Anda di halaman 1dari 6

PAPER TES TENGAH SEMESTER

TEOLOGI AGAMA-AGAMA
“Analisis Sikap Berteologi Ala Yesus dan Perempuan Siro-Fenisia
Berdasarkan Teks Injil Markus 7:24-30 dan Implikasinya bagi Pluralitas
Agama di Nusa Tenggara Timur ”

Nama : Umbu Nevile Poy

Nim : 20210037

Semester/Kelas : VI/B

Dosen Pengampu : Pdt. Dr. Fredik Y. A. Doeka

A. Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah

GMIT memahami defenisi gereja melalui tiga kata dalam Perjanjian Baru, yakni: ekklesia
(jemaat), oi pisteountes (orang-orang percaya), dan kuriake (milik Tuhan). Kata ekklesia
dipakai untuk menjelaskan gereja sebagai suatu persekutuan yang berjumpa dengan Allah
dan dikuduskan oleh Allah untuk suatu tugas tertentu.1Petrus 2:9 menggambarkan gereja
sebagai suatu komunitas yang dipanggil keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib
untuk memberitakan perbuatan-perbuatan besar dari Allah. Kata ekklesia menunjuk pada
kekhasan gereja, kata oi pisteountes memberi tekanan pada iman sebagai tanggapan manusia,
dan kata kuriake menunjuk pada aspek kepemilikan, yakni gereja sebagai milik Allah. Jadi,
istilah-istilah tersebut menjelaskan hakikat gereja sebagai suatu komunitas yang dikuduskan
Allah (being), untuk mengemban tugas tertentu (doing), yang dilakukan dalam iman sebagai
milik Allah (kuriake). 1

Defenisi di atas senada dengan pemikiran Niftrik dan Boland sebagai teolog. Menurut
mereka, gereja dipahami bukan hanya sebagai sebuah gedung atau tempat mengadakan
ibadah untuk para jemaat yang ada. Gereja juga bukan sekadar sebuah organisasi tertentu,
baik organisasi setempat (dengan para mejelis gereja dan seorang atau lebih pendeta),
maupun suatu organisasi yang meliputi suatu wilayah yang lebih besar (yang di mana kantor
sinodenya dianggap sebagai pusatnya). Tetapi, pada dasarnya substansi gereja ialah suatu
komunitas yang dipanggil keluar dan kemudian dikuduskan Allah untuk mengemban tugas
tertentu yang dilakukan dalam iman sebagai milik Allah.2

Dalam keberadaannya sebagai alat yang dipakai Allah untuk merepresentasikan


kehadiran-Nya di dalam dunia khususnya di Indonesia (NTT), gereja pada masa kini
berhadapan dengan berbagai tantangan dan pergumulan. Salah satu tantangan atau
1
Pokok-Pokok Eklesiologi GMIT (2015), hal. 5.
2
G.C. van Niftrik & B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), hal. 358-
361

1
pergumulan gereja masa kini yang kemudian menjadi fokus dari pembahasan tulisan ini ialah
pluralitas agama. Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh A. Batlajery dalam
karangannya bahwa gereja beraliran Calvinis dan juga gereja-gereja lainnya di Indonesia saat
ini, sedang dan mungkin akan terus menghadapi pluralitas di mana dominasi agama tertentu
seolah dibenarkan oleh negara.3

Pada dasarnya, pluralitas agama merupakan anugerah dari Tuhan. Tidak dapat disangkali
bahwa pluralisme (termasuk agama) merupakan sebuah keniscayaan.4 Namun, tak dapat
dihindari bahwa pada saat yang sama pluralisme agama bisa menjadi sebuah problem yang
serius apabila ada klaim kebenaran dan sumber keselamatan yang diusung oleh masing-
masing agama secara dogmatis. Itulah yang nampak dan yang terjadi masa kini. Oleh karena
itu, tantangan plulariltas agama yang dihadapi oleh gereja bukanlah suatu hal yang mudah
melainkan suatu hal yang perlu diberi perhatian yang serius. Akibat perbedaan keyakinan
yang didukung oleh sikap eksklusifisme5 membuat pluralitas yang ada menghasilkan suatu
hal yang negatif dan bukan positif. Beberapa di antaranya ialah intoleransi, tidak
mempedulikan orang lain yang berbeda keyakinan atau individualisme, pemaknaan terhadap
mayoritas dan juga minoritas dan sebagainya. Tidak jarang gereja menjadi korban dari sikap
eksklusifisme dan inklusifisme penganut keyakinan tertentu. Dalam wilayah di mana gereja
dianggap sebagai minoritas atau baru bertumbuh, gereja mengalami dan merasakan
ketidakadilan, hak dirampas dan berbagai hal miris lainnya.

