Anda di halaman 1dari 20

1

Mendengar Suara Minta Tolong Umat Muslim di Kampung Jawa


Tondano

Shevanya Lintuuran

Teologi Kristen Protestan, Fakultas Teologi, Universitas Kristen Indonesia Tomohon

shvnylintuuran@gmail.com

ABSTRAK

Amanat Agung adalah perintah bagi setiap orang percaya. Perwujudan Amanat Agung
melalui penginjilan di era modern saat ini perlu dilakukan melalui metode yang efektif,
salah satunya adalah dengan menjawab kebutuhan sosial dari target penginjilan.
Kampung Jawa Tondano sebagai daerah di Minahasa dengan mayoritas agama
Muslim perlu diberi perhatian. Dengan meninjau masalah sosial yang hadir di
masyarakat Kampung Jawa Tondano, langkah penginjilan yang tepat dapat diperoleh
sehingga dengan aktivitas mendengar serta memahami apa yang menjadi kebutuhan
umat maka proses pengenalan iman Kristen dapat dimulai.

Kata Kunci : masalah sosial, misi, aksi sosial

ABSTRACT

The Great Commission is a commandment for every believer. The realization of the
Great Commission through evangelism in today's modern era needs to be done through
effective methods, one of which is by responding to the social needs of the target
audience. Kampung Jawa Tondano as an area in Minahasa with a Muslim majority
needs to be given attention. By reviewing the social problems that are present in the
community of Kampung Jawa Tondano, the right steps for evangelism can be obtained
so that by listening and understanding what the people need, the process of
recognizing the Christian faith can begin.

Keyword : misiology, social problem, social action.


2

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Kampung Jawa Tondano pertama-tama didirikan pada tahun 1830 oleh Kiai Modjo
dan para pengikutnya yang berjumlah sekitar 62 orang yang dibuang oleh pemerintah
kolonial Belanda pada saat Perang Jawa (1825-1830). Di Tondano mereka kemudian
mendirikan Kampung Jawa (oleh Kiai Modjo diberi nama Tegalredjo).
Dialek dan penggunaan kata-kata yang lancar menggambarkan bahwa warga Jaton
sangat menguasai bahasa Toulour. Suku Toulour adalah salah satu etnis di Kabupaten
Minahasa. Lebih dari 170 tahun lalu wilayah tersebut dijadikan ”tempat pengasingan”
Kiai Mojo, penasihat spiritual Pangeran Diponegoro, dan para pengikutnya. Dalam
bahasa keseharian, warga Jaton memang kadang menggunakan satu dua kosa kata
bahasa Jawa. Tapi, sering bahasa Jawa itu tercampur dengan bahasa setempat.
Prinsip membaur dan perilaku layaknya orang Tondano membuat warganya seperti
orang Tondano asli.
Dalam Kisah Para Rasul 1 : 8
“ Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu
akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke
ujung bumi”
Ayat ini kerap menjadi dasar pemberitaan Injil. Orang percaya dianugerahkan Roh
Kudus untuk menjadi saksi Allah di Yerusalem, Yudea, Samaria dan sampai ke ujung
bumi. Yerusalem dapat diartikan sebagai sosok orang yang sudah percaya, bagaimana
orang Kristen diutus untuk menjadi murid yang memuridkan sesama orang percaya.
Yudea, diartikan sebagai orang-orang yang mengaku diri sebagai orang Kristen namun
belum percaya secara penuh bahwa Yesus adalah Juruselamat dan belum terlahir baru.
Samaria, merupakan daerah yang terletak berdekatan dengan Yerusalem dan Yudea,
namun terdiri dari orang-orang kafir yang tidak percaya. Samaria diartikan sebagai
orang-orang yang belum percaya namun lokasi tempat tinggalnya berdekatan dengan
orang-orang yang sudah percaya. Ujung bumi, diartikan sebagai orang-orang di luar
sana yang masih belum percaya dan belum dapat dijangkau secara langsung dalam
penginjilan.
Pekerjaan penginjilan merupakan tanggung jawab setiap orang percaya. Umat
Tuhan dipanggil bukan untuk menjadi egois menikmati kasih karunia Tuhan sendiri,
melainkan untuk berbagi, untuk memberitakan, untuk menyatakan kasih-Nya kepada
dunia. Penginjilan mungkin menghadapi berbagai tantangan diantara pemberitaannya
3

secara verbal maupun melalui tindakan sosial. Keduanya dapat dilakukan, namun
penulis menyarankan tindakan sosial sebagai metode utama. Penginjilan harus mampu
mengintegralkan pemberitaannya lewat tindakan real yang dapat merangkul dunia.
Penginjilan yang berhasil mampu melahirkan iman yang penuh menerima Kerajaan
Allah baik waktu kini hingga nanti. Pribadi-pribadi yang mengaku percaya bahwa Yesus
adalah Juruselamat menerima kesempatan untuk dilahirkan kembali dalam kasih-Nya.
Keselamatan bersifat pribadi dan tidak dapat diwakilkan, untuk itu penting bagi
penginjil untuk melihat respon pribadi dari yang diinjili. Meskipun di dunia modern saat
ini Gereja menghadapi berbagai tantangan, namun tugas penginjilan ini harus tetap
dilaksanakan dengan tetap berdasar akan Firman Tuhan dan diperlengkapi dengan
kekuatan Roh Kudus.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang menjadi masalah sosial di Kampung Jawa Tondano?
2. Bagaimana masalah sosial tersebut dapat menjadi jalan pembuka bagi tumbuh
kembangnya Injil di Kampung Jawa Tondano ?
3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam tulisan ini adalah untuk mengetahui dan
meninjau masalah-masalah sosial yang ada di Kampung Jawa Tondano, dan melalui
teologi korelasional dapat membuka kesempatan bagi masuknya Injil di Kampung
Jawa Tondano. Dengan demikian, pelaksanaan Amanat Agung Tuhan Yesus Kristus
dapat dilakukan.

TINJAUAN TEORITIS

1. Misi

Misi menurut Aliran Münster umumnya diwakili oleh J. Schmidlin seorang misiolog
dalam Gereja Katolik, yang hidup dari tahun 1876-1944. Bagi Schmidlin, misiologi
adalah pengetahuan dan penjabaran mengenai penyebaran iman Kristen yang
dirangkum dalam sistem tertentu dan dibangun di atas dasar-dasar biblis dan teologis.
Pengetahuan dan penjabaran ini menyangkut penyebaran iman, baik yang sedang
berlangsung maupun pada masa lampau dan menyangkut dasar-dasar serta norma-
normanya.1 Misi kehambaan Yesus merupakan pola teladan dari sikap kehambaan
umat Tuhan masa kini. Filipi 2:5-11 mencatat madah Kristus berasal dari puji-pujian
jemaat kuno. Kristus melakukan gerakan turun dan bersedia menjadi hamba yang mati

