Anda di halaman 1dari 33

GEREJA YANG CAIR

PETER WARD

PENGANTAR
Gereja Tuhan tidak harus berdiri diam. Menurut Philip Hefner “gereja
tidak pernah statis dan tidak dapat membuat bentuk yang permanen
adalah yang terbukti efektif dalam jangka waktu tertentu.” Gereja terus
membutuhkan pembaruan. Perubahan adalah sifat dasar gereja
meskipun tidak semua perubahan itu benar atau baik adanya. Gereja
yang cair berpendapat bahwa perubahan dalam budaya yang lebih luas
mempengaruhi kehidupan komunal dan kesaksian gereja. Kita butuh
reformasi untuk memperbarui dan menyegarkan gereja kita jika ingin
gereja untuk terus setia pada tujuan dan Tuhannya.

PERINGATAN KESEHATAN
Pada permulaan ini saya ingin memberikan peringatan kesehatan:
gereja yang cair belum ada. Ini artinya apa yang saya ungkapkan disini
adalah usaha untuk membayangkan, daripada menjelaskan cara yang
berbeda menjadi sebuah gereja. Jadi inti buku ini adalah imajinasi
teologi.

APAKAH GEREJA YANG CAIR ITU?


Kita harus melihat gereja sebagai satu seri hubungan dan komunikasi,
bukan sebuah kongregasi. Jadi, gerakan pertama dalam membayangkan
sebuah gereja yang cair adalah membuat persekutuan informal, dimana
Kristus hadir saat kita berbagi dengan sesama orang Kristen dan
berkata inilah gereja. Implikasi dari hal ini cukup dalam. Pertama,
gereja adalah sesuatu yang ingin kita buat dengan cara
mengkomunikasikan Kristus, jadi ini bukan sebuah institusi. Kedua,
gereja terjadi saat orang-orang termotivasi untuk berkomunikasi satu
sama lain (bersandar pada spiritual aktivitas bukan pada gedung atau
susunan organisasi). Ketiga, gereja yang cair tidak memerlukan
pertemuan kongregasi mingguan. Kebaktian dan pertemuan akan
membutuhkan tempat, tetapi akan dipusatkan dan dijalankan dalam
cara tertentu untuk menghubungkan rasa lapar spiritualitas yang
bertumbuh dalam masyarakat.
Deskripsi ini akan menimbulkan pertanyaan dalam organisasi
sosial. Akan seperti apakah gereja yang cair itu? Argumennya disini
adalah komunikasi dengan Kristus melalui persekutuan informal yang
menciptakan keterhubungan, kelompok, dan jalinan. Ini dapat dilihat
seperti jaringan dimana Roh Kudus bekerja menciptakan gereja.
Langkah selanjutnya adalah seperti apakah tempat yang produktif
dan proses kreatif yang beragam yang mencirikan budaya Kristen yang
kontemporer. Disini artinya festival, musik kebaktian, penginjilan.
Gereja yang cair akan menjawab masalah ini dengan berkata bahwa
saat individu, organisasi, maupun kelompok melakukan aktivitas
mereka maka mereka menjadi atau melakukan gereja. Gereja yang cair
penting karena pola gereja yang ada gagal untuk menghubungkan
antara minat spiritual dan rasa lapar yang kita lihat di Inggris dan AS.
MENJELASKAN GEREJA SECARA SOSIOLOGIS DAN
TEOLOGIS
Deskripsi gereja adalah hal yang problematis. Paul Tillich
membedakan gereja secara “sosiologis” dan “teologis.” Kedua aspek
ini akan digunakan untuk pendekatan gereja yang baru dan cair. Aspek
sosiologi berkaitan dengan perubahan ekonomi dan pengalaman sosial
dalam modernitas. Sedangkan eksplorasi teologis dalam gereja yang
cair akan berkenaan dengan “di dalam Kristus.”

APAKAH GEREJA ITU


Jika gereja dapat dideskripsikan dalam istilah teologis dan sosiologis,
maka ini adalah tantangan untuk mengetahui darimana awal diskusi ini.
Adalah hal yang sulit untuk menggunakan dua jenis analisa ini secara
bersamaan karena pada prakteknya mereka hadir bersamaan dalam satu
campuran yang kreatif. Teologi gereja sudah dibangun sejak masa
Paulus dan ini akan digunakan dalam pendapat saya mengenai gereja
yang cair. Menurut Theological Dictionary of the New Testament dari
Kittel, gereja diterjemahkan dalam banyak definisi “tergantung pada
denominasi,” sebagai gereja utuh, kongregasi lokal, atau gedung
gereja. Gagasan gereja universal muncul kemudian dalam Surat
Pauline. Penggunaan kata gereja dalam tulisan Paulus tidak dapat
mengindikasikan satu set pola hidup komunitas yang dapat memandu
kita saat kita membayangkan ulang gereja dalam konteks kita.
GEREJA DAN KERAJAAN
Bagaimana kita mengatur dan berpikir tentang gereja saat ini adalah
hasil dari perkembangan sejarah dan sosial selama bertahun-tahun.
Deskripsi dari Perjanjian Baru telah menjadi titik awal teologis gereja,
tetapi pada banyak waktu, pola sosiologis hidup gereja telah berulang
kali diciptakan. Terdapat banyak diskusi di dalam Perjanjian Baru
tentang Kerajaan Tuhan. Pertanyaan utama adalah seberapa banyak
kerajaan Tuhan diharapkan di masa depan dan berkaitan dengan akhir
dunia serta seberapa banyak ini diadakan dengan kedatangan Kristus.
Kerajaan bersifat dinamis, dipimpin oleh Tuhan. Kerajaan tidak identik
dengan gereja, malahan, kerajaan menciptakan gereja. Gereja di masa
kini mengekspresikan kehidupan Tuhan di masa kini, tetapi hidup ini
fokus dalam Kristus.

