Kelompok 4 Missiologi 2 7B
Diselesaikan oleh :
Kevin Jordan Sidauruk (18.3366)
Maysanto Marnaek Harapan Manurung (18.3404)
Nahasaon Godang Pratama.Hutagalung (18.3408)
Rifaldy Gabriel Siahaan (18.3410)
Rizkha Juniar Simanjuntak (18.3375)
Timoti Ampudan Tampubolon (18.3417)
Abstrack
Misi sebagai Missio Dei dipahami sebagai keseluruhan pekerjaan Allah untuk
menyelamatkan dunia; dimana Allah adalah Sang Pengutus Agung1. Secara berurutan dapat
dibicarakan sistematis dalam missiologia, mulai dari Missio Ecclesiae (Pengutusan Gereja),
Mission Apostolorum (Pengutusan para Rasul), Missio Christi (Pengutusan Kristus dalam
pengutusan para murid, dan Pengutusan Kristus oleh Allah), lalu di akhiri dengan Missio Dei.
Missio Dei yang kemudian harus bereksistensi menjadikannya bersifat kontekstual, dengan
berjalan beriringan dengan peristiwa dan kejadian serta perkembangan yang terjadi dari masa
ke masa, dimana pada masa kini perantara/pelaku Missio Dei ada pada Gereja, Gereja
mengalami bahwa dirinya dipanggil untuk bersekutu dalam iman dan diutus untuk
mewartakan kabar sukacita tentang pengalaman penyelamatan berada dalam suasana
Kerajaan Allah2. Perkembangan misi sejak abad ke-20 banyak orang memperlihatkan sikap
penolakan terhadap missi sebagai karya penyebaran iman Kristen, dimana Gereja secara
arogan bertindak selaku lembaga indoktrinasi bidang keagamaan dan moral3. Sikap Gereja
berpengaruh menentukan eksistensi Missio Dei tersebut, terlebih pada masa sekarang, dimana
selain perkembangan teknologi, perkembangan pola pikir dan ilmu pengetahuan, yang
merubah cara pandang manusia, menjadi tantangan bagi Gereja dalam mewujudkan
eksistensinya. Ditambah lagi pada masa kini, dunia diliputi wabah virus (pandemi) Covid 19,
1
Arie De Kupier, Missiologia, (Jakarta : PT. BPK Gunung Mulia, 2018), 10.
2
Edmund Woga, Dasar-dasar Missiologi,(Yogyakarta: Kanisius, 2002),14
3
Ibid, 9.
dimana hal tersebut menghambat dan membatasi ruang gerak bagi Gereja dalam menjalankan
esksistensinya sebagai pelaksana missio dei tersebut.
Kata Kunci : Missio Dei, Pengutusan, Eksistensi Gereja sebagai Missio Dei, Kerajaan
Allah, Perkembangan misi sejak abad ke 20, Pandemi Covid 19.
I. Pendahuluan
Misiologi sebagai bagian dari bidang teologi sistematis yang membahas mengenai
kehidupan bermisi sebagai salah satu bagian dari kekristenan, dimana kata missiologi berasal
dari kata latin; Missio (pengutusan); dalam kata Inggris/Jerman/Prancis, Mission, Belanda
Missie, yang dikontekstualisasikan dalam Gereja sebagai Zending. Para pelaksana misi
disebut sebagai missioner, kemudian missioner tersebut dipahami memiliki tugas, yang mana
kemudian Belanda membedakannya menjadi 3, yaitu; a. Dialog dengan Israel/umat Yahudi,
b. PI diantara bangsa-bangsa, c. Pengkristenan kembali.4 Dalam hal pemahamannya misiologi
kemudian dipahami sebagai sebuah tugas yang diberikan kepada para utusan yang dapat
dikronologikan mulai dari Missio Ecclesiae (Pengutusan Gereja), Mission Apostolorum
(Pengutusan para Rasul), Missio Christi (Pengutusan Kristus dalam pengutusan para murid,
dan Pengutusan Kristus oleh Allah), lalu di akhiri dengan Missio Dei. Missio Dei yang
kemudian harus bereksistensi menjadikannya bersifat kontekstual, dengan berjalan beriringan
dengan peristiwa dan kejadian serta perkembangan yang terjadi dari masa ke masa. Hal
tersebut menjadikan misiologi sebagai missio dei, yang mana dituntut untuk dapat
bereksistensi dari waktu ke waktu. Dari pemahaman esksistensi tersebut, maka misio dei
dikatakan memiliki sifat yang kontekstual dan fleksibel namun tetap berpegang kepada apa
yang menjadi aturan dan ketetapan Tuhan yang ada di dalam pengajaran iman Kristen dan
juga Alkitab.
