Anda di halaman 1dari 9

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

Nama: Ayub Bagus Setyosakti


NIM: 219772012293
Semester: 4 (Empat)
Mata Kuliah: Etika (UTS & UAS 11 Mei 2021)
Dosen Pengampu: Robert P. Borrong, Ph.D.
Etika Kristen dan Penerapannya dalam Kehidupan Sehari-hari

Pengertian Etika

Kata Etika berasal dari beberapa kata Yunani yang bunyinya hampir sama, yaitu
ethos dan ~e thos atau ta ethika. kata ethos berarti kebiasaan, adat istiadat. Sedangkan dua kata
~e thos dan ~e thikos berarti bahwa orang memiliki lebih banyak moralitas, perasaan batin atau

perasaan hati batin ketika melakukan sesuatu. Moralitas secara tepat diartikan dengan kata
moral dalam bahasa Indonesia (Verkuyl 2020, 1).

Meski demikian, apa yang dimaksud dengan Etika dinyatakan dalam bahasa
Indonesia dengan tepat oleh kata kesusilaan. Kata “Sila” dalam bahasa Sanskerta dan budaya
Buddha Pali memiliki banyak arti. Bahasa Sura pertama artinya: Norma (aturan), aturan
hidup, perintah. Kedua, kata ini juga mengungkapkan mentalitas dan aturan hidup, sehingga
bisa juga berarti: Sikap, kesopanan, dan strategi psikologis. Kata pertama menunjukkan
norma dan menunjukkan norma itu baik. Kata kedua menunjukkan sikap terhadap norma dan
menegaskan bahwa perilaku harus sesuai dengan norma. Oleh karena itu, istilah “Sopan”
sangat cocok untuk mengungkapkan makna etis (Verkuyl 2020, 2).

Pengertian Etika Teologis

Etika teologis di pandang berdasarkan sudut agama dalam hukum Taurat dan Injil
Allah, maka segala yang dikehendaki oleh Allah, itulah yang dianggap baik. Dalam hal ini
terdapat kata “Dogmatika”, yang merupakan suatu teologi yang memikirkan mengenai isi
iman: Kasih Allah Bapa, Anak (Yesus Kristus), dan persekutuan dengan Roh Kudus. Dengan
demikian, Etika Kristen juga memikirkan tentang kehendak Allah yang dinyatakan, melalui
hukum Taurat sebagai pendamai, pembebas, serta hukum Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus.
Oleh karena itu, pokok Dogmatika adalah Allah lebih dulu mengasihi manusia. Sedangkan
pokok Etika adalah manusia mengasihi Allah. Maka Etika tidak mendahului dogmatika,
tetapi dogmatikalah yang lebih dahulu daripada Etika (Verkuyl 2020, 2-3).

1
2

Dasar-dasar atau Titik Pangkal

Etika Kristen atau moralitas Kristen didasarkan pada iman kepada Tuhan Yesus
Kristus. Selain itu, Allah Bapa telah memanifestasikan dirinya di dalam Yesus Kristus, Dia
adalah bumi dan pencipta bumi, dan segala sesuatu yang ada di bumi, serta Dia telah
menciptakan manusia menurut gambarnya sendiri. Kesamaan dengan rencana penyelesaian.
Jika berbicara tentang dunia, maka seorang pria menyatukan tangannya. Inilah yang menjadi
titik awal atau titik pangkal yang penting bagi moralitas Kristen. Dalam hal ini, Allah, Bapa,
Pencipta itu adalah Pemilik dunia dan manusia. Kita sebagai manusia bukan milik kita
sendiri, melainkan kita adalah kepunyaan Dia. Sebagai Pencipta, Ia pun Pembuat undang-
undang juga, yang menetapkan kaida-kaidah kehidupan manusia dan yang membuat ketaatan
pada norma-norma-Nya menjadi maksud dan tujuan hidup (Verkuyl 2020, 17-18).

