Anda di halaman 1dari 15

TUGAS PANGGILAN GEREJA

I. Pengantar

Berbicara tentang Tugas Panggilan Gereja, bukan lagi pembicaraan yang asing bagi kita
sekalian, khususnya kita sebagai para Pelayan, baik Majelis Jemaat maupun Pengurus-pengurus
Pelka. Ketika mendengar Tugas Panggilan Gereja, pastilah terbesit di ingatan dan pikiran kita,
tugas itu ialah dalam hal; Persekutuan (Koinonia), Kesaksian (Marturia) dan Pelayanan
(Diakonia) atau yang biasa disebut “Tri Tugas Panggilan Gereja”. Meskipun tiga tugas Panggilan
Gereja ini sudah bukan kata atau istilah yang asing dalam kehidupan bergereja, akan tetapi
pemaknaan dan pemahaman serta dalam aksi, tugas panggilan gereja tersebut masih merupakan
proses yang diharapkan selalu dinamis sehingga dalam melaksanakan dan mewujudkan tugas
pelayanan tersebut para pelayan Tuhan selalu menuju pada kesempurnaan melayani Tuhannya.

Tugas Panggilan:

1. Mewujudkan persekutuan atas dasar Yesus Kristus, baik untuk seluruh jemaat GPID
Maupun dengan Gereja-gereja di Indonesia dan seluruh dunia (Koinonia)

2. Memberitakan Injil Kerajaan Allah Kepada semua bangsa dan segala mahluk (Marturia)

3. Melaksanakan pelayanan kasih kepada semua orang dan segala Mahluk (Diakonia)

Demikian juga halnya dalam tugas panggilan Pelayanan Kategorial[3]. Dengan demikian, jelas
bahwa mengenai Tugas Panggilan Gereja telah dimuat dengan jelas dalam Tata Gereja GPID.
Untuk menyegarkan pemahaman kita kembali tentang Tugas Panggilan Gereja, baiklah kita
menyimak Makalah sederhana ini.

II. Tugas Panggilan Gereja

a. Apa itu Tugas?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “ Tugas” diartikan sebagai: Kewajiban yang harus
dikerjakan, pekerjaan yang merupakan tanggungjawab; pekerjaan yang dibebankan; perintah
untuk berbuat atau melakukan sesuatu”.[4] Dalam hubungannya dengan Gereja, maka dapat
dipahami bahwa Tugas merupakan; kewajiban atau tanggungjawab yang harus dilakukan oleh
setiap Orang percaya sesuai dengan maksud dan tujuan yang memberikan tugas tersebut, yaitu
Tuhan Yesus Kristus, Sang Kepala Gereja.

b. Panggilan

Kata “ Panggilan” berasal dari kata “Panggil”. Dalam hal ini, Tuhan Yesus Kristus Sang Kepala
Gerejalah yang memanggil kita Gereja-Nya untuk Datang kepada-Nya, kemudian pergi bagi Dia.
Jadi, “Panggilan” dapat dipahami sebagai tindakan memberi diri secara total kepada Tuhan
Yesus bukan hanya untuk datang kepada-Nya, tetapi juga untuk pergi bagi Dia (Pemanggilan dan
pengutusan). Panggilan juga harus dipahami sebagai ajakan, undangan untuk melakukan sesuatu
pekerjaan sesuai dengan kehendak yang memanggil, yakni Tuhan Yesus Kristus.

c. Gereja

Gereja (ekklesia) yang berarti sidang, perkumpulan, perhimpunan, paguyuban pada umumnya
(seperti di kampung, di kota atau negara). Kata ini juga yang kemudian dipakai gereja untuk
menamai kelompok orang yang percaya kepada Kristus setelah peristiwa salib dan kebangkitan
Yesus Kristus[5].

Menurut Robertus Belarminos, Gereja adalah suatu bentuk manusia yang khusus.[6] Kata
“Gereja” yang dipakai sekarang dan digunakan secara luas dalam masyarakat Indonesia
sesungguhnya berasal dari bahasa Portugis[7] yakni “Igreja” yang berarti “persekutuan”. Gereja
juga diyakini oleh orang-orang Kristen sebagai wahyu dari Tuhan dalam arti yang
sesungguhnya[8], artinya Gereja adalah sesuatu yang benar-benar difirmankan oleh Allah untuk
dijadikan sebagai alat pemersatu dan sekaligus perekat semua orang Kristen (pengikut Yesus
Kristus).

Menurut John Titaley, Gereja adalah organisasi keagamaan “universal” yang baru bermakna
dalam konteks sosial tertentu, walaupun secara teologis bisa dirumuskan sebagai mitra kerja
Allah yang ditempatkan dalam suatu konteks sosial tertentu.[9] Gereja juga adalah praeformasi
atau bentuk pendahuluan dari pada umat manusia yang baru, gereja menuju kepada penyataan
yang sepenuhnya dari kerajaan Allah yang hidup dari dan dalam abad kebangkitan.[10] Gereja
harus dipahami sebagai sebuah terminologi yang mengikat pada masa dahulu, kini dan pada
masa yang akan datang.

1. Gereja Sebagai Persekutuan Orang Percaya

Gereja sebagai persekutuan orang percaya merupakan sebuah tatanan kehidupan sosial
masyarakat yang berbasis dan bertumpu pada ajaran-ajaran Injil yang mengikat erat anggotanya
dalam iman seorang dengan yang lain. Persekutuan Kristen pertama kali dikenal dengan sebutan
“Kristen” adalah di Antiokhia yakni di daerah Siria (Kisah Para Rasul 11: 26). Orientasi
kehidupan bergereja adalah Yesus Kristus, yang melakukan kehendak Allah di dalam kebenaran
dan kebangkitan Yesus, di mana orang percaya dibangkitkan pada kehidupan baru ( Roma 6 : 4).

