Pendahuluan
Pusat dari setiap proses evangelisasi dan katekese adalah Kristus sendiri. Apapun yang
diwartakan dan diajarkan di dalam evangelisasi dan katekese harus senantiasa berpusat pada
Kristus. Kegiatan evangelisasi sebenarnya bersifat lebih luas dibandingkan dengan katekese.
Evangelisasi (baik dalam bentuk kata-kata maupun perbuatan) diperlukan terlebih dahulu
sebelum seseorang masuk dalam proses katekese secara formal – dalam kaitannya dengan
sakramen inisiasi. Seseorang tidak akan masuk secara formal dalam kelas pelajaran agama
Katolik, tanpa dia mempunyai ketertarikan akan Kristus. Oleh karena itu, evangelisasi
diperlukan untuk membangkitkan iman, sehingga seseorang ingin mengenal lebih dalam iman
Katolik dalam proses katekese. Dan proses katekese ini akan menuntun seseorang kepada
kepenuhan hidup kristiani, yang dimanifestasikan dalam sakramen inisiasi (Sakramen Baptis,
Sakramen Penguatan, Sakramen Ekaristi).
Namun, evangelisasi harus dilakukan secara terus-menerus, termasuk kepada orang-
orang yang telah dibaptis, sehingga mereka terus diperbaharui dengan semangat Injil dan terus
berkobar untuk menjadi saksi Kristus yang baik. Namun, katekese juga harus dilakukan secara
teru-menerus sehingga orang yang telah dibaptispun dapat terus mendalami, menghayati dan
melaksanakan iman Katolik dalam kehidupan nyata.
Kegiatan evangelisasi pasti bernilai kateketis tetapi tidak semua kegiatan evangelisasi
bisa disebut katekese?” Pernyataan tersebut benar, karena semua kegiatan evangelisasi (baik
dengan perkataan, perbuatan), pasti mempunyai nilai-nilai katekese. Evangelisasi pasti
mempunyai nilai-nilai katekese, karena di dalam katekese, seseorang diajarkan seluruh misteri
iman secara terstruktur (dibagi menjadi empat: apa yang dipercaya, bagaimana merayakan apa
yang dipercaya, bagaimana hidup sesuai dengan apa yang dipercaya, dan doa). Namun memang
tidak semua kegiatan evangelisasi (seperti: kegiatan bakti sosial, dll) dapat disebut katakese,
karena katekese adalah momen atau saat tertentu yang mempunyai karakter yang khusus –
pemaparan dan pengajaran iman secara formal dan terstruktur.
Dengan perspektif ini maka kita dalam menelusuri persoalan-persoalan dasar evangelisasi
itu dalam hubungannya juga dengan penggunaan media komunikasi sosial dalam pewartaan.
Para uskup di Asia, pada tahun 1970, memandang penggunaan media massa perlu “untuk
memperdengarkan suara Kristus secara lebih relevan mengenai soal-soal aktual … seperti
keadilan sosial, pendidikan dan kebebasan politik”. 1 Media massa dapat mengontrol segala
program pemerintah, khususnya program pemberdayaan orang miskin. Media massa bisa
mengawasi apakah dana bantuan bagi orang miskin sudah sungguh sampai ke tangan mereka
atau tidak.
Dalam kerangka dasar itu, maka berikut ini, saya akan pertama-tama mengemukakan
gagasan-gagasan teologis pokok dalam evangelisasi, seperti communio dan communicatio,
1
R. Hardawiryana SJ, “Katakese: Tradisi bagi Hidup Umat Sehari-hari”, dalam, Orientasi Baru, Pustaka Filsafat
dan Teologi, No. 3, Tahun 1989, Yogyakarta: Kanisius, 1989, hlm. 65.
2
evangelisasi dan evangelisasi baru, dan terutama evangelisasi dan kesaksian. Pada bagian kedua
saya akan mengemukakan gagasan-gagasan filosofis pokok berkaitan dengan media komunikasi
sosial, seperti causa principalis dan causa instrumentalis, gagasan tentang wartawan dan
pewarta, dan kemudian bagaimana media itu digunakan untuk melayani orang miskin. Akhirnya,
ditutup dengan refleksi tentang wartawan dan pewarta dalam evangelisasi melalui media dan
evangelisasi melalui mimbar Gereja.
1. Dasar-Dasar Evangelisasi
1. 1. Communio dan Communicatio
Hakikat dasar hidup Gereja adalah kenyataan dirinya sebagai persekutuan, sebagai suatu
kesatuan (communio). Gereja bukanlah pertama-tama untuk berkumpul menegaskan atau
menentukan sesuatu, namun untuk menghidupi sabda yang diterimanya. Dan gagasan
Gereja communio ini berkaitan erat dengan communicatio (komunikasi). Gagasan komunikasi
dalam Gereja berakar dari realitas inkarnasi Sabda Allah karena di dalamnya terwujud
communio antara Allah dan manusia. Inkarnasi Sabda Allah adalah komunikasi diri Allah dalam
diri Yesus Kristus. Karena itu, perjumpaan dengan Kristus, Sabda yang menjadi manusia, adalah
pintu masuk dan pusat kehidupan Gereja sebagai persekutuan. Dan kalau Gereja itu disebut
sebagai sakramen keselamatan maka itu berarti sakramen keselamatan dalam persekutuan
(communio sacramentalis).2 Disebut persekutuan sakramental karena persekutuan itu berakar
dan berdasar pada persekutuan atau kesatuan dengan Allah.
Atas dasar communio dengan Allah ini baru kita bisa berbicara tentang communio
sebagai ambil bagian dalam hidup ilahi melalui sabda dan sakramen, misalnya sakramen ekaristi.
Melalui sabda dan sakramen manusia dipersatukan dengan Allah dan dimasukkan ke dalam
persekutuan para orang beriman. Persekutuan orang beriman ini pada tempat pertama ialah
jemaat setempat yang berkumpul merayakan ekaristi. Kemudian baru kita berbicara tentang
communio antara Gereja-gereja partikular dengan Gereja universal, dan tentang communio
jemaat Gereja lokal yang diperagakan pada tingkat keuskupan oleh persatuan para pastor dengan
uskup sebagai pastor utama di dalam keuskupannya.3
Dengan ini jelas bahwa communicatio adalah gagasan kunci berkaitan dengan Gereja
communio itu. Kesatuan atau persekutuan itu hanya terwujud kalau ada komunikasi antara pihak-
pihak atau unsur-unsur yang bersatu itu. Semua orang beriman yang dipanggil ke dalam
communio, dipanggil untuk berperan serta yang sadar dan aktif yang tidak hanya berlaku untuk
liturgi melainkan untuk seluruh hidup dan tugas Gereja. Maka seluruh Gereja dalam seluruh
hidupnya mempunyai maksud misioner, yakni ia dipanggil menjadi sakramen keselamatan bagi
semua orang, menjadi ragi yang meresapkan semangat dan nilai-nilai Kerajaan Allah, semangat
communio dan communicatio ke dalam seluruh dunia. Jadi, semua manusia dan bangsa
memperoleh communio dan communicatio satu sama lain.4
2
Krispurwana Cahyadi, SJ, Benediktus XVI, Yogyakarta: Kanisius, 2010, hlm. 92-95.
3
Georg Kirchberger, Allah Menggugat. Sebuah Dogmatik Kristiani, Maumere: Ledalero, 2007, hlm. 424.
4
Bdk. Dokumen Communio et Progressio. Intstruksi Pastoral Perihal Alat-alat Komunikasi Sosial, 1971, Ende:
Nusa Indah, 1971, hlm. 16.
