Anda di halaman 1dari 8

BAB II

RINGKASAN ISI BUKU


1.1. Identitas Buku
1. Judul Buku : Pendidika Agama Kristen (Buku Utama)
1 Edisi : Pertama (I)
2 Penulis : Pdt. Dr. Sampitmo Habeahan, M.Th, M.Pd. dkk
3 Penerbit : CV. Permata Mitra Sari
4 Tahun terbit : 2017
5 Kota Terbit : Medan
6 ISBN : 978-602-1516-14-0

1.2. Ringkasan Isi


Buku Bab 8
I. Kebudayaan Dipandang Dari Sudut Alkitab

Kebudayaan menurut Alkitab dapat dilihat dari beberapa aspeknya, yaitu: (1) Allah
memberikan manusia ‘tugas kebudayaan’ karena pada dasarnya ‘manusia memiliki gambar
seorang pencipta’ (Kej.1:26-27) dan manusia diberi TUGAS agar ‘menaklukkan dan
memerintah
 bumi’ (Kej.1:28). Jadi, manusia menerima suatu mandat dari Allah dan mandat itu adalah
MANDAT kebudayaan. Le bih jelas lagi disebutkan bahwa: “Tuhan Allah mengambil manusia
itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu.”
(Kej.2:15); (2) Sesuai Mazmur 150 kita dapat melihat bahwa TUJUAN kebudayaan yang utama
adalah untuk ‘memuliakan dan mengasihi Allah, dan agar kebudayaan itu digunakan untuk
melayani dan mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.’

Mandat budaya Sebagai panggilan suara kenabian yang mewartakan kebenaran alkitab
didalam memandang seluruh problematika kehidupan disegala bidangbaik pendidikan
ekonomi,sosial,hukum,kemasyarakat dll. Bila Alkitab berbicara begitu positif mengenai
kebudayaan, mengapa kebudayaan menjadi suatu yang dipersoalkan? Apa yang
menyebabkannya? Penyimpangan kebudayaan terjadi misalnya dalam peristiwa ‘Menara Babel’
dimana tujuan kebudayaan menyimpang diarahkan untuk penyembahan berhala dan kebanggaan
diri/kelompok (Kej.11). Tema dosa yang merusak tujuan kebudayaan adalah ‘ingin  menjadi
seperti Allah’ (Kej.3:5) dan ‘mencari nama’ (Kej.11:4). Jadi dosa telah menyimpangkan
kebudayaan sehingga berpotensi bukan saja untuk tidak memuliakan penciptanya, sebaliknya
malah digunakan untuk alat meninggikan diri dan menantang Allah.

Memang tidak mudah untuk melihat kuasa dosa itu kelihatan di dalam kebudayaan,
kadang-kadang terlihat dari ‘hasil’ kebudayaan seperti patung lalu disembah, musik digunakan
untuk memuliakan manusia & dosa dan menyembah dewa-dewi, dan filsafatpun dapat
digunakan tidak sesuai dengan firman Allah (Kol.2:8). Kadang-kadang kuasa dosa terlihat dari
‘cara menggunakan’ hasil kebudayaan itu. Rekayasa genetika dengan kloningnya menghadapi
bahaya kearah ini, demikian juga penyalah gunaan senjata nuklir. Film & Sinema dengan jelas
menunjukkan betapa hasil kebudayaan telah dikuasai dosa pornografi, sadisme dan okultisme
tanpa bisa dibendung. Sesuatu yang mendukacitakan Allah pencipta manusia dan kemanusiaan.
Yesus berfirman: “Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang kepada adat-istiadat manusia.”
(Mrk.6:8)

II. Sikap Kristen Terhadap Kebudayaan

Sikap umat Kristen menghadapi kebudayaan dapat digolongkan ke dalam lima macam,
yaitu:

(1) Antagonistis, yaitu sikap menentang dan menolak, atau sikap negatif terhadap semua hasil dan
 penggunaan kebudayaan, sikap ini melihat pertentangan iman dan kebudayaan yang tidak
terdamaikan antara iman Kristen dan kebudayaan dalam segala aspeknya;