Kendati pun demikian, mesti diakui secara jujur bahwa gereja dalam keberadaanya, di
satu sisi juga pernah menjadi pelaku dari sikap eksklusifisme ketika berhadapan dengan
agama-agama lain. Sejarah dalam misi gereja mengatakan demikian. Tepatnya dalam abad
pertengahan, gereja mengeluarkan semboyan extra ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak
ada keselamatan).6 Semboyan ini kemudian masih terus dipelihara sampai masa kini oleh
beberapa gereja dan denominasi-denominasi gereja tertentu. Gereja tidak ragu-ragu untuk
menunjukkan keekslusifan ketika ia menjadi kelompok yang mayoritas di suatu wilayah
tertentu, misalnya saja di NTT.

Sikap gereja yang eksklusif terhadap agama lain nampak dari berbagai hal, misalnya
penggalan khotbah yang menekankan bahwa di luar gereja tidak ada keselamatan, yang
3
Agustinus M. L. Batlajery, Penghormatan Terhadap James Haire: Tantangan Gereja Calvinis di Indonesia,
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), hal. 144.
4
Elza Peldi Taher, Merayakan Kebebasan Beragama, (Jakarta: Democracy Project; Yayasan Abad Demokrasi,
2011), hal. 77.
5
Eksklusifisme memahami bahwa hanya agama yang dipeluknyalah yang paling benar dan menjadi satusatunya
sumber keselamatan. Eksklusifisme tidak menerima adanya kebenaran dalam ajaran agama yang lain.
Pemahaman agama berdasarkan eksklusifisme ekstrim memungkinkan pemeluk agama tertentu melihat pemeluk
agama lain sebagai “liyan yang tersesat.” Para eksklusifis ekstrim tidak sungkan untuk mengajak para liyan
untuk “berjalan” pada kebenaran yang mereka yakini, bahkan jika perlu menggunakan cara-cara tertentu agar
tersadar. Eksklusifis cenderung menutup kesempatan bagi sumber-sumber yang memungkinkan memberikan
pemahaman bahwa keberagaman adalah hal yang niscaya. Satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran dan
kebaikan bersama adalah dengan cara memeluk satu agama yang sama. Eksklusifisme juga sering disebut
dengan istilah konservatisme. (D. Saraswati, “Pluralitas Agama Menurut Karen Amstrong,” Jurnal Filsafat,
Vol. 23, No. 3 (Desember) 2013, hal. 189).
6
David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Berubah dan Mengubah (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1991), hal. 588.

2
kemudian diaplikasikan dalam sikap hidup yang intoleran. Acap kali kelompok menemukan
hal yang demikian. Akibat keeksklusifan gereja, ia tidak lagi menghargai keyakinan agama-
agama di luarnya, menganggap diri paling benar dan suci sehingga tidak mau bergaul dengan
orang lain. Gereja mengambil sikap untuk menutup diri terhadap mereka yang masih
beragama suku sebab bukan sesama warga gereja dan mereka dianggap sebagai orang
berdosa.

1.2. Rumusan Masalah

Inilah wajah gereja masa kini yang masih menerapkan budaya keeksklusifannya dalam
dan melalui bingkai sejarah. Hal-hal seperti ini, perlu diberi perhatian, agar gereja dapat
mengedukasi jemaat tentang bagaimana cara hidup beragama dengan agama lain dalam
konteks Indonesia khususnya di NTT. Maka, berdasarkan latar belakang masalah di atas,
penulis hendak menganalisi dan melihat :

1. Bagaimana sikap berteologi yang ditampilkan oleh Yesus dan Perempuan Siro-Fenisia
berdasarkan teks Injil Markus 7:24-30?
2. Bagaimanakah Implikasinya bagi gereja dan keberadaannya di tengah-tengah kondisi
pluralitas agama di Indonesia khususnya di NTT?

