitarnya.71

Dalam kisah Para Rasul, Lukas menulis bahwa Paulus mengadakan tiga misi

pewartaan Injil.72

Perjalanan misi pertama Paulus

Perjalanan misioner Paulus yang pertama dilaporkan dalam Kisah 13:4-

14:28 Rute yang dijalani Paulus adalah: Antiokhia (Siria) – Seleukia – Salamis –

Pafos – Perga – Antiokhia di Pisidia – Ikonium – Listra – Derbe – Listra –

Ikonium – Antiokhia di Pisidia – Perga – Antiokhia Siria.

70 David J Bosch, Transformasi Misi Kristen, Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah
(BPK Gunung Mulia, 1997), 201 - 202
71 Ibid
72 J.I Packer, Merrill C. Pelayanan Rasul Paulus Dan Surat-Surat Rasul Paulus. (Malang,
Gandum Mas, , 1993), 56
67

Dalam pimpinan Roh kudus Paulus bersama Barnabas dan Markus

berangkat melaksanakan misi ini. (Kis 12:24-13:3) Perjalanan misi ini cukup

berhasil. Pewartaan Paulus dan Barnabas diterima dengan baik, walaupun

demikian mereka juga meghadapi tantangan-tantangan terutama dari orang-

orang Yahudi yang tidak mau percaya akan pewartaan mereka. Sebelum

melakukan perjalanan misi kedua, Paulus dan Barnabas harus ke Yerusalem (Kis

15:1-34). Mereka menghadap pimpinan jemaat di sana untuk menyelesaikan

persoalan yang cukup penting dalam perkembangan jemaat Kristen perdana

yaitu mengenai kewajiban orang Kristen non-Yahudi. Bagi orang-orang Kristen

Yahudi, setiap orang yang percaya kepada Kristus harus menaati hukum Taurat

dan disunat agar memperoleh keselamatan, sementara bagi Paulus mereka harus

dibebaskan dari kewajiban menaati hukum Taurat. Karena tidak menemukan

titik temu, akhirnya persoalan ini dibawa ke dewan rasuli. Akhirnya, dalam

bimbingan Roh kudus pimpinan jemaat Yerusalem memutuskan supaya kepada

jemaat Kristen yang berasal dari kalangan non-Yahudi jangan ditanggungkan

lebih banyak beban.

Ada dua peristiwa besar yang terjadi sesudah perjalanan misi pertama

Paulus. Pertama, konsili di Yerusalem. Sesudah melakukan perjalanan pertama

ini, Paulus menemukan banyak hal yang perlu didiskusikan, khususnya bertalian

erat dengan iman akan Yesus dan perwujudannya dalam kebudayaan tertentu.

Kebanyakan pemikir setuju bahwa pertemuan penting antara Paulus dan jemaat

di Yerusalem terjadi di antara tahun 48-50,73 yang dijelaskan dalam Kis. 15:2

dan biasanya dilihat sebagai peristiwa yang sama dengan yang disebutkan oleh

73 Paul, St" Cross, F. L., (Ed.) The Oxford Dictionary Of The Christian Church, New York: Oxford
University Press, 2005. 113
68

Paulus dalam Galatia 2:1.74vPertanyaan kunci yang diajukan adalah apakah non-

Yahudi yang bertobat perlu disunat (bdk. Kisah Para Rasul 15:2, Galatia 2:1).

Pada pertemuan ini, Petrus, Yakobus (saudara Yesus Kristus), dan Yohanes

menyetujui misi Paulus bagi bangsa-bangsa lain.

Kedua, adanya insiden di Antiokhia. Meskipun perjanjian dicapai pada

Konsili Yerusalem sebagaimana yang dipahami oleh Paulus, Paulus

menceritakan bagaimana ia kemudian didepan umum mengkritik Petrus, atas

keengganan Petrus untuk makan bersama dengan orang Kristen non-Yahudi di

Antiokhia, setelah menerima kunjungan orang-orang Yahudi Kristen (karena

secara tradisi, orang-orang Yahudi dilarang makan bersama orang-orang bukan

Yahudi).75 Di dalam Surat Galatia, yang merupakan sumber utama dari insiden

di Antiokhia ini, Paulus mencatat perkataannya kepada Petrus: "Jika engkau,

seorang Yahudi, hidup secara kafir dan bukan secara Yahudi, bagaimanakah

engkau dapat memaksa saudara-saudara yang tidak bersunat untuk hidup secara

Yahudi?" (Galatia 2:11-14). Paulus juga menyebutkan bahwa bahkan Barnabas

(rekan seperjalanannya hingga saat itu) ikut-ikutan bersikap seperti Petrus. 76

Hasil akhir dari insiden tersebut masih belum jelas. The Catholic Encyclopedia

menyatakan: "catatan Paulus atas insiden itu tidak meninggalkan keraguan

bahwa Petrus melihat kebenaran dari teguran itu." 77 Setelah kejadian itu Paulus

kemudian berangkat memulai misi berikutnya dari Antiokhia.

Perjalanan misi Paulus yang kedua

74 Ibid. 114
75 New Catholic Encyclopedia: Judaizers, Lihat Bagian Judul: "The Incident At Antioch",
Washington: The Chatolic University Of America, 2003, Hal. 918.
76 Ibid.
77 Ibid.
69

Perjalanan misioner kedua dilaporkan dalam Kisah 15:36-18:23 dengan

rute sebagai berikut: Antiokhia - Siria - Kilikia - Derbe - Listra - Frigia - Galatia

- Misia - Troas – Samotrake – Neapolis - Filipi - Amfipolis - Apolonia -

Tesalonika - Berea - Atena – Korintus - Kengkrea – Efesus – Kaisarea -

Antiokhia.

Perjalanan ini ditandai dengan perselisihan antara Barnabas dan Paulus

yang berbuntut pada berpisahnya mereka dalam perjalanan misi selanjutnya.

(Kis 15:36-41). Pertikaian antara Paulus dan Barnabas menunjukan bagaimana

pada awal kehidupan jemaat perbedaan pikiran, perasaan dan mungkin juga

naluri, ikut menentukan suatu karya misi. walaupun mereka konflik dan

berpisah, pewartaan Injil tetap dilaksanakan, bahkan perpisahan ini membuat

Injil semakin luas diwartakan. Akhirnya Barnabas mengajak Markus berlayar ke

Siprus, dan Paulus membawa Silas mengelilingi Siria dan Kilikia (Kis 15:41).

Mereka mengambil jalur yang berbeda. Dalam perjalanan misi ini, Paulus

menjelajahi daerah Likaonia, Pisidia, Galatia, Makedonia (Filipi dan

Tesalonika), Atena dan Korintus. Di Listra seorang murid Paulus bernama

Timotius bergabung dengan Paulus.

Pewartaan pada misi kedua ini berjalan dengan baik, banyak orang yang

percaya dan dibabtis, tetapi mereka juga banyak mengalami tantangan dan derita

yang tak kalah hebatnya. Misalnya di Filipi banyak orang non-Yahudi yang

percaya dan dibabtis, termasuk Lidia, seorang pedagang Kain yang cukup

berpengaruh dalam masyarakat tersentuh dengan pewartaan Paulus lalu menjadi

Kristen. Di kota ini juga Paulus dan Silas dikejar-kejar karena membebaskan roh

jahat dari seorang budak perempuan, sehingga pemiliknya kehilangan


70

penghasilan. Hal ini berbuntut pada penangkapan dan pemenjaraan Paulus dan

Silas. Namun Tuhan menyertai mereka, sehingga mereka dibebaskan, bahkan

membabtis kepala penjara. Begitu juga dengan kota-kota lain seperti Tesalonika,

Atena, dan Korintus. Di Tesalonika pewartaan berjalan dengan baik, tetapi

mereka juga dikejar-kejar oleh orang Yahudi yang tidak senang dengan

pewartaan Paulus.

Perjalanan misi Paulus yang ketiga

Perjalanan misioner ketiga diceritakan dalam Kis 18:23-21:17 dengan

rute: Antiokhia – Frigia – Efesus (3 tahun) – Makedonia – Filipi – Troas – Asos

– Metilene – Samos – Miletus – Knidus – Rhodos – Patara – Mitra – Tirus –

Ptolomais – Kaisarea.

Dalam perjalanan misi ketiga ini, Paulus ingin ke Yerusalem. Walaupun

ada yang melarang Paulus untuk pergi karena hidupnya terancam, tetapi Paulus

tetap ingin pergi. Paulus berangkat dari Antiokia dan pergi lagi ke Asia kecil,

menuju Efesus. Pewartaannya di sini menimbulkan huru-hara yang disebabkan

oleh tukang perak. Ia menggerakan tukang-tukangnya untuk mengacau kota dan

melawan Paulus. (Kis 19:23-41). Di Efesus Paulus tinggal cukup lama. Dan dari

Efesus Paulus melanjutkan perjalanan ke wilayah Makedonia dan Yunani lalu

kembali ke Siria atau Antiokhia (Kis 20:1-3). Dalam perjalanan ke Antiokhia

Paulus singgah di Troas. Dari sana Ia ke Miletus dan dia mengumpulkan tua-tua

jemaat untuk memberikan pesan perpisahan kepada mereka yang intinya supaya
71

mereka menjadi gembala yang baik dan menjaga kawanan yang ada pada

mereka. Dari Miletus Paulus melanjutkan perjalanannya ke Yerusalem dan

sempat singgah di Tirus.(Kis 21:1-6). Di Yerusalem orang-orang Yahudi dari

Asia menghasut orang banyak untuk menentang Paulus. Mereka menuduh

Paulus sebagai seorang pengkhianat yang menentang bangsa Israel, Taurat dan

Bait Allah. Hal ini berujung pada penangkapan Paulus dan mereka mau

membunuhnya. Untungnya ia diselamatkan oleh tentara Roma. (baca Kis 21:17-

40). Lalu Paulus ditangkap dan dipenjarakan. Lalu kemudian dipindahkan ke

penjara Kaisarea. (lihat Kis 23 dan 24). Karena mengalami pengadilan tidak

adil, Paulus naik banding ke Roma. Lalu pergilah ia ke Roma dan setelah

melalui perjalanan yang panjang dan berbahaya, tibalah Paulus di Roma. Di kota

ini dia ditahan dalam tahanan rumah, tetapi walaupun demikian ia tetap

melakukan pemberitaan Injil. Irenaeus, bapa gereja pada abad ke-2, mencatat

bahwa Petrus dan Paulus adalah tokoh-tokoh utama gereja di Roma dan mereka

telah menunjuk Linus sebagai uskup gereja Roma, meneruskan tugas mereka. 78

Akhirnya di kota ini, Paulus diadili dan wafat sebagai martir. Cerita perjalanan

ke Roma dapat dibaca dalam Kisah 21:15-28:31. Rutenya adalah: Antipatris –

Kaisarea – Sidon – Mira – Kreta – Malta – Sirakusa – Regium – Putioli – Roma.

Perjalanan misi Paulus tidak bisa dilepaskan dari tantangan dan penderitaan.

Banyak pengorbanan Paulus dalam mewartakan Injil. Kepada jemaat di Korintus dia

mengatakan: “Apakah mereka pelayan Kristus? -- aku berkata seperti orang gila -- aku

lebih lagi! Aku lebih banyak berjerih lelah; lebih sering di dalam penjara; didera di luar
78 Ireneus Against Heresies 3.3.2: The "...Gereja Didirikan Dan Diorganisasi Di Roma Oleh 2
Orang Rasul Yang Paling Agung, Petrus Dan Paulus; Juga Dengan Iman Yang Diajarkan Kepada Orang-
Orang, Telah Diturunkan Kepada Zaman Kita Melalui Pergantian Uskup-Uskup... Para Rasul Yang
Diberkati, Kemudian, Setelah Mendirikan Dan Membesarkan Gereja, Menyerahkan Kepada Linus,
Jabatan Keuskupan (Episkopat)". Tersedia Di Www.Wikipedia.Org//Paulus//, Di Akses Tanggal 1 Maret
2015
72

batas; kerap kali dalam bahaya maut. Lima kali aku disesah orang Yahudi, setiap kali

empat puluh kurang satu pukulan, tiga kali aku didera, satu kali aku dilempari dengan

batu, tiga kali mengalami karam kapal, sehari semalam aku terkatung-katung di tengah

laut. Dalam perjalananku aku sering diancam bahaya banjir dan bahaya penyamun,

bahaya dari pihak orang-orang Yahudi dan dari pihak orang-orang bukan Yahudi;

bahaya di kota, bahaya di padang gurun, bahaya di tengah laut, dan bahaya dari pihak

saudara-saudara palsu.” (2 Kor 11:23-26).79

Perjalanan misi Paulus tidak mudah. Barclay mentebutkan bahwa kalau kita

menghitung jarak yang di tempuh Paulus dalam perjalanan – perjalananya, maka

ternyata jaraknya mencapai kira – kira 9000 km.80 Sungguh merupakan perjalanan yang

sangat panjang apa lagi di tempuh dengan menggunakan sarana transportasi yang

terbatas bahkan sampai harus nberjalan kaki. Dalam perjalanan pelayanannya tantangan

datang dari orang Yahudi sendiri yang tidak percaya dan iri hati dengan pewartaan

Paulus. Paulus juga menghadapi tantangan di tempat misi terutama dari pemimpin dan

penduduk lokal. Paulus banyak berhadapan dengan kuasa kegelapan misalnya dalam

Kis 16:13-18. Tak jarang Paulus dianggap sebagai saingan (Flp 1:15). Dia juga menjadi

korban iri hati. Jadi, dalam mewartakan Kristus itu tidaklah mudah halmini sesuai

dengan perkataan Tuhan Yesus saat menyatakan panggilan-Nya pada Paulus melalui

Ananias (Kis 9:16).