(2) Akomodasi, adalah sikap yang sebaliknya dari antagonistis yaitu menyesuaikan diri dengan
kebudayaan yang ada. Agama kristen dikorbankan demi kepentingan kebudayaan yang ada.
Akomodasi demikian sering kita lihat dalam hubungan dengan agama-agama animis dan adat
istiadat sehingga terjadi sinkretisme yang berbahaya. Sikap demikian terlihat misalnya dalam
usaha untuk menganggap bahwa ‘semua agama itu sama saja’ atau  yang belakangan ini lebih
dikenal sebagai ‘semua agama menuju yang SATU’ (inklusivisme);

(3) Dominasi, biasa dilakukan dalam gereja RK dimana sesuai teologia Thomas Aquinas yang
menganggap bahwa ‘sekalipin manusia dalam dosa telah merosot citra ilahinya karena kejatuhan
dalam dosa’, pada dasarnya manusia tidak jatuh total, melainkan masih memiliki kehendak
bebas yang mandiri. Itulah sebabnya dalam menghadapi kebudayaan kafir sekalipun, umat bisa
melakukan akomodasi secara penuh dan menjadikan kebudayaan kafir itu menjadi bagian iman,
namun kebudayaan itu disempurnakan dan disucikan oleh sakramen yang menjadi alat anugerah
ilahi;
(4) Dualisme, sikap ini mendua yang memisahkan agama dan budaya secara dikotomis. Pada satu
 pihak terdapatlah dalam kehidupan manusia beriman kepercayaan kepada pekerjaan Allah
dalam Tuhan Yesus Kristus, namun manusia yang sama tetap berdiri di dalam kebudayaan kafir
dan hidup di dalamnya. Peran penebusan Tuhan Yesus yang mengubah hati manusia yang
berdosa dan mengubahnya menjadi kehidupan dalam iman tidak ada artinya dalam menghadapi
kebudayaan. Manusia beriman hidup dalam kedua suasana atau lapangan baik agama maupun
kebudayaan secara bersama-sama;

(5) Pengudusan, adalah yang tidak menolak secara total (antagonistis) namun juga tidak menerima
secara total (akomodasi), tetapi dengan sikap keyakinan yang teguh bahwa kejatuhan manusia
dalam dosa tidak menghilangkan kasih Allah atas manusia melainkan menawarkan
 pengampunan dan kesembuhan bagi manusia untuk memulai suatu kehidupan yang lebih baik
dengan mengalami transformasi kehidupan etika dan moral. Manusia melakukan dan menerima
hasil kebudayaan selama hasil-hasil itu memuliakan Allah, tidak menyembah berhala, dan
mengasihi sesama dan kemanusiaan. Sebaliknya, bila kebudayaan itu memenuhi salah satu atau
malah ketiga sikap budaya yang salah itu, umat beriman harus menggunakan firman Tuhan
untuk mengkuduskan kebudayaan itu sehingga terjadi transformasi budaya ke arah ‘memuliakan
Allah’, ‘tidak menyembah berhala’, dan ‘mengasihi manusia dan kemanusiaan.’

Kelihatannya Alkitab lebih condong untuk mengajarkan umat Kristen agar melakukan sikap
‘Pengudusan’ sebagai kesaksian iman Kristiani dalam kehidupan berbudaya. Rasul Paulus
memberikan peringatan agar: “Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan
filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak
menurut Kristus.” (Kol.2:8).
III. Sikap Gereja Terhadap Kebudayaan

H.Richard Niebuhr dari Yale University di Amerika Serikat telah membuat bagan tentang
sikap gereja terhadap kebudayaan dalam bukunya Christ and Culture atau Kristus dan
Kebudayaan. Ia telah menjelajahi sikap-sikap gereja terhadap kebudayaan sepanjang zaman
dalam 5 sikap:

1.Gereja anti kebudayaan 2.

Gereja dari kebudayaan 3.

Gereja diatas kebudayaan

4. Gereja dan kebudayaan dalam hubungan paradoks

5. Gereja pengubah kebudayaan

Dapatlah kita simpulkan bahwa sikap gereja terhadap kebudayaan adalah :


1. Gereja menentang kebudayaan khususnya terhadap unsure-unsur yang secara total
 bertentangan dengan injil, umpanya terhadap culture agama, suku, dan tata kehidupan yang tidak
membangun seperti poligami, perjudian, perhambaan.

