Anda di halaman 1dari 9

SEJARAH KATEKETIKA

SEJARAH KATEKETIKA

(1) Kateketika pada masa reformasi (2) Kateketika di Indonesia

(3) Kateketika pada masa Zending (4) Kateketika pada masa setelah Zending

I. Pendahuluan

Perkembangan kateketika semakin banyak mengalami perubahan, mulai dari zaman reformasi yang
merupakan awal dari sejarah kateketika banyak mengalami perubahan. Namun bukan berarti ajaran-
ajaran lama seluruhnya dihilangkan, namun banyak ajaran yang dikolaborasikan dengan lingkungan dan
tuntutan zaman.

II. Pembahasan

2.1.1. Gereja Katolik Roma[1]

Reformasi gereja pada abad ke-16 sangat besar dampaknya bagi kehidupan Gereja Katolik Roma. Kontra
Reformasi menyambut tantangan reformasi, terutama dalam bidang katekese. Konsili trente (1545-
1563) memutuskan penyusunan sebuah katekismus yang bisa menjadi sarana untuk mengingat kaum
muda lebih erat pada gereja Roma. Untuk itu sejak anak-anak sudah harus diberi ajaran gereja. Arti serta
jalannya upacara gereja juga harus di tekankan , sehingga mereka manjadikan itu sebagian dari
hidupnya.

Katekismus Romanus atau Tridentinus yang ditulis oleh Borromeus dan beberapa orang lain berdasarkan
keputusan konsili di atas, rampung tahun 1566. Susunan buku itu sederhana; hanya terdiri dari kata
pengantar dan pembahasan keempat unsur katekese tradisional. Tapi buku tersebut khusus untuk guru,
bukan untuk murid. Baru pada tahun 1570 terbit diringkasan Katekismus Romanus yang dikhususkan
untuk untuk anak-anak.

2.1.1.a. Petrus Kanisius

Sebelum Katekismus Romanus terbit, golongan Yesuit sebenarnya sudah mengkaji masalah katekese
secara mendalam pada tahun 1555, Petrus Kanisius telah menulis katekismusnya yang besar dan kecil
untuk digunakan di sekolah-sekolah. Kedua-duanya dalam bahasa Latin, tapi tahun 1558 Edisi kecil itu
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Kemudian pada tahun 1559 ia menulis lagi sebuah buku
berukuran ‘’sedang’’ dalam bahasa Latin, yakni Parvus Katekismus Katolikkorum. Dalam buku itu, bagian
kuno Apostelikum, Doa Bapa Kami, dan Dasa Titah di tempatkan di bawah judul iman, harapan, dan
kasih. Setelah itu berulah bab mengenai sakramen. Sedangkan bab terakhir berisi uraian mengenai
beberapa kewajiban untuk hidup dalam kebenaran. Di sini soal dosa juga di bahas, terutama mengenai
tujuh dosa utama dan tujuh kebajikan utama. Isi bab terakhir ini merupakan sisa pengaruh katekese
pengakuan dosa dari abad pertengahan. Katekismus Kanisnius, khususnya jenis yang sedang itu,
berpengaruh luas dan dipedomi oleh banyak pihak. Selain itu Kanisius juga menerbitkan sejumlah buku
yang agak bercorak abad pertengahan mengenai cara yang benar untuk mengikuti upacara gereja.

2.1.2. Gereja Ortodoks Timur[2]

Yang sangat berbeda adalah dampak reformasi terhadap Gereja Ortodoks Timur. Di sini, dampak
tersebut bukan hanya berupa reaksi yang menjadi perangsang munculnya kesadaran baru, tetapi lebih
jauh lagi, yakni terjadinya perubahan positif dalam isi ajaran. Sudah sejak permulaan reformasi terjadi
kontak langsung antara reformasi dan Gereja Ortodoks Timur, khususnya melalui pertukaran surat
antara Melanchon dengan beberapa tokoh terkemuka gereja tersebut. Dalam paroan kedua abad ke-17
bahkan ada pertukaran pikiran secara tertulis antara para teolog Tubingendan Patriakh, Konstatinopel,
Cyrillus Lukaris.