1
Rm. Dr., Oktovianus Naif, Pr, (Modul-Lama), Misiologi, (Kupang: Fakultas Filsafat Unwira, 2006), 136.
4

disalib.2Bagi Paulus, Injil adalah kekuatan Allah yang mampu menyelamatkan setiap
orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani (Roma 1:16).
Berdasarkan pemahaman Paulus akan Injil tersebut, Gea berpendapat bahwa di dalam
injil ada kekuatan Illahi yang mengubahkan dan memperdamaikan setiap manusia
dengan Allah, selain itu juga melalui Injil, keselamatan tidak dibatasi, namun untuk
semua orang, baik yang hidupnya mapan maupun yang termarginalkan.3 Baik Yesus
maupun para rasul tidak melakukan tindakan revolusioner untuk mengubah tatanan
sosial waktu itu, walaupun sikap ini tidak berarti bahwa mereka setuju dengan apa yang
terjadi. Dalam dunia pelayanan sosial pada zaman pelayanan Paulus maupun pada
saat sekarang ini tidaklah jauh berbeda. Gereja diperhadapkan kepada pelayanan yang
dapat menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia seutuhnya yaitu kehadiran gereja
dalam pelayanan sosial seharusnya dapat menyentuh aspek jasmani dan rohani.
Sehingga tidak hanya memikirkan hal jasmani tanpa mempedulikan aspek rohani dan
sebaliknya. Kehadiran gereja seluruhnya menyejukkan dan menyembuhkan bukan saja
kesembuhan rohani tetapi juga kesembuhan jasmani umat dan bahwa keduanya tidak
terpisahkan tapi merupakan kesatuan utuh.

2. Pelayanan Misi dan Masalah Sosial


Penginjilan di era modern saat ini tidak bisa lagi dilakukan dengan sistematika
seperti pada masa penginjilan awal, contohnya dengan penjajahan, ataupun baptisan
massal tanpa adanya pemuridan. Sistematika seperti ini dapat melahirkan orang-orang
percaya yang mudah terombang-ambing dan belum memiliki iman yang kuat,
dikarenakan belum adanya pembinaan ataupun pengarahan ke dalam injil yang
sebenarnya. Belum lagi dengan adanya berbagai paham kritis dimana akal rasionalitas
4
sangat berpengaruh. Sepanjang berabad-abad sejarah misi Kristen- pelayanan yang
luar biasa telah selalu diberikan sehubungan dengan pemeliharaan orang-orang sakit,
orang miskin, anak yatim, dan korban-korban lainnya dalam masyarakat serta
sehubungan dengan pendidikan, pengajaran, pertanian dan semacamnya, semua
pelayanan ini hampir selalu dipandang sebagai “pelayanan-pelayanan tambahan” dan
bukan sebagai pelayanan missioner itu sendiri. Maksud semua itu adalah untuk
membuat orang terbuka terhadap Injil, “memperlunak mereka”, dan dengan demikian
mempersiapkan jalan bagi karya sang misionaris yang sebenarnya, yakni, dia yang

2
Tom Jacobs. Siapa Yesus Kristus Menurut PB (Yogyakarta: Kanisiau,2000),81
3
Fransiskus Irwan Widjaja, “Papua Dan Panggilan Macedonia Di Zaman Millennium Baru,” DIEGESIS: Jurnal Teologi
Kharismatika 2, no. 1 ; 2019, 35–38.
4
Diadaptasi dari tulisan William J. Abraham, A Theology of Evangelism : The Heart of the Matter.
5

memberitakan firman Allah tentang keselamatan kekal. Jadi, pada umumnya,


dipertahankan suatu pembedaan yang ketat antara penekanan-penekanan “horizontal”
dan “eksternal” (karitas, pendidikan, bantuan medis) pada satu pihak dan unsur-unsur
“vertical” atu “spiritual” dari agenda sang misionaris (seperti berkhotbah, sakramen,
kehadiran di gereja) pada pihak lain. Hanya yang belakangan inillah yang mempunyai
pengaruh terhadap penerimaan keselamatan. 5

3. Misi dalam Aksi Sosial


Eka Darmaputera yang menegaskan bahwa dialog antar umat beragama bukan
hambatan bagi penginjilan, justru sebaliknya, dialog menjadi wadah ekspresi iman yang
adalah Injil. Darmaputera menegaskan bahwa melalui dialog dan juga melalui aksi
sosial, Injil diwujudnyatakan ditengah pluralisme agama.6 Sebagai penginjil, kita tidak
bisa hanya berfokus pada penginjilan dengan mengorbankan perhatian terhadap hal-
hal sosial atau menjadikan aktivitas sosial sebagai pengganti penginjilan. Dalam
prakteknya, perlu ada hubungan yang menjembatani keduanya sebagai sebuah bentuk
dialog yang efektif. Terdapat tiga cara dalam melakukan hal ini :
1. Sebagian orang melihat aksi sosial sebagai sarana untuk penginjilan. Dengan
demikian, memenangkan orang untuk dipertobatkan adalah tujuan akhirnya.
Aksi sosial berfungsi sebagai pendahuluan yang berguna, sarana yang efektif
bagi tujuan ini. Cara ini dilakukan dengan membuat pekerjaan sosial menjadi
gula yang dilapisi obat, umpan dari kail. Namun, di satu sisi juga cara ini
memberikan Injil suatu kredibilitas yang tanpanya akan sangat kurang. Apapun
yang menjadi kasus, kecurigaan akan kemunafikan akan terus ada dalam semua
usaha filantropi manusia. Motivasi tersembunyi yang terlihat mendorong
manusia untuk terlibat dalam semua kegiatan itu. Hasil dari membuat program
sosial sebagai sarana bagi tujuan yang lain adalah menghasilkan bantuan
terselubung dari orang Kristen. Ini tidak dapat terhindarkan jika penginjil itu
sendiri adalah “orang Kristen Injili yang terselubung”. Mereka bisa menyadari
penipuan ini. Tidak heran Gandhi pada tahun 1931 berkata “ saya berpendapat
bahwa memengaruhi orang lain untuk masuk agama lain dengan selubung
pekerjaan kemanusiaan sangatlah tidak sehat... mengapa saya harus mengubah
agama saya karena seorang dokter yang mengaku Kristen sebagai agamanya

5
David J Bosch. Transformasi Misi Kristen, Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2018 , 604-605.

6
Martin L. Sinaga, Trisno S Sutanto, Sylvana Ranti Apituley dan Adi Pidekso, Pergulatan Kehadiran Kristen di
Indonesia : Teks-Teks Terpilih Eka Darmaputera, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005), 270-271
6

telah menyembuhkan saya dari penyakit tertentu ?”