Gereja sebagai persekutuan orang percaya juga harus dipahami sebagai persekutuan dengan
Kristus. Jikalau dalam suatu gereja Kristen persekutuan itu tidak ada, maka Gereja tersebut tidak
berhak disebut gereja.[11] Akan tetapi persekutuan dengan Kristus itu tidak dapat dipisahkan
pula dengan persekutuan dengan sesama. Menurut Emill Bruner, “Secara vertikal hubungan itu
diwujudkan di dalam persekutuan dengan Allah, secara horizontal diwujudkan di dalam
persekutuan dengan sesama orang beriman (persaudaraan)”.[12] Tuhan Allah sesungguhnya
tidak hanya memanggil gereja sebagai gereja bagi diri sendiri dan tersendiri, tetapi sebagai gereja
yang hidup dan berjuang melayani, dalam dan dengan sekitarnya. Gereja tidak akan mungkin
dapat hidup menikmati kesejahteraan total di atas kehancuran dunia sendirian, kalau dunia
sekitar hancur lebur, luluh lantak, gerejapun pada akhirnya akan luluh berguguran dan akan lebur
juga.[13] Karena itu gereja berada di dalam dunia tetapi bukan dari dunia, diutus untuk menjadi
alat menghadirkan syalom di tengah-tengah dunia.

2. Gereja Sebagai Tubuh Kristus

Perjanjian Baru menggunakan beberapa metafora yang berbeda-beda yang menjelaskan arti dan
fungsi gereja. Gereja disebut “Tubuh Kristus” (1 Kor. 10: 27; 12: 27; Ef. 1: 23; 4: 15; Kol. 1:
24), di mana orang dimasukkan ke dalamnya melalui babtisan dan perjamuan kudus. Menurut
H. Hadjiwijono, Gereja tidak memiliki tujuan pada dirinya sendiri, melainkan dipanggil untuk
menjadi sarana berkembangnya kerajaan Allah.[14] Sering terlihat bahwa di dalam hidup sehari-
hari gereja sebagi lembaga belaka, sebagai organisasi dengan segala kesibukannya, kebaktian
hari Minggu, katekisasi, penyelidikan Alkitab, komisi-komisi umur dan kesibukan lainnya.
Dalam konteks seperti ini, banyak orang memahami bahwa hubungan dengan Yesus Kristus sang
kepala Gereja hanyalah hubungan individual semata, seperti yang sering dipahami kalangan
kharismatik. Menurut E. G. Singgih, perkembangan pemahaman seperti ini di dalam jemaat,
akan berakibat kurang baik dan akan mengakibatkan makin mengaburnya nilai-nilai hakiki dari
pengertian Gereja sebagai “Persekutuan orang percaya dari segala abad dan sepanjang zaman
yang bergerak menuju kerajaan sorga seperti yang terdapat dalam pengakuan iman Kristen”.[15]
Dengan kata lain, kata Panenberg, karya Kristus Tuhan pada manusia adalah untuk mengarahkan
gereja kepada kerajaan Allah yang mengatasi gereja.[16] Karena itu gereja haruslah dipahami
sebagai persekutuan orang percaya kepada Yesus Kristus yang berada di dalam dunia sedang
bergerak ke depan secara bersama-sama menuju kepada satu tujuan.

1. Koinonia (bersekutu)

Koinonia berasal dari bahasa Yunani “Koinon” yaitu: Koinonein artinya bersekutu, Koinonos
artinya teman, sekutu, Koinonia artinya persekutuan. Kata: ”Koinonia” baik dalam Alkitab,
maupun dalam masyarakat Yunani pada waktu itu tidak terbatas pada salah satu pengertian saja,
melainkan mempunyai arti yang luas sesuai dengan konteksnya. Di Kalangan masyarakat Yunani
kata “koinonia” seringkali dipakai untuk mengambarkan hubungan manusia dengan ilah-ilah.
Hubungan itu dibayangkan sebagai hubungan antar teman (koinonos). “Koinonein” berarti
bergaul secara akrab dengan ilah-ilah, supaya mencapai hubungan mistik yang membawa kepada
kebahagiaan yang hebat. Itulah sebabnya dalam Septuaginta, kata “koinonia” tidak pernah
mengambarkan hubungan antara Allah dengan manusia. Di dalam PL kata “hamba” (Ibr: ebed)
dipakai, bukan teman untuk menggambarkan hubungan Allah dengan manusia. Manusia adalah
hamba Allah. Allah sebagai khalik dan manusia sebagai mahluk. Namun dalam Perjanjian Baru
ada perubahan: karena melalui Yesus Kristus manusia dapat dipersatukan kembali dengan Allah.
Dalam Kristus, Allah datang dan menemui manusia.

Dalam PB kata “Koinonia” mempunyai beberapa pengertian :

Ø Mengambil bagian bersama-sama dengan orang lain dalam sesuatu.

Lukas 5: 10; waktu Tuhan Yesus menyuruh murid-murid menjala ikan, maka mereka
melaksanakan perintah Tuhan. Mereka mendapat banyak ikan. Karena banyaknya, mereka
semua harus mengambil bagian dalam hal menarik jala. Di sini koinonia sebagai persekutuan
para pekerja. Dalam I Kor 10: 16…, arti persekutuan (koinonia) adalah mengambil bagian dalam
penderitaan dan kematian Yesus Kristus di dalam persekutuan Perjamuan Kudus.

Ø Memberi bagian kepada seseorang

Sebagai contoh untuk memahami kononia dalam lingkup ini, Filipi 4: 15 kata “mengadakan
perhitungan” adalah terjemahan dari kata koinonein dalam arti memberi bagian. Paulus memberi
jemaat Filipi bagian dalam mengabarkan Injil, sedangkan jemaat Filipi tanpa diminta memberi
Paulus bagian untuk penghidupannya. Itulah salah satu segi dari persekutuan yaitu saling
memberi bagian kepada orang lain.