REFORMASI YANG CAIR


Gereja tidak harus berdiri diam, karena dalam setiap masa gereja harus
mencari ekspresi sebenarnya tentang kerajaan. Perubahan dalam
budaya kontemporer telah memimpin banyak orang untuk merasakan
bahwa gereja harus melalui periode inovasi dan perubahan. Menurut
saya ini adalah jenis lain reformasi.
BAGIAN SATU
GEREJA YANG KOKOH

Bab 1
MODERNITAS GEREJA YANG KOKOH DAN YANG CAIR
Dalam banyak cara saya berbagi keyakinan bahwa penginjilan
harus lebih memperhatikan gereja. Bagi mereka yang terlibat dalam
penginjilan empat puluh atau lima puluh tahun lalu, pertanyaan tentang
gereja tampak tidak relevan. Banyak organisasi yang cenderung
melihat pertanyaan tentang gereja merupakan gangguan dari misi
utama penginjilan mereka. Tetapi saat ini para penginjil dan pendeta
muda berbagi minat akan hal ini, mereka menyadari bahwa pewartaan
injil yang relevan juga memerlukan gereja yang relevan.
Kita memiliki kesempatan yang luar biasa, karena kita lihat
banyak orang mencari spiritualitas. Di Inggris lebih banyak orang ingin
menjadi Kristen tetapi enggan bergabung dengan institusi kami. Di
Amerika, orang muda bersedia datang ke persekutuan pemuda, tetapi
tingkah laku dan kepercayaan mereka tidak dapat dibedakan dari
teman-teman mereka yang non Kristen. Dalam kedua kasus ini,
dibutuhkan gereja yang menghubungkan dan membuat perbedaan.
Disinilah istilah cair menjadi hal yang membantu.
BUDAYA YANG CAIR
Beberapa ahli membahas tentang budaya kontemporer dalam hal
modernitas yang fleksibel atau cair. David Lyon menjelaskan dampak
tehnologi komunikasi dan budaya konsumen yang membawa
perubahan substansial dalam modernitas. Ia berpendapat bahwa dalam
situasi yang baru “bergerak, kemungkinan berubah, cair, fleksibel.”
Ulrick Beck menyebutnya “modernitas refleksif,” yaitu modernitas
yang telah mengubah keahlian analitisnya dan oleh karenanya
menciptakan lingkungan yang kurang stabil dan beresiko. Sedangkan
Manuel Castell fokus pada apa yang ia lihat sebagai perubahan
lingkungan yang fleksibel dan konstan.
Perubahan tehnologi konstan berarti bagaimana kita menerima
dan memproses informasi dalam keadaan perubahan yang konstan.
Contohnya adalah telepon genggam yang tidak lagi hanya digunakan
untuk membuat dan menerima panggilan saja.
Gereja yang cair berangkat dari elemen positif dalam lingkungan
yang baru dan cair serta berusaha untuk bekerja dengannya dan
membuat mereka sebagai bagian dari gereja. Untuk menjadi gereja
yang cair, berarti kita harus mampu mencampurkan dengan air, untuk
menjadi cairan, dapat berubah, fleksibel. Kita perlu untuk merengkuh
dan menginternalisasikan sifat kebudayaan yang cair.

PADAT DAN CAIR


Zygmunt Bauman berpendapat, dunia modern muncul dari masyarakat
feodal abad pertengahan melalui proses mempertanyakan dan
menggantikan hal-hal yang sudah pasti sebelumnya. Jadi, modernitas
timbul dari membebaskan perekonomian dari jalinan tradisional dan
keagamaan. Sekarang, modernitas menjalani proses pencairan yang
dicirikan dengan meningkatnya fleksibilitas dan perubahan yang
konstan.

GEREJA YANG KOKOH


Modernitas yang kokoh telah memunculkan gereja yang kokoh yang
telah menginternalisasikan beberapa nilai inti modernitas dalam fase
awalnya. Gereja yang kokoh mengacu pada gereja lintas denominasi
dan dalam banyak kelompok non-denominasi dimungkinkan untuk
mengenali pola kecenderungan: kehadiran dalam kebaktian gereja
sama dengan kesetiaan, jumlah yang menentukan, satu ukuran untuk
semuanya, dan bergabung dengan kelompok.

MODERNITAS DAN GEREJA


Gereja tidak kebal dari pengaruh kebudayaan kontemporer.
Kemampuan untuk berhubungan dengan modernitas dalam cara yang
beragam adalah faktor signifikan dalam kehidupan dan energi gereja
masa kini. Tantangan bagi gereja yang kokoh adalah bahwa budaya
telah mulai berubah menuju modernitas yang lebih cair.
Bab 2
MUTASI GEREJA YANG KOKOH: WARISAN, TEMPAT
PERLINDUNGAN, DAN NOSTALGIA

IDENTITAS DAN KEPEMILIKAN KOMUNITAS


Perubahan sosial, ekonomi, dan budaya telah mempengaruhi sifat dasar
gereja. Era modern dicirikan dengan perubahan signifikan dalam cara
yang dialami oleh komunitas dan identitas. Dengan adanya emigrasi,
urbanisasi, dan industrialisasi paroki menjadi kurang signifikan.
Komunitas direlokasikan dalam beragam kelompok berdasarkan pada
budaya dan pengalaman yang dibagikan bersama. Dalam konteks ini,
gereja yang kokoh muncul dengan penekanan pada kongregasi dan
kelompok sebagai tempat identifikasi dan signifikansi bagi umat
Kristen.
Era postmodernisme atau cair membentuk ulang gagasan
identitas dan komunitas dalam cara tertentu. Anthony Giddens
menyebutnya “modernitas tinggi”, pembentukan identitas menjadi
lebih kompleks dan tidak pasti. Orang bersifat refleksif karena mereka
terus mengulas rasa mereka sehubungan dengan bertambahnya pilihan
yang tersedia dimasyarakat. Dalam modernitas yang kokoh, identitas
individu aman berada dalam norma kelas dan gender. Dalam
lingkungan masa kini yang cair, pilihan identitas ini tidak lagi berperan.
Orang menghadapi tantangan hidup dan masalah mereka sendiri,
mereka bertanggung jawab untuk kesuksesan atau kegagalan mereka
masing-masing. Hasilnya, menurut Zygmunt Bauman, individu masa
kini mencari cara didalam lingkungannya untuk meningkatkan pilihan
dengan hanya sedikit panduan.
Kemungkinan-kemungkinan yang dulu tersedia dalam era
modern atau pra-modern tidak lagi dapat berjalan. Bauman melihat
usaha untuk membangun komunitas dalam modernitas yang cair
merupakan semacam ilusi. Dalam konteks modernitas yang lebih cair,
bagaimana individu mendapatkan dirinya dalam hubungannya dengan
orang lain adalah perubahan keadaan yang konstan yang artinya dalam
komunitas kemungkinannya menjadi semakin problematis. Untuk
gereja yang cair, ini adalah lingkungan baru yang cukup problematis.

