Anda di halaman 1dari 8

TEOLOGI KONTEKSTUAL

“Keesahan Dan Kemandirian”

DISUSUN OLEH
KELOMPOK 6:
Marcela Sampel (202041109)
Christiadi Tuuk (202041121)
Neogenia Repi (202041134)

DOSEN PENGAMPUH:
PDT. Dr. DENNY NAJOAN, S. Th, M.Si

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON

2023
BAB 1

LAPORAN BACAAN

Dalam materi kelompok kami yaitu “Keesahan dan kemandirian” ini menjelaskan
mengenai identitas gereja dalam zaman oikumenis dimana dalam perkembangannya Keesaan dan
Kemandirian ini dianggap sebagai segi dari hakikat gereja itu yang kepentingannya sama. Dan
dimana kemandirian disini yang merupakan titik tolak penting dalam gerakan oikumenis
tersebut. Dalam perkembangan gerakan oikumenis tersebut dimana maksud yang terkandung
dalam perkembangan gerakan oikumenis ini yaitu diharapkan dari gereja ada suatu kesadaran
baru tentang arti tradisinya sendiri tentang kepribadiannya yang khusus, tentang kesaksian dan
tanggung jawab terhadap daerah sekitarnya. Walaupun dalam perkembanganya itu sendiri di
sekitar abad ke-20 itu banyak muncul tantangan-tantagan serta pertanyaan-pertanyaan mengenai
arti dan fungsi gereja itu sendiri.

Kemudian Pembahasan mengenai Keesaan dan Kemandirian ini tidak bisa dibahas
sebagai soal yg umum, terlepas dari pada konteks-konteks tertentu. Namun Sebaliknya hubungan
antara keesaan dan kemandirian ini mengambil bentuk-bentuk yang berbeda-beda dengan
bergantung dari sejarah kekristenan yang berlaku pada salah satu tempat dan pendekatan
misiologis yang memainkan peranan dalam sejarah itu. Dan dalam sejarah perkembangan yang
terjadi di Asia dimana perkembangan Oikumenis itu banyak mendapat tantangan serta dilema
yang dalam hal itu diringkaskan dalam istilah keesaan dan kemandirian. Dalam hal ini
Kekristenan di Asia dalam penerapannya mereka belum memiliki "Kemandirian" Oleh sebab itu
karna tidak adanya kemandirian maka "Keesaan" Itu belum ada dan itulah yang menjadi
tantangan mereka. Istilah-istilah seperti "contextual" dan "conciliar" mencer- minkan usaha
merumuskan soal keesaan dan kemandirian dengan cara yang benar-benar ekklesiologis: istilah-
istilah tsb. menunjuk kepada segi-segi hakiki dalam kehidupan gerejawi.

Melihat mengenai Identitas Gereja dalam zaman Oikumenis itu sendiri serta bentuk-
bentuk yang dicari dan dikembangkan oleh gereja-gereja, dimana maksudnya disini Adalah
menjelaskan bahwa persoalan Keesaan dan Kemandiri ini mengarah pada asas-asas teologis dan
misiologis serta berbagai sejarah pekabaran injil tersebut. Dan contoh keesaan dan kemandirian
di indonesia disini diambil yaitu sejarah gereja maluku dimana latar belakang mengapa
mengambil sejarah gereja maluku karna sifat-sifat khusus kekristenan indonesia bisa dijelaskan
dalam sejarah itu. Keesaan benar berdasarkan kemandirian dalam arti pertemuan terbuka dengan
ekspresi-ekspresi agama-budaya yang terdapat dalam situasi tertentu serta dengan persoalan-
persoalan sosial-politis yang ada; dalam arti keberanian untuk memperlihatkan titik-titik
perselisihan dalam masyarakat dan memperdengarkan kerinduan dan kekacauan dalam hati
manusia; dan dalam arti kesediaan untuk membagi pengalaman yang timbul dari keterlibatan
kontekstual dengan saudara-saudara seiman di tempat-tempat lain. Kemandirian seperti itu
memperkuat keesaan dan sebaliknya juga diperkuat oleh keesaan dalam arti jaringan saling
merangsang dan mendukung. Berlainan daripada pendapat umum maka keesaan seperti itu tidak
melemahkan atau mengurangi ikatan kontekstual, tetapi sebaliknya memperdalam ikatan itu.
Keesaan yang menjaga satu asal-mula dan satu pengharapan, dan yang dengan demikian
merupakan kesaksian terhadap dunia, menyatakan diri dalam persekutuan konsilier yang dibekali
oleh kesaksian setempat; dan kemandirian yang merupakan syarat untuk keesaan itu akan
dibekali oleh kebijaksanaan tentang manusia dan dunia yang dibagikan dalam persekutuan
konsilier.