Ø Koinonia sebagai Persekutuan penuh (absolut)

Dalam Galatia 2: 9, digambarkan bahwa Paulus dan Bernabas dengan berjabatan tangan sebagai
tanda persekutuan diterima secara penuh dalam persekutuan yang dijadikan oleh iman bersama
kepada Kristus. Tanda hubungan erat antara kedua belah pihak, bahwa mereka bersekutu dalam
Kristus. Jadi koinonia (persekutuan) mempunyai dasar dan tujuan yang berasal dari Yesus
Kristus. Dasar dan tujuan ini tidak dapat diganti dengan dasar dan tujuan yang lain. Jikalau
persekutuan ini menganti dasar, yang sudah diletakkan oleh dan di dalam Yesus Kristus maka
persekutuan ini kehilangan hakekatnya dan secara azasi bukan persekutuan (koinonia) lagi.
Koinonia adalah persekutuan jemaat di dalam Kristus, walaupun banyak anggota namun
membentuk satu tubuh Kristus. Di dalam Koinonia ini kita tidak hanya sekedar bersekutu, tetapi
kita mengambarkan Injil Kerajaan Allah melalui perkataan/kesaksian (Marturia) maupun
perbuatan /pelayanan (Diakonia) di mana dan kapan saja.

2. Marturia

Berasal dari bahasa Yunani: “Marturia” : Kesaksian. “Marturein”: Bersaksi. Marturein dalam
Perjanjian Baru memberi arti antara lain:
Ø Memberi kesaksian tentang fakta atau kebenaran (Lukas 24: 48; Matius 23: 31)

Ø Memberi kesaksian baik tentang seseorang (Lukas 4: 22; Ibr 2: 4)

Ø Membawakan khotbah untuk Pekabaran Injil (Kis 23:11) di sini bersaksi sebagai istilah
pengutusan/Pekabaran Injil.

Meskipun Kita bukanlah saksi mata dari karya penyelamatan Yesus Kristus, tetapi kitalah saksi
keyakinan (iman), dengan demikian hidup kita harus berdasarkan iman tersebut. Allah mengutus
anak-Nya Yesus Kristus, Kristus pun mengutus murid-murid-Nya ke dalam dunia (Yoh 20: 21),
supaya kabar keselamatan (Injil) diproklamirkan. Tugas ini diberikan Allah kepada setiap orang
yang percaya dengan karunia masing-masing, agar dapat diwujudkan dalam perkataan dan
perbuatan.

3. Diakonia (Pelayanan)

Secara harafiah, kata diakonia berarti memberi pertolongan atau pelayanan. Dalam bahasa Ibrani
pertolongan, penolong, ezer dalam Kej. 2: 18, 20; Mzm. 121: 1. Diakonia dalam bahasa Ibrani
disebut syeret yang artinya melayani. Dalam terjemahan bahasa Yunani, kata diakonia
disebutkan diakonia (pelayanan), diakonein (melayani), dan diakonos/diaken (pelayan)[17].
Istilah diakonia sebenarnya, sudah terlihat sejak dari Perjanjian lama. Dalam Kitab Kejadian
jelas dikatakan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada (Ex
Nihilo) dan semua yang diciptakan Allah sungguh amat baik (Kej. 1:10-31)[18]

Dalam Perjanjian Baru, di samping kata-kata ini terdapat 5 kata lain untuk melayani, masing-
masing dengan nuansa dan arti tersendiri, yang dalam terjemahan-terjemahan Alkitab kita pada
umumnya diterjemahkan dengan kata melayani yaitu:[19]

Douleuein, yaitu melayani sebagai budak. Kata ini terutama menunjukkan arti ketergantungan
dari orang yang melayani. Orang Yunani sangat tidak menyukai kata ini. Orang baru menjadi
manusia jika ia dalam keadaan bebas. Perjanjian Baru, mula-mula memakai kata ini dalam arti
biasa sesuai dengan keadaan masyarakat pada masa itu. Di samping itu, kata ini juga mendapat
arti religius. Orang Kristen adalah budak Tuhan Allah atau hamba Kristus Yesus (Rom. 1:1). Itu
sesungguhnya merupakan suatu gelar kehormatan. Seorang Kristen tidak melakukan keinginan
dan rencananya sendiri, tetapi keinginan dan rencana Tuhan Yesus yang telah melepaskannya
dari belenggu dosa dan dengan demikian sudah membebaskannya.

Leitreuein, yaitu melayani untuk uang. Kata bendanya latreia (pelayanan yang diupah) juga
dipakai dalam pemujaan dewa-dewa. Dalam terjemahan Yunani dalam PL, yaitu Septuaginta
(LXX), kata ini terdapat kurang lebih 90 kali, pada umumnya untuk melayani Tuhan Allah dan
pada khususnya untuk pelayanan persembahan . Juga dalam Perjanjian Baru, kata ini
menunjukkan pelayanan untuk Tuhan Allah atau dewa-dewa, tidak pernah untuk saling melayani
manusia. Roma 12:1 menyebutkan logike latreia (ibadah yang sejati). Melayani Tuhan dengan
tubuh, yaitu dengan diri sendiri dalam keberadaan yang sebenarnya adalah ibadah yang
sesungguhnya dalam hubungan baru antar Kristus dan manusia.

Leitourgein yaitu dalam bahasa Yunani digunakan untuk pelayanan umum bagi kesejahteraan
rakyat dan negara. Dalam LXX arti sosial politik ini terutama dipakai di lingkungan pelayanan di
kuil-kuil. Dalam Perjanjian Baru (khususnya surat Ibrani), kata ini menunjukkan kepada
pekerjaan Imam besar Yesus Kristus. Kemudian dalam Roma 15:27 dan 2 Kor. 9:12, kata ini
dipakai untuk kolekte dari orang Kristen asal kafir (suatu perbuatan diakonal) untuk orang
miskin di Yerusalem. Dari kata inilah berasal kata liturgi, yaitu suatu kata ibadah dalam
peretemuan jemaat.

