Anda di halaman 1dari 15

KEGIATAN BELAJAR 1

KONSEP TEOPLOGI TANTANG


KEHADIRAN GEREJAH DI
TENGAH DUNIA

Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Menguasai pola pikir dan struktur keilmuan serta materi ajar PAK dengan
perspektif Alkitabiah yang menumbuhkan pengalaman, membangun hubungan, dan
mendorong partisipasi dengan berkategori advance materials secara bermakna yang dapat
menjelaskan aspek “apa” (konten), “mengapa” (filosofi), dan “bagaimana” (penerapan)
dalam kehidupan sehari-hari.

Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menganalisis konsep dan makna gereja
2. Menganalisis hakekat misi kehadiran gereja
3. Menganalisis kemandirian gereja dalam panggilan pemberitaan dan pelayanan
4. Menganalisis pertumbuhan dan perkembangan gereja di dunia

Pokok-Pokok Materi

1. Konsep dan makna gereja


2. Hakekat misi kehadiran gereja
3. Kemandirian gereja dalam panggilan pemberitaan dan pelayanan
4. Pertumbuhan dan perkembangan gereja di dunia

Urain Matero

l. Konsep dan Makna Gereja


Kata “gereja” yang dalam bahasa Inggrisnya “church” dari bahasa Portugis
“igreya”, yang sama dengan bahasa Spanyol “iglesia”, bahasa Perancis “eglise” dan
bahasa Latin “ecclesia” (B.S Mardiatmaja: 1986). Semua kata ini bersumber dari bahasa

1
Yunani ekklesia, yang berarti dipanggil keluar. Jadi secara harfiah kata ekklesia berarti
“yang dipanggil keluar”. Selain istilah-istilah di atas, ada istilah lain yang digunakan
dalam bahasa Eropa Utara untuk gereja seperti “church” (Inggris), “kirche” (Jerman) dan
“kerk” (Belanda). Kata-kata ini berasal dari bahasa Yunani kurion atau kuriakon yang
berati kepunyaan atau milik Tuhan. Gereja bermakna persekutuan orang-orang milik
Tuhan atau kepunyaan Tuhan. Gereja adalah persekutuan orang percaya kepada Yesus
sebagai Tuhan dan Juru Selamat, yang dibentuk oleh Allah melalui pekerjaan Roh
Kudus (Kisah Para Rasul 2). Jadi Allah sendiri yang memanggil gereja dan
menghimpun orang-orang dari berbagai suku, bangsa, bahasa, jenis kelamin, lapisan
sosial, menjadi satu persekutuan tubuh Kristus, dimana Kristus menjadi kepala dan
Tuhan (I Korintus 12:13, 20; Efesus 4 :3-16; Kolose 2:9; Wahyu 7:9). Oleh kuasa Roh
Kudus gereja diutus untuk memberitakan perbuatan-perbuatan Allah yang besar di
segala tempat dan sepanjang masa.
Gereja dibentuk berdasarkan kasih karunia Allah dan pengampunan Allah
kepada manusia (KPR 2:38). Gereja memiliki aspek persekutuan (1 Korintus 12:20),
institusi (I Timotius 3:1-14) dan personal (1 Korintus 12:27), (Ajaran GPM; 2016).
Sebagaimana yang diungkapkan oleh McBrien, ada tiga aspek yang dimiliki gereja
yakni: (1) sebuah komunitas atau jemaat; (2) sebuah institusi, karena gereja
memerlukan sarana organisatoris dan struktural untuk memenuhi pengutusannya; (3)
sejauh bekerjasama dengan pengutusan Yesus demi kerajaan Allah, gereja adalah
pelaku perubahan, pelayan/kekuatan yang membebaskan dalam masyarakat dan
dalam gereja sendiri (Richard P. Mc Brien; 1997).
Dengan kata lain, gereja terdiri dari semua orang yang tersebar di seluruh bumi.
Sedangkan gereja setempat atau lokal dipahami sebagai kelompok orang-orang percaya
yang terkumpul di satu tempat. Contoh dalam Alkitab seperti gereja di Yerusalem
(Kisah Para Rasul 20:17), Korintus (1 Kor 1:29) dan lain-lain. Kehadiran gereja di
tengah-tengah dunia bertujuan untuk memberitakan kabar sukacita/Injil Allah supaya
manusia dan dunia menjadi selamat. Tugas dan panggilan gereja yakni: bersekutu,

