KELOMPOK 7
BUKU “PATHWAYS FOR ECCLESIAL
DIALOGUE IN THE TWENTY- FIRST
CENTURY”
PART IV dan V
NAMA-NAMA ANGGOTA
KELOMPOK
1. Bernardus Umbu Rewa
(206114033)
2. Fransiskus Xaverius Renda
(206114049)
3. Novensius Aryanto Ngongo
(206114053)
4. Firminus Deo (206114059)
5. Agusti Manek(206114063)
Bab 9
The False Certainty of Closure
Ecumenical Dialogue, New
Evangelization, and Roman Catholic
Identity in a Secular Age
oleh
Brianne Jacobs
THE FUTURE OF
ECCLESIAL
DIALOGUE
BAB 1 3
MEMBUAT VISI YANG SAMA TENTANG
GEREJA
William Henn
BAB XIV
Eduardus Van der Borght
By.FIRMINUS DEO_206114059
PENDAHULUAN
Konsep teologis pada abad ke-20 untuk bekerja menuju kesatuan yang lebih nyata
dengan mengatasi ketidaksepakatan pengakuan yang ada telah didefinisikan secara
terlalu sempit.
Akan tetapi, sebuah agenda yang lebih luas yang mempertimbangkan keragaman
sosiokultural di dalam dan di antara Persekutuan-persekutuan Kristen di dunia adalah
penting.
Pembedaan nasional, etnis, ras, atau suku mendefinisikan identitas banyak gereja, baik
secara resmi maupun tidak resmi. Identitas-identitas sosiokultural ini seharusnya tidak
lagi dianggap sebagai faktor nonteologis, tetapi membutuhkan refleksi teologis yang
berkelanjutan dan menjadi bagian dari wacana eklesiologi ekumenis.
Artikel ini pertama-tama akan menjelaskan bagaimana pendekatan abad ke-20 yang
lama terhadap identitas sosiokultural tidak memuaskan dalam segala hal. Saya
mengilustrasikan hal ini dengan cara bagaimana identitas sosiokultural telah dibingkai
ke dalam agenda konferensi Assisi 2012, Where We Dwell in Common. Bagian kedua dari
bab ini akan menjelaskan bagaimana identitas-identitas sosiokultural dapat
mempengaruhi agenda teologis dengan mengidentifikasi sepuluh topik dalam dokumen
"Hakekat dan Misi Gereja".
1. MENGIDENTIFIKASI AGENDA LAMA
Tidak Melupakan Ras dan Etnisitas dalam Dialog Ekumenis
Gerakan Ekumenis yang berkaitan dengan identitas sosialkultural masih memilki
kekurangan. Hal ini karena masih dibingkai dalam agenda konferensi Penelitian
Internasional Investigasi Eklesiologi di Assisi 2012.
Di bawah judul "Ras dan Etnisitas dalam Dialog Ekumenis: On Not Forgetting," tiga
makalah dipresentasikan pada hari ketiga konferensi dengan tema "Where We
Dwell in Common.
Frasa "On Not Forgetting" berarti "kita tidak boleh lupa." Kata "seharusnya" ini
mengekspresikan dimensi moral. Isu-isu sosiokultural dalam gerakan ekumenis
abad ke-20 telah dipahami sebagai tantangan-tantangan etis bagi masyarakat dan
gereja. Identitas sosiokultural mungkin sulit untuk ditangani dalam masyarakat
dan gereja, tetapi semua sepakat bahwa diskriminasi atau pengucilan terhadap
orang lain atas dasar perbedaan sosiokultural tidak dapat diterima.
"Tidak melupakan" menggemakan seruan moral yang terutama berasal dari Life
and Work, yang berfokus pada perlawanan terhadap rasisme tidak hanya di
masyarakat tetapi juga di gereja-gereja.
PENTINGNYA MENINGGALKAN JALUR LAMA
Bagian ketiga dari bagian II, "Persekutuan dan Keragaman," menawarkan perspektif lain untuk
mendekati masalah ini. Bagian ini mencatat, "Injil harus berakar dan dihidupi secara otentik di
setiap tempat. Injil harus diberitakan dalam bahasa, simbol-simbol, dan gambaran-gambaran
yang berhubungan dengan, dan relevan dengan, waktu-waktu tertentu dan konteks-konteks
tertentu."
(§61) Di dalam Dewan Gereja-gereja se-Dunia sejak tahun 1990-an dan seterusnya, pergeseran
fokus dari persekutuan kepada keragaman telah menjadi hal yang menonjol. Dalam konteks
ini, keragaman tidak lagi menjadi sebuah indikasi ketidakmampuan untuk menawarkan satu
jawaban akhir, tetapi merupakan sebuah ekspresi dari kekayaan jawaban terhadap
tantangan-tantangan yang kompleks.
Masalahnya terletak pada ayat ini pada tingkat hubungan antara budaya
dan Injil (§61) dan pada tingkat gereja lokal, yang harus menjaga kesatuan
dan keanekaragaman yang sah pada saat yang sama dengan bantuan
pelayanan pastoral (§62).
Meskipun demikian, ada dua area yang tidak tersentuh.
1. Yang pertama terkait dengan persekutuan-persekutuan lain yang
memengaruhi kehidupan kita. Mereka juga dibentuk melalui, dan dibangun
dengan bantuan budaya-budaya. Bagaimanakah persekutuan-persekutuan
kita yang didasarkan pada identitas nasional, etnis, suku, dan ras
berhubungan dengan persekutuan gerejawi?
2. Area kedua terkait dengan apa arti hubungan antara komunitas dan
keragaman bagi gereja universal. Seperti yang telah dijelaskan di sini, hal ini
dipahami sebagai sebuah tantangan bagi gereja lokal saja. Namun,
bagaimana seharusnya sebuah budaya saling bertanggung jawab di tingkat
gereja universal, yang memperhitungkan identitas-identitas etnis yang
memiliki pengaruh yang kuat dalam pembentukan komunitas, dapat
direalisasikan?
KEHIDUPAN PERSEKUTUAN DI DALAM DAN UNTUK DUNIA
Bagian III membahas "karunia-karunia dan sumber-sumber
daya" (§67) yang telah Allah sediakan bagi kehidupan dan
misi gereja, seperti rahmat iman rasuli, pembaptisan dan
Ekaristi, dan pelayanan-pelayanan. Bagaimana "instrumen-
instrumen" ini dapat membantu menghadapi tantangan
sebagai anggota komunitas Kristen dan pada saat yang sama
menjadi anggota masyarakat yang ditandai oleh berbagai
identitas sosiokultural?
Subbab tentang baptisan menjelaskan makna dari satu
baptisan ke dalam Kristus sebagai sebuah panggilan yang
mendesak untuk mengatasi perpecahan (§74).
DALAM DAN UNTUK DUNIA