Anda di halaman 1dari 7

Sekolah Tinggi Teologi Jakarta

Anggota Kelompok: Apri Jaya Rumahorbo


Haver Yesayas Kaunang
Novia Abigail Christina
Mata Kuliah: Teologi Perjanjian Baru
Dosen Pengampu: Pdt. Samuel B. Hakh, D.Th dan Pdt. Sally Naomi Stefani N, M.Th

Dosa dan Hukum Taurat menurut Yesus dan Paulus

Bagi orang Yahudi, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan hukum Taurat
berarti dosa. Segala sesuatu dalam hidup mereka pasti selalu dikaitkan dengan
hukum Taurat. Oleh karena itulah, hukum taurat dapat dikatakan menjadi
pedoman bagi hidup mereka. Sehingga bagi mereka yang tidak sesuai dengan
ajarannya akan dikucilkan dan bahkan mengalami penganiayaan seperti orang
Kristen. Pada masa itu orang Kristen, mengalami penganiayaan oleh Saulus
bersama orang Farisi. Orang-orang Farisi dan Saulus melakukan penganiayaan
dengan mengatas namakan hukum Taurat (Dunn 2005, 142). Saulus sangat
memahami mengenai hukum Taurat, sehingga ia menganiaya orang Kristen karena
hukum Taurat. Dalam perjalanannya ke Damsyik untuk melakukan penganiayaan
itu, ia tersungkur di jalan dan mengalami peristiwa pertobatan. Semenjak itulah
namanya berubah menjadi Paulus, dan ia ditugaskan untuk tetap pergi ke Damsyik,
namun bukan sebagai menganiaya orang Kristen, tetapi untuk menjadi alat pilihan
Tuhan.

Semenjak kejadian itulah, Paulus memiliki cara pandang baru mengenai


hukum Taurat (Dunn 2005,143). Dalam Roma 7:1-26, dapat kita lihat bagaimana
pandangan Paulus tentang hukum Taurat setelah ia bertobat. Menurut Paulus
hukum taurat adalah hukum Allah (Rm. 7:22) dan kudus (Rm. 7:12). Selain itu
Taurat juga menjadi hukum yang sebenarnya sudah ada di dalam hidup seseorang
ketika manusia hidup di dalam Kristus ataupun sebelum manusia hidup hidup di
dalam Kristus (Dunn 2006, 133). Menurut Paulus, hukum Taurat menjadi tolak
ukur sebagai melihat apa yang dosa dan apa yang bukan dosa. Jika tidak ada
hukum Taurat, maka tidak akan ada pelanggaran (Ridderbos 1975, 146). Namun
Taurat tidak menyelamatkan atau Taurat bukanlah keselamatan. Pandangan inilah
menjadi hal yang baru ketika ia bertobat, karena sebelumnya ia berpandangan
bahwa hukum Taurat memberikan keselamatan. Menurutnya keselamatan
merupakan anugerah Allah yang diterima secara cuma-cuma, asalkan kita beriman
kepadaNya (Rm. 3:21). Menurut Paulus, janganlah bersandar kepada hukum Taurat
untuk memperoleh keselamatan, tetapi kepada Kristus dengan beriman kepadaNya
(Ridderbos 1975, 157). Namun kita juga harus melakukan apa yang benar, bukan
hanya mengimani saya, tetapi dilakukan dalam perbuatan.

Lalu menurut pandangan Yesus mengenai hukum Taurat dapat dilihat


dalam Injil Sinoptik. Yesus yang terlahir di kalangan orang Yahudi melaksanakan
hukum Taurat. Ia menghargai dan menjalankan hukum Taurat, seperti pergi ke bait
Allah dan membayar bea untuk Bait Allah (Mat. 17:24-27). Namun dalam
pengajaranNya ia mengajarkan untuk melihat hukum Taurat bukan hanya sebagai
hukum yang ditaati namun juga dilakukan untuk kebaikan. Seperti dalam kisah
Yesus menyembuhkan perempuan yang sakit karena kerasukan roh pada hari sabat
(Mat. 15:21-31). Padahal menurut hukum Taurat tidak boleh bekerja pada hari
Sabat. Yesus ingin mengajarkan bahwa lebih baik membebaskan perempuan yang
selama ini sudah kerasukan roh dibandingkan untuk mengikuti hukum Taurat
namun tidak memperhatikan sesama (Matera 2007, 160).

Ketika Yesus melakukan hal ini, Dia dituduh tidak mengikuti hukum Taurat,
namun Ia adalah penggenapan hukum Taurat (Guthrie 2010, 209). Dalam bahasa
Yunani kata Pleroo berarti penggenapan dalam artian Yesus melampaui hukum
Taurat (Guthrie 2010, 201). Seperti dalam hukum Taurat yang menyatakan akan
digenapi, dan dalam pemahaman iman Kristen, kata ini berarti Kristus adalah
perwujudan yang sempurna yang dibayangkan oleh Taurat dan para nabi.

