Anda di halaman 1dari 4

Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Nama : Evinitus Sembiring & Apri Jaya Rumahorbo


Semester : 7 (tujuh)
Matakuliah : Teologi Agama-agama
Dosen Pengampu : Martin Lukito Sinaga

Apakah Ini Dunia “Bapaku atau Bukan”

Keberagaman agam bukan menjadi hal yang baru bagi kehidupan beragama di
dunia. Namun beberapa dari komunitas Kristen tidak bisa menerima perbedaan tradisi
yang ada di dalam agama lain. Paham ini disebabkan paham mereka yang mengatakan
bahwa Kekristenan adalah satu-satunya agama yang “benar”. Tentu penyataan ini akan
langsung memberikan dampak bahwa Kekristenan tidak akan bisa menerima kepelbagaian
tradisi dan ajaran yang ada di agama lain. Namun “Brief Statement of Faith” meilik gereja
Presbiterian (Amerika Serikat) mengatakan bahwa Allah “membuat semua orang setara
dalam citra Allah”. Melihat pandangan ini tentu saja gereja seharusnya siap untuk
menerima keberagaman dan tentu saja membicarakan permasalahan mengenai
keberagaman ini dalam sebuah percakapan Teologis (Campbell 2015,1-6)
Amerika memiliki banyak sekali aliran gereja di dalamnya. Keberagaman
denominasi gereja yang ada ini sering kali membuat sebuah sudut pandangan bahwa gereja
lain sebagai “bidat-bidat” atau ajaran-ajaran “sesat” dari pada memandang aliran lain
sebagai satu kesatuan dalam tubuh Kristus. Masalah berikutnya yang ada di Amerika
adalah semakin berkembangnya Negara ini dalam menerima agama-agama lain. Masuknya
agama-agama lain ini membuat Kekristenan mendapat tantangan untuk berelasi dengan
agama lain (Campbell 2015,7-13).
Ketika ada banyak sekali tradisi-tradisi yang ada dari agama lain, disitu juga para
orang Kristen memiliki tantangan untuk terlibat dalam membangun relasi dengan tradisi
tersebut tanpa harus melepaskan tradisi yang ada dalam dirinya. Melihat konteks
keberagaman ini, tentu hal ini menjadi sebuah persoalan Teologis yang harus dieksplor
juga secara Teologis. Mengapa hal ini menjadi sebuah permasalahan Teologi? Ada begitu
banya Tradisi yang ada dalam agama lain dan tentu saja setiap tradisi tersebut memiliki
praktik yang membetuk tradisi tersebut. Tentu hal ini ada kaitanya dengan Kekristenan,
contohnya saja dalam hal liturgy yang tersusun dalam berbagai bentuk dan praktiknya
(Campbell 2015,13-14).
Lebih lanjut Campbell membagi dua istilah Teologi yang menjadi dasar akan
permasalahan ini. Pertama, bagaimana kita sebagai seorang Kristen memahami Allah dan
bagaimana kia memahami Allah dan hubungan-Nya dengan dunia ini. Kedua, bagaimana
teologi Kristen berbicara dan berpikir tentang Allah dalam sebuah pola yang teratur.
Mendasarkan akan dua definisi diatas, tentu kita bisa melihat bahwa semakin
berkembangnya zaman, maka semakin banyak perubahan yang terjadi dalam tubuh
Kekristenan. Jika pada awalnya Kekristenan menganggap bahwa dirinya sebagai satu-
satunya kebenaran dan dari situ mereka memiliki tugas untuk membagikan berita tentang
kebenaran tersebut kepada orang lain yang tidak mengenal kebenaran tersebut, maka
perkembangan akan pemikiran mengenai tugas orang Kristen (termasuk pandangan
Jacques Dupuis Sj) untuk membangun relasi dengan agama lain membuat gereja menjadi
sadar bahwa mereka membutuhkan sebuah pola baru untuk mendakati isu ini dan
memiliki implikasi yang kongkrit dalam politik & sosial yang serius (Campbell 2015,14-20).

Eksklusivisme
Eksklusivisme Kristen atau biasanya disebut sebagai Kristen Tradisional yang
terkait erat dengan kebenaran agama atau sering juga pandangan eksklusif Kristen akan
kebenaran. Paham ini berciri khas bahwa agama Kristen menggunakan beberapa teks
dalam alkitab (Yohanes 14:6; Kis 4:12; Fil 2: 10-11; Mat 18: 19) sebagai dasar bahwa tidak
ada kebenaran lain selain agama Kristen. Tentu saja paham ini menimbulkan banyak
pertanyaan, karena memang dasar mereka bukan berasal dari satu keutuh Alkitab,
malainakan dari beberapa kita saja. Pandangan ini juga dalam sejarah Kekristenan
memberikan dampak buruk bagi relasi mereka dengan agama lain (Perang Salib,
pembantaian orang Yahudi di Eropa). Melihat hal ini jelas bahwa pandangan Eksklusivisme
membuat Kekristenan seakan menjadi agama yang tidak memahami apa yang
diperintahkan Allah di dunia ini. Pandangan ini meruduksi tugas Kekristenan melalui
kepentingan-kepentingan tertentu (Campbell 2015,20-24).