2
melayani, bersaksi dan oikumenia itu berarti gereja ada di dunia bukan hanya untuk
sekadar eksis, tetapi ada tujuan mulia yang hendak dicapai. Tujuan gereja di dunia
adalah untuk memberlakukan kehendak dan maksud Allah, kabar sukacita dari Allah
(Injil), yakni Firman Tuhan.
Pengudusan secara teologis tidak didapat melalui ritual tertentu. Pengudusan ini
bukan hasil pemberian atau pengakuan sebuah gereja lokal. Pengudusan ini terjadi
melalui iman kepada Yesus Kristus. Korban Kristus menguduskan manusia sekali
untuk selamanya (Ibrani 10:2, 10). Sehingga pengudusan Allah memungkinkan
manusia disebut sebagai orang-orang yang kudus. Sehingga dalam melakukan
panggilannya gereja memerlukan pertobatan dan pembaruan hidup yang terus
menerus menurut karya Roh Kudus. Gereja mesti terbuka kepada tuntunan Firman
Allah dan karya Roh Kudus (Yohanes 14:26). Sedangkan kata “am” berarti "umum".
Dari perspektif Alkitab, ciri tersebut juga nampak dalam teks Paulus yang menekankan
keesaan gereja :
Pertama, Paulus menggunakan bentuk tunggal “jemaat” (tē ekklēsia), (1 Korintus
1:2). Tidak seperti kebiasaan Paulus di beberapa suratnya yang menggunakan bentuk
jamak (Roma 1:7; Filipi 1:1; Efesus 1:1; Kolode 1:2; bdk. 1 Tes 1:1; 2 Tes 1:1). Para teolog
meyakini bahwa jumlah gereja lokal di Korintus lebih dari satu (sebagaimana di
beberapa kota besar yang lain), tetapi Paulus sengaja memakai bentuk tunggal. Melalui
poin gramatikal ini ia ingin menegaskan bahwa walaupun lokasi dan pemimpin gereja-
gereja tersebut berlainan, tetapi semua adalah satu. Gereja-gereja lokal adalah bagian
dari gereja universal yang am.
Kedua, ia menambahkan ayat 2b yang cukup panjang dan bernuansa inklusif. Dari
sisi isi surat, penambahan “dengan semua orang di segala tempat” tidak diperlukan,
karena Surat 1 Korintus bukan surat edaran umum yang relevan untuk beragam gereja
lokal (bdk. Kolode 4:16). Paulus hanya menyinggung situasi khusus dalam gereja-gereja
lokal di Korintus. Dalam teologi Paulus, seruan ini dikaitkan dengan pertobatan dan
iman (Roma 10:12-14; lihat juga Kis 2:21). Dengan demikian gereja adalah am artinya

3
terbuka, bersifat universal, tidak terbatas pada satu tempat, tersebar di seluruh dunia,
memiliki peranan yang luas dan meliputi segala sesuatu. Gereja disebut am artinya
gereja menerobos segala perbatasan (wilayah, suku, ras, bangsa, bahasa, dan golongan)
memiliki perspektif yang universal dan inklusif (Ajaran GPM; 2016).
Tujuan khusus dari gereja itu adalah untuk memuliakan Bapa yang di surga.
Dalam Alkitab kata “gereja” digunakan dalam tiga cara: (1) secara universal, (Matius
16:18), ketika menjanjikan ini Yesus tidak secara lokal/khusus baik dalam tempat
ataupun waktu. Dia berjanji untuk membangun gereja yang universal yang akan
menjangkau semua bangsa, etnik, ras, kultur yang beraneka ragam, dan pada semua
situasi; (2) secara lokal, yaitu suatu perkumpulan/kelompok orang yang bertemu dalam
sebuah tempat/lokasi secara khusus.

2. Hakekat Misi Kehadiran Gereja


Istilah misi berasal dari bahasa latin “missio“ yang berarti pengutusan (diangkat
dari kata dasar “mittere”) yang berkaitan dengan kata “missum“ yang artinya
mengirim/ mengutus (“to send“). Dalam bahasa Inggris bentuk tunggal mission berarti
karya Allah atau tugas yang diberikan oleh Tuhan kepada kita. Sedangkan bentuk
jamak missions menandakan kenyataan praktis atau pelaksanaan pekerjaan itu.
Missions adalah tugas-tugas pengutusan yang dilaksanakan oleh umat Allah untuk
menggenapkan keseluruhan rancangan Allah yang kekal guna membawa syalom bagi
ciptaan-Nya.
Padanan dari kata ini dalam bahasa Yunani ialah “apostello”. Kata apostello ini
tidak berarti mengirim/kirim secara umum. Istilah ini lebih berarti mengirim dengan
otoritas. Di sini, yang dikirim diutus dengan otoritas dari yang mengirim untuk tujuan
khusus yang akan dicapai. Tekanan penting dari “misi atau pengutusan Allah“
berbicara tentang Allah yang mengutus, dimana Ia adalah sumber, inisiator,
dinamisator, pelaksana dan penggenap misi-Nya. Sebagai sumber misi, landasan bagi
rencana Allah yang kekal ini beranjak dari hatiNya, dan Ia sendiri berinisiatif untuk