1.3. Metodologi

Metode yang digunakan dalam proses analisis teks Injil Markus 7:30-24 ialah penelitian
pustaka (library research). Berbagai sumber buku dan literatur dimanfaatkan sebaik mungkin
untuk memperoleh informasi dan pengetahuan demi pemenuhan atas rumusan masalah.
Prosesnya dilakukan secara bertahap, yakni membaca, menelaah, dan menganalisis.7

B. Analisis dan Pembahasan


1.4. Sikap Berteologi Ala Yesus dan Perempuan Siro-Fenisia

Berdasarkan kisah Injil Markus 7:24-30, Yesus melakukan perjalanannya ke salah satu
daerah kafir. Daerah ini bernama Tirus. Tirus adalah daerah yang berbatasan langsung
dengan Galilea. Injil Markus menunjukkan sikap inklusif dan penuh belas kasihan dari Yesus
melalui kehadiran-Nya di tanah orang kafir.8

Pada saat itu, tampilah seorang perempuan Siro-Fenisia. Melalui informasi yang dia
peroleh mengenai Yesus, maka ia berjumpa dan tersungkur di depan kaki Yesus seraya
memohon agar Yesus menyembuhkan anaknya. Siro-Fenisia terletak di antara daerah Tirus
dan Sidon di Roma. Ia berlatar belakang Yunani atau seorang Kanaan. Bagi budaya orang
Yahudi, ia adalah seorang kafir atau non Yahudi. Sering dianggap orang asing. Bahkan
menurut tradisi, mereka berada di luar perjanjian Allah YAHWEH.9

7
Sutrisno Hadi, Metodologi Research (Yogyakarta: ANDI, 2022), hal. 9.
8
Yuni Feni Labobar, “GEREJA DIBALIK DINDING: Kajian Markus 7:24-30 dan Implikasinya bagi
Pendidikan Multikultural di Indonesia’ : Tumou Tou 6, no. 1 (2018 ): 62 .
9
Ibid. hal. 62.

3
Pada ayat 27, Yesus mengungkapkan kalimat yang begitu kasar. Ungkapan penuh nada
penolakan di motivasi oleh kebudayaan, tradisi, dan perjanjian. Frasa “anak-anak” merujuk
kepada orang Yahudi, sedangkan kata “anjing” ditujukan bagi orang non-Yahudi. Pemahman
orang Yahudi adalah bahwa berkat dari Allah hanya diberikan kepada mereka saja. 10

Sekalipun perempuan ini menyadari bahwa mereka dianggap rendah, warga kelas nomor
dua yang terhina. Namun, ia tetap merendahkan dirinya dan menginterupsi pernyataan Yesus
pada ayat 28. Ia mengklaim keberlimpahan berkat dan kasih Allah bagi semua orang melalui
frasa “remah-remah” yang dijatuhkan “anak-anak”. Dalam keberadaan dirinya sebagai yang
kafir dan penyembah berhala, ia mendapatkan kesembuhan bagi anaknya. Oleh karena
kerendahan hati dan pemahaman yang benar, membuat ia mengalami juga kasih Allah dalam
kehidupannya. 11

Sikap Yesus tidak serta merta di tafsirkan dalam konotasi yang negatif. Cara yang Yesus
pakai dalam berteologi ialah dengan menguji iman mereka dan membuatnya terus
berkembang. 12 bagi saya, Yesus mau terbuka dan belajar dari orang lain yang bahkan tidak
percaya kepada-Nya. Yesus membangun dialog untuk meresapi teologi dan pikiran orang
kafir tentang Allah. Justru mengherankan, karena jawaban yang Yesus dapatkan
mengandung pemahaman iman yang benar akan kasih dan anuegarh Allah yang universal.

1.5. Implikasinya

Berdasarkan analisa sederhana di atas maka, gereja dalam keberadaannya di tengah


pluralitas agama harus mengembangkan model gereja yang berdialog. Model ini menjadi
suatu hal yang penting untuk diakutalisasikan pada masa kini di tengah pluralitas agama yang
ada di sekitarnya. Untuk tugas itu, gereja perlu memprakarsai atau mengambil inisiatif
terlebih dahulu agar terjadinya dialog dengan umat beragama lain. Dialog dimaksudkan
untuk memperkaya pemahaman akan kebenaran dengan mendengarkan bagaimana orang lain
memahaminya (passing over). Di samping itu, gereja sebagai daya dorong dialog bukan
hanya karena tuntutan pluralitas agama yang ada, tetapi sebagai bentuk nyata dari prinsip
hidup imitatio Christi. Yesus juga terlibat dalam dialog yang tidak habis-habisnya.