Konsep Misi Rasul Paulus


Merujuk pemaparan mengenai latar belakang kehidupan dan karya pelayanan
Rasul Paulus jelaslah bahwa Rasul Paulus adalah teladan dalam kegerakan misi. Konsep
misi Rasul Paulus adalah sebagai berikut:
Pertama, Pemberitaan Injil Adalah Keharusan Ilahi Bukan Kemegahan Diri
79 John Drane, Memahami Perjanjian Baru, (BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996), 344 – 345
80 Willian Barclay, Duta Bagi Kristus, (Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1985), 3
73

Bagi Paulus pelayanan misi pemberitaan Injil adalah keharusan karena


pemberitaan Injil merupakan ketetapan Allah. Dalam hal ini Paulus tidak memilki
alasan untuk bermegah. Ia hanya melakukan apa yang harus ia lakukan. Ia tidak
memiliki motivasi lain di luar penetapan ilahi ini. Jadi, ini bukan masalah perasaan
pribadi maupun kepentingan pribadi. Pemberitaan Injil merupakan tujuan Yesus saat
memanggil para muridnya demikian juga saat Ia memanggil Saulus sang penganiaya
jemaat Kristen dan mengubahnya menjadi Paulus sang misionaris bagi kaum non
Yahudi. Paulus memakai frase ‘Itu (Pekabaran Injil) adalah keharusan bagiku.’ Istilah
‘keharusan’ menekankan suatu kewajiban yang mutlak dan harus dilakukan. Jika tidak,
hanya ada dua kemungkinan, yaitu ia taat kepada Allah atau melawan Allah. Itu berarti
memberitakan Injil bukan suatu pilihan yang keputusannya ditentukan diri Paulus
sendiri. Artinya bagi Paulus suka atau tidak, mau atau tidak, senang atau tidak,
pemberitaan Injil adlah kewajiban yang harus dilakukan oleh Paulus.
Dalam pemberitaan Injil yang di lakukan oleh Paulus di sertai dengan mujizat
dan karya pelayanannya sangat di akui oleh berbagai kalangan dalam perkembangan
gereja mula – mula. Ia sangat di sanjung oleh karya pelayanannya. Meskipun pelayanan
Paulus di penuhi banyak mujizat dan karyanya begitu besar bagi perkembangan gereja
mula – mula. Namun, Paulus tidak terlibat dalam pemberitaan Injil untuk kepentingan
dirinya sendiri. Dalam pelayanannya untuk memberitakan Injil yang menjadi focus
Paulus bukan tentang dirinya tetapi tentang kehendak Allah yang mengharuskan Paulus
untuk memberitakan Injil. Segala pencapaian yang di peroleh Paulus dalam pelayanan
misinya tidak menjadikan dirinya berbangga diri atau sombong. Karena Pulus sadar
betul bahwa semua karyanya dalam pemberitaan Injil dan pencapaianya dalam
pelayanan gereja bukan karena kehendaknya, sebab Paulus adalah seorang penganiaya
jemaat Kristen yang menerima anugrah dari Yesus bukan saja untuk menyelamatkan
dirinya bahkan Yesus mempercayakan panggilan pelayanan kepada Paulus untuk
menjadi rasul bagi orang non – Yahudi. Jadi kesadaran penuh bahwa jika Paulus dapat
di pakai Tuhan untuk menyelamatkan jiwa melalui pemberitaan Injil.
Paulus dengan jelas sangat memahami bahwa semua manusia telah berbuat dosa
dan upah dosa adalah maut. Tetapi karunia Allah adalah hidup yang kekal dalam
Kristus Yesus (Rom 3:23; 6:23). Selain itu, karena Injil adalah kekuatan Allah yang
menyelamatkan setiap orang percaya (Rom 1:16-17). Dengan kata lain, semua manusia
membutuhkan anugerah pengampunan dosa dan keselamatan, dan itu hanya dapat
74

diperoleh di dalam nama dan melalui karya penebusan Kristus Yesus (Kis 4:12; 1 Petr
2:24). Bagi Paulus, sebesar apapun harganya, ia rela membayarnya, agar Injil
diberitakan dan orang berdosa diselamatkan. Untuk tujuan penyelamatan inilah Paulus
sadar betul bahwa itu adalah panggilan Tuhan baginya yang harus ti taati. Paulus
memberitakan injil bukan untuk maksud kepentingan dirinya tetapi bersumber dari
kesadaranya akan tanggungjawabnya sebagai hamba Tuhan. Injil adalah lebih penting
daripada kehidupan pemberita Injil itu sendiri. Tidak heran dalam sejarah misi dunia,
Allah dalam kedaulatan-Nya membiarkan para pemberita Injil mati syahid, tetapi Ia
tidak pernah membiarkan Injil-Nya tidak diberitakan.

Kedua, Tidak Memberitakan Injil berarti melawan Kehendak Allah.


Bagi Rasul Paulus pengmberitaan Injil bukan mengenai suka atau tidak, mau
atau tidak tetapi adalah kewajiban untuk menaati kehendak Allah. Dengan kata lain bagi
Paulus tidak memberitakan injil adalah tindakan melawan kehendak Allah. Yakub Tri
Handoko memberikan beberapa petunjuk berikut ini mendorong setiap orang percaya
untuk memahami konsep misi Paulus ini:
Pertama. Paulus tampaknya memang serius memandang hukuman ilahi akibat
kelalaian dalam pemberitaan Injil. Pertama, berpijak pada ide tentang kematian
yang sudah disinggung sebelumnya (ay. 15 “...adalah lebih baik mati
daripada...”), Paulus tampaknya sedang memikirkan “celaka” sebagai sesuatu
yang lebih serius daripada kematian fisik. Walaupun dalam pemberitaan Injil
Paulus selalu diperhadapkan pada kematian (4:9; 15:31-32; 2Kor. 1:8-10),
namun bagi dia kematian fisik masih lebih baik daripada “celaka” akibat lalai
memberitakan Injil.
Kedua, di akhir 1 korintus 9 Paulus mengungkapkan kerinduannya supaya
setelah memberitakan Injil ia sendiri tidak ditolak gara-gara tidak mampu
menguasai diri dalam segala hal (9:27).
Ketiga, di pasal 10 Paulus memaparkan orang-orang Israel di zaman dahulu
yang binasa akibat penyembahan berhala (10:5-12). Jadi, seruan “celaka” yang
diucapkan Paulus sebaiknya diterima sebagai sebuah peringatan yang sungguh-
sungguh. Ini jauh lebih serius daripada sekadar perasaan bersalah. Ini bahkan
75

lebih serius daripada hukuman tertentu yang kita takutkan jika tidak
memberitakan Injil.81

Paulus menyadari betul bahwa ada ancaman hukuman Allah yang sangat serius
ditujukan kepada dirinya jika tidak memberitakan Injil. Itulah sebabnya Paulus
berkata,”Celakalah aku jika tidak memberitakan Injil”? Karena ia menyadari bahwa
tugas itu adalah kehendak Allah yang harus di kerjakan di mana perintah untuk
memberitakan Injil diterimanya pada saat terjadinya perjumpaan pribadinya dengan
Kristus (Kis 9:3-6, 15). Sejak saat itu ia selalu setia, taat, dan rela memberitakan Injil
dan menderita demi Kristus. Selain itu, ia juga merasa berhutang (Injil) kepada orang
Yunani dan non-Yunani, itu sebabnya ia memberitakan Injil di Roma (Rom 1:14). Jadi
penginjilan adalah suatu kewajiban yang mesti dilakukan dan ibarat hutang yang harus
dibayar. Jika tidak, maka ada ancaman konsekuensi hukuman Allah. Ketika Paulus
berbicara tentang kewajiban memberitakan Injil, yang ia sadari adalah adanya
penghakiman terakhir atas setiap aspek hidupnya (1 Kor 3:13 - 15; 2 Kor 5:9-10). Pada
waktu itu setiap orang percaya harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya,
termasuk kesetiaan dalam menginjili. Istilah yang Paulus gunakan untuk melukiskan
penghakiman tersebut.
Ketiga, Injil harus di beritakan dengan mulut dan ditunjukkan dengan perbuatan
baik
Merujuk pada penafiran dalam pembahasan sebelumnya kata mengkhotbahkan
Injil itu berhubungan erat dengan penyampaian Injil secara verbal. Darrell W. Robinson
menyatakan salah satu cara untuk mengadakan terobosan adalah dengan proklamasi
publik. Ini adalah pemberitaan Injil dan pengajaran di muka umum. Tujuannya adalah
memanggil orang-orang yang tersesat agar segera bertobat, menerima Kristus, dan
mengikut Dia.82 Di saat banyak orang Kristen hanya menekankan perbuatan baik
sebagai media kesaksia sebagai orang Kristen di tengah lingkungan. Tetapi enggan
untuk memberitakan siapa Yesus menurut rasul Paulus adalah hal yang tidak tepat. Bagi
Paulus injil harus di komunikasikan atau di beritakan kepada semua orang agar mereka
mengenal siapa Yesus dan meresponinya dengan datang pada Yesus. Namu, di saat
yang sama pemberita injil haruslah seorang yang dapat menjaga pola hidup yang benar

81 Yakub Tri Handoko, Eksposisi 1 Korintus9:15 – 18, Tersedia Di, Http://Www.Gkri-Exodus.Org,


Di Akses Tanggal 20 Maret 2015
82 Darrell W. Robinson, Total Church Life (Bandung: Lembaga Literatur Baptis, 2004), 289.
76

di tengah masyarakat sambal terus memberitakan injil. Y Tomatala menyebutnay


sebagai Body Evangelism adalah:
Konsepsi Body Evangelism bersifat terbuka, selektif serta konfrenhensif dalam
pelayanan gereja. Body Evangelism ini berorientasi kepada gol atau tujuan yang
jelas. Gol atau tujuan yang jelas itu diungkapkan dalam perpaduan pendekatan
penginjilan yang dituangkan dalam istilah “3P + I into the Body.” 3 P
menjelaskan:
P = presense, yaitu penginjilan melalui kehadiran di tengah-tengah masyarakat.
P = proclamation, menjelaskan tentang tanggung jawab memberitakan isi Injil
(1 Korintus 15:1-4) dengan jelas dan tegas tanpa kompromi tetapi penuh hikmat.
P = persuation, menekankan sikap atau cara menyampaikan Injil yang
berwibawa dan meyakinkan orang tentang kebenaran Injil Yesus Kristus dan
menuntut keputusan bagi Kristus. Hal ini penting untuk memastikan karunia
Allah dalam kehidupan setiap orang (Yoh. 3:16; 1:12; 1 Yoh. 5:13).
I - I into the Body, menekankan pada pentingnya menghubungkan orang yang
telah bertobat terhubung dalam satu komunitas orang percaya (gereja). 83
Jadi sebagai pemberita Injil setiap orang percaya harus memberi diri terlibat
secara nyata dalam pemberitaan Injil secara verbal dan visual. Ini harus berjalan
berimbang.
Keempat, Hidup Dalam Kristus Adalah Hidup Yang Menghasilkan Buah
Bagi Paulus kehidupanya sebagai orang yang telah di selamatkan adalah
kegidupan yang harus menghasilkan buah bagi kemuliaan Kristus. Itulah sebabnya ia
menyatakan “bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan… jika aku hidup
itu berarti memberi buah” (Fil 1:21-22). Memberi buah bagi Kristus di mata Paulus
adalah hidup untuk menyebarluaskan Injil Yesus Kristus dan membawa jiwa pada
Tuhan Yesus karena itu ia dengan gigih menempuh perjalanan misi yang panjang dari
kota ke kota untuk menyebarluaskan Injil Kerajaan Allah agar setiap lidah mengaku
bahwa Yesuslah Tuhan dan setiap lutut bertelut menyembah Yesus bagi
kemuliaanAllah Bapa. Motif kunci dari konsep misi Paulus adalah penerobosan Injil ke
segala bangsa (Rom 1:16, 3: 22, 15:9).84 Tidak ada batasan wilayah atau ruang yang
dapat membatasi Injil. Kemana saja Injil harus di beritakan bahkan saat Paulus dalam