4
melaksanakan misiNya, ditunjang oleh dinamikaNya (kekuatan/ kuasa) guna
melaksanakan dan mencapai misi-Nya tersebut.
Misi gereja (pengutusan gereja) adalah pekerjaan missioner dari jemaat Kristen
sepanjang sejarah dunia. Misi gereja yaitu partisipasi gereja dalam misi Kristus.
Pelayan (layan) istilah Ibrani Mesyaret yang menunjuk kepada pelayanan di Bait Suci,
atau di tempat lain kepada pelayanan malaikat-malaikat (Mazmur 104:4). Dalam
Perjanjian Baru kata yang khas dipakai ialah diakonos, pertama dalam arti non teknis
dan kemudian dalam Filipi 1:1 (Diakon) dan surat-surat penggembalaan sebagai gelar
dari petugas bawahan di jemaat. Alkitab menggambarkan kehidupan gereja mula-mula
sejak awal terbentuk, adalah persekutuan yang hidup menurut Firman Tuhan. Tugas
pengutusan mana muncul dalam gambaran gereja. Kehadiran gereja digambarkan
sebagai : “garam dan terang”, “tubuh kristus”, “ranting anggur”, dan “mempelai
Kristus”.
Pertama: Gereja sebagai garam dan terang dunia (Matius 5:13-16). Gambaran ini
menjelaskan tentang peranan orang yang percaya kepada Yesus Kristus dalam dunia.
Sama seperti garam mempunyai fungsi menghindarkan daging dan ikan dari
pembusukkan, menyedapkan makanan, demikian juga fungsi orang percaya kepada
Yesus Kristus yakni menghindarkan orang di sekitarnya dari pembusukkan karena
dosa. Tentunya melalui kasih yang mereka perlihatkan terhadap sesama manusia
(ay.7), melalui kesucian hatinya (ay.8) dan melalui pengharapan mereka kepada Tuhan
(ay.3). Seperti terang menyinari kegelapan, maka orang Kristen harus menyinari
kegelapan di dunia ini (J.J. de Heer: 2004). Itu berarti gereja harus menyaksikan
kehendak Kristus dalam kehidupannya melalui tutur kata dan tingkah lakunya sehari-
hari.
Kedua : Gereja sebagai tubuh Kristus (Roma 12:4; I Korintus 12:12-17; Efesus 1:22-
23). Gambaran ini hendak menekankan aspek “kesatuan” dari orang Kristen. Keadaan
jemaat sama seperti tubuh, yang sekalipun mempunyai banyak anggota, namun tidak
semua anggota mempunyai tugas yang sama. Masing-masing anggota menerima

5
karunia yang berbeda-beda. Jadi fungsi mereka adalah saling menolong dan
melengkapi. Gambaran Paulus ini menentang segala sifat manusia yang individualistis.
Di dalam gereja tidak ada perbedaan antara anggota yang satu dengan anggota yang
lain. Oleh karena itu jikalau seorang menderita, semua anggota menderita.
Ketiga: Gereja sebagai ranting-ranting anggur (Yohanes 15:1-8). Kiasan ini terdapat
dalam perumpamaan tentang pokok anggur yang benar. Dalam kiasan ini penulis Injil
Yohanes menggambarkan Kristus sebagai pokok anggur dan murid-murid (gereja)
sebagai ranting-rantingnya (Yohanes 15:5a). Hubungan itu sangat menentukan mati
hidupnya ranting itu. Bila antara ranting dan pohon terjalin hubungan yang kuat maka
ranting itu akan berbuah lebat. Karena itu Yesus berkata: “Barangsiapa tinggal di dalam
Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak, sebab di luar Aku kamu tidak dapat
berbuat apa-apa. Itu berarti bahwa gereja sebagai ranting-ranting tidak bisa hidup
tanpa Kristus yang dikiaskan sebagai pokok anggur. Oleh sebab itu gereja yang hidup
tanpa Kristus adalah gereja yang mati. Karena itu persekutuan antara gereja dan
Kristus merupakan syarat mutlak (S. B. Hakh; 1999).
Keempat: Gereja sebagai mempelai Kristus. Gambaran ini didasarkan pada
Perjanjian Lama yang menyebut Israel sebagai mempelai perempuan Allah (Yesaya
54:5-8; 62:5; Yeremis 2:2). Yesus memakai kiasan yang sama, dengan menyebut diri-Nya
mempelai laki-laki (Markus 2:1820). Dengan kata lain gereja harus setia kepada Dia,
mengasihi Allah dengan tulus dan ikhlas. Hubungan mempelai pria dan mempelai
wanita menunjukkan adanya suatu relasi yang amat dalam dan khusus. Relasi itu
didasarkan pada cinta kasih yang tulus.
Simak video berikut pada Kegiatan Belajar 1 Mengenai Konsep Teologi Tentang
Kehadiran Gereja di Tengah Dunia
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=CKc3cjiKDqc

