Anda di halaman 1dari 11

TUGAS AKHIR SEMESTER – MISIOLOGI

Gilbert Christian Kristamulyana – 0116.0015

MISI INTERKULTURAL DALAM GKI GUNUNG SAHARI

Misi inkulturasi merupakan cikal bakal lahirnya misi interkultural. Misi inkulturasi
dapat terlihat dari sejarahnya yang ada dalam umat Katolik dan Protestan.
Kontekstualisasi budaya merupakan pintu masuk kepada misi inkulturasi.

1. SEJARAH MISI INKULTURASI

1.1. Dalam Katolik

Proses kontekstualisasi dengan jalan inkulturasi sudah dilakukan misionaris Yesuit


mula-mula. Kelompok Yesuit menasihati para misionarisnya untuk tidak memaksa
orang mengubah kebiasaan-kebiasaan mereka yang sudah membudaya, sejauh mereka
tidak bertentangan dengan agama atau moralitas. Budaya setempat oleh kelompok
Yesuit tidak diisolasikan atau diasingkan dari kehidupan kekristenan dari wilayah yang
dijajah oleh kelompok Kristen Barat. Proses kontekstualisasi seperti yang disebarkan
oleh kelompok Yesuit kerap disebut sebagai inkulturasi. Walaupun ada perkembangan
lebih baik dalam misiologi, kelompok Yesuit mendapatkan halangan dari Paus. Pada
tahun 1773, kelompok Yesuit ditindas karena kebijakan misi inkulturasi tersebut. i

Pada tahun 1919, Paus Benedictus XV mempromosikan hak gereja-gereja misi. Hak
tersebut berisikan ajakan pada gereja Kristen barat untuk berhenti menjadi koloni-
koloni gerejawi di bawah kekuasaan asing. Selain itu, hak gereja misi juga mengizinkan
gereja di wilayah terjajah untuk mengangkat imam dan uskupnya sendiri. Sejak saat itu,
kepemimpinan yang otonom pada daerah-daerah tertentu diperkenalkan di mana-
mana. Peristiwa ini menunjukkan sebuah perubahan dalam misi Kristen. Perubahan ini
juga kemudian menghasilkan kebalikan yang terjadi antara gereja Barat dan gereja yang
lebih muda. Realitas menunjukkan bahwa masa kini jauh lebih banyak orang Kristen di
luar dunia Barat dibandingkan dengan orang Kristen di Barat (wilayah yang mengutus
misionaris). Dan semakin terbalik lagi, dengan kondisi dimana banyak gereja yang lebih
muda telah mengutus misionaris.ii

Inkulturasi kemudian mulai diperkenalkan. Iman Kristen harus dirumuskan kembali


dan dihayati secara baru dalam budaya-budaya setempat yang ada. Tidak selamanya
budaya Barat menjadi sesuai dalam setiap wilayah dimana misi Kristen disebarkan.
Konsep inkulturasi menjadi penting setelah sebelumnya gereja Barat telah memperkosa
budaya Dunia Ketiga dan menyebabkan “kemiskinan antropologis” (menurut Frostin).

1
Paus Yohanes Paulus II menegaskan inkulturasi dalam misi dengan mendirikan Dewan
Kepausan untuk Kebudayaan pada tahun 1982. Sementara dalam Kristen Protestan,
kelompok Injili atau Evangelical, menjadi garda terdepan dalam misi inkulturasi.
Konsultasi tentang Injil dan Kebudayaan tentang Penginjilan Dunia diselenggarakan
pada tahun 1978 di Willowbank. Pertemuan ini digalakkan oleh kelompok kekristenan
Injili.iii

1.2. Dalam Protestan

Sejarah inkulturasi di atas merupakan sejarah misi dari umat Katolik. Sementara dalam
misi Protestan, sejarahnya sedikit berbeda. Jika halangan misi inkulturasi Katolik
terdapat pada kekuasaan dewan tertinggi (Paus), maka misi inkulturasi Protestan
mendapat halangan dari praduga kebudayaan Barat. Dalam hal ini, Barat yang
dimaksudkan dalam misi Protestan ialah Eropa dan Amerika. Proses kontekstualisasi
misi Kristen diizinkan. Tetapi, kontekstualisasi yang dimaksud ialah mengizinkan gereja
yang lebih muda atau gereja pada wilayah terjajah untuk mendukung, memperluas dan
mengelola diri mereka sendiri. Inilah yang disebut oleh Rufus Anderson dan Henry
Venn sebagai “tiga swa” Penilaian berkembangnya gereja yang lebih muda ditentukan
oleh kelompok Kristen Barat sebelumnya. Itulah yang membuat gereja yang lebih muda
hanya bisa bertahan, jika mereka bisa memuaskan pendirinya atau gereja Barat yang
sudah ada sebelumnya dan menjadi dasar penilaian.iv