Tekanan utama dalam dualitas keesahan dan kemandirian itu terletak pada kemandirian,
dimana kemandirian itu merujuk pada kehidupan gereja setempat sedangkan keesahan itu lebih
luas yang meliputi persatuan beberapa gereja setempat. Dan pada dasarnya hanya ada dua tingkat
kehidupan yang mempuyai arti serta prinsip yaitu tingkat setempat dan tingkat dunia. Adanya
ketegangan dalam keesahan dan kemandirian gereja setempat yaitu ketegangan yang bersifat
prinsipal yang seolah-olah diulangi dalam kehidupan gereja setempat. Selanjutnya identitas
gereja dalam zaman oikumenis ini menjadi lebih jelas dengan adanya pengaruh dari pengalaman
pribadi serta pengaruh dari bentuk-bentuk iman dan persekutuan yang lebih luas. Dalam
keesaannya gereja-gereja disini seringkali diajak untuk membentuk semacam kuasa keesaan
yang memainkan peranan tertentu dalam kehidupan social-politis yang dalam hal ini
berhubungan dengan keesaan negara. Namun ditinjau dari sudut identitas gereja dalam hal ini
identitas gereja “dalam zaman oikimenis” dimana jalan itu juga membawah resiko. Kepentingan
gereja dan negara tidak mungkin disesuaikan dalam arti itu. Sebab keesaan menunjuk pada
sesuatu yang lebih jauh dan lebih luas yaitu kerajaan Allah. Dan kemandirian adalah cara yang
nyata untuk menghidupkan keesaan itu.
BAB 2