3
lokal, melalui tindakan yang luhur dan baik mereka (EN 21). Kedua, ketika orang mulai bertanya
mengenai motivasi mereka bersikap dan bertindak demikian, maka orang Kristen menjawabnya
dengan pewartaan Injil khusus (EN 22). Ketiga, lalu orang menyatakan minat mereka lebih lanjut
akan amanat Injil, mendekatkan diri mereka ke dalam Gereja sebagai katakumen dan melalui
pembabtisan menjadi Gereja (EN 23). Kemudian mereka yang baru dibabtis bersama mereka
yang lama sama-sama melakukan pewartaan baru lagi.
7
Dr. H. Pidyarto Gunawan, OCarm, “Alkitab dan Evangelisasi Baru”, dalam, H.S.Hadiwiyata (ed.), Evangelisasi
Baru, Op. Cit., hlm. 103.
8
Ibid., hlm. 108.
9
Ibid., hlm. 109.
10
Ibid., hlm. 115-118.
5
mereka dari segala bentuk kemiskinan yang membelenggu. Kedua, metode baru juga berarti
penggunaan sarana dan teknik komunikasi yang baru. Pewartaan Kabar Gembira membutuhkan
teknik-teknik manusiawi yang cukup menunjang keberhasilan evangelisasi. Teknik dialog
misalnya dapat membuat Alkitab menjadi lebih hidup karena orang tidak menjadi pendengar
pasif. Selain teknik komunikasi itu, evangelisasi baru mendorong juga penggunaan sarana-sarana
komunikasi massa yang baru yang lebih sesuai dengan kemajuan zaman.
Ketiga, Evangelisasi Baru dalam ungkapan:11 Wujud baru evangelisasi adalah bagaimana
pewartaan Injil itu diintegrasikan ke dalam kebudayaan bangsa setempat, dan itulah yang kita
namakan inkulturasi. Pengintegrasian Injil dengan kebudayaan bangsa setempat dilakukan sejauh
unsur-unsur kebudayaan itu tidak bertentangan dengan isi Injil. Dengan inkulturasi itu barulah
kita bisa berbicara tentang Gereja Indonesia dan tidak lagi hanya tentang Gereja di Indonesia.
Akan tetapi menurut Yohanes Paulus II, inkulturasi itu adalah suatu proses yang panjang, karena
tidak sekadar soal adaptasi luaran semata-mata. 12 Inkulturasi adalah “suatu transformasi nilai-
nilai kebudayaan otentik secara mendalam melalui suatu proses integrasi mereka ke dalam
kekristenan dan meresapnya kekristenan ke dalam berbagai kebudayaan umat manusia”
(Redemptoris Missio 52). Jadi, evangelisasi yang benar harus sampai kepada manusia dengan
segala kekhasaan kebudayaannya. Evangelisasi harus mengambil unsur-unsur yang baik dan
otentik dari kebudayaan itu, meresapi dan menyempurnakan dengan semangat Injil dan
mengintegrasikannya ke dalam penghayatan iman Kristen. Hanya dengan cara demikian, orang
dapat menghayati iman Kristen, yakni menghayati Injil sebagai sesuatu yang tidak asing
baginya.
15
Ibid., hlm. 598.
7
penggunaan radio, televisi, media cetak, dan internet. Semua sarana komunikasi sosial itu
memang bukan pewarta namun mereka sebagai alat dapat “berperan” dalam pewartaan.
16
Norbertus Jegalus, “Metafisika Dasar. Pendekatan Aristotelo-Thomistik” (Manuskrip Perkuliahan pada Fakultas
Filsafat Agama, Unwira Kupang, 2008), hlm. 88
17
Loc. Cit. Bdk. Konsili Vatikan II, De Instrumentis Communicationis Socialis (Dekrit Tentang Alat-alat
Komunikasi Sosial), Ende: Nusa Indah, 1966, hlm. 21: “Dari sebab itu Gereja mempunyai hak yang fundamental
untuk menggunakan dan memiliki alat-alat itu sekedar alat-alat itu perlu dan berguna bagi pendidikan Kristen dan
bagi karyanya demi keselamatan jiwa-jiwa”.
18
Bdk. Communio et Progressio (Perihal Alat-alat Komunikasi Sosial) Artikel 126-134, tentang Penggunaan Alat-
alat Komunikasi Sosial untuk mewartakan Kabar Gembira.
8
Pemberitaan media tentang orang miskin dan menderita yang melahirkan jaringan
solidaritas internasional sudah umum dilakukan oleh media Katolik. Namun masih ada satuperan
media dalam kaitan dengan orang miskin ini yakni media membangunkesadaran kritis. Itu
berarti, pertama, media, seperti radio, televisi, surat kabar, majalah, dan internet, isi
pemberitaannya membangunkan kesadaran kritis kaum miskin itu sendiri, untuk bisa keluar dari
situasi itu; kedua, sarana komunikasi sosial itu mengeritik struktur-struktur masyarakat yang
tidak adil yang menyebabkan orang menjadi miskin dan menderita. Di sini media mengambil
posisi profetis, yakni menantang kebijakan-kebijakan publik yang tidak adil demi terciptanya
kondisi sosial-ekonomi yang adil.
Tetapi seberapa efektif Gereja menggunakan media komunikasi sosial untuk mendukung
perkara orang miskin? Kita perlu, sejak hari ini, pada HARI KOMUNIKASI SOSIAL
NASIONAL ini, merubah sikap dan pendekatan kita terhadap media, yakni media tidak sekadar
memberitakan apa yang dilakukan oleh Gereja, apa yang diimani oleh Gereja, atau apa yang
dilakukan oleh para pemimpin Gereja, melainkan terutama memberitakan apa yang sedang
dialami oleh orang miskin dan mengeritik struktur-struktur sosial yang tidak adil yang
menyebabkan kemiskinan itu. Sudah saatnya, kita memperluas wawasan media sosial dalam
rangka evangelisasi, terlebih dalam rangka semangat Paus Fransiskus yang begitu besar
memberikan perhatian kepada orang miskin. Jadi, media komunikasi sosial harus lebih
berorientasi pada usaha pembebasan orang miskin dari kemiskinan yang membelenggu mereka.
3. Penutup
Sebagai refleksi penutup saya hanya menggarisbawahi dua term yang digunakan dalam
konteks evangelisasi melalui media, yakni term wartawan dan pewarta. Kedua istilah Indonesia
ini berdasarkan kata dasar bahasa Indonesia yang sama, warta, yang artinya menyampaikan
berita kepada yang lain. Seorang pastor yang memberitakan Yesus Kristus kepada segala
manusia dan bangsa tidak disebut wartawan melainkan pewarta. Mengapa? Karena sebagai
pastor ia tidak sekadar menyampaikan peristiwa Yesus itu dari masa lampau ke masa kini,
melainkan ia sendiri terlibat dalam apa yang diberitakan. Pewarta tidak sekadar melakukan
penyampaian (transmissio) informasi melainkan terutama melakukan perubahan
(transformatio).24 Sedangkan wartawan bertugas untuk melakukan transmissio informasi.
Adapun evangelisasi melalui media mencakupi tugas wartawan (jurnalis) sekaligus pewarta
(evangelisator).
Berkaitan dengan refleksi tentang evangelisasi melalui media itu, berikut ini saya juga
membuat catatan refleksif tentang evangelisasi melalui mimbar Gereja. Konstitusi Dogmatis Dei
Verbum Vatikan II mengajarkan bahwa wahyu adalah komunikasi diri Allah sendiri yang
mencapai puncaknya dalam diri Yesus. Vatikan II memberikan penekanan pada penyampaian
diri Allah dan bukan pada penyampaian kebenaran-kebenaran tentang Allah yang diterima
dengan ketaatan akalbudi oleh manusia, sebagaimana diajarkan oleh Konstitusi Dogmatis Dei
Filius dari Vatikan I. Ajaran Vatikan II ini mempunyai konsekuensi yang sangat penting bagi
24
Krispurwana Cahyadi, SJ, Benediktus XVI, Op. Cit., hlm. 48.