6
3. Kemandirian Gereja dalam Panggilan Pemberitaan dan Pelayanan
Kemandirian terkandung makna suatu keadaan berdiri sendiri dan kemudian
tanpa bergantung kepada orang lain. Maka menuju kepada kemandirian merupakan
usaha atau tindakan dalam mencapai keadaan berdiri sendiri dan tanpa bergantung
kepada orang lain. Kemudian pengertian gereja sangat penting untuk dipaparkan di
sini mengingat beberapa pemahaman yang berkembang, dalam rangka memberikan
jalan masuk kepada pengertian dalam makalah ini. Maka arti gereja adalah orang-
orang yang dipilih untuk percaya, yang am, di mana Kristus sebagai Kepala, dan
kemudian sebagai persekutuan orang-orang percaya. Dengan demikian kemandirian
gereja adalah keadaan sebagai orang yang dipilih untuk percaya kepada Allah atau
persekutuan orang-orang percaya dapat berdiri sendiri, tanpa bergantung kepada
orang lain.
Ada tiga bentuk panggilan gereja yakni; Koinonia, Martyria dan Diakonia. Koinonia
adalah bahasa Yunani, berasal dari kata “koin” yang berarti mengambil bagian. Dalam
perspektif biblis, koinonia diartikan sebagai paguyuban atau persekutuan (bdk. Kis.
2:4142). Koinonia dapat diidentikan dengan sebuah paguyuban dalam melaksanakan
sabda Tuhan. Suasana hidup dalam persekutuan tersebut ialah persekutuan hidup
yang guyub dalam arti hidup rukun dan damai.
Koinonia memiliki konotasi sebagai milik bersama atau bersolidaritas. Dalam
terang Sabda Tuhan syarat untuk membangun paguyuban Kristiani adalah orang-
orang yang suka mendengarkan Sabda Allah dan berusaha melaksanakannya.
Pelaksanaan Sabda Allah dapat berupa aktivitas pewartaan, liturgi, pelayanan,
kesaksian dan berjuang untuk hidup dalam semangat rukun-guyub dan aktif dalam
melakukan solidaritas (Suwita, 2003: 3-11).
Martyria berasal dari kata bahasa Yunani yakni “marturion” yang artinya
kesaksian. Saksi sering diartikan sebagai orang yang melihat atau mengetahui suatu
kejadian. Makna saksi merujuk kepada pribadi seseorang yang mengetahui atau
mengalami suatu peristiwa dan mampu memberikan keterangan yang benar.

7
Diakonia berarti pelayanan. Terminologi diakonia ini berasal dari kata bahasa
Yunani yakni dari kata kerja “diakon” yang berarti melayani. Tuhan Yesus sendiri amat
pandai memilih kata yang tepat untuk menggambarkan eksistensi terdalam dari
kehadiranNya di dunia ini bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani (bdk. Mat
20:28).

4. Pertumbuahn dan Perkembangan Gereja di dunia1


Gereja dimulai 50 hari sesudah kebangkitan Yesus (sekitar tahun 30-34 Masehi).
Yesus sudah berjanji bahwa Dia akan mendirikan gereja-Nya (Matius 16:18), dan
dengan datangnya Roh Kudus pada hari Pentakosta (Kisah 2:1-4), "Gereja" (“kumpulan
yang dipanggil keluar”) secara resmi dimulai. Tiga ribu orang yang menerima khotbah
Simon Petrus pada hari itu dan memilih untuk mengikuti Kristus dengan cara
dibaptiskan.
Periode gereja mula-mula dimulai sejak kurang lebih tahun 33 dengan pelayanan
rasul Petrus, Paulus dan lain-lainnya dalam memberitakan kisah Yesus hingga
bertobatnya Kaisar Konstantinus I pada tahun 325. Tidak lama setelah Pentakosta,
pintu gereja terbuka kepada orang-orang bukan Yahudi. Penginjil Filipus berkhotbah
kepada orang-orang Samaria, dan banyak dari mereka yang percaya kepada Kristus.
Rasul Petrus berkhotbah kepada rumah tangga Kornelius yang bukanlah orang Yahudi
dan mereka juga menerima Roh Kudus. Pada tahun 70, tahun di mana Yerusalem
dihancurkan, kitab-kitab Perjanjian Baru telah lengkap dan beredar di antara gereja-
gereja. Untuk 240 tahun berikutnya, orang-orang Kristen dianiaya oleh Roma, kadang
secara acak, kadang atas perintah pemerintah. Pada abad kedua dan ketiga,
kepemimpinan gereja mejadi makin hierakis seiring dengan peningkatan jumlah.
Beberapa ajaran sesat diungkapkan dan ditolak pada zaman ini, dan kanon Perjanjian
Baru disepakati.