Therapeuein yaitu menggarisbawahi kesiapan untuk melakukan pelayanan ini sebaik


mungkin. Kata ini juga di tempat lain, dipakai sebagai sinonim dari menyembuhkan.

Huperetein yaitu menunjukkan suatu hubungan kerja terutama relasi dengan orang untuk siapa
pekerjaan itu dilakukan. Kata ini berarti si pelaksana memperhatikan instruksi si pemberi kerja.

Dari semua kata di atas yang artinya saling berkaitan, kelompok kata diakonein mempunyai
nuansa khusus, mengenai pelayanan antarsesama yang sangat pribadi sifatnya. Kata-kata tersebut
di atas di sana-sini menunjukkan arti diakonal. Ada hubungan antara liturgi dan diakonia,
sementara therapeuo dalam arti perawatan orang sakit erat kaitannya dengan apa yang
dimaksudkan dengan diakonia.[20]

Secara umum, adapun model-model/ bentuk-bentuk diakonia dalam gereja terbagi atas tiga jenis,
antara lain:

Diakonia Karitatif. Diakonia karitatif mengandung pengertian perbuatan dorongan belas


kasihan yang bersifat kedermawanan atau pemberian secara sukarela. Motivasi perbuatan
karitatif pada dasarnya adalah dorongan prikemanusiaan yang bersifat naluriah semata-mata.
Pelayanan gereja terutama pada tindakan-tindakan karitatif atau amal berdasar pada Mat. 25:31-
36. Model ini merupakan model yang dilakukan secara langsung, misalnya orang lapar diberikan
makanan (roti).[21]Diakonia ini didukung dan dipraktikkan oleh instansi gereja karena dianggap
dapat memberikan manfaat langsung yang segera dapat dilihat dan tidak ada risiko sebab
didukung oleh penguasa. Diakonia jenis ini merupakan produk dan perkembangan dari
industrialisaasi di Eropa dan Amaerika Utara pada abad ke-19.
Diakonia Reformatif atau Pembangunan. Model diakonia ini lebih menekankan pembangunan.
Pendekatan yang dilakukan adalah Community Development seperti pembangunan pusat
kesehatan, penyuluhan, bimas, usaha bersama simpan pinjam, dan lain-lain. Analogi model ini
adalah bila ada orang lapar berikan makanan (roti, ikan) dan pacul atau kail supaya ia tidak
sekedar meminta tetapi juga mengusahakan sendiri.[22] Pada jenis ini, diakonia tidak lagi
sekedar memberikan bantuan pangan dan pakaian, tetapi mulai memberikan perhatian pada
penyelenggaraan kursus keterampilan, pemberian atau pinjaman modal pada kelompok
masyarakat.

Diakonia Transformatif. Dalam perspektif ini, diakonia dimengerti sebagai tindakan Gereja
melayani umat manusia secara multi-dimensional (roh, jiwa dan tubuh) dan juga multi-sektoral
(ekonomi, politik, cultural, hukum dan agama). Diakonia bukan lagi sekedar tindakan-tindakan
amal (walaupun perlu dan tetap dilakukan) yang dilakukan oleh Gereja melainkan tindakan-
tindakan transformatif yang membawa manusia dengan sistem dan struktur kehidupannya yang
menandakan datangnya Kerajaan Allah. Diakonia ini bukan hanya berarti memberi makan,
minum, pakaian dan lain-lain, tetapi bagaimana bersama masyarakat memperjuangkan hak-hak
hidup.[23] Diakonia transformatif atau pembebasan boleh digambarkan dengan gambar mata
terbuka. Artinya, diakonia ini adalah pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan
kaki seseorang untuk kuat berjalan sendiri.

Demikianlah secara umum uraian tentang Tugas Panggilan Gereja. Walaupun tugas panggilan
tersebut dapat diuraikan menjadi tiga pokok, namun harus diketahui dan dipahami bahwa ketiga
tugas Panggilan Gereja tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh yang tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lain. Dengan kata lain, di mana orang percaya bersaksi dan melayani, di sana
pula ia mesti bersekutu, juga sebaliknya. Di beberapa Gereja ada lagi satu tugas yang biasa
disebut, yakni; Didaskhein (Pengajaran), dalam hal ini adalah Pengajaran Agama Kristen. Tugas
yang satu ini tidak kalah penting dengan tiga tugas panggilan yang disebut di atas. Pengajaran
Agama Kristen adalah juga bagian yang tidak terpisahkan dari ketiga Tugas Panggilan Gereja
(Bersekutu, Bersaksi dan Melayani)[24].

III. Penutup

Demikianlah secara umum mengenai Tugas Panggilan Gereja. Semoga Paper sederhana ini
berguna memotivasi kita untuk lebih mendalami hakekat tugas Panggilan kita dalam
melayaniNya melalui Pelayanan Kategorial di jemaat-jemaat-Nya. Tuhan Memberkati.
Pengertian Gereja Dan Negara

Gereja dan negara merupakan dua hal yang sangat berbeda. Gereja adalah perkumpulan yang
terbentuk dari adanya sebuah kepercayaan kepada Allah yang hidup yaitu di dalam Kristus.
Sedangkan negara terbentuk dengan adanya masyarakat yang terhimpun dalam suatu wilayah
tertentu dibawah satu pemerintahan. Lianto dalam artikelnya tentang “Gereja dan Negara”
menyatakan,

Sejarah Gereja membuktikan bahwa ketika gereja menjadi “gereja-negara” dan negara menjadi
“negara-gereja”, keduanya berakhir pada jalan buntu. Tatkala negara mendominasi (Gereja),
gereja direduksi menjadi hanya lembaga sekular manusiawi. Padahal Gereja adalah persekutuan
rohani yang dibentuk Allah sendiri. Sebaliknya, ketika Gereja mendominasi (negara), negara
disakralkan, dan kebijakan negara (politik) disejajarkan dengan isi wahyu. Tanpa pemilahan
yang jelas, hubungan keduanya justru menjadi carut-marut. Keduanya saling eksploitasi dengan
aneka trik. Kredibilitas keduanya merosot di mata rakyat dan umat.