KAJIAN ATAU ANALISIA BUKU

Menurut analisa kelompok keesaan dan kemandirian Perkembangan gerakan oikumenis


pada abad sekarang ini telah menimbulkan banyak pertanyaan baru mengenai arti dan fungsi
gereja. Tantangan-tantangan yang dihubungkan dengan perkembangan tersebut. Tidak bisa
diselaraskan dengan mudah. Pada satu pihak yang diharapkan dari gereja-gereja adalah suatu
kesadaran baru tentang arti tradisinya sendiri, tentang kepribadiannya yang khusus, tentang
kesaksian dan tanggung-jawab terhadap daerah sekitarnya. Pada pihak lain ditekankanlah
tanggung-jawab bersama, kepentingan bentuk-bentuk kehidupan gerejawi yang meng- gantikan
bentuk-bentuk keterpisahan, dan keharusan “satu suara” kekristenan terhadap dunia. Keduanya,
kepelbagian dan kesatuan, kemandirian dan keesaan, dianggap sebagai segi dari hakikat gereja
yang kepen- tingannya sama; dan keduanya sekaligus disoroti secara baru sebagai akibat
perkembangan oikumenis. Pluralitas dan kontekstualitas gereja-gereja tidaklah hanya dalam arti
tradisi pengakuan, melainkan juga dalam hal ini arti sejarah sosial-kebudayaan makin lama
makin lebih dianggap sebagai sesuatu yang berharga; dan istilah “konsilier” kita garisbawahi
bahwa soal keesaan bukanlah soal organisasi belaka, namun hal ini berkaitan soal sikap
keterbukaan dan perdamaian pada semua taraf kehidupan gereja. Istilah-istilah seperti
“contextual” dan “conciliar” mencerminkan usaha merumuskan soal keesaan dan kemandirian
dengan cara yang benar-benar ekklesiologis: istilah-istilah tsb. Menunjuk kepada segi-segi hakiki
dalam kehidupan gerejawi. Sekaligus istilah itu menolong untuk menempatkan soal identitas
gereja dalam rangka keesaan kemanusiaan: “persekutuan kon- silier” adalah tanda persekutuan
seluruh umat manusia yang di- harapkan, dan “kontekstualitas” menunjuk kepada pergumulan
persekutuan setempat, di mana hambatan-hambatan pengharapan itu ditemui dan diperangi
secara konkret. Memang: gerakan oikumenis sedang menjadikan orang-orang Kristen sadar akan
hubungan erat antara persekutuan sedunia-yang mencerminkan persoalan-persoalan masyarakat
sedunia, tetapi yang sekaligus menjaga janji Allah tentang kerajaanNya yang akan sampai
kepada “ujung bumi” dan persekutuan setempat di mana konfrontasi antara persoalan-persoalan
dunia dan janji Allah mengambil bentuk kontekstual. Melalui jalan pemikiran ini soal keesaan
dan kemandirian mulai ditinjau sebagai soal yang melampaui batas-batas “tata- gereja
oikumenis”. Soalnya bukanlah bagaimana mengatur hubungan antar-gereja secara institusional
atau bagaimana membagikan tanggung-jawab serta kewibawaan antara gereja-gereja dan dewan-
dewan oikumenis.
Dalam Agama Kristen di Indonesia bagian timur ternyata tidak memberi sumbangan
kepada pembentukan keseluruhan agama-budaya yang lebih luas daripada suku-suku tertentu.
Sebaliknya, kedatangannya agama Kristen memperkuat identitas suku tanpa
mengintegrasikannya dalam keseluruhan yang lebih besar. Kesulitan ini terasa baik dalam bidang
politik maupun dalam bidang agama. Negeri Indonesia terdiri dari banyak potongan yang tidak
bisa dipersatukan dengan mudah. Persatuan politik yang dilaksanakan sesudah kemerdekaan
tidak berdasarkan bentuk-bentuk keesaan dalam bidang kebudayaan dan agama, seperti misalnya
di India. Oleh karena itu mau tidak mau warisan penjajahan masih kuat, baik dalam bidang
politik maupun dalam bidang agama. Keesaan (politis atau gerejawi) hanya bisa digambarkan