2.1.3. Kateketika pada masa reformasi dalam konteks

2.1.3.a. Konteks Keagamaan

Sejak abad ke-5 Paus semakin memperlihatkan dan mengklaim supremasi atau keunggulanny atas
seluruh gereja. Klaim supremasi ini kemudian disusul dengan penetapan berbagai ajaran di gereja yang
tidak hanya bersumber dari Alkitab, melainkan juga melalui tradisi yang di dalamnya dinyatakan banhwa
pauslah yang memiliki dan menentukan keselamatan manusia, dan dalam upaya memperoleh
keselamatan itu manusia harus ikut berperan dalam bentuk beramal atau berbuat baik. Jadi menuju
keselamatan dalam bidang keagamaan ini tidak hanya cukup mengandalkan iman da kasih karunia Allah.
Dimana dalam konteks ini seseorang menuju kehidupan kekal hrus melalui api penyucian dan ia harus
berbuat banyak hal bagi gereja serta harus membeli surat penghapusan siksa dari pejabat Gereja sesuai
dengan timbangan dosanya.[3]

2.1.3.b. Konteks Sosial Politik


Dalam konteks sosial politik terdapat gejala yang semakin sekuler yakni para paus mengejar dan
mengurus pemerintahan duniawi. Dalam konteks politik dimana raja ingin mengatur urusan negeri atau
wilayah kekuasaannya masing-masing dan tidak mau lagi mengakui mengklaim supremasi gereja atau
paus atas Negara. Banyak wilayah yang dipimpin oleh raja ata pangeran yang mempunyai otonomi dan
kedaulatannya sendiri, raja tidak suka tunduk pada kaisar atau kepada Negara.[4]

2.1.3.c. Konteks Kebudayaan

Sejak abad ke-15 timbul renaisans, yaitu semangat untuk kembali ke kejayaan masa lalu sehingga perlu
mengggali sumber-sumber serta menemukan kekayaan masa lalu sekaligus mengembangkannya.
Renaisans dalam kebudayaan berupa menggabungkan filsafat Yunani dengan iman kristiani dengan
upaya melahirkan paham humanisme. Reanisans ini juga mendorong bangkitnya semangat
menggembangkan ilmu dan teknologi modern salah satu hasilnya dalam penemuaan mesin cetak, dan
penemuaan inikelak berjasa mendukung dlam penyebaraan dalam reformator. [5]

2.1.3.d. Konteks Ekonomi

Sejak akhir abad ke-15 pertumbuhan ekonomi mengalami pertumbuhan yang sangat pesat, dimana
kelas pedangang dan pengusaha di bidang perdagangan dan industri, menjadi cikal bakal kapitalisme.
Seiring berlangsungnya feodalisme di dalam masyarakat maka banyak pandangan yang tidk cocok
dengan hal ini karna tidak sesuai dengan pandangan dan kebutuhan mayarakat, sehingga melalui
feodalisme ini melhirkan sikap kritis terhadap keadaan yang berlaku di dalam masyarakat. [6]

2.1.4. Tokoh Kateketika pada masa reformasi

2.1.4.a. Marthin Luther

Menurut martin Luther PAK bertujuan untuk menyadarkan anak-anak dan dewasa tentang keadaan
mereka yang sebenarnya banhwa mereka merupakan orang berdosa dan karna itu mereka berbuat
dosa. Dalam pencapaian hal ini Luther membahas arti dasr titah dalam katekismunya dengan cara
mengetahu hukum yang menyatakan tuntutan Allah, para warga jemaat diantar unutuk mengerti betapa
lebarnya jurang yang memisahkan manusia dari Allah. Luther menegaskan agar para pelajar memahami
doa serta melaksanakan kehidupan berdoa.[7]