Di daerah Cina, kekristenan justru berkembang tanpa adanya misionaris Barat. Tahun
1949, Cina dikuasai oleh kaum Komunis. Misionaris Barat diusir dari Cina. Pada tahun-
tahun tersebut, terjadi keterputusan antara konsep misi yang baru dengan konsep misi
tradisional yang disebarkan oleh gereja Barat. Namun dalam perkembangannya, banyak
gereja baru di Dunia Ketiga (termasuk Cina) yang bertumbuh secara menakjubkan pada
tahun-tahun keterputusan hubungan dengan misionaris Barat. Cara berpikir
kekristenan mulai bergeser, dari yang sebelumnya berdasar pada ajaran Kristen Barat,
menjadi lebih berdasar pada umat manusia; dan itu berarti pada budaya-budaya
setempat. v

2. DASAR TEOLOGI MISI

2.1. Misi pada Umumnya: Memberitakan Kematian dan Kebangkitan YESUS

Sebagian umat Kristen memahami bahwa misi Kristen adalah memberitakan Injil
seperti yang YESUS kabarkan. Misi memiliki tujuan untuk memulihkan hubungan yang
rusak oleh dosa, sehingga manusia dipulihkan untuk menjadi segambar dan serupa
dengan ALLAH. Hery Susanto mengatakan bahwa tugas gereja adalah untuk menjadi
umat yang bekerja giat bersama dengan umat Kristen lainnya dalam menceritakan
YESUS yang bersedia mati untuk mengampuni dosa. Kebangkitan YESUS dilihat sebagai
upaya dan hasil dari mengalahkan maut. Dalam mengabarkan berita kematian dan
kebangkitan YESUS, budaya dapat menjadi jembatan, karena budaya yang ada dalam
dunia merupakan ladang pelayanan dimana Injil YESUS KRISTUS akan ditaburkan dan

2
menjadi tumbuh. Terkadang, penolakan akan Injil terjadi bukan karena menolak salib
KRISTUS, melainkan karena memaksa orang lain untuk melepaskan budaya dan
menjadi orang yang terasing dari budaya dan komunitas mereka sendiri. vi

Yang menjadi dasar dari misi seperti ini (pemberitaan kematian dan kebangkitan
YESUS) adalah cara YESUS melakukan memberitakan Injil Kerajaan ALLAH. YESUS
masuk ke dalam kehidupan manusia dengan pengajaran-Nya yang penuh kuasa dan
mukjizat. Dengan demikian, gereja perlu memposisikan diri bukan sebagai pihak yang
paling benar sendiri. Gereja perlu untuk mengajak yang lain untuk menemukan
kebenaran tersebut dan berjalan dalam terang kebenaran tersebut. Dengan cara
tersebutlah, kualitas iman dan spiritualitas akan berdampak nyata bagi masyarakat
tanpa memandang jenis agamanya. YESUS juga mengajarkan untuk tidak takut terhadap
dunia dan para penguasa jika memang kebenaran Injil harus dikabarkan dan
ditegakkan. Kasih kepada KRISTUS membuat setiap orang berani memberitakan
kesaksian tentang YESUS dengan penuh sukacita.vii

Dasar lainnya ialah jemaat mula-mula. Jemaat mula-mula hidup dalam persekutuan
yang erat dan penuh kasih. Kehidupan yang penuh kasih tersebut nyata dalam tindakan
saling berbagi satu orang dengan lainnya. Sikap-sikap yang dilakukan oleh jemaat mula-
mula membawa banyak jiwa bertobat dan datang kepada KRISTUS. Perubahan konteks
dan masa membuat gereja mengalami pergeseran dalam menjalani misi. Pemuridan
diperlukan pada masa sekarang bagi para petobat baru untuk membimbing mereka
dalam pertumbuhan iman yang masih baru. Susanto juga menambahkan bahwa misi
bukanlah sekedar menambah jumlah anggota gereja, namun lebih didorong oleh kasih
dan empati kepada orang yang belum percaya kepada KRISTUS. viii Maka yang ingin
ditekankan pada misi menurut Susanto adalah membawa orang untuk mengenal kasih
serta karya penyelamatan KRISTUS.

2.2. Misi yang Lebih Khusus: Konvivenz

Konvivenz merupakan sebuah istilah dalam teologi misi yang dikembangkan oleh Theo
Sundermeier. Istilah tersebut memiliki pengertian dasar tentang hidup bersama dalam
hubungan bertetangga di suatu wilayah kota. Tiga karakter penting dari konvivenz ialah
gotong royong, belajar dan perayaan. Berdasar pada konvivenz, Sundermeier
memunculkan 4 perspektif terkait dengan misi. Keempat perspektif tersebut antara lain
Missio Dei menunjukkan bahwa TUHAN memiliki perhatian terhadap dunia; gereja tidak
untuk dirinya sendiri, melainkan untuk dunia; tugas gereja bukan untuk menentukan
arah, melainkan memenuhi dunia dengan harapan-harapan; serta gereja tidak
berorientasi untuk menarik jiwa non-Kristen menjadi Kristen, melainkan menunjukkan
aksi bersama dunia. Gereja perlu untuk melakukan proses penerjemahan kembali, tidak
hanya sekedar melanjutkan tradisi atau budaya keagamaan yang sudah ada
sebelumnya. Konvivenz menjadi bagian dari misi ketika misi dilakukan oleh gereja
dalam proses saling gotong royong, belajar dan merayakan dalam rasa kebersamaan.
Saling belajar berarti bahwa misi membawa gereja untuk saling memberi koreksi satu