sebagai semacam struktur suku secara besar-besaran, dengan sifat-sifat paternalis tis. Selama
gereja-gereja di Indonesia terikat kepada suasana ini, maka “identitas gereja dalam zaman
oikumenis” tidak bisa diperdalam. Keesaan benar berdasarkan kemandirian dalam arti per-
temuan terbuka dengan ekspresi-ekspresi agama-budaya yang terdapat dalam situasi tertentu
serta dengan persoalan-persoalan sosial-politis yang ada; dalam arti keberanian untuk
memperlihatkan titik-titik perselisihan dalam masyarakat dan memperdengarkan kerinduan dan
kekacauan dalam hati manusia; dan dalam arti kesediaan untuk membagi pengalaman yang
timbul dari keterlibatan kontekstual dengan saudara-saudara seiman di tempat-tempat lain.
Kemandirian seperti itu memperkuat keesaan dan sebaliknya juga diperkuat oleh keesaan dalam
arti jaringan saling merangsang dan mendukung. Berlainan daripada pendapat umum maka
keesaan seperti itu tidak melemahkan atau mengu- rangi ikatan kontekstual, tetapi sebaliknya
memperdalam ikatan itu. Keesaan yang menjaga satu asal-mula dan satu pengharapan. Dan yang
dengan demikian merupakan kesaksian terhadap dunia, menyatakan diri dalam persekutuan
konsilier yang dibekali oleh kesaksian setempat; dan kemandirian yang merupakan syarat untuk
keesaan itu akan dibekali oleh kebijaksanaan tentang manusia dan dunia yang dibagikan dalam
persekutuan konsilier. Maksud dari semua hal itu adalah menjelaskan, bahwa persoalan “keesaan
dan kemandirian” membawa kita kepada asas-asas teologis dan misiologis dan kepada seluk-
beluk sejarah pekabaran Injil. Gerakan oikumenis betul-betul mengaki- batkan keharusan untuk
meninjau kembali pandangan-pandang- an teologis yang tradisional: pengertian tentang gereja
disoroti secara baru oleh perkembangan gereja sedunia. Dalam dualitas “keesaan dan
kemandirian” tekanan utama terletak pada “keman- dirian”. Kemandirian menunjuk pada
kehidupan gereja setempat, di mana persekutuan, pergumulan dan kesaksian mengambil ben- tuk
“daging darah”. Bentuk-bentuk keesaan yang lebih luas, yang meliputi dan mempersatukan
beberapa gereja setempat, hanya mempunyai arti kalau dihidupkan dan dibekali oleh “kon-
tekstualitas” itu. Kesaksian tentang kerajaan Allah bukanlah se suatu yang abstrak, yang lepas
dari tempat-tempat konkret; se baliknya, kesaksian itu hanya wajar kalau dijelmakan melalui
situasi-situasi pertemuan dan pergumulan antara manusia dan tradisi-tradisi serta tantangan-
tantangan masa kini. Yang mahapenting dalam hubungan gereja-negara ialah pengertian, bahwa
baik gereja maupun negara hidup dalam rangka-rangka yang lebih luas. Hubungan gereja-negara
tidak bisa dimengerti atau dipergunakan secara positif kalau rangka luas itu – keesaan
kemanusiaan tidak dipakai sebagai titik- tolak. Negara dan masyarakat terikat kepada masyarakat
sedunia di mana kuasa ekonomis dan ideologis memainkan peranan yang menentukan dan yang
mempengaruhi kehidupan manusia sampai kepada tempat-tempat yang paling kecil. Dan gereja
terikat kepada gereja sedunia: persekutuan konsilier, di mana soal-soal masyarakat sedunia
diintaikan dalam terang Injil,dan di mana kesadaran tentang penderitaan manusia diperdalam
dalam terang janji Kerajaan Allah. Hanya melalui keseluruhan itu gereja bisa mengatur
hubungannya dengan negara dengan baik; hanya dengan demikian gereja bisa mengimbangkan
dukungan dan kritik terhadap masyarakat dan negara, hanya dengan demi- kian ketegangan
antara keesaan dan kemandirian bisa menjadi kesaksian yang berarti.
BAB 3