Dengan demikian, manusia sebagai titik pangkalnya memiliki moral dalam kehidupan
sehari-hari, terlepas dari beberapa ajaran atau dogmatika, manusia memiliki akal pikiran
untuk menjadi pribadi yang baik, seperti bertanggung jawab dalam pekerjaannya dan
menjauhi dosa dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan (Verkuyl 2020, 45-48).

Manusia dalam Kebesaran dan Kesengsaraannya

Kehidupan manusia memiliki 2 macam gejala yang ada di bawah kekuasaan dosa dan
menggambarkan sebagai kebesaran dan kesengsaraan manusia. Mengapa demikian? Karena
dosa manusia menjadi besar jika terus menerus dilakukannya dan manusia menjadi sengsara
jika tidak mengandalkan Tuhan dan berserah kepada Tuhan dalam hidupnya. Oleh karena itu,
kedua gejala tersebut adalah rasa malu dan perasaan hati (terkadang disebut sebagai kata
hati, suara hati, dlsb). Pertama adalah rasa malu, manusia berusaha menghindar diri dari
setiap kesalahan yang diperbuatnya. Ia mencoba untuk memungkiri dosanya,
menyembunyikan dosanya, dan membenarkan dosanya. Namun, rasa malu itu dengan tidak
sadar membuka kesalahan yang ada padanya. Dan rasa malu itu juga yang mengingatkan diri
seseorang bahwa ia telah diciptakan menurut gambar-Nya. Bahkan yang menjadi pembeda
dari makhluk lain adalah binatang dan iblis tidak memiliki rasa malu, tetapi manusia
memilikinya. Kedua adalah perasaan hati. Perasaan hati ini sering dianggap sebagai suara
hati kecil, artinya berasal dari hati untuk mengamat-amati dan mempertimbangkan kelakuan
manusia dalam kehidupan sehari-hari. Namun, yang menjadi salah adalah manusia terkadang
hanya mendengarkan suara hati saja, tidak mendengarkan suara Allah. Sebagai contoh,
3

seseorang sering gelisah dan khawatir dalam hatinya, hal tersebut yang merupakan tidak
mendengarkan suara Allah karena segala apapun yang diperbuat oleh manusia dengan
mendengarkan suara Allah, maka ia tidak perlu gelisah dan khawatir dalam hidupnya
(Verkuyl 2020, 53-55).

Dimanakah Sumber Pengetahuan tentang Norma-norma Susila?

Bisakah adat istiadat menjadi sumber dari pengetahuan mengenai baik dan jahat?
Tentu jawabannya tidak karena di dalam adat istiadat kuno tidak tampak batas-batas antara
Tuhan dengan kosmos. Segala agama suku adalah naturalistis, maka di dalam agama-agama
yang dikenal dan dimuliakan bukanlah Tuhan yang hidup, tetapi makhluklah yang
dimuliakan, serta adat istiadat itu tidak dapat menjadi sumber pengetahuan mengenai baik
dan jahat karena juga adat istiadat penuh dengan takhyul dan guna-guna. Oleh karena itu, adat
istiadat tidak bisa menjadi sumber dari apa yang baik dan apa yang jahat (Verkuyl 2020, 62-
67).

Meski demikian, manusia memiliki hukum kodrat untuk mengetahui hukum-hukum


mengenai apa yang baik dan apa yang jahat, serta menjadi suatu hubungan antara manusia
dengan Tuhan dan sesama. Hukum kodrat ini dalam arti luas mencakup semua aturan yang
diberlakukan pada manusia oleh “hukum moralitas alamiah” berdasarkan pada ajaran
Thomisme. Maka hukum kodrat ini sama dengan “hukum kodrat moral.” Dalam teisme,
hukum ini tidak hanya mengatur tentang hubungan antar manusia, tetapi juga hubungan
antara manusia dengan Tuhan dan antar manusia. Menurut ajaran Thomisme, sifat manusia
terlalu optimis dan optimis itu memengaruhi fungsi pikiran. Namun, jika seseorang mencari
“yang baik” berarti ia mencari Tuhan. Hanya Tuhanlah yang baik dan hanya Tuhanlah yang
tahu apa yang baik itu. Dengan demikian, sumber pengetahuan itu ada pada Tuhan melalui
hukum kodrat manusia, untuk juga melihat norma-norma susila dalam kehidupan sehari-hari
(Verkuyl 2020, 67-70). Contoh norma-norma susila atau kesusilaan, seperti jujur dalam
perkataan dan perbuatan, membantu orang lain yang membutuhkan, mengembalikan hutang,
menghormati sesama manusia, meminta maaf jika berbuat kesalahan, berbicara hal-hal yang
baik atau tidak kasar, tidak mengambil hak orang lain, dan berbuat baik kepada orang lain
tanpa melihat jabatan atau kedudukan orang lain. Jika ada seseorang yang melanggarnya,
maka ia akan memiliki bentuk penyesalan, rasa malu, dan kegelisahan (Murtono 2007, 5).
4