Dalam Injil Markus, dicatat bagaimana kisah orang kaya yang ingin
memperoleh hidup yang Kekal (Mrk. 10:17-27). Yesus mengajarkan bahwa tidak
cukup hanya menaati hukum Taurat , namun juga harus berserah kepadad Firman
Allah. Lalu dalam Matius dijelaskan bahwa menaati hukum Taurat harus sebagai
bentuk ketaatan serta pernyataan kasih kepada Allah dan sesama. Oleh sebab
itulah hukum Taurat perlu dipahami dalam artian yang lebih luas lagi. Menurut
Yesus, hukum Taurat adalah ketetapan dari Allah (Mat. 23:5). Namun Allah
memberikan keselamatan bukan karena manusia hanya taat kepada hukum Taurat,
tetapi karena Allah rela untuk mengampuni dosa manusia yang dibuktikan dengan
datangnya Yesus ke dunia .

Pandangan Paulus mengenai Dosa

Paulus secara khusus dalam suratnya kepada jemaat di Roma, menjelaskan


hamartia sebagai keadaan berdosa yang mencakup: kuasa dosa, pengenalan dosa,
hamba dosa, hingga kepada upah dari dosa. Paulus pada dasarnya tidak hanya
merujuk pada kegagalan manusia dalam memenuhi kewajibannya (hukum), tetapi
juga merujuk pada konsep keselamatan (Guthrie 2010, 218). Dalam tulisannya ia
menggunakan istilah parabasis yang artinya adalah terkesan sebagai gerakan
membelok dari jalan yang lurus. Oleh karena itu Paulus sangat menekankan hukum
taurat sebagai tolak ukur dalam berperilaku sehingga dalam surat Roma 4:15
“dimana tidak ada hukum Taurat, di sana tidak ada pelanggaran”. Artinya,
pengertian dosa sebagai pelanggaran tidak akan ada artinya jika tidak ada suatu
patokan yang dipakai sebagai parameter pelanggaran itu sendiri (Guthrie 2010,
220). Meskipun sebenarnya Rudolf Bultman dalam bukunya yang berjudul
Theology of the New Testament menyebutkan bahwa “secara natural, Hukum telah
diberikan oleh Allah ialah dalam rangka atau perintah untuk dipenuhi dan
dilakukan”, Ini didukung dengan tulisan Paulus yang terdapat pada surat Roma 2:
20 “karena di dalam hukum Taurat engkau memiliki kegenapan segala kepandaian
dan kebenaran (Bultman 1995, 261).

Lantas, dosa pun dipandang sebagai kedurhakaan, dosa sebagai tuan


(manusia yang terbelenggu atas dosa) yang terkesan secara sengaja dilakukan
terhadap Allah. Dosa juga dipandang sebagai suatu “pribadi” yang artinya adalah
dosa (dalam bentuk tunggal) merupakan suatu faktor yang lebih fatal daripada
perbuatan yang bersifat dosa. Perbedaannya terletak pada “dosa” yang dipahami
sebagai suatu “kuasa” atas manusia yang juga mendasari perbuatan-perbuatan
dosa tersebut yang jelas melawan atau menyimpang dari patokan yang sudah
diketahui (Guthrie 2010, 223).
Meskipun Paulus juga merujuk pada asal dosa yang pertama kali diperbuat
oleh Adam yang pada akhirnya memberikan kesan bahwa kebanyakan manusia
memberatkan atau menyesalkan perilaku Adam sehingga merasuk dan mencemari
manusia lainnya, namun bagi Paulus yang terpenting adalah bagaimana supaya
manusia menjadi sadar bahwa memang ia telah berdosa, namun juga memenuhi
kewajibannya sebagai seseorang yang disiplin terhadap aturan (Hukum).
Berdasarkan antrologi Paulus mengenai hubungan atas dosa yakni flesh atau
daging. Dalam 1 Kor 15:50 merujuk pada seseorang dalam kodrat
“kemanusiaannya” (Bultman 1995, 235). Manusia yang ada dalam sebuah tubuh
bukan berarti hidup berdasarkan kedagingannya. Dalam surat Roma 5:17 ia
menekankan bahwa apa yang menjadi keinginan daging adalah bertolak belakang
dengan keinginan roh.

Dosa masuk melalui manusia pertama yang kemudian diikuti oleh hukuman
dan maut. Kemudian mencemari manusia lainnya karena semua telah berdosa.
Dalam pemaknaan yang lebih mendalam lagi, “kematian” yang biasanya adalah
desktruksi fisik dari sebuah tubuh, tetapi bagi Paulus kematian ialah keterpisahan
kekal dengan Allah. Hal ini dikarenakan bahwa tujuan utama dari dosa ialah
memisahkan antara ciptaan dengan Pencipta (Matera 2007, 176).