Missio Dei dalam pemahamannya yang dituntut untuk dapat bereksistensi, harus
mampu kontekstual, sehingga sudah menjadi barangtentu apabila dari waktu ke waktu
memiliki kendala dan hambatan. Misi dari waktu ke waktu dapat dilihat sesuai dengan
perkembangan zaman, dimana dikemukan oleh Arie De Kuiper sebagai sejarah dari
Missiologi dalam bukunya yang berjudul Missiologia5, sejarah tersebut dimulai dari Abad-
abad pertama, abad-abad pertengahan, zaman reformasi, zaman pietisme, dan zaman modern.
4
Arie De Kupier, Missiologia, 9-10.
5
Ibid, 11-13.
Dari waktu ke waktu, misi tersebut memiliki hambatan dan tantangannya masing-masing
dalam hal bereksistensi, dimana misi kemudian diharuskan kontekstual dan bersifat fleksibel
(mampu mengikuti keadaan) namun tetap berpatokan pada ketetapan dan aturan Tuhan.
Sementara itu, menurut Edmund Woga, sejarah misiologi, dibagi dengan dimulai dari:
a, misi pada masa Gereja perdana (sampai abad keempat), misi pada abad pertengahan (abad
ke-5 sampai abad ke-14), c, misi pada abad penemuan benua-benua baru (abad ke 15/17), d,
misi setelah pendirian Sacra Congregatio de Propaganda Fide (abad ke-17 sampai 18), e, misi
Sejak abad 19 sampai pertengahan abad ke-20, dan f, misi sejak Konsili Vatikan II (1962).6
Tantangan dan hambatan dari waktu ke waktu yang dihadapi oleh para misioner
dalam menjalan misi untuk tetap bereksistensi dapat berupa keadaan masyarakat, keotoriteran
pemerintah, pandangan yang berlawanan terhadap budaya dan kearifan lokal, keadaan
perekonomian yang sedang turun, keadaan politik, perkembangan teknologi, bahkan yang
terjadi saat ini yaitu pandemi yang melanda dunia (covid 19).
Rumusan masalah pada kajian ini adalah bagaimana misi sebagai Missio Dei mampu
bereksistensi ditengah-tengah pandemi covid-19 yang melanda dunia?. Tujuan dari kajian ini
adalah untuk mengetahui bagaimana Misio Dei dapat tetap menunjukkan eksistensinya di
tengah-tengah pandemi covid-19. Kelompok IV yang merupakan penulis kajian ini percaya
bahwa missio dei mampu bereksistensi di tengah-tengah pandemi covid-19, setelah
sebelumnya tercatat mampu menghadapi setiap tantangan dari masa ke masa. Manfaat dari
penulisan kajian ini adalah, pertama, untuk mengetahui sejarah dari misi dari waktu ke
waktu. Kedua, untuk mengetahui eksistensi dari Misio Dei dari waktu ke waktu dan
penanganannya, Ketiga, untuk mengetahui eksistensi Misio Dei di tengah-tengah pandemi
yang melanda dunia pada masa kini (covid-19).
II. Metodologi
6
Edmund Woga, Dasar-dasar Missiologi, 47-50.
7
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2012), 12.
misi, lalu cara misi mampu bereksistensi dari waktu ke waktu, serta mendeskripsikan
bagaimana pandemi covid-19 lalu menemukan titik temu antara Missio Dei dengan kondisi
pandemi covid-19 yang menjadi hambatan untuk dapat bereksistensi.