Fungsi Hukum Taurat dalam Pernyataan Allah

Selain hukum kodrat manusia, ada namanya hukum Taurat. Namun, hukum Taurat
tidak bisa dipisahkan oleh Injil karena dalam Alkitab tidak pernah Injil diberitakan tanpa
hukum Taurat, demikian sebaliknya. Sehingga hal tersebut menjadi pokok pembahasan atau
pembicaraan di sejarah gereja dan teologi. Pokok-pokok tersebut antara lain: pertama, dalam
sejarah gereja, sejak beberapa abad yang lalu, hukum dan Injil sering kali diidentifikasi oleh
Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang kemudian Perjanjian Lama dianggap sebagai
kitab hukum, dan Perjanjian Baru dianggap sebagai kitab Injil. Kedua, dalam sejarah dan
teologi gereja, hubungan antara hukum dan Alkitab sering digambarkan sebagai kontras yang
tajam (Verkuyl 2020, 81-82).

Hal tersebut dapat di lihat dari teologi Gereja Lutheran yang sering menekankan
perbedaan ini. Luther berkata bahwa hukum menciptakan ketakutan, dan hukum adalah
sarana kemarahan Tuhan. Namun, pandangan ini melupakan satu hal: jika manusia hidup
oleh kasih karunia Tuhan, maka ia tidak akan terpecah. Oleh karena itu, hukum tidak lagi
menjadi syarat yang diperlukan untuk keselamatan manusia, tetapi kriteria untuk hidup yang
berkelimpahan. Hal tersebut juga sebagai fungsi hukum Taurat bagi manusia sebagai
pernyataan Allah dalam kehidupan (Verkuyl 2020, 83-84).

Hukum Taurat dalam bentuk-bentuk Historisnya

Hukum Taurat berasal dari kata Tora yang berarti mengajar, menunjukkan. Jika
melihat isi Hukum Taurat, terdapat 3 golongan hukum dan perintah, yaitu Dekalog atau
Dasatitah, Misypatim, dan Chuqqim. Dekalog atau dasatitah berisi mengenai sepuluh titah
Tuhan dalam bahasa Ibrani disebut sebagai aseret hadd’barim atau kesepuluh firman.
Misypatim berisi undang-undang hukum sipil, yang mengatur kehidupan umat Tuhan sebagai
“warga negara” (misalnya peraturan tentang janda dan yatim piatu, orang-orang miskin,
orang-orang asing, dan orang sakit). Chuqqim berisi undang-undang mengenai ketetapan
tentang kebaktian (misalnya ketetapan tentang bait suci, hari raya, kurban, dlsb). Hal inilah
menjadi bentuk dalam historis hukum Taurat berdasarkan isinya (Verkuyl 2020, 95-111).

Dalam hal ini, hukum Taurat dalam Perjanjian Lama memberikan pengajaran yang
baik kepada manusia dengan kesepuluh firman tersebut. Di sisi lain, berbagai peraturan dan
undang-undang memberikan pemahaman kepada manusia untuk tunduk dan tidak
melanggarnya sebagai suatu konsekuensinya dalam kehidupan. Kesepuluh firman itu ada
5

dalam Keluaran 20:1-17, yang juga harus dilakukan atau diterapkan oleh manusia dalam
kehidupan sehari-hari.