3
dengan yang lain, dalam hal ajaran ataupun teologi. Tujuan dari konvivenz dalam misi
ialah membangun ikatan kebersamaan dengan kesiapan berbagi dan belajar. ix Dialog
merupakan bagian dari misi yang ada dalam konsep konvivenz tersebut.

Salah satu dasar alkitabiah dari misi konvivenz menurut Sundermeier ialah kisah
Abraham yang hidup bersama dengan orang-orang non Yahudi atau kafir. Kisah
tersebut ada dalam Kejadian 14. Dalam bagian Alkitab tersebut, terlihat bagaimana
Melkisedek menjadi tokoh penting dalam tradisi keagamaan Kristen dalam Perjanjian
Lama. Abraham juga belajar mengenal TUHAN secara baru dan lebih dalam melalui
perjumpaan tersebut. Kemudian, Melkisedek disebut juga dalam Mazmur 110. x Dalam
Mazmur Daud tersebut, referensi dari Melkisedek yang mengatakan bahwa Abraham
merupakan imam untuk selama-lamanya, digunakan oleh Daud. Daud melihat bahwa
perjumpaan Abraham dan Melkisedek menjadi sebuah perjumpaan religius yang
membawa iman dari Daud menjadi lebih baru dan tajam dalam memahami TUHAN.

Dasar alkitabiah lainnya adalah kisah YESUS. YESUS datang bagi orang-orang yang tidak
didatangi oleh orang-orang Yahudi karena tidak tahir. YESUS juga menghancurkan sekat
sosial, kultik dan moral. Tindakan-tindakan tersebut menunjukkan bahwa YESUS
membawa semua orang kepada sebuah kebersamaan yang baru. Semua orang diajak
untuk menuju jalan yang melepaskan manusia dari bahaya yang akan menimpa mereka.
Sekat-sekat sosial, kultik dan moral dihancurkan dan diubah menjadi sebuah situasi
komunikasi yang lebih dalam. Sundermeier memahami bahwa manusia benar-benar
menjadi manusia ketika bersama-sama dengan yang lain.xi Dalam hal ini, Sundermeier
terlihat memiliki dasar bahwa manusia adalah homo sosio atau makhuk sosial, yang
membutuhkan orang lain.

3. DILEMA TEOLOGIS TEOLOGI MISI DALAM GEREJA

3.1. Dilema Teologis Terkait dengan Dasar-dasar Teologis

Terdapat dua jenis misi di atas, yaitu misi pada umumnya (memberitakan kematian dan
kebangkitan KRISTUS) dan misi yang lebih khusus (konvivenz). Dua jenis misi tersebut
memiliki perbedaan serta persamaannya.

3.1.1. Perbedaan Dua Jenis Misi: Misi pada Umumnya VS Misi yang Lebih Khusus

Misi pada umumnya memiliki nuansa sedikit “kristenisasi” atau berupaya untuk tetap
membawa orang lain untuk menganut iman dan ajaran Kristen. Dalam misi pada
umumnya, terlihat bagaimana misi dipahami sebagai upaya untuk menyebarkan kabar
kematian dan kebangkitan dari KRISTUS. Hal tersebut nampak dalam pernyataan
Susanto yang mengatakan bahwa umat Kristen perlu bersama-sama menceritakan
YESUS yang bersedia mati untuk mengampuni dosa. Ajaran inilah yang kencang
diungkapkan dalam misi menurut Susanto di atas. Sementara menurut Sundermeier,
gereja tidak berorientasi untuk menarik jiwa non-Kristen menjadi Kristen, melainkan
menunjukkan aksi bersama dunia. Misi melalui konvivenz tidak memiliki upaya untuk

4
“kristenisasi” seperti yang diungkapkan oleh Susanto. Justru gereja perlu sama-sama
belajar dengan umat beragama lain untuk semakin memperdalam identitasnya
(termasuk ajaran dan penghayatan iman). Pendalaman dan pembaharuan akan iman
yang dianutnya menjadi fokus dari misi yang lebih khusus tersebut. Pembaharuan dapat
terjadi ketika bertemu dengan umat beragama lain dan melakukan dialog teologis
dengan mereka. Pembaharuan melalui dialog dengan umat beragama lain dapat terjadi
tidak hanya dalam ranah teologis, namun juga dalam ranah sosiologis, sehingga iman
Kristen dapat semakin kontekstual sesuai dengan konteks sosial yang ada di sekitarnya.