REFLEKSI TEOLOGIS

Landasan Alkitab Dalam Perjanjian Lama (Kejadian 12 : 1-3; 15:13-21)

Panggilan penatalayanan Israel sebagai umat Allah adalah perwujudan pelaksaan


penatalayanan pekerjaan Allah oleh umat Allah sebagai suatu kelompok (bangsa). Panggilan ini
diberikan Allah kepada Israel yang merupakan anugrah kedaulatan Allah untuk menggenapkan
janji penyelamatan-Nya kepada Abraham untuk melaksanakan mandat pelayanan yang diberikan
Allah. Dengan melaksanakan tugas tersebut, Allah telah berjanji untuk memberkati Israel.

Allah memberikan tanggung jawab selaku penatalayan kepada manusia memiliki dua
pengertian yakni: pertama, tanggung jawab ini harus dilaksanakan dengan menaklukan diri
kepada Allah. Dalam melaksanakan tanggung jawab yang diberikan oleh Allah, penaklukan diri
kepada Allah menjadi penting. Hal ini dimaksudkan agar manusia hanya melakukan kehendak
Allah yang menjadi pegangan hidupnya sehingga tanggung jawab yang diemban tidak keluar
dari maksud Allah. Kedua, tanggung jawab yang Allah berikan kepada manusia bukanlah
sebagai pemilik melainkan penatalayan, yang mengelolah, mengatur dan memberdayakan segala
milik Allah yang dipercayakan kepadanya.

Jadi Gereja mempunyai tanggung jawab untuk penatalayanan melalui warga jemaatnya
untuk mengepalai, mengatur dan mengelolah seluruh sumber daya maupun potensi yang
diberikan oleh Allah serta mengerjakan tugas pelayanan Kristus yang dimandatkan kedapa kita.

Dalam era perkembangan kekristenan dan penginjilan disini Gereja diutus untuk berkarya
di tengah dunia, untuk mendemonstrasikan shalom atau damai sejahtera Allah. Kehadiran gereja-
gereja dalam gerakan oikumenis di tengah dunia ini mengakibatkan gereja-gereja untuk tidak
bersikap statis, melainkan dinamis sehingga gereja dituntut untuk jeli untuk melihat konteks
gereja berada. Hal ini berimplikasi pada bentuk dan pendekatan pelaksanaan misi-misi gereja
dalam perkembangannya. Dalam Perjanjian Lama bahasa Ibrani, kata gereja disebut dengan
qahal yang berarti persekutuan dalam peristiwa religius. Gereja dituntut untuk bersikap mandiri
agar gereja bisa menyatakan keesahannya. Kemandirian dalam gereja itu menjadi sesuatu hal
yang penting agar Penatalayanan gereja itu berjalan dengan baik tidak hanya berhubungan
dengan tanggung jawab mengatur atau menggunakan potensi dan sumber daya, melainkan
berkenaan juga dengan tanggung jawabnya yang ada.

Landasan Alkitab Dalam Perjanjian Baru (Yohanes 13: 12-17)

Pesan Tuhan Yesus, agar apa yang telah dilakukan-Nya dilanjutkan oleh para pengikut-
Nya. Jadi itulah sebabnya gereja juga terpanggil untuk ikut serta membangun bangsa, negara dan
masyarakat, di mana gereja itu ditempatkan Tuhan. Keterlibatan dalam pembangunan benar-
benar dinampakkan, kepedulian terhadap masalah kemiskinan dan kesejahteraan di tampilkan,
karena memang begitu seharusnya kehidupan gereja dan orang-orang Kristen yang menjadi
anggotanya.

Gereja Kristen bukan lembaga eksklusif atau isolatif, yang menutup diri dan tidak


berhubungan dengan pihak-pihak lain, sebaliknya, bahwa gereha Kristen itu inklusif dan
partisipatof, terhisap dan terlibat dalam menanggulangi problem-problem social kemasyarakatan
bekerja sam dengan pihak-pihak lain, baik pemerintah, maupun kelompok-kelompok masyarakat
yang lain.

Dengan memperhatikan prinsip hidup dan hakekat gereja Kristen, maka gereja Kristen
adalah mitra pemerintah dan mitra kelompok-kelompok masyarakat dalam kaitan dengan hal-hal
yang konstruktif.  Selanjutnya, secara khusus dan sempit hendak difokuskan perhatian kita
kepada lingkungan gerejawi dan Kristiani dari gereja Kristen itu sendiri. Maksudnya siapa dan
bagaimana gereja itu dan siapa dan bagaimana kelompok Kristen itu. Hal ini penting, mengingat
ada begitu banyak denominasi (aliran) gereja, padahal semuanya menyatakan diri sebagai
kelompok Kristen.
DAFTAR PUSTAKA

Buku : Konteks Berteologi Di Indonesia. Hal 325-339

Anda mungkin juga menyukai