Secara etimologis, gereja dan negara memiliki pengertian masing-masing. Berikut akan dibahas
mengenai pengertian tersebut.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, gereja memiliki dua pengertian yaitu, 1). Gedung
(rumah) tempat berdoa dan melakukan upacara agama Kristen: 2). Badan (organisasi) umat
Kristen yang sama kepercayaan, ajaran, dan tata cara ibadahnya.

Sedangkan negara adalah 1). Organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat; 2). Kelompok sosial yang menduduki wilayah atau
daerah tertentu yang diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif,
mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.

Secara umum gereja dipahami sebagai suatu tempat baik itu dalam bentuk organisasi atau dalam
bentuk gedung. Tempat tersebut digunakan untuk tempat peribadatan umat Kristen. Gereja
merepresentasikan satu kepercayaan atau keyakinan yaitu kepercayaan kepada Tuhan Yesus
Kristus.

Kamus istilah teologi mendefiniskan gereja sebagai berikut:

Dalam Perjanjian Baru ada satu kata saja untuk “gereja” dan “jemaat”, yaitu ekklesia. Jadi
ekklesia berarti : (1) Gereja (jemaat) dari segala tempat dan segala abad, persekutuan segala
orang percaya; sering juga disebut “Gereja yang tidak kelihatan” (lih. Mat. 16:18); (2) Gereja
(jemaat) di suatu kota (Kis. 5:11); (3). Gereja (jemaat) yang berkumpul di sebuah rumah (Rm.
16:5). Juga ada denominasi yang memakai kata gereja kalau bermaksudkan kesatuan semua
jemaat di suatu negeri dan “jemaat” bagi persekutuan setempat.

Gereja “yang tidak kelihatan” adalah istilah yang digunakan untuk persekutuan orang-orang
benar yang percaya di segala tempat dan dari segala abad; gereja yang merupakan tubuh Kristus.
Sedangkan istilah ‘gereja yang kelihatan” berarti gereja sebagai organisasi dengan jabatan-
jabatannya.

Negara merupakan organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang
sah dan ditaati oleh rakyat. Oleh karena itu sebuah negara terbentuk dengan adanya wilayah atau
teritorial yang diakui secara internasional. Tidak hanya wilayah yang menjadi persyaratan utama
berdirinya sebuah negara, akan tetapi harus ada masyarakat atau kumpulan masyarakat yang
berada di bawah kepemimpinan dalam negara tersebut. Dengan demikian dapat dinyatakan
bahwa negara tidak akan terbentuk jika tidak memiliki unsur-unsur wilayah, rakyat dan sekaligus
kepemimpinan.

Sekalipun banyak perbedaan dalam pengertian antara negara dan gereja, namun definisi secara
umum memiliki persamaan yaitu keduanya merupakan sebuah organisasi yang memiliki
kepemimpinan. Kepemimpinan yang memiliki ruang lingkup berbeda, tetapi bersama-sama
memiliki anggota yang terlibat dalam organisasi keduanya.

Bab 2

Hubungan antara Gereja dan Negara dalam Sejarah

Dalam sejarah, gereja dan negara memiliki beberapa bentuk hubungan. Pada bagian ini
akan dibahas mengenai hubungan yang terjadi antara gereja dan negara. Banyak orang berpikir
bahwa gereja dan negara merupakan dua hal yang sangat berbeda. Sehingga mereka menyatakan
bahwa negara dan gereja tidak boleh memiliki keterikatan antara satu dengan yang lainnya. Di
samping itu ada orang yang memiliki pemahaman bahwa gereja dan negara harus saling
berhubungan. Artinya gereja sebagai pembina rohani harus memiliki tanggung jawab penuh
terhadap negara. Negara harus berada di bawah pengawasan dan kontrol gereja. Pandangan lain
menyatakan bahwa negara harus berperan penuh dalam perkembangan yang terjadi di dalam
gereja. Artinya negara harus mengontrol gereja. Berbagai pandangan tersebut akan dibahas lebih
lanjut dalam bagian berikut.

Gereja Terpisah dari Negara

Gereja dalam kapasitasnya sebagai sebuah lembaga kerohanian, merupakan sebuah


organisasi ayng terbentuk di dalam suatu wilayah tertentu. Wilayah yang dimaksud tentunya
memiliki struktur pemerintahan. Artinya adalah gereja yang terbentuk di dalam negara atau
teritorial kekuasaan yang diatur oleh hukum yang berlaku dalam negara tersebut.
Pada awal terbentuknya gereja (persekutuan orang percaya), gereja benar-benar terpisah
dari negara. Keterpisahan yang dimaksud adalah gereja tidak mengambil bagian apa-apa di
dalam strukturpemerintahan atau negara. Demikian juga dengan negara, pemerintah tidak ikut
andil dalam terbentuknya sebuah organisasi gereja, baik itu dalam lembaga maupun secara
kerohanian. Keduanya berjalan menurut aturan amsing-masing, tidak memiliki tujuan yang
sama.

Pluralisme merupakan salah satu penyebab negara tidak terlibat dalam gereja. Plural
dalam hal tersebut adalah keanekaragaman kepercayaan masyarakat yang ada dalam negara
tersebut. Beranekaragamnya kepercayaan tentu membuat negara tidak dapat memberikan
perhatian khusus kepada gereja, karena tindakan seperti itu akan dianggap sebuah ketidakadilan
yang dilakukan oleh negara.