Pokok Hukum Taurat

Isi atau pokok dalam Alkitab dapat diringkas dalam satu kalimat: Allah adalah kasih.
Manusia tidak mengasihi Allah, tetapi Allah yang mengasihi manusia, dan kasih-Nya terus
ada kepada manusia. Cintanya atau kasih-Nya juga tidak akan hilang. Sama seperti Injil,
hukum Taurat juga dapat diringkas dalam satu kalimat: Allah menuntut cinta atau kasih
dalam hukum, “Kasih adalah pemenuhan hukum.” Yang diminta Allah adalah kasih. Oleh
karena itu dalam Perjanjian Baru terdapat kutipan kasih, yaitu dalam Matius 22:37-40
(Verkuyl 2020, 140).

Jika seseorang mengatakan bahwa ia mengasihi Allah tetapi bukan sesamanya, maka
sebenarnya ia tidak mengasihi Allah. Karena Allah mengasihi manusia. Dalam hal ini,
siapapun yang mengasihi Allah, harus mengasihi mereka (sesama) yang dibuat menurut
gambar-Nya. Apakah ini berarti mengasihi Allah? Menurut Alkitab, ini berarti kasih Allah
yang sama bagi manusia. Tertulis juga dalam 1 Yohanes 4:19; 1 Yohanes 4:10. Dengan hal
ini, mengasihi Allah artinya manusia hidup dari kasih-Nya, yaitu dikuasai oleh anugerah
Allah, serta menerima dan memberi lagi, disayangi dan menyayangi. Lalu apa yang dimaksud
dengan kasih kepada sesama manusia dalam Alkitab? Di lihat dari perumpamaan “orang
Samaria yang murah hati” menaruh belas kasihan. Berawal dari pertanyaan seorang ahli
Taurat, siapa gerangan sesama manusia itu? Ia (orang Samaria) menyangka dapat menjawab
sendiri pertanyaan itu. Jawabnya dalam kehidupan sehari-hari adalah, “Aku memilih
sesamaku manusia itu. Sesamaku manusia yang dimaksud adalah bangsanya sendiri dan
dalam lingkungan bangsa yang diutamakan, yaitu orang dari golongannya sendiri. Tetapi
dalam perumpamaan “orang Samaria yang murah hati”, Tuhan Yesus menyatakan bahwa
bukan manusia sendiri yang menentukan, tetapi siapa yang menjadi sesama manusia kita.
Oleh sebab itu, Allah menentukan untuk siapa seseorang layak menjadi sesama manusia.
Sesama manusia artinya orang yang sedang menderita kesukaran, yang ditempatkan Allah
pada jalan hidup seseorang, maka ia harus menjadi sesama manusia demi kehendak Allah
(Verkuyl 2020, 142-143).
6

Kasuistik

Kata “kasuistik” berasal dari bahasa Latin casus, yang berarti hal (peristiwa).
Kemudian adat istiadat dipahami sebagai upaya untuk menerapkan hukum pada hal-hal yang
berbeda berdasarkan asumsi alasan dan bentuk. Pertanyaannya bukanlah: “Bisakah orang
berdosa?” Tetapi pertanyaan: “Seberapa dekat orang bisa berbuat dosa?” Semakin dekat
seseorang berdosa, semakin berbahaya, tetapi seperti yang dikatakan oleh para Yesuit, ada
berbagai masalah dengan perbatasan, yang tidak bisa lagi menentukan apakah suatu perilaku
itu baik atau buruk (Verkuyl 2020, 150-151).