Pandangan Yesus mengenai Dosa

Setelah melihat pandangan Paulus mengenai Dosa, pembahasan ini akan


dilanjutkan dengan pandangan Yesus mengenai Dosa. Dalam buku Donald Guthrie,
ajaran Yesus mengenai dosa adalah:

1. Dosa itu meliputi seluruh umat manusia

Tidak ada seorang manusia pun yang luput dari dosa, karena apa yang berlaku
kepada satu orang, berarti berlaku juga kepada semua orang. (Guthrie 2010, 206)

2. Dosa itu bersifat batiniah

Banyak ajaran Yesus bagaimana kita menghindari dosa dari perilaku-perilaku


lahiriah manusia, namun penyebab dasarnya bukan hanya dari tindakan lahiriah,
melainkan dari dalam hati atau batiniah. (Guthrie 2010, 206) Dalam Injil Markus
pasal 7 ayat 15 tertulis, apa yang keluar dari diri manusia itulah yang
menajiskannya, dan juga dari Injil Matius pasal 15 ayat 18, Tetapi apa yang keluar
dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang.

3. Dosa berarti perbudakan

Dengan latar belakang dosa merupakan hasil dari kuasa-kuasa kegelapan atau
iblis, terlihat bahwa manusia yang jatuh dalam dosa juga terjatuh dalam
perbudakan atau genggaman iblis. Hal ini juga secara tidak langsung mendasari
pengertian Kristus sebagai penebus umat manusia dari kuasa kegelapan. (Guthrie
2010, 206)

4. Dosa berarti pemberontakan

Jika kita melihat perumpamaan yang diajarkan Yesus mengenai Anak Yang
Hilang yang terdapat dalam Lukas 15 ayat 11-32, terlihat bahwa anak bungsu yang
melawan atau memberontak ayahnya akhirnya sadar bahwa ia telah melakukan
dosa terhadap ayah dan Allah. Dosa yang ia lakukan bukanlah terletak ketika
menghambur-haburkan harta ayahnya, melainkan ketika ia tidak melakukan apa
yang sebagai anak harusnya lakukan. (Guthrie 2010, 206)

5. Dosa sebagai hukuman

Manusia berada di bawah penghakiman Allah. Setiap orang akan


mempertanggung jawabkan setiap perbuatannya di hadapan Allah dan setiap kata
yang telah diucapkan, seperti dalam Injil Matius pasal 12 ayat 36. Hal ini
dikarenakan putusnya hubungan antara manusia dengan Allah. Namun dalam
kitab-kitab Injil Sinoptik menunjukan bahwa keadaan manusia yang berdosa ini
dapatlah berubah. (Guthrie 2010, 206)
Kesimpulan dan Refleksi

Dari pembahasan mengenai hukum Taurat dan dosa menurut pandangan


Paulus dan Yesus, kelompok kami menyimpulkan bahwa sebenarnya Paulus dan
Yesus sebenarnya sama-sama memiliki kesadaran bahwa hukum Taurat bukan
merupakan alat penghapusan dosa dan keselamatan, melainkan Allah sendirilah
yang memberikan pengampunan dosa dan keselamatan itu sebagai bentuk
anugerah. Dalam hal ini kami setuju dengan pandangan dari Yesus dan Paulus. Hal
ini juga yang perlu kita aplikasikan dalam kehidupan kita sehari-hari sebagai umat
Kristen. Sering kali kita terjebak dalam pandangan bahwa orang yang akan
diselamatkan adalah orang yang paham betul mengenai Alkitab, atau ketika kita
bertemu dengan orang yang hafal Alkitab kita langsung mengatakan orang itu suci
atau alim. Hal tersebut tidaklah salah, namun haruslah pemahaman mengenai
Alkitab sejalan juga dengan perbuatannya.

Terutama kita sebagai mahasiswa teologi, yang dapat dikatakan paham dan
sudah mempelajari mengenai hukum Kristen, Alkitab, atau dogmatika Kristen.
Tidak jarang ketika manusia merasa sudah tahu, ia lupa bahwa pengetahuannya
juga harus diamalkan dalam perbuatannya. Jangan sampai kita terjebak oleh hal itu
dan menjadi sama seperti orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Perlu diingatkan
bahwa semuanya itu berasal dari Tuhan. Ia yang telah menebus dosa kita secara
cuma-cuma. Patutlah kita berserah selalu kepadaNya, karena kita hanyalah
hembusan nafasNya.

Daftar Acuan

Bultmann, Rudolf. 1955. Theology of the New Testament. Terj. Kendriecj grobel.
New York: Charles Scribner’s Sons.

Dunn, James D. G. 2005. The New Perspective on Paul. Grand Rapids, Michigan:
William B. Eermands Publishing Company.
-----------------------. 2006. The Theology of Paul the Apostle. Grand Rapids, Michigan:
William B. Eermands Publishing Company.

Guthrie, Donald. 2010. Teologi Perjanjian Baru 1: Allah, manusia, Kristus. Terj. Lisda
Tirtapraja Gamadhi, dkk. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Matera, Frank J. 2007. New Testament Theology: Exploring diversity and unity.
Louisville, London: Westminster John Knox Press.

Ridderbos, Herman. 1975. Paul: An outline of his theology. Terj. John Richard de
Witt. Grand Rapids, Michigan: William B. Eerdmans Publiching Company.

Anda mungkin juga menyukai