Dengan pemaparan di atas, dapat terlihat bagaimana misi memberitakan kematian dan
kebangkitan KRISTUS memiliki perbedaan dengan misi melalui konvivenz. Selain itu,
perbedaan juga terjadi dalam memperbincangkan terkait dengan keselamatan. Konsep
misi pada umumnya masih sangat kental nuansa keselamatan yang eksklusif.
Keselamatan hanya ada dalam KRISTUS menurut misi pada umumnya, sehingga
mengajak umat beragama lain yang belum percaya pada KRISTUS untuk mengenal
KRISTUS agar mereka mendapatkan keselamatan. Berbeda dengan misi pada umumnya,
misi melalui konvivenz tidak mengatakan dengan keselamatan. Upaya untuk saling
belajar dan dialog justru menghargai perbedaan konsep keselamatan yang ada dalam
iman Kristen dengan iman dalam agama lain. Justru melalui dialog, konsep keselamatan
dalam iman Kristen akan lebih kontekstual dan sesuai dalam konteks yang pluralis.

3.1.2. Persamaan Dua Jenis Misi: Misi pada Umumnya VS Misi yang Lebih Khusus

Meskipun kedua model misi tersebut memiliki perbedaan, namun terdapat persamaan
juga di dalamnya. Konteks sosio-budaya menjadi penting dalam misi. Susanto
mengatakan bahwa budaya dapat menjadi jembatan untuk menjalankan misi. Begitu
juga yang dikatakan oleh Sundermeier, gereja perlu menyadari keberadaannya di
tengah konteks budaya yang ada. Umat beragama lain juga merupakan bagian dari
konteks budaya yang ada. Baik Susanto ataupun Sundermeier mengajak gereja untuk
melihat kembali bagaimana iman Kristen dapat hidup di tengah keberagaman yang ada.
Gereja tidak selamanya harus mengikuti ajaran atau dogma ajaran Kristen (Kristen
Barat) dalam menjalankan misinya. Justru gereja perlu untuk membuat misi menurut
konteks mereka berada, yang bisa jadi berbeda banyak dengan konteks Barat. Inilah
yang menjadi dasar dari misi interkultural. Misi interkultural adalah misi yang melihat
budaya lain sebagai umat yang berbeda dengan iman Kristen, yang perlu dihargai
keberadaannya, bukan justru dijajah dan dipaksa untuk menganut iman Kristen. Misi
interkultural ini sangat kental terlihat dalam konsep konvivenz, sementara tidak terlalu
terlihat dalam misi pada umumnya (misi memberitakan kematian dan kebangkitan
KRISTUS).

Dalam kaitannya dengan Keempat Model Teologi Agama-agama Paul Knitter

Teologi agama-agama merupakan salah satu pintu dalam menjalankan misi inkulturasi.
Dengan kata lain, teologi agama-agama dapat menjadi dasar dari perjumpaan, seperti

5
yang diungkapkan oleh Sundermeier terkait dengan konvivenz. Teologi agama-agama
juga menjadi penting dalam misi Kristen karena konteks misi sekarang adalah pluralitas
dan kehidupan bersama dengan agama lain di luar Kristen. Paul Knitter memiliki
konsep teologi agama-agama dalam bukunya Teologi Agama-agama. Dalam buku
Knitter, terdapat empat buah model berteologi agama-agama. Keempat model tersebut
ialah model penggantian, pemenuhan, mutualitas dan penerimaan.

Dalam model penggantian, perdebatan antara universalitas dan partikularitas


hubungan Allah dengan manusia lebih difokuskan pada partikularitasnya. Kasih Allah
memang untuk semua orang tetapi hanya diberikan melalui komunitas Kristen yang
partikular dan singular. Model seperti ini kuat terlihat dalam aliran Kristen Injili.
Terdapat dua jenis model penggantian, yaitu penggantian total dan penggantian parsial.
Model penggantian total menganggap bahwa dalam agama-agama lain ada yang kurang
atau menyimpang. Dengan demikian, agama Kristen harus menggantikan mereka secara
total. Karl Barth merupakan seorang teolog dari Swiss yang sangat mempengaruhi
pandangan ini dalam kekristenan. Terdapat beberapa pandangan teologis Barth yang
menjadi dasar model penggantian total. Pertama, Barth mengatakan bahwa manusia
diselamatkan hanya oleh Kristus. Allah bekerja dan mengungkapkan hakikat segala
sesuatu hanya di dalam Kristus. Kedua, Barth mengungkapkan bahwa agama Kristen
bisa dikatakan sebagai satu-satunya agama yang benar di antara semua agama lainnya.
Barth berkata demikian karena hanya agama Kristen yang sadar akan kepalsuan dirinya
dan sadar bahwa umatnya diselamatkan melalui Yesus. Sementara model penggantian
parsial mengakui dan menegaskan bahwa wahyu sejati Allah ada di dalam dan melalui
agama-agama lainnya. Pandangan Kristen dengan model ini menegaskan bahwa Allah
berbicara pada umat beragama lain dengan cara agama-agama tersebut. Suara Allah
dalam agama lain bisa memperjelas kebutuhan agama lain akan penebusan dari Allah.
Meski wahyu sejati Allah ada di dalam agama lain, para penganut model ini tidak
mengakui bahwa Allah juga membawa umat beragama lain pada keselamatan.
Keselamatan maksudnya adalah persekutuan dengan Allah dan jaminan kehidupan
kekal.xii