2. Melihat aksi sosial bukan sebagai sarana untuk penginjilan tetapi sebagai
perwujudan dari penginjilan, atau setidaknya perwujudan dari kabar baik yang
sedang diberitakan. Dalam hal ini, filantropi tidak dikaitkan dengan penginjilan
secara artifisial dari luar tetapi muncul dari penginjilan itu sendiri sebagai
ungkapan alaminya. Manusia mungkin dapat berkata bahwa aksi sosial
merupakan sakramen dari penginjilan, karena aksi sosial membuat pesan Injil
menjadi sangat terlihat. J Herman Bavnick dalam bukunya yang terkenal An
Introduction to the Science of Mission, mendukung pandangan ini. Penyediaan
obat-obatan dan pendidikan lebih dari sekedar “sarana yang sah dan penting
untuk menciptakan kesempatan bagi pemberitaan Injil”, tulis Bavinck, karena
“jika semua pelayanan itu dimotivasi oleh cinta dan belas kasih yang benar,
maka mereka tidak lagi menjadi semacam tindakan awal tetapi pada saat itu
juga menjadi pemberitaan Injil itu sendiri”. Contoh dari kasus ini adalah dalam
pelayanan Yesus. Perkataan dan perbuatan-Nya saling terkait, perkataan-Nya
menafsirkan perbuatan-Nya dan perbuatan-Nya mewujudkan perkataan-Nya. Dia
tidak hanya memberitakan kabar baik Kerajaan Allah namun juga
mempertunjukkan “tanda-tanda kerajaan Allah” secara terlihat. Jika orang-orang
tidak mau percaya perkataan-Nya, kata Yesus, maka biarlah mereka percaya
kepada-Nya “karena pekerjaan-pekerjaan itu sendiri” (Yoh 14:11). Bishop John V.
Taylor mengikuti pandangan yang mirip dalarn pembahasannya di serial
Christian Foundations yang diberi judul For All the World. Dia menulis tentang
"Tiga jenis pemberitaan Injil,” yang melaluinya is ingin berkata bahwa orang
Kristen dipanggil untuk “memberitakan Injil ... melalui apa yang mereka katakan
(pemberitaan), melalui diri mereka sendiri (kesaksian), dan melalui apa yang
mercka lakukan (pelayanan).” Hal ini juga benar dan merupakan penjelasan yang
baik. Namun ini membuat saya gelisah. Karena penjelasan ini membuat
pelayanan menjadi sub-bagian penginjilan, salah satu aspek dari pemberitaan.
Kita tidak menyangkal bahwa pekerjaan baik dari kasih memang memiliki nilai
yang celah jelas terlihat ketika ditunjukkan oleh Yesus dan memiliki nilai yang
jelas terlihat ketika ditunjukkan oleh kita (bdk. Mac. 5:16). Namun saya tidak
bisa mencrima bahwa itu merupakan pembenaran satu-satunya atau bahkan
pembenaran utamanya. Jika memang benar maka aksi sosial secara sadar
tetap hanya merupakan sarana yang dipakai untuk mencapai tujuan. Jika semua
pekerjaan baik dilihat sebagai pemberitaan yang terlihat, maka mereka
7

mengharapkan balasan. Tetapi jika semua pekerjaan baik muncul sebagai kasih
yang terlihat, maka mercka “tidak mengharapkan balasan" (Luk. 6:35).
3. Aksi sosial sebagai rekan pelayanan dari penginjilan. Sebagai rekan pelayanan
keduanya saling melengkapi tetapi juga independen satu terhadap yang lain.
Masing-masing berdiri sendiri dan memiliki bagiannya sendiri. Tidak ada yang
menjadi sarana untuk mencapai yang lain atau perwujudan dari yang lain.
Karena masing-masing memiliki tujuannya sendiri. Keduanya merupakan
ckspresi dari kasih yang sejati. Seperti yang diungkapkan oleh National
Evangelical Anglican Congress di Kece pada tahun 1967, “Penginjilan dan
pelayanan yang penuh kasih harus ada bersama-sama dalam misi Allah.” Seperti
Rasul Yohanes memahami hal ini dari kata-kata yang ada dalam surat
pertamanya: “Barangsiapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya
menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya,
bagaimanakah kasih Allah dapat tecrap di dalam dirinya? Anak-anakku, marilah
kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah tetapi dengan
perbuatan dan dalam kebenaran” (1 Yoh. 3:17-18). Pada bagian ini, kasih dalam
tindakan muncul dari dua situasi, pertama “melihat” saudara sedang menderita
kekurangan dan kedua "mempunyai” apa yang diperlukan untuk memenuhi
kekurangan tersebur. Jika saya tidak merelasikan apa yang saya “punya” dengan
apa yang saya “lihat,” saya tidak bisa mengatakan bahwa saya berdiam dalam
kasih Allah. Selain itu, prinsip ini dapat diterapkan kepada beberapa kekurangan
apa pun. Kekurangan rohani (dosa, rasa bersalah, tersesat) dan memiliki
pengetahuan Injil untuk memenuhi kekurangan tersebut atau, kekurangan yang
dilihat bisa saja penyakit atau kebodohan, atau tempat tinggal yang buruk, dan
kita memiliki obat-obatan, pendidikan, atau keahlian sosial untuk memenuhi
kekurangan tersebut. Melihat kekurangan yang ada dan memiliki penyelsaian
kekurangan itu mendorong kasih untuk bertindak, dan apakah tindakannya
berupa penginjilan atau aksi sosial, arau bahkan politis, tergantung pada apa
yang kita “lihat” dan apa yang kita “miliki.” Ini tidak berarti bahwa perkataan dan
perbuatan, penginjilan dan aksi sosial merupakan rekan pelayanan yang tidak
bisa dipisahkan sehingga setiap kita harus terlibat di dalam kedua hal tersebur
sepanjang waktu. Situasi bisa beragam, demikian juga dengan panggilan orang
Kristen. Melihat situasi memang ada waktunya ketika tujuan hidup kekal
seseorang menjadi pertimbangan paling mendesak, karena kita tidak boleh lupa
bahwa manusia tanpa Kristus pasti binasa. Namun ada situasi dimana
8

kebutuhan materi seseorang begitu mendesak sehingga dia tidak mampu


mendengar Injil jika kita membicarakannya pada saat itu. Orang yang jatuh ke
cangan perampok, di saat itu, terutama memburuhkan obat-obatan dan perban
untuk mengobati lukanya bukan pada waktu penginjilan. Seperti perkataan
seorang misionaris di Nairobi yang dikutip oleh Bishop John Taylor, “seorang
yang lapar tidak bisa mendengar.” Jika musuh kita sedang lapar, amanat Alkitab
bukanlah menginjili dia tetapi memberi dia makan (Rm. 12:20)! Selain itu ada
keragaman dalam panggilan orang Kristen dan setiap orang Kristen harus setia
terhadap panggilannya. Seorang dokter tidak boleh mengorbankan praktik
medisnya demi penginjilan, demikian juga scorang penginjil tidak boleh
terdistraksi dari pelayanannya akan firman Tuhan karena pelayanan meja,
seperti yang disadari dengan cepat oleh para rasul (Kis. 6).7

METODE PENELITIAN

Metode Penelitian yang digunakan adalah menggunakan Metode Penelitian


Kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Penelitian Kualitatif adalah Penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek
penelitian misalnya Perilaku, Persepsi, Motivasi, Tindakan Dll secara holistic, dan
dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan Bahasa, pada suatu konteks khusus
yang alamiah. Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan untuk
meneliti kondisi objek yang alamiah, dimana peneliti adalah sebagai instrumen utama.
Metode kualitatif digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu data
mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya, data yang merupakan suatu
nilai di balik data yang tampak.
Penelitian kualitatif adalah pengumpulan data pada suatu latar alamiah dengan
maksud menafsirkan atau mengartikan fenomena yang terjadi. Penelitian kualitatif
tidak menggunakan statistik, tetapi melalui pengumpulan data, analisis dan kemudian
diinterpretasikan. Penelitian ini merupakan penelitian yang menekankan pada
pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi
realitas. Kriyantono menyatakan bahwa, riset kualitatif bertujuan untuk menjelaskan
fenomena dengan sedalam-dalamya melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya.
Penelitian kualitaif menekankan pada kedalaman data yang didapatkan oleh peneliti.