1
Diunduh dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah Kekristenan#Gereja_mula-mula

8
Setelah kematian dan kebangkitan Yesus, para Rasul diberi tugas untuk
memberitakan Injil dan menceritakan tentang kabar keselamatan kepada semua orang
"sampai ke ujung bumi". Kekaisaran Romawi pada waktu itu membenci dan takut
dengan ajaran Kristen yang menyerukan kepada semua orang supaya jangan takut
kepada pemerintah duniawi yang sementara, melainkan takut kepada pemerintahan
surgawi yang akan datang kelak. Kaisar Nero bersama-sama dengan kaisar-kaisar
pendahulunya maupun sesudahnya melakukan penganiayaan, membunuh,
memenjarakan, menyiksa, menjadikan orang Kristen umpan singa di collosseum; namun
hal-hal tersebut tidak menyurutkan niat gereja mula-mula untuk berkembang dan
semakin bertambah jumlah orang yang percaya kepada Yesus.

a) Perkembangan Gereja di Bawah Kekaisaran Romawi2


Kebijakan anti-Kristen di Kekaisaran Romawi terjadi dalam kurun waktu berselang
selama sekitar tiga abad hingga tahun 313 ketika Kaisar Romawi Konstantinus Agung
dan Lisinius bersama-sama mengundangkan Maklumat Milan yang mengesahkan
agama Kristen atau Kristiani. Penganiayaan terhadap umat Kristiani di Kekaisaran
Romawi dilakukan oleh negara serta juga oleh otoritas setempat secara sporadis dan ad
hoc, seringkali dilakukan atas kemauan masyarakat setempat. Dimulai pada tahun 250,
penganiayaan atau penindasan yang berlangsung di seluruh kekaisaran berlangsung
karena dekret yang dikeluarkan oleh Kaisar Decius. Maklumat tersebut berlaku selama
18 bulan, dan selama masa tersebut beberapa umat Kristiani dibunuh sementara yang
lainnya mengkhianati iman mereka untuk menghindari eksekusi. Penganiayaan-
penganiayaan ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan Kekristenan, terbentuknya
teologi Kristen dan struktur Gereja. Di antara hal lainnya, penganiayaan menimbulkan
banyak kultus orang kudus yang mungkin telah berkontribusi pada pesatnya

2
Diunduh dari: https://id.wikipedia.org/

9
penyebaran Kekristenan serta menghasilkan berbagai pembelaan dan penjelasan
tertulis atas agama Kristen.
Kebijakan-kebijakan anti-Kristiani yang menyasar Gereja perdana terjadi secara
sporadis dan berlangsung terlokalisir di berbagai daerah sejak awal mulanya. Peristiwa
penganiayaan pertama terhadap umat Kristiani yang diorganisir oleh pemerintah
Romawi berlangsung di bawah pemerintahan Kaisar Nero pada tahun 64 M setelah
peristiwa Kebakaran Besar Roma. Dengan disahkannya Maklumat Milan pada tahun
313 M, kebijakan-kebijakan anti-Kristiani oleh pemerintah Romawi yang menyasar
umat Kristiani berhenti.