GEREJA YANG BERMUTASI


Gereja yang kokoh tidak hilang dalam modernitas yang cair, tetapi
mengalami mutasi yang halus. Modernitas yang cair membawa mutasi
dalam paroki dan kongregasi yang kemunculannya hampir tidak terasa
jadi banyak pemimpin gereja yang tidak memperhatikan apa yang telah
terjadi.
Sifat cair budaya kontemporer bukan berarti bahwa paroki lokal
tidak ada lagi, secara geografis mereka ada, tetapi hubungan antara
individu dan grup yang dimaksudkan sebagai komunitas lokal telah
berubah. Perubahan dalam komunitas tingkat lokal dan kolektif telah
membuat gereja bermutasi. Sekarang gereja dipandang sebagai pilihan
gaya hidup pribadi. Dalam budaya yang didominasi oleh
konsumerisme, gereja yang kokoh harus menyesuaikan diri bila ingin
berhasil. Akhirnya, gereja secara bertahap beradaptasi pada lingkungan
pasar yang baru, yang lebih, sementara secara bersamaan menyangkal
bahwa perubahan telah terjadi.
Gereja yang kokoh umumnya bermutasi dalam tiga cara: sebagai
situs warisan/pusaka, sebagai tempat perlindungan, dan sebagai
komunitas untuk bernostalgia. Tidak ada gereja yang bermutasi dalam
cara yang sama. Adaptasi dipicu oleh kebutuhan pemimpin gereja
untuk menarik jumlah dan keinginan mereka yang telah masuk ke
dalam gereja untuk menemukan tempat yang signifikan dan arti dalam
lingkungan budaya yang tidak pasti.
 Gereja sebagai situs warisan
Gereja dianggap sebagai karakter historis. Bagi beberapa orang,
kunjungan mingguan ke gereja adalah hal yang menarik karena
menawarkan sepotong sejarah. Nilai gereja yang melestarikan tradisi
masa lalu membuatnya dapat diakses oleh generasi baru. Tradisi ini
dilihat sebagai budaya yang bernilai tinggi. Para pendeta dan orang-
orang bersedia untuk melihat perubahan yang bertahap tetapi setiap
tindakan dilakukan dengan menghargai beban tradisi.
 Gereja sebagai tempat perlindungan
Modernitas yang cair dan baru menawarkan sedikit dukungan atau
perlindungan dalam menghadapi perubahan yang beruntun dan pilihan
yang hampir tak terbatas. Orang-orang mencari tempat yang
menyambut mereka dimana mereka dapat menemukan rasa
kebersamaan dan keamanan. Di dalam gereja sebagai tempat
perlindungan, kita didorong untuk merasakan bahwa menjadi orang
Kristen adalah menjadi bagian dari grup keluarga yang lebih besar.
Semakin besar tempat perlindungan maka akan menjadi semakin
nyaman dan lebih banyak orang yang dapat diakomodir.
 Gereja sebagai komunitas nostalgia
Meskipun berkaitan erat dengan tempat perlindungan dan warisan,
mutasi gereja ini berkaitan dengan konsep daripada dengan realitanya.
Gereja sebagai komunitas nostalgia tampak seperti bayangan masa lalu.
Komunitas nostalgia menjual dirinya sebagai satu tempat dimana
pertemuan komunal tetap dimungkinkan dalam masyarakat. Di gereja,
orang muda dan orang tua berkumpul bersama, hal yang tidak akan
pernah dilakukan di luar gereja.

MENGAPA KITA MEMBUTUHKAN GEREJA YANG CAIR


Mutasi paroki – dan kongregasi – yang berdasarkan pada gereja
menunjukkan bahwa modernitas yang cair tidak menyingkirkan gereja
yang ada. Kita berharap untuk melihat gereja yang kokoh dan yang cair
tumbuh dalam merespon perubahan budaya. Gereja yang kokoh akan
tetap ada meskipun dikelilingi dengan konten yang melebur. Gereja
yang kokoh menemukan cara untuk beradaptasi dengan lingkungan
baru meskipun dengan meninggalkan reflek komunal yang terbatas.
Gereja yang cair penting karena ini memandang budaya masa kini
dengan serius dan mencari cara untuk mengekspresikan ajaran Kristen
dalam budaya tersebut. Gereja yang kokoh akan terus berubah dan
beradaptasi dengan budaya kontemporer dan orang-orang akan
menemukan cara dalam mengembangkan gaya yang berbeda untuk
misi dan penginjilan. Untuk melakukan ini, kita perlu memulai
reformasi gereja yang cair.

Bagian Dua
GEREJA YANG CAIR
Bab 3
CAIR DALAM KRISTUS
KRISTUS DAN GEREJA
Kristus adalah asal dan kebenaran kita. Untuk menjadi Kristen kita
bergabung dengan Kristus dan bergabung dalam gerejaNya. Dua
prinsip dasar teologi: setiap jenis gereja harus menemukan asalnya
dalam sebuah persekutuan dengan Kristus dan gereja yang cair harus
memberikan bentuk pada sifat kerja sama dengan apa yang diartikan
“di dalam Kristus”.

Di dalam Kristus
Untuk menjadi “di dalam Kristus” seseorang harus diperbarui,
diciptakan kembali. J.D.G Dunn memisahkan pengguna frase “di
dalam Kristus” kedalam tiga grup: penggunaan obyektif, penggunaan
subyektif dalam karakter, dan dalam ajaran Paulus.

Di dalam Tubuh Kristus


Tubuh adalah gambaran yang dominan dalam teologi Paulus akan
gereja. Metafora ini digunakan dalam 1 Kor 10 dan 12 serta Kolose dan
Efesus. Dunn berpendapat bahwa dalam gambaran tubuh, Paulus
menariknya dari sebuah gambar komunitas Kristen yang berdasarkan
pada kebangsaan (Israel) dengan mereka yang berhubungan dengan
komunitas lokal atau politik. Dalam visi Paulus tentang tubuh Kristus,
persekutuan tidak muncul karena tinggal ditempat yang sama, tetapi
datang dari kesetiaan atau hubungan yang sama dengan Kristus. Tubuh
Kristus dipandang sebagai komunitas karismatik. Menurut Dunn, ini
adalah “pernyataan konkret berkat Tuhan.” Gambaran dasar tubuh
Kristus menghubungkan perbedaan dengan persatuan. Tubuh Kristus
dibangun karena berkat Roh, melalui pembaptisan dan karya Roh maka
seseorang menjadi satu “di dalam Kristus.”