III. Pembahasan
III.1. Pengertian Misi sebagai Missio Dei
Dalam melihat misi sebagai misio dei kita perlu membagi dua pandangan
Alkitab mengenai misi terlebih dahulu, dimana terdapat misi dalam Perjanjian Lama
dan Misi Dalam Perjanjian baru:
Dalam teologi Kitab Suci Perjanjian Lama (PL), konsep misi merupakan
sebuah konsep marginal. Bisa misi dipahami sebagai misi untuk pewartaan di
tempat-tempat yang jauh maka menjadi agak sulit memahami konsep itu dalam
alam pemikiran PL. Tidak ada indikasi kuat dalam PL yang memperlihatkan
bahwa orang beriman diutus oleh Allah (Yahweh) keluar dari batas-batas
geografis Israel maupun kultur Yahudinya untuk menjadikan orang lain percaya
pada Yahweh. Tidak ada cukup banyak bukti yang memperlihatkan bahwa kegiatan
di luar batas Israel untuk menjadikan orang-orang di wilayah itu beriman kepada
Allah. Teologi misi dalam Perjanjian Lama akan selalu bergerak dalam dialektika
antara identitas dan universalitas. Orang Israel terbuka menerima orang-orang kafir
yang takut akan Allah, yakni mereka yang bertobat ke dalam lingkungan
Yahudi akan diterima tetapi pada saat yang sama orang Yahudi sendiri tidak
menyebarkan agamanya dengan maksud untuk mempertobatkan mereka. Dalam
konsep itu orang kafir dapat masuk dan menjadi bagian dalam umat pilihan tetapi
orang Israel tidak merasa dirinya diutus kepada orang-orang kafir 8. Allah
Perjanjian Lama yang mengabarkan Injil melanjutkan karya penyelamatan-Nya
melalui anak-Nya dan gereja-Nya dengan kuasa Roh Kudus.
Tema mengenai pengkabaran Injil semakin meningkat dalam Perjanjian
Baru, “Misi pertama adalah milik Allah, karena Dialah yang mengutus nabi-
nabi-Nya, Anak-Nya, Roh-Nya. Dari antara misi-misi ini, misi Anak Allah me
rupakan pusat, karena misi Anak Allah merupakan puncak dari pelayanan
nabi-
nabi, dan dalam misi ini tercakup pengutusan Roh Kudus sebagai klimaknya.
Salah satu contoh pembelajaran akan pelayanan misi dalam Perjanjian Lama
8
Paulus Yan Olla, Dipanggil Menjadi Kasih, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 24-25.
adalah panggilan misi yang diterima Yunus dari Tuhan untuk pergi ke Niniwe.
Ada pembelajaran berharga yang dapat dipetik sehubungan dengan misi perkotaan.
Pertama, Allah yang Mahakudus memiliki kepedulian terhadap penduduk kota yang
tidak kudus. Kedua, nabi Yunus mewakili banyak orang percaya yang tidak
berani melayani kota yang jahat. Ketiga, Yunus mewakili Israel, umat pilihan
TUHAN, yang menjadi saluran berkat TUHAN bagi bangsa-bangsa lain.
Keempat, kegagalan melayani kota adalah kegagalan melayani seluruh bangsa.
Kelima, Tuh
an berbicara kepada Yunus tentang hakikat pelayanan perkotaan yaitu melayani
orang-orang yang berdosa di kota. Ada suatu pengharapan Yunus terhadap kota
yang terhukum supaya menerima keselamatan dari Allah.
Kemudian pemahaman misi sampai kepada Misi sebagai missio Dei. Misi
sebagai Misio Dei dalam gereja yang paling sering kita lihat adalah dalam hal
Koinonia, Diakonia, dan Marturia, ketiga hal ini adalah tiga tugas panggilan yang
harus dijalankan gereja. Kontekstualisasi misi terlihat dalam hal ini dimana misi itu
diaplikasikan dan membuahkan hasil di tengah-tengah jemaat dan umat Kristen di
seluruh dunia untuk mencapai Misio Dei Allah. Ketiga hal tersebut tentu tidak dapat
dilakukan hanya seorang diri saja, gereja berpartisipasi melalui seluruh pelayan yang
dimiliki, terlebih saat ini banyak ragam yang dipadu menjadi harmonis dan
menciptakan suatu keindahan. Tidak adalagi orang yang hebat, tidak ada orang yang
dapat melakukan sesuatu hanya seorang diri, kita harus dapat bergeser pada zaman
kolaborasi. Itu adalah kekayaan dengan esensi yang sama bahwa kita sedang
berpartisipasi dalam misi Allah, kita sedang terlibat dalam Missio Dei untuk
menghadirkan Syalom Allah di tengah-tengah dunia ini.