Meski demikian, sarjana Kristen terkenal Pascal secara khusus menentang pernyataan
ini dalam bukunya yang terkenal “Letters Against the Jesuit” (Carta Provinciales dan Cartas
contre les Jesuites). Pascal mengutuk pelarangan, berpikir bahwa ia mencoba menemukan
kompromi antara perintah Tuhan dan praktik hidup yang berdosa. Serangan Calvin di gudang
senjata juga sama kuatnya. Dia menyebutnya “perangkap untuk mencekik jiwa manusia.” Ia
juga berkata bahwa teknik ini diperbudak di antara orang-orang. Kuasa yang sangat
berbahaya merusak kebebasan Kristus dan merusak kuasa Kristus dalam kehidupan manusia.
Oleh sebab itu, Alkitab juga keberatan dengan kasuitik ini, yaitu bahwa yang diperhatikan
hanya perbuatan atau perbuatan lahir saja bukan hati, serta kasuistik mematikan kemerdekaan
rohani dan tanggung jawab perseorangan, bahkan kasuistik menganggap hukum Taurat
sebagai semacam kitab pegangan untuk mencari pemecahan soal kesusilaan seseorang,
sehingga kasuistik lupa bahwa hukum Taurat merupakan kenyataan kehendak Tuhan. Dengan
demikian, Roh Kudus bekerja dalam hidup manusia, dengan pimpinan Roh Kudus
menunjukkan jalan kebenaran yang sepenuhnya (Verkuyl 2020, 157-159).

Hidup Baru

Sumber kehidupan baru meliputi: 1.) pembenaran oleh iman (pembenaran yang
kompeten), orang tidak dapat dibenarkan dengan memenuhi persyaratan hukum, 2.) Hidup
manusia dipersembahkan melalui Tuhan Yesus dan Roh Kudus. Kristus diberikan kepada kita
sebagai manusia dan menjadi pengudusan kita. Misalnya, dalam Yohanes 15, manusia
menemukan bahwa Tuhan Yesus berkata kepada murid-muridnya sebagai berikut: “Karena
Aku berkata demikian kepadamu, kamu sudah sangat bersih” (Yohanes 15:3). Pengudusan
bukanlah hasil usaha manusia, tetapi karya Yesus Kristus dan Roh Kudus dari awal sampai
akhir. Berkat yang didoakan para rasul ini merupakan jaminan bagi anak-anak Tuhan yang
7

hidup di dunia ini, yaitu “Rahmat Tuhan kita Yesus Kristus dan kasih Tuhan dan persekutuan
Roh Kudus” (1 Korintus 13:13). Tanpa rahmat, cinta, dan komunikasi, tidak ada kehidupan
baru. Jika melihat aliran dalam gereja Kristen, mereka beranggapan bahwa kesempurnaan
dan keadaan tidak berdosa sama sekali itu sudah dapat dicapai dalam batas-batas kehidupan
di dunia ini. Aliran itu disebut dengan perfeksionisme (artinya sempurna). Maka ada juga
aliran-aliran lain yang bertendensi perfeksionisme, walaupun tendensi itu tidak menguasai
seluruhnya, misalnya metodisme (Verkuyl 2020, 165-172).

Mengikut Kristus

Dalam sejarah Etika Kristen, kehidupan baru dirumuskan dengan mengikut Kristus.
Hal ini adalah pernyataan yang penting karena ada dua alasan: pertama, karena dalam
pernyataan ini, hidup baru sangat erat kaitannya dengan Yesus Kristus, dengan koneksinya
yang tampak sangat jelas. Frasa “mengikut Kristus” menjelaskan hubungan antara Yesus dan
hidup baru. Dia adalah pokok anggur dan cabang kita (Yohanes 15). Maka barangsiapa yang
mengikuti Kristus, maka yang diikuti ialah Dia yang dibuang dan disalibkan oleh dunia
(Verkuyl 2020, 196).

Menurut Alkitab, baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru memiliki pengertian
tersendiri mengenai mengikut Kristus. Perjanjian Lama menggambarkan mengikut Kristus
pada pergumulan antara Nabi Elia dengan nabi-nabi Baal di Bukit Karmel (1 Raj. 18). Dari
sana terlihat bangsa Israel sedang disuruh memilih: “Berapa lama lagi kamu berlaku timpang
dan bercabang hati? Kalau Tuhan itu Allah, ikutlah Dia, dan kalau Baal, ikutlah dia.”
Sedangkan dalam Perjanjian Baru diberikan pernyataan dengan “Ikutlah Aku”. Oleh karena
itulah panggilan yang dipakai oleh Yesus untuk mengumpulkan murid-murid-Nya. Panggilan
itu juga tidak berarti bahwa Yesus meminta murid-murid-Nya supaya mereka meniru-niru
Dia, tetapi supaya mereka menyerahkan diri kepada-Nya dan berjalan di jalan yang
ditempuh-Nya (Markus 8:34-35). Dalam hal ini, kita sebagai manusia mengikuti jalan
Kristus, yaitu Tuhan Yesus Kristus, bukan sama seperti Dia, melainkan mengikuti Dia
kemana yang Ia tuju (Verkuyl 2020, 196-197).