11
karya pastoral. Kalau iman itu bukan pada tempat pertama suatu sikap akalbudi yang menerima
dan mengakui ajaran ilahi melainkan suatu sikap hati, maka pembinaan iman umat bukan pada
tempat pertama suatu pengajaran kepada otak melainkan kepada interaksi pribadi. Dengan
demikian, tantangan pewartaan sebenarnya bukan pada tempat pertama umat yang
mendengarkan Sabda Allah melainkan agen pastoral yang menjalankan tugas pewartaan Sabda
Allah itu. Baginya, Sabda Allah itu, itulah hidupnya, itulah bagian hidupnya, itulah cara
hidupnya. Singkatnya, ia adalah seorang pewarta. Akan tetapi, manakala ia hanya
menyampaikan informasi (transmissio) tentang kebenaran-kebanaran ilahi tanpa keterlibatan
dirinya dalam kebenaran itu, maka ia seorang wartawan .
Pewartaan tentang keselamatan semua manusia dan bangsa, terutama mereka yang paling
tertindas, miskin dan tersingkir, hanya bisa dimengerti, dipercayai, kalau pewartaan itu disertai
oleh kesaksian hidup sang evangelisator. Tanpa kesaksian dan keterlibatan yang nyata sang
pewarta, maka Injil akan dianggap omong kosong saja. Biarpun seorang agen pastoral berkotbah
dengan sangat menarik tentang hidup miskin dan sederhana, namun realitas hidupnya
menunjukkan konsumerisme, maka omongannya itu kosong. Ia tampil lebih sebagai wartawan
bukan pewarta. Dalam bahasa logika, ia sementara memperlihatkan kepada umat apa yang
disebut contradictio in exercito, kata-katanya yang hebat dan menarik itu digugurkan atau
dilawan oleh kenyataan hidupnya. Atau, dalam bahasa moralnya, ia sementara berbohong.
Gereja didirikan oleh Kristus dan diserahi tugas yaitu perintah untuk mewartakan Injil dalam
berbagai bentuk dan cara seperti: mewartakan Kabar Baik, memberikan kesaksian, menjadikan
orang murid Kristus, membaptis, dan mengajar. Semua segi ini merupakan amanat misi dari
Yesus kepada para muridNya. Semuanya harus dilihat dalam terang perutusan yang dilaksanakan
oleh Yesus sendiri, perutusan yang Ia terima dari Bapa. Gereja diutus untuk menjadi garam dan
terang dunia, berguna bagi sesuatu ‘di luar dirinya’, melanjutkan misi Yesus. Magisterium
menegaskan bahwa:
Kehidupan Kristus mengandung semua unsur misi. Dalam Injil, Yesus ditampilkan dalam
keheningan, kegiatan, doa, dialog, dan pengajaran. PesanNya tak dapat dipisahkan dari tindakanNya;
Ia mewartakan Allah dan kerajaanNya tak hanya dengan perkataan, melainkan dengan tindakan yang
melengkapi pewartaanNya.25
Dalam bab ini akan dibahas misi Gereja untuk mewartakan Injil dalam tradisi keagamaan dan
kebudayaan lain. Uraian ini diawali dengan beberapa dasar teologis misi sebagai titik tolak dan
arah praksis, dan unsur-unsur apa saja yang menjadi sasaran dari teologi misi dan dialog agar
pewartaan Injil mendapatkan tempat di dalam kebudayaan. Selanjutnya akan dibahas secara
25
Sekretariat Kepausan Untuk Orang-orang Bukan Kristen, Sikap Gereja Terhadap Para Penganut Agama-Agama
Lain: Refleksi dan Orientasi tentang Dialog dan Misi (DM), no. 15, dalam HAK, Op. Cit.
12
khusus mengenai dialog dengan tradisi keagamaan lain yang makin mendesak, dan diakhiri
dengan kesimpulan.
1.1. Inkarnasi
Dalam mewahyukan diriNya kepada manusia dan mewujudkan rencana keselamatanNya
dalam sejarah, Allah menyesuaikan diri dengan kodrat manusia, menerima kondisi dan senasib
dengannya. Inkarnasi adalah bahasa solidaritas Allah kepada manusia dan itulah juga bahasa
Gereja. Dalam peristiwa inkarnasi, Sang Sabda menjadi manusia dan masuk dalam kebudayaan
manusia. Sabda Allah diterima lalu dikomunikasikan dalam bahasa-bahasa kebudayaan manusia.
Dalam inkarnasiNya, Yesus berintegrasi dalam budaya manusia, dan menjadi senasib dengan
manusia. Ia dibesarkan dalam tatacara Yahudi, bergaul dengan dan mengikuti norma-norma
agama Yahudi. Ia mengosongkan diri (kenosis), melepaskan ‘budaya ilahi’ dan masuk dalam
budaya manusia dan menjadi sama dengan manusia, bahkan sampai mati di salib (bdk. Flp 2:6-
11). Karena itu, Putera Allah yang menjelma sungguh-sungguh ‘Immanuel: Allah beserta kita’
(Mat 1:23), menerima segala sesuatu yang kita miliki, agar memberikan kepada kita apa yang
merupakan milikNya sendiri.
Hidup Yesus yang sempurna manusiawi, sepenuhnya dibaktikan kepada cintakasih dan pelayanan
terhadap Bapa dan kepada sesama, memperlihatkan bahwa panggilan setiap manusia harus menerima
cintakasih dan memberikan cintakasih (EA 13).
Hidup Yesus yang ‘sempurna manusiawi’ membuat komunikasi diri Allah dapat ditangkap
dalam bentuk yang nyata, dapat didengar dan konkret sesuai dengan struktur historis dan sosial.
“Barang siapa melihat Aku, ia melihat Dia yang telah mengutus Aku” (Yoh 12:45; bdk. 14:9).
1.1.2. Inkarnasi: Titik Tolak Pewartaan Injil Dalam Tradisi Keagamaan Lain
Inkarnasi Sabda adalah Putera Allah yang mengambil kekhasan seorang manusia. Sang
Sabda masuk dalam satu keluarga manusia yang nyata dan memulai satu biografi manusia pada
satu tempat dan kebudayaan khusus, dalam satu periode sejarah tertentu. Dengan masuknya
Putera Allah ke dalam ruang lingkup dan kebudayaan manusia, maka seluruh ruang lingkup dan
kebudayaan itu menjadi sarana keselamatan yang dapat mempertemukan manusia dengan Allah.
Penjelmaan bertujuan agar segala sesuatu yang telah diciptakan oleh Allah dapat diselamatkan
dan dikuduskan bagiNya, agar “Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Kor 15:28).
Dalam inkarnasi, Putera Allah mengenakan kodrat manusia, masuk dan hidup dalam
masyarakat yang berbudaya. Inkarnasi Putera Allah mengambil tempat dalam budaya tertentu
dalam arti lokal dan temporal (bdk. AG 10). ‘Lokal dan temporal’ mau menegaskan bahwa
pewahyuan Allah itu berkesinambungan, tidak hanya berhenti pada peristiwa ‘mengambil rupa
manusia’. Kesinambungan itu terlaksana dalam hidup Yesus selanjutnya dalam tradisi dan
kebudayaan Yahudi, budayaNya sendiri. Namun dalam karya pewartaanNya, Yesus tidak hanya
menggunakan kebudayaan Yahudi melainkan juga kebudayaan lain. Terhadap budaya Yahudi, Ia
bersikap kritis, memurnikan, menantang dan mengubah unsur-unsur budaya, cara berpikir orang-
orang Yahudi yang tidak sesuai dengan semangat Injil.