Ada empat dasar teologi yang menjadi landasan bagi teori dan praktek Pendidikan Agama Kristen yaitu:

1) Keadaan berdosa dari setiap jemaat


Luther berpendapat bahwa ia menghubungkan alasan menganggap pendidikan perlu ada dengan tabiat
berdosa yang lebih terbuka dengan campur tangan iblis. Akan tetapi dengan percaya akan perbuatan
Allah dalam Yesus Kristus, semua warga dikaruniakan dengan mengatasi akibat buruk yang berlangsung
dalam diri setiap warga karena tabiatnya yang berdosa dan daya tarik iblis yang bermaksud
menyesatkan orang Kristen .

2) Pembenaraan oleh iman

Melalui penderitaan jiwanya Luther diyakinkan tentang kebenaran dosa sebagai factor dalam diri setiap
orang pembenaran iman milik kunci, iman setiap warga yang menaruh seluruh kehidupan kepada Allah
dalam Yesus Kristus.

3) Imammat orang percaya

Di dalam pengalaman pembenaran karena iman tersebut tersirat pula persamaan hak setiap orang
dihadapan Allah. Tidak satu golongan tertentu yang menjadi penyalur anugerah Tuhan kemudian
disampaikan kepada orang yang lebih rendah martabatnya. Semua orang Kristen mempunyai hak
istimewakarena orang yang dibenarkan oleh iman telah dijadikan makhluk baru oleh Yesus Kristus,
dengan kata lain setiap warga adalah imam bagi warga seimannya.

4) Firma Allah

a. Yesus secara pribadi dan ajarannya adalah firman Allah

b. Alkitab sebagai firman

c. Firman amanat adalah yang diberitakan kepada warga Kristen. [8]

2.1.4.b. Yohanes Calvin

Kalvinisme adalah system teologi kedaulatan dan kemuliaan Allah yang dirumuskan oleh Yohanes. Salah
satu teologi kalvinis yaitu predestinasi atau penebusan yang terbatas, dibangun atas keyakinan akan
kedaulatan dan kemuliaan Allah, namun keyakinan dan pengajaran bersumber dari Alkitab. Alkitab
dipandang sebagai aturan bagi iman. Dimana Alkitab mengajarkan tentang Allah dan tugas-tugas orag
percaya terhadap Allah dan sesame manusia. Kewibawaan Alkitab terjamin oleh pekerjaa Roh Kudus.
Sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, ia dapat mencapai kebajikan melalui kuasa alamiah namun
kejatuhan manusia ke dalam dosa telah mengubah hakekat manusia sehingga sekarang semua manusia
berada dibawah kuasa dosa. Semua perbuatan manusia hanya dibenarkan karena rahmat Allah saja.
Kalvin mengajarkan sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, bahwakan sebelum penciptaan Allah telah
menetapkan beberapa orang untuk menerima keselamatan serta memperoleh penghukuman.
Kalvinisme membela teokrasi di dalam gereja dimana Negara dan Gereja haru bersama-sama untuk
menegakkan keadilan serta memuliakan Allah. Keduanya harus berdampingan dan masing-masing
mendapat tertentu dari Allah yang harus dipertanggungjawabkannya dalam panggilannya terhadap
Allah.[9] Pendidikan agama Kristen menurut Yohanes Kalvin adalah pemupukan akal orang-orng percaya
degan firman Allah di bawah bimbingan Roh Kudus melalui sejarah pengalaman belajar yang
dilaksanakan Gereja sehingga dalam diri mereka dihasilakn pertumbuhan rohani yang bersinambung
yang semakin mendalam pengertiannya untuk kita pahami serta iman dengan pengapdian diri kepada
Yesus Kristus berupa tinakan-tindakan kasih terhadap sesamanya. Yohanes kalvin berpendapat bahwa
tujuan PAK adalah agar karakter Kristen tampak dalam diri warga gereja sebagai akibat kehidupan
mereka bersama, khususnya dalam kehidupan beribadah dan belajar PAK juga melengkapi warga gereja
mengambil keputusan yang bertanggungjawab yang sesuai dengan Alkitab. [10]