Inklusivisme
Sejumlah bagian Alkitab membenarkan adanya sebuah pendekatan yang berbeda
dari eksklusivisme. Kitab Mazmur yang menyatakan bahwa Allah adalah Tuhan semuda
bangsa dan ciptaan, Allah yang memperdamaikan dunia kepada diri-Nya sendiri (2 Kor
5;29), dan mengenai siapa yang akan diselamatkan Yohanes 10:16 mengatakan bahwa
“Ada lagi pada-Ku domba-domba lain, yang bukan dari kadang ini”. Gereja sediri lambat
laun mulai menyadari paham Inklusivisme yang ada dalam Alkitab (conth: dua dokumen
Konsisl vatika dua “Lumen Gentium” dan “Nostra Aetate”) dan pada akhirnya gereja
menyusul paham mengenai pengaharapan akan Allah yang bekerja, menyelamatkan
dengan cara masuk kedalam diri mereka yang belum pernah mendengar Ijil, tetapi
berusaha untuk mengikuti panduan hari nurani (Campbell 2015,25).
Teolog Kanada, Clark Pinnock mengatakan bahwa selain sisi “partikularis” dari
klaim Kristen akan keselamatan melalu Yesus Kristus yang harus selalu dipegang, ada
kebenaran penting lainya yaitu sisi “universalitas” kasih Allah terhadap seluruh ciptaan. Ia
menekan bahwa Kristen harus sadar bahwa Allah melalui Kristus adalah Allah yang
memiliki kasih karunia dan murah hati. Lebih lanjut Pinnock menekan bahwa Allah
memiliki berbagai macam jalan dalam kehadiranya di agama lain dan ia menggunakan
berbagai macam jalan. Hal yang senada juga diungkapkan oleh George Hunsinger yang
menekankan “ortodoksi yang murah hati”, ia juga mengingatkan kepada orang Kristen
bahwa pada akhirnya kesalamatan bergantung pada kemurahan hari Allah. Melalui
beberapa pandangan diatas pada akhirnya tujuan dan aktivitas Allah bagi semua orang
akan menjadi penentu keselamatan (Campbell 2015,26-29).

Pluralisme
Pluralisme sering dianggap sama dengan keberagaman, akan tetapi sebenarnya
keduanya memiliki definisi yang berbeda. Jika keberagaman hanya berbicara mengenai
adanya berbagai agama, Pluralisme lebih berbicara mengenai bagaimana agama-agama
yang ada saling menghargai. Analogi yang mengatakan “ada banyak jalan untuk menuju
satu gunung” mungkin bisa mengambarkan apa itu Pluralisme. Mungkin ada banyak agama
dan tentu saja mereka memiliki berbagai macam praktik keagamaanya akan mereka tetap
menuju satu tujuan yang sama yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Salah seorang
Filsuf, John Hick adalah seorang pendukung definisi ini. Menurunya agama adalah sebuah
usaha manusia untuk merespons realitas yang tertinggi. Baginya, pengalaman akan
transenden melampaui segala usaha manusai untuk definisikannya (Campbell 2015,29-32).