Gereja tidak mungkin lagi mewartakan Yesus historis. Gerejalah yang menjalani dialog Injil
dan kebudayaan, bukan lagi Yesus. Dalam arti ini inkulturasi bukan lagi perpanjangan dari
inkarnasi.26 Karena itu, pembicaraan mengenai inkarnasi sebagai dasar misi hanya dapat
dipahami dalam pengertian analogis.27 Pemakaian kata analogi menunjukkan bahwa tidak ada
satu bentuk inkarnasi pun yang sempurna seperti yang terjadi dalam diri Yesus. Menurut Shorter,
ada tiga hal penting dari analogi tersebut:28
26
Bdk. J B Banawiratma, “Menjernihkan Inkulturasi”, dalam Komlit MAWI, Inkulturasi, Jakarta: Obor, 1985, hlm.
21.
27
Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, London: Geoffry Champan, 1998, hlm. 82.
28
Ibid., hlm. 80-83.
14
Pertama, dalam inkarnasi, Yesus menggunakan tubuh manusia dan ikut ambil bagian dalam
kebudayaan manusia sebagai jalan mutlak bagi kodrat manusiawiNya. Kedua, analogi inkarnasi
menunjukkan juga bahwa Yesus membutuhkan kebudayaan dalam pewartaan Injil tentang Kerajaan
Allah dan untuk pemberian seluruh hidupNya kepada manusia. Tidak pernah akan ada karya
pelayanan Yesus di dunia ini, apabila Dia tidak menggunakan kebiasaan, simbol-simbol dan konsep
kebudayaan pendengarNya. Ketiga, pendidikan kebudayaan yang diterima oleh Yesus serta
keterlibatanNya dalam suatu kebudayaan memasukan Dia di dalam seluruh proses sejarah, hubungan
antara kebudayaan yang satu dengan yang lain.
Realitas dunia yang jatuh dalam dosa ini harus mendapat pemurnian dan bahkan pematian dari
unsur-unsur yang menghalangi persekutuan dengan Allah dan sesama. Injillah titik acuan
berhubungan dengan pemurnian dan pematian realitas dunia, yang ditandai sekaligus oleh dosa
dan berkat Allah. “Sebab semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah”
(Rm 3:23). Namun Allah yang begitu mencintai dunia mengutus PuteraNya untuk menebus
dunia dari dosa (bdk. Yoh 3:16), sebab “Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuatNya menjadi
dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2 Kor 5:21).
Dalam misteri Paskah Yesus mengalami kematian, namun kebangkitanNya membawa
manusia ke dalam ciptaan baru. KebangkitanNya mengubah keterbatasan secara fisik dan
manusiawi. Ia tidak lagi terikat oleh ruang, waktu dan kebudayaan. Dapat dikatakan bahwa Ia
“memiliki semua kebudayaan” seketika itu juga. Setiap orang dengan kebudayaan dan tradisinya
telah berada di dalam kekuasaan Kristus yang telah mengalahkan kegelapan. Dengan demikian
setiap orang bergantung pada dan membutuhkan Kristus dalam seluruh hidupnya (bdk. Yoh
6:44; 14:6).
Tidak seorang pun mampu membebaskan diri dari dosa dan melampaui dirinya atas kekuatan
sendiri ... semua orang membutuhkan Kristus sebagai pola-teladan, guru, pembebas, juruselamat, Dia
yang menghidupkan … Kristus oleh kaum beriman dirayakan sebagai ‘Harapan dan Penyelamat para
bangsa (AG 8).
Magisterium juga mengajarkan bahwa iman dan baptis itu perlu untuk keselamatan (AG 7;
LG 14), serta perlunya pewartaan Injil agar orang yang hidup menurut atau melakukan amanat
Kristus memperoleh keselamatan (AG 3; LG 16). Konsekuensi logisnya adalah bahwa hanya
15
orang yang telah menjadi Kristen dan mereka yang mengikuti Kristus sajalah yang dapat hidup
dalam kesatuan dan persekutuan Gereja.29 Jika demikian, maka hal yang sama juga berlaku
bahwa Gereja tidak boleh menerima begitu saja segala kebiasaan, ajaran dan praktek-praktek
keagamaan lain ke dalam praktek Gereja. Semua hal yang dianggap positif dihadapkan dengan
Kristus sebagai batu ujian dan dengan misteri PaskahNya.
Misteri Paskah Kristus menjadi analogi bagi inkulturasi Injil dalam kebudayaan para bangsa.
Untuk menemukan suatu nilai otentik dalam dirinya, segala tradisi dalam kebudayaan harus
mengalami pematian dan pemurnian oleh Injil. Kebudayaan perlu dimurnikan dan ditundukkan
di bawah salib Kristus. Dalam terang Paskah ini, Gereja yang terwujud dalam setiap dan semua
Gereja lokal perlu dilahirkan kembali ke dalam konteks dan budaya baru. 30 Selain kebudayaan,
Gereja juga perlu ‘mati’ terhadap kesombongan dan keterbatasannya. Mati terhadap
kesombongan karena walaupun adanya kepenuhan wahyu Allah dalam Kristus, dalam mengerti
ajaran Kristus dan mempraktekkan agamanya mungkin butuh pemurnian (bdk. DP 32). Juga mati
atas keterbatasannya yang sering nampak dalam hidup dan tindakannya yang nyata, setiap kali
memaksakan sebagai Sabda Allah unsur-unsur dari penjelmaannya yang konkret yang
sebenarnya hanya dibentuk oleh budaya tertentu. Keterbatasan ini pula sering tampak dalam
sikap memvonis sesuatu dari luar sebagai yang bertentangan hanya karena bentuk dan tampilan
luarnya tidak biasa dalam praktek Gereja selama ini.31
29
Bdk. D S Amalorpavadass, “Injil dan Kebudayaan: Evangelisasi dan Inkulturasi”, dalam Georg Kirchberger,
(ed.), Gereja Berwajah Asia, Ende: Nusa Indah, 1995, hlm. 113.
30
Bdk. David Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Kristen yang Mengubah dan Berubah, (terj.
Stephen Suleeman), Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, hlm. 696.
31
Bdk. “Tesis-tesis Gereja Lokal”, dalam Kirchberger (ed.), Gereja Berwajah Asia, Op. Cit., hlm. 58.
16
hidup Yesus. Yesus yang dikandung oleh Roh Kudus dalam rahim perawan Maria (Mat 1:18,
par.); Roh Kudus turun atas Yesus pada waktu pembaptisanNya di Sungai Yordan (Mrk 1:10);
Roh Kudus menuntun Yesus ke padang gurun, agar Ia diteguhkan sebelum berkarya di muka
umum (Mrk 1:12, par.). Di Sinagoga, Yesus memulai pelayanan kenabianNya dengan
menerapkan pada diriNya visi Yesaya tentang pengurapan oleh Roh, yakni mewartakan Kabar
Baik kepada orang-orang miskin dan pembebasan kepada para tawanan (Luk 4:18-19). Roh
Kudus juga tetap menyertai Yesus sampai saat terakhir hidupNya yakni wafat di salib, Yesus
mempersembahkan diriNya kepada Bapa dalam Roh Kudus (Ibr 9:14). Roh yang sama itu
dijanjikan dan diutus oleh Yesus kepada para murid sebagai penolong, penghibur, pengajar (bdk.
Yoh 14:15-26; 16:4b-15). Roh itulah yang menjadi mediator antara Yesus dan Gereja, pengajar
dan penafsir atas apa yang telah diajarkan Yesus.