Di dalam Kristus atau di dalam Gereja


Kristus adalah dimana kita tinggal dan yang tinggal di dalam kita
meresap dalam kehidupan dan di sekeliling dunia dengan energi dan
kehadiranNya. Cukup berharga untuk merenungkan perbedaan diantara
“di dalam Kristus” dan “di dalam gereja”. “Di dalam gereja” maka yang
ada dalam bayangan kita adalah gedung gereja. Kita perlu untuk
mencari cara membayangkan gereja yang mencerminkan keutuhan
Kristus dimana dalam Dia semua bergabung bersama. Bagi kita, kedua
ide ini tampak sangat berjauhan. Ini adalah suatu usaha untuk meraih
lebih jauh dengan apa yang dimaksud “di dalam gereja” dan menuju
apa yang dimaksud dengan kehidupan Kristus yang cair.
Tubuh Kristus
Untuk bergabung dengan Kristus adalah bergabung dengan tubuh
Kristus. Ekspresi ini adalah dasar dari teologi gereja. Ide tubuh Kristus
sangat tertanam dalam benak. Namun, cukup berharga untuk
merenungkan bagaimana kita mengekspresikan kebenaran ini.
Implikasi dari apa yang saya baca dari teologi Paulus adalah bahwa kita
harus lebih menekankan pada cara kita berhubungan dengan Kristus
yang membuat kita bagian dari tubuh, bukan sebaliknya. Masalahnya
adalah bahwa mayoritas orang Kristen melihat hubungan yang tak
terelakkan antara gereja sebagai institusi dan rancangan teologi “tubuh
Kristus.” Ada satu kebenaran disini: gereja adalah tubuh Kristus. Pada
saat yang sama, kita sering tidak dapat membayangkan diri kita diluar
institusi tersebut. Ini merupakan hal yang fundamental untuk gereja
yang cair karena kita membalik urutannya dan berkata bahwa kita
bergabung dengan Kristus yang dengan demikian bergabung dengan
orang lain lalu mengekspresikan kehidupan Kristus bahwa kita adalah
gereja. Ide akan gereja ini terus diperbarui, ditransformasi, dibentuk
dan dibentuk kembali.

Partisipasi dan Perbedaan


Dengan bergabung bersama Kristus, kita diharapkan untuk berbeda.
Paulus mendorong ktia untuk mengekspresikan perbedaan kita demi
kebaikan bersama bagi semua orang. Aspek ini diungkapkan melalui
gagasan bahwa semua orang adalah pewarta. Gereja yang cair
memperluas ide ini dan lagi-lagi membalik urutannya. Gereja yang cair
memunculkan kegiatan kependetaan aktif setiap orang yang bergabung
dengan Kristus. Jadi, pola jaringan yang tumbuh dari komunikasi
penganut yang setia ini diidentifikasi sebagai gereja.

Bergabung dengan Kristus yang cair


Paulus melihat kehidupan sebagai hidup bersekutu dengan Kristus. Ini
adalah argumen teologis. Gereja yang cair mengambil kerangka kerja
ini dan menggunakannya untuk kemunculan gereja bentuk baru dimana
ini beriringan dengan nilai inti partisipasi tubuh, nilai perbedaan,
komunitas yang tak dapat dipisahkan, dan cara hal ini berakar dalam
pengalaman Kristus dan karya Roh Kudus.

Bab 4
JARINGAN DAN ALUR DALAM GEREJA YANG CAIR
Jika kita menggambarkan gereja yang cair, maka gerakan dan
perubahan harus menjadi bagian dari karakteristik dasarnya. Kita perlu
mengembangkan ide komunitas Kristen, ibadah, misi, dan organisasi
yang lebih fleksibel dan responsif terhadap perubahan. Gereja yang cair
akan bekerja melalui satu rangkaian gerakan. Gereja yang cair akan
membentuk beberapa jaringan yang berbeda yang akan membantu kita
mengekspresikan bentuk organisasi sosialnya.

Jaringan dan Aliran


Menurut Manuel Castells, jaringan terbentuk dari barisan komunikasi
yang menghubungkan satu seri simpul. Simpul ini terdiri dari individu,
organisasi, sistem komunikasi, dan bahkan struktur politik. Kecepatan
komunikasi juga membangun struktur jaringan. Aliran aktivitas dan
informasi masuk dan keluar karena ini mengalir melalui sistem.
Jaringan membolehkan rangkaian aliran-aliran dan aliran-aliran ini
membentuk masyarakat kontemporer.

Gereja yang cair: bukan hal yang aneh


Masuk akal bila gereja yang cair terlihat membingungkan. Kita sudah
melihat kehidupan gereja yang terhubung erat dengan satu seri aliran
atau proses. Jika kita mengembangkan struktur gereja yang cair dengan
lebih fleksibel dan lebih mengalir maka kita harus belajar dari jaringan
yang sudah ada dan menggunakan polanya untuk pengembangan yang
baru. Kita akan menyadari bahwa gereja yang cair tidak akan
mengancam ataupun merupakan suatu hal yang aneh. Salah satu
contohnya adalah grup orang tua dan anak usia pra sekolah. Mereka
bertemu secara rutin meskipun tidak semuanya pergi ke gereja
Anglikan yang menjadi dasar grup ini. Dalam setiap pertemuan akan
ada pembacaan Kitab Suci dan menyanyikan pujian. Namun, sebagian
besar waktu adalah untuk minum kopi, mengobrol, dan mengasuh
anak-anak. Persekutuan ini mencerminkan komunikasi dan hubungan
yang cair. Sebuah bentuk gereja yang cair. Apa yang membuat hal ini
sebagai gereja adalah orang-orang yang terhubung dengan Kristus,
saling berhubungan satu sama lain, berbagi persekutuan dalam Kristus.
Air di sekeliling kita
Empat pelajaran yang dapat memandu kita pada gereja yang cair:
 Pentingnya hubungan
 Komodifikasi produk keagamaan yang mengalir
 Komunikasi yang cair yang tidak dapat dikontrol oleh Pemimpin
Gereja
 Gereja yang cair akan mempunyai batas tepi yang tak terlihat

Jaringan yang cair


Jaringan merupakan hal yang esensial untuk gereja yang cair.
Hubungan antar sesama dan dengan Kristus lebih melalui komunikasi
daripada perkumpulan. Bagaimana kita bergereja, berkomunikasi, dan
berkembang dalam spiritualitas yang tepat akan sangat berhubungan
erat dengan misi.