Misi sebagai Misio Dei seringkali dihubungkan dengan gereja yang diutus
Allah untuk melakukan misi di tengah-tengah dunia. Keberadaan gereja bukan
semata-mata sebagai bentuk pelayanan ibadah saja tetapi juga dituntut agar dapat
memberitakan misi yang telah Allah berikan kepada gereja dan pelayannya untuk
disalurkan kepada jemaat Kristen di tengah-tengah dunia. Misi adalah tugas total
dari Allah yang mengutus gereja demi keselamatan dunia dan Gereja diutus ke
dalam dunia untuk mengasihi, mengajar, melayani, berkhotbah, menyembuhkan dan
membebaskan. Upaya itu yang sering kita sebut sebagai kontekstualisasi.
Jadi misi memang selalu dikontekstualisasikan dari zaman ke zaman sehingga
sampai saat ini kita bisa exist melakukan misi kita dari gereja demi mewujudkan
syalom Allah di tengah-tengah dunia ini. Bermisi dalam gereja seperti mana
dikisahkan dalam Alkitab, menempatkan misi gereja dalam konteks naratif. Misi
sebagai Misio Dei adalah partisipasi dalam kisah misi Tuhan. Peran yang harus
dimainkan oleh umat Allah dalam hal ini adalah memberi ruang kepada para
missionaris untuk memberitakan misi Allah di tengah-tengah mereka. Dengan
demikian, gereja pada dasarnya bersifat misi, dan eksistensi misi itu sendiri muncul
dari identitas ini.9
Berlandaskan Alkitab, gereja dibawa ke dalam misi Allah untuk melanjutkan
misi Israel dan Yesus sampa ke ujung bumi. Kitab Para Rasul adalah yang mencatat
misi paling awal gereja sewaktu itu yang bergerak dari Yerusalem, ke Yudea, ke
Samaria, dan melalui kekaisaran Romawi akhirnya ke Roma. Merujuk pada kitab
Lukas, penulis buku Kisah Para Rasul membuka narasi dengan kata-kata ini: Dalam
bukuku yang dahulu, Teofilus, aku menulis tentang segala yang Yesus mulai
lakukan dan ajarkan (Kisah Para Rasul 1:1). Implikasinya adalah bahwa narasi
berikutnya adalah apa yang Kristus yang ditinggikan akan terus lakukan dan ajarkan,
sekarang dengan roh di dalam dan melalui gereja. 10 Eksistensi misi sebagai Misio
Dei yang terlihat dalam masa sekarang adalah bentuk pelayanan dalam hal ekonomi.
Misi gereja memasuki evangelisasi baru yang terdiri dari penginjilan yang sungguh-
sungguh. Ini merupakan bentuk pelayanan dan komitmen kepada masyarakat
miskin. Penginjilan yang sungguh-sungguh dari kaum tertindas ini berkaitan dengan
sikap kenabian dari penolakan gereja terhadap setiap situasi yang tidak manusiawi
dan pemberitaan Injil Yesus Kristus, Pembebas radikal dari semua kesengsaraan,
semua keterasingan, dan semua penindasan.11
III.2. Sejarah Perkembangan dan Tantangan dari Misi sebagai Missio Dei
Missio Dei (Misi Allah) telah berlangsung jauh sebelum gereja terbentuk oleh
proses iman kepada Kristus. Bahkan, Misi Allah telah ada sejak pertama dunia ini
tercipta. Sepanjang sejarah kehidupan manusia di dunia, Allah kerap kali
memberikan dan melanjutkan misiNya bagi manusia. Hal itu dilakukan sebagai
kesempatan bagi umat Allah untuk dapat berpartisipasi dalam misi Tuhan yang
9
Goheen W. Michael, Introducing Christian Mission Today Scripture, History, and Issues, (USA, InterVarsity
Press: 2014), 12.
10
Ibid), 61.
11
Chung S. Paul, Public Theology in an Age of World Christianity God’s Mission as Word-Event, (USA, PALGRAVE
MACMILLAN: 2010), hlm 27.
hendak memperbaharui seluruh ciptaan dan seluruh kehidupan semua bangsa dan
budayanya.Namun misi mengambil bentuk yang berbeda tergantung pada sejarah
dan budayanya konteks. Dalam Alkitab juga tercatat berbagai bentuk dan penekanan
dari Misi Allah, tergantung pada situasi. Salah satunya terdapat dalam kitab Wahyu,
yang ditulis untuk melengkapi gereja yang menderita untuk tetap setia dalam
kesaksian mereka tentang ketuhanan Yesus Kristus di tengah penganiayaan dan
tekanan untuk meninggalkan atau berpaling dari Kristus kepada kerajaan di dunia.