Model pemenuhan merupakan model yang mempengaruhi pengajaran gereja-gereja


arus utama, seperti Lutheran, Calvinis, Methodis, Anglikan, Ortodoks Yunani dan Roma
Katolik. Model ini percaya bahwa agama lain memiliki nilai dan bahwa Tuhan ada di
dalam agama lain. Dengan demikian dialog dengan umat beragama lain perlu dilakukan,
tidak hanya sekedar memberitakan Injil kepada mereka. Tetapi, model ini memiliki
keterbatasan, yaitu bahwa model ini tidak menerima suatu hal baru bagi komunitas
Kristen, yang terdapat dalam agama lain melalui dialog yang dilakukan. Pandangan
untuk mengakui kehadiran Tuhan di agama lain dan kehadiran Tuhan yang khusus
dalam diri Yesus tidak dapat dijelaskan lebih lagi mengarah pada pluralisme atau tidak
dapat disatukan. Keunikan Yesus menjadi alasan tidak bisa disatukannya pandangan
tersebut, karena dapat menghilangkan identitas kekristenan. Model ini berwarna
inklusif dengan mengakui kebenaran dan keselamatan dalam agama lain, namun
agama-agama lain itu tetap mengarahkan pada Kristus melalui gereja. xiii Perbedaan yang

6
diterima umat Kristen dari agama lain haruslah diberi nilai, dihormati dan dipelajari
dalam rangka memenuhi nilai dalam kekristenan.xiv

Model mutualitas lebih berfokus pada kasih dan kehadiran Allah yang universal dalam
agama lain, daripada kehadiran Allah yang parsial dalam diri Yesus. Model ini
merupakan hasil dari proses pencarian jalan yang dapat menghindarkan umat Kristen
dari pemahaman di mana Kristus merupakan satu-satunya Juruselamat dan membawa
umat Kristen pada kerendahhatian. Dialog dalam model ini dilihat sebagai unsur
penting. Dalam hal ini, dialog haruslah bersifat mutual, yaitu bahwa dialog dua arah
yang memungkinkan kedua belah pihak saling berbicara dan mendengarkan untuk
belajar dan terbuka. Ketika berdialog, para penganut model ini merasa perlu
menanggalkan hal yang absolut dari berbagai agama agar dialog dapat berlangsung
seimbang.xv Proses ini menunjukkan bahwa hubungan dilihat sebagai hal yang lebih
penting daripada pluralitas. Para penganut model ini membaca Alkitab dengan
pemahaman baru tentang Yesus yang memampukan mereka untuk bisa sama
terbukanya terhadap agama lain, seperti mereka komit terhadap Yesus. xvi Model ini
menitikberatkan pada universalitas dari semua agama sehingga menutupi perbedaan
partikularitas yang ada.xvii

Dalam model penerimaan, perbedaan dapat diterima secara permanen. Tokoh


ternama dari model teologi agama-agama ini adalah S. Mark Heim. Heim mengusulkan
konsep di mana semua agama yang berbeda-beda berusaha untuk mencapai salvations
atau keselamatan dalam bentuk jamak –bukan bentuk tunggal. Keselamatan ada lebih
dari satu di antara berbagai agama.xviii Usaha yang dilakukan dalam model mutualitas
haruslah dihindari, yaitu mencari persamaan atau satu tujuan yang sama dalam
berbagai agama atau bahwa agama yang berbeda-beda memiliki tujuan yang sama.
Heim mengakui bahwa tidak hanya tujuan yang berbeda antar agama yang berbeda-
beda, namun mungkin saja ada lebih dari satu Divine Being. Perbedaan agama terjadi
karena adanya perbedaan Tuhan. Model ini berusaha untuk menjadikan hal yang
absolut sebagai substansi dan energi untuk berdialog. Dialog harus tetap
mempertahankan perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing agama agar saling
belajar. Perbedaan yang tidak dapat dihindari ini disebut Heim sebagai pluralisme
orientasional.xix