Bab 5
Tarian Tuhan yang Cair
Gereja dibangun dan dibentuk oleh Tuhan. Jika kita hendak
mengangkat struktur yang lebih cair lagi untuk komunitas Kristen maka
ini harus ditanamkan lebih dalam lagi pada pemahaman kita tentang
Tuhan. Tuhan adalah Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Trinitas dalam
kesatuan, telah dipahami sebagai pola gereja. Jika gereja yang cair
adalah pilihan yang realistis maka ini tidak hanya harus sesuai dengan
budaya kontemporer kita tetapi juga harus setia dengan pemahaman
kita akan Tuhan.
Trinitas: Kehidupan orang-orang Tuhan
Doktrin Trinitas ditemukan dalam kebaktian gereja. Kebaktian
menghubungkan kita dengan dinamika hubungan Putera dan Bapa
melalui Roh Kudus. Kebaktian adalah pembawa budaya utama gereja.
Doktrin Trinitas telah lama berada di dalam tradisi dan liturgi di banyak
gereja. Dengan bercermin pada teologi kebaktian, sebuah perubahan
dapat mulai berlangsung. Pertama, mempengaruhi pemahaman kita
tentang siapakah Tuhan. Kedua, menjadi sumber pemahaman baru
untuk etika, gereja, dan misi. Untuk menjadi satu dengan Kristus adalah
dengan persekutuan. Berdiamnya orang Kristen dalam kehidupan
Tuhan mulai menunjuk sebuah doktrin gereja. Jika gereja yang cair
adalah kemungkinan teologis, maka kita harus mampu menghadapinya
dalam refleksi kita di depan kehidupan Tuhan.

Sifat Tuhan yang cair


Penekanan atas hubungan dengan yang Esa adalah Bapa, Putera, dan
Roh Kudus telah menciptakan pemahaman yang lebih dinamis akan
Tuhan. Paul Fiddes menyatakan sebuah teologi Trinitas yang
berdasarkan pada gagasan “tiga gerakan hubungan.” Gerakan disini
adalah Bapa, Putera, dan Roh Kudus. Menurut Fiddes, ketiganya
adalah hubungan yang digabungkan dalam satu ‘peristiwa.’ Bagi
Fiddes, partisipasi adalah kunci untuk memahami sifat relasional
Tuhan, karena partisipasi menjelaskan hubungan timbal balik antara
Bapa, Putera, dan Roh Kudus, juga mengenali persekutuan antara para
orang percaya dan Tuhan.

Perichoresis – Tarian Tuhan


Perichoresis atau partisipasi timbal balik berasal dari bahasa Yunani
yang digunakan bapa gereja awal untuk membicarakan hubungan
dalam Trinitas. Tarian Tuhan mewakili gerakan yang mengalir dari
kodrat ilahi. Tari ilahi dari Bapa, Putera, dan Roh Kudus menarik kita
ke dalam gerakan yang berenergi dan menyegarkan.

Trinitas dan Komunitas


Doktrin Trinitas menunjuk pada Tuhan yang adalah satu dan tiga dalam
gerakan. Aliran tarian hubungan berakhiran terbuka. Ini adalah pola
hidup gereja. Untuk mengumandangkan kebutuhan Tuhan, gereja perlu
dijauhkan dari keinginan mementingkan diri sendiri dan menuju pada
‘kehadiran Tuhan di dunia yang kreatif dan rekreatif.’ Doktrin Trinitas,
menurut Cunningham adalah tantangan untuk individualisme.

Trinitas yang cair


Secara teologis, sifat gereja dihubungkan dengan menjadi Tuhan. Ide
misi dan kebaktian sebagai tarian Trinitas Tuhan menjadi populer dan
signikan dalam lingkaran teologi. Ide ini memberdayakan dan inspiratif
sehingga memancing partisipasi mereka yang percaya dalam keintiman
persekutuan dengan Tuhan. Kongregasi yang statis digantikan dengan
komunikasi intim yang dinamis dan inklusif. Dalam hal ini gereja yang
cair tidak hanya mencerminkan kehidupan Tuhan, tetapi juga
menggabungkan hidup dan yang berdiam dalam hidup: Tuhan yang
cair dan gereja yang cair.

Bab 6
Membentuk Gereja yang Cair
Sebuah gereja cair yang berdasarkan pada jaringan tidak dapat
direncanakan. Orang yang mencari Tuhan akan berhubungan dengan
jaringan karena menawarkan apa yang mereka inginkan. Dengan
demikian gereja yang cair meletakkan dirinya dalam sifat
konsumerisme masyarakat. Titik awal diskusi ini adalah realisasi dalam
sosiologi keagamaan dimana percaya dan mempercayai mengalami
perubahan yang signifikan dalam modernitas yang cair.
Ada perubahan keagamaan yang luas dalam masyarakat
kontemporer. Di sebagian besar negara Barat, gereja Kristen telah
mengalami penurunan yang signifikan, dimana orang-orang
mempunyai pengalaman spiritual atau religius tetapi mereka tidak
pergi ke gereja. Spiritual disini lebih aspiratif, meliputi cakupan luas
kepercayaan dan prakteknya. Gereja yang cair tidak hanya berupa cara
untuk berhubungan dengan perubahan kontemporer dalam spiritualitas
tetapi juga perluasan logika dari banyak perubahan yang telah
memberikan karakter pada kehidupan religius.
Mempercayai tanpa memiliki
Gereja yang cair telah memulai perubahan dalam kehidupan religius
Barat, yang oleh Grace Davie dijelaskan sebagai “mempercayai tanpa
memiliki”. Sedangkan Wuthnow berpendapat bahwa ini adalah
perpindahan dari spiritualitas “tinggal” ke spiritualitas “mencari,” yang
lebih cocok dengan waktu perubahan dan ketidakpastian. Dalam
perubahan spiritualitas, orang sekarang mencari hubungan melalui
beragam organisasi, disiplin, dan tindakan tetapi tidak akan pernah
merasakan memiliki. Pencari spiritualitas dikarakterkan dengan satu
seri ide dan kepercayaan dan diumumkan oleh beragam terapis, guru,
dan pemandu sosial.

