Spiritualitas: jalan untuk memahami keberadaan dan kehidupan
manusia yang berkaitan dengan pencarian nilai-nilai luhur untuk mencapai tujuan hidupnya. Di dalam agama Kristiani, ‘jalan’ tersebut bukanlah berupa peraturan-peraturan, melainkan berupa ‘Seseorang‘. ‘Seseorang’ :Yesus Kristus, Allah yang menjelma menjadi manusia. Spiritualitas Kristiani tidak diawali dengan ide tentang Allah, tetapi langsung berkaitan dengan iman akan Sabda Allah yang menjadi manusia (Yoh 1:14), yaitu Yesus Kristus. Kristuslah pemenuhan Rencana Keselamatan yang dijanjikan Allah. Karena itu, kehidupan Spiritualitas Kristiani berpusat pada Kristus. Spiritualitas Kristiani; pilihan yang kita ambil untuk “mengenal dan bertumbuh” dalam hubungan sehari-hari dengan Tuhan Yesus Kristus dengan menaklukkan diri kepada pelayanan Roh Kudus, sebagai Roh Kristus sendiri, dalam kehidupan kita. Hal ini berarti bahwa sebagai orang-orang percaya, kita memutuskan untuk menjaga agar komunikasi kita dengan Roh Kudus tetap terbuka melalui pengakuan dosa (1 Yoh. 1:9). Ketika kita mendukakan Roh Kudus dengan berdosa (Ef. 4:30; 1 Yoh. 1:5-8), kita mendirikan penghalang antara kita dan Allah. Ketika kita tunduk kepada pelayanan Roh Kudus, hubungan kita tidak akan dipadamkan (1 Tes. 5:19). Spiritualitas Kristiani adalah kesadaran persekutuan dengan Roh Kristus yang tidak terputus oleh kedagingan dan dosa. 2. Titik tolak Spiritualitas Kristiani Titik tolak spiritualitas Kristiani yang alkitabiah adalah inisiatif Allah dan jawaban manusia sesuai dengan iman yang telah dianugerahkan kepadanya. Namun, itu semua hanyalah titik tolak yang harus dilanjutkan dengan proses pengudusan (Ef. 4:23, Kol. 3:10). Anugerah Allah memungkinkan terjadinya transformasi pada diri seseorang untuk menjadi serupa dengan Kristus. Hal itu dimungkinkan dengan adanya peran Roh Kudus dalam diri orang percaya (Tit. 3:5), sehingga manusia kembali dimungkinkan untuk menjadi gambar Allah yang mempermuliakan Allah sesuai dengan tujuan Allah sejak penciptaan (Ef. 2:1-10). 3. Visi Spiritualitas Kristiani Visi dasar spiritualitas kristiani adalah kasih. Kasih itu meliputi: - Kasih kepada Allah - Kasih kepada sesama - Kasih kepada diri sendiri 3.1. Kasih kepada Allah Menyangkal diri, memikul salib dan mengikuti jalan Yesus serta menerima, menghargai dan bekerjasama dengan sesama yang berbeda jalan iman untuk menghargai nilai-nilai kemanusiaan sebagai wujud kasih kepada Allah; (Mat. 16:24; Mrk. 8:34; Luk. 9:23; 1 Yoh. 4:20); Menyimak Firman Allah melalui saat teduh yang rutin, pemahaman dan pendalaman Alkitab dan mengalami aktivitas pembaruan yang Allah kerjakan di dalam dunia dengan menjadi rekan sekerja-Nya; Menghormati dan merayakan kuasa Allah, yang Roh dan Kemuliaan- Nya tampak dalam segenap ciptaan-Nya, termasuk Bumi dan segenap ekosistem di dalamnya; Mengekspresikan kasih melalui kebaktian dalam liturgi yang jujur, khidmat, jelas, menginspirasi dan merefleksikan kebenaran Allah sebagaimana yang diungkapkan dalam Alkitab. 3.2. Kasih kepada sesama Memandang dan memahami orang lain secara otentik seperti yang telah dilakukan Yesus, dengan memperlakukan orang lain sebagai yang diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa Allah, tanpa perlakuan diskriminatif berdasarkan ras, jenis kelamin, usia, kemampuan fisik dan mental, kebangsaan dan status ekonomi; Berpihak, sebagaimana yang sudah Yesus lakukan, dengan yang tersisih dan tertekan, terbuang dan sakit, memperjuangkan kedamaian dan keadilan dengan segenap upaya dan daya; Memperjuangkan kebebasan beragama dan mengupayakan suara- suara kenabian kepada pemerintah terkait dengan keadaan sosial yang membutuhkan perhatian bersama segenap komponen masyarakat; Berjalan dengan rendah hati bersama Allah, menyadari kelemahan diri sendiri sambil dengan tetap jujur memuji dan mencari kebaikan dalam diri orang lain termasuk terhadap mereka yang menganggap kita sebagai musuh mereka. 3.3. Mengasihi diri sendiri Mendasarkan kehidupan kita dalam iman bahwa di dalam Kristus, segala sesuatu dijadikan baru dan kita termasuk semua orang amat sangat dikasihi dengan kasih yang lebih besar dari yang dapat kita bayangkan untuk selama-lamanya; Menyadari bahwa pikiran dan hati kita pada dasarnya adalah ciptaan Allah yang kudus, oleh sebab itu baik iman maupun ilmu pengetahuan juga iman dan keragu-raguan merupakan proses yang patut dihargai dalam mencari, menemukan dan mempermurni kebenaran; Peduli akan kebugaran tubuh dengan menyediakan waktu yang cukup untuk menikmati kuasa dan sukacita yang didapat melalui doa, refleksi, ibadah dan rekreasi yang akan memperlengkapi karya kinerja sehari-hari sebagai wujud pertanggungjawaban atas talenta yang dipercayakan-Nya; Menghidupi iman dengan tindakan karena sadar bahwa hidup kita ini bermakna dan memiliki tujuan. Tindakan iman itu dihayati sebagai panggilan dan pelayanan yang memperkuat dan mewujudkan bukti kasih Allah kepada dan melalui kita. 4. Isi Spiritualitas Kristiani Dalam Gereja Katolik, terdapat banyak cara penghayatan iman dan spiritualitas. Tetapi, inti semua spiritualitas Kristiani yang benar adalah keinginan untuk “mengikuti” Yesus. Spiritualitas Kristiani didasarkan pada identifikasi dalam iman dengan Yesus Kristus yang bagi orang-orang Kristiani merupakan “jalan, kebenaran dan kehidupan” (Yoh. 1:46). Mengikuti Yesus berarti membangun sikap- sikap yang diperlihatkan Yesus. Spiritualitas menjadi motivasi untuk mengubah dunia yang penuh kekerasan, kebencian, penindasan, ketidakadilan dan kedosaan, menjadi tempat di mana sentuhan cinta kasih Allah dapat dirasakan. 5. Dasar spiritualitas kristiani: kerendahan hati Kerendahan hati atau humility berasal dari kata bahasa Latin humus yang berarti tanah/bumi. Jadi, kerendahan hati adalah menempatkan diri ‘membumi’ ke tanah. Secara khusus pada Rabu Abu, Gereja mengingatkan kita akan hal ini: “Ingatlah bahwa kamu adalah debu, dan kamu akan kembali menjadi debu” (Kej 3:19) Betapa dalamnya makna perkataan ini, dan jika kita renungkan, kita akan semakin mengenal diri kita yang sesungguhnya. 5.1. Makna kerendahan hati Kerendahan Hati: Nilai yang diperoleh dari Penghormatan kepada Tuhan Kerendahan Hati: Hasil dari pengenalan akan diri sendiri dan akan Tuhan Kerendahan Hati: Ketergantungan kepada Tuhan Kerendahan Hati: Nilai yang diperoleh dari Penghormatan kepada Tuhan
sebagai ‘nilai yang diperoleh dari penghormatan yang dalam kepada Tuhan.’ Hal ini melibatkan pengenalan akan ‘tempat’ kita yang sebenarnya dalam hubungan dengan Allah sebagai Pencipta dan dengan ciptaan-ciptaan Tuhan yang lain, dan sikap ini menentukan perbuatan kita. Kerendahan hati juga mengantar kita untuk mengakui bahwa kita dan segala ciptaan di dunia ini bukan apa-apa di hadapan Tuhan, dan kerendahan hati mengarahkan kita untuk hidup sesuai dengan pemahaman ini. Jadi, kerendahan hati membantu kita untuk melihat segalanya dengan kaca mata Tuhan: kita melihat diri kita yang sesungguhnya, tidak melebih-lebihkan hal positif yang ada pada kita, namun juga tidak mengingkari bahwa segalanya itu adalah pemberian Tuhan. Dalam hal ini kerendahan hati berhubungan dengan kebenaran dan keadilan yang membuat kita mengasihi kebenaran lebih daripada kita mengasihi diri sendiri. Kebenaran ini memberikan kepada kita pengetahuan akan diri sendiri, dengan kesadaran bahwa segala yang baik yang ada pada kita adalah karunia Tuhan, dan sudah selayaknya sesuai dengan keadilan, kita mempergunakan karunia itu untuk kemuliaan Tuhan (1Tim 1:17). Dengan perkataan lain, kebenaran membuat kita mengenali karunia-karunia Tuhan, dan keadilan mengarahkan kita untuk memuliakan Tuhan, Sang Pemberi. Kerendahan Hati: Hasil dari pengenalan akan diri sendiri dan akan Tuhan Dasar dari kerendahan hati adalah pengenalan akan diri sendiri dan Tuhan. St. Thomas Aquinas mengatakan bahwa pengenalan akan diri sendiri bermula pada kesadaran bahwa segala yang baik pada kita datang dari Allah dan milik Allah, sedangkan segala yang jahat pada kita timbul dari kita sendiri. Pengenalan yang benar tentang Tuhan menghantar pada pengakuan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia menurut gambaran-Nya, dan bahwa manusia diciptakan untuk mengasihi, sebab Allah yang menciptakannya adalah Kasih. Dalam kasih ini, Allah menginginkan persatuan dengan setiap manusia, sehingga Ia mengirimkan Putera-Nya yang Tunggal untuk menghapuskan penghalang persatuan ini, yaitu dosa. Kesadaran akan hal ini membawa kita pada kebenaran: yaitu bahwa kita ini bukan apa-apa, dan Allah adalah segalanya. Di mata Tuhan kita ini pendosa, tetapi sangat dikasihi oleh-Nya. Keseimbangan antara kesadaran akan dosa kita dan kesadaran akan kasih Allah ini membawa kita pada pemahaman akan diri kita yang sesungguhnya. Kesadaran ini menghasilkan kerendahan hati, yang menurut St. Thomas adalah dasar dari bangunan spiritual atau ‘rumah rohani’ kita. Kerendahan Hati: Ketergantungan kepada Tuhan
Kerendahan hati membuat kita selalu menyadari kelemahan
kita dan bergantung kepada rahmat Tuhan. Hal ini juga dapat diterapkan dalam hal iman, sehingga iman berarti kerendahan hati secara rohani yang melibatkan akal budi, sehingga seseorang dapat menerima kesaksian Tuhan tentang Diri-Nya, tentang manusia, dan semua realitas kehidupan, daripada memegang pendapat sendiri. Jadi, kerendahan hati adalah sikap hati untuk tunduk kepada Tuhan. Selanjutnya, menurut St. Agustinus kerendahan hati adalah penyerahan diri kepada Tuhan sehingga kita berusaha untuk menyenangkan hati Tuhan (bukan diri kita sendiri) di dalam segala perbuatan kita. 6. Kriteria dan Proses Pertumbuhan Spiritualitas Kristiani
Seseorang yang telah menjadi anak Tuhan tidak
secara otomatis akan langsung hidup sebagai anak Tuhan. Pola pikir manusia menghasilkan perilaku yang bersumber dari pola pikir tersebut. Dengan kata lain, selama pohon itu bukan pohon yang baik, maka ia tidak akan menghasilkan buah yang baik. Seseorang harus memiliki pola pikir Ilahi dan hidup berdasarkan pola pikir tersebut. Pada waktu Kitab Suci memakai kata "mengenal Allah," yang dimaksudkan bukan hanya sekadar mengetahui secara kognitif, melainkan juga hidup berdasarkan apa yang ia tahu. Bagaimana kita mengetahui seseorang telah mencapai suatu kedewasaan rohani yang sebagaimana seharusnya? Kuantitas keterlibatan seseorang dalam aktivitas keagamaan tidak dapat dijadikan tolok ukur. Formasi spiritualitas diawali dengan relasi yang benar dengan Allah, yaitu pada saat seseorang menerima Yesus Kristus sebagai Juru Selamatnya. Perubahan status dari orang berdosa menjadi orang kudus tidak secara otomatis menjadikan seseorang dewasa dalam kerohaniannya. Sebagai orang yang telah menerima anugerah keselamatan, ia diharapkan untuk menghasilkan perbuatan yang sesuai dengan iman yang telah menyelamatkannya. Orang kudus tidak dapat berbuah Roh Kudus di luar Firman Tuhan. Karya Roh Kudus tidak pernah berlawanan dengan Firman Tuhan. Karena itu, seperti yang dinyatakan Tuhan Yesus, setiap orang percaya harus dikuasai oleh Firman Tuhan dan menjadi pelaku firman sehingga ia dapat berbuah banyak: "Jikalau kamu tinggal di dalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya. Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku" (Yoh. 15:17-18). Berbuah banyak tercakup di dalamnya adalah melakukan semua perintah Tuhan. Perintah Tuhan itu adalah tetap berada di dalam persekutuan yang benar dengan Allah, dengan memelihara kekudusan hidup, mengasihi sesama seperti mengasihi diri sendiri, serta menjalankan amanat agung dan mandat budaya. Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya? (Mat. 16:24-26). 2.7. Ciri-ciri Spiritualitas Kristiani Berpusat pada Kristus. Kristuslah yang menciptakan hidup spiritual, sebab di dalam Dia, Tuhan menyatakan diriNya oleh kuasa Roh Kudus. Oleh karena itu spiritualitas tergantung dari semua pengajaran Kristus. Melalui Kristus menuju kesatuan dengan Allah Tritunggal. Karena Kristus adalah Pribadi kedua di dalam kesatuan Tritunggal Maha Kudus, maka jika kita bersatu dengan Kristus, maka kita akan bersatu dengan Allah Tritunggal. Keikutsertaan di dalam misteri Paska Kristus (salib, kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga), melalui rahmat Tuhan, iman, kasih, dan nilai-nilai Kristiani lainnya. Singkatnya, Spiritualitas Katolik tak terlepas dari Salib Kristus, penderitaan dan kesadaran diri akan dosa-dosa kita yang membawa kita pada kebangkitan di dalam Dia. Karena misi Keselamatan Kristus diperoleh melalui Salib, maka sebagai pengikutNya, kita-pun selayaknya mengambil bagian dalam penderitaan itu, terutama dengan kesediaan untuk terus-menerus bertobat dan mau menanggung penderitaan demi keselamatan sesama, dan dengan demikian kita dapat mengambil bagian di dalam kemuliaan-Nya. Jika kita hanya mau mengambil bagian dalam ‘kemuliaan’ tanpa mau mengambil bagian dalam ‘penderitaan’ – yang dizinkan oleh Tuhan untuk terjadi di dalam hidup kita- maka kita tidak menerapkan Injil dengan seutuhnya. Berdasarkan kesaksian akan Kasih Tuhan. Kitab Suci bukan hanya wahyu Tuhan, tapi juga pernyataan akan pengalaman manusia di dalam wahyu Tuhan itu. Apa yang dialami oleh Adam dan Hawa, Nabi Abraham, Ayub, Bunda Maria, Rasul Petrus dan Paulus, dapat dialami oleh kita semua. Disertai kesadaran akan dosa dan belas kasihan Tuhan. Spiritualitas Katolik berlandaskan atas keyakinan akan Kasih Tuhan di atas segalanya yang mampu mengubah segala sesuatu. Pada saat Tuhan mengasihi kita, dan jika kita membuang segala dosa yang menghalangi kita untuk menerima kasih-Nya, dan dengan iman dan doa, maka kita dapat sungguh diubah, dikuduskan dan dimampukan berbuat baik. Mengarah pada kehidupan kekal yang dijanjikan oleh Allah. Melihat Bunda Maria sebagai contoh teladan. Spiritualitas Katolik menerima segala kebijaksanaan Tuhan yang selalu menggunakan peran pengantara, yaitu Musa, para nabi, Yohanes Pembaptis, dan terutama Bunda Maria untuk menyelenggarakan karya keselamatan-Nya. Karya Tuhan yang ajaib juga nampak dalam mukjizat keperawanan Maria dan melalui ketaatan dan kesediaan Maria, Allah menganugerahkan rahmat yang tiada batasnya, yaitu kelahiran Yesus Kristus, Penyelamat kita di dunia. Mangacu pada Gereja-Nya, Gereja Katolik. Gereja merupakan sumber atau alat yang meneruskan rahmat Tuhan. Rahmat Tuhan ini kita peroleh melalui sakramen-sakramen terutama Ekaristi; dan juga melalui ketaatan kita pada para penerus Rasul Kristus yang telah dipilih oleh- Nya. Gereja sebagai kesatuan (komuni) manusia dengan Tuhan, selalu memperjuangkan martabat manusia, dan memperhatikan kesatuannya dengan para orang kudus; sebab melalui kesatuan ini Allah dimuliakan.