Dari keempat model teologi agama-agama yang dikembangkan oleh Knitter, terlihat
bahwa kedua dasar teologis misi di atas memiliki model yang berbeda juga. Misi yang
pada umumnya lebih bersifat pemenuhan, sementara misi dalam konsep konvivenz
lebih bersifat penerimaan. Dari kedua konsep misi yang ada, tidak ada satu yang lebih
baik dari yang lainnya. Keduanya memiliki keunikannya masing-masing. Kata yang lebih
sesuai adalah lebih sesuai dengan konteks seperti apa. Model penerimaan terlihat lebih
sesuai dengan konteks pluralis saat ini, khususnya di Indonesia. Terdapat undang-
undang yang membatasi penganut agama untuk memaksakan ajarannya terhadap
mereka yang tidak seagama atau seiman. Untuk itu, model penerimaan lebih sesuai
karena menghargai perbedaan yang ada dari umat beragama lain. Tidak hanya soal

7
umat beragama lain, namun juga terkait dengan budaya lain yang tidak sealiran dengan
budaya Kristen (Barat). Konsep konvivenz menuntut umat Kristen untuk belajar dan
memperdalam imannya melalui dialog dengan umat beragama lain.

Lain halnya dengan konsep misi pada umumnya, dimana lebih menekankan untuk
memberitakan kabar keselamatan dari kematian dan kebangkitan KRISTUS. Mereka
yang berbeda agama atau budaya terlihat hanya sebagai obyek untuk memenuhi iman
Kristen. Dialog tidak terlalu diutamakan karena mereka yang berbeda tetap diupayakan
untuk bisa mengenal KRISTUS sebagai sumber keselamatan dan TUHAN. Inilah yang
membuat model pemenuhan dalam konsep misi pada umumnya tidak terlalu
kontekstual pada saat sekarang. Saat ini, relasi subyek-subyek diutamakan dalam
bermasyarakat, begitu juga dalam kehidupan umat beragama.

4. CARA DARI PEKERJAAN MISI

4.1. Hermeneutik Interkultural

Toleransi dan terbuka dengan agama atau budaya lain bukanlah sebuah tujuan misi,
melainkan pintu masuk bagi sebuah perjumpaan. Bagi Sundermeier, tujuan dari misi
ialah konvivenz. Dalam hal teologis-praktis, yang diperlukan untuk mencapai konvivenz
ialah hermeneutik interkultural. Pemahaman akan Kitab Suci lebih mendalam
didapatkan dengan mendengar dan mempertimbangkan perspektif-perspektif lain atau
yang berbeda. Pemahaman seperti ini berdasar pada pemahaman setiap orang yang
berbeda-beda dalam memahami teks Kitab Suci, sesuai dengan kacamata dan
pengalaman budaya. Hermeneutik dalam hal ini tidak hanya terkait dengan ilmu
berkomunikasi, melainkan juga sebagai ilmu yang berkaitan dengan proses memahami
dengan mempertimbangkan prinsip teologis, interkultural dan dimensi sosial. xx

Menurut Sundermeier, hermeneutik itu sendiri memiliki empat tingkatan terkait


dengan perjumpaan bersama agama-agama lain. Pertama, perlu ada penghargaan
terhadap agama lain, meskipun berbeda dan asing. Sebelum mulai menghargai,
kesadaran akan adanya jarak dengan agama lain itu menjadi perlu. Setelah itu, tingkatan
kedua, mulai pada pendekatan hermeneutik dengan agama lain. Dengan kesadaran akan
adanya jarak terhadap agama lain, barulah mulai mengamati fenomena-fenomena
dalam agama lain. Ketiga ialah taraf simbolik. Pada tingkatan ini, dilakukan sebuah
penafsiran berdasarkan teks-teks yang ada pada agama lain untuk semakin memahami
maknanya. Taraf simbolik ini memperhatikan simbol-simbol agama, ritus, ajaran atau
simbol praksis kebersamaannya. Agama lain akan dipahami berdasarkan perspektif dari
luar. Dan tingkatan keempat ialah hermeneutik interkultural dan relevansi. Tujuannya
adalah kehidupan bersama dengan budaya yang berbeda-beda. Dalam hermeneutik
interkultural, pertanyaan tentang kebenaran dipertemukan dan orang dapat memilih
kebenaran sesuai pilihannya.xxi

4.2. Dialog

8
Sundermeier memberi tempat pada dialog dalam konsep konvivenz-nya. Aloysius Pieris
juga mengemukakan bahwa belajar melalui dialog dengan agama lain akan membawa
identitas gereja ditantang serta diperdalam dan diperbaharui. Dialog tidak hanya dalam
pengertian menjelaskan penghayatan iman, namun juga dalam arti mengembangkan
otentisitas penghayatan iman umat Kristen serta membebaskan dari keterasingan
dengan umat beragama lain. Dialog membawa umat untuk memahami kembali ajaran
Kristen yang sudah ada sebelumnya. Dialog yang dimaksud tidak hanya berbicara
tentang keterlibatan kehidupan bersama dengan umat beragama lain (ranah sosiologis),
tetapi juga dalam ranah teologis. Dalam dialog teologis, terdapat upaya untuk saling
menggumuli, memperdalam dan memperkaya tradisi agama masing-masing, sekaligus
membagikan pemahaman yang dimiliki terkait dengan umat beragama lain. xxii Dalam
bagian ini, dialog yang dimaksudkan ialah dialog lintas budaya. Dasar dari dialog lintas
budaya (interkultural) tersebut adalah dialog lintas iman (interreligius). Dialog
interkultural dilakukan bukan untuk menghilangkan keberadaan kelompok minoritas,
tetapi justru membuka dialog yang luas untuk mendefinisikan identitasnya lebih
jelas.xxiii