b) Perkembangan Gereja Abad Pertengahan3


Pada awal periode ini, Kekaisaran Romawi mengalami keruntuhan, tetapi gereja
tetap bertahan. Banyak suku Barbar yang menerima kekristenan dan menghormati
Uskup Roma. Posisi gereja ditingkatkan melalui keberhasilan-keberhasilan uskup
Roma dalam melindungi orang-orang pada tingkat tertentu dari perbuatan-perbuatan
paling keji yang dilakukan oleh orang-orang Barbar, disaat kaisar tidak bisa melindungi
mereka. Sepanjang abad ini gereja terbagi kedalam dua bagian yaitu Gereja Timur dan
Gereja Barat. Gereja Timur berbahasa Yunani mempertahankan tradisi gereja pada abad
Perjanjian Baru, dan Gereja Barat berbahasa Latin berpusat di Eropa Barat. Pada masa
ini yang menjadi pusat perhatian adalah Gereja Barat. Yang sangat menyedihkan pada
periode ini para pemimpinnya, gereja bersama organisasinya yang besar dikuasai oleh
pemerintah sipil. Hal ini banyak mengakibatkan terjadinya pertentangan antara
pemerintah dan gereja, dan berakibat tragis bagi kubu yang terkalahkan.
Pada masa ini pula dibangun sistem Perang Salib untuk mempertahankan
pemerintahan Eropa dari desakan pengaruh pemerintahan Islam dari timur tengah.
Seorang ksatria (crusade) harus selalu bersedia membela keyakinannya setiap kali

3
Diunduh dari: https://www.academia.edu/ yang mengutip sumber dari beberapa buku: Enklaar IH, Berkhof H,
Sejarah Gereja, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2013). Enns,Paul The Moody Handbook Of Teology Revised And
Ekpanded, (Malang : Literatur SAAT, 2016). Kuiper, B.K.,The Church In History, (Malang : Gandum Mas, 2010),
dan Tambunan Ryna Heppy, Diktat Sejarah Gereja Umum, (Semaramg:STT Harvest Semarang, 2011)

10
terjadi pertempuran dalam perang suci. Karena itulah pemerintahan kemudian menjadi
di bawah pengaruh keagamaan. Diakhir abad ini terjadi pergolakan yang sangat besar
dalam gereja dan diseluruh dunia barat. “Periode Abad Pertengahan mulai dari tahun
590 – 1517 A.D., saat reformasi dimulai. Periode dari tahun 500 – 1500 A.D. sering kali
disebut masa kegelapan, kerena terjadi penyimpangan di kalangan gereja.
Penyimpangan itulah yang menjadi pemicu Reformasi Protestan oleh Martin Luther.”
Di sepanjang abad pertengahan merupakan masa dimana kekuasaan gereja banyak
diwarnai oleh tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran moral, terutama hal-hal
yang berhubungan dengan penyalahgunaan kekuasaan para pemimpin gereja. Hal ini
terjadi karena para pemimpin agama dan pemimpin negara mencampur-adukan
kebijaksanaan pemerintahan dan kebijaksanaan agama, itulah sebabnya antara
penguasa politik dan penguasa agama saling bertikai memperebutkan kekuasaan.
Pertikaian Paus dan Kaisar sebagian besar karena alasan Jabatan dan kekuasaan. Setiap
pertikaian selalu berakibat buruk terutama bagi pihak yang kalah.
Melalui sejarah abad pertengahan yang menempatkan agama sebagai agama negara,
dimana kebijakan agama turut andil dalam putusan dunia politik pemerintahan akan
mengasilkan kondisi yang buruk pada pemerintah saat itu. Masa kegelapan yang
terjadi pada era jaman abad pertengahan tidak boleh terjadi di jaman sekarang dan
jaman yang akan datang. Kebijakan pemerintah adalah urusan orang-orang yang
duduk dipemerintahan dan kebijakan agama adalah urusan para pemimpin agama,
keduanya tidak bisa dicampuradukan, karena antara pemerintahan dan keagamaan
adalah dua hal yang berbeda.
c) Perkembangan Gereja di Era Reformasi Protestan4
Reformasi Protestan adalah suatu skisma dari Gereja Katolik yang diprakarsai oleh
Martin Luther dan dilanjutkan oleh Yohanes Calvin, Ulrich Zwingli, serta para
Reformis Protestan awal lainnya di Eropa pada abad ke-16. Gerakan ini umumnya