Banyak Kepercayaan satu Keluarga

Garis besar PL secara dominan menarasikan satu Allah. Berangkat dari apa yang
tertulis dalam Kel 20:3 “jangan ada padamu allah lain di hadapanku”, Allah dipandang
sebagai pribadi yang berada “di atas” allah-allah lain yang secara sengaja maupun tidak
sengaja telah memberikan celah untuk berpikir bahwa ada allah-allah yang lain. Pada
kenyataannya, memang semenjak masa PL sudah ada keberagaman dan perbedaan,
khususnya dalam ranah kepercayaan. Ada banyak berhala yang tidak lain adalah buatan
dari tangan manusia yang diasumsikan sebagai allah. Namun, jika kita melihat pada kisah
penciptaan manusia pertama, maka akan sangat mudah untuk menentukan bahwa ada
“kesatuan & kesamaan” karena berasal dari satu Sang pencipta. Kemudian kisah perjalanan
kehidupan manusia berlanjut dengan perintah Allah untuk beranakcucu dan memenuhi
bumi serta menaklukkannya. Sayangnya, seiring pertumbuhan jumlah manusia, ada banyak
juga perbuatan jahat di dalamnya, yang nampaknya memberikan kesan “penyesalan” dari
Allah. Ini bisa dilihat dari hukuman, sekaligus penyelamatan yang terjadi pada kisah Nuh.
Seorang teolog Yahudi bernama Irving Greenberg berpendapat mengenai kisah Nuh
bahwa; terdapat perjanjian antara ciptaan dengan sang Pencipta, yang beralaskan pada
kasih dan pemeliharaan hidup. Jika direlevansikan pada keberagaman (budaya, manusia,
agama dll), mereka yang bekerja untuk memperbaiki dunia dan mengedepankan
kemenangan hidup merupakan sebuah ekspresi yang valid dari perjanjian ilahi dengan
manusia (Campbell 2015, 38).
Sama halnya dengan kisah pembangunan menara Babel. Ada banyak orang yang
melihat fenomena ini sebagai awal dari keberagaman baik dari segi kultural maupun
linguistik. Theodore Hiebert (teolog PL) berpendapat bahwa Allah bukannya
menitikberatkan pada konstruksi bangunan menara tersebut, melainkan pada
ketidaktaatan terhadap perintah Allah untuk menyebar dan memenuhi bumi. Hal ini
dikarenakan Allah membutuhkan penyebaran manusia agar dapat menggenapi rencana
Allah atas ciptaan (Campbell 2015, 43).
Keberagaman yang muncul setelah fenomena ini bukanlah dianggap sebagai
konsekuensi dari dosa (hukuman), melainkan sebuah perkembangan alami dari rencana
Allah bagi budaya manusia yang harus dirangkul dan disikapi dengan baik. Lantas
bagaimanakah cara PL dalam memahami keberagaman tersebut?
Cara yang paling menarik untuk dapat menjawab pertanyaan tersebut ialah dengan
melihat bagaimana “sang lain” ini muncul dalam verita bangsa Israel. Sang lain ini sendiri
seringkali dilihat sebagai musuh yang kebanyakan digambarkan dengan kontak antara
bangsa lain misalkan dengan adanya peperangan, penaklukan dan kekerasan. Misalkan dari
kisah Hagar & anaknya Ismail (sang lain), Allah tetap berperan dalam upaya manifestasi
dari rencanaNya. Ada banyak lagi contoh peranan “sang lain” dalam cerita Israel yang
sebenarnya memiliki peranan penting. Jadi, intinya adalah ternyata tujuan Allah cukup
besar untuk mengikutsertakan “sang lain” yang tentunya tidak termasuk dalam bangsa
Israel karena orang-orang tersebut masih milik kepunyaan Allah (Campbell 2015, 49).
Keberagaman Agama dalam Keluarga Allah
Dalam melihat keberagaman agama berikut juga tentang banyaknya pertanyaan
yang muncul merupakan pertanyaan yang bukan memprioritaskan pada konsep
“keselamatan”, melainkan pertanyaan yang lebih bersifat teologis. Pertanyaan mengenai
bagaimanakah seharusnya Kekristenan memahami fenomena kebergaman agama haris
didekati secara teologis. Tradisi keagamaan yang lain tentunya memiliki cara masing-
masing untuk dapat menjelaskan, memahami dan berhubungan dengan keberagaman
agama. Di samping itu semua, berdasarkan garis besar narasi PL kita dapat mengambil
empat kesimpulan yakni:
 Hanya ada satu keluarga manusia
 Allah berada dalam hubungan perjanjian dengan semua manusia melalui Nuh
 Keberagaman bahasa dan budaya (bahkan selanjutnya agama) bukan hukuman,
melainkan rencana Allah.
 Allah sendiri hadir bahkan aktif dalam kehidupan pribadi-pribadi atau bangsa di
luar Israel (Campbell 2015, 53).
Pada akhirnya, pertanyaan yang dirasa masih belum terselesaikan adalah apa arti dari
keberagaman hidup manusia; bahasa, budaya, kebiasaan, agama dll? belajar dari kisah
penciptaan, kita memiliki “sisi kemanusiaan” yang sama karena berasal dari sumber yang
sama. Sisi kemanusiaan untuk saling menghormati, menghargai semua orang yang sama-
sama diciptakan dalam rupa dan gambar Allah. Proses yang panjang dalam memahami
keberagaan yang terjadi di dunia ini tidak akan pernah ada hentinya. Namun setidaknya,
sekalipun Allah sendiri telah mengikatkan diriNya dalam perjanjian dengan umatNya,
kejahatan yang berawal dari keberagaman yang ada merupakan latar belakang pertama
bagi usaha berisiko Allah dalam upaya membina sebuah hubungan perjanjian dengan
manusia (Campbell 2015, 56).
Perjanjian yang merangkul banyak hal ini memiliki implikasi yang sangat dalam.
Nampaknya kegelisahan tentang “keberagaman” telah mengarah pada kesalahpahaman.
Hal ini dikarenakan justru yang harus ditekankan ialah bukan pada “keberagaman”itu
sendiri, melainkan lebih kepada ketidak-mauan manusia untuk berjalan melewati
halangan-halangan yang terkadang diciptakan oleh “perbedaan” dan merangkul yang lain
sebagai anggota satu keluarga. Jika memang Allah merupakan pribadi yang ekslusif atas
“bangsa pilihanNya”, nyatanya Ia juga memberkati keturunan-keturunan Ishak, maupun
Ismael (dua bangsa dan dua tradisi berbeda yang datang dari satu Allah)

Anda mungkin juga menyukai