Dasar Teologi PAK menurut pandangan Kalvinis adalah:[11]

1) Kedaulatan Allah

Allah yang wajib dilayani berdaulat atas dirinya dan semua pembicaraan manusia tentang Allah harus
bertitik tolak dari sudut bagaimana Allah sendiri ingin diketahuinya. Dalam kedaulatannya Ia
menyatakan dirinya sebagai tiga pribadi, Bapa, Anak, dan Roh Kudus.

2) Alkitab sebagai firman Allah

Alkitab adalah firman yang diucapkan demi kemajuan gereja secara rohaniah. Menurut Kalvin isi pokok
Alkitab bukan menyatakan diri allah sebagai dia adalah sebenarnya namun sebagai mana dia ada dalam
hubungannya dalam orang-orang, dimana firman Allah tidak dibatasi dengan Alkitab saja tetapi melalui
perkataan manusia juga dapat dijadikan sebagai firman yang diberitakan pada orang-orang banyak.

3) Ajaran tenatang manusia

Ajaran dibahas dari dua sudut :

a. Manusia sebagai makhluk yang diciptakan seambar dengan rupa Allah yang kemudian
jatuh dengan dampak luas yang tersiratkan di dalamnya.

b. Kita diberitahukan oleh Yesus Kristus sebagai manusia sejati harus dapat memenuhi dalam
dirinya rancangan ataupun panggilan allah terhadap manusia.

4) Ajaran gereja
Gereja merupakan persekutuan kaum yang terpilih dalam Yesus Kristus yang di didik melalu saran
kebaktian, yang pada pokonya pemberitaan firman dan sakramen baptisan dan perjamuan kudus, agar
kaum percaya itu mengejawantakan pemilihan dlaam tindakan-tindakan kasih demi sesamanya
manusia.

5) Ajaran tenatang hubungan gereja dan Negara

Pengertian Kalvin tentang pokok teologis ini bertitik tolak ada empat praduga utama :

a. Dia tidak membayangkan Negara yang terbagi menurut isi iman warganya. Demi keamanan
Negara semua warga wajib mengakui iman yang sama.

b. Setiap pemerintah yang dikenalnya terdiri dari warga yang menganggap dirinya pengikut
Kristus.

c. Sungguhpun demikian para pemimpin Negara manusia yang berdosa juga.

d. Meskipun hubungan antara gereja dan Negara begitu erat, namun para pelayan wajib
menentukan isi firman yang diproklamasikan dan siapa yang boleh menerima sakramen.