Tujuan Hidup Baru

Semua aliran dan agama menyatakan bahwa tujuan akhir hidup adalah menaati
hukum agama masing-masing. Preisker berkata dalam bukunya “On Morality” bahwa
8

moralitas Kristen pertama-tama adalah telos-ethos, yang artinya suatu moral yang diarahkan
kepada telos, kepada tujuan tertentu, kepada suatu akhir tertentu yang juga menjadi
pemenuhannya. Namun, kebanyakan buku tentang filsafat dan etika terdiri dari tiga bagian.
Bagian pertama: mata kuliah wajib. Bagian ini membahas pertanyaan, apa yang harus kita
lakukan? Bagian kedua: ajaran kebajikan. Di bagian ini, bagaimana saya melakukan tugas
saya? Bagian ketiga: mengajarkan nilai spiritual (komersialisme), pada bagian ini, mengapa
saya harus melakukan ini? Dan sasaran apa yang kita butuhkan? (Verkuyl 2020, 264-266).

Dengan demikian, seluruh aspek hidup baru dalam berbagai aliran dan agama
memiliki perbedaan tersendiri. Akan tetapi memiliki kesamaan, yaitu menuju tujuan akhir
dengan kehidupan yang baik. Tentunya dengan praktik dan ajarannya masing-masing kepada
umat atau pengikutnya.

Kesimpulan dan Refleksi Teologis

Etika Kristen dianggap sebagai moralitas Kristen karena mengetahui, melihat,


menimbang karakter atau sikap baik dan buruknya setiap orang atau manusia. Hal tersebut
tidak berdiri dengan sendirinya karena semua berasal dari Allah yang memberikan
pengetahuan dan sumber akal kepada manusia untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya manusia memiliki hati nurani atau perasaan hati dan juga hukum Taurat yang
bertujuan mengukur sifat dan sikap, perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh manusia
kepada diri sendiri atau sesama manusia.

Namun, terkadang bagi setiap orang hukum tersebut telah dilanggar atau tidak tunduk,
maka muncullah dosa. Sehingga manusia perlu adanya hidup baru atau bertaubat, supaya
orang yang berdoa sadar akan kesalahannya dan mengubah diri menjadi lebih baik lagi, serta
menjauhi dosa-dosa itu. Oleh karena itu, manusia harus menyerahkan dirinya dan mengikut
Kristus supaya manusia dapat berjalan oleh kebenaran.

Dengan hal ini, saya berefleksi bahwa setiap orang terkhusus saya sendiri mungkin
pernah melakukan kesalahan, contoh saya melakukan kebohongan atau berbicara kasar, dan
mencuri uang teman. Akan tetapi, kesalahan tersebut bisa diatasi dengan bertaubat atau hidup
baru dan mengikut Kristus, agar kehidupan saya yang sebelumnya buruk bisa menjadi lebih
baik dan juga bisa lebih erat hubungan antara saya dengan Tuhan dan sesama. Demikian,
Etika Kristen atau moralitas Kristen dan hukum Taurat bisa berjalan bersamaan atau
beriringan, serta tidak bisa dihindarkan atau dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari.
9

Acuan

Buku

Murtono dkk. 2007. Buku Pendidikan Kewarganegaraan SMP. T.t.p: T.p.

Verkuyl, J. 2020. Etika Kristen: Bagian umum. Terjemahan Sugiarto. Jakarta: Gunung Mulia,
cet. ke-34.

Anda mungkin juga menyukai