7
John. W R Scott, Murid Radikal yang Mengubah Dunia,(Surabaya: Perkantas, 2018), 36-38
9

Semakin dalam dan detail data yang didapatkan, maka semakin baik kualitas dari
penelitian kualitatif ini.8Dalam penelitian ini, penulis menetapkan narasumber yang
terdiri dari :
1) AA (21 tahun)
2) AH (21 tahun)
3) A (21 tahun)
4) R (20 tahun)
5) ST (21 tahun)
6) DZ (17 tahun)
7) N (19 tahun)
8) SS (20 tahun)
9) DK (19 tahun)
10)GD (18 tahun)
Pengumpulan data juga diperoleh dari wawancara dengan yang menjadi subjek
penelitian. Peneliti menggunakan berbagai pertanyaan untuk memperoleh berbagai
informasi mengenai masalah yang akan penelit teliti. Pengumpulan data melalui teknik
wawancara dalam peneltian kualitatif adalah menemukan kostruksi dari subjek
penelitian tentang kejadiaan atau peristiwa dari individu, kelompok, organisasi dan
sebagainya. Proses wawancara sangat tergantung dari situasi yang terjadi di lapangan.
Wawancara yang peneliti lakukan, dilakukan di tempat tinggal atau rumah ibadat dari
subjek penelitian. Namun karena situasi dan kondisi yang sementara ada dalam masa
pandemi covid-19 maka penelitian ini harus menerapkan protokol kesehatan sehingga
sedikit menghambat jalannya penelitian ini dan untuk narasumber yang tidak bisa
dilakukan wawancara langsung, peneliti melakukan wawancara melalui panggilan
telepon dan komunikasi online.

HASIL PENELITIAN

1. Kampung Jawa Tondano


Setelah dibekuk pasukan Belanda pada 1829, Kyai Mojo (ada yang menulis Kyai
Modjo dan Kyai Madja) harus ikhlas jadi orang buangan. Kyai Mojo tak diasingkan ke
Sri Lanka atau Afrika Selatan seperti musuh-musuh Belanda di Hindia Belanda zaman
VOC. Dua daerah itu hilang setelah Revolusi Perancis berkobar. “Lepasnya dua koloni

8
Rachmat Kriyantono., Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Prenada 2006), 15
10

ini telah membuat gubernemen Belanda di Hindia Timur kehilangan tempat


pengasingan bagi para pembesar Jawa dan Nusantara di luar negeri,” . Pemerintah
kolonial Belanda pun memilih sebuah daerah yang mampu mengisolasikan orang-
orang macam Kyai Mojo. Terpilihlah Sulawesi Utara untuk Kyai Mojo beserta 62
pengikutnya. Tepatnya di tepi Danau Tondano. Daerah itu bukan daerah kosong. Ada
orang-orang Tondano lebih dulu di danau itu. Letaknya di tengah-tengah Minahasa di
jazirah utara pulau Sulawesi. Daerah ini juga menjadi daerah asal dari Pasukan
Tulungan pimpinan Mayor Dotulong pada akhir Perang Jawa (1825-1830).
Belanda memiliki garnisun militer yang cukup besar untuk mengawasi orang-orang
buangan itu. Hal paling penting, tentu daerah itu jauh dari Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan. Sangat sulit bagi orang-orang yang terbiasa dengan kehidupan feodal
agraris itu untuk kabur dan berlayar sendiri ke Jawa. Roger Allan Kembuan mencatat
daerah itu semula milik Kepala Walak Tondano-Toulimambot. “Sumber kolonial juga
mencatat kepindahan itu, yaitu surat Residen Manado Pietermaat kepada [Johannes]
van den Bosch tanggal 18 Oktober 1831, satu tahun sesudah kedatangan rombongan
Kyai Mojo,” tulis Kembuan. Dalam tesisnya, dicatat pula sejarah lisan soal pemilihan
tempat itu. "… untuk menentukan tempat menetap baru ini Kyai Modjo menyembelih
seekor sapi dan sebagian potongan-potongan daging tersebut diletakkan di beberapa
tempat di sekitar Tonsea Lama. Tempat di mana daging paling lama membusuk dipilih
menjadi tempat menetap permanen,” tulisnya. Tempat terpilih itu kini telah menjadi
Kampung Jawa Tondano, sekitar 1 pal atau 1,5 km dari Tonsea Lama. Kebanyakan
orang Tondano kala itu belum beragama Kristen. Mereka masih menganut
kepercayaan lokal. Orang-orang bule menyebut mereka sebagai "orang-orang liar" atau
"penyembah berhala." Sebutan untuk mereka adalah Alifuru. Tak hanya orang-orang
Tondano maupun Minahasa saja yang disebut sebagai Alifuru, tapi juga orang-orang
dengan kepercayaan lokal di daerah yang dulu termasuk Keresidenan Ternate. Sebagai
orang yang diasingkan ke tanah yang baru, para orang buangan ini harus menjalin
hubungan dengan penduduk setempat. Dalam hubungan antara orang asing dan
penduduk lokal, bentuk interaksi sosial yang paling sering terjadi ialah amalgamasi
(perkawinan dari suku yang berbeda).
Di kampung Jawa Tondano, komunitas kecil muslim ini dikelilingi oleh
perkampungan yang mayoritasnya beragama Kristen sehingga nilai-nilai Islam telah
diwujudkan dalam praktek hidup yang bersahabat dan terbuka. Penyebarluasan nilai-
nilai keislaman tidak lagi tampil dalam bentuk ”dakwah” untuk sebuah konversi,
melainkan Islam bagi mereka telah menjadi praktek hidup. Ada sebuah usaha kreatif
11