5. HASIL DARI PEKERJAAN MISI INTERKULTURAL PADA GKI GUNUNG SAHARI

Dalam hal ini, konsep misi interkultural dikaitkan dengan pelayanan dari gereja dimana
penulis berjemaat, yaitu GKI Gunung Sahari (GKI Gunsa). GKI Gunsa terletak di daerah
Kemayoran. Daerah Kemayoran adalah daerah yang plural dalam hal etnis ataupun
agama. Sebelumnya, GKI Gunsa berdiri di daerah Senen, yang lahir dari sebuah lembaga
Anti Opium Vereeniging (Perkumpulan Anti Pemadatan) bagi para pecandu narkoba.
Pelayanan lembaga tersebut berkembang pada usaha pemberitaan Injil hingga akhirnya
lahirlah pos pekabaran Injil Pasar Senen.xxiv Jika dilihat dari sejarahnya berdirinya GKI
Gunsa, dapat terlihat bahwa corak model penggantian, seperti pada konsep dari Knitter,
masih kental. Hal tersebut berdasar pada pelembagaan pos pekabaran Injil Pasar Senen.
Dengan penyebutan pemberitaan dan pekabaran Injil, terdapat sebuah kesan eksklusif
di mana Injil harus diberitakan, bahkan harus dilembagakan dalam rangka menyatakan
bahwa YESUS adalah TUHAN yang harus dipercaya oleh banyak orang. Melembaganya
pos pekabaran Injil semakin menguatkan kesan bahwa Yesus datang ke daerah Pasar
Senen melalui lembaga Anti Opium Vereeniging untuk menggantikan Divine Being yang
sebelumnya dipercaya oleh masyarakat asli daerah tersebut. Selain itu, dalam masa ini,
model penggantian dapat terlihat karena pekabaran Injil dilakukan tanpa dilakukannya
dialog, berbeda halnya dengan model pemenuhan. Komunikasi yang terkesan satu arah,
sehingga pendirian pos pekabaran Injil menjadi fokus penting, menunjukkan bahwa
YESUS merupakan satu-satunya wahyu dan keselamatan yang harus dipaksakan kepada
para pecandu narkoba di daerah Pasar Senen.

Perkembangan zaman membawa perubahan juga pada misi interkultural GKI Gunsa.
Hal tersebut dapat terlihat pada program-program yang ada. Program yang dapat
dilihat dalam kaitannya dengan umat beragama lain adalah program pelayanan sosial.
YESUS turun dalam ke dunia untuk melayani sesama manusia, maka itu, GKI Gunsa yang

9
merupakan tubuh KRISTUS di dalam dunia juga dipanggil untuk melayani sesama
manusia. Kepedulian dan pelayanan gereja tidak hanya berfokus pada anggota gereja,
melainkan juga berfokus pada mereka yang ada di luar gereja, termasuk mereka yang
berbeda agama. GKI Gunsa menaruh perhatian pada upaya pemberantasan kemiskinan
melalui jalur pendidikan dengan program Santunan Dana Anak Asuh (Sadana) dan jalur
kesehatan dengan poliklinik.xxv Inilah dasar pembentukan pelayanan sosial GKI Gunsa.
Dengan program-program yang berfokus pada semua umat beragama menunjukkan
bahwa GKI Gunsa sudah mulai melakukan dialog dengan mereka yang beragama lain.
Tidak mungkin pelayanan Sadana ataupun poliklinik dapat dilakukan jika tidak adanya
dialog dengan para anggota Sadana atau poliklinik yang berbeda agama. Dialog yang
dimaksudkan adalah dialog pada model pemenuhan.

Penulis merasa bahwa misi interkultural perlu diusahakan dalam kehidupan gereja di
Indonesia. Indonesia merupakan negara yang plural dalam hal beragama. Dengan
demikian, dialog tidak dapat dipungkiri menjadi bagian penting dalam kehidupan antar
umat beragama di Indonesia. Dialog yang diperlukan adalah dialog yang tetap
menyadari akan perbedaan yang ada sebagai suatu hal yang saling membangun satu
dengan yang lainnya, perbedaan yang memperkaya, bukan justru memiskinkan
perbedaan itu dengan menghilangkannya. Inilah dialog yang dimaksudkan dalam model
penerimaan. Misi interkultural, seperti halnya model penerimaan dalam teologi agama-
agama Knitter, berusaha untuk menerima perbedaan yang ada dalam setiap agama, baik
itu dalam hal tujuan ataupun pewahyuan ataupun keselamatan, dan bukan untuk
menghakimi.