Kemudian, ada Kitab 1 Korintus yang ditulis untuk mempersiapkan gereja untuk
menghadapi kekuatan tulisan-tulisan hasil pemikiran bernuansa budaya Helenis yang
berpotensi memecah jemaat dengan berbagai cara dan meninggalkan kepercayaan
yang sebelumnya. Kedua catatan Alkitab tersebut menunjukkan bahwa Misi Allah
akan selalu dilakukan dengan menyesuaikan konteks pada waktu tertentu.12
Untuk mengetahui perkembangan misi dalam sejarah perkembangan misi itu
sendiri, terdapat periodisasi yang disusun oleh beberapa ahli berdasarkan pembagian
waktu dan masalah yang dihadapi. Salah satunya adalah periodisasi yang disusun
oleh Michael W. Goheen. Dalam periodisasi yang disusun oleh Goheen, terdapat
beberapa pemikiran dari ahli-ahli lain dalam penyusunannya, salah satunya adalah
David J. Bosch. Berikut adalah pembagian periodisasi misi menurut Michael W.
Goheen:
Pada masa ini, misi menjadi sebuah kekuatan atau daya tarik dari jemaat/
gereja lokal. Gereja pada masa ini melihat diri mereka sebagai pewaris misi Kristus
untuk mewujudkan Kerajaan Allah di dunia. Gereja Mula-mula meyakini bahwa
mereka telah dibaharui melalui Karya Penyelamatan Kristus, dan mereka memiliki
tugas dalam rangka memberitakan Injil keselamatan bagi orang-orang yang belum
menerima Kristus sebagai penyelamat manusia. Di masa itu, orang-oranng tersebut
disebut dengan kata “pagan”. Tantangan yang muncul bagi Gereja Mula-mula adalah
penolakan dari berbagai pihak yang memiliki keragaman kebudayaan dan keyakinan.
Pada masa ini, gereja mula-mula membawa pemahaman yang “asing” dan “baru” bagi
bangsa dan kebudayaan lain. Seperti menghancurkan batasan antara orang kaya dan
miskin, pria dan wanita, orang Yunani dan orang Barbar, yang telah diadopsi sekian
12
Michael W. Goheen, Introducing Christian Mission Today: Scripture, History, and Issues (Downer Groves:
InterVarsity, 2014), hlm. 117.
lama oleh pemerintahan Romawi. 13
Selain perbedaan budaya yang telah dipaparkan,
terdapat juga tantangan yang dihadapi oleh Gereja Mula-mula untuk melakukan Misi
Allah kepada orang yang belum percaya itu. Tantangan itu datang dari pemikiran-
pemikiran kaum sofis (gnostisisme), yang berpotensi membuat jemaat yang telah
percaya berpaling dari Kristus. Hal itu juga dapat menjadi ancaman bagi Gereja Mula-
mula untuk tetap mengemban Misi Allah.14
Meski terjadi perubahan signifikan pada status kekristenan, yang dulunya menderita
dan mendapatkan persekusi dari berbagai pihak berubah menjadi suatu komunitas
yang memiliki hak yang setara dan bahkan melebihi budaya atau kepercayaan lainnya
pada masa kekaisaran Romawi, namun tidak serta-merta membuat Misi Allah dapat
terlaksana. Hal itu disebabkan oleh Gereja yang dipenuhi dengan agenda politik, sejak
resmi dijadikan agama negara. Lebih jauh lagi, kekristenan pada masa ini tidak
melakukan misi kepada orang-orang yang belum percaya. Mereka bahkan memerangi
orang yang belum percaya (pagan), dengan dalih bahwa mereka menjadi musuh bagi
umat yang percaya (fideles Dei et nostril) serta orang-orang Kristen (adversus
christianos). Tantangan bagi gereja untuk melakukan Misi itu datang dari dalam
gereja itu sendiri, yang merasa telah nyaman di tengah-tengah pemerintahan Romawi
pada masa itu.16 Dengan demikian, mengabarkan Injil sebagai bagian dari pelaksanaan
Misi Allah oleh gereja ke luar dari gereja itu sendiri mulai berkurang.
13
Ibid., . 125.
14
David J. Bosch, Transforming Mission: Paradigm Shifts in Theology of Mission (New York: Orbis, 2011), hlm.
180-181.
15
Michael W. Goheen, Op. cit., hlm. 128.