dan inovatif dalam memaknai Islam di tengah masyarakat Minahasa yang Kristen, yang
di satu pihak nilai-nilai Islam dan tata cara keagamaannya tetap dijaga dan bahkan
dilestarikan, namun dipihak lain keterbukaan pada konteks yang multikultur adalah
sebuah keharusan. Hal ini kemudian menghasilkan model dan bentuk keislaman yang
khas di Minahasa. Walaupun Islam dimaknai sebagai identitas mutlak seluruh
penduduk kampung Jawa Tondano, dan Islam juga sebagai pembatas yang tegas
dengan masyarakat Minahasa (masyarakat Alifuru yang kemudian menjadi Kristen di
sekeliling mereka), sebuah laporan kolonial pada awal abad XX menyebutkan bahwa
identifikasi sifat-sifat dan karakter umum di kalangan masyarakat buangan sangat
cenderung untuk beradaptasi dengan adat istiadat dan kebiasaan masyarakat di mana
mereka tinggal (Minahasa). Terutama kelompok besar Muslim Tondano dan Tegalredjo.
Sebuah laporan lainnya menyebutkan hal yang sama yaitu di pedalaman Minahasa di
daerah Tondano menjadi tempat dimana sekitar 1000 orang penduduk Islam tinggal,
terdapat sebuah kehidupan keagamaan ramah dan terbuka tanpa adanya “tanda-tanda
fanatisme yang mengancam”.
Bagi warga Kampung Jawa, mempertahankan dan melestarikan tradisi keagamaan
yang telah diwariskan oleh para Founding Fathers bukan sekedar menjaga
keberlangsungan identitas mereka sebagai 'orang Jawa', akan tetapi, hal ini juga
sebagai upaya mempertahankan identitas mereka sebagai seorang muslim dan
mukmin. Dalam pandangan masyarakat Kampung Jawa, apa yang telah diwariskan
oleh para pendahulu mereka adalah sesuatu yang sarat nilai terlebih dalam relasi dan
hubungan mereka dengan penduduk Minahasa. Tradisi keagamaan mereka merupakan
alat pemersatu dalam membina kehidupan yang harmonis dan rukun; bukan saja antar
mereka yang heterogenis dalam suku, melainkan juga dengan warga yang berdomisili
di sekitar Kampung Jawa Tondano yang berlainan agama dengan mereka.

2. Hasil Wawancara
1. Latar Belakang Narasumber
 Bagaimana gambaran kondisi sosial yang sedang anda alami?
Melalui pertanyaan ini, penulis memperoleh data latar belakang narasumber yang
cukup beragam. Terdapat 3 narasumber yang ternyata kurang aktif dalam kegiatan
keagamaan, hal ini dikarenakan kurangnya kegiatan-kegiatan pengembangan yang
dilaksanakan dari Masjid setempat bagi generasi muda (pemuda/remaja) sehingga
perkembangan sisi agama-pun kurang. Kondisi sosial dari para narasumber-pun
sebagian besar hidup dalam lingkungan pergaulan yang tertutup. Mereka hanya bergaul
12

dengan teman-teman sekitar tempat tinggal dan kurang aktif dalam


organisasi/komunitas sosial baik di dalam Kampung Jawa maupun di luar Kampung
Jawa.Namun, ada juga narasumber dengan lingkup pergaulan yang cukup plural dan
memiliki lingkungan pergaulan dengan teman-teman yang beragama Kristen.Bahkan
ada seorang narasumber yang menyatakan bahwa dalam lingkungan pergaulannya ia
telah mendapati orang-orang yang sudah memahami perbedaan masing-masing baik
dalam bentuk pendapat maupun kepercayaan dengan tidak menjadikan minoritas
sebagai alasan untuk membeda-bedakan satu sama lain.

 Apakah ada masalah sosial yang sementara anda hadapi baik dari segi
lingkungan hidup maupun lingkungan sosial/pergaulan?
Berdasarkan kondisi sosial dari para narasumber, maka melalui pertanyaan ini
penulis menemukan masalah-masalah sosial yang menarik, baik dalam lingkup
pergaulan sosial, lingkungan hidup, lingkungan keagamaan bahkan lingkup personal.
Bagi narasumber yang hidup dalam lingkungan sosial yang tertutup rupanya kurang
menaruh perhatian dalam masalah sosial dan lebih berfokus dalam masalah dalam
lingkup personal berupa kurangnya pengembangan diri, penemuan jati diri, maupun
harapan dan pencapaian. Hal ini berbanding terbalik dengan narasumber yang aktif
dalam lingkungan pergaulan. Menurut responden, masalah sosial yang dialami
khususnya dalam lingkup sosial pergaulan dimana masih didapati pihak-pihak yang
memiliki pendapat fanatik terhadap sisi keagamaan sehingga membuat responden
cukup sulit untuk menyesuaikan diri dengan pergaulan yang plural. Narasumber yang
ingin membuka diri, namun sering ditanggapi dengan prinsip keagamaan yang
dianggapnya fanatik sehingga membuat responden kurang nyaman. Ada juga yang
berpendapat dalam lingkup masalah lingkungan, dimana belum sadarnya mayoritas
masyarakat mengenai melestarikan lingkungan. Tidak hanya dalam ruang lingkup
masyarakat Kampung Jawa namun juga sekitarnya. Maraknya membuang sampah
sembarang tempat dan penggunaan plastik yang sangat tinggi, hal ini dapat
menyebabkan masalah yang berkelanjutan di kemudian hari. Faktor ini juga disebabkan
oleh kurangnya perhatian pemerintah dalam menanggulangi sistem persampahan,
seperti kurangnya penyediaan sarana untuk mengolah sampah berupa truk atau motor
sampah yang rutin mengangkat sampah-sampah yang terdapat dalam lingkungan
masyarakat. Dalam hal penggunaan plastik yang tinggi, masyarakat belum teredukasi
mengenai betapa berbahayanya penggunaan plastik.
13

 Apa yang menjadi harapan anda terhadap masalah sosial yang anda hadapi?
Melalui pertanyaan ini, berdasarkan masalah-masalah yang diperoleh setiap
narasumber, maka didapati bahwa bagi narasumber yang memperoleh masalah dalam
lingkup personal maka harapan berfokus pada diri sendiri untuk menjawab masalah
yang sedang dialami, namun responden juga berharap untuk bertemu dengan
komunitas-komunitas pengembangan diri yang terbuka dan dapat saling membangun.
Terhadap masalah sosial narasumber berharap adanya keterbukaan dari generasi
muda (khususnya umat Kristen) untuk tidak menunjukan paham fanatik melainkan
menghargai dan menghormati perbedaan kepercayaan yang ada. Terhadap masalah
lingkungan permasalahan ini sudah sering di bicarakan namun pemerintah masih saja
tidak maksimal dalam menanggulanginya, responden berharap pemerintah sebagai
pihak yang seharusnya memfasilitasi masyarakat dalam proses pembangunan guna
meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat harus lebih menaruh perhatian lebih
dalam permasalahan ini dan tidak memandang sebelah mata masalah yang sudah
umum ini. Serta harapan responden, generasi muda saat ini dapat memberikan
pengaruh dan lebih memerhatikan isu mengenai masalah lingkungan hidup yang salah
satunya adalah penggunaan plastik agar dapat mengedukasi orang orang sekitar
mengenai bahaya penggunaan plastik.

PEMBAHASAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan penulis melalui sarana komunikasi online di


Kampung Jawa Tondano maka penulis mendapati data-data yakni masalah-masalah
dari para responden yang dikategorikan sebagai berikut :

1 Masalah Lingkup Personal


Dalam kategori ini penulis berfokus pada masalah-masalah dari para responden
yang umumnya kurang memiliki hubungan dengan lingkungan sosial (lingkungan
pergaulan). Lingkungan pergaulan memang memiliki pengaruh yang besar bagi tumbuh
kembang pola berpikir dan bersosialisasi anak, terlebih khusus bagi mereka yang
sedang dalam masa pubertas. Berdasarkan observasi penulis, generasi muda yang
kurang bergaul dengan dunia luar (kurang memiliki banyak teman) dan lebih sering
tinggal di rumah malah memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menghadapi
masalah personal dalam pencarian jati diri. Adanya rasa kesepian, menjadikan dunia
media sosial sebagai pelarian utama. Kurangnya lingkungan sosial juga mempengaruhi
14

kemampuan bersosialisasi generasi muda yang takutnya dapat berpengaruh bagi masa
depan khususnya dalam dunia pekerjaan. Adanya keinginan untuk pengembangan diri
namun tidak dibarengi dengan wadah dan fasilitas yang sesuai menjadikan harapan ini
hanyalah sekedar harapan tanpa ada realisasi yang nyata.
Sebagai generasi muda, menurut penulis sebenarnya masalah-masalah personal
yang dihadapi para generasi muda yang kurang memiliki hubungan dengan lingkungan
sosial memiliki faktor penyebab salah satunya adalah penerimaan masyarakat. Faktor
penerimaan menjadi hal yang penting dalam lingkungan pergaulan, apabila seseorang
diterima maka ia akan merasa aman dan nyaman untuk tinggal dalam lingkungan
tersebut, namun apabila seseorang merasa tidak dianggap, tidak dihargai dan kurang
diperhatikan maka mereka cenderung tidak lagi hidup dalam lingkungan tersebut. Hal
ini didapati penulis melalui observasi dan wawancara terhadap beberapa responden
yang pada dasarnya rindu untuk hidup dalam lingkungan sosial yang baik dan terbuka,
namun karena kurangnya penerimaan maka merekapun menutup diri dan cenderung
hanya bergaul dengan orang-orang sekitar dengan latar belakang yang serupa.
Penyediaan wadah/fasilitas pengembangan diri juga menjadi faktor dari masalah ini.
Berdasarkan observasi, memang sudah ada beberapa organisasi//komunitas yang
bersifat umum dan menekankan toleransi, namun pada nyatanya minoritas tetaplah
minoritas sehingga yang aktif pada organisasi/komunitas tersebut pada umumnya
hanyalah umat Kristen saja. Hal ini dikarenakan kurangnya perhatian khusus bagi
masyarakat khususnya generasi muda yang beragama Muslim di Kampung Jawa
Tondano agar tetap merasa diterima dan tidak merasa asing meskipun sebagai
minoritas. Sarana berupa komunitas yang terbuka dan bermanfaat menjadi harapan
bagi generasi muda ini, demi menjawab kebutuhan pencarian jati diri, pengembangan
diri, maupun demi tercapainya harapan dan cita-cita generasi muda.

2. Masalah Lingkup Sosial


Dalam kategori ini penulis berfokus pada masalah yang dihadapi generasi muda
dalam lingkungan sosial pergaulan yang terbuka (plural), yang tidak tertutup dan
umumnya memiliki keadaan dan kemampuan sosial yang baik. Berdasarkan penelitian,
sebenarnya masalah yang dihadapi bertitik tolak dari bagaimana sikap orang non-
muslim atau yang tidak bertempat tinggal di Kampung Jawa Tondano. Dari masalah
yang diperoleh melalui observasi dan wawancara ini maka penulis mengelompokan
akar permasalahan yaitu sikap umat non-muslim/non-Kampung Jawa Tondano
khususnya umat Kristen sebagai berikut :
15

1) Umat yang tidak peduli dan tidak memiliki pemahaman yang tepat: dalam
kelompok ini, umat Kristen cenderung tidak menaruh perhatian kepada kaum
minoritas khususnya umat Muslim di Kampung Jawa Tondano, bahkan bersikap
tidak toleran dengan tidak menghargai dan menghormati perbedaan. Hal ini
dikarenakan tidak adanya pemahaman yang tepat, sikap fanatisme, egois dan
tinggi hati serta tingkat kepedulian antar sesama yang kurang. Kelompok ini
biasanya terdiri dari mereka yang hanya mau bergaul dengan latar belakang
yang sama serta menolak keras untuk memiliki hubungan dengan orang-orang
yang memiliki perbedaan latar belakang. Hal ini menghasilkan sikap umat
Muslim yang menutup diri dan hanya bergaul dengan sesama umat Muslim di
Kampung Jawa Tondano.
2) Umat yang peduli namun tidak memiliki pemahaman yang tepat : dalam
kelompok ini, kepedulian akan sesama telah dimiliki oleh orang Kristen, namun
implikasi dari rasa kepedulian ini yang kurang tepat. Kasus seperti ini sering
didapati dalam lingkungan generasi muda, banyak anak muda Kristen yang
sebenarnya mau peduli dan mau untuk melakukan penginjilan terhadap umat
Muslim, namun metode yang digunakan kurang tepat sehingga membuat umat
Muslim merasa adanya sisi fanatik dan kurang nyaman. Kelompok ini biasanya
terdiri dari mereka yang memiliki kerinduan untuk melayani Tuhan, sadar akan
panggilan Tuhan sebagai orang percaya, peduli terhadap orang lain, namun
belum diperlengkapi dengan baik contohnya berupa pemuridan, ataupun metode
-metode pendekatan untuk penginjilan sehingga kerap mengambil langkah yang
salah dalam berhubungan dengan umat Muslim. Hal ini berdampak pada sikap
umat Muslim yang mulai terbuka namun dikarenakan respon yang kurang tepat,
maka akan menyebabkan rasa kurang nyaman bagi umat Muslim di Kampung
Jawa Tondano untuk lebih terbuka.
3) Umat yang sudah memiliki pemahaman yang tepat namun kurang memiliki rasa
kepedulian : dalam kelompok ini, umat Kristen yang sudah diperlengkapi baik
dalam katekisasi, pemuridan, maupun aktif dalam persekutuan ibadah, disiplin
rohani, dan pemahaman Alkitab namun belum mampu untuk merefleksikan hal
itu dalam bentuk kepedulian terhadap mereka yang berbeda agama (umat
Muslim). Hal seperti ini juga sering didapati dalam generasi muda Kristen baik
dalam komunitas-komunitas rohani maupun aktivis Gereja. Kelompok ini
biasanya terdiri dari mereka yang aktif dalam pelayanan internal
Gereja/komunitas namun belum menyatakan visi dalam lingkungan luar
16

khususnya umat Muslim di Kampung Jawa Tondano, fakta ini juga bisa dilihat
berdasarkan hasil observasi penulis. Meskipun tidak semua, namun kasus
seperti ini masih bersifat umum.
4) Umat yang peduli dan sudah memiliki pemahaman yang tepat : Dalam
kelompok ini, umat Kristen yang sudah matang, siap dan diperlengkapi mampu
untuk menghasilkan buah. Melalui perlengkapan rohani yang sudah diterima,
umat Kristen mau untuk memberi diri dalam pelayanan misi kepada dunia luar
melalui metode-metode yang sesuai dan berkenaan dengan situasi dan latar
belakang dari komunitas yang penyataan kepeduliannya ingin dilakukan
khususnya penginjilan. Dengan sikap seperti ini, maka keterbukaan akan dunia
luar dapat masuk ke Kampung Jawa Tondano karena adanya rasa nyaman dan
diterima.