Gereja terbentuk dalam kebudayaan helenis (Romawi). Terbentuknya gereja dalam


kebudayaan tersebut memberikan keterangan bahwa gereja terpisah dari negara. Keterpisahan itu
disebabkan oleh negara yang tidak menganut paham seperti gereja. Romawi adalah negara yang
masyarakatnya menyembah kepada banyak dewa (politheisme). Sedangkan gereja mengajarkan
untuk monotheis, yaitu menyembah hanya pada satu Tuhan saja.

Mengenai tempat lahirnya gereja, Berkhof dan Enklaar menyatakan,

Dunia tempat gereja mulai timbul ialah kekaisaran Romawi. Luasnya kekaisaran itu dari selat
Gibraltar sampai sungai Efrat dan dari tanah Mesir sampai Inggris. Batasnya di sebelah utara
ialah sungai Rin dan Donau, akan tetapi kuasa tentara Romawi dirasai sampai jauh di luar batas
itu. Pusat kekaisaran yang besar itu ialah kota Roma, tempat kaisar-kaisar bersemayam. Pusat
kekaisaran yang besar itu nampaknya masih memberikan hak kepada rakyat untuk turut
memerintah negara itu, seperti ketika Romawi masih suatu republik (sebelum kaisar pertama
Augustus naik tahta pada tahun 29 SM), tetapi sebenarnya Kaisar sajalah yang memegang kuasa
(Monarkhi mutlak).

Sistem kekaisaran dalam negara Romawi membentuk sebuah kepercayaan bahwa seorang
kaisar adalah titisan dewa yang harus disembah. Kepercayaan seperti itu sangat bertentangan
dengan ajaran gereja. Berkhof dan Enklaar menyatakan, “Ibadat kepada kaisar adalah salah satu
pernyataan yang sangat penting dari hidup keagamaan pada permulaan tarikh Masehi. Sebuah
pandangan yang muncul dari dunia Timur, yakni bahwa kaisar mempunyai kuasa mengatasi
dunia kodrati (alamiah), bahkan ia berasal dari dunia ilahi”.

Selain kepercayaan dan keyakinan yang berbeda antara negara dan gereja pada masa itu,
hal lain yang menyebabkan keterpisahan gereja dan negara adalah “penganiayaan”. Penindasan
yang muncul dari ketakutan pemerintah akan kekristenan menarik banyak masyarakat Roma.
Kekristenan menyebabkan banyak warga Roma tidak lagi melakukan penyembahan kepada salah
satu dewa atau dewi Romawi. Hal tersebut tentu merusak sistem negara yang telah terbentuk.

Berkhof dan Enklaar memberikan beberapa data mengenai penyebab “pertikaian” atau
penganiayaan terhadap gereja pada abad pertama. Mereka menyatakan,

Mula-mula negara Romawi menganggap kaum Kristen sebagai mazhab Yahudi, sehingga
merekapun bebas melakukan agamanya. Akan tetapi kemudian ternyata bahwa agama itu
terbentuk dari seorang yang tersalib oleh pengadilan Romawi sendiri. Kemudian orang Kristen
dianggap sangat berbahaya bagi negara. Kebanyakan pengikutnya adalah orang Romawi dan
Yunani. Mereka tidak lagi ikut beribadat pada dewa-dewi. Semua dewa-dewi disangkal, mereka
hanya menyembah kepada satu Allah saja. Sehingga mereka disindir dengan julukan “orang-
orang yang tak berdewa”. Dengan berkembangnya kekristenan, maka persembahan di rumah
dewa/berhala menjadi berkurang…Pendeknya, kaum Kristen dibenci karena berlainan dengan
masyarakat umum. Adanya bencana alam diasosiasikan sebagai murka dewa-dewa karena
banyak orang yang tidak mempersembahkan korban.

Pandangan negara yang negatif terhadap kekeristenan menyebabkan timbulnya


penghambatan terhadap gereja. Beberapa penghambatan yang terjadi antara lain:

Sekitar tahun 64 M, Kaisar Nero mempersalahkan (lebih tepatnya mengkambing hitamkan)


orang Kristen karena kebakaran besar yang memunahkan sebagian dari ibu kota negeri itu.
Kristiyano menulis mengenai sikap Nero sebagai berikut,

Kaisar Nero menerapkan sikap bermusuhan terhadap orang Kristen. Ia merestui penganiayaan
terhadap orang Kristen yang dianggapnya takhayul. Untuk meredam keributan di sekitar
terbakarnya kota Roma, Nero menuduh orang Kristen sebagai pelakunya. Komunitas Kristen
dituduh sebagai kelompok yang membenci manusia (odium humanis generis atau
misanthrophia).

Pada tahun pemerintahan Domitianus (81-96 M). Ia dikenal sebagai seorang raja yang lalim.
Jemaat Kristen sangat ditindas di beberapa bagian Kerajaan. Agama Kristen dilarang dengan
maklumat-maklumat Kaisar, sebab dianggap berbahaya bagi negara. Menurut tradisi pada masa
itulah rasul Yohanes dibuang ke Pulau Patmos.

Dua kaisar yang telah disebutkan di atas merupakan representatif dari berbagai penindasan yang
dialami oleh gereja awal. Penganiayaan yang dilakukan oleh kedua kaisar tersebut di atas tidak
dimaksudkan untuk memberikan pernyataan bahwa mereka adalah penganiaya utama atas gereja.
Akan tetapi pemilihan tersebut dimaksudkan untuk memberikan gambaran bahwa penganiayaan
tersebut menyatakan keterpisahan antara gereja dan negara.
Keterpisahan lain yang terjadi dalam sejarah gereja dan negara terbentuk dari kesadaran gereja
akan bobroknya moral dunia. Kesadaran tersebut mengakibatkan berdirinya biara-biara kristen.
Secara umum berdirinya biara-biara dapat dilihat pada abad pertengahan. Penulis tidak akan
membahas lebih jauh mengenai timbulnya reaksi gereja terhadap dunia yang rusak. Reaksi yang
mengakibatkan gereja memisahkan diri dari dunia. Pemisahan yang terkadang dilakukan dengan
sangat ekstrim. Timbulnya pemisahan tersebut membawa kepada paham eskese yaitu tindakan
yang dilakukan untuk menjauhi kenikmatan duniawi. Menjauhi kenikmatan duniawi yang
dianggap sebagai sumber dosa.