Peristiwa kebangkitan memungkinkan Roh Kudus untuk masuk dalam setiap kebudayaan
manusia. Berkat Pentakosta ini, semua orang dari bahasa dan latar belakang kebudayaan yang
berbeda dihimpun menjadi satu bahasa yang sama yaitu bahasa iman. Peristiwa Pentakosta
menandai lahirnya Gereja. Konsili menegaskan:
Pada hari Pentakosta Roh Kudus turun atas para murid, untuk tinggal bersama mereka selama-
lamanya (Yoh 14:16); tampillah Gereja secara resmi di hadapan banyak orang; mulailah penyebaran
Injil melalui pewartaan di antara para bangsa; dan akhirnya dipralambangkan persatuan bangsa-
bangsa dalam sifat Katolik iman, melalui Gereja Perjanjian Baru, yang bersabda dengan semua
bahasa, memahami dan merangkul semua bahasa dalam cintakasih, dan dengan demikian mengatasi
percerai-beraian Babel. Sebab dari Pentakosta mulailah ‘Kisah Para Rasul’ (AG 4).
Pencurahan Roh Kudus pada hari Pentakosta memberanikan para Rasul untuk pergi ke seluruh
dunia dan memulai karya pewartaan Injil. Roh memenuhi mereka keberanian untuk
menyampaikan kepada orang-orang lain pengalaman mereka akan Yesus yang bangkit (bdk. Kis
2:29; 4:13). Rasul Yohanes menegaskan:
Kami mewartakan kepadamu hidup kekal, yang ada pada Bapa dan telah nampak kepada kami: yang
kami lihat dan kami dengar, itulah yang kami wartakan kepadamu, supaya kamu pun beroleh
persekutuan dengan kami, dan persekutuan kami beserta Bapa dan PuteraNya Yesus Kristus (1 Yoh
1:2-3).
Roh Kudus selalu aktif bekerja di dalam Gereja, “Dialah pelaku utama tugas perutusan
Gereja” (RM 21). “Kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu
akan menjadi saksiKu di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung
bumi” (Kis 1:8). Roh Kudus tetap bekerja dalam diri para pewarta Injil dan kebudayaan-
kebudayaan sampai saat ini, untuk memanggil semua orang kepada Kristus melalui benih-benih
Sabda dan membangkitkan ketaatan iman dalam hati mereka (bdk. AG 15). Dalam mewartakan
Injil ke dalam kebudayaan dan tradisi kegamaan para bangsa, Sabda Allah itu sendiri menjadi
sumber inspirasi dalam membarui kehidupan dan karya misioner Gereja.
Pandangan positif terhadap tradisi religius dan filosofis di luar Gereja juga telah diusulkan oleh
para Bapa Gereja dari abad II, terutama oleh Yustinus Martir, Ireneus dan Klemens. Mereka
mengembangkan gagasan Kristus kosmis dalam usaha pencarian manusia akan Yang Tertinngi,
absolut.32 Yustinus berpendapat bahwa dalam agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lain
sudah ada benih-benih sabda (logos spermatikos). Ini menunjukkan kenyataan bahwa rahmat
Allah sudah hadir dalam agama-agama dan kebudayaan-kebudayaan lain yang akan dan selalu
dijumpai oleh Gereja dalam tugas perutusannya.
32
Bdk. Jaques Dupuis, Toward a Christian Theology of Religious Pluralism, Maryknoll, New York: Orbis Books,
1997, hlm. 51-53.
18
Kedatangan Kedua Tuhanlah, rekapitulasi semua ini dalam Kristus akan menjadi nyata. Dia adalah
“jalan, kebenaran, dan hidup” (Yoh 16:6).33
Mewartakan dan memberi kesaksian akan Yesus Kristus merupakan pengabdian yang amat
luhur, dan merupakan amanat Yesus bagi perutusan Gereja yang tidak boleh diabaikan, apalagi
dapat saling menggantikan. Kita simak dua pernyataan berikut ini:
Barangsiapa berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan. Tetapi bagaimana mereka dapat berseru
kepadaNya, bila mereka tidak percaya akan Dia? Bagaimana mereka dapat percaya akan Dia, bila
mereka tidak mendengar tentang Dia? Bagaimana mereka mendengar tentang Dia, bila tidak ada yang
memberitakanNya? (Rm 10:13-15.17).
Manusia modern lebih senang mendengarkan kesaksian daripada para pengajar. Dan bila mereka
mendengarkan para pengajar, hal itu disebabkan karena para pengajar tadi merupakan saksi-saksi (EN
41).
Kedua pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa walaupun pewartaan dan kesaksian itu
mendesak, namun ia harus ditunaikan dengan kepekaan yang mendalam atas konteks di mana
Injil diwartakan. Pernyataan St. Paulus dalam arti sempit cukup relevan bagi kelompok orang-
orang yang belum pernah mendengarkan Yesus dan InjilNya, karena berbagai situasi dan
kondisi. Mereka ini memiliki kerinduan akan keselamatan dalam Kristus. Yohanes Paulus II
mengatakan:
Banyak orang tidak mempunyai kesempatan untuk mengetahui atau menerima wahyu Injil atau
bergabung dengan Gereja. Kondisi sosisal dan budaya di mana mereka hidup tidak memungkinkan
hal ini dan sering mereka tidak dibesarkan dalam tradisi agama lain. Bagi orang-orang semacam itu,
keselamatan di dalam Kristus bisa diterima berkat rahmat yang, sambil memelihara hubungan misteri
dengan Gereja, tidak membuat mereka secara formal menjadi bagian dari Gereja, tetapi membuka
hati mereka dengan suatu cara yang disesuaikan dengan situasi spiritual dan material mereka. Rahmat
ini berasal dari Kristus; rahmat itu adalah hasil KorbanNya dan dikomunikasikan oleh Roh Kudus
(RM 10)
Dalam situasi dunia globalisasi dan postmodern dengan mentalitas instant dan relativistik
atas agama, pernyataan Paulus VI menjadi relevan, dan perhatian khusus harus “difokuskan pada
pewartaan dan kesaksian tentang Yesus sebagai satu-satunya penyelamat dunia, walaupun ada
kenyataan menyangkut keabsahan agama-agama lain”.34 Penegasan tentang keunikan Kristus ini
bukan semata-mata ajaran yang ditetapkan otoritas Gereja, melainkan berasal dari Kitab Suci.
Allah adalah satu dan satu juga pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Yesus
Kristus, yang telah menyerahkan nyawaNya sebagai tebusan bagi semua orang (bdk. 1 Tim 2:3-
6). Dan lagi, keselamatan tidak ada dalam siapa pun juga (bdk. Kis 4:12), sebab Yesus sendiri
berkata: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada
Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6) (bdk. DI 5).
33
Savio Hon Tai Fai, SDB, “Kisah Yesus Dalam Agama-Agama Asia”, dalam John M Prior & Patris Pa (eds.),
Kisah Yesus Di Asia: Perayaan Iman dan Hidup, Kongres Misi Asia, Chiang Mai, Thailand, 2006, Jakarta: KKM
KWI & KKI, 2007, hlm. 102. Injil yang dirujuk seharusnya Yoh 14, bukan 16.
34
Stephen B Bevans & Roger P Schroeder, Terus Berubah – Tetap Setia, Dasar, Pola, Konteks Misi, (terj. Yosef
Maria Florisan), Maumere: Ledalero, 2006, hlm. 615. Ajaran Gereja dalam Redemptoris Missio (RM), Fides et
Ratio (FR), Dominus Iesus (DI), Ecclesia in Asia (EA) adalah menegaskan kebenaran absolut dari iman Katolik
“sebagai penyembuh bagi mentalitas relativistik” (DI 5). Deklarasi DI ini berpusat pada tiga afirmasi atau penegasan
yaitu: kepenuhan dan puncak dari wahyu Allah (DI 5-8), kesatuan ekonomi keselamatan dari Sabda yang Menjelma
dan Roh Kudus (DI 9-12), keunikan dan universalitas misteri keselamatan Yesus Kristus (DI 13-16). Frasa seperti:
harus teguh diimani, harus mengikrarkan, perlu teguh diimani, harus diimani secara teguh, dll, mendominasi DI.
19
Kisah Injil tentang Yesus dan kata-kata (sabda) dari Yesus dalam Injil menjadi sumber
kekuatan dan inspirasi bagi para murid Tuhan. Kisah tentang Yesus dan kisah dari Yesus bukan
hanya berupa warisan untuk dikenang melainkan kisah dan pegangan yang mengobarkan
semangat dan memberi hidup. Sebuah kisah kehidupan karena pribadi yang dikisahkan itu adalah
sumber kehidupan. Sangat beralasan jika Gereja bersama Rasul Petrus sekali lagi secara lantang
berkata: “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? PerkataanMu adalah perkataan hidup yang
kekal; dan kami telah percaya dan tahu, bahwa Engkau adalah Yang Kudus dari Allah” (Yoh
6:68-69).
Tugas Gereja “untuk memperkenalkan Yesus, supaya Ia dikasihi dan diikuti” (EA 19) perlu
dijalankan dengan kepekaan yang tinggi dan pendekatan yang berbeda atas konteks tertentu.
Tugas mulia ini hanya akan dapat menyentuh hati para penerima Kabar Baik itu jika kisah itu
disajikan seturut cara berpikir dan kesadaran religius mereka. Misalnya, untuk konteks Asia,
Yohanes Paulus II mengatakan:
Penyajian … Yesus Kristus kiranya dapat datang sebagai pemenuhan dambaan-dambaan, yang
diungkapkan dalam mitologi-mitologi dan folklore bangsa-bangsa Asia … pola-pola naratif yang
berdekatan dengan bentuk-bentuk budaya Asia perlu diutamakan. Kenyataanya pewartaan Yesus
Kristus dapat secara paling efektif dengan mengisahkan ceritaNya, seperti disampaikan oleh Injil.
Faham-faham ontologis terkait, yang selalu harus diandaikan dan diungkapkan dalam menyampaikan
Yesus, dapat dilengkapi dengan perspektif-perspektif relasional, historis dan bahkan kosmis. Menurut
para Bapa Sinode, Gereja hendaklah terbuka bagi cara-cara yang baru dan mengejutkan, dan itulah
cara-cara wajah Yesus kiranya dapat disajikan di Asia.
Sinode menganjurkan, supaya katekese-katekese yang menyusul hendaklah mengikuti “pendidikan
yang merangsang, dengan menggunakan cerita-cerita, parabel-parabel dan lambang-lambang yang
begitu khas bagi metodologi Asia dalam mengajar”. Pelayanan Yesus sendiri jelas menunjukkan nilai
kontak pribadi, yang meminta pewarta Injil agar sungguh mengindahkan situasi pendengar, supaya
menyajikan pewartaan yang memang sesuai dengan tahap kematangan pendengar, lagi pula dalam
bentuk maupun bahasa yang cocok. Dalam perspektif itu para Bapa Sinode sering menekankan
kebutuhan mewartakan Injil melalui cara yang menyentuh perasaan-perasaan bangsa-bangsa Asia,
dan mereka menyarankan gambaran-gambaran tentang Yesus, yang kiranya dapat dimengerti bagi
citarasa dan kebudayaan-kebudayaan Asia, sekaligus juga tetap setia terhadap Kitab Suci dan Tradisi.
Di antara mereka: “Yesus Kristus sebagai Guru Kebijaksanaan, Sang Penyembuh dan Pembebas,
Penuntun Rohani, Dia Yang Diterangi, Sahabat yang Berbela-duka bagi rakyat Miskin, Orang
Samaria yang Baik, Gembala Baik, Dia yang Taat”. Yesus dapat diperkenalkan sebagai
Kebijaksanaan Allah yang Menjelma, lagi pula rahmatNya membuah-hasilkan “benih-benih”
Kebijaksanaan ilahi yang sudah hadir dalam perihidup, agama-agama dan bangsa-bangsa Asia. Di
tengah sekian banyak penderitaan di tengah bangsa-bangsa Asia, kiranya Yesus Kristus itu paling
baik diwartakan sebagai Sang Penyelamat, “yang dapat memberikan makna kepada mereka yang
sedang menanggung rasa sakit dan penderitaan” (EA 20).
Isi Injil tetap satu dan sama, tetapi pesannya harus disajikan dalam konteks yang berubah dengan
cara tertentu. Kisah Yesus adalah kisah yang memberi inspirasi dan hidup, kisah agung yang
pernah dituturkan di seantero bumi ini, yang tetap dan terus menggemakan daya inspiratifnya.
Kisah itu perlu dihadirkan secara kontekstual dan inkulturatif.
Tradentae (CT) Yohanes Paulus II menjelaskan bahwa katekese memunyai bentuk inkarnasi.
Seperti lewat inkarnasi Sabda Allah menjadi manusia demikian pula lewat inkulturasi katekese
sebagai bentuk pewartaan Injil, mendapat ekspresi budaya (bdk. CT 53). Menurut Yohanes
Paulus II, antara Injil dan kebudayaan terjadi proses relasi mutual yang saling memberi dan
menerima.
Melalui inkulturasi, Gereja menjelmakan Injil dalam kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dan
serentak membawa masuk para bangsa bersama dengan kebudayaan mereka, ke dalam persekutuan
Gereja sendiri (RM 52).
Jadi, inkulturasi berarti transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya yang asli yang
diintegrasikan ke dalam Gereja dan penanaman Gereja dalam keragaman budaya lain.
Sementara itu, Shorter mendefinisikan inkulturasi sebagai hubungan yang kreatif dan
dinamis antara iman Kristen dengan satu atau lebih kebudayaan. Selain itu, ia menegaskan tiga
hal penting mengenai inkulturasi: pertama, inkulturasi adalah suatu proses yang berlangsung
terus menerus dan selalu relevan untuk setiap bangsa di mana iman kristiani mulai tumbuh.
Kedua, inkulturasi mengandaikan bahwa iman Kristen tidak mungkin ada kecuali di dalam
konteks kebudayaan tertentu. Artinya, ketika kekristenan memasuki suatu kebudayaan, ia sudah
terbungkus seturut kultural pewartanya. Ketiga, inkulturasi mengandaikan perjumpaan antara
dua budaya, tetapi diperlukan suatu simbiosis yang kritis.35
Selain itu, menurut Peter C Phan, seperti dikutip oleh Bevans & Schroeder, ada lima
keyakinan tentang inkulturasi.
Pertama, inkulturasi akan merupakan sebuah “persoalan yang paling mendesak dan kontroversial
dalam misi selama beberapa dasawarsa mendatang”, khususnya mengingat kenyataan bahwa agama
Kristen dewasa ini benar-benar merupakan agama Kristen sedunia dan Gereja sekarang ini benar-
benar merupakan Gereja sedunia. Kedua, berbagai paham dan praktek inkulturasi belakangan ini
tengah ditantang karena pemahaman tentang inkultrasi dan kebudayaan itu sendiri sedang mengalami
pembaruan yang signifikan dalam teologi, misiologi dan antropologi. Ketiga, inkulturasi akan sangat
diuntungkan oleh penghargaan yang semakin luas terhadap religiositas kerakyatan, yakni agama
orang-orang kebanyakan. Keempat, suatu pemahaman yang lebih dalam tentang sejarah misi akan
menyajikan “banyak pelajaran yang berharga mengenai proses inkulturasi dan peran agama popular
di dalamnya”. Kelima, pada keberhasilan atau kegagalan inkulturasi itulah bergantung masa depan
Gereja.36
Inkulturasi dalam banyak hal terbukti sebagai sebuah tugas yang menarik, namun sekaligus juga
terbukti sebagai sebuah tugas yang “panjang” serta “sulit lagi rumit” (RM 52; EA 22), dan tidak
jarang mendatangkan kebosanan, bahkan penderitaan.
Dibutuhkan spiritualitas inkulturasi yang senantiasa membimbing orang-orang Kristen yang
memikul tugas yang berat lagi sukar ini, agar iman Kristen dan konteks-konteks lokal berjumpa
secara autentik. Spiritualitas ini Bevans sebut sebagai ihwal “menanggalkan” dan “berbicara
lantang”, dan itu tentu berfungsi secara berbeda untuk “orang luar” dan “orang dalam”. 37 Tugas
spiritual yang utama bagi orang luar ialah menanggalkan, melucuti diri dari segala persepsi
pribadinya lalu memasang telinga, belajar untuk diinjili oleh konteks. Setelah dalam waktu lama
barulah ia bersuara lantang berupa saran atau pun kritikan tentang proses inkulturasi atau atas
35
Bdk. Aylward Shorter, Toward a Theology of Inculturation, Op. Cit., hlm. 11-12.
36
Bevans & Schroeder, Op. Cit., hlm. 663.
37
Bevans & Schroeder, Ibid., hlm. 664. Bdk. Bevans, Model-Model, Op. Cit., hlm. 99.
21
konteks. Bagi orang dalam adalah berani berbicara lantang atas kepercayaan dan pemahamannya
sendiri tentang konteks budaya atau pun sosialnya, juga berani menerima resiko dalam
perjumpaan antara Injil dan konteks. Hanya secara perlahan ia boleh mendengarkan kritik atas
konteks budaya dan sosialnya, dan secara perlahan menanggalkan intuisinya. Jadi, menurut
Bevans, tugas seorang pelaku inkulturasi ialah berdialog dengan konteks di mana Injil itu
diwartakan atau kehidupan Kristen ditafsir. Dengan kata lain, menurutnya inkulturasi dilakukan
secara paling baik dalam dialog profetis:
Inkulturasi harus secara mendasar bercorak dialogis, karena sebuah konteks tidak selalu dengan
mudah dapat terbaca pada permukaannya. Setelah bertahun-tahun menyendengkan pendengaran,
bertahun-tahun belajar dari sebuah tradisi kebudayaan, kerja keras berbicara dengan umat akar
rumput dan studi akademis – semuanya ini merupakan hal yang hakiki baik untuk orang dalam
maupun orang luar pada setiap situasi pastoral. Pada saat yang sama, bukan segala sesuatu yang
terdapat dalam sebuah kebudayaan baik adanya; beberapa hal malahan perlu dicela sebagai kejahatan
dan dienyahkan dari kebudayaan tersebut. Pengalaman mesti dihormati, namun berbagai prasangka
juga dapat merancukan persepsi. Injil menemukan gaung dan kendala dalam setiap konteks. 38
Dalam relasinya dengan budaya-budaya lokal, Gereja tetap memusatkan diri pada kekayaan
budayanya yang absolut yang terkandung dalam Kitab Suci, Tradisi dan bahasa-bahasa biblis.39
Maksudnya, isi Kitab Suci satu dan tetap, tapi pesannya harus selalu kontekstual. Gereja tentu
saja dalam proses inkulturasi tidak ingin kehilangan identitas kekristenannya yang mengalir dari
Kitab Suci dan Tradisi kekristenan (bdk. DV 8). Injil tidak tunduk pada budaya-budaya lokal,
Injil harus tetap berada di atas kebudayaan karena unggul dalam hal kualitas, 40 Injil adalah
kepenuhan rahmat Allah.
Dialog Injil dan kebudayaan bukan sekadar adaptasi belaka, yakni menerima dan memupuk
unsur-unsur budaya dalam kekristenan, tetapi lebih dari itu, dialog itu memiliki karakter
transformatif. Kekuatan Injil dalam dialog adalah dayanya yang mengubah. 41 Pesan Injil
meneropong situasi budaya, menantang, mengubah, dan membaruinya dari dalam (bdk . Ef
1:10).
Kekuatan Injil di manapun juga menimbulkan perubahan dan kelahiran baru. Bila kekuatan itu
merasuki kebudayaan, tidak mengherankan bahwa banyak unsur kebudayaan itu dijernihkan atau
diluruskan olehnya. Tidak akan ada penginjilan, seandainya Injillah yang harus berubah bila
berjumpa dengan kebudayaan (CT 53).
Pembaruan oleh Injil harus secara vital, mendalam dan tepat pada akar-akarnya, yakni
membarui perihidup dan kebudayaan manusia yang jatuh akibat dosa (bdk. DP 31; GS 58).
Nilai-nilai dalam kebudayaan itu, bila disaring dan diperbarui oleh Injil, akan menjadi ungkapan
otentik dan perwujudan nyata dari iman kristiani, baik dalam perayaan liturgi maupun dalam
kehidupan jemaat yang beranekaragam (bdk. GS 58).
38
Bevans & Schroeder, Ibid., hlm. 665.
39
H Vorgrimler (ed.), Commentary On The Documents of Vatican II, vol.Five, New York: The Crossroad Publishing
Company, 1998, hlm. 226.
40
Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan (terj. Eka Darmaputra), Jakarta: Satya Karya, 1998, hlm 226
41
Georg Kirchberger, Gereja Yesus Kristus Sakramen Roh Kudus, Ende: Nusa Indah, 1991, hlm. 232.
22
Untuk melaksanakan karya sebesar itu, Kristus selalu mendampingi GerejaNya, terutama dalam
kegiatan-kegiatan liturgis. Ia hadir dalam Korban Misa, baik dalam pribadi pelayan maupun terutama
dalam rupa Ekaristi. Dengan kekuatanNya Ia hadir dalam sakramen-sakramen, Ia hadir dalam
sabdaNya. Akhirnya Ia hadir, sementara Gereja memohon dan bermazmur. Tak ada tindakan Gereja
lainnya yang menandingi daya dampaknya dengan dasar yang sama serta dalam tingkatan yang sama
(SC 7).
Ya, Gereja hanya dapat menampilkan diri sebagai Gereja ketika ia tampil dan berada dalam
persekutuan, baik dengan sesama umat kristiani maupun dengan anggota di luar Gereja. Bersama
sesama anggota Gereja ia tampak ketika berkumpul untuk beribadat dan bersama semua orang ia
tampak ketika berada dalam suasana doa, berada dalam dialog penuh iman dan perhatian dengan
kehendak Allah.
Thomas Schattauer, seperti yang disampaikan oleh Bevans, berpendapat bahwa ada tiga
kemungkinan relasi antara liturgi dan misi, yaitu “yang di dalam dan yang diluar”, “yang di luar
ke dalam”, dan “yang di dalam keluar”.42 Maksud Schattauer adalah adanya hubungan timbal-
balik antara kehadiran Gereja melalui kegiatan-kegiatan liturgi dengan realitas kehidupannya
sehari-hari. Tentang ketiga relasi ini, secara umum Bevans berpendapat bahwa, liturgi adalah
sekaligus “yang di dalam dan yang diluar”. Sebab dalam liturgi, Firman Allah yang diwartakan,
perjamuan yang dibagi-bagikan, panggilan yang dirayakan dan rekonsiliasi yang ditawarkan
merupakan saat-saat pewartaan bagi semua orang. Demikian juga, semua kejadian di tengah
dunia mesti menjalin dialog dengan pertemuan kebaktian jemaat, kejadian di luar mesti dibawa
dan dihayati dalam doa.43 Dengan demikian, “liturgi secara mengagumkan menguatkan tenaga
mereka untuk mewartakan Kristus” (SC 2), sebab liturgi adalah sumber dari mana segala
kekuatan Gereja berasal (SC 10).