83 Y. Tomatala, Penginjilan Masa Kini 1 (Malang: Gandum Mas, 1988), 50..


84 Herman Riderbos, Paulus Pemikiran Utama Teologinya, (Surabaya: Momentum, 2010), 459
77

penjara ia tidak berhenti untuk memberitakan Injil dan menghasilkan buah jiwa – jiwa
bagi Tuhan. Melalui pelayanan misi Paulus pengaruh gereja mula – mula berkembang
dengan penambahan jiwa – jiwa bagu dari bangsa – bangsa non Yahudi dan mengalami
perluasan secara geografis. Perluasan ini sesuai dengan apa yang di kehendaki oleh
Yesus saat memberikan perintah Agung yaitu untuk menjadikan semua bangsa murid
Yesus (Mat 28:18 - 20).
Jika seorang menyatakan bahwa ia telah di selamatkan da nada di dalam Kristus
maka ia harus menghasilkan buah bagi Kristus. Inilah yang menjadi alasan Paulus
mendorong gereja yang di rintis olehnya untuk terlibat secara nyata bdalam pelayanan
misi, mulai dari mengambil beban untuk berdoa bagi pelayanan misi yang di kerjakan
Paulus, terlibat memberi dukungan tenaga dan dana untuk menopang pelayanan misi
Paulus dan meliubatkan gereja yang ia rintis untuk menjangkau daerah di sekitar
mereka dengan Injil Yesus Kristu.
Strategi Misi Paulus
Dalam sepanjang pelayanan misi dan penginjilan yang di lakukan oleh rasul
Paulus ke berbagai daerahPaulus menerapkan strategi misi dengan menggunakan
berbagai pola pendekatan sebagai berikut:
Pertama mengikuti tuntunan Roh Kudus
Berbicara tentang pola pendekatan Paulus dalam pelayanan misi yang di
lakukannya hal yang paling pertama ia lakukan adalah mengikuti tuntunan Roh Kudus.
David Bosch menyatakan bahwa “Roh Kudus adalah karunia pertama Allah kepada kita
(Roma 8:23)”.85 Roh Kudus adalah Roh yang dinamis. Daya gerak Roh Kudus
merupakan dynamo yang mendorong dan memberi kuasa kepada Paulus untuk
menjangkau bangsa-bangsa. Paulus menyerahkan perjalanan misionernya di tangan
Allah. Sekalipun perjalanannya direncanakan, ia sadar akan karya Roh Kudus yang
memimpin dirinya (Kis 16,9), sekalipun hal ini membuatnya dianiaya. Dan Roh Kudus
itu pulalah yang menjadi pendorong perjalanannya beberapa kali. Roh Kudus
mendorongnya untuk berangkat ke Antiokia (Kis 13,50-51), Ikonium (Kis 14,5-5),
Listra (Kis 14,19-20), Filipi (Kis 16, 19-40), Tesalonika (Kis 17, 5-9), Berea (Kis
17,13-14), dan Efesus (Kis 21,1).

Kedua, membangun komunilasi yang baik

85 David J Bosch, Transformasi Misi Kristen Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah,
(Jakarta: Gunung Mulia, 1997), 603
78

Rasul Paulus dalam pelayanannya memperhatikan dengan benar caara untuk


berkomunikasi dalam permberitaan Injil, hingga ia menjadi seorang penginjil yang
sukses pada zamannya. Penyampaian Injil yang dilakukan Paulus sangat ariatif dan
menggunakan konteks yang dapat di mengerti oleh pendengarnya. Pendekatannya
dengan berbagai cara sangat efektif, sehingga banyak orang menjadi percaya walaupun
ada juga yang menolaknya. Dalam pemberitaannya tentu tidak terlepas dari proses
komunikasi. Berikut beberapa bentuk yang digunakan rasul Paulus dalam memberitakan
Injil:

Komunikasi di sinagoge
Menurut Trias Kuncahyo sinagoga adalah “Suatu rumah ibadah yang
mempertemukan khalayak dengan para pemimpin agama mereka” 86 Setibanya di
satu kota, hal pertama yang Rasul Paulus lakukan adalah pergi ke sinagoga
setempat pada hari Sabat, dan turut ambil bagian dalam kebaktian hari itu.
Sebagai seorang asing, ia akan diminta oleh pejabat keagamaan setempat untuk
memberi tafsirannya tentang Taurat. Ini merupakan kesempatan untuk menarik
perhatian para pendengar dan mewartakan Kristus yang Bangkit. Dari sudut
pandang strategis ini orang-orang bukan Yahudi menerima Allah Israel; “umat
yang takut pada Allah” adalah target utama dari pewartaannya kepada bangsa
bukan Yahudi atau kaum kafir. Dengan mewartakan Injil dalam sinagoga,
orang-orang inilah yang Paulus inginkan. Pergi ke sinagoga merupakan hal yang
tetap dilakukan dalam seluruh hidup Paulus. Bahkan pada akhir hidupnya ketika
ia tiba di Roma, Paulus mengundang orang-orang Yahudi di kota itu untuk
mendengarkan apa yang ia hendak wartakan (Kis 28).
Komunikasi dari hati ke hati
Komunikasidari hati ke hatii adalah komunikasi yang terjadi di antara
dua orang, di mana ke dua orang yang terlibat pembicaraan saling mengenal,
berhubungan, dan saling mempengaruhi. Dalam Kisah Para Rasul kita dapat
melihat bagaimana Paulus mengkomunikasikan Injil lewat Dialog secara hati ke
hati seperti yang dilakukannya kepada kepala penjara di Filipi (Kis 16:19-40),
juga halnya bagaimana Paulus dapat memenangkan Onesimus budak Filemon

86 Trias Kuncahyo, Jerusalem 33 Imperium Romanum, Kota Para Nabi, Dan Tragedi Di Tanah
Suci (Jakarta: Gramedia, 2011), 202
79

yang melarikan diri dan bertemu dengan Paulus. Kesempatan itu Ia gunakan
untuk mengkomunikasikan Injil Yesus kepada Onesimus sehingga Paulus dapat
memberi kesaksian kepada Filemon bahwa Onesimus sekarang telah menjadi
pribadi yang baru didalam Yesus. Melalui komunikasi antar pribadi Paulus
dengan kuasa injil menyentuh manusia secara utuh. Menurut pendapat D.W.
Ellis dalam bukunya metode penginjilan mengatakan bahwa “Unsur kepribadian
antara lain adalah akal atau kecerdasan, parasaan, kemauan” 87 Paulus dalam
menyapaikan Injil selalu menggunakan hal – hal yang mudah di pahami oleh
pendengarnya. Komunikasi antar pribadi ini dilakukan Paulus tidak hanya secara
langsung (tatap muka) tetapi juga lewat surat-surat kepada pribadi-pribadi,
seperti surat kepada; Titus, Filemon, Timotius.
Komunikasi melalui kuliah
Menurut Kisah Para Rasul 19:9, Paulus mengajar setiap hari di ruang
kuliah Tiranus ketika ia memberitakan Injil di Korintus. Karena pada saat itu
Paulus tidak diperbolehkan untuk mengajar di Sinagoge maka Paulus mengubah
tempatnya ke ruang kuliah Tiranus. Paulus harus bekerja pada waktu pagi dan
sore, membangun tenda dan mengajar ditengah-tengah waktu itu. Hal ini
memperlihatkan kesungguhan Paulus untuk mengajar dan kesungguhan orang
kristen untuk belajar.
Ketika Paulus mengajar dan memberitakan Injil kepada orang-orang di
Korintus melalui kontak secara langsung di ruang kuliah, ini merupakan hal
yang sangat efektif karena Paulus bisa bertemu dengan mereka secara langsung.
Menurut Eckhard J Schnabel mengatakan bahwa “Paulus mengajar dari jam
sepuluh pagi sampai jam empat sore”88
Palulus memaki ruang kuliah untuk melatih orang percaya agar
menjangkau Asia bagi Kristus dan melalui pelatihan di ruang kuliah Tiranus
Asia di menangkan untuk Tuhan.
Komunikasi dengan semua kalangan masyarakat
Paulus berbicara kepada setiap kelompok masyarakat. Walaupun warga
Korintus berasal dari masyarakat dengan kondisi sosial sangat sederhana, dan

87 D.W. Ellis, Metode Penginjilan (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF YKBK, 1993),
127

88 Eckhard J. Schnabel, Rasul Paulus Sang Misionaris, (Yogyakarta: ANDI Offset, 2010), 328
80

nama-nama yang disebut dalam Rom 16 mengungkapkan gaya hidup yang


sederhana, Lukas melaporkan lebih dari satu kali bahwa Paulus memiliki
hubungan dengan anggota masyarakat dari kelas sosial yang lebih tinggi: Lydia,
seorang perempuan yang berdagang kain ungu, banyak perempuan dari
masyarakat kelas tinggi di Tesalonika dan di Berea (Kis 17,4.12), dan beberapa
pembesar dari Asia (Kis 19,31). Orang-orang yang disebutkan terakhir ini
digambarkan sebagai sahabat-sahabat Paulus. Sangat mungkin mereka adalah
buah-buah dari pewartaan ini. Kis 13,7 mencatat tentang Sergius Paulus,
Prokonsul di Pafos.
Pertemuan Paulus dengan Prokonsul Festus dan Raja Agripa sangat
menarik karena hal itu menunjukkan siapa itu Paulus ketika ia berbicara dengan
tokoh-tokoh yang berada pada puncak tangga sosial. Kepada Festus, yang
menyebutnya seorang gila, Paulus menjawab dengan menunjuk ke Raja Agripa
yang percaya kepada nabi-nabi (Kis 26,27), dan mengatakan keinginannya
bahwa cepat atau lambat semua pendengar di sini akan menjadi sepertinya, yaitu
beriman (Kis 26,29). Bagian pidato yang panjang lebar tentang kegiatan
misioner ini menunjukkan bukan hanya keberanian Paulus tetapi juga bahwa
misinya menjadi semakin mungkin di kalangan bangsa Yahudi.
Menurut 2 Tim 4, 16-17, Paulus mewartakan Injil bahkan selama masa
penahanannya oleh penguasa Roma
Komunikasi Massa
Komunikasi Massa yang dilakukan Paulus secara umum dapat kita
temukan saat Ia mengajar maupun berkhotbah dalam sinagoge. Misalnya ketika
Ia berada di Antiokhia-Pisidia dan Ikonium, Listra, dan Derbe. Khotbah Paulus
didalam sinagoge di Antiokhoa di Pisidia dikutip secara panjang lebar oleh
Lukas (Kis 13:16-43). Secara umum gaya pidatonya menyerupai gaya stefanus,
karena ia menggunakan cara pendekatan dengan mengulang kembali sejarah
hubungan Allah dengan bangsa Israel. Akibat dari pernyataan ini timbul dua
macan respon (umpan balik) disatu pihak ada tanggapan luar biasa atas
pidatonya tapi dilain pihak orang Yahudi yang menentangnya penuh dengan rasa
iri dan dengki. Keadaan yang sama terjadi dikota Ikonium yang terletak agak
kesebelah tenggara dari Antiokhia tetapi pertentangan pendapat begitu hebat
81

hingga para pengkhotbah diusir dari kota dan bersembunyi dikota-kota


sekitarnya yaitu Listra dan Derbe.89
Merujuk pada Martin Harun90[42] dalam sebuah artikelnya yang berjudul
“Melintasi Batas-Batas Agama Dan Kebudayaan”, mengemukakan bahwa
kotbah Paulus di Aeropagus mengikuti susunan retorika Yunani yang berjenis
deliberatif. Paulus memulai (exordium) Kotbahnya dengan mengambil hati
orang Atena. Caranya ia menghargai tinggi ibadah yang mereka lakukan. Paulus
mengemukakan bahwa ia telah melihat sebuah mezbah dengan tulisan “kepada
Allah yang tidak dikenal” (ay.23a). Mezbah itu menujukkan bahwa orang Atena
sesunguhnya sudah menyembah Allah meskipun mereka belum mengenalnya
(propositio). Allah itulah yang Paulus ingin wartakan kepada mereka (ay.23b).
Selanjutnya Paulus menguji dan membuktikan (probatio) proposisi tersebut
dengan menunjukkan bahwa Allah itu adalah Sang Pembuat dan Tuhan langit
dan bumi, tidak tinggal dalam kuil buatan manusia. Ia adalah Sang Pemelihara
hidup manusia dan tidak membutuhkan persembahan dari manusia. Allah itu
telah menjadikan seluruh manusia dari satu orang saja. Ia juga mengatur waktu
dan ruang bagi mereka dengan tujuan agar manusia mencari dan menemukan
Dia (ay.26-27a). Untuk meyakinkan pendengarnya, Paulus mengemukakan dua
kutipan (cheria) dari penyair Yunani sendiri. “Allah dekat dengan manusia
sebab manusia adalah keturunan Allah”. Karena itu manusia tidak perlu
membuat patung Allah (ay.27-29). Selanjutnya kotbah ditutup dengan perorati,
ajakan tobat. Manusia diminta untuk bertobat karena hari pengadilan sudah
ditetaapkan Allah (ay. 30-31). Susunan kotbah di atas menunjukkan bahwa ada
upaya kotbah Paulus di Aeropagus. Paulus berkotbah dengan bertolak dari
situasi konkrit memanfaatkan kebudayaan dan kebiasaan orang Atena baru
kemudian Injil diwartakan.
Komunikasi Lintas-Budaya
Paulus memperlihatkan kemauan dan kemampuannya untuk
menyesuaikan diri dengan pendengarnya di dalam khotbah-khotbahnya, dan
menjelaskan dasar pendekatan ini ketika dia menulis kepada jemaat di Korintus

89 Merrill C. Tenney, Survei Perjanjian Baru . (Malang: Gandum Mas. 2010), 318-319.
90 Martin Harun, “Melintasi Batas-Batas Agama Dan Kebudayaan”, Makalah Seminar Di
Pringen, Yogyakarta, 2 Juli 2000), 14. Tersedia Di
Http://Www.Marin_Harun.Org/Lintas_Batas=Id&X=21&Y=21 Di Akses Tanggal 12 Maret 2015
82

(1Kor 9:20-22). Paulus menunjuk pada satu metode dasar mengkomunikasikan


Injil. Ia menempatkan dirinya dalam posisi dari respondennya apakah mereka
orang Yahudi atau bukan Yahudi, hidup di bawah hukum taurat maupun tidak,
lemah atau kuat. Terdapat satu pemahaman yang sangat nyata dimana ia dapat
menyamakan diri dengan setiap kelompok, dan sungguh ia sama. 91 Pekabaran
Injil seperti itu tentu berbeda dengan pekabaran Injil sekarang, paling tidak
dalam dua hal; pertama, bagi jemaat mula-mula pekerjaan luar negri dan dalam
negri adalah sama. Bahkan, setelah halangan-halangan dari Yudaisme tradisional
diatasi (Kis 15), pemberitan penginjilan tetap bersifat domestik. Kedua, jemaat
yang mengenal dan merupakan bagian dari lingkungan budayanya, tidak
mengalami kesulitan beradaptasi, tetapi menghadapi bahaya ditelan asimilasi.
Sikap menjadi Yunani bagi orang Yunani merupakan kesulitan besar bagi para
utusan Kristen modern, namun bagi Paulus dan para pengganti langsungnya
merupakan hal yang mudah.92
Komunikasi melalui sutat menyurat
Surat-surat Paulus merupakan alat komunikasi antara dirinya dengan
komunitas-komunitas Kristen perdana, tetapi juga penting karena cberisi uraian
teologisnya. Ada 13 surat dalam Perjanjian Baru yang menunjukkan Paulus
sebagai penulisnya.93 Paulus merupakan seorang tokoh Alkitab yang mempunyai
peranan cukup penting dalam sejarah kekristenan. Tulisan-tulisan (surat-surat)
Paulus bisa dikatakan ‘mendominasi’ Alkitab Perjanjian Baru. Setidaknya ada 8
(delapan) surat yang ditulis oleh Paulus sendiri.94 Dari jumlah surat tersebut,
terlihat bahwa sumbangsih Paulus dalam kepengarangan atau sejarah
kekristenan (dalam bentuk tulisan) sangat besar, jika dibandingkan dengan para
penulis kitab-kitab Perjanjian Baru (PB) yang lainnya – yang hanya 1-2 kitab
saja.

91 David J. Hesselgrave, Cummunicating Christ Cross-Culturally, (Malang: Literatur SAAT, 2005)


173.
92 David J. Hesselgrave – Edward Rommen, Kontekstualisasi, Makna Metode Dan Model
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006) 31.
93 Bambang Subandrijo, Menyingkap Pesan-Pesan Perjanjian Baru 1. (Bandung: Bina Media
Informasi, 2010). 29.
94 Dalam Bukunya Yang Berjudul Pengantar Perjanjian Baru; Pendekatan Kritis Terhadap
Masalah-Masalahnya (Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2005), Willi Marxsen Mendata Ada Delapan Kitab
Yang Ditulis Oleh Rasul Paulus. Di Antaranya Adalah 1 & 2 Tesalonika, Galatia, Filipi, Filemon, 1 & 2
Korintus, Dan Roma. Sementara Itu, Kolose, Efesus, Ibrani, 1 & 2 Timotius, Dan Titus Dimasukkan Dalam
Kategori Surat-Surat Pseudo Paulus.
83

Surat-surat Paulus merupakan cermin jiwanya. Surat-surat itu


mengungkapkan motif-motif batinnya, perasaannya yang paling dalam,
keyakinannya yang paling mendasar. Tanpa surat-surat yang ada itu, Paulus
hanya akan menjadi figur yang tak jelas bagi kita. Paulus lebih tertarik kepada
orang-orang dan apa yang menimpa mereka dibandingkan dengan berbagai
formalitas sastra. Ketika kita membaca tulisan-tulisannya, kita sering merasakan
kadang-kadang kata-katanya muncul begitu tiba-tiba, ditulis secara tergesa-gesa
seperti dalam pasal pertama surat Galatia. Kadang-kadang tulisannya terputus
tiba- tiba dan pikirannya meloncat kepada gagasan-gagasan baru. Atau di
beberapa tempat ia seperti menarik napas panjang, lalu menuliskan satu kalimat
yang hampir tidak ada akhirnya. Tulisannya dalam 2 Korintus 10:10 memberi
kita petunjuk tentang bagaimana surat-surat Paulus diterima dan dipandang pada
saat itu. Bahkan musuh-musuh dan para pengecamnya mengakui pengaruh dari
kata- katanya, karena mereka diketahui berkomentar, "surat-suratnya memang
tegas dan keras (2Korintus10:10). Pemimpin-pemimpin yang kuat, seperti
Paulus, cenderung untuk memikat atau membuat tidak senang orang-orang yang
ingin mereka pengaruhi. Paulus memiliki para pengikut yang setia dan juga
musuh yang sangat membencinya. Akibatnya, orang-orang yang hidup sezaman
dengannya memiliki banyak pandangan yang sangat berbeda mengenai dirinya.95
Ketiga, tidak menjadi beban bagi orang yang ia layani
Paulus bukan saja sekedar memberitakan Injil tetapi dia juga mau menderita
karena Injil, Pekabaran Injil adalah salah satu misi yang ditugaskan oleh Allah kepada
umat kristiani.96 Misi dari Tuhan itulah yang membuat Paulus rela menekuni pekerjaan
sebagi pembuat tenda untuk membiyayai pelayanannya selama di Korintus sehingga
tidak memberatkan jemaat Kristen baru yang ia rintis di Korintus. Tidak hanya itu
meski mendapatkan perlawanan Paulus dengan berani memberitakan Injil di tengah –
tengah orang Korintus. Pengorbanan Rasul Paulus terwujud melalui kerja keras,
cucuran air mata, mengesampingkan keuntungan dan kenikmatan pribadi, bekerja untuk
membiayai pelayanannya supaya tidak membebani jemaat. Asalkan jiwa – jiwa baru

95 JL Packer.Merrill C.Tenney.William White Jr, Dunia Perjanjia Baru, (Malang: Gandum Mas,
1993) 214 – 218.
96 David J Bosch, Transformasi Misi Kristen Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan Berubah,
(Jakarta: Gunung Mulia, 1997), 631
84

yang mulai melemah karena tekanan, aniaya dan ancaman tetap kuat berdiri tegak
dalam iman kepada Tuhan Yesus Kristus.
Keempat membangkitkan pemimpin local
Dalam setiap perjalananya merintis jemaat di berbagai kota secepatnya Paulus
membangkitkan pemimpin-pemimpin lokal. Ia dengan cepat mempersiapkan
kepemimpinan gereja. Ia tidak pernah lama tinggal di suatu jemaat (paling lama di
Efesus, 3 tahun), ia harus segera menjangkau yang lain. Namun, misi tidak akan
mencapai sasaran bila ia tidak membangkitkan pemimpin yang memegang kendali atas
kelangsungan gereja Tuhan. Paulus menganggap bahwa tugas gereja adalah
memberitakan Injil kepada semua manusia dan menyatukan semua yang percaya
kedalam kehidupan komunitas gereja97 lalu kemudian gereja itu sebagai komunitas yang
menjangkau jiwa di sekitarnya dengan memberitakan Injil
Paulus mengenali orang-orang potensial di jemaat itu, dan mengangkat mereka
menjadi penatua-penatua yang akan menjadi gembala-gembala bagi jemaat tersebut. Ia
bahkan dari jarak jauh terus memantau dan mengirimi surat-surat kepada mereka untuk
menguatkan mereka serta menjawab pertanyaan-pertanyaan teologis serta isu krusial
yang ada di jemaat-jemaat tersebut. Ia menjadi mentor dan bapa bagi semua jemaat ini.
Motivasi Misi Rasul Paulus
Menurut Kamus Praktis Bahasa Indonesia, misi adalah “tugas yang dianggap
sebagai kewajiban untuk melakukannya demi agama, ideologi atau patriotisme” 98
Paulus adalah seorang yang sangat antusias dalam mengerjakan misi dan penginjilan.
Kegigihanya untuk menyebarkan kabar baik tentang Yesus Kristus terlihat dari
kerelaanya menderita dan kerja kerasnya untuk membiayai perjalanan misinya. Paulus
adalah seorang yang gigih dalam pelayananya ia tidak dapat di hentikan oleh apapun
baik penderitaan, penjara dan ancaman di bunuh oleh para penentang Injil Yesus yang ia
beritakan. Berikut beberapa pola pikir atau konsep yang melatar belakangi keterlibatan
Paulus sang mantan menentang jalan Tuhan yang dengan semangat yang besar
mengabdikan hidupnya untuk pelayanan misi dan penginjilan.
Pertama, Menyadari Panggilanya Sebagai Pemberita Injil

97 John R.W.Stott, Johannes Verkuyl, Dkk, Misi Menurut Persfektif Alkitab, ( Jakarta:
Komunikasi Bina Kasih, 2007), 147
98 Pieter Levianus Hehahia Dan Sujanto Farlin, Kamus Praktis Bahasa Indonesia (Tangerang:
Scientific Press, 2008), 288
85

Allah yang berdaulat bisa bekerja melaksanakan kehendak-Nya tanpa di “bantu”


oleh manusia. Tetapi Ia mempercayakan pelayanan misi ini pada gereja. Setiap orang
percaya mendapat hak istimewa mengambil bagian dalam usaha yang mulia ini. Ada
berbagai macam faktor yang melatarbelakangi mengapa seseorang melayani Tuhan.
Tetapi faktor paling utama yang mendasari pelayanan yang sejati adalah panggilan
Tuhan untuk terlibat melaksanakan kehendak-Nya yang tidak mungkin gagal. Dengan
menyadari panggilan Tuhan akan menjadikan seseorang hidup untuk melayani, bukan
melayani untuk hidup.99 Karena panggilan itu pula, seseorang yang mempunyai
pengalaman nyata akan kasih karunia Allah dalam hidupnya kemudian akan menjadikan
kasih kepada Allah dan sesama sebagai dasar kehidupan dan pelayanannya. Orang yang
memiliki motivasi kasih kepada Allah dan sesama inilah yang akan lebih `tahan
100
banting` dalam pelayanan. Paulus adalah salah satu contoh seseorang yang memiliki
panggilan Tuhan yang jelas dalam hidupnya. Itulah yang membuat hidup dan
pelayanannya begitu luar biasa di dalam tangan Tuhan dan menjadi berkat bagi banyak
orang. Orang itu adalah Raul Paulus.
Menurut Werle yang kutip oleh David bosch pPaulus memberikan hanya satu
jawaban kepada pertanyaan tentang siapa dia dan ingin jadi apa dia – seorang rasul
Yesus Kristus, seorang misionaris. Ia tahu… bahwa Allah telah mengutusnya kedalam
dunia untuk memberitakan Injil dan bukan merenung dan berspekulasi. 101 Kesadaran
Paulus akan panggilanya terjadi saat ia mendengarkan firman Allah melalui Ananias
(kis 9:15). Donal C. Stamps menyatakan bahwa Firman ini merupakan pedang tajam
yang menusuk sampai ke dalam sanubari kita untuk mengetahui apakah pikiran dan
motivasi kita itu rohani atau tidak. Oleh karena itu, tanggapan kita terhadap Firman
Allah seharusnya lebih mendekatkan kita kepada Yesus sebagai imam besar kita.102
Melalui firman yang di dengar Paulus dan perjumpaanya dengan Yesus menjadikan
hidup Paulus berubah. Paulus dengan tegas meyatakan keyakinannya terhadap
panggilan Allah dan apa yagn ia kerjakan (Gal. 1:1). Paulus sadar bahwa sejak dalam
kandungan ia sudah dipilih Allah untuk memberitakan Injil keselamatan di antara orang
non-Yahudi, seklaipun hal tersebut baru ia sadari beberapa puluh tahun kemudian (Gal.
1:15-18). Paulus dengan sangat jelas menyadari panggilanya saat menyatakan bahwa
99 Bagus Surjantoro, Misi Dari Dalam Krisis, (Jakarta, Obor Mitra Indonesia, 2003), 40.
100 Ibid, 41
101 David J Bosch, Transformasi Misi Kristen, Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah Dan
Berubah, (BPK Gunung Mulia, 1997), 194
102 Donal C. Stamps, Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, (Malang: Gandum Mas, 2010), 2059
86

Allah telah mengutusnya kepada bangsa – bangsa untuk membuka mata mereka supaya
berbalik dari kegelapan kepada terang, dari kuasa iblis kepada kuasa Allah (kis 26:18).
Kesadaran akan panggilan dari Allah ini memberikan daya dorong yang besar pada
Paulus untuk melangkahkan kaki mengunjungi bkota – kota dan pedalaman –
pedalaman Asia dan Eropa untuk memberitakan injil Yesus Kristus. Bahkan kata Paulus
di depan raja Agripa bahwa kepada penglihatan yang dari Surga itu tidak pernak ia tidak
taat (kis 26:19).
Kedua, Sebagai Respon Syukur Atas Anugrah Allah Yang Menyelamatkanya
Setelah bertemu dengan Tuhan secara ajaib dalam perjalanan ke Damsyik,
Paulus mengalami perubahan total ddalam pandangan hidup, minat, dan cita-citanya.
Paulus sangat mengasihi Tuhan dan mau melakukan apa saja untuk menyenangkan hati
Tuhan (band. Flp. 1:20-22). Paulus sadar betul bahwa kalau ia bisa mendapatkan
kehormatan untuk melayani Allah yang dulu ia coba lawan dengan menganiaya para
pengikutnya hal itu semata – mata karena kasih dan kebaikan Allah bagi diri Paulus dan
sebagai respon syukurnya Paulus dengan rela mengabdikan dirinya pada panggilan
Allah untuk memberitakan injil.
Karena kasihnya kepada Tuhan, maka secara otomatis palayanannya dikerjakan
senantiasa dengan sepenuh hati. Ia tidak asal-asalan bekerja, ia berusaha memanfaatkan
setiap detik yang ia miliki dengan efisien. Paulus juga tidak hanya berbicara, namun ia
juga mempraktikkan apa yang ia katakan. Ketika Paulus mendapat penglihatan untuk
melayani di Makedonia, ia tidak menunda-nunda (Kis. 16:9-12). Ia segera berlayar ke
kota pertama di bagian Makedonia, yaitu Filipi dan memenangkan Lidia, penjual kain
ungu dan seluruh anggota keluarganya, juga kepala penjara Filipi dan keluarganya.
Mereka inilah cikal bakal jemaat di Eropa yang pertama.
Ketiga, Semua Orang Memerlukan Keselamatan Yang Hanya Ada Dalam Yesus
Paulus memandang Yesus sebagai penyelamat bagi semua orang. Itulah
sebabnya konsep tentang “sama sederajat” menjadi cirri khas dari teologi Paulus yang
nyata dalam surat-suratnya. Kepada jemaat di Roma dia menegaskan “Tidak ada
perbedaan antara orang Yahudi dan orang Yunani. Tuhan yang sama adalah Tuhan
semua orang. Ia memberikan kekayaanNya kepada semua orang yang berseru
kepadaNya” (Rom 10:12). Kepada jemaat di Galatia dia berkata “Tidak orang yahudi
atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau
perempuan. Karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal 3:28). Untuk
87

jemaat di Kolose Paulus meyakinkan mereka dengan berkata “Sejak sekarang tiada lagi
orang Yahudi atau orang Yunani, orang bersunat atau orang tak bersunat, orang Barbar
atau orang Skit, budak atau orang merdeka, tetapi Kristus adalah semua, Kristus di
dalam segala sesuatu” (Kol 3:11). Di mata Paulus semua orang adalah sama, semuanya
membutuhkan keselamatan yang hanya tersedia dalam relasi dengan Yesus. Hal ini di
tegaskan oleh C.R Stam denga menyatakan bahwa Yahudi dan bukan Yahudi memiliki
kedudukan yang sama di hadapan Allah.103bahkan Paulus mengilustrasikan semua orang
percaya sebagai tubuh Kristus. Sejalan dengan pandangan Paulus ini Donald Guthrie
menyatakan bahwa gagaran mengenai tubuh Kristus ini menunjukkan betapa eratnya
ikatan yang mempersatukan semua orang percaya.104 Senada dengan Guthrie Paul Enns
juga menyatakan bahwa ilustrasi tubuh juga menekankan kesatuan dari semua orang
percaya pada zaman gerejamula – mula.105
Berbeda dengan orang lain pada jamanya Paulus bukanlah seorang yang rasial
walaupun ia berasal dari bangsa pilihan Allah Israel. Antara budaya Yahudi dan budaya
Yunani terjadi hubungan yangbsaling mempengaruhi. Dalam keseharian hidup di zaman
Paulus, Yunani memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap wilayah Israel, tanah
Palestina. Sementara itu orang Yahudi banyak memeroleh pengaruh Yunani atas
kehidupan mereka termasuk bahasa Yunani Koine.106 Walaupun ada saling pengaruh,
orang Yunani memiliki prasangka terhadap orang atau bangsa di luar Yunani sebagai
barbar107 atau bisa dikata sebagai orang yang tidak berbudaya.
Kota-kota Yunani yang ramai, makmur dan terkenal lalu juga menimbulkan
permasalahan tersendiri. Banyak yang hidup dalam kemewahan, pesta pora, pendewaan
terhadap seks dan penyembahan berhala. Selain itu, ekonomi mereka juga ditopang oleh
kehadiran pekerja murah dan budak-budak. Di sinilah kejeniusan Paulus dalam
melaksanakan tu gas pewartaannya. Paulus melihat ada ketimpangan dan ketidakadilan.

103 C.R Stam, Things That Difer, (Cichago, Berean Bible Society, 1985), 64
104 Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru, (Jakarta, BPK GUNUNG MULI, 1996), 71
105 Paul Enns, The Moody Handbook Of The Teology, (Malang, SAAT, 2003), 434.
106 Bahasa Yunani Koinê Berarti Bahasa Yunani Umum, Atau Yunani Popular Untuk
Membedakannya Dengan Bahasa Yunani Klasik. Bahasa Ini Menjadi Bahasa Pergaulan Di Timur Dekat
Bdk. Entri “Bahasa Perjanjian Baru” Dan “Yunani” Dalam: Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2004, Hal. 126, 637.
107 Sebutan “Barbar” Dari Kata Yunani “Barbaroi” (Orang-Orang Barbar). Kata “Berbaros”
Berasal Dari Bahasa Anak-Anak. Seorang Bayi Yang Baru Belajar Berbicara, Terpatah-Patah Dalam
Berbicara Dan Mengatakan Hal-Hal Yang Tak Berarti Seperti “Bah-Bah”. Bahasa Orang Asing Bagi Orang
Yunani Terdengar Seperti Itu, Suatu Fakta Yang Lucu Bagi Orang Yunani Asli. Barbarous Karenanya
Berarti ‘Pembicara Terpatah-Patah’. Bdk. John Wijngaards, Yesus Sang Pembebas, Terj. A.
Widyamartaya, Yogkarta: Kanisius, 1994, Hal. 79.
88

Ada pola dan perilaku hidup yang sia-sia. Ia menyadari dengan sungguh siapa yang
menjadi tujuan pewartaannya. Sekat-sekat social yang terbangun selama ini di
robohkan oleh Paulus dengan meperkenalkan Yesus Kristus sang Mesia yang mengasihi
semua manusia tanpa memandang muka dan memberikan dirin-Nya sebagai tebusan
bagi semua orang untuk menyelamatkan mereka dari perbudakan dosa. Di dalam Yesus
tidak adalagi perbedaan. Semua orang yang menerima Yesus sebagai satu-satunya
penyelamat akan menikmati hidup yang bebas dari diskriminasi. Sebuah konsep yang
mematahkan segala batas pemisah yang fana.
Keempat. Perasaan Berhutang Karena Injil
Allah yang berdaulat berkarya secara aktif untuk menyelamatkan umat manusia
tatkala Allah menyelamatkan maka buktinya ialah ada yang percaya, bertobat dan
menerima Yesus sebagai juru selamat. 108 Allah adalah poemberita kabar baik yang
pertama kepada manusia yang telah jatuh kedalam dosa. 109 Namun Allah yang
berdaulat tidak bertindak sendiri, Ia memanggil orang – orang yang telah menikmati
keselamatan dalam Yesus untuk terlibat melaksanakan kehendak-Nya (1 petrus 3: 9 -
10). Hal ini di sadari betul oleh rasul Paulus saat berkata, "Aku berhutang, baik kepada
orang Yunani maupun kepada orang bukan Yunani, baik kepada orang terpelajar
maupun kepada orang tidak terpelajar. Itulah sebabnya aku ingin untuk memberitakan
Injil kepada kamu juga yang diam di Roma" (Roma 1:14-15). Dalam dunia ini ada dua
macam hutang, yang pertama karena seseorang meminjam uang. Yang kedua kalau
sesuatu dititipkan kepada seseorang untuk diteruskan kepada orang lain, jadi selama ia
belum meneruskan titipan ini, ia berhutang. Paulus berhutang karena Injil dititipkan
kepadanya supaya diberikan kepada mereka yang belum pernah menerima berita
tentang Yesus Kristus sang penyelamat, Setiap orang percaya juga berhutang terhadap
semua orang lain yang belum menerima Yesus sebagai Juru Selamat pribadi.

108 Ibid, 41
109 M. David Sills, Panggilan Misi, ( Surabaya: Momentum, 2011), 45
89

BAB III

CARA PENERAPAN

MISI ALKITABIAH YANG KONTEKSTUAL

Kontekstualisasi tidak terbatas hanya kepada tataran konsep atau teori semata.

Kontekstualisasi yang benar dan Alkitabiah ialah kontekstualisasi yang dibangun di atas

konsep dan teori yang benar. Tetapi juga harus aplikatif atau dapat diterapkan atau dapat

menjawa kebutuhan konteks yang sangat kompleks dan beragam.

Petrus Octavianus (Octavianus 1985: 109-110) berkaitan dengan

kontekstualisasi yang dikutip oleh Budiman R. L., dalam buku Pelayanan Lintas

Budaya dan Kontekstualisasi, mengatakan: “Banyak gereja di Asia mengikuti suatu pola

yang sebenarnya merupakan pola Barat … orang-orang Kristen Indonesia telah begitu

terbiasa dengan pola-pola kebaktian yang diimpornya … dalam keadaan demikian, pola

tata kebaktian itu menjadi asing bagi masyarakat sekitarnya dan hal itu bisa

menghambat perluasan kegerakan Injil. Dengan demikian, gereja-gereja di Asia harus

berusaha menemukan suatu pola tata kebaktian (soma) yang memungkinkan

pemberitaan Injil (kerygma) dapat menerobos masyarakat seluruhnya”. 110 Di sini Petrus

Octavianus memotivasi gereja-gereja di Asia agar jangan hanya mengadopsi model tata

ibadah yang dilakukan oleh misionaris-misionaris dari Eropa atau Barat, tetapi juga

berupaya untuk menggali model tata ibadah yang kontekstual atau yang cocok dengan

110 Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, hlm. 41.
90

budaya Asia. Artinya di Asia pun ada cara yang tepat dalam menatalayani ibadah bagi

orang Asia sendiri yang pasti relevan dengan konteks hidup dan budaya manusia Asia.

Oleh karena itu, pemimpin gereja atau para teolog atau para misionari yang melayani di

Asia harus berupaya keras menemukan cara akurat dalam upaya pemberitaan Injil bagi

orang Asia, supaya Injil itu tidak menjadi asing atau tidak diterima atau tidak dikenal

oleh orang Asia atau menjadi kabur upaya kerygma bagi orang Asia.

Yakob Tomatala dalam buku Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar),

mengatakan: “Proses kontekstualisasi adalah usaha integrative yang memadukan segala

upaya pemahaman kognitif tentang pandangan Alkitab terhadap kontekstualisasi;

pemahaman terhadap budaya dan manusia dalam konteks budaya tersebut serta usaha

pendekatan Injil dalam mekanisme budaya pada setiap konteks.” 111 Di sini, Yakob

Tomatala melihat bahwa kontekstualisasi merupakan suatu proses yang holistik dan

terintegrasi berbasiskan Alkitab. Tidak hanya pada upaya kognitif saja atau pada tataran

pengetahuan manusiawi saja. Kontekstualisasi harus merupakan suatu proses dan upaya

yang memadukan dan menyatukan pola trialektika, yaitu Alkitab, budaya manusia

sebagai konteks dan pengetahuan misionari.