Setelah membahas mengenai gereja yang terpisah dari negara, maka pada bagian selanjutnya
penulis akan membahas “gereja yang menguasai negara”.

Gereja Menguasai Negara

Keadaan yang terjadi setelah gereja mengalami penganiayaan yang sangat panjang adalah
“gereja menguasai negara”. Situasi yang telah lama mencekam gereja (orang percaya) akhirnya
berbalik. Dari penganiayaan negara (pemerintah) terhadap gereja berbalik menjadi pengakuan
yang dialami oleh gereja terhadap negara. Sejarah mencatat dari penganiayaan gereja lambat
laun berubah menjadi pengakuan yang absolut terhadap gereja atau kekristenan.

Pengakuan yang absolut tersebut terjadi ketika Constantine (Konstantin) memegang


tampuk pemerintahan. Mengenai sejarah diakuinya kekeristenan oleh negara di bawah
pemerintahan Konstantin, Rick Joyner menuliskannya sebagai berikut:

Pada tahun 313M, penganiayaan kekaisaran Romawi terhadap umat Kristen tiba-tiba secara
resmi dihentikan. Kemudian, tersebar berita bahwa kaisar Constantine sendiri menyatakan diri
sebagai orang Kristen. Untuk memahami perubahan yang radikal ini, kita harus kembali ke tahun
306, ketika Constantine menjadi kaisar Romawi. Masa itu merupakan masa perang saudara yang
berkepanjangan, karena banyak pihak yang berusaha memperebutkan takhta kekaisaran Romawi.
Constantine merasa bahwa kampanyenya melawan Maxentius, salah satu pesaingnya, akan
mementukan siapa yang menjadi penguasa tunggal kekaisaran. Pasukan kedua musuh ini
bertemu di Jembatan Mulvian di atas Sungai Tiber dekat Roma.

Constantine mengetahui bahwa ia memerlukan pertolongan ilahi untuk memenangkan


peperangan ini. Kabar burung menyebutkan bahwa ia bersimpati kepada orang-orang Kristen
oleh karena istrinya, Fauta, telah memeluk agama Kristen. Constantine berdoa meminta
pertolongan, dan Allah memberikan penglihatan kepadanya tentang sebuah salib terang, yang
bertuliskan “in hoc signo vinces” (dengan tanda ini, engkau akan memperoleh kemenangan).
Constantine mengungkapkan bahwa ia juga bermimpi yang sama pada waktu malam. Dalam
mimpi tersebut “Sang Kristus Allah” menampakkan diri kepadanya dengan tanda yang sama
yang telah dilihatnya di dalam penglihatannya dan memerintahkan dia untuk membuat tanda
serupa dan memakainya sebagai perlindungan dalam segala pertempuran dengan musuh-
musuhnya. Keesokkan paginya, Constantine bangun dan menceritakan mimpinya itu kepada
kawan-kawannya. Kemudian, ia mengumpulkan tukang pahat dan menggambarkan tanda
tersebut kepada mereka supaya mereka dapat membuatnya di atas emas dan batu-batu berharga.

Pada tanggal 28 Oktober 312, Constantine memenangkan perang Jembatan Mulvian. Setelah itu,
ia secara resmi menjadi Kristen dan memerintahkan agar symbol nama Juruselamatnya (tanda
silang yang terdiri dari huruf Yahudi chi dan rho) menjadi lambang tentaranya. Sebuah
pemahaman tentang pertobatan dan pengaruh kaisar Constantine atas gereja sangat penting bagi
kita, agar kita memiliki pengertian yang lebih baik mengenai dunia saat ini. Pengaruh-pengaruh
ini masih memiliki berbagai akibat yang cukup besar baik dalam agama, filsafat dan
pemerintahan.

Meskipun banyak orang yang meragukan pertobatan yang dialami oelh Konstantin, akan
tetapi tindakan yang dilakukannya dengan menjadikan Kristen sebagai agama negara telah
memberikan dampak yang sangat besar terhadap perkembangan kekristenan. Pengakuan tersebut
membuat agama Kristen berdiri dengan kokoh di dalam negara. Sekalipun trauma penganiayaan
yang telah terjadi selama berabad-abad masih dirasakan gereja, namun dengan situasi yang telah
stabil tersebut membuat gereja merasakan kebebasan melaksanakan ritual agamawi dalam
negara.

Perkembangan kekristenan sangat pesat pada masa diakuinya gereja (Kristen) sebagai
agama negara. Pengaruh tersebut tentunya dapat dikategorikan sebagai hal yang positif terhadap
kekristenan. Namun, pengaruh positif selalu dibarengi dengan pengaruh negatif. Lambat laun
pengakuan tersebut memberikan kesempatan kepada gereja (secara khusus GKR = Gereja
Katolik Roma) untuk memupuk kekuasaan hingga menjadi kediktatoran terhadap negara.

Banyak ahli sejarah yang menyatakan bahwa keadaan pada masa itu adalah sejarah gelap
yang dilakukan oleh gereja. Di kemudian hari Gereja Katolik Roma memegang peranan yang
sangat besar terhadap sejarah kekristenan. Terutama pada saat Konstantine menetapkan kota
Konstantinopel sebagai kota Kristen (pusat kekristenan).[13] Kota ini kemudian berkembang
secara otoritas hingga abad pertengahan. Pada abad pertengahan, Gereja Katolik Roma
memegang peranan penting terhadap berbagai keputusan yang dilakukan oleh gereja.