4
https://id.wikipedia.org/wiki/Reformasi_Protestan

11
dianggap telah dimulai dengan publikasi 95 Tesis oleh Luther pada 1517, dan
berlangsung sampai berakhirnya Perang Tiga Puluh Tahun melalui Perdamaian
Westfalen pada 1648. Meskipun sebelum Luther telah ada upaya-upaya awal yang
signifikan untuk melakukan reformasi Gereja Katolik – seperti yang dilakukan oleh Jan
Hus, Peter Waldo (Pierre Vaudès), dan John Wycliffe – Martin Luther secara luas diakui
telah memulai Reformasi Protestan dengan 95 Tesis. Luther mengawali dengan
mengkritik penjualan indulgensi, bersikeras bahwa Sri Paus tidak memiliki otoritas atas
purgatorium dan bahwa ajaran Katolik mengenai jasa orang-orang kudus tidak
memiliki landasan di dalam Alkitab.
Bagaimanapun, posisi Protestan kelak memadukan perubahan-perubahan doktrin
seperti ketergantungan sepenuhnya pada Alkitab sebagai satu sumber keyakinan yang
benar (sola scriptura) serta keyakinan bahwa iman dalam Yesus, dan bukan perbuatan-
perbuatan baik, adalah satu-satunya jalan untuk memperoleh pengampunan Allah atas
dosa (sola fide). Motivasi utama di balik perubahan-perubahan tersebut bersifat teologis,
kendati banyak faktor lain yang berperan, termasuk bangkitnya nasionalisme, Skisma
Barat yang mengikis kepercayaan pada Kepausan, dugaan korupsi Kuria Roma,
dampak dari humanisme, dan pembelajaran baru Renaisans yang mempertanyakan
banyak pemikiran dalam tradisi.
Gerakan awal di dalam wilayah Jerman beragam rupa, dan impuls-impuls
reformasi lainnya timbul secara tersendiri di luar kepemimpinan Luther.
Tersebarluasnya mesin cetak Gutenberg menjadi sarana penyebaran materi-materi
keagamaan secara cepat dalam bahasa vernakular (lingua franca). Kelompok-kelompok
terbesar gerakan ini yaitu Lutheran dan Calvinis. Gereja-gereja Lutheran kebanyakan
didirikan di Jerman, Baltik, dan Skandinavia, sedangan gereja-gereja Reformed
didirikan di Swiss, Hongaria, Prancis, Belanda, dan Skotlandia. Gerakan baru ini
memberikan pengaruh definitif pada Gereja Inggris setelah tahun 1547 di bawah
pemerintahan Edward VI and Elizabeth I, kendati Gereja Inggris telah berdiri sendiri di
bawah pemerintahan Henry VIII pada tahun 1530-an awal.

12
Terdapat juga gerakan-gerakan reformasi di seluruh Eropa daratan yang dikenal
sebagai Reformasi Radikal, yang menimbulkan gerakan-gerakan Anabaptis, Moravia,
dan Pietistik lainnya. Selain membentuk komunitas-komunitas di luar otorisasi negara,
para Reformis Radikal seringkali menerapkan perubahan doktrin yang lebih ekstrem,
misalnya penolakan terhadap prinsip-prinsip hasil Konsili Nicea dan Konsili Kalsedon
yang berlangsung pada Abad Kuno Akhir. Gereja Katolik menanggapi dengan suatu
gerakan yang disebut Kontra-Reformasi, diprakarsai oleh Konsili Trente. Banyak upaya
dalam menghadapi Protestanisme dilakukan oleh kalangan Yesuit, suatu tarekat baru
kala itu yang terorganisasi dengan baik.
d) Perkembangan Gereja-Gereja di Indonesia5
Agama Kristen yang kita kenal sekarang ini masuk ke Indonesis melalui orang-
orang Eropa (Barat) mulai pada abad 16 yang lalu. Dimotori oleh datangnya orang-
orang Portugis dari Eropa (mulai datang ke Indonesia tahun 1522). Agama Kristen
Protestan mula-mula masuk ke Indonesia oleh orang-orang Belanda yang datang ke
Indonesia mulai tahun 1596 di bawah pimpinan Cornelius de Houtman. Alasan yang
mendorong kedatangan Belanda ke Indonesia yang paling menonjol ialah untuk
berdagang. Mereka ingin memonopoli perdagangan antara Asia dan Eropa. Dengan
kebijaksanaan pemerintah Belanda, pedagang-pedagang Belanda itu dipersatukan
dalam satu kompeni (serikat) yang bernama: “Verenigde Oostindische Compagnie”
(Persatuan Maskapei di India Timur) yang disingkat dengan VOC, tahun 1602. VOC ini
kemudian menjadi pemerintah atau penguasa di Indonesia, karena kepadanya
pemerintah Belanda memberi hak dan kekuasaan untuk mengangkat militernya,
membuat mata uang, dan mengadakan hubungan diplomatik dengan negara-negara
lain, dll. Dengan kekuasaan ini maka VOC bisa bertindak keras di Indonesia demi
memajukan usaha perdagangan mereka.