REFLEKSI TEOLOGIS

Umat Muslim di Kampung Jawa Tondano merupakan salah satu sasaran berkat
Allah yang diharapkan dapat tersalurkan melalui umat Kristen. Berdasarkan catatan
sejarah memang telah ada beberapa langkah penginjilan yang diusahakan Gereja
khususnya Gereja Masehi Injili di Minahasa dalam upaya untuk merangkul saudara-
saudara di Kampung Jawa Tondano, namun faktanya belum ada pertumbuhan iman
yang nyata sebagai buah penginjilan Gereja.
Sebagai kelompok minoritas, umat Muslim di Kampung Jawa Tondano meyakini
kepercayaan mereka bukan sebatas prinsip religius namun lebih dari itu sebagai
identitas yang melambangkan kehadiran mereka sebagai masyarakat dengan adat dan
budaya yang khas. Campuran antara kebudayaan Minahasa dan Jawa membuat
Kampung Jawa Tondano memancarkan aura yang unik dan berbeda dibanding daerah-
daerah lain di Minahasa. Hal inilah yang menjadikan Kampung Jawa Tondano berbeda,
dan hal inilah yang harus dihargai oleh lingkungan sosial disekitarnya.
Latar belakang seperti ini perlu menjadi perhatian dalam penginjilan, sehingga dapat
menentukan metode yang tepat, metode yang mampu merangkul umat Muslim di
Kampung Jawa Tondano sebagai bentuk pemenuhan akan janji berkat Allah, namun
juga metode yang tetap menghormati identitas umat di Kampung Jawa Tondano
dengan adat dan budayanya. Dalam hal ini, metode penginjilan yang dimaksud adalah
penginjilan melalui aksi sosial yang dapat menjawab masalah dari sasaran penginjilan
yaitu Kampung Jawa Tondano.
17

Berdasarkan penelitian, diperoleh masalah sosial dalam lingkup pribadi/personal


dari sasaran penginjilan. Masalah lingkup personal yang berfokus pada kerinduan
untuk pengembangan diri menjadi titik pusat penulis. Sebenarnya, hal ini juga
berhubungan dengan masalah dalam lingkup sosial yang dalam titik pusat penulis
adalah tentang penerimaan. Pertanyaannya disini adalah bagaimana peran umat
Kristen dalam menjawab masalah ini? Metode seperti apakah yang dapat digunakan
untuk penginjilan dalam situasi semacam ini?
Dalam menjawab pertanyaan ini penulis mengambil teladan pelayanan Yesus dan
Paulus. Ketika Yesus melayani di dunia, Ia melakukan banyak tindakan sosial, misalnya
menyembuhkan penyakit (Mat 4:23;9:35;10:1) dan memberi makan orang banyak (Mat
14:14-21;Mrk 6:34-44). Dia juga memperhatikan orang yang ditolak oleh masyarakat,
misalnya orang kusta (Mat 8:1-3; Luk 17:12-14), pemungut cukai dan orang berdosa
(Luk 15:1-2). Ajaran dan tindakan Yesus ini diikuti oleh para rasul. Paulus secara
khusus berusaha membantu orang-orang kudus di Yerusalem yang mengalami
kekurangan (Rom 15:25; 2Kor 8:1-8) dan para janda yang tidak memiliki keluarga
sebagai penyokong kehidupan (1Tim 5:3-10). Yesus tidak memakai cara-cara sekuler
untuk mengubah situasi sosial pada jaman-Nya. Dia memberi teladan tentang apa yang
harus dilakukan manusia terhadap sesamanya.
Metode penginjilan melalui aksi sosial dengan sisi inkulturasi namun juga
korelasional dengan model akomodasi9 seperti ini diharapkan selain dapat menjawab
masalah sosial yang sedang dialami generasi muda di Kampung Jawa Tondano namun
juga lebih dari itu dapat menjadi jalan pembuka bagi pemberitaan keselamatan tanpa
menghilangkan nilai-nilai budaya yang dipertahankan oleh umat di Kampung Jawa
Tondano.
Lalu bagaimana metode seperti ini dapat diaplikasikan berdasarkan situasi yang
telah diperoleh melalui penelitian? Masalah sosial yang diperoleh apabila ditarik
benang merahnya sebenarnya berpusat kepada bagaimana respon/sikap umat Kristen
dalam penerimaan akan kehadiran umat Kampung Jawa Tondano. Dengan adanya
kerinduan akan pengembangan diri yang merupakan masalah lingkup personal
generasi muda ini, umat Kristen dapat membuat sarana/wadah yang selain bersifat

9
Model Akomodasi (Kis. 17:28). Model ini mengedepankan sikap menghargai dan keterbukaan terhadap
kebudayaan asli yang dilakukan dalam sikap, kelakuan, dan pendekatan praktis dalam tugas misionari. Obyek
akomodasi adalah kehidupan budaya yang menyeluruh dari suatu bangsa, baik dari segi fisik, sosial maupun ideal.
Model ini mendorong poses penetrasi dan penerapan Injil yang mengambil alih unsur budaya setempat untuk
mengekspresikan dan meningkatkan sambutan atas Injil. Pada model ini terjadi proses perpaduan nilai hidup
Kristiani dimana Kristus menjadi penyempurna dan pelengkap aspirasi budaya. Dengan demikian akan terdapat
sikap positif terhadap Injil yang didasarkan atas pandangan bahwa anugerah Allah (Injil) tidak menghancurkan
budaya manusia, tetapi justru mlengkapi dan menyempurnakan. Yakoub, Tomatala. Antropologi: Dasar Pendekatan
Pelayanan Lintas Budaya. Jakarta: YT Leadership Foundation, 2007,67-69.
18

terbuka, menerima dan menghargai perbedaan, pun dapat menjadi tempat tumbuh
berkembangnya Sumber Daya Manusia. Contohnya, komunitas-komunitas hobi seperti
komunitas kopi yang saat ini sedang gemar dan diminati oleh generasi muda pada
umumnya, ataupun komunitas membaca, komunitas belajar bahasa, dan sejenisnya
dimana dialog dapat terjadi. Dialog yang dimaksud diharapkan selain dapat menjadi
proses pengembangan diri, namun juga dapat menjadi jalan pembuka bagi Injil dapat
tersampaikan. Tentunya metode seperti ini membutuhkan pendekatan secara khusus,
untuk itu sebelum metode seperti ini dilakukan maka umat Kristen yang bersedia harus
dibekali terlebih dahulu melalui pemuridan agar dapat berakar, bertumbuh dan siap
berbuah pada waktunya. Dengan demikian, umat Kristen dapat memahami bagaimana
respon yang tepat dalam menghadapi perbedaan yang ada, dan bagaimana Injil dapat
disampaikan secara personal tanpa membuat yang bersangkutan merasa tidak
nyaman atau tidak diterima.
Metode seperti ini diharapkan dapat berhasil, mengingat pemahaman akan
kepercayaan dari generasi muda di Kampung Jawa Tondano pada umumnya belum
kuat, masih bingung dan belum yakin secara penuh. Hal ini dibuktikan melalui data
hasil penelitian, dengan demikian hal ini dapat menjadi peluang bagi penginjilan. Akan
tetapi, seperti pernyataan William Abraham bahwa iman dan keselamatan bersifat
personal. Umat Kristen tidak dapat menilai secara pasti bagaimana keberhasilan
penginjilan apabila tidak diikuti secara langsung dan berlanjut, untuk itu diharapkan
komunitas yang dibentuk akan terus memerhatikan tumbuh kembang iman yang telah
dibangun, seperti yang tertulis dalam
1 Timotius 3 : 15 “Jadi jika aku terlambat, sudahlah engkau tahu bagaimana orang
harus hidup sebagai keluarga Allah, yakni jemaat (ekklēsia) dari Allah yang hidup, tiang
penopang dan dasar kebenaran.” Kata jemaat bukan berpusat pada gedung gereja
melainkan pada kumpulan orang percaya yang mau bertumbuh bersama di dalam
Kristus. Penginjilan seperti ini berfokus pada keselamatan, sehingga pendekatan
secara personal yang dilakukan harus tetap dibatasi dengan rasa menghargai dan
menghormati identitas umat di Kampung Jawa Tondano sebagai budaya yang unik dan
tetap dipertahankan.
Pada akhirnya, metode semacam ini tentu memerlukan kerja sama dari berbagai
pihak yang terkait dalam lingkungan sosial sasaran penginjilan. Pemerintah, Gereja,
dan Masyarakat mengambil peran penting dalam pelaksanaan penginjilan melalui aksi
sosial. Lebih dari itu, Roh Kudus harus menjadi motor penggerak dan dasar harapan
demi berjalannya penginjilan yang benar-benar terarah kepada keselamatan. Ketika
19

manusia tidak mengandalkan Roh Kudus dan pekerjaan-Nya, maka aktivitas penginjilan
pastilah tidak akan berhasil. Roh Kudus menggerakan manusia atas panggilannya, Roh
Kudus yang mendorong dan menuntun sasaran penginjilan agar memiliki hati yang
terbuka, serta melalui tuntunan Roh Kudus maka akan terbukalah jalan penginjilan bagi
umat Muslim di Kampung Jawa Tondano.

KESIMPULAN

1. Penginjilan adalah tugas dan tanggung jawab seluruh orang percaya (Amanat
Agung)
2. Kampung Jawa Tondano sebagai minoritas di daerah Minahasa merupakan
Samaria masa kini yang perlu diberi perhatian
3. Metode penginjilan yang sesuai dengan konteks sasaran penginjilan dibutuhkan
demi efektifitas pengenalan Injil
4. Metode penginjilan dengan mendengar dan menjawab masalah sosial dapat
menjadi pintu masuk penginjilan di Kampung Jawa Tondano khususnya bagi
generasi muda
5. Islam dimaknai sebagai identitas umat di Kampung Jawa Tondano sebagai
masyarakat dengan sejarah “buangan” yang kemudian beramalgasi dengan
kultur Minahasa
6. Bagi generasi muda di Kampung Jawa Tondano, hubungan antara masalah
lingkup sosial dengan lingkup pribadi terintegral dalam masalah pengembangan
diri dan penerimaan, dimana umat Kristen juga berperan dalam akar
permasalahannya
7. Metode penginjilan melalui aksi sosial tanpa mengubah tatanan budaya yang
dijaga dapat menjadi jalan pembuka penginjilan di Kampung Jawa Tondano
(proses awal), seperti teladan Yesus dan para rasul.

SARAN

1. Pembinaan Warga Gereja tentang pentingnya penginjilan dan dasar-dasar


penginjilan baik bagi dalam Gereja lebih khusus terhadap dunia luar Gereja.
2. Gereja diharapkan dapat melakukan pendalaman metode penginjilan melalui
pemuridan bagi warga Gereja sejak dini.
3. Warga Gereja wajib peduli terhadap sesama, apalagi terhadap masyarakat
20

minoritas dengan tetap menghormati dan menghargai perbedaan yang ada.


4. Penyediaan wadah umum bagi Generasi Muda dengan berbagai fokus dari
Pemerintah sehingga dapat meningkatkan pengembangan Sumber Daya
Manusia.
5. Pemerintah maupun Gereja dapat memfasilitasi masyarakat untuk sadar akan
pentingnya toleransi, sehingga ada keterbukaan dan rasa diterima dalam lingkup
antar masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, William. A Theology of Evangelism : The Heart of the Matter.


Anggit, Albi , Setiawan. Johan. 2003. Metodologi Penelitian Kualiatif, Sukabumi: Jejak
Babcock, T. G.1981. Religion and cultural identity in Kampung Jawa Tondano,
Sulawesi Utara, Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada Univesity Press
Baker, Abu . 1996. Islam dalam Perspektif Sosiologi Agama. Yogyakarta; Titian Ilahi
Press
Bakker. 1976. Umat Katolik Berdialog dengan Umat Yang Beragama Lain. Yogyakarta :
Kanisius
Bosch, David J. 2018. Transformasi Misi Kristen. Jakarta ; BPK Gunung Mulia
Culven, Jon. 2001. The Ishmael Promises in the Light of God’s Mission: Christian and
Muslim Reflections.
Darmawijaya.1988. Pesan Injil Yohanes,Yogyakarta: Kanisius
Downey, Murray W. 1957. Cara-cara Memenangkan Jiwa. Bandung; Kalam Hidup
Guthrie, Donald. 1995. Teologi Perjanjian Baru.Jakarta: Gunung Mulia
Kembuan, R.A. 2016. Bahagia di Pengasingan: Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat
Buangan di Kampung Jawa Tondano 1830-1908.
Knitter, Paul F. 2019.Satu Bumi Banyak Agama : Dialogi multi-agama dan tanggung
jawab global. Jakarta; BPK Gunung Mulia
Kung, Hans et.al. 1986. Christianity and the World Religious. New York; Doubleday and
Company
Leiden Oriental Manuscrip. 1919. Salasilah Kyai Modjo Tondano, Lor 8652 K. Manado
Matanasi, Petrik. Dari Pengikut Kyai Mojo, Lahirlah Kampung Muslim Jawa Tondano.
diunggah 25 Mei 2018
Newbigin, Lesslie. 1993. Injil dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Anda mungkin juga menyukai