Sebagai contoh pada masa itu gereja (paus) memiliki kekuasaan untuk memilih
kepemimpinan dalam negara. Secara khusus keadaan ini terjadi di Eropa sekitar abad
pertengahan. Selama Abad Pertengahan di Eropa, Gereja Katolik Roma terus memegang
kekuasaan, dengan Paus sebagai pemegang kekuasaan atas semua jenjang kehidupan dan hidup
seperti raja. Korupsi dan ketamakan dalam kepemimpinan gereja adalah hal yang umum. Dari
tahun 1095 sampai 1204 para Paus mendukung serangkaian perang salib yang berdarah dan
mahal dalam usaha untuk mengusir kaum kaum Muslimin dan membebaskan Yerusalem.

Kekuasaan Paus terhadap berbagai segi kehidupan, menyebabkan gereja sangat


menentang setiap pengajaran yang tidak sesuai dengan konsensus. Pada masa kekuasaan tersebut
gereja menerapkan beberapa hal untuk meredam berbagai dogma yang menentang atau
menyimpang dari dogma gereja secara umum. Tindakan tersebut dikenal dengan istilah
“pengucilan” atau “inkuisisi”.

Secara umum inkuisisi ditujukan kepada orang-orang atau perkumpulan yang menurut
Gereja Katolik Roma mengajarkan ajaran yang tidak sejalan dengan ajaran gereja. Inkuisisi
dilaksanakan dengan menghukum seperti menyalibkan, membakar, bahkan hukuman gantung.
Ini adalah tindakan yang umum pada abad pertengahan. Sekalipun pada masa kini gereja
menyadari kekeliruan tersebut, akan tetapi tindakan yang terjadi pada abad pertengahan itu
dianggap benar dan dapat diterima secara umu oleh orang Kristen. Penerimaan itu memang tidak
sepenuhnya diakui oleh semua orang. Terbukti dari munculnya kaum reformator di dalam tubuh
gereja. Penulis tidak akan membahas lebih jauh mengenai munculnya reformasi dalam gereja
katolik Roma.

Beberapa data di atas telah memberikan penjelasan singkat mengenai situasi yang pernah
dialami oleh gereja dalam sejarah. Situasi gereja yang memiliki peranan penuh di dalam
pemerintahan, baik itu di dalam gereja sendiri maupun di dalam negara. Berikutnya penulis akan
membahas mengenai dinamika negara yang menguasai gereja.

Negara Menguasai Gereja

Negara menguasai gereja merupakan hubungan yang juga dialami oleh gereja. Keadaan
ini sebenarnya telah dimulai sejak pemerintahan Konstantin sekitar tahun 313 Masehi.
Konstantine telah memulai kekuasaan terhadap gereja. Memang pada masa Konstantine gereja
menerima keistimewaan untuk menjalankan berbagai macam ritual agamawinya. Akan tetapi
dengan kebebasan tersebut merupakan awal dari penetrasi penuh yang akan dilakukan oleh
Konstantine dan kaisar-kaisar lainnya kepada gereja.

Kekuasaan negara terhadap gereja dapat dilihat dari berbagai peraturan dan hukum di
dalam negara yang sebenarnya memojokkan gereja. Gereja hanya bisa mengikuti semua yang
ditentukan oleh pemerintah. Ini adalah situasi sulit yang dihadapi oleh gereja. Pada masa ini
gereja memang tidak lagi mengalami penganiayaan seperti pada abad pertama, akan tetapi pada
dasarnya gereja tetapi dianiaya secara hukum. Gereja tidak mampu lagi menentukan kebijakan-
kebijakannya sendiri. Gereja harus patuh kepada peraturan pemerintah.

Di beberapa negara seperti di Timur Tengah (negara Arab), Republik Rakyat China,
kekuasaan terhadap gereja sangat membabi buta. Tidak hanya penganiayaan yang dialami oleh
gereja (orang percaya), namun juga penolakan secara terang-terangan. Penolakan tersebut
memunculkan gereja bawah tanah. Orang-orang Kristen memilih untuk melakukan ibadah secara
underground.

Dari berbagai hubungan yang terjadi antara gereja dan negara. Satu hal yang tidak pernah
dilepaskan oleh orang percaya adalah core believe yaitu “Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan
dan Juruselamat, Ia adalah Allah yang menjadi manusia untuk menebus dosa manusia”.
Pemimpin gereja dan negara bisa menyimpang akan tetapi ada saja orang percaya yang tetap
berpegang teguh pada imannya.

Kesimpulan

Gereja dan negara merupakan dua institusi yang berbeda. Namun keduanya memiki
hubungan yang tidak dapat dipungkiri. Warga jemaat atau warga gereja adalah warga negara,
oleh karena itu seharusnya terbina hubungan yang baik antara gereja dan negara. Sejarah telah
memperlihatkan bahwa gereja yang mengusai negara membawa kepada masa kegelapan gereja.
Demikian halnya dengan masa dimana negara menguasai gereja, ini adalah masa yang suram di
dalam perkembangan kekristenan.

Oleh karena itu negara dan gereja tidak boleh saling menguasai satu dengan yang lainnya.
Gereja harus menghormati negara sebagai otoritas yang mengelola wilayah tempat gereja berada.
Demikian juga negara seharusnya menghormati gereja sebagai sebuah lembaga yang terbentuk
dari perkumpulan warga negara yang memiliki kesamaan kepercayaan. Dengan adanya saling
menghormati, maka gereja dan negara akan hidup berdampingan dengan damai. Gereja akan
hidup dalam damai sejahtera untuk membina kerohanian warga negara yang percaya kepada
Kristus. Kerohanian yang baik akan membawa warga negara dan juga membawa negara kepada
kesejahteraan.

Anda mungkin juga menyukai