5
Sikpan Sihombing. 2009. Sejarah Gereja di Indonesia. Diktat Kuliah. Sumber: https://www.academia.edu/

13
Sebagai pedagang, orang-orang Belanda tidak begitu mengutamakan usaha
penginjilan. Usaha penyebaran Injil kepada orang-orang pribumi hanya dilakukan
apabila usaha itu diperkirakan membawa keuntungan bagi usaha dagangnya. Apabila
ada suatu suku tertentu mau dikristenkan, adalah dengan maksud supaya suku itu
dapat dengan mudah dikuasai dan bisa setia kepada penguasa Belanda. Untuk daerah-
daerah yang sudah Islam, VOC tidak mengusahakan pekabaran Injil, karena mereka
takut akan memperoleh perlawanan dari masyarakat Islam tersebut. Di wilayah-
wilayah yang sudah dikuasai oleh VOC gereja didirikan, semua pendetanya digaji oleh
VOC. Dan setelah VOC bubar tahun 1799, gereja-gereja yang didirikan oleh VOC itu
diambil-alih oleh pemerintah Belanda. Gereja-gereja yang berada di tangan pemerintah
Belanda ini disebut: Gereja Protestan di Indonesia (Indische Kerk).
Dalam usaha menjalankan perdagangan itu VOC jauh lebih kuat dari orang-orang
Portugis. Daerah Maluku yang semula dikuasai oleh orang-orang Portugis dapat
dengan mudah ditakhlukkan oleh VOC. Sama seperti yang dilakukan oleh orang-orang
Portugis, di daerah-daerah yang dikuasai oleh VOC itu, petugas-petugas gereja juga
segera ditempatkan. Tetapi tujuan utama dari penempatan petugas-petugas gereja ini
ialah untuk kepentingan pelayanan rohani orang-orang Belanda yang bekerja di sana.
Sedangkan usaha pekabaran Injil kepada penduduk setempat sangat kurang dilakukan.
Pekabaran Injil baru dilakukan oleh pendeta-pendeta VOC apabila pekerjaan itu
dirasa mendukung kepada usaha mempercepat penguasaan penduduk setempat.
Apabila di daerah-daerah itu masih dijumpai orang-orang Katolik yang masih
bertahan, mereka dipaksa oleh orang-orang Belanda menjadi Protestan dan seluruh
petugas-petugas gereja RK itu diusir. Dalam hal ini orang-orang Belanda atau VOC
tetap memegang semboyan: “cuius regio eius religio”. Artinya siapa punya daerah atau
negara dia punya agama. Selaku orang-orang yang beragama Protestan, orang-orang
Belanda yang telah berkuasa, menakhlukkan orang-orang Kristen yang baru itu
menjadi Protestan. Namun petugas-petugas gereja Katolik itu tidak diganti oleh VOC
dengan tenaga-tenaga Protestan, sebab VOC belum mempunyai tenaga untuk

14
memelihara orang-orang Kristen yang sudah ada ataupun mengabarkan Injil kepada
orang-orang yang bukan Kristen. Karena itu tidak ada lagi pelayanan ibadah dan
pembinaan rohani bagi orang-orang Kristen peninggalan orang-orang Portugis itu.
Selama kekuasaan VOC di Indonesia (1602-1799), VOC telah mempekerjakan dan
membelanjai sebanyak 254 orang pendeta dan kira-kira 800 orang “penghibur orang
sakit” (zieketrooster). Seluruh pekerjaan di dalam gereja serta sekolah-sekolah adalah
tanggungan VOC, termasuk juga pembangunan gedung-gedung gereja dan penerbitan
buku-buku bacaan yang diperlukan. Gereja-gereja yang diasuh oleh VOC ini sering
juga disebut “Gereja VOC” atau juga Gereja Negara. Seluruh jemaat Kristen
peninggalan orang-orang Portugis itu juga dialihkan menjadi Gereja VOC, yang
sekaligus menjadi tanggungan VOC. Dalam hal ini pemerintah Belanda memang
menghendaki rakyatnya agar menjadi orang-orang Kristen. Tetapi demi menjaga
ketertiban dan keamanan usaha perdagangan dan pemerintahannya, kewajiban untuk
mengkristenkan itu tidak banyak dilakukan. Dan bahkan hak-hak pendeta selalu
dibatasi, dan selalu disesuaikan dengan kebijaksanaan politik dari pemerintah. Segala
kegiatan yang dipikirkan oleh pendeta harus mendapat persetujuan lebih dulu dari
pemerintah Belanda. Termasuk surat-surat yang dikirimkan kepada gereja-gereja di
negeri Belanda, harus terlebih dahulu melalui penilaian gubernur jenderal Belanda di
Indonesia. Dengan demikian maka perkembangan gereja di Indonesia menjadi sulit
diketahui oleh Gereja Induk di negeri Belanda.

15

Anda mungkin juga menyukai