2.1.5. Kateketika di Indonesia

Sejak serdadu, pedagang dan imam portugis tiba di pulau Ternate pada tahun 1538 untuk
pertama kalinya ,maka sejak waktu itu dimulailah sejarah pendidikan agama Kristen di Indonesia. Sesuai
dengan perintah yang diberikan kepada panglima ekspedisi portugis oleh rajanya,ia mendirikan sekolah
di pantai Ternate sebagai sarana untuk memberitakan Injil. Tidak lama kemudian lagi pelaksanaan
pendidikan di sana diambil-alih oleh Ordo Yesuit. Pendidikan yang disediakan ditempat itu sederhana
sekali tarafnya. Para murid disuruh menghafalkan Doa Bapa Kami, Sepuluh Hukum dan Pengakuan Iman
Rasuli.Disamping itu mereka belajar membaca,menulis,berhitung dan diperkenalkan pada bahasa
portugis itu sendiri. Pola serupa diulangi di tempat lain , umpanya di Ambon , Solor dan Flores sampai
tahun 1605, tatkala kekuatan Belanda mulai menggantikan kekuasaan Portugis di tanah air.Bila tujuan
perusahaan perdagangan Belanda (VOC) di nusantara indonesia dibandingkan dengan yang dianut
Portugis, maka tentu saja tujuan VOC lebih mementingkan urusan perdagangan di atas hal-hal
agamawi.Namun sebagai anggota gereja Reformasi, mereka pun merasa perlu bertindak bertanggung
jawab terhadap keadaan jiwa anak-anak pribumi.Demikianlah mereka meneruskan kebijakan pedogagis
yang dipelopori kaum Portugis. Tetapi ada juga tujuan pelengkap .Dengan mendidik anak pribumi
bahasa Belanda , kekuasaan atas orang tuanya dapat diperkukuh. Tujuan pelengkap ini tersirat dalam
Perintah Umum kepada Gereja pada tahun 1643, yang menentukan tugas yang diberi kepada para
guru.Rupanya wakil VOC terlampau sibuk dengan urusan politik , militer dan perdagangan untuk
sungguh-sungguh merencanakan hal-hal pedagogis.

Pada masa berakhirnya piagam VOC , pada akhir abad ke 18,pemerintah baru di Belanda mengambil-alih
segala urusan di Hindia Belanda. Di antara sekian banyak prakarsa baru yang dibuat pemerintah
Belanda,perlu disebutkan disini sikapnya terhadap pendidikan di daerah jajahannya. Agar tidak
menyulitkan hubungan dengan para pemeluk agama Islam khususnya,pemerintah tidak lagi memihak
pada urusan Kristen di sekolah.Tetapi,gereja dan badan misi atau zending diizinkan mendirikan sekolah
swasta .

Hasil dari gerakan injili di Eropa termasuk Belanda,berbagai awam Belanda di Indonesia mendirikan
Sekolah Minggu yang cenderung sama sifatnya dengan Sekolah Minggu di Inggris dan Amerika pada
zaman yang sama yakni pendiriannya diprakarsai oleh kaum awam ,diluar struktur gereja dan bersifat
injili.Pola ini tidak berlaku untuk semua gereja di seluruh Indonesia ,umpamanya di HKBP,di mana tata
usaha gereja diadakan secara sinode dan melarang segala kegiatan gerejawi di luar kekuasaan para
pemimpin sinode itu sendiri.Jadi kegiatan Sekolah Minggu diatur oleh sinode sendiri. Keadaan serupa
dikenal di gereja lain pula,umpamanya di Gereja Kalimantan Evangelis,Gereja Toraja dan Gereja Kristen
Sulawesi Tengah. [12]

2.1.6. Kateketika pada masa zending

Kebiasaan-kebiasaan yang dipakai oleh gereja-gereja di Eropa di bidang katekese, dibawa masuk oleh
pendeta-pendeta sending ke Indonesia dan dipakai juga dalam jemaat-jemat di sini. Hal itu nyata
dengan jelas dari Ketetapan Sidang Raya Agung, yang diselenggarakan pada tanggal 6 Agustus sampai 20
Oktober 1624 di Betawi. Dalam siding raya itu ditetapkan, bahwa “ anak-anak Belanda dan anak-anak
yang bukan Belanda harus dididik secara Kristen di sekolah-sekolah” dan bahwa “ untuk pengajaran
agama selanjutnya anak-anak itu harus mengunjungi pengajaran katekese Gereja”.

Izin untuk membuka dan mengusahakan sekolah baru diberikan, kalau orang yang mau melakukannya
telah lulus dari ujian, yang dihadiri oleh wakil-wakil Gereja dan Pemerintahan.