Yakob Tomatala menegaskan bahwa: “Alkitab menempatkan Allah di atas

budaya dan bekerja melalui budaya. Alkitab selalu memberi batas yang tegas antara

Allah, Sang Pencipta, dengan manusia sebagai makhluk, dan alam ciptaan-Nya. Allah

Alkitab adalah Allah yang mahatinggi, namun juga menaruh perhatian pada manusia

dan seluruh ciptaan-Nya. Itulah sebabnya, Alkitab juga melukiskan Allah yang

menyatakan diri ke dalam dan melalui budaya manusia”. 112 Supremasi Allah adalah

segala-galanya atas budaya. Dalam kuasa dan kedaulatan-Nya, Allah berkarya, menaruh

111 Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), Malang: Gandum Mas, hlm.
73.
112 Ibid.
91

kepedulian sempurna dan mengungkapkan diri-Nya melalui budaya manusia. Tuhan

Yesus menyatakan dalam Yohanes 20:21b “Seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga

sekarang Aku mengutus kamu”. Pernyataan ini membuktikan bahwa Tuhan Yesus

adalah seorang Misionaris yang Misioner (Utusan yang mengutus). Pernyataan itu juga

memberikan teladan bahwa Tuhan Yesus menginginkan tugas pemberitaan Injil terus

dilakukan secara berkesinambungan. Karena itu, seorang Pemimpin dituntut sebagai

seorang misionaris yang dalam menjalankan tugasnya mengutamakan pemberitaan

Injil. Pemimpin dalam lingkup gerejawi bertanggung jawab terhadap seluruh kegiatan

dalam gereja tersebut. Sebagai Pemimpin jemaat, seorang Pendeta mempunyai tugas

untuk menggerakkan seluruh komponen dalam gereja (Pengerja, Majelis Jemaat,

seluruh Jemaat) untuk menjalankan visi pemberitaan Injil disamping tugas-tugas yang

lain. Young G. Chai menulis dalam bukunya Jemaat Rumah; Penggembalaan Bersama

dengan Orang Awam sebagai berikut: “Semangat Penginjilan yang berkobar-kobar

bukan berarti Pendeta harus menjadi orang yang mengedarkan traktat penginjilan

kepada semua orang. Bukan berarti dia juga harus mendorong orang-orang supaya

datang ke gereja dengan cara kunjungan ke setiap rumah. Memang hal seperti ini bisa

menjadi pernyataan bahwa dia mempunyai semangat penginjilan. Tetapi bukan hanya

itu saja yang merupakan semangat penginjilan”.113

Apa yang dinyatakan Chai pada kutipan di atas menunjukkan bahwa pemimpin

jemaat tidak secara langsung menangani semua kegiatan pemberitaan Injil tetapi

memberikan wewenang kepada jemaat untuk menjalankannya. Chai mempertegas

dengan menyatakan bahwa “Saya sendiri menggembalakan dengan tujuan

menyelamatkan jiwa. Saya menekankan pentingnya penginjilan kepada jemaat secara

113 Young G. Chai, Jemaat Rumah: Penggembalaan Bersama dengan Orang Awam, Jakarta:
Gloria Cipta Grafika, 2005, hlm. 150.
92

terus menerus”.114 Hal ini menunjukkan bahwa seorang Pemimpin disamping sebagai

seorang pemberita Injil juga menggerakkan orang lain untuk melakukannya sehingga

efektif dan melibatkan banyak orang dalam pelaksanaannya.

A. Ragam Pola Pendekatan Kontekstualisasi

Pendekatan kontekstualisasi memiliki pola yang beragam. Pola yang beragam

ini tentu dibangun di atas fondasi teologi kontekstualisasi yang Alkitabiah. Di sisi lain,

ada proses penafsiran holistik tentang esensi suatu pengajaran tertentu. Yakob Tomatala

menegaskan bahwa: Model-model pendekatan teologi kontekstualisasi ialah beberapa

model penafsiran tentang berteologi dalam konteks yang didasarkan atas prinsip

dogmatic tertentu. Model-model pendekatan ini memberikan gambaran umum tentang

usaha berteologi dalam konteks yang pernah dibuat. Di samping itu, model-model

tersebut menolong kita mengadakan evaluasi tentang sejauh mana suatu pendekatan

teologi kontekstualisasi yang alkitabiah dapat dibuat. Ini juga akan menghindarkan kita

dari kesalahan-kesalahan yang pernah dan akan timbul nanti”.115

Menurut Yakob Tomatala, ada beberapa model berkontekstualisasi, yaitu:

1. Model akomodasi (Kisah Para Rasul 17:28)

“Akomodasi adalah sikap menghargai dan terbuka terhadap kebudayaan asli

yang dilakukan dalam sikap, kelakuan, dan pendekatan praktis dalam tugas misionaris

baik secara teologi maupun secara ilmiah. Obyek akomodasi adalah kehidupan budaya

yang menyeluruh dari suatu bangsa baik dari segi fisik, sosial, maupun ideal”. 116 Di sini

dapat dilihat bahwa secara holistik keberhasilan model akomodasi ini, sangat ditentukan

oleh peran aktif seorang misionaris dalam upaya pendekatan kontekstualisasi Injil.

“Dalam proses ini terjadi perpaduan nilai hidup kristiani di mana Kristus menjadi

114 Ibid., hlm. 152.


115 Yakob Tomatala, Log Cit., hlm. 77.
116 Ibid.
93

penyempurna dan pelengkap aspirasi budaya. Dengan demikian akan terdapat sikap

positif terhadap Injil yang didasarkan atas pandangan bahwa anugrah Allah (Injil) tidak

menghancurkan budaya manusia, tetapi justru melengkapi dan menyempurnakan”.117

2. Model adaptasi

Ada perbedaan antara model akomodasi dengan model adaptasi ini.

Perbedaannya ada pada cara melakukan pendekatan. “Model adaptasi tidak

mengasimilasi unsure budaya dalam mengeskpresikan Injil, tetapi menggunakan bentuk

dan ide budaya yang dikenal. Contoh yang jelas, Yohanes menggunakan ide logos

untuk menjelaskan kebenaran penjelmaan/inkarnasi (Yohanes 1) dan Paulus

menggunakan konsep rahasia (II Korintus 3:18). Tujuan adaptasi ialah mengekspresikan

dan menerjemahkan Injil dalam istilah setempat (indigenous terms) sehingga menjadi

relevan dalam situasi budaya tersebut”. 118 Model adaptasi adalah upaya untuk

memaparkan kebenaran tentang Injil dengan memakai bentuk dan gagasan budaya

setempat yang dikenal, dipahami, dan dimengerti oleh pendengar Injil.

3. Model prossesio

“Prossesio adalah sikap yang menanggapi kebudayaan secara negative. Proses

prossesio terjadi melalui seleksi, penolakan, reinterpretasi dan rededikasi. Kelompok

prossesio melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang sudah rusak oleh dosa dan tidak ada

kebaikan yang muncul dari dalamnya”.119 Pendapat ini tidak melihat pernyataan Alkitab

secara holistik. Memang manusia sudah berdosa. Namun belum tentu semua budaya

yang dihasilkan oleh manusia juga berdosa. Sebab budaya memiliki sisi positif, tidak

melulu negatif. Perspektif yang salah terhadap budaya akan menjadi perintang dalam

117 Ibid., hlm. 78.


118 Ibid.
119 Ibid.
94

pelaksanaan misi Allah. Oleh sebab itu, model prossesio harus diletakkan di bawah

terang firman Allah.

4. Model transformasi

Berkaitan dengan model di atas, Yakob Tomatala mengatakan: “Allah itu di atas

budaya, dan melalui budaya itu pula Allah menggunakan elemen-elemen kebudayaan

untuk berinteraksi dengan manusia. Bila seseorang dibaharui oleh Allah, maka inti

kebudayaannya juga dibaharui (II Korintus 5:17)”. 120 Pemegang otoritas dan kekuasaan

tertinggi ialah Allah. Budaya manusia harus tunduk kepada supremasi Allah. Kendati

demikian, dalam otoritas dan kedaulatan-Nya, Allah memakai kebudayaan untuk

menyatakan kehendak dan kuasa-Nya kepada manusia. Setiap manusia yang mengalami

perjumpaan pribadi dengan Allah melalui kebudayaannya, akan mengalami

transformasi hidup yang juga meliputi dirinya dan juga budayanya.

5. Model dialektik

Dalam mengulas model di atas, Yakob Tomatala menegaskan: “Ini adalah

interaksi dinamis antara teks dengan konteks. Konsep ini didukung oleh perkiraan yang

kuat bahwa perubahan pasti ada dalam kebudayaan. Untuk setiap kurun waktu

perubahan itu terjadi secara dinamis. Dengan demikian Gereja harus menggunakan

peran kenabiannya untuk menganalisis, menginterpretasi, dan menilai setiap

keadaan”.121 Model dialektik menunjukkan bahwa ada komunikasi yang relevan antara

teks (Berita Injil atau Kabar Baik) dengan konteks (Manusia Budaya). Di sisi lain,

kebudayaan manusia di dalam dirinya punya potensi untuk terbuka terhadap perubahan.

Injil yang utuh dan sempurna mampu membaharui kebudayaan yang terbuka terhadap

Injil.

B. Unsur-unsur Kontekstualisasi

120 Ibdi., hlm. 79.


121 Ibid.
95

Dalam berkontekstualisasi, ada unsur-unsur penting yang harus diperhatikan.

Bila unsur-unsur tersebut diabaikan, maka proses kontekstualisasi akan mengalami jalan

buntu. Berikut unsur-unsur kontekstualisasi.

1. Tiga bidang kontekstualisasi

Budiman R. L., berkaitan dengan tiga bidang kontekstualisasi mengatakan:

“Yang dimaksud oleh tiga bidang kontekstualisasi ialah penginjil, Injil dan jemaat

yang didirikan harus kontekstual. Misalnya, jika seorang penginjil ingin menjangkau

orang Sunda, ia harus bisa berbahasa Sunda, mengikuti adat istiadat Sunda, dan

mengerti pola pikir orang Sunda. Sebagai komunikator kabar baik, penginjil ini harus

berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi seperti orang Sunda”.122

Mencermati apa yang dipaparkan di atas, kita melihat bahwa tekanan utamanya

ialah kepada penginjil. Artinya, betapa pentingnya skill yang harus dimiliki oleh

seorang penginjil. Lebih daripada itu, penginjil juga harus memiliki wawasan dan

pengetahuan yang komprehensif tentang suatu kebudayaan seperti contoh di atas yaitu

tentang kebudayaan suku Sunda. Penginjil dituntut untuk memahami secara utuh word

view suku Sunda, supaya berita Injil yang disampaikannya dapat diterima atau disambut

positif oleh suku Sunda.

Selain penginjil, teks dalam hal ini berita Injil harus disampaikan sesuai dengan

elemen-elemen kebudayaan setempat. Artinya, ada kontekstualisasi Injil yang dilakukan

oleh penginjil. “Dengan kontekstualisasi kita harapkan berita yang disampaikan tidak

asing bagi pendengarnya; agar komunikasi itu relevan; agar berita itu menjawab

kebutuhan dan agar teologi yang dipikirkan menjawab masalah-masalah

kontemporer”.123

122 Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, hlm. 40.
123 B. S. Sidjabat, Kebudayaan dan Misi, Bandung: Sahabat Gembala, Mei 1986, hlm. 10.
96

Jemaat yang didirikan dalam suatu kebudayaan seyogianya disesuaikan dengan

dan menjawab kebutuhan dari masyarakat setempat. Misalnya, tata acara kebaktian,

busana yang dikenakan ketika beribadah, bangunan fisik tempat beribadah, tempat kitab

suci diletakkan, posisi duduk dari jemaat yang menghadiri kebaktian, bahasa yang

digunakan untuk berkomunikasi pada waktu ibadah dilakukan dan lain sebagainya,

harus dikontekstualkan agar sungguh-sungguh hal-hal itu menyatu dan menjawab

kebutuhan masyarakat setempat.

2. Dua prinsip kontekstualisasi

Dalam berkontekstualisasi, ada prinsip-prinsip yang sangat esensi yang harus

dipegang teguh oleh penginjil dan para misionari. Prinsip kontekstualisasi ini telah

dilakukan baik oleh Tuhan Yesus Kristus maupun oleh rasul Paulus.

a. Hidup sebagai hamba

Berkaitan dengan hidup sebagai hamba dalam prinsip kontektualisasi, rasul

Paulus menulis kepada jemaat di Filipi demikian: “Hendaklah kamu dalam hidupmu

bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, yang

walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai

milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan

mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam

keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan

sampai mati di kayu salib” – Filipi 2:5-8. “Ini berarti lahir ke dunia sebagai manusia,

hidup dalam sejarah manusia, menjadi bagian dari konteks budaya manusia, dst. –

singkatnya, berpadu dengan hakikat manusia secara utuh. Dengan demikian, inkarnasi

melambangkan solidaritas Yesus Kristus dengan manusia secara utuh dalam lingkup

sosial budaya manusia. Namun, perlu disadari bahwa inkarnasi Kristus terjadi bukan

untuk tujuan inkarnasi itu sendiri, melainkan untuk menyatakan Allah kepada dunia
97

(Yohanes 1:18). Di sini perlu ditegaskan bahwa inkarnasi Kristus memiliki tujuan

misional, untuk membuktikan kasih Allah kepada dunia (Yohanes 3:16), bagi

pembebasan dunia itu sendiri (Yohanes 1:29)”.124

Kontekstualisasi Injil oleh Rasul Paulus dinyatakan dalam ajaran kenotis

(pengosongan diri) Kristus, sikap hidup, serta pendekatan kontekstualnya kepada setiap

masyarakat yang didatanginya. Rasul Paulus mengemukakan tentang kenotis Kristus

dalam Filp. 2:5-11 yakni Yesus Krsitus mengambil rupa manusia, menjadi hamba dan

solider utuh dengan manusia untuk menanggung dosa-dosa manusia. Dasar penting

untuk proses terjadinya kontekstualisasi melalui pengosongan diri. Untuk masuk dalam

budaya orang lain seseorang harus meninggalkan jati dirinya untuk manunggal dengan

orang lain. Perlu disadari bahwa identitas diri yang menjadi latar belakang tidak dapat

disangkal. Dasar kenotis Kristus menjadi pijakkan utama Rasul Paulus

dalam determinasi kontekstual yang dituangkan dalam 1 Kor. 9:16-27. Dari sisi ini

dapat ditemukan 2 makna yang berhubungan yaitu:

1) Kontekstual Etis

Sikap etis menyangkut bagaimana seorang pelayan antar budaya dapat

menempatkan diri untuk menghargai budaya orang lain sehingga tercipta refleksi

teologi yang positif. Sikap tersebut antara lain: pertama, Tidak menghakimi orang

dengan semena-mena (1 Kor. 4:1-5); kedua, Rendah hati (1 Kor. 4:6-21); ketiga,

Mengembangkan sikap untuk tidak diperhamba oleh apapun juga (1 Kor. 6:12b);

keempat, Mengembangkan sikap peka terhadap orang lain (1 Kor. 8:1-13); kelima,

Mengembangkan pergaulan yang baik sebagai orang yang mengenal Allah (1 Kor.