Dengan menyadari perbedaan yang ada dalam kehidupan umat beragama, maka umat
beragama di Indonesia dapat saling memahami, terlebih dengan adanya isu-isu
politisasi agama. Agama menjadi suatu hal yang sangat krusial di Indonesia dewasa ini
karena banyaknya politisi yang menggunakan isu agama sebagai kendaraan politik
untuk mencapai kepentingan pribadi ataupun kelompok. GKI Gunsa perlu menjadi
penggerak untuk mengorganisir dialog-dialog yang berangkat dari perbedaan dan tidak
berakhir pada persamaan. Persamaan tidak dapat diusahakan pada hal-hal yang bersifat
substansial, seperti halnya pada ranah teologis atau dogma. Dan pada akhirnya, dialog
diperlukan untuk sama-sama belajar dan memperdalam penghayatan iman dari setiap
penganutnya.

10
i
David J. Bosch. (2008). Transformasi Misi Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Halaman 688-689.
ii
David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen. Halaman 691.
iii
David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen. Halaman 693-694.
iv
David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen. Halaman 689-690.
v
David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen. Halaman 691-692.
vi
Hery Susanto. (Juni 2019). “Gereja yang Berfokus pada Gerakan Misioner”. Dalam jurnal FIDEI, volume 2. Halaman
74-77.
vii
Hery Susanto. (Juni 2019). “Gereja yang Berfokus pada Gerakan Misioner”. Halaman 77-78.
viii
Hery Susanto. (Juni 2019). “Gereja yang Berfokus pada Gerakan Misioner”. Halaman 78-79.
ix
Djoko P. A. Wibowo (April 2008). “"Konvivenz" dan Theologia Misi Interkultural Menurut Theo Sundermeier”.
Dalam jurnal Gema Teologi, volume 32. Halaman 4-5.
x
Djoko P. A. Wibowo (April 2008). “"Konvivenz" dan Theologia Misi Interkultural Menurut Theo Sundermeier”.
Halaman 7.
xi
Djoko P. A. Wibowo (April 2008). “"Konvivenz" dan Theologia Misi Interkultural Menurut Theo Sundermeier”.
Halaman 7-8.
xii
Paul F. Knitter. (2008). Pengantar Teologi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius. Halaman 21-41.
xiii
Paul F. Knitter. Pengantar Teologi Agama-agama. Halaman 73-74.
xiv
M. Syahid Juli Ashari. Dalam skripsi Teologi Agama-agama Dalam Pemikiran Paul F. Knitter. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2010. Halaman 52.
xv
M. Syahid Juli Ashari. Skripsi Teologi Agama-agama Dalam Pemikiran Paul F. Knitter. Halaman 59.
xvi
Paul F. Knitter. Pengantar Teologi Agama-agama. Halaman 129-132.
xvii
Paul F. Knitter. Pengantar Teologi Agama-agama. Halaman 205.
xviii
Paul F. Knitter. Pengantar Teologi Agama-agama. Halaman 227-228.
xix
M. Syahid Juli Ashari. Skripsi Teologi Agama-agama Dalam Pemikiran Paul F. Knitter. Halaman 57-59.
xx
Djoko P. A. Wibowo (2008, April). “"Konvivenz" dan Theologia Misi Interkultural Menurut Theo Sundermeier”.
Halaman 10-11.
xxi
Djoko P. A. Wibowo (2008, April). “"Konvivenz" dan Theologia Misi Interkultural Menurut Theo Sundermeier”.
Halaman 11.
xxii
Jeniffer Pelupessy-Wowor, J. (2016). Kubus Iman dan Dialog Antar Umat Beragama: Sebuah Upaya Membangun
Kesadaran Relasional Antara "Aku, Kamu dan Kita". Dalam buku Menuju Perjumpaan Otentik Islam-Kristen.
Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen Indonesia. Halaman 32-33.
xxiii
Nur Said. (Desember 2019). “Dialog Lintas Iman dalam Komunitas Lintas Budaya: Telaah Diskursif Polemik
Ahmadiyah dalam Milis Mahasiswa Pascasarjana UGM Yogyakarta”. Dalam jurnal THEOLOGIA, volume 27. Halaman
396.
xxiv
GKI Gunsa. t.thn. dikutip dari http://www.gkigunsa.or.id/tentang-gereja/ (diakses 22 Desember 2019).
xxv
GKI Gunsa. t.thn. dikutip dari http://gkigunsa.or.id/pelayanan-kasih/ (diakses 22 Desember 2019).

Anda mungkin juga menyukai