16
David J. Bosch, Op. cit., hlm. 198-199.
Pada masa ini, iman Kristen mencapai versi sekularnya. Perkembangan pesat
dari teknologi dan sains memberi pandangan baru (worldview) bagi orang-orang
Eropa di masa pencerahan. Perkembangan itu juga berpengaruh bagi Gereja yang
masih dan terus berusaha untuk dapat melakukan Missio Dei di tengah-tengah dunia.
Timbul berbagai tantangan dari perkembangan teknologi yang semakin pesat. Hal itu
dikarenakan pemikiran-pemikiran yang berlawanan dengan kekristenan mulai muncul.
Manusia mulai merasa bukan lagi mahluk yang bergantung pada kuasa Ilahi,
melainkan menjadi mahluk yang dapat mandiri dan bergantung pada kemampuan
masing-masing individu. Terdapat dugaan bahwa hal itu disebabkan pemahaman
tentang free will yang digagas oleh tokoh-tokoh reformator gereja pada masa itu.
Terjadi kekeliruan dalam memahami free will dan cenderung mengartikan bahwa
manusia tidak lagi terikat pada tanggung jawab dan kewajibannya sebagai ciptaan
Allah.
19
George W. Peters, Teologi Pertumbuhan Gereja, (Malang : Gandum Mas, 2002), 2
20
John T.Tolbert, Practical Evavngelism, (Malang: Gandum Mas, 2017), 17-19.
21
Ernest S. Williams, “Systematic Theology”, (Missouri: Gospel Publishing House, 1981), hlm 96
Gereja bertanggungjawab untuk melakukan pelayanan kepada Allah dan kepada
manusia dimana kedua pelayanan ini saling erat berhubungan. Pelayanan ini dianalogikan
sebagai dua sisi mata uang. Sehingga dapat dikatakan bahwa Gereja juga sebagai lembaga
yang menjadi perpanjangan tangan Tuhan merangkul setiap umat manusia, terkhusus
orang percaya. Seperti apa yang dikatakan teks Alkitab Galatia 6:10 “Karena itu, selama
masih ada kesempatan bagi kita, marilah kita berbuat baik kepada semua orang, tetapi
terutama kepada kawan-kawan kita seiman”. Sehingga fungsi Gereja adalah lembaga
penyalur perbuatan baik kepada semua orang terutama kepada jemaat Kristen yang berada
dalam kesesakan, untuk dapat mempertahankan eksistensi di tengah pandemi Covid-19,
Gereja sebagai pelaksana Missio Dei harus mulai berfokus ke sektor medis dan
ekonomi. Sektor medis menjadi bidang yang mengalami ‘pukulan’ keras sebagai dampak
dari pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga saat ini. Dalam upayanya, Gereja
dapat melakukan kegiatan-kegiatan pastoral bagi setiap pasien yang membutuhkan
konseling dan mengembalikan semangat pasien pasca sembuh dari paparan penyakit
Covid-19. Tetapi, hal itu juga tidak mudah dilakukan. Sebab, mengingat penularannya
yang begitu cepat, dapat membuat pihak gereja berpikir dengan penuh kehati-hatian agar
tidak memunculkan masalah baru di tengah-tengah masyarakat.
Dalam upaya mempertahankan eksistensinya, Gereja sebagai pelaksana Missio Dei
dari sektor ekonomi, harus dilakukan sebuah bentuk pelayanan diakonia bagi pihak-pihak
yang sangat terdampak oleh karena kehilangan pekerjaan ataupun penghasilan. Dari sektor
ini, Missio Dei dapat menjadi saluran-saluran sukacita bagi orang-orang yang terdampak
oleh Covid-19. Dalam hal ini, gereja harus mampu berperan sebagai ‘distributor’ guna
menyalurkan bantuan-bantuan bagi pihak-pihak yang sangat membutuhkan. Perlu digaris
bawahi, tidak hanya bagi jemaat yang terdaftar, melainkan siapa saja yang sedang dalam
kondisi finansial yang membuat kehidupannya tergolong tidak mampu dari segi
perekonomian.