15:33-34); keenam, Mengembangkan hubungan kerja jemaat antargereja lokal dan

antaretnis (1 Kor. 16:1-9).

124 Yakob Tomatala, Teologi Kontekstualisasi (Suatu Pengantar), Malang: Gandum Mas, hlm.
22-23.
98

2) Kontekstual Prakmatis

Sikap kontekstual prakmatis menyangkut sikap terhadap diri sendiri yang

membawa kegunaan bagi pengembangan Injil dalam konteks. Sikap ini dikembangkan

oleh Rasul Paulus dengan cara: pertama, Melihat tugas pemberitaan Injil sebagai tugas

yang wajib tanpa ditawar-tawar (1 Kor. 9:16); kedua, Menetapkan sikap inkarnasi-

kenotis terhadap semua kelompok orang, dengan menjadi seperti orang dalam, pada

setiap konteks (1 Kor. 9:19-24). Sikap inkarnasi dimulai dengan sikap hamba untuk

menjadi segala-galanya bagi semua orang. Menjadi hamba untuk melayani adalah dasar

inkarnasi; ketiga, Mengembangkan disiplin faedah ganda – bagi diri dan orang lain, (1

Kor. 9:24-27).

Dengan memperhatikan setiap uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa

kontekstualisasi yang berdampak adalah menempatkan Kristus yang terutama dalam

setiap pengajaran yang tidak bisa dikompromikan tetapi dalam praksisnya, fleksibelitas

terhadap budaya perlu diperhatikan. Prinsi-prinsip ajaran Alkitab tidak dapat

dikompromikan tetapi dalam kontekstualisasi fleksibilitas pengajaran perlu

diperhatikan. Ini dilakukan dengan sebuah tujuan yang jelas bukan sekedar fleksibel

tanpa arah.

b. Hidup di bawah hukum Kristus

“Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti

orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup diluar

hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat

memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat” – 1 Korintus 9:21.

“Walaupun pendekatan Paulus luwes sekali, namun ia memiliki suatu tolok ukur. Ia

peka terhadap kebudayaan, tetapi tunduk kepada firman Allah … sekalipun ia

menyesuaikan diri dengan kebudayaan setempat, ia tetap hidup di bawah hukum


99

Kristus. Hukum Kristus, firman Allah, merupakan tolok ukur baginya. Firman Allah

adalah wewenang tertingginya. Meskipun ia harus menyesuaikan diri, ia juga menguji

segala sesuatu dengan firman Allah supaya Injil yang disampaikan itu tetap murni.

Paulus menyadari bahwa Injil itu asal dari Tuhan. Dari satu segi Injil itu “asing” bagi

segala suku. Kebudayaan biasanya bercampur dengan agama lokal. Tidak ada suatu

kebudayaan yang murni. Karena itu setiap kebudayaan harus dikoreksi dan diperbaiki

melalui firman Allah. Hanya firman Allah yang menjadi ukuran Rasul Paulus untuk

menilai segala sesuatu. Oleh sebab itu, sekalipun Paulus menyesuaikan diri, ia tetap

berpegang teguh pada firman Allah. Meskipun ia bersikap luwes, ia selalu hidup di

bawah hukum Kristus”.125

3. Tiga cara kontekstualisasi

Almarhum J. H. Bavinck, ahli misiologi mengatakan dan dikutip oleh Budiman

R. L., mengatakan: “Orang-orang Kristen haru mengambil pemilihan sah dari adat

istiadat dan kebudayaan-kebudayaan yang memberi kepadanya pengertian-pengertian

serta isi baru dan yang mengarahkan mereka untuk pelayanan bagi Kristus … Adalah

tidak pernah mudah untuk memutuskan apakah suatu adat/kebiasaan boleh

dipertahankan atau harus ditolak” (Bavinck 1960:175-179, 190). 126 Sedangkan menurut

Dr. Dean Gilliland dari Fuller Theological Seminary School of World Mission dan

dikutip oleh Budiman R. L., mengatakan: “Tugas kontekstualisasi ialah mengetahui apa

yang dapat dipergunakan [dari kebudayaan], apa yang harus ditolak dan oleh kasih

karunia Allah, apa yang dapat ditransformasikan” (Gilliland 1989:25)”.127

Berdasarkan pendapat atau argumentasi pakar misiologi dunia seperti

dikemukakan di atas, maka dapat ditemukan bahwa sesungguhnya ada cara yang dapat

125 Budiman R. L., Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi, hlm. 8-9.
126 Ibid., hlm. 42.
127 Ibid.
100

dipergunakan dalam rangka untuk menyampaikan Kabar Baik atau Injil ke dalam suatu

kontek budaya. Upaya kontekstulisasi dimaksud harus diletakkan atas kasih karunia

Allah. Dikatakan demikian, karena Allah adalah segala-galanya dalam misi

kontekstualisasi. Oleh karena itu, tiga cara kontekstualisasi dapat dijabarkan sebagai

berikut.

a. Memanfaatkan unsur kebudayaan

Dalam setiap suku, bahasa dan bangsa, ada unsur-unsur budaya yang positif.

Unsur-unsur budaya yang positif ini berhubungan dengan etika, moralitas, sopan-santun

dan norma sosial. Nilai-nilai buday yang memiliki muatan positif tersebut bisa

dimanfaatkan untuk mensukseskan proses kontekstualisasi. “Memakai berarti semua

atau beberapa unsur kebudayaan yang netral tetap dipertahankan. Setiap kebudayaan

mempunyai beberapa unsur yang netral”.128 Jadi, dalam setiap kebudayaan dipastikan

ada elemen-elemen budaya yang bisa dipergunakan dalam kaitannya dengan

kontekstualisasi. Dr. P. Octavianus yang dikutip oleh Budiman R. L. memberi banyak

contoh berhubungan dengan kontekstualisasi, yaitu: “Penggunaan kopiah, pemakaian

sarung dan kain kebaya, duduk di lantai atau tikar, cara bersalam-salaman, penggunaan

alat-alat music tradisional, penggunaan bahasa Arab dalam pemberitaan Injil, dan lain-

lain” (Octavianus 1985:52-53).”129

b. Mengubah unsur kebudayaan

Pasca kejatuhan manusia ke dalam dosa, maka semua kebudayaan yang

dihasilakannya tidak ada lagi yang murni. Itu sebabnya, harus dikoreksi, diperbaiki dan

dibaharui melalui firman Allah. “Yang dimaksudkan dengan mengubah ialah

memurnikan unsur-unsur kebudayaan yang dapat ditransformasikan supaya berkenan

kepada Allah dan sesuai dengan firman-Nya. Seperti yang dicanangkan oleh Ikrar

128 Ibid.
129 Ibid., hlm. 42-43.
101

Lausanne pasal 10: “Gereja-gereja harus berusaha untuk mengubah dan memperkaya

kebudayaan, dan semuanya itu bagi kemuliaan Allah”. 130 Jadi, semua proses dan upaya

mengubah kebudayaan yang dilakukan oleh gereja memiliki tujuan utopi yaitu bagi

kemuliaan Allah.

Dr. Paul Hiebert dari Trinity Evangelical Divinity School, yang dikutip oleh

Budiman R. L. mengatakan bahwa untuk mengubah unsur kebudayaan dapat dilakukan

melalui lima cara, yaitu: “pertama, menambah unsur pada kepercayaan dan upacara

tradisional; kedua, mengurangi, yaitu membuang semua unsur yang mempunyai

konotasi dosa tanpa membuang aspek tradisi tersebut; ketiga, mengganti, yaitu

mengembangkan bentuk atau cara baru yang mempunyai fungsi yang sama seperti

membaca Alkitab sebagai pengganti untuk membaca kitab suci lain; keempat, memberi

tafsiran baru pada cara atau bentuk kebudayaan; kelima menciptakan unsur baru, asal

mereka mempunyai banyak kesamaan dengan adat setempat” (Hiebert 1985:171-

192)”.131

c. Membuang unsur kebudayaan

Elemen-elemen kebudayaan yang bertentangan dengan Allah dan firman-Nya

harus dibuang. “Kita harus membuang beberapa unsur yang tidak cocok dengan firman

Allah dan yang tidak mungkin dimurnikan. Misalnya, poligami, upacara-upacara

sembahyang pada waktu kematian, bentuk-bentuk lain yang berhubungan dengan kuasa

kegelapan, seperti praktek-praktek spiritisme dan animism” (Octavianus 1985:54).

Kepentingan membuang unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan firman

Allah ialah untuk menghindarkan kontekstualisasi dari terjadinya percampuran antara

unsur kebudayaan dengan Injil, sehingga pengertian Injil menjadi kabur. Percampuran

unsur penting dalam Injil dengan adat-istiadat inilah yang disebut sinkritisme.

130 Ibid., hlm 43.


131 Ibid., hlm. 45.
102

4. Satu tujuan kontekstualisasi

Tujuan tertinggi dalam upaya melakukan kontekstualisasi hanya satu. Tidak ada

tujuan ganda dalam pemberitaan Injil. Tujuan tunggal ini ialah memenangkan sebanyak

mungkin orang bagi Kristus. Rasul Paulus menulis berkaitan dengan tujuan

kontekstualisasi sebagai berikut:

“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba

dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang.

Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku

memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum

Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku

sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka

yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah

hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat,

sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum

Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum

Taurat. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya

aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi

segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari

antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat

bagian dalamnya” – 1 Korintus 9:19-23.

Berdasarkan bagian dari tulisan Paulus di atas, dapat dilihat bahwa hanya ada

satu goal dan beragam target. Ada enam kali Paulus mengulang pernyataan yang sama,

“supaya aku dapat memenangkan sebanyak mungki orang”. Dengan pengulangan

pernyataan tersebut, menunjukkan bahwa Paulus memiliki satu-satunya tujuan. Bagi

Paulus sangat penting memiliki tujuan yang jelas dalam pemberitaan Injil. Tujuan yang
103

jelas merupakan motor penggerak untuk memberitakan Injil. Goal Paulus ialah

memenangkan sebanyak mungkin orang. Ini tujuan tertinggi dalam melaksanakan

kontekstualisasi. Target pemberitaan Injil bisa menjangkau berbagai lapisan masyarakat.

Baik dari kalangan terpelajar sampai kepada kalangan professional. Dari kalangan

masyarakat biasa sampai kepada kalangan masyarkat elit. Secara singkat target

pemberitaan Injil menjangkau semua level manusia dengan berbagai budayanya.

Namun, tujuan yang hendak dicapai hanya satu, yaitu memenangkan sebanyak mungkin

orang bagi Kristus.

C. Langkah-langkah Kontekstualisasi

Proses kontekstualisasi tidak langsung bisa diterapkan. Ada langkah-langkah

taktis, strategis dan aplikatif yang harus ditempuh supaya berita Injil dapat diterima oleh

konteks budaya dimana Injil diwartakan.

1. Komunikasi Injil dalam berkontekstualisasi

Quentin J. Schultze berkaitan dengan komunikasi mengutip pendapat James W.

Carey menulis demikian: “Kata komunikasi berasal dari bahasa Latin communis, yang

artinya berbagi, menjadikan umum, atau bahkan memiliki sebuha kepercayaan yang

sama”.132 Quentin melanjutkan bahwa: “Ketika kita berkomunikasi, kita menciptakan,

memelihara dan mengubah gaya hidup yang kita miliki. Komunikasi memampukan kita

mengembangkan pendidikan, teknik, bisnis, media, dan setiap aspek dari budaya

manusia”.133

Dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa dampak komunikasi itu begitu

signifikan terhadap kebudayaan. Komunikasi bisa beroperasi secara leluasa dalam

semua area dan menembus batas-batas territorial.

132 Quentin J. Schultze, Communicating for Life, Malang: Literatur SAAT, 2004, hlm. 16.
133 Ibid.
104

Menurut Yakob Tomatala dalam mengulas pokok komunikasi Injil dalam

berkontekstualisasi, ada tiga pokok penting yang harus diperhatikan, yaitu:

a. Bentuk interaksi komunikasi Injil

Langkah konkret yang harus ditempuh oleh setiap komunikator menurut Yakob

Tomatala, adalah sebagai berikut:

1) Komunikator harus hidup dalam kesadaran bahwa ia adalah makhluk

budaya dan ia harus mengosongkan pengaruh budayanya sendiri sebagai

langkah awal untuk memahami berita dalam konteks Alkitab yang asli

dan konteks budaya penerima berita.