Berbelanja untuk gereja yang cair


Berbelanja adalah karakter hidup kontemporer dimana individu
membandingkan harga, barang, dan menghitung saldo kartu kreditnya.
Budaya ini muncul dari adanya beragam pilihan barang yang tersedia.
Karena itu konsumerisme menjadi lingkungan yang cair dimana ini
tidak akan ada akhirnya. Para pendeta dan ahli teologi menunjuk hal ini
sebagai materialisme dimana maksudnya adalah orang-orang lebih
fokus pada barang-barang daripada hal-hal spiritual. Mike Feathersone
berkata bahwa ada pertanyaan mengenai kesenangan emosional dalam
berbelanja yang membangkitkan kegairahan dan rasa senang akan
keindahan. Berbelanja adalah mencari sesuatu yang melebihi diri kita.
Untuk itu “mencapai hal yang lebih daripada kita” menunjukkan
kecenderungan spiritual dalam kegiatan berbelanja. Gereja yang cair
menganggap berbelanja adalah latihan spiritual.

Spiritualitas Pembelanja
Konsumsi utamanya bukan okupasi material tetapi ini berdasarkan
pada pertukaran dan kenikmatan ‘arti’. Peran iklan adalah memberi
nilai tambah pada obyek. Arti benda-benda berkaitan dengan tempat
kita di masyarakat dan di dunia. Oleh karena itu, konsumsi adalah
menemukan tempat kita di dunia. Pemimpin Kristen melihat konsumsi
sebagai tantangan untuk mempercayai.

Gereja yang mengkonsumsi semua


Gereja yang kokoh sering mengkritik konsumsi tetapi ini tidak
mencegah umat dalam membangkitkan sensibilitas Kristiani yang
dibangun berdasarkan spiritualitas konsumsi. Saat seorang Kristen
pindah ke kota yang baru, ia akan berkeliling mencari gereja. Ini adalah
hal yang umum. Ide bahwa gereja bersaing dalam pasar spiritual
awalnya diutarakan oleh Peter Berger. Persaingan akan menciptakan
lingkungan yang lebih agresif bagi kelompok keagamaan. Jadi gerakan
ekumenis dapat diinterpretasikan dalam model ekonomi berkaitan
dengan pangsa pasar dan persaingan. Ini artinya, budaya gereja
kontemporer telah muncul sebagai strategi untuk bertahan di pasar.
Pasar Spiritual
Dalam Selling God, Laurence Moore berpendapat bahwa diskusi
kontemporer mengenai sekularisasi agama harus ditambah dengan ide
‘komodifikasi agama.’ Dengan bersaing di pasar, pengalihan perhatian
dan ‘hiburan’, agama ditransformasikan menjadi sebuah produk.
Pendapat Moore menciptakan jalinan antara bentuk agama
kontemporer di AS dan masyarakat konsumen modern. Dalam sudut
pandang ini, maka jelas bahwa institusi keagamaan pada abad ke 18
telah bersaing dengan industri hiburan atas waktu, perhatian, serta uang
yang dimiliki oleh orang-orang. Hasilnya, gereja membentuk ulang
iman sebagai sebuah atraksi atau komoditas. Jika pendapat ini benar,
maka berbelanja mencari gereja adalah hal yang masuk akal dan
konsumen spiritual adalah yang harus dihasilkan oleh sebagian besar
gereja. Analisa Moore dkk memperlihatkan bagaimana pasar berproses
dan pola produksi serta konsumsi telah membentuk gereja Kristen.
Saya percaya bahwa komodifikasi adalah hal penting untuk
penginjilan.

Gereja yang cair – Langkah selanjutnya dalam pasar religius


Gereja yang kokoh mulai memperhitungkan budaya konsumen yang
baru. Perubahan ini sangat penting karena hal tersebut merupakan tanda
bahwa gereja yang kokoh dapat beradaptasi dengan konteks baru.
Masalahnya adalah, gereja yang kokoh adalah satu-lingkungan-untuk-
semua yang diadaptasi hanya untuk satu atau jenis konsumen spiritual.
Yang diperlukan disini adalah gereja yang lebih fleksibel yang mampu
merespon perubahan kebutuhan umat. Tantangan untuk gereja yang
cair adalah bagaimana melakukannya tanpa kehilangan inti
teologisnya.

Bab 7
MENGATUR ALIRAN, BAGIAN SATU: FIRMAN TUHAN
Jika gereja yang cair merengkuh mereka yang percaya sebagai
konsumen, apakah artinya semua yang diinginkan konsumen dapat
diterima? Apakah gereja yang berkaitan dengan pasar mengkhianati
warta dan keinginan Tuhan? Bila gereja yang kokoh adalah lingkungan
yang dapat diprediksi, maka tidak ada jaminan untuk gereja yang cair,
dimana ini harus berkomitmen pada Kristus dan firman untuk menjadi
gereja. Kita harus jelas akan prioritas teologi dan batasannya.

Tanda Gereja Sejati


Gereja bukanlah sebuah gedung atau lokasi atau organisasi
kependetaan melainkan sekumpulan orang yang percaya pada Kristus.
Gereja sejati bukanlah organisasi sosial tetapi Firman Tuhan.
Penekanannya disini adalah komunikasi otentik Firman dan Sakramen.

Aliran Firman dan Sakramen


Gereja yang cair berdasarkan pada satu seri jaringan yang berevolusi
dan berubah dimana di dalamnya terbangun komunikasi. Jika kita
hendak membangun gereja sejati maka harus ada komunikasi yang
tepat dengan Tuhan. Karl Barth mengembangkan sistem teologi yang
membantu gereja dalam mengkaji kembali perbincangannya dengan
Tuhan. Tujuannya adalah agar gereja mampu menjadi lebih setia dalam
tugas mewartakan Firman Tuhan.

Menguji air
Barth mengenali tanda gereja sejati adalah dengan mewartakan Kitab
Suci dan melaksanakan sakramen dengan tepat. Sementara
memprioritaskan khotbah dan sakramen gereja, Barth mengakui bahwa
gereja berbicara tentang Tuhan dalam sejumlah kesempatan. Tugas
dogmatis adalah untuk mengembangkan budaya yang kritis dalam
gereja yang dapat membantu gereja merefleksikan pembicaraannya
tentang Tuhan. Untuk ini harus ada komitmen teologi yang disetujui.