Untuk dapat mengajar guru-guru harus mendatangi dahulu “ pengakuan – iman Gereja-Gereja Belanda”,
“Katekismus Heidelberg” dan “dasar-dasar ajaran Sinode Nasional di Dordrecht”. Mereka tidak boleh
menyerahkan pekerjaan mereka kepada guru-guru pembantu. Hal itu hanya diizinkan dalam hal-hal
darurat, umpamanya kalau jumlah murid terlalu besar, sehingga guru-guru tidak dapat memberikan
pengajaran sendiri.

Pada tahun 1776 peraturan sekolah ini diganti dengan suatu Reglemen Sekolah baru. Lanjutan
pengajaran agama di sekolah – seperti yang dikatakan di atas – ialah pengajaran katekese yang diberikan
oleh pendeta-pendeta di Gereja. Theoritis pekerjaan itu diatur dengan baik dan secara terinci dalam tata
gereja-tata gereja. Dan dalam keputusan-keputusan lain dari Majelis Gereja. Tetapi dalam praktik ia
sukar dikerjakan, terutama karena kekurangan tenaga pendeta. Di beberapa Jemaat Majelis Gereja
berusaha mengatasi kesulitan ini dengan jalan mengangkat tenaga-tenaga pembantu, tetapi secara
umum usaha itu juga tidak banyak menolong sama seperti guru-guru sekolah, tenaga-tenaga pembantu
ini tidak cukup diperlengkapi, sehingga mereka tidak dapat menunaikan tugas mereka dengan baik.
Untuk sekedar menolong pendeta-pendeta dan pembantu-pembantu mereka dalam pekerjaan mereka,
diusahakan penterjemahan buku-buku pengajaran katekese yang dipakai dalam Gereja – Gereja di
Belenda.[13]
2.1.7. Kateketika pada masa setelah zending

Situasi katekese dalam Gereja-Gereja kita pada waktu ini berbeda dengan situasi katekese dalam Gereja-
Gereja itu pada waktu sending.Perbedaan ini terdapat di berbagai-berbagai bidang.Yang terpenting di
antaranya ialah di bidang tenaga pengajar dan buku-buku yang digunakan dalam pengajaran katekese.
Tenaga – tenaga pengajar katekese dalam Gereja-Gereja kita pada waktu ini memperoleh pendidikan
P.A.K.umumnya lebih baik dipersiapkan daripada tenga-tenaga pengajar katekese pada waktu sending.
Mereka diperlengkapi dengan rupa-rupa pengetahuan yang merka butuhkan untuk pekerja mereka,
seperti: pengetahuan tentang pengikut-pengikut pengajaran katekese, pengetahuan tentang dunia
mereka, pengetahuan tentang perkembangan mereka,pengetahuan tentang bahan-bahan katekese
yang mereka gunakan,pengetahuan tenatang methode pengajaran,pengetahuan tentang alat-alat
pembantu untuk katekese, dan lain-lain. Juga buku-buku yang digunakan dalam pengajaran katekese
tidak sama dengan buku-buku yang digunakan pada waktu sending.Benar,ada Gereja yang masih tetap
menggunakan buku-buku katekese yang dipakai pada waktu sending seperti:Katekismus Heidelberg,
Katekismus Kecil dari Luther ,dan lain-lain, tetapi umumnya Gereja-Gereja kita pada waktu ini
menggunakan buku-buku atau bahan-bahan lain.[14]

III. Kesimpulan

Dari pemaparan tema diatas dapat dengan jelas kita pahami bersama bahwa didalam perubahan –
perubahan didalam katekisasi banyak dipengaruhi dari berbagai faktor dan aspek-aspek yang berasal
dari dalam dan luar Gereja. Titik besar perubahan yang terjadi pada katekese, yaitu pada awal reformasi.
Dimana perubahan yang besar terjadi di dalam tubuh gereja. Namun dibalik itu semua, pengajaran-
pengajaran katekese tentunya tidak hilang, namun banyak mengalami penambahan maupun
pengurangan. Walaupun demikian ajaran pokok-pokok kristus tetap ada sampai saat ini.

Anda mungkin juga menyukai