Kedua sektor itu dapat menjadi jalur bagi Missio Dei untuk dapat bereksistensi di
masa pandemi Covid-19. Untuk dapat melakukannya, gereja harus turut serta dan bahkan
memiliki tugas yang paling besar. Meski demikian, gereja tidak hanya bekerja sendirian
untuk dapat membuat Missio Dei tetap bereksistensi. Diperlukan kerja sama antara gereja
yang mewakili bidang agama dengan bidang-bidang lainnya. Diantaranya tenaga medis
(bidang kesehatan), penemu vaksin untuk Covid-19 (ilmu pengetahuan), teknisi (bidang
teknologi dan informasi), dan bidang-bidang pekerjaan lainnya. Setiap bidang tersebut
dapat membantu gereja untuk melaksanakan pekabaran Injil ke berbagai daerah. Dengan
demikian, Missio Dei akan mampu mempertahankan eksistensi dirinya di tengah pandemi
Covid-19.
Misi mengambil bentuk yang berbeda tergantung pada sejarah dan budayanya
konteks. Dalam Alkitab juga tercatat berbagai bentuk dan penekanan dari Misi Allah,
tergantung pada situasi. Salah satunya terdapat dalam kitab Wahyu, yang ditulis untuk
melengkapi gereja yang menderita untuk tetap setia dalam kesaksian mereka tentang
ketuhanan Yesus Kristus di tengah penganiayaan dan tekanan untuk meninggalkan atau
berpaling dari Kristus kepada kerajaan di dunia. Kemudian, ada Kitab 1 Korintus yang ditulis
untuk mempersiapkan gereja untuk menghadapi kekuatan tulisan-tulisan hasil pemikiran
bernuansa budaya Helenis yang berpotensi memecah jemaat dengan berbagai cara dan
meninggalkan kepercayaan yang sebelumnya. Kedua catatan Alkitab tersebut menunjukkan
bahwa Misi Allah akan selalu dilakukan dengan menyesuaikan konteks pada waktu tertentu.22
Model misi pada masa pandemi menurut penulis yakni misi Kristus (missio cristie)
adalah Eklesiologi Kristosentris. Secara Etimologi, Eklesiologi Kristosentris merupakan
gabungan dari dua kata, yakni Eklesiologi dan Kristosentris, dimana Eklesiologi berasal dari
kata ekklesia yang berarti, Gereja,23 jemaat dan logos yang berarti ilmu, firman,
sementaraKristosentris berasal dari kata Kristo dan Center, yang berarti Kristus dan pusat,
inti.24 Maka dengan kata lain Eklesiologi Kristosentris adalah ilmu yang mempelajari
mengenai kehidupan pertumbuhan Gereja dan jemaat yang pusat pada ajara Kristus.
Kristosentris ialah pemahaman yang memusatkan segala sesuatunya kepada Kristus, artinya
tindakan, pikiran dan perkataan mengacu kepada apa yang Kristus ajarkan (ajaran Kristus).
Eklesiologi kristosentris merupakan ilmu yang mempelajari tentang bagaimana bertumbuh
dan bereksistensi dalam Gereja,sebagai jemat yang berpusat pada Kristus. Eklesiologi
Kristosentris pada dasarnya dipahami sebagai persekutuan jemaat dan Gereja, yang berpusat
pada Kristus. Gereja (umat) Tuhan harus menjadi pribadi yang kuat. "... hendaklah kamu kuat
di dalam Tuhan, di dalam kekuatan kuasa-Nya" (Ef. 6:10). Hanya orang yang kuat yang bisa
menang. Kekuatan kita adalah dalam kekuatan kuasa Allah. Artinya, hanya kuasa Tuhan
yang bisa menguatkan kita dalam menghadapi peperangan rohani itu.
22
Michael W. Goheen, Introducing Christian Mission Today: Scripture, History, and Issues (Downer Groves:
InterVarsity, 2014), hlm. 117.
23
Barclay. M. Newman, Kamus Yunoani-Indonesia; Untuk Perjanjian Baru, (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia,
2016), 64.
24
W.R.F. Browning, Kamus Alkitab. (Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia, 2008), 419.
IV. Kesimpulan
Yesus Kristus adalah penyataan penuh dari karakter Allah dan tujuan Allah untuk
segenap dunia ini. Jadi Injil harus diberitakan kepada semua orang: penginjilan dan misi
merupakan kesaksian esensial gereja; dialog harus dilakukan dalam komitmen kepada Allah
yang dinyatakan dalam Kristus sebagai pusat kesatuan umat manusia. Kristosentris bukanlah
ancaman terhadap kesatuan umat manusia, melainkan kondisi untuk mencapainya. 25 Pada
masa pandemi ini kita tidak perlu khawatir dan semakin mendekatkan diri dengan kristus.
“Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala
hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan permohonan dengan ucapan
syukur (Filipi 4:6-7). Sebab “Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-
pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. (1Kor 10:13).
Dalam masa pandemi covid-19 ini Fungsi Gereja semakin berperan baik dalam di
tengah-tengah dunia ini. Terlebih di masa pandemi saat ini, sudah banyak gereja yang hampir
tutup, dan sebagian masih tetap mengerjakan tugas dan fungsinya dalam memberitakan injil
juga kebenaran firman Tuhan. Misi yang yang terlaksana di masa covid terlaksana melalui
virtual. Dimana pada saat ini sudah banyak Gereja-gereja yang melakukan ibadah melalui
Media sosial. Seperti ibadah live streaming youtube dan ada juga sudah melalui facebook, Ig,
dan lainnya. Misi pada masa pandemi covid 19 adalah melakukan penyebaran Injil melalui
media online.
Maka untuk itu menurut penulis peran penting untuk tetap mempertahankan eksistensi
missio dei di tengah-tengah pandemi covid-19 adalah dengan menyelami terlebih dahulu
permasalahan yang tengah dialami oleh jemaat sebagai obyek dari misi itu sendiri, kemudian
mencoba mencari jalan keluar. Dalam hal menghadapi covid-19 ini dapat dikatakan bahwa
solusi terbaik yakni untuk tetap menjalankan kegiatan bermisi oleh Gereja sebagai pelaksana
missio Dei, dengan tetap menilik kegiatan penanganan yang dilakukan untuk menanggulangi
penyebaran dari virus covid-19 itu sendiri, seperti ibadah online, namun para pendeta dan full
timer serta parhalado tetap aktif melaksanakan kegiatan pastoral ke jemaat-jemaat dengan
mematuhi prokes, agar jemaat juga dapat merasakan pelayanan misi dari pemberita firman
walau di tengah-tengah pandemi covid-19, seperti yang dilakukan oleh Marthin Luther di
tahun 1400an, sewaktu pandemi Black Death menyerang Eropa yang menyebabkan 1/3 dari
penduduk Eropa meninggal dunia, namun Martin Luther tetap mengadakan pertemuan dan
perjamuan kudus ke rumah-rumah jemaatnya, yang mana walaupun 1/3 penduduk Eropa mati
akibat pandemi Black Death namun tidak tercatat satupun pendeta yang meninggal karena
wabah ini26. Adapun pendekatan yang dilakukan oleh Martin Luther dalam pelayanan
misinya pada saat itu ialah dengan pendekatan kontekstualisasi, dengan fokus mencari titik
temu dari permasalahan yang dihadapi pada masa itu (Kematian oleh wabah Black Death),
dengan tujuan memenangkan kembali jemaat yang diliputi kecemasan untuk datang kepada
Kristus27.
Akan tetapi yang perlu diingat bahwa berbicara tentang strategi bukanlah sesuatu
yang menjadi pedoman mati karena bagaimana pun Roh Kudus adalah Roh yang
dinamis. Tidak bisa kita melepaskan peran Roh Kudus ketika berbicara strategi misi.
Sangat jelas terekam dalam Kisah Para Rasul bahwa Roh Kuduslah sebagai Causa
Prima dalam pekerjaan misi dan pertumbuhan gereja. Daya gerak Roh Kudus
merupakan dinamo yang mendorong dan memberi kuasa kepada Paulus untuk
menjangkau bangsa-bangsa28.
26
Gustav H. Wieneke dan Helmut T. Lehman, “The Collected Works Of Mathin Luther”, (Philadepia, 1955). Vol.
43. 115-8. Cited hereafter as Luther’s works.
27
“The Collected Works Of Mathin Luther”, (Philadepia, 1955). Vol. 43, 203.
28
Junifrius Gultom, Refleksi Atas Strategi Misi Rasul Paulus, Jurnal Teologi, Vol.3. No. 2 (2002), 19.
Daftar Pustaka.
Livana PH, Resa Hadi Suwono, Terri Febrianto, Dani Kushindarto, Firman Aziz.”
Dampak Pandemi COVID-19 Bagi perekonomian Masyarakat Desa” Indonesia journal of
Nursing and Healt Sciences. Vol. 1 No. 1, Okotober 2020,
W.R.F. Browning. 2008. Kamus Alkitab. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.