2.Menerima unsur-unsur kebudayaan yang bersesuaian dengan injil dan bermanfaat bagi
kehidupan.
3.Menerima unsure-unsur kebudayaan tertentu dan mentransformasikannya dengan injil.
Umpanya tata perkawinan, seni tari, dll. Sehingga dapat menjadi sarana injil.

Bagi mereka yang takut akan Allah, rasanya semua tindakan kita dalam menerima adat-
istiadat perlu berorientasi pada Allah dan kehendak-Nya, ini menghasilkan empat pertimbangan
 berikut, yaitu sikap menghadapi adat-istiadat yang:
(1) Memuji dan memuliakan Allah
(2) Tidak menyembah berhala
(3) Mencerminkan kekudusan Allah
(4) Mengasihi manusia dan kemanusiaan. Keempatnya berurutan dari atas ke bawah dimana
memuji dan memuliakan Allah adalah tugas utama umat Kristen (Mazmur 150) dan ketiga
lainnya diukur dari apakah itu meneguhkan kepujian dan kemuliaan Allah atau tidak.
Lalu adakah tingkat-tingkat pertumbuhan yang menentukan umat kristen bersikap?
Kedewasaan umat kristen dalam bersikap perlu mengarah pada kecenderungan kelima yaitu
transformatif, yaitu ia hidup dengan mentransformasikan setiap adat-istiadat agar sesuai dengan
kepujian, kemuliaan dan kehendak Allah. Ia semula hidup berkajang dalam dosa dan melakukan
adat-istiadat dimana kuasa dosa banyak berpengaruh. Pengenalannya akan Tuhan Yesus Kristus
membawanya kepada pertobatan (metanoea) dimana ia mulai merasakan perubahan arah dalam
hidupnya dari dosa menuju kebenaran, dan seperti apa yang dikatakan oleh rasul Paulus: Jadi
siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya
yang baru sudah datang (2Kor.5:17).

Dari perubahan yang transformatif inilah ia terus menerus melakukan trasformasi dari dosa
menuju kebenaran sehingga kehidupannya makin hari makin baik. Rasul Paulus mengatakan
 bahwa: Bukan seolah-olah aku telah memperoleh hal ini atau telah menjadi sempurna,
melainkan aku mengejarnya (Flp.3:12). Namun, harus disadari bahwa transformasi itu bukanlah
hasil usaha manusia dengan kekuatannya sendiri tetapi sebagai hasil interaksi iman kita yang
mendatangkan rahmat Allah: Dan semuanya itu dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus
telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan perdamaian
itu kepada kami (2Kor.5:18).