Berpegang pada kisah Kristen


Kisah-kisah dari Kitab Suci diantara budaya-budaya dan gereja-gereja
yang berbeda membuat kita melihat penekanan yang bermacam-
macam, tetapi inti kisahnya tetap sama. Mereka yang menciptakan
jaringan gereja yang cair perlu menetapkan batasan mereka dengan
merengkuh ortodoksi yang berakar dalam kredo dan tradisi gereja.
Dalam lingkungan yang cair, ide cerita orang-orang Tuhan
menghubungkan gereja yang cair dengan akar teologisnya. Komitmen
pada teologi inti dapat digunakan untuk menilai apa yang
dikomunikasikan dan teologi inti ini juga dapat menjadi sumber
ekspresi baru dan perumusan ulang aktivitas gereja.
Firman Tuhan dan Gereja yang Cair
Komitmen utama gereja adalah mengkomunikasikan kabar baik
Kristus. Karenanya ini harus menjadi penekanan dalam gereja yang
cair. Meskipun begitu, ini tidak dapat menjadi jaminan. Yang dapat kita
lakukan adalah mengutarakan komitmen teologi kita dengan jelas dan
bersedia untuk mengkajinya kembali. Dalam banyak hal, gereja yang
cair sama dengan gereja reguler, perbedaannya adalah gereja yang cair
memerlukan komunikasi dan komodifikasi yang lebih serius dalam
aliran jaringan.

Bab 8
Hasrat untuk Tuhan
Gereja yang cair melibatkan perubahan radikal dalam sifat gereja. Ini
artinya kita harus mengembangkan kehidupan gereja yang
menghubungkan dengan hal-hal yang diinginkan oleh orang-orang.
Gereja harus mengubah tekanannya, dari memenuhi kebutuhan
spiritual ke menstimulasi keinginan mereka. Gereja yang cair
menggantikan kebutuhan menjadi keinginan.

Butuh untuk Ingin


Kebutuhan telah menjadi inti pengembangan dalam masyarakat
kontemporer. Gereja yang kokoh telah menjalankan fungsinya atas
kebutuhan ini. Banyak program gereja yang dirancang untuk
“memenuhi kebutuhan komunitas lokal.” Kebutuhan adalah hal yang
terbatas yang dapat dipenuhi dan dipuaskan. Dalam modernitas yang
cair, hubungan antara kebutuhan dan konsumen tetap berlanjut.
Konsumsi bukan lagi memenuhi kebutuhan dasar tetapi untuk
memenuhi diri kita. Berbelanja bukanlah kebutuhan, tetapi keinginan
yang mengarahkan kita pada pilihan-pilihan. Keinginan tidak dapat
dipuaskan dalam hal yang sama seperti kebutuhan. Keinginan
memotivasi tindakan dan membangun pilihan kita. Jika gereja harus
merengkuh jalan yang lebih mengalir maka harus berhadapan dengan
kesempatan dan batas keinginan.

Keinginan untuk Tuhan


Gereja yang cair akan dibangun diseputar realisasi dimana orang
bertemu Tuhan. Keinginan spiritual terlihat jelas dalam banyak area
kehidupan. Gereja telah menghabiskan banyak waktu dalam
meyakinkan orang-orang bahwa mereka perlu Tuhan, tetapi mengapa
hanya sedikit sekali orang yang datang ke gereja yang kokoh. Saat
orang berkata bahwa mereka “spiritualis tetapi tidak religius” ini
menjelaskan bahwa mereka ingin Tuhan tetapi mereka tidak melihat
adanya kebutuhan untuk mencarinya dalam institusi religius.

Penginjilan yang cair


Gereja yang cair sebagai realita:
1. Setiap orang memiliki keinginan spiritual
2. Gereja harus dirancang di sekeliling keinginan orang-orang akan
Tuhan
Gereja yang cair dimulai sebagai tempat untuk berbagi iman dan dalam
membentuk kehidupan gereja yang baru. Gereja yang mengalir akan
mengabaikan struktur kongregasinya dalam mendukung
keanekaragaman dan perubahan kebaktian, doa, pembelajaran, serta
aktivitas.

Integritas dan pilihan dalam gereja yang cair


Pilihan harus menjadi dasar untuk bentuk baru gereja, namun tidak
berarti konsumen selalu benar. Gereja yang cair harus mencari tingkat
keotentikan yang tinggi dalam spiritualitasnya dan integritasnya dalam
kesetiaan kepada Tuhan. Penekanan pada pilihan akan dipicu dengan
menggali keanekaragaman dan kedalaman spiritualitas, kebaktian, dan
pelayanan misionaris Kristen.

Bab 9
Mengatur Aliran, Bagian Dua: Semangat dan Rahmat

Gereja yang cair akan menemukan energi dan kreativitasnya dalam


pencarian spiritualitas dan arti dalam budaya populer. Dengan asumsi
semua orang ingin mencari spiritualitas maka kita harus mencari
kerangka kerja dimana gereja dapat memenuhi kebutuhan pasar.

Roh Kehidupan
Jṻrgen Moltmann berpendapat bahwa kita perlu mengambil
pengalaman informal orang-orang dengan serius sebagai sebuah arena
dimana Roh Tuhan mungkin bekerja. Moltmann menunjukkan bahwa
pengalaman Roh dalam orang yang percaya terus menjadi faktor kunci
dalam spiritualitas dan pengalaman ini tidaklah terbatas bagi gereja.
Roh ini terlihat dalam “cinta akan kehidupan yang menyenangkan kita
dan energi roh adalah energi kehidupan dimana cinta akan kehidupan
bangkit dalam diri kita.” Saat kita melihat Roh Kudus kita melihat
energi Tuhan yang menciptakan dan memelihara hidup. Semangat
hidup dan Roh Kudus harus dihubungkan. Saat kita berhubungan
dengan Roh, kita merasakan kepedulian Tuhan. Roh Tuhan merespon
pencarian orang-orang dan menyentuh mereka dengan pengalaman dan
kehadiran serta kasih Tuhan. Pertanyaan penting untuk gereja yang
cair: apa hubungan antara kehidupan dan kehidupan abadi? Karena kita
perlu merengkuh keinginan orang-orang tanpa melakukannya dengan
naif. Maka salah satu caranya adalah dengan menyatakan aktivitas
Tuhan di dunia.

Rahmat Umum dan Khusus


Solusi Kuyper memposisikan bahwa rahmat Tuhan bekerja dalam dua
cara: rahmat umum dan rahmat khusus. Rahmat umum adalah karya
Tuhan yang memelihara ciptaan dan menahan efek mematikan
kejatuhan manusia. Rahmat umum menciptakan ruang terbuka dimana
sejarah boleh berkembang dan bertahan. Rahmat umum adalah karya
Tuhan untuk semua ciptaan tetapi bukanlah karya khusus Tuhan untuk
seseorang. Rahmat khusus mengacu pada penciptaan kembali dan ini
adalah karya Tuhan yang spesial. Seperti halnya individu, gereja harus
dipandang sebagai ciptaan Tuhan yang baru. Teologi Kuyper
membantu kita membedakan bagaimana kita mengevaluasi budaya
manusia dan karya Tuhan dalam budaya itu. Ini hal penting bagi gereja
yang cair karena memperbolehkan keterlibatan budaya tanpa selalu
mengurangi aktivitas penginjilan.

Afeksi Religius
Merupakan hal penting untuk mendapatkan keseimbangan yang tepat
antara menegaskan keinginan spiritual orang-orang dan perhatian
mereka pada pengalaman religius serta konsep bahwa tidak semua
penurunan religius sama nilainya. Roh Tuhan ada dalam orang-orang
dan ciptaan, tetapi ini berbeda dengan karya penyelamatan Tuhan. Saat
tiba pada afeksi religius yang adalah tindakan rahmat Tuhan, ada
kriteria teologi yang akan hadir. Hal ini meliputi realisasi bahwa afeksi
datang dari Tuhan dan oleh karena itu akan menyesuaikan sifatnya dan
afeksi akan diarahkan pada memuja Tuhan yang menjelma dalam
Yesus Kristus. Ada pandangan yang berhubungan dengan
perkembangan gereja yang cair, yaitu membolehkan Tuhan untuk
bekerja dalam keinginan religius konsumen kontemporer. Pengalaman
ini dapat dinilai sebagai karya Tuhan tetapi mungkin bukan rahmat
khusus atau penyelamatan.

Roh, Rahmat, dan Afeksi


Dengan pendapat Moltmann bahwa kita harus menganggap Roh Kudus
sebagai roh kehidupan kita melihat bagaimana tarian Tuhan dapat
mulai menghubungkan tidak saja kebudayaan manusia tetapi juga
ciptaan secara keseluruhan. Dalam budaya konsumen kita harus
mampu merangkul ketidakstabilan dan kekacauan sementara tetap
berkomitmen pada ajaran Tuhan. Gereja yang cair harus menerima
bahwa persekutuan dengan Tuhan yang mengalir dan berjejaring
adalah hal yang kabur dan sulit untuk ditentukan. Edward mendorong
kita untuk merengkuh ambiguitas dalam spiritualitas. Menurutnya
dalam sebagian besar kasus, kita tidak tahu apakah Tuhan melakukan
karya keselamatan atau tidak. Maka gereja yang cair harus dimulai
dengan menegaskan hal-hal yang terlihat sebagai hal positif dalam
pencarian spiritual kontemporer, harus memprioritaskan rahmat khusus
dan tetap fokus pada karya Roh Tuhan untuk keselamatan.

Bab 10
DI DALAM GEREJA YANG CAIR
Sebuah gereja yang cair adalah semacam mimpi. Dalam bab ini saya
akan menjabarkan karakter gereja yang cair yang saya bayangkan. Bagi
mereka yang terlibat dalam gereja yang kokoh, bab ini dapat
memberikan beragam cara untuk memulai menjadi komunitas Kristen
yang lebih cair. Tentunya akan ada banyak cara yang berbeda dan
kreatif dalam menjadi gereja yang cair.
 Mimpi satu: Jaringan
Gereja yang cair akan menggantikan kongregasi dengan komunikasi.
Gereja yang berjejaring akan menghubungkan individu, grup, dan
organisasi dalam satu seri rangkaian. Keanggotaan tidak lagi diukur
dengan kehadiran dalam kebaktian tetapi melalui partisipasi dalam
jaringan.
 Mimpi dua: Komunitas
Komunitas dalam modernitas yang cair adalah keadaan perubahan
yang berkesinambungan. Komunitas telah berubah. Dalam modernitas
yang cair, keinginan untuk memiliki hubungan yang signifikan
dinyatakan melalui komunikasi yang konstan, termasuk dengan
menggunakan tehnologi yang tersedia.
 Mimpi tiga: Komunitas Pilihan
Gereja yang cair akan mengabaikan struktur kongregasional dan akan
memberikan pola kehidupan gereja yang responsif dan fleksibel untuk
mengantarkan apa yang diinginkan individu serta menggambarkan
kedalaman dan keragaman tradisi Kristen. Komunitas yang
berdasarkan pilihan akan membawa keanekaragaman karena
berdasarkan pada minat bersama. Koneksi akan berdasarkan pada
afiliasi alami.
 Mimpi empat: Kepemimpinan dari teladan
Pemimpin gereja yang cair tidak dapat mengandalkan janji temu dan
kekuasaan. Orang-orang akan memilih mereka yang dianggap tahu dan
mencerahkan sehingga mereka ini yang akan muncul sebagai
pemimpin. Gereja yang cair akan menggantikan norma-norma dan
rutinitas dengan cara hidup yang menghadirkan Tuhan.
 Mimpi lima: Kegiatan dan imajinasi
Gereja yang cair akan perlu beradaptasi dengan pendekatan yang lebih
atraktif dan imajinatif untuk kegiatan dan aktivitas. Gereja yang cair
perlu menghadirkan kegiatan dan produk spiritual yang variatif.
 Mimpi enam: Kebaktian dalam gereja yang cair
Disini, kebaktian tidak mengandalkan sebuah dinamika
kongregasional.

Jalan Menuju Gereja yang Cair


Di atas telah saya tawarkan beberapa cara/mimpi yang memungkinkan
gereja yang cair untuk berkembang. Mimpi-mimpi tersebut akan
menjadi nyata bila individu dan pemimpin Kristen mewujudkannya.
Kita sudah menjadi bagian dari beberapa jaringan dan komunikasi,
maka langkah selanjutnya adalah mengembangkan koneksi ini melalui
pertemuan, produk, dan acara yang dapat membuat kita fokus untuk
berkomunikasi. Kualitas hubungan harus menyambungkan spiritualitas
yang berakar pada partisipasi kita dalam Kristus. Gereja yang cair
adalah komunitas yang berakar pada persekutuan Trinitas Suci.

Anda mungkin juga menyukai