Paul Knitter menekankan betapa pentingnya keterbukaan dalam sebuah dialog. Alasan
mengapa dialog antar-umat beragama begitu penting dan menjanjikan adalah kenyataan
adanya satu Roh yang hidup dan aktif, sebelum dan sesudah Kristus (Yoh. 3:8). Dialog
merupakan satu metode dan cara untuk saling berbagi pengetahuan iman dan meningkatkan
pengayaan. Dalam bingkai sejarah gereja perlu dipahami sebagai gereja yang dialogis. 13

H. Schumann dalam sebuah karangannya mengatakan bahwa pengertian “dialog” lebih


tepat jika dikaitkan dengan istilah “persekutuan.” Dialog lebih baik digambarkan, dialami
dan dikembangkan sebagai cara hidup. Dialog dapat dianggap sebagai suatu bagian pokok
10
Ibid. hal. 63.
11
Ibid. hal. 64.
12
Matthew Henry, Injil Markus (Surabaya:Momentum, 2015), hal. 153.
13
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2008), hal. 96-98.

4
dari pengabdian orang Kristen di dalam persekutan. Di dalam dialog, kita secara aktif
memenuhi hukum “mengasihi Tuhan dan sesama kita seperti diri kita sendiri.” Sebagai
pernyataan kasih, dialog yang kita lakukan membuktikan kasih yang kita alami di dalam
Kristus. Ini merupakan ketegasan yang dipenuhi sukacita dalam dinamika kehidupan
melawan kekacauan, dan sebagai partisispasi kita bersama-sama seluruh ciptaan yang hidup
dalam rangka mencapai tujuan sementara persekutuan manusia yang lebih baik. Jadi, “dialog
dalam persekutuan” bukan senjata rahasia dalam militansi Kristen yang agresif. Dialog
diterima sebagai cara untuk mengisi iman kepada Kristus dengan cara melayani persekutuan
dengan sesama.14

C. Kesimpulan

Sikap berteologi ala Yesus dan perempuan Siro-Fenisia sangatlah inklusif. Yesus mau
terbuka dan memberi ruang berdialog. Yesus menembus batas-batas budaya dan menemukan
makna cinta kasih Allah yang universal melalui perempuan Siro-Fenisia. Mendengar dan
menguji iman mereka adalah cara Yesus untuk mengembangkan teologi mereka.

Gereja merupakan alat yang dipakai oleh Allah untuk melaksanakan panggilannya di
dalam dunia. Dalam pada itu, gereja dalam keberadaannya di tengah-tengah pluralitas agama,
mesti mengupayakan sikap moderasi beragama untuk keberlangsungan hidup di dunia dan
untuk menyatakan iman dan tugas panggilannya. Sikap moderasi beragama ini
diaktualisasikan gereja dengan sikap inklusif, keterbukaan, dan kerendahan hati unuk
berdialog dengan agama lain.

Dialog yang dilaksanakan dengan umat beragama lain tidak menandakan penurunan
tingkat keimanan gereja, melainkan memperkaya pemahaman akan kebenaran atau iman
kepada Kristus dengan mendengarkan bagaimana orang lain memahaminya. Ketika gereja
berdialog dengan penganut keyakinan yang lain, maka pada saat yang sama gereja sedang
mewujudkan moderasi beragama dan mewujdukan hakikatnya sebagai imitatio Christi.

Daftar Bacaan:

Batlajery, M. L. Agustinus. 2017. Penghormatan Terhadap James Haire: Tantangan Gereja


Calvinis di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Bosch, David J. 1991. Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Berubah dan
Mengubah. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Hadi, Sutrisno. 2022. Metodologi Research. Yogyakarta: ANDI.

14
Olaf. H. Schumann, Dialog Antarumat Beragama: Membuka Babak Baru dalam Hubungan Antarumat
Beragama, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2021), hal. 80.

5
Henry, Matthew 2015. Injil Markus. Surabaya:Momentum.

Knitter, Paul F. 2008. Pengantar Teologi Agama-Agama . Yogyakarta: Kanisius.

Labobar, Yuni Feni. 2018. GEREJA DIBALIK DINDING: Kajian Markus 7:24-30 dan
Implikasinya bagi Pendidikan Multikultural di Indonesia. Tumou Tou. 6 (1).

Niftrik, G. C. van & B.J. Boland. 2017. Dogmatika Masa Kini. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Pokok-Pokok Eklesiologi GMIT. 2015.

Saraswati, D.2013. Pluralitas Agama Menurut Karen Amstrong. Jurnal Filsafat. 23 (3).

Schumann, Olaf. H. 2021. Dialog Antarumat Beragama: Membuka Babak Baru dalam
Hubungan Antarumat Beragama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Taher, Elza Peldi. 2011. Merayakan Kebebasan Beragama. Jakarta: Democracy Project;
Yayasan Abad Demokrasi.

Anda mungkin juga menyukai