Walaupun setiap upacara liturgi mengandung unsur misioner, namun hal ini nampak secara
gamblang dalam perayaan Ekaristi maupun Ibadat Sabda tanpa imam. Mengenai pentingnya
perayaan Ekaristi bagi umat dinyatakan oleh Gereja bahwa:
Sakramen-sakramen lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejawi serta kerasulan, berhubungan erat
dengan Ekaristi suci dan terarah kepadanya. Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan
rohani Gereja, yakni Kristus sendiri, Paskah kita dan Roti hidup, yang karena dagingNya yang
dihidupkan oleh Roh Kudus dan menjadi sumber kehidupan mengaruniakan kehidupan kepada
manusia … dan menjadi sumber kehidupan mengaruniakan kehidupan kepada manusia … Oleh
karena itu tampillah Ekaristi sebagai sumber dan puncak seluruh pewartaan Injil … Jadi Ekaristi
merupakan pusat jemaat beriman, yang dipimpin oleh imam (PO 5).
Ekaristi merupakan tempat awal keluar dan mengalirnya kekayaan rohani untuk menyirami dan
menyuburkan hidup kristiani; pokok sekaligus bagian terpenting dari kehidupan kristiani itu
sendiri. Hidup jemaat dan segala jerih-payahnya serta segenap ciptaan berdasar dan mengarah
pada Ekaristi, dalam persekutuan dengan Kristus.
Ekaristi sebagai sumber dan puncak hidup dan persekutuan kristiani mencapai momen
terindahnya ketika semua orang (tanpa peduli perbedaan latar belakang) bersama-sama
menerima Tubuh dan Darah Kristus sebagai sumber kekuatan dan kehidupan rohani. Di dalam
Ekaristi, Kristus sendiri bertindak sebagai tuan rumah yang mengundang dan menjamu semua
42
Bevans & Schroeder, Op. Cit., hlm. 616-617.
43
Bdk. Ibid., hlm. 617-621.
23
orang, bahkan Dia sendiri menjadi santapan. Dengan berperanserta dalam Liturgi (Ekaristi) suci
ini, jemaat beriman mencapai kehidupan doa yang tulus. Ekaristi membekali dan menjadikan
kehidupan jemaat kristiani sebagai pewartaan Injil, seperti yang dikatakan oleh Yohanes Paulus
II:
Semakin jemaat Kristiani berakar dalam pengalaman akan Allah yang mengalir dari iman yang hidup,
itu kian dapat dipercaya akan mampu mewartakan kepada sesama pemenuhan Kerajaan Allah dalam
Yesus Kristus. Itu akan berhasil dari kesetiaan mendengarkan Sabda Allah, dari doa dan kontemplasi,
dari perayaan misteri Yesus dalam Sakramen-sakramen, terutama dalam Ekaristi, serta dari
penyampaian teladan persekutuan sejati hidup dan keutuhan cintakasih. Jantung Gereja yang khas
harus ditaruh pada kontemplasi akan Yesus Kristus, Allah yang menjadi Manusia, lagi pula tiada
hentinya berusaha mewujudkan persatuan yang lebih mesra dengan Dia, yang misiNya tetap
dilangsungkan oleh Gereja. Perutusan itu aksi yang kontemplatif dan kontemplasi yang aktif (EA 23).
Dua orang kudus besar, Fransiskus Xaverius (misionaris aktif) dan Theresa dari Lisieux
(misionaris kontemplatif) ditetapkan oleh Gereja sebagai pelindung misi. Gereja ingin
menekankan segi perutusannya yang aktif dan kontemplatif sekaligus.44 Kehidupan doa dari
setiap umat beriman apapun profesinya selalu memiliki segi dan menjadi sebuah karya misioner
yang sejati. Doa selalu merupakan komunikasi yang mengatasi ke-aku-an menuju kontak relasi
dengan kehendak Allah, dengan kebutuhan dunia universal dan dengan Gereja yang berdiam di
dalamnya. Kesadaran akan dimensi misioner doa mendorong Gereja agar dalam dalam perayaan
liturgi,
dipanjatkan doa umat dengan ujud-ujud yang secara umum sebagai berikut: untuk kepentingan
Gereja; untuk para pejabat pemerintah dan keselamatan dunia; untuk orang-orang yang sedang
menderita berbagai kesulitan; untuk umat setempat; dan ujud-ujud lain sesuai maksud dari peristiwa
yang sedang dirayakan.45
Gereja harus mengarahkan pandangan keluar, melampaui dirinya untuk bergabung dengan orang
kabanyakkan – Gereja dan masyarakat yang lebih luas – seturut pandangan dan ajaran Gurunya:
“Bapa kami yang di surga, …” (Mat 6:9-13).
Menurut Benediktus XVI, dengan menyebut “Bapa Kami” kita menggabungkan diri bersama
para murid (rasul) Yesus, dan hanya dalam “kami”-nya mereka kita boleh memanggil Allah
sebagai “Bapa” dan juga kita masuk dalam persekutuan dengan Yesus, dan dengan demikian kita
sungguh-sungguh menjadi “anak-anak” Allah. Dalam arti ini, Benediktus XVI mengatakan:
Kata kami itu sesungguhnya penuh tuntutan: kata itu menuntut kita melangkah keluar dari lingkaran
tertutup “saya”-nya kita. Kata itu menuntut kita menaklukkan diri kita pada persekutuan dengan
anak-anak Allah lainnya. Kata itu menuntut kita melucuti diri dari apa yang semata-mata menjadi
milik kita sendiri, dari apa yang membagi dan memilah. Kata itu menuntut kita menerima yang lain,
sesama – agar kita membukakan telinga dan hati kita bagi mereka. Ketika mengujarkan kata kami,
kita mengatakan Ya kepada Gereja yang hidup, di dalamnya Tuhan berkehendak mengumpulkan
keluargaNya yang baru. Dalam arti ini, Doa Bapa Kami sekaligus doa yang seluruhnya personal dan
seutuhnya gerejawi. Dengan mendaraskan doa Bapa Kami, kita berdoa secara sepenuhnya dengan
hati kita sendiri, namun pada saat yang sama dalam persekutuan dengan segenap keluarga Allah,
dengan orang-orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal dunia, dengan manusia dari
segenap kondisi, kebudayaan dan ras. Doa Bapa Kami mengatasi semua sekat pembatas dan
menjadikan kita satu keluarga.46
44
Bdk. Bevans & Schroeder, Ibid., hlm. 624-625.
45
Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR), Komisi Liturgi, Ende: Nusa Indah, 2002, no. 69-70.
46
Benediktus XVI, Yesus dari Nazaret (terj. B S Mardiatmadja), Jakarta: Gramedia, 2008, hlm. 153.
24
Tafsiran ini menjadi kunci bagi kita untuk mengerti keseluruhan Doa Tuhan sebagai ungkapan
yang menjangkau dan menerobos semua batasan. Sasaran dari upacara liturgi dan doa Gereja
selalau berupa pembaruan dalam perjumpaan dengan Allah misioner. “Saudara (-saudari)
sekalian, Perayaan Ekaristi (Sabda) sudah selesai. Marilah pergi! Kita diutus”, demikian Gereja,
lewat pemimpin perayaan mengakhiri sebuah perayaan liturgi. Liturgi di dalam membentuk
komitmen untuk aksi keluar.