2) Orientasi pelayanan haruslah pada si penerima berita dengan konteks

hidupnya secara menyeluruh.

3) Dalam praktek pelayanan, komunikator harus menempatkan diri dalam

matriks budaya Alkitab dan pendengar dengan menggunakan bentuk dan

alat budaya setempat untuk menjelaskan suatu kebenaran.

4) Dalam pelaksanaannya perlu terus-menerus diadakan penilaian untuk

menjaga kedinamisan kerja, efek kerja, dan menghindari sinkretisme.

Injil yang murni perlu diberitakan, dan cara penerapannya perlu

memperhatikan pola berpikir yang tepat.

b. Prinsip dasar komunikasi Injil

1) Tujuan komunikasi ialah membuat pendengar mengerti suatu berita yang

disampaikan oleh pembicara dan selanjutnya mendorong si pendengar

agar bertindak sesuai dengan keinginan si pembicara.

2) Pembicara menyampaikan berita melalui lambing budaya yang memberi

rangsangan kepada pikiran pendengar sesuai dengan tanggapan atau

pengertian pendengar terhadap lambing/symbol budaya itu.


105

3) Agar pembicara dapat mengkomunikasikan berita secara efektif, maka ia

harus berorientasi pada pendengar.

4) Impak komunikasi yang luar biasa akan terjadi dalam interaksi antar

pribadi.

5) Komunikasi akan sangat efektif bila pembicara, berita-berita, dan

pendengar berinteraksi dalam konteks yang sama dalam situasi dan

pemahaman yang sama terhadap bentuk/arti budaya.

c. Prinsip komunikasi Injil yang efektif

Dalam penjelasan berikut ini akan diuraikan sembilan prinsip komunikasi Injil

yang efektif:

1) Perlu adanya kesamaan keadaan persepsi budaya antara komunikator dan

pendengar, antara lain bahasa, kebiasaan, bentuk budaya, pandangan

hidup, dsb.

2) Perlu disadari bahwa komunikasi yang efektif menyentuh “kenyataan

hidup” si penerima. Jadi, setiap informasi intelektual perlu dicerna baik-

baik untuk menemukan maksud inti yang sebenarnya.

3) Komunikator harus mempelajari maksud berita dalam situasi aslinya dan

mempelajari keadaan penerima berita dalam situasi kini untuk

menghasilkan kesamaan pengertian bagi penempatan berita yang

proporsional untuk menghasilkan komunikasi yang mulus.

4) Komunikator harus menyadari bahwa ia memiliki hak dan tanggung

jawab untuk didengar, jadi ia harus menyampaikan berita sedemikian

rupa sehingga dapat dipahami oleh pendengar.


106

5) Penerima aktif dalam proses komunikasi apabila komunikator

menggunakan bahan/elemen sesuai dengan apa yang telah ia ketahui

dalam lingkup sosio-budayanya.

6) Bangunlah berita dan sampaikanlah melalui pandangan hidup pendengar.

7) Komunikator perlu mengontrol berita Injil yang disampaikan agar tidak

ditunggangi atau menunggangi pandangan hidup sendiri.

8) Gunakan bentuk-bentuk komunikasi lokal, termasuk bahasa dan alat

yang ada pada setiap lokasi dan situasi budaya.

9) Setiap ibadah gereja perlu diungkapkan dari pandangan hidup terhadap

Allah dan Yesus Kristus yang kontekstual untuk mencipta impak

komunikasi yang memadai.134

2. Sikap dalam berkontekstualisasi

Ada beragam sikap yang mengemuka terhadap teologi kontekstualisasi atau

kontekstualisasi yang alkitabiah. Ada kelompok yang pro atau setuju atau

mempertimbangkan teologi kontekstualisasi untuk diterapkan dalam pelayanan

pemberitaan Injil. Ada pula kelompok yang bersikap menolak atau kontra atau alergi

dengan teologi kontekstualisasi. Reaksi ini tergambar dalam pelayanan pemberitaan

Injil yang tidak menerap model teologi kontekstualisasi. Selain itu, ada pula yang

dengan begitu saja menerima teologi kontekstualisasi tanpa dipelajari. Akibatnya terjadi

sinkretisme di mana Injil dan adat-istiadat dicampur, sehingga Injil menjadi tidak murni.

Untuk lebih jelas dapat dilihat sikap dalam berkontekstualisasi sebagai berikut ini.

a. Menolak kontekstualisasi

Sikap menolak kontekstulisasi menunjuk kepada sikap tetap mempertahankan

kepercayaan lama, seperti upacara-upacara adat, seni, musik dan isu-isu penting.

134 Yakob Tomatala, Teologi Kontekstual (Suatu Pengantar), Malang: Gandum Mas, hlm. 81-87.
107

Pemberitaan Injil tetap dilaksanakan, namun Injil menjadi asing bagi budaya dalam

konteksnya secara keseluruhan. Kebiasaan lama tetap dipertahankan dan dilaksanakan

tetapi secara tersembunyi atau terselubung.

b. Mempertimbangkan kontekstulisasi

Mepertimbangkan kontekstuliasi merupakan sikap yang lebih maju dan terbuka.

Kepercayaan lama seperti upacara-upacara adat, musik, seni dan isu-isu penting lainnya

dianalisa, digali maknanya, dan semua informasi tentang kepercayaan lama dengan

semua permasalahannya dikumpulkan. Semua itu diletakan dan diterangi oleh firman

Tuhan. Apa kata Alkitab tentang kepercayaan lama tersebut. Lalu dilakukan evaluasi

secara menyeluruh terhadap kepercayaan lama dari perspektif Alkitab dan memberi diri

dibimbing oleh kuasa Roh Kudus. Dari hasil inilah, maka akan diperoleh kesimpulan

akhir atau keputusan final terhadap kepercayaan lama setelah diterangi oleh firman

Tuhan dan dibimbing kuasa Roh Kudus, apakah memakai unsur kepercayaan lama?,

atau apakah mengubah kepercayaan lama?, atau apakah membuang kepercayaan lama?

Melalui proses filterisasi budaya inilah akan menghasilkan kontekstualisasi yang

Alkitabiah atau teologi kontekstualisasi yang akurat. Injil menjadi relevan dan tidak

asing bagi budaya. Kemurnian Injil tetap dipertahankan.

c. Menerima saja kontekstualisasi

Sikap menerima saja kontekstulisasi merupakan sikap yang sangat

berseberangan dengan kedua sikap seperti yang dijelaskan di atas. Menerima saja

kontekstualisasi sangat berbahaya. Dikatakan demikian, karena akan menghasilkan

sinkretisme.
108

BAB IV

PENUTUP

Setelah memaparkan dan menguraikan pokok seputar misi kontekstual yang

alkitabiah, tibalah penulis pada klimaks dari penulisan makalah ini. Pada bagian

penutup ini akan disajikan dua pokok utama, yaitu:

A. Kesimpulan

“Teologi kontekstulisasi menekankan bagaimana seharusmya setiap orang

Kristen berteologi dalam konteks, yaitu konteks budaya, sosial, ekonomi, politik,

geografi dan sebagainya di mana ia seorang individu serta gereja sebagai komunitas

mikro berada dalam komunitas makro”.135

Berdasarkan pernyataan di atas, maka setiap orang Kristen adalah misionaris.

Sebagai misionaris memiliki tanggung jawab spiritual dalam semua level dan bidang

kehidupan. Ia harus menghadirkan nilai atau value Kerajaan Allah dalam totalitas hidup

dan pelayanannya di tengah dunia yang luas.

Setiap hari orang Kristen bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar

belakang budaya, geografi, demografi, sosial, ekonomi, pendidikan dan juga pemeluk

agama yang berbeda. Pemeluk beragama lain ini juga menjalankan misi mereka. Dan

kelihatannya mereka lebih gigih menjalankan misinya jika dibandingkan dengan orang

Kristen.

135 Yakob Tomatala, Teologi Kontekstulisasi (Suatu Pengantar), Malang: Gandum Mas, hlm. 92.
109

Dalam situasi dan kondisi semacam itulah kontekstualisasi menjadi penting

untuk dilaksanakan. Dikatakan penting karena itulah salah satu cara yang Tuhan

gunakan untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia dalam konteks budayanya. Dan

inilah cara yang seharusnya digunakan oleh gereja dalam menjalankan misinya di dunia

ini, supaya dapat memenangkan sebanyak mungkin orang bagi Kerajaan Allah.

“Teologi kontekstualisasi alkitabiah yang absah menempatkan Allah sebagai the

prime cause, the prime mover dari proses berteologi dalam konteks. Pada sisi ini,

“Alkitab” berperan utama sebagai “penyataan Allah” karena Allah sendiri memilih

untuk menyatakan diri kepada manusia dan penyataan-Nya tertulis dalam Alkitab. Ini

berarti Allah sendiri telah memilih “kebudayaan manusia” sebagai wahana penyataan-

Nya. Manusia pada sisi lain (sebagai penerima/partisipan) menerima penyataan Allah

dalam koteks hidupnya (secara utuh) dari filter budaya (individu/kelompok)”.136

Dengan demikian, Allah sendiri dalam otoritas dan kedaulatan-Nya tanpa

dipengaruhi oleh apa dan siapapun mengambil sikap untuk menyingkapkan diri-Nya

kepada manusia dalam budaya yang dibuat oleh manusia. Allah memberi diri-Nya

dikenal oleh manusia dalam konteks budayanya.

Oleh karena itu, di pundak orang Kristen dan Gereja Kristen ada tanggung jawab

misional yang harus dilakukan dalam konteks di mana orang Kristen dan Gereja Kristen

berada sebagai yang diutus oleh Tuhannya untuk melaksanakan misi shalom-Nya bagi

manusia berdosa yang hidup dalam konteks budaya yang berdosa. Dalam rangka

melaksanakan misinya, orang Kristen dan Gereja Kristen harus mampu berteologi

dalam konteks. Berteologi dalam konteks ini perlu dihidupi dan dijawab secara terus-

menerus dalam rangkan memberitakan Injil kasih karunia Allah kepada dunia dalam

konteks di mana ia dan mereka berada serta hidup.

136 Ibid.
110

B. Saran-saran

Beberapa saran yang dapat disampaikan melalui makalah ini, khususnya seputar

teologi kontekstualisasi dan misi gereja.

Pertama, dalam menjalankan teologi misi kontekstual yang alkitabiah, gereja

harus tetap menempatkan Allah, Yesus Kristus, Roh Kudus dan Alkitab sebagai otoritas

tertinggi dalam bermisi dan berteologi.

Kedua, dalam menjalankan teologi misi kontekstual yang alkitabiah, tetap

memperhatikan akan mekanisme trialektis “Allah, orang Kristen (manusia) dan konteks

(manusia lain, budaya, sosial, dsb)”.


111

KEPUSTAKAAN

Alkitab

1974 Terjemahan Baru, Jakarta: Lembaga Alkitab Indonesia.

1994 Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan, Malang: Gandum Mas.

Akal, Yunny Jones

2005 Diktat Strategi Misi, Jakarta: IFTK Jaffray.

Bosch, D. J.,

2006 Transformasi Misi Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

---

2006 Peran Allah dalam Misi, Sidoarjo: Terang Lintas Budaya.

2007 Peran Roh Kudus dalam Misi, Malang: Terang Lintas Budaya.

Chai, Young G.

2005 Jemaat Rumah: Penggembalaan Bersama dengan Orang Awam, Jakarta:

Gloria Cipta Grafika.

Jacobs, T.,

1970 Konstitusi Dogmatis (Lumen Gentium) Mengenai Gereja, Yogyakarta.

Kobong, Th.,

--- Iman dan Kebudayaan, Jakarta: BPK Gunung Mulia.

L. Budiman R.

--- Pelayanan Lintas Budaya dan Kontekstualisasi.

Legrand, L.,

1990 Unity and Plurality: Mission in the Bible, New York.

Moltmann, J.,

1975 Gott Kommt und der Mensch wird Frei, Munchen.


112

Peters, George W.

1972 A Biblica Theology of Mission, Chicago: Moody Press.

Prent, K., dkk.

1969 Kamus Latin – Indonesia, Yogyakarta.

Rahmiati

--- Kontekstualisasi Sebagai Sebuah Strategi.

Sidjabat, B. S.

1986 Kebudayaan dan Misi, Bandung: Sahabat Gembala.

Schutte, J.,

1967 Fragen der Mission an das Konzil, Main.

Schultze, Quentin J.

2004 Communicating for Life, Malang: Literatur SAAT.

Tim Penyusun

2005 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka.

Tomatala, Yakob

2003 Teologi Misi, Jakarta: YT Leadership Foundation.

1998 Penginjilan Masa Kini Jilid 1-2, Malang: Gandum Mas.

1993 Teologi Kontekstualisasi, Malang: Gandum Mas.

Anda mungkin juga menyukai