IV. Budaya yang harus dikembangkan jaman Modern ini

Banyak orang ingin sukses tapi tidak santun. Ada orang pintar karena tidak santun maka
sulit diterima keberadaannya. Ada pemimpin karena pribadinya tidak santun maka
kepemimpinannya juga sulit diterima kehadirannya. Dalam hal hubungannya dengan iman
Kristen aktifitas berkirir yang kritis itu dan dalam upaya untuk berkarya, maka judul di atas erat
kaitannya dalam kerangka untuk mengerti dan melakukan kehendak Tuhan. Dalam kerangka
itulahlah tiap orang Kristen harus kritis dan berkarya. Oleh sebab itu judul tsb menarik untuk
dibaca bagi mereka yang hidupnya ingin sukses. Sebab berbicara tentang kata “kritis” dan
“karya”, adalah dua kata yang saling melengkapi. Misalnya, Firman Tuhan berkata, “Sebab itu,
 janganlah kamu bodoh, tetapi usahakanlah supaya kamu mengerti kehendak Tuhan” (Efesus
5:17). Tetapi juga kita dituntut untuk berkarya. Firman Tuhan berkata: “Apa pun juga yang
kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk
manusia” (Kol.3:23).
Ke dua nats di atas ini, tujuannya agar agar hari-hari hidup setiap umat dapat bermakna
dan bernilai. Tegasnya, menjadi orang yang paling sukses. Kesuksesan yang akan kita capai
tidak bergantung pada bukan berapa banyak uang yang kita kumpulkan, atau berapa besar karya-
karya yang akan kita capai. Kesuksesan juga bukan terletak pada berapa banyak pekerjaan yang
kita lakukan, atau berapa tingginya posisi yang kita miliki. Kesuksesan kita diukur dari seberapa
 jauh kita mengerti dan melakukan kehendak Tuhan. Kritis berpikir dan santun berkarya
tujuannya agar kita mengerti dan melakukan kehendak Tuhan.
Kita perlu terus belajar, terus menambah pengetahuan dan belajar dari kegagalan atau
keberhasilan, pada waktu sulit atau tenang, bahkan diharuskan untuk belajar atas perubahan
yang ada, bukan lihai atau licik, tapi cerdik. Jadi, dalam mengkritisi zaman ini agar orang-
orang
 percaya jangan hanyut terbawa arus atau tergilas atau ketinggalan, tercecer, dalam
 perkembangan zaman. Para pemimpin gereja harus membantu umatnya menyadari bahaya
zaman ini dengan melengkapi mereka melalui upaya perlengkapan iman yang terus bertumbuh
dewasa, agar mampu mengahadapi serigala zaman ini.
Dengan demikian hidup beragama itu ialah berpikir dan berkarya berdasarkan Kitab Suci
atau Alkitab. Di dalam Firman tsb dijelaskan, manusia tidak diciptakan Tuhan Allah seperti
roboty  ang kemampuan berpikirnya sebatas yang terprogram. Tetapi diciptakan dengan
 penuh kesadaran akan dirinya, alam dan Tuhannya. Maksudnya, beragama yang benar, atau
 beriman kepada Tuhan Pencipta langit dan bumi dengan segala isinya, tujuannya agar dalam
memelihara ciptaanNya tiap orang Kristen terpanggil untuk setia dan mengasihinya dengan
caraNya sendiri. Di sanalah sifat santun itu menjadi penting. Yaitu, mengkiritisi panggilanNya
agar membawa pengenalan akan Tuhan secara benar (Kel 3:13 –  4:1ff). Semuan itu diarahkan
agar iman kepercayaan kita semakin bertumbuh dan bekerkembang sesuai dengan talenta yang
dimilikinya. Demikianlah proses mengerti dan melakukan kehendak Allah.

Manusia tidak berjalan dalam kehendak yang kaku, tetapi selalu ada di dalam pembaruan,
 baik itu kebudayaan, ilmu pengetahuan, teknologi dan sebagainya.
Lebih dari itu, berpikir kritis, santun berkarya bagaikan kompas hidup yang tepat bagi manusia
melihat pemandangan yang luas (ke depan) dan beragam objek yang memukau perhatian dan
sekaligus mengundang banyak pertanyaan tentang objek-objek yang terpapar di depan kita.
Tuhan menghendaki agar kita membangun pekerjaan dan pelayanan yang sungguh-sungguh
 berkenan kepada-Nya. Itu berarti kita tidak bekerja atau melayani secara sembarangan, atau
mengambil muka kepada pimpinan (Ef.6:6), tetapi “dengan rela menjalankan pelayanannya
 seperti orang-orang yang melayani Tuhan, bukan manusia.”
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan

Dari ringkasan buku dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Melalui
 pertemuan Injil dengan sub kultur-sub kultur di Indonesia timbullah kebudayaan sub
kultur Kristen di Indonesia. Hal ini mengatakan tidak ada kebudayaan Kristen yang
universal di Indonesia. Dengan itu agama Kristen telah menjadi salah satu sumber
kekuatan untuk melahirkan kebudayaan. Oleh sebab kelokalan itu maka kebudayaan
sub kultur Kristen itu tidak seluruhnya menyapa semua manusia disegala zaman dan
tempat. Hal itu berarti Injil yang universal itu dijadikan menjadi Injil yang lokal, yang
menjawab persoalan dan kebutuhan lokal. Proses ini dapat menjadi ancaman sebab
Injil yang universal dikaburkan dalam kelokalannya.

2. Saran
Menurut penulis buku yang pantas untuk dibuat sebagai buku acuan
 pembelajaran ialah buku utama karena buku tersebut sangat membahas secara luas
dan terperinci sehingga penggunapun bisa mengerti dengan maksud dari buku
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Sampitmo H.dkk, 2017. Pendidikan Agama Kristen, Medan, CV. Pertama Mitra Sari.

Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, PT. Renaka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai