Anda di halaman 1dari 27

TUGAS 5 PENDIDIKAN ETIKA

OLEH :

Gisela L.N. Teku

(33121067)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS

EKONOMI DAN BISNIS UNIVERTITAS

KATOLIK WIDYA MANDIRA KUPANG

2021
RINGKASAN ETIKA KRISTEN
Istilah "etika" berasal dari kata ethos (Yun) yang artinya pemukiman, perilaku, kebiasaan. Berikut
beberapa pandangan dari beberapa ahli tentang istilah "etika" yaitu:
a. Dr J. Verkuyl

Ethos berarti kebiasaan, adat. Demikian juga Ethikos berarti kesusilaan, perasaan batin,
kecenderungan hati yang membuat seseorang melakukan perbuatan.
b. Robin W. Lovin

Ethos yang berarti adat (Inggris: Custom), sifat (Inggris: Character). Arti tersebut menunjuk pada
nilai sifat, keyakinan, praktik kelompok, ada hubungannya dengan kultur atau kebudayaan.
c. C. H. Preisker

Ethos berarti kebiasaan (Inggris: habit), kegunaan (Inggris: used), adat (Inggris: custom),
peraturan, kultus dan hukum.
Dalam kaitannya dalam bahasa Latin, etika disebut mores yang berarti adat atau custom (Ing).
Istilah ini menunjuk pada kelakuan umum, sehingga perbuatan itu hanya secara lahiriah dan dapat
dilihat. Dalam bahasa Latin disebut mos (tunggal) dan mores (jamak) yang menjelaskan kehendak,
tingkah laku, adat istiadat, kebiasaan, cara hidup, berkelakuan, baik dan buruk. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, etika dijelaskan sebagai ilmu pengetahuan akhlak atau moral.
Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya. Kesadaran tersebut termasuk apa yang
dilakukannya. Kesadaran inilah yang disebut dengan kesadaran etis. Kesadaran etis adalah kesadaran
tentang norma-norma yang ada di dalam diri manusia. Etika berhubungan erat dengan kelakuan
manusia dan cara manusia melakukan perbuatannya. Kelakuan yang dinyatakan dengan perbuatan itu
menunjuk pada dua hal, yakni positif dan negatif. Pengertian positif menunjuk pada hal yang baik.
Sedangkan pengertian negatif menunjuk kepada hal yang jahat atau tidak baik. Etika hendak mencari
ukuran baik, sebab yang tidak baik atau tidak sesuai dengan ukuran baik itu adalah buruk atau jahat.
Oleh sebab itu, tugas etika adalah menyelidiki, mengontrol perbuatan-perbuatan, mengoreksi
dan membimbing serta mengarahkan tindakan yang seharusnya dilakukan agar dapat memperbaiki
tindakan atau perbuatannya. Pengertian perbuatan positif adalah "apa yang baik" secara umum atau
memakai ukuran yang merupakan pertimbangan dari tuntutan masyarakat dan sesuai pula dengan hati
nurani atau kata hati.[1]
d. Robert P. Borrong

Etika adalah ilmu atau ajaran tentang yang baik dan yang buruk dalam pikiran, perkataan, dan
perbuatan seseorang (individu) maupun masyarakat (kolektif). Moral adalah perilaku yang baik, benar
dan tepat dalam kehidupan pribadi maupun dalam kehidupan bersama (masyarakat).
Di pandang dari sudut kepercayaan pada hukum Taurat dan Injil Allah, maka haruslah: Segala yang
dikehendaki Allah, itulah yang baik. Itulah pokok Etika Teologi. Menurut pendapat kami, dogmatika ialah
suatu teologi yang memikirkan tentang isi iman: Kasih Allah Bapa, anugerah Allah Anak dan persekutuan
dengan Roh Kudus. Demikian pula dengan Etika Kristen pun memikirkan tentang kehendak Allah yang
dinyatakan, hukum-hukum Taurat Allah, Pendamai, Pembebas, hukum-hukum Allah Bapa, Allah Anak
dan Roh Kudus. Karena itulah Etika Teologis, menurut asas-asasnya, termasuk dogmatika. Ia sebagian
merupakan dari dogmatika, hubungannya tidak dapat diputuskan. Tetapi karena alasan-alasan yang
praktis, dogmatika dan Etika itu kita beda-bedakan, walaupun pada asasnya kedua mata pelajaran itu.
Dalam 1 Yohanes 4:19 tertulis: "Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu mengasihi kita." Pokok
Dogmatika ialah Allah lebih dulu mengasihi kita. Pokok Etika ialah: Kita mengasihi (Allah). Demikianlah
Etika tidak mendahului dogmatika, tetapi dogmatikalah yang lebih dahulu daripada Etika.
Etika tidak boleh bertindak sebagai pengganti Allah dan tidak boleh, lagi pulaq tidak mungkin mengganti
tugas Roh Kudus. Itu bukanlah tugas Etika. Akan tetapi, Etika sistematis dapat dan boleh bertindak
sebagai penunjuk jalan di dalam keseluruhan dan bagian-bagian yang dinyatakan oleh Alkitab kepada
kita mengenai kehendak Allah. Di mana tidak terdapat Etika sistematis yang berdasarkan Alkitab, di
situlah orang beriman dalam praktik kerapkali menjadi korban pikiran-pikiran yang mendadak, pikiran-
pikiran yang tidak tetap dan pendapat-pendapat perseorangan.
Prof. Dr. W. Banning dalam bukunya Typen van zedeleer, menerangkan macam-macam Etika falsafi
sebagai berikut: Etika metafisika, etika yang didasarkan padaq individu, etika yang didasarkan pada
masyarakat dan etika nilai-nilai. Penulis-penulis lain mengikhtisarkan Etika falsafi dengan membagi
bentuk-bentuk etika dalam etika otonom, etika heteronom dan etika teonom. Etika otonom berdasarkan
norma-norma kepada kehidupan sendiri. Etika heteronom mengambil norma-normanya di dalam
masyarakat. Sedangkan etika teonom memakai Penyataan Allah sebagai sumber. Sumber pengetahuan
tentang baik-buruk tidak bioleh lain daripada apa yang dianugerahkan Allah kepada kita di dalam Alkitab
(Matius 5:48).
BAB II DASAR-DASAR ATAU TITIK PANGKAL

Etika Kristen berpangkalkan kepercayaan kepada Allah, yang menyatakan diri di dalam Yesus
Kristus. Allah Bapa menyatakan diri di dalam Yesus Kristus sebagai Pencipta langit dan bumi, yang
menciptakan dunia dan segala yang ada di dalamnya, yang menciptakan manusia menurut gambar dan
rupa-Nya, yang melaksanakan rencana-Nya mengenai dunia dan manusia, "dengan tangan yang
terkekang". Titik pangkal inilah yang bersifat menentukan bagi Etika Kristen.
Pandangan tentang manusia menurut agama-agama suku ini tidak ada tempat bagi kesusilaan
dalam arti yang khusus. Sebab-sebabnya sebagai berikut: Pertama: manusia, sebagai individu yag
bertanggungjawab kepada Allah, menjadi tidak tepat kedudukannya. Kedua, Hukum Allah di dalam
agama-agama primitif itu tidak dianggap sebagai hukum yang normatif, yang menggerakkan manusia
mengambilkeputusan-keputusan etis, tetapi dianggap sebagai semacam hukum kodrat, sebagai tata
tertib kosmis. Ketiga, dalam agama-agama primitif, Etika tidak dapat tampil ke depan, karena agama-
agama primitif itu tidak dapat menerima pertentangan-pertentangan yang mutlak.
Pandangan tentang manusia menurut agama Hindu adalah atman dan pada hakikatnya "atman" itu ialah
Brahman. Manusia tidak mempunyai kehidupan pribadi dan tidak mempunyai kehidupan pribadi dan
tidak mempunyai tanggungjawab perseorangan. Karena disesatkan oleh avidya (ketidaktahuan),
manusia menganggap gejala-gejala kosmis itu sebagai suatu kenyataan. Agama Hindu tidak mengenal
kepercayaan akan Allah, Sang Pencipta. Karena itulah tak dikenalnya pula kepercayaan akan penciptaan
manusia menurut gambar Allah. Agama Hindu tidak melihat garis batas antara Allah dengan ciptaan-Nya.
Dan dengan demikian tidak ada tempat bagi Etika di dalam arti yang sesungguhnya.
Pandangan tentang manusia menurut agama Buddha adalah suatu "nama rupa", artinya ia terdiri dari
"nama" (roh) dan "rupa" (tubuh) di dalam kehidupan psiko-fisis. Manusia itu bukanlah suatu
"kenyataan" yang tetap. Di dalam agama Buddha, Allah tidak diakui sebagai Pencipta. Agama Buddha
tidak mengakui bahwa manusia dijadikan menurut gambar Allah. Etika (dhamma) agama Buddha hanya
merupakan suatu cara untuk meluputkan diri dari segala macam Etika. Menurut agama Buddha,
kehidupan manusia itu berdasarkan sangkaan. Tidak berarti dan tidak bertujuan. Dan sejarah pun tidak
ada artinya dan tujuannya. Kata terakhir di dalam agama Buddha ialah: meleburnya kehidupan. Kata
terakhir di dalam Injil ialah: penyelamatan dari dosa, menuju kepada hidup kekal di dalam persekutuan
dengan Allah.
Menurut Kalam (dogmatika) Islam. Kedudukan manusia di dalam alam kejadian mendapat perhatian
besar di dalam dogmatika Islam. Sebab agama Islam mengakui Allah sebagai Pencipta. Di dalam agama
Islam tidak terdapat hubungan antara Bapa dan anak, sebagaimana terdapat dalam Alkitab, bila
mengatakan tentang hubungan antara Allah dan manusia. Tidak disebutkan pula tentang manusia yang
dijadikan menurut gambar Allah. Oleh karena itu, di dalam agama Islam juga tidak terdapat perjanjian
antara Allah dan Manusia, dimana manusia bertindak sebagai sekutu Allah, di mana manusia dipanggil
kepada kepatuhan sukarela dan di mana manusia mendapat kemerdekaan yang relatif secara makhluk.
Manusia hanya dipandang sebagai abd. Itulah juga sebabnya, mengapa di dalam agama Islam tanggung
jawab etis manusia tidak kelihatan dengan sewajarnya. Di dalam dogmatika ortodoks Islam, tanggung
jawab etis manusia tidak tampil ke depan dengan sewajarnya. Sebab yang pertama ialah: karena
kedaulatan Allah hanya dipandang sebagai kedaulatan kekuasaan-Nya. Di dalam Alkitab, Allah yang
diakui oleh Alkitab itu adalah juga kedaulatan kasih-Nya, hikmat-Nya, keadilan-Nya, kesucian-Nya.
Kedua, tanggung jawab etis manusia tidak tampak dengan sewajarnya, karena di sini tidak ada tempat
bagi pengertian, yang di dalam ajaran iman Kristen disebut "Pemeliharaan oleh Allah" (providential),
Agama Islam hanya menganggap bahwa ada satu hubungan saja antara Allah dan hasil pekerjaan-Nya,
yakni hubungan antara khalik dan makhluk.
Dalam pandangan tentang manusia menurut agama Islam tidak terdapat pandangan tentang Allah ini,
yakni Allah Bapa, dan tentang manusia sebagai anak, yakni anak yang berdosa, anak Bapa ini. Inilah salah
satu sebab dari kenyataan yang mengherankan, bahwa di dalam agama Islam, Etika tidak pernah
mendapat kedudukan sendiri di samping Kalam dan Fiqh.
Pandangan evolusi biologis tentang manusia ialah menganggap manusia itu sebagai binatang yang
menyusui yang cerdas, yang pertumbuhannya berlangsung menurut proses evolusi, dari tingkat yang
rendah ke tingkat yang lebih tinggi. Pandangan ini menyangkal Allah dan pernyataan-Nya. Di sini
"penyelidikan ilmiah" dijadikan ukuran untuk menentukan yang baik dan jahat. Lagi pula di sini
"penyelidikan ilmiah" itu terbatas kepada penyelidikan biologios, secara kimiawi dan fisik- seakan-akan
manusia hanya dapat diterangkan menurut proses kimiawi dan biologis.
Pandangan manusia menurut komunisme adalah "makhluk biologis ekonomis". Sebagai makhluk
biologis, ia pun "binatang menyusui yang cerdas". Atas dasar pandangan tentang manusia ini,
materialisme dialetika menyusun suatu Etika tertentu. Teori revolusi menggantikan susila. Etiak
materialisme dialetis adalah: Sadarlah akan kedudukanmu dalam perjuangan di tengah masyarakat dan
berbuatlah sesuai dengan kedudukanmu.
Di dalam Kitab Kejadian 1 terdapat kalimat-kalimat yang terkenal mengenai kejadian manusia,
"Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia;
laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka" (ayat 27). Dalam Perjanjian Baru Yesus Kristus disebut
gambar Allah ( 2 Kor 4:4; Kol 1:15). Dan sudah dijanjikan kepada kita, bahwa barangsiapa percaya
kepada Allah akan dijadikan kembali menurut gambar-Nya dan akan serupa dengan Dia (1 Kor 15:49; 2
Kor 3:18).
Bagaimanakah arti berita tentang manusia ini dan apakah konsekuensi pandangan tentang
manusia ini bagi Etika?
1. Manusia itu makhluk dan akan tetap menjadi makhluk untuk selama-lamanya. Manusia
bukanlah Allah dan manusia juga tidak mempunyai zat ilahi atau kodrat ilahi. Tidak ada "analogi entis"
(persamaan zat) antara manusia dan Allah.
2. Manusia dijadikan sebagai makhluk somatic-psikis (berjiwa raga). Allah membentuk manusia
(di dalam bahasa Ibrani:haadam) dari debu tanah (adama) dan menghembuskan nafas kehidupan
(nismat hajjim) ke dalam hidungnya (Kej 2:7).
3. Hubungan Allah-manusia dan manusia-Allah itu dinyatakan dalam berita tentang manusia
yang dijadikan menurut gambar Allah. Karena itu yang harus menjadi salah satu pokok masalah Etika
ialah: Apakah yang kau perbuat dengan mandate yang diberikan Allah kepadamu, ketika Allah
menjadikan engkau menurut gambar dan rupa-Nya?
4. Akhirnya dalam hubungan ini harus ditekankan, bahwa Allah menciptakan manusia supaya
manusia itu berbakti secara sukarela. Allah memberiukan kebebasan memilih kepadanya. Kedaulatan
ilahi itu diserahkan kepada manusia secara sukarela di dalam kasih. Kebebasan itu termasuk hakikat
manusia dank arena itu termasuk inti Etika Kristen. Kata kebebasan menyatakan panggilan yang pertama
dan hak tertinggi yang diberikan oleh Allah kepada manusia.
Beberapa catatan tentang asal dosa, dan hakikat dosa akan diterangkan secara khusus di bawah
ini.

a. Asalnya dosa
Di dalam agama-agama dan pandangan tentang dunia Kristen pada garis besarnya terdapat jawaban-
jawaban atas pertanyaan asalnya kejahatan sebagai berikut.
Menurut agama Hindu dan berbagai aliran mistik panteistis, sumber kejahatan itu harus dicari pada
avidya, ketidaktahuan. Kejahatan itu hanya semu saja. Manusia buta karena ketidaktahuan itu,
menganggap itu, menganggap kejahatan sebagai kenyataan. Akan tetapi sebenarnya kejahatan itu tidak
ada. Pandangan agama Buddha mencari asalnya kejahatan di dalam "tanha", nafsu, keinginan, yang
menggerakkan prioses Bhava. Dalam pandangan evolusi biologis, asalnya kejahatan itu dicari pada
berasalnya kita dari binatang. Menurut pandangan ini, kita masih mempunyai sisa-sisa sifat yang buruk
dari keturunan yang rendah. Tetapi lambat laun kita akan mengatasi sisa-sisa kejahatan ini dalam
pertumbuhan ke taraf yang lebih tinggi. Pandangan tentang dunia yang dialektis materialis mencari
asalnya kejahatan di dalam keadaan social ekonomi. Jika system social ekonomi berubah, maka manusia
pun berubahlah.
Menurut Alkitab, inisiatif (prakarsa) untuk berbuat dosa itu tidak keluar dari manusia, tetapi dari iblis.
Asalnya dosa itu terdapat di dunia iblis. Tetapi karena kesalahan sendiri, manusia telah mengatakan ya
kepada dosa dan dengan demikian ia menjadi hamba dosa (Yoh 8:34). Karena manusia ingin menjadi
sama seperti Allah, iamenyerah kepada iblis, sehingga sejak itu dosa keluar dari iblis dan manusia
bersama-sama.
b. Hakikat dosa

Apakah hakikat dosa itu?. Kata yang terbanyak dipergunakan ialah kata dalam bahasa Yunani hamartia
(di dalam bahasa Ibrani chet atau chatta). Hamartia berarti: luncas (luput, tidak mengenai sasaran,
menyeleweng dari tujuan); seperti anak panah dapat tidak mengenai sasarannya, begitulah pula
manusia yang berdosa itu dapat tidak mencapai tujuannya. Kata hamartia itu diterjemahkan dengan
dosa.
Pandangan Alkitab tentang hakikat dosa adalah bahwa dosa itu tidak dimulai pada kejasmanian, tetapi
justru pada inti manusia, di dalam hatinya, di dalam hubungannya dengan Allah. Jika hubungan di situ
diserang oleh kesombongan, maka jasmani pun diperalat oleh dosa. Sombong mengakibatkan
meluapnya hawa nafsu. Jika hati tak jujur di hadapan Allah, maka badan kita pun disalahgunakan untuk
cabul, kelahapan, loba akan uang, boros dan sebagainya.

Di dalam hidup manusia ada dua macam gejala yang ada di bawah kekuasaan dosa dan yang paling jelas
menggambarkan kebesaran dan kesengsaraan manusia. Kedua gejala itu ialah rasa malu dan perasaan
hati (yang kedua ini kadang-kadang juga disebut: keinsafan batin, kata hati, suara hati, suara batin, gerak
hati, setahu hati dan sebagainya). Karena pentingnya kedua gejala itu bagi Etika, maka dibawah ini akan
dijelaskan tentang kedua hal tersebut.

1. Rasa Malu

Rasa malu adalah suatu perasaan badani yang mengingatkan kita kepada keadaan kita yang telah
"terkoyak-koyak". Manusia berusaha menghindarkan diri dari kesalahannya. la mencoba memungkiri
dosanya, menyembunyikan dosanya, membenarkan dosanya. Namun rasa malu itu dengan tak sadar
membuka kesalahannya. Rasa malu itu mengingatkan kita bahwa kita ini diciptakan menurut gambar-
Nya. Binatang dan iblis tidak memiliki rasa malu, tetapi manusia mempunyainya. Apabila Tuhan melihat
manusia di dalam rasa malunya, sebagaimana Ia memandang Adam dan Hawa di taman Firdaus, maka
kesimpulan-Nya ialah: "Rasa malumu itu menunjuk kepada-Ku, bahwa engkau telah mengkhianati Aku".
2. Suara hati

Secara etimologi istilah suara hati dipakai dalam Perjanjian Baru ialah suneidesis (Rm 2:15). Dalam
bahasa Latin "conscientia", dan ini pun menjadi kata asal dari kata suara hati dalam bahasa Inggris dan
Perancis. Suneidesis (conscientia) artinya: setahu, dengan diketahui oleh. Yang dimaksudkan ialah,
bahwa di dalam manusia seolah-olah ada suatu instansi yang bertindak sebagai saksi pendengaran
telinga dan saksi pandangan mata dari segala kelakuan kita, yang mengamat-amati kehidupan batin kita
dan yang mempertimbangkan kehidupan itu.
Istilah-istilah yang lazim dipakai dalam bahasa Indonesia ialah bisikan hati, kata hati, rasa hati, suara
batin, keinsafan batin. Istilah yang khas adalah hati kecil. Suatu "hati kecil", yang mengamat-amati dan
mempertimbangkan kelakuan kita. Suara hati ialah suatu desakan, yang terdapat dalam batin tiap-tiap
manusia, untuk menimbang-nimbang kelakuannya. la menuduh kita. Bahkan, apabila kita berdaya upaya
untuk mematikan suara itu, maka nyaringlah suara hati itu. Tidak hanya berbisik-bisik saja, tetapi
kadang-kadang ia dapat merintih dan memanggik dan berteriaqk dalam hati kita. Di dalam Alkitab,
reaksi-reaksi suara hati ini kita jumpai dengan terang pada tokoh-tokoh seperti Kain, Saul, Yudas Iskariot.
Mereka hanya mendengar suara hati dan tidak mau mendengarkan suara Allah, Pengampun dan
Penyayang. Batasan defenisi suara hati yang sudah tua, tetapi masih terdapat dalam perpustakaan baru:
Di dalam suara hati, dengan tiada terlawan, manusia berhadapan dan bersoal-jawab dengan dirinya
sendiri, dan ia menjadi pembuat peraturan, hakim dan pembalas terhadap perbuatannya sendiri (Index,
Judex, Vindex).
Kewajiban gereja Kristen pada umumnya dan Etika Kristen pada khususnya, untuk menyinarkan terang
Hukum Allah dan Injil di dalam hal ini. Agustinus pernah berkata, "Kita gelisah di dalam hati kita sehingga
kita menemukan ketenteraman di dalam Allah." Demikianlah pula dapat dikatakan: suara hati kita
gelisah, sehingga akhirnya takluk kepada Pembuat Hukum, Hakim dan Penolong tertinggi, yakni Allah
dan Bapa Yesus Kristus.
TENTANG NORMA-NORMA SUSILA?

Jika kita di Indonesia ini mengajukan pertanyaan tentang norma-norma hidup, maka diantara orang-
orang muda dan orang-orang tua akan banyak yang menjawabnya dengan:"Yang disebut baik ialah apa
yang disuruhkan oleh adat istiadat kita!" Kata adat berasal dari kata Arab: "ada", artinya kebiasaan, cara
yang lazim, kelakuan yang telah biasa, aturan-aturan yang lazim. Yang disebut adat istiadat ialah
kumpulan peraturan dan norma-norma hidup yang berlaku di dalam persekutuan suku tertentu.
Dapatkah adat istiadat itu menjadi sumber pengetahuan, pengetahuan yang sesungguhnya tentang yang
baik dan jahat? Dipandang dari sudut iman Kristen, maka jawab pertanyaan itu ialah: tidak! Apakah
sebabnya? Pertama, karena di dalam kompleks adat istiadat kuno itu tidak tampak batas-batas antara
Tuhan dengan kosmos. Segala agama suku adalah naturalistis. Di dalam agama-agama itu yang dikenal
dan dimuliakan bukanlah Tuhan yang hidup, tetapi makhluklah yang dimuliakan. Kedua, adat istiadat itu
tidak dapat menjadi sumber pengetahuan tentang yang baikdan yang jahat, kerena adat istiadat itu
penuh takhyul dan guna-guna.
Oleh sebab itu adat istiadat adalah suatu sumber yang keruh, dan dari sumber itu kita tidak dapat tahu
apa yang baik dan apa yang jahat itu. Disini kami tambahkan tiga buah catatan. Pertama, haruslah kita
akui dengan bersyukur, bahwa di dalam adat istiadat bangsa-bangsa itu terdapat unsur-unsur yang yang
mengingatkan kita akan kehendak Tuhan yang suci. Paulus dalam Surat Roma 2:14-16 menunujukkan
bahwa bangsa-bangsa kafir, walaupun belum memunyai pengetahuan tentang Hukum Taurat, tidak
kehilangan sama sekali kesadaran akan yang baik dan yang jahat. Isi Taurat atau "pekerjaan Hukum
Taurat" tertulis di dalam hatinya, dan suara hatinya bersaksi demikian dengan mempersalahkan dan
membenarkan. Kedua, hendaklah kita perhatikan bahwa ada ada beberapa persekutuan yang beradat
istiadat, dimana pengaruh Hukum Taurat dan Injil telah tampak jelas sekali. Ketiga, hendaklah kita
perhatikan bahwa pengaruh adat istiadat di dalam persekutruan suku yang kuno itu makin lama makin
berkurang. Perhubungan di antara suku-suku makin bertambah. Hubungan dengan peradaban dunia
makin berlipat ganda. Makin banyak terjadi percampuran "bentuk-bentuk kebudayaan".
Ajaran tentang hukum kodrat dan hukum susila kodrati. Ajaran ini terdapat dalam berbagai bentuk. Di
negeri Barat paham "hukum kodrat" (jus natural) dan "hukum susila kodrati" (ethica naturalis) mula-
mula terdapat di dalam filsafat Yunani, khususnya dalam apa yang disebut dengan Stoa. Menurut Stoa,
budi (logos atau ratio) dapat membaca dan merumuskan peraturan-peraturan alam dari alam itu sendiri.
Menurut mereka, kodrat manusia itu baik, dan sesuai dengan kodratnya itu, manusia dapat berbuat
yang baik, dan dengan demikian cita-cita orang yang berhikmatdapat dibuat nyata. Menurut Stoa, orang
berhikmat yang sejati ialah orang yang berbuat baik dengan tidak tergerak hatinya oleh perasaan
apapun juga (apatheia dan autarkeia). Berpangkal pada pandangan-pandangan filsafat itu, maka
golongan Stoa berusaha membentuk sebuah susunan tentang hak dan kewajiban manusia (lex naturalis
dan ethica naturalis).
Filsafat Thomas Aquino ini membedakan di dalam manusia suatu "kodrat" (alam) dan "kodrat atas"
(alam atas). Oleh sebab dosa, maka manusia telah kehilangan "kodrat atas" itu. Hanya dengan
sakramen-sakramen gerejani saja manusia dapat menerima kembali "kodrat atas" itu. Tetapi menurut
ajaran Thomas, "kodrat" manusia itu tidak rusak sama sekali (radikal) oleh dosa itu. Paulus berkata,
bahwa kodrat manusia telah rusak sama sekali oleh karena dosa, bahwa manusia telah "mati di dalam
dosa dan kejahatan", dan lagi bahwa akal budi manusia telah rusak sedemikian rupa, hingga kodrat akal
budi itu sendiri menentang kebenaran Allah serta memperhambakan diri kepada kebohongan, dan
akibatnya ialah bahwa hati manusia menjadi gelap oleh sebab pikiran-pikiran akal budinya.
Hukum kodrat dalam arti yang lebih luas meliputi segala peraturan yang menurut ajaran Thomisme,
dibebankan kepada manusia oleh "hukum susila kodrati". "Hukum kodrat di dalam arti yang lebih luas"
ini sama dengan "hukum susila kodrati", dan di dalam Thoisme hukum itu tidak hanya mengatur
hubungan-hubungan antara manusia dan manusia tetapi juga hubungan antara manusia dan Tuhan dan
antara manusia dengan dirinya sendiri. Keberatan kami terhadap teori-teori Thomistis ini adalah bahwa
pandangan Thomisme tentang kodrat manusia adalah terlalu optimistis. Juga pandangannya tentang
fungsi akal budi adalah terlalu optimis. Kodrat kita telah rusak sampai pada dasar-dasarnya oleh sebab
dosa, dan akal budi kita merupakan suatu pedoman yang tak dapat dipercaya, sehingga kita dapat
tersesat, bila berlayar berdasarkan pedoman itu.
Mencari "yang baik" berarti mencari Tuhan. Hanya Tuhanlah yang baik. Dan hanya Tuhanlah yang tahu
apa yang baik itu. Tuhan telah memberi jawaban atas pertanyaan apakah yang baik itu. "Hai manusia,
telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dari apakah yang dituntut Tuhan daripadamu..." (Mikha
6:8). Dan jawaban atas pertanyaan apakah yang baik itu, hanya dapat diterima oleh manusia, apabila ia
mendengarkan Firman Tuhan. Bagaimanakah manusia dapat mengetahui kehendak Tuhan? Tak dapat
disangsikan bahwa rahasia pengetahuan ini terletak pada pergaulannya dengan Tuhan yang
menciptakan manusia menurut gambar-Nya. Ketika manusia hanya mau menjadi gambar Allah saja dan
tidak mau menjadi sama seperti Allah, maka terdapatlah di antara Tuhan dan manusia suatu
persekutuan yang tidak terganggu, yang perjanjian yang erat suatu hubungan kasih, maka tahulah ia
akan kehendak "Kekasihnya", kehendak peserta di dalam perjanjian tadi.
Paulus berkata bahwa Tuhan tetap menyatakan diri sebagai Pencipta kepada segala bangsa pada segala
zaman, juga kepada mereka yang tidak kenal Hukum Taurat dan nabi-nabi. Dan Tuhan tetap bekerja
terus di dalam hati manusia serta "menulis pekerjaan Taurat di dalam hatinya" (Rm 2:15; Rm 1:18,19).
Di dalam firman Tuhan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, diberitahukan kepada kita, apa yang
baik itu. Bukan suara alam yang berkata di situ, bukan pula suara akal budi, bukan suara perasaan,
bukan suara bangsa kita, bukan pula suara golongan kita. Yang bersuara di situ ialah Dia yang hanya baik
semata-mata: Allah (Mrk 10:18).
Gereja Kristen dipanggil untuk menyususn suatu Etika Kristen yang oikumenis. Gereja-gereja pun
dipanggil untuk menyadari bersama-sama, betapa tinggi dan dalam, panjang dan lebar perintah Tuhan
yang berlaku bagi segala bangsa di dalam tiap-tiap keadaan. Kita tidak hanya perlu sadar secara
oikumenis akan "faith and order" (iman dan tata tertib) gereja, tetapi perlu juga sadar akan perlunya
Etika yang oikumenis. Masalah dunia yang termasuk juga di dalam Etika, seperti pengaturan kelahiran,
soal perang, soal perbedaan kulit dan lain-lain. Apabila gereja-gereja bekerja bersama-sama untuk
menyusun etika oikumenis ini, maka buah hasilnya akan merupakan suatu sumbangan bagi
pembentukan ukuran dan norma kesusilaan.
DI DALAM PENYATAAN ALLAH

Firman Allah, yang datang kepada kita di dalam Perjanjian Lama dan Baru, harus dibagi dalam
Hukum Taurat dan Injil (Law and Gospel). Di dalam Alkitab tidak pernah Injil diberitakan tanpa Hukum
Taurat, demikian pula sebaliknya. Seluruh penyataan Allah adalah selalu rangkap dua. Di dalam
Perjanjian Lama dan Baru, Tuhan selalu berfirman dengan dua perkataan yakni Hukum Taurat dan Injil,
Injil dan Hukum Taurat, anugerah dan perintah, keselamatan dan suruhan, memberi dan menugaskan.
Salah satu di antara pokok-pokok pembicaraan yang diperdebatkan panjang lebar di dalam
sejarah gereja dan teologi, ialah masalah tentang hubungan antara Hukum Taurat dan Injil. Pertama, di
dalam sejarah gereja, apalagi pada abad-abad yang pertama, nisbah antara Hukum Taurat dan Injil
kerapkali disamakan dengan nisbah antara Perjanjian Lama dan Baru. Lalu Perjanjian Lama itu
dipandang sebagai Kitab Hukum Taurat dan Perjanjian Baru sebagai Kitab Injil. Gambaran ini
bertentangan dengan kenyataan. Barangsiapa memperhadapkan Perjanjian Lama dengan Perjanjian
Baru sebagai Hukum Taurat dan Injil. Kedua, di dalam sejarah gereja dan teologi, hubungan antara
Hukum Taurat dan Injil kerapkali digambarkan sebagai anti tesis yang mutlak. Di dalam teologi Lutheran
kerapkali ditekankan anti tesis ini. Luther berkata bahwa Hukum Taurat menimbulkanketakutan dan
bahwa Hukum Taurat adalah medium atau perantara murka Allah. Akan tetapi pandangan ini
melupakan satu hal, yakni jika kita hidup dari Anugerah Allah, maka kita tidak dapat terlepas dari Hukum
Taurat. Jadi Hukum Taurat memang tidak merupakan syarat lagi untuk keselamatan kita, namun
menjadi norma untuk kehidupan syukuri kita. Martin Luther sendiri telah menekankan hal itu berulang-
ulang. Ahli-ahli teologi Lutheran yang kemudian yang telah melupakannya. Ketiga, di dalam teologi Karl
Barth, tampak pandangan yang bertentangan sama sekali. Barth memandang Hukum Taurat dan Injil itu
bukanlah sebagai suatu anti tesis, tetapi ia memandang Hukum Taurat sebagai bentuk Injil, yang
berisikan anugerah. Keempat, H. Berkhof di dalam salah satu tulisannya: Crisis der middenorthodoxie,
pernah mengingatkan dengan tepat, bahwa apa yang dikatakan tentang hubungan antara Hukum Taurat
dan Injil dapat dirumuskan dengan rumus yang dipakai oleh konsili Chalcedon untuk kedua "kodrat"
atau tabiat Kristus, yaitu "tidak tercampur, tidak berubah, tidak terpisah". Hukum Taurat berkata,
"Terkutuklah setiap orang yang tiada tekun melakukan segala sesuatu yang tersurat di dalam Kitab
Taurat". Injil berkata, "Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk
karena kita, sebab ada tertulis: terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib!" (Galatia 3:13).
Para reformator, Luther dan Calvin sungguh-sungguh fungsi-fungsi Hukum Taurat itu dan mereka
berbicara tentang Triplex usus legis, artinya: tiga cara mempergunakan Hukum Taurat. Ketiga fungsi
Hukum Taurat itu diterangkan dengan istilah-istilah yang berikut: 1) Usus elenchticus (fungsi
menginsafkan akan kesalahan) yang disebut usus paedagogicus; 2) usus normativus atau usus didacticus
(Hukum Taurat itu memunyai fungsi sebagai norma untuk hidup baru atau sebagai norma
bersyukur) dan 3) Usus politicus atau usus civilis (fungsi Hukum taurat sebagai cermin yang
mencerminkan keadilan Tuhan di dalam masyarakat dan Negara.
Tuhan adalah Allah yang hidup, yang mengadakan hubungan yang nyata dengan manusia. Tuhan
bukanlah suatu "prinsip susila" yang tidak berpribadi. Tuhan bukanlah suatu "tata tertib dunia
kesusilaan" yang tidak berpribadi. Dalam Kitab mikha 6:8, disitu Nabi Mikha seolah-olah berkata, "Tidak
perlu Tuhan telah berfirman dan Ia tetap setia kepada firman-Nya. Kata Nabi Yesaya, "Tidakkah
diberitahukan kepadamu dari mulanya?" (Yes 40:21b). Hal yang sama kita jumpai juga di dalam
"Khotbah di Bukit". Ketika Yesus menerangkan Hukum Taurat, la bertolak dari Hukum Taurat Musa dan
berkata, "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan
untuk menggenapinya. Karena Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya selama belum lenyap langit dan
bumi ini, satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya
terjadi" (Mat 5:17-18).
Di dalam Kitab Perjanjian Lama, Hukum Taurat itu biasanya disebut "Tora". Kata Ibrani ini asalnya dari
kata kerja hora artinya mengajar, menunjukkan. Mengenai isinya, terdapatlah terutama 3 golongan
hukum-hukum dan perintah-perintah. Pertama: Dekalog atau Dasatitah, yakni Kesepuluh Titah Tuhan
yang di dalam bahasa Ibrani disebut "aseret had-d'barim", Kesepuluh Firman (dabar berarti perkataan,
titah atau firman, yaitu di dalam arti norma). Dasatitah itu harus dipandang sebagai ringkasan seluruh
Hukum Taurat. Kedua: misypatim, yakni undang-undang hukum sipil, yang mengatur kehidupan umat
Tuhan sebagai "warga Negara" (peraturan-peraturan tentang janda dan yatim piatu, orang-orang
miskin, budak belian, orang-orang asing, orang sakit dan lain-lain). Ketiga: khuqqim, yakni undang-
undang yang berisi ketetapan-ketetapan tentang kebaktian (ketetapan-ketetapan tentang bait suci,
kurban-kurban, hari-hari raya).
Dasatitah itu adalah berhubungan dengan perjanjian (berith). Keempat titah yang pertama memberi
penerangan tentang hubungan kita dengan Sang Kepala Perjanjian, yaitu Tuhan Allah kita. Keenam titah
berikutnya memberi penerangan tentang hubungan antara para anggota perjanjian itu. Di dalam titah
yang pertama, Tuhan melarang umat-Nya untuk keselamatan hidup mereka sendiri mengadakan
hubungan dengan kekuasaan-kekuasaan dan allah lain. Titah yang kedua, Tuhan melarang manusia
menyembah Dia "menurut cara sendiri". Manusia tidak boleh mencari sesuatu yang menggambarkan
Yahweh, baik di langit maupun di bumi ataupun di dalam air, sebab barangsiapa mencari atau membuat
patung untuk maksud itu, maka ia sebenarnya mencoba menguasai ke-Allahan Tuhan. Titah ketiga,
meperkenankan anggota-anggota umat Tuhan memanggil nama Tuhan dengan kepercayaan serta
melarang menyalahgunakan nama Tuhan. Memanggil nama Tuhan dengan percaya mendatangkan
kebahagiaan. Titah keempat memerintahkan adanya kerja dan istirahat yang silih berganti dengan
teratur, dengan irama yang tetap. Barangsiapa menyalahgunakan hari Sabat, maka ia sebenarnya
merampas waktu Tuhan; dan barangsiapa yang menguduskan hari Sabat berarti di dalam hari Sabat itu
semua hari lainnya diberkati.
Titah kelima, Tuhan menyatakan kekuasaan-Nya atas kehidupan keluarga, dan kehidupan keluarga itu
ditempatkan-Nya di bawah janji-janji dan tuntutan-tuntutan-Nya. Di dalam titah yang keenam Tuhan
melindungi hidup manusia terhadap mengamuknya kebencian di dalam pembunuhan. Titah ketujuh,
Tuhan melindungi perkawinan terhadap ketidaksetiaan yang menghebat di dalam perceraian. Di dalam
titah yang kedelapan Tuhan melindungi milik manusia terhadap pencurian. Titah kesembilan Tuhan
melindungi nama manusia terhadap saksi palsu yang dapat merusak hidup. Dan titah kesepuluh Tuhan
memberikan penerangan tentang motif-motif yang menjadi dasar-dasar perbuatan kita dan Ia
memanggil kita untuk berjuang melawan segala keinginan yang tidak sah. Di dalam titah yang kesepuluh
itu Tuhan, Allah kita menuntut hak atas inti hidup kita, kehendak kita, pikiran kita, perasaan kita,
keinginan kita dan hati kita.
Kunci untuk mengetahui sikap Yesus terhadap Hukum Taurat, pelaksanaan Hukum Taurat oleh orang
yahudi dan interpretasi Hukum Taurat oleh ahli-ahli kitab Taurat terletak pada rahasia Yesus sebagai
Mesias. Di dalam Yesus, Injil telah menjadi nyata. Yesus sendirilah Injil itu. Di dalam Yesus. Hukum Taurat
telah digenapi dan oleh-Nya Huku7m Taurat itu telah digenapi pula di dalam mereka yang ada di dalam-
Nya."Sebab Hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus
kristus" (Yoh 1:17).

Di dalam surat-surat Paulus seringkali dibicarakan tentang Hukum taurat. Tuhan telah menyatakan
kehendak-Nya kepada manusia. Walaupun Hukum Taurat itu baru datang kepada manusia sesudah
Tuhan memberikan janji-janji-Nya kepada Abraham dan setelah diadakan-Nya perjanjian, namun di
antara bangsa-bangsa terdapat juga pengetahuan sedikit tentang Hukum Taurat. Tidak ada seorang pun
yang memenuhi tuntutan Hukum Taurat ini. "Tidak ada yang benar, seorang pun tidak" (Rm 3:10). Baik
orang Yahudi maupun orang Yunani, baik Israel maupun bangsa-bangsa kafir lainnya sekaliannya sudah
berbuat dosa dan sekaliannya kehilangan kemuliaan dari Allah. Dari mengerjakan Hukum Taurat itu
tidak ada juga daging yang akan dibenarkan di hadapan Allah (Rm 3:11, 20). Akan tetapi, yang menjadi
Injil ialah bahwa "sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan" (Rm 3:21).

Yesus Kristuslah tujuan hukum Taurat (Rm 10:4). Segala yang disebutkan dalam perjanjian, janji-janji dan
Hukum Taurat di dalam Perjanjian Lama, diarahkan kepada-Nya. Kristus telah menjadi kutuk karena kita
(Gal 3:13; 2 Kor 5:21). Segala tuntutan Hukum Taurat telah dipenuhi-Nya. Apakah itu berarti bahwa kita
kini telah terlepas dari Hukum Taurat? Tidak. Barangsiapa hidup dari kasih Allah di dalam Kristus, ia akan
mengenal Hukum Taurat dan mengakuinya sebagai norma untuk bersyukur. Seluruh kehidupan itu
diteranginya dari sudut kasih setia, dari sudut anugerah. Tidak seorang pun ditariknya kembali kepada
kehidupan di bawah Hukum Taurat.

Yang dibicarakan di dalam Surat Yakobus bukanlah seperti di dalam surat-surat Paulus tentang
hubungan antara iman dan Taurat, melainkan tentang iman dan perbuatan. Iman yang hidup tentu
ternyata di dalam perbuatan. Kasih setia yang tidak mengubah hidup, bukanlah kasih setia. Di dalam
surat-surat Paulus tak pernah iman digambarkan sebagai sesuatu yang membuat kita berpeluk tangan
dan menganggur. Iman yang hidup dari anugerah, iman itu bekerja oleh sebab kasih, demikian kata
Paulus (Gal 5:6). Apa yang disebut Rasul Yakobus "iman yang mati", yaitu iman tanpa perbuatan, itu
tidak dibicarakan di dalam surat-surat Paulus. Iman yang sejati itu hidup dan berbuat. Soal pokoknya
bukanlah mendengar tanpa berbuat, tetapi mendengar dan berbuat. Firman sebagai yang telah datang
kepada kita di dalam Injil dan Hukum Taurat, haruslah meresap ke dalam hidup dan keadaan kita.
Firman itu mau menjadi bagian hidup kita yang tidak dapat terpisahkan lagi. Ia ingin dan harus menjelma
di dalam hidup kita. Seharusnya diubah menjadi perbuatan-perbuatan.

Isi Injil dapat disimpulkan dalam satu kalimat: Allah adalah kasih. Bukan kita yang mengasihi Allah, tetapi
Allahlah yang mengasihi kita dan kasih-Nya tetap dicurahkan terus kepada kita. Kasihg-nya tak kunjung
padam. Hukum Taurat dapat juga disimpulkan dalam satu kalimat: di dalam Hukum Taurat-Nya, Allah
menuntut kasih: "Kasih itu adalah kegenapan Hukum Taurat". Allah menuntut apa yang diberikan-Nya,
yakni kasih. Dalam Perjanjian Baru , Yesus bertolak kembali dari perumusan itu, "Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah
hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat
dan kitab para nabi" (Mat 22:37-40).

Yesus berfirman: ada dua buah perintah. Tetapi kedua perintah itu merupakan dwi-tunggal. Jika kita
mengatakan bahwa kita mengasihi Allah, tetapi tidak mengasihi sesama manusia , maka pada hakikatnya
kita tidak mengasihi Allah. Sebab Allah mengasihi manusia. Allah berkenan kepada manusia. Siapa
mengasihi Allah haruslah pula mengasihi manusia yang telah dijadikan menurut gambar-Nya. Apakah
artinya mengasihi Allah? Menurut Alkitab, artinya adalah membalas kasih Allah kepada kita.
"Kita mengasihi, karena Allah terlebih dahulu mengasihi kita. Dan yang telah mengutus Anak-Nya
sebagai pendamaian bagi dosa-dosa kita" (1 Yoh 4:19;1 Yoh 4:10). Mengasihi Allah berarti hidup dari
kasih-Nya, yakni dikuasai oleh anugerah Allah. Mengasihi Allah ialah menerima dan memberi lagi,
disayangi dan menyayangi. Tepat sekali peringatan Soe di dalam Ethieknya, bahwa jika usaha mengasihi
Allah itu menjadi tipis atau kabur, maka usaha mengasihi sesama manusia pun menjadi tipis atau kabur
juga. la bertanya, "Apakah kasih kepada sesama manusia itu tumbuh sejak berkurangnya kasih kepada
Allah dan bekunya usaha mengasihi ini?".
Apa yang dimaksud dengan kasih kepada sesama manusia di dalam Alkitab, dapat kita lihat dari
perumpamaan "Orang Samaria yang Murah Hati" yang menaruh belas kasihan. Bertanyalah seorang ahli
Taurat, siapakah gerangan sesama manusianya itu. Ia menyangka dapat menjawab sendiri pertanyaan
itu. Jawabnya di dalam kehidupan sehari-hari adalah: "Aku memilih sesamaku manusianya itu. Sesamaku
manusia ialah: bangsaku sendiri dan di dalam lingkungan bangsa yang kuutamakan, yakni orang dari
golonganku sendiri". Tetapi di dalam perumpamaan "Orang Samaria yang Murah Hati" itu, Tuhan Yesus
menyatakan bahwa bukanlah kita sendiri yang menentukan, siapa yang menjadi sesama manusia kita.
Allah juga yang menentukan untuk siapa kita layak menjadi sesama manusia. Sesama manusia ialah
misalnya orang yang sedang menderita kesukaran, yang ditempatkan Allah pada jalan hidup kita. Kita
harus menjadi sesama manusia orang itu demi kehendak Allah.
Ketika Paulus di dalam mimpinya mendengar orang Makedonia berseru: "Datanglah dan tolonglah
kami", maka ia mendengar seruan orang yang tergolong "orang yang terjauh", jika dilihat dari Asia Kecil.
Paulus suka membatyasi kasih akan sesama manusia itu pada golongan-golongan yang dikenalnya,
bangsa-bangsa Sem dan orang-orang Asia Kecil. Tetapi Allah sudah menjelaskan kepadanya pada malam
itu, bahwa ia harus pula menjadi sesama manusia bagi bangsa Eropa.
Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. "Kasih kepada diri sendiri yang sejati ialah patuh
pada perintah yang besar dan terutama" (Soe). Biji gandum menghasilkan buahnya, bila ia mati
tertanam dalam tanah. Kasih kepada diri sendiri yang sejati tumbuh seimbang dengan kematian kasih
kepada diri sendiri yang sia-sia. Barangsiapa yang menyangkal diri sendiri, maka ia akan menemukan
bahwa jalan penyangkalan diri dan penyerahan diri kepada Yesus adalah jalan keselamatan, juga bagi
hidup kita sendiri.

DALAM HIDUP ORANG BERIMAN

Kata "kasuistik" berasal dari kata Latin casus,artinya hal (peristiwa, perkara). Yang dimaksudkan dengan
kasuistik ialah usaha "mempergunakan hukum pada bermacam-macam hal" dengan alasan dan cara-cara
yang berdalil yang tertentu. Soal pokok di dalam kasuistik ini tidak terletak pada pertanyaan: Bolehkah
manusia berbuat dosa?, tetapi terletak pada pertanyaan: "Sampai dimanakah manusia boleh
'mendekati' dosa itu?" Makin dekat manusia kepada dosa, makin berbahayalah baginya, tetapi
demikianlah kata golongan Yesuit itu, ada berbagai soal yang berada di perbatasan, sehingga tidak
mungkin lagi menentukan dengan pasti, apakah suatu perbuatan tertentu itu baik ataukah jahat.
Kasuistik ini ditentang, terutama oleh Pascal, seorang ahli pikir Kristen yang termasyur, di dalam tulisan-
tulisannya yang terkenal, yakni "surat-surat yang menentang golongan Yesuit" (Letter Provinciales dan
Letters contre les Jesuites). Tuduhan Pascal terhadap kasuistik itu ialah, bahwa kasuistik itu mau mencari
kompromi antara perintah-perintah Tuhan dan praktik hidup yang berdosa. Tak kurang hebatnya
serangan Calvin terhadap kasuistik itu. Disebutnya kasuistik itu suatu "jerat untuk mencekik jiwa
manusia". la mengatakan bahwa bahwa kasuistik ini memperhambakan manusia kepada manusia.
Ia mengatakan tentang suatu kekuasaan yang sangat berbahaya, yang merugikan kemerdekaan di dalam
Kristus dan merugikan wibawa Kristus atas kehidupan manusia.

Berdasarkan Alkitab keberatan-keberatan apakah yang harus diajukan terhadap kasuistik?

1) Keberatan terhadap segala macam kasuistik ialah bahwa yang ditekankan bukanlah tuntutan-
tuntutan Hukum Taurat yang terdalam, yakni:kasih, belas kasihan dan kesetiaan, tetapi dosa
senangtiasa dicari secara lahiriah (Matius 23:23). Puritanisme misalnya, hanya sangat memperhatikan
soal-soal seperti bermain kartu, mengunjungi gedung kesenian, dansa dan sebagainya, tetapi dosa
yang
menggerumit di dalm hati seperti:tanpa kasih, kikir, bohong, tipu sangat sedikit atau sama sekali tidak
digubris; 2) bahwa yang diperhatikan hanya perbuatan hanyalah perbuatan lahir saja, bukan hati.
Kasuistik mematikan kemerdekaan rohani dan tanggung jawab perseorangan. Kasuistik itu mengikat kita
kepada wibawa seorang rabi, imam, kepala adat, pendeta, paus atau siapapun juga, tetapi tidak
menempatkan diri kita di hadirat Tuhan dan tidak mendidik kita mengambil keputusan di hadirat-Nya; 3)
Kasuistik menganggap Hukum Taurat sebagai semacam semacam kitab pegangan untuk mencari
pemecahan soal-soal kesusilaan kita. Kasuistik lupa bahwa hukum Taurat itu merupakan kenyataan
kehendak Tuhan.
Dengan menolak kasuistik sebagai pemecahan semu, maka perlu dikemukan jalan yang ditunjukkan
Alkitab yaitu: a) pimpinan Roh Kudus. Yesus berkata bahwa Roh Kudus akan mengambil yang Dia punya,
dan akan menunjukkan kepada kita jalan kebenaran yang sepenuhnya. Roh Kudus membuat actual Injil
dan Hukum Taurat yang dinyatakan kepada kita dalam Yesus Kristus. Ia melanjutkan pekerjaan Yesus.
Roh Kudus itu pun mengikutkan kita di dalam pelaksanaan perintah-perintah Tuhan; b) Mencari
kehendak Allah:Roma 12:2, "...sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang
baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna?" Kata dokimadzein dalam bahasa Yunani berarti
dapat membedakan, menguji, menyelidiki, mengupas, menganalisis dan memilih. Roh Kudus
menggerakkan kita supaya berdoa di dalam mencari kehendak Tuhan. Ia menghendaki supaya kita
mempergunakan akal kita, supaya kita memperhatikan dan mengamat-mengamati keadaan dengan
seksama, supaya kita mencari dan menyelidiki kehendak Tuhan dengan perasaan yang halus dan tajam;
c) bantuan dari pihak "persekutuan segala orang kudus". Di dalam mencari kehendak Tuhan, orang
Kristen pun dipanggil untuk saling menolong; d) mengambil keputusan menurut keinsafan batin di
hadirat Allah. Kita sekalian dipanggil supaya mengambil keputusan dihadapan Tuhan menurut suara hati
yang bersih (Roma 14:5).

Sumber-sumber hidup baru diantaranya adalah: a) Pembenaran oleh iman (justification sola fide).
Bahwa manusia tidak dapat dibenarkan dengan melakukan tuntutan Taurat; b) Pengudusan
(sanctification) hidup kita oleh Tuhan Yesus dan Roh Kudus. Kristus telah diberikan kepada kita dan
menjadi pengudusan kita. Dalam Yohanes 15 misalnya kita jumpai firman Tuhan Yesus kepada murid-
murid-Nya sebagai berikut: "Kamu memang sudah bersih karena firman yang telah Kukatakan
kepadamu" (Yoh 15:3). Pengudusan bukanlah hasil daya upaya manusia, tetapi dari permulaan sampai
akhirnya pengudusan itu adalah pekerjaan Yesus Kristus dan Roh Kudus. Kepada anak-anak Allah, yang
di dunia ini sedang dalam perjalanan hidupnya, diberikan doa berkat rasuli sebagai bekalnya, yakni:
"Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu
sekalian" (2 Kor 13:13). Tanpa kasih karunia, tanpa kasih, tanpa persekutuan, tak mungkinlah hidup baru
itu!

Beberapa aliran dalam gereja Kristen beranggapan, bahwa kesempurnaan dan keadaan tak
berdosa sama sekali itu sudah dapat dicapai di dalam batas-batas kehidupan di dunia ini. Aliran ini
disebut perfeksionisme (artinya sempurna). Ada juga aliran-aliran yang bertendensi perfeksionisme,
walaupun tendensi itu tidak menguasai seluruhnya, misalnya Metodisme. Ayat-ayat dari Alkitab yang
biasanya dikutip dalam kitab-kitab perfeksionistis itu ialah:
1. Pada Galatia 6:15 Paulus berkata bahwa orang yang ada di dalam Kristus adalah suatu "ciptaan
bam", yang lama sudah lampau.
2. Tuhan Yesus berfirman bahwa orang yang telah dimerdekakan oleh kebenaran, bukan lagi seorang
budak atau hamba, tetapi sungguh-sungguh merdeka (Yoh 8).
3. Yesus telah mengajukan tuntutan-Nya: Haruslah kamu sempurna seperti Bapamu yang di sorga
adalah sempurna (Mat 5:48).
4. Paulus mengadakan perbedaan antara orang yang masih muda, belum matang, belum sempurna
(1 Kor 2:6). Dalam surat Ibrani diadakan perbedaan antara orang yang masih "kanak-kanak".

Menurut Bonhoeffer, kompromi adalah sikap manusia yang menyesuaikan diri dengan dosa.
"Perfeksionisme berbuat seolah-olah akhir zaman telah tiba". Kompromi menyerah kepada keadaan dan
kehilangan kerinduan akan hal yang masih akan datang, yakni: kesempurnaan. Perfeksionisme tidak
melihat kenyataan dosa. Kompromi tidak melihat kenyataan "pekerjaan Kristus dan Roh Kudus". Apabila
kita sungguh-sungguh hidup dari kasih karunia, maka kita tentu akan menolak baik kompromi maupun
perfeksionisme atau radikalisme. Dan berdoalah kitakepada Roh Kudus: "Tuhan akan menyelesaikannya
bagiku" (Mzm 138:8) dan "Yesus yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan" (Ibr 12:2).
Kata "tobat"terdapat dalam berbagai agama dan ibadat. Dalam agama Buddha kerapkali dikatakan
tentang tobat, tentang berpaling. Barangsiapa berbalik , maka Buddha telah bangun, bertobat, telah
dapat "melihat". Jadi, di dalam agama Buddha, tobat itu berpaling dari kehidupan dunia dan menuju
nirwana. Di dalam agama Islam tawba adalah berpaling dari dosa dan berjalan kebali kepada Tuhan. Di
dalam agama Islam, tawba itu dipandang sebagai suatu perbuatan yang berpahala. Makanya tawba
berarti: tidak lagi memikirkan siapapun juga, kecuali Tuhan saja dan tertenggelam di dalam-Nya. Di
dalam filsafat Yunani, tobat (metanoia dan catharsis) berarti bahwa manusia membersihkan batinnya
dari segala keinginannya. Manusia haruslah membalikkan batinnya, mengubah diri, membersihkan diri
agar dengan demikian ia dapat mencapai perdamaian dan kekebalan (Yunani: ataraxia; Inggris:
nonattachment). Haruslah ia berbalik dari kebodohan kepada hikmat yang sejati, yang telah mencapai
kekebalan, tidak lagi memerlukan tobat, demikian pandangan filsafat Yunani.

Dalam Kitab Perjanjian Lama terdengar panggilan atau seruan untuk bertobat, terutama pada nabi-nabi
Israel. Kata Ibrani untuk tobat ialah syub, artinya membalikkan diri, memalingkan diri, kembali. Istilah
yang plastis ini melukiskan di dalam angan-angan kita seorang manusia yang berjalan kea rah yang salah.
Pada suatu saat, jalannya terhenti oleh sesuatu, lalu berbaliklah ia, kemudian melanjutkan
perjalanannya kea rah yang benar. Jadi tobat ialah suatu perubahan yang radikaldi dalam sikap kita
terhadap Tuhan.Apabila kita bertanya kepada nabi-nabi, "Siapakah yang mengerjakan tobat?", maka
jawab mereka serempak: "Tuhanlah yang mengerjakannya. Anugerah-Nya yang mengerjakannya, kasih-
Nya, setia-Nya, belas kasihan-Nya yang menggerakkan kita kepada tobat".
Akan tetapi dalam kitab Perjanjian Baru kita lihat, bahwa pada Yohanes Pembaptis dan Yesus, kata tobat
itu memunyai lagi arti yang dalam seperti yang terdapat pada nabi-nabi Israel. Dalam KItab Perjanjian
Baru terdapat dua kata Yunani untuk kata tobat itu. Kedua kata itu saling melengkapi. Kata yang paling
banyak dipakai ialah: metanoia,artinya: berubah di dalam. Berkehendak, bertujuan, berkeinginan dan
bercita-cita lain daripada dulu. Kata lainnya ialah: epistrophe artinya berbalik dan juga berkelakuan lain
daripada dulu si dalam praktik kehidupan. Metanoia adalah pemberian dan panggilan juga. Panggilan
kepada tobat barulah dapat dipahami dan ditaati di mana pemberian (yang berupa tobat itu) diterima
secara kanak-kanak menerimanya.
Apakah sebenarnya yang dimaksudkan Paulus dengan kematian atau mematikan atau menanggalkan
manusia lama? Mematikan manusia lama adalah pertama-tama dengan tulus hati menyesali dosa.
Barangsiapa hanya menyesal karena dosanya, ia tidak menyesal dengan sungguh hati. Menyesal dengan
sungguh hati dan dengan tulus hati ialah menyesali dosa itu sendiri dan menyesali pelanggaran terhadap
kasih dan kesetiaan Tuhan. Yang mengherankan dalam Mazmur 51, penyesalan dosa ini ialah bahwa
unsure yang terdalam bukanlah takut akan hukuman, bukan pula takut akan akibat-akibat dosa itu,
bukan pula takut akan merosotnya derajatnya di mata manusia, tetapi yang menyebabkan kepedihan
hatinya sedalam itu ialah bahwa ia telah merusak hubungannya dengan Tuhan (Mzm 51:6). Gejala kedua
dari kematian manusia lama ialah: pengakuan dosa. Dimana Yesus mengerjakan penyesalan yang
sungguh-sungguh di dalam hati kita, maka di situlah pula penyesalan itu diikuti oleh pengakuan dosa.
Pengakuan dosa si anak yang hilang barulah sungguh-sungguh dan dengan tulus hati, ketika tangan
ayahnya memeluknya dan setelah diberinya cium pengampunan (Luk 15). Tidak seorang pun yang dapat
bersikeras dan bersitegang leher, setelah ia mengenal pengampunan itu. Bagi bapa yang menerima
kembali anak-anaknya yang hilang, akan terbukalah banyak hati dan mulut untuk mengucapkan
pengakuan dosa.Hal yang ketiga dari kematian manusia lama ialah "membenci dan menjauhkan diri dari
dosa". Tobat dengan sungguh-sungguh adalah selalu bersamaan dengan dan disertai oleh "membenci
dan menjauhkan diri dari dosa". Bertobat dengan sungguh hati tidak berarti menyerah saja kepada dosa,
tetapi bergumul, berjuang mati-matian, berperang melawan dosa dengan kesadaran bahwa Yesus
adalah Pemenang. Membenci dan menolak dosa ini berlangsung terus sampai akhir hidup kita.
Tobat tidak hanya terdiri dari kematian manusia lama dan "pembunuhan" tabiat kita yang lama secara
aktif, tetapi juga dari "kebangkitan manusia baru." Di dalam Katekismus Heidelberg berdasarkan Alkitab,
bunyinya: "Itulah kesukaan sepenuhnya dalam Allah karena Kristus serta kasih dan keinginan akan hidup
menurut kehendak Allah dan bermuat amalan". Di dalam Alkitab setiap kali seolah-olah terdengarlah
suara reveil (tanda harus bangun): Bangunlah! Tanggalkan pakaian tua, pakaian dosa itu! Kenakanlah
manusia baru. Dengan kekuatan kebangkitan Kristus (Efesus 4:22-24)
Di dalam sejarah Etika Kristen hidup baru itu sering dirumuskan dengan mengikut Kristus. Perumusan ini
sangat penting, karena ada dua macam sebab. Pertama, karena di dalam perumusan ini hubungan yang
erat antara hidup baru dan Yesus Kristus kelihatan sangat jelas. Di dalam berbagai perumusan tentang
hidup baru dan Taurat. Di dalam perumusan "mengikut Kristus" diterangkan hubungan antara Yesus dan
hidup baru. Dialah pokok anggur dan kita ranting-rantingnya (Yoh 15). Barangsiapa mengikuti Kristus,
maka yang diikuti ialah Dia yang dibuang dan disalibkan oleh dunia.
Menurut Perjanjian Lama, istilah "mengikut" dengan jelas dalam pergumulan antara Nabi Elia dengan
nabi-nabi Baal di Bukit Karmel (1 Raj 18). Di situ bangsa Israel disuruh memilih: "Berapa lama lagi kamu
berlaku timpang dan bercabang hati? Kalau Tuhan itu Allah, ikutlah Dia, dan kalau Baal, ikutlah dia." Di
dalam Perjanjian Baru, "ikutlah Aku", itulah panggilan yang dipakai oleh Yesus untuk mengumpulkan
murid-murid-Nya. Panggilan itu tidak berarti, bahwa Yesus meminta murid-murid-Nya supaya mereka
meniru-niru Dia, tetapi supaya mereka menyerahkan diri kepada-Nya dan berjalan di jalan yang
ditempuh-Nya (Markus 8:34-35). Segala yang diajarkan Alkitab kepada kita tentang mengikut Kristus itu
oleh Martin Luther disimpulkan dalam rumus singkat bahasa Latin, sebagai berikut: Non imitation fecit
filios, sed filiatio fecit imitators. Artinya: "Mengikut Kristus tidak membuat kita menjadi anak-anak Allah,
tetapi diterimanya kita menjadi anak-anak itulah yang membuat kita menjadi pengikut-pengikut
Kristus".
Segi-segi yang diterangkan di dalam istilah "mengikut Kristus" ini ialah: 1) Kehidupan Kristen ialah hidup
di bawah anugerah kekuasaan Yesus Tuhan yang disalibkan dan bangkit kembali dari mati; 2) kehidupan
yang memunyai tanda-tanda "penyangkalan diri" dan "mengangkat salib"; 3) kehidupan Kristen
membuat kita menjadi "orang asing" di dunia ini karena kita mengikut Yesus. "Karena kewargaan kita
adalah di dalm sorga, dan dari situ juga kita menantikan Tuhan Yesus Kristus sebagai Juruselamat" (Filipi
3:20; Ibrani 11); 4) Barangsiap mengikut Yesus, ia ikut pula di dalam sengsara Yesus Kristus; 5) Yesus
Kristus bukan hanya menjadi Pembebas dan Pendamai bagi mereka yang mengikut-Nya, tetapi Ia pun
menjadi teladan bagi mereka.
Sesungguhnya Kristus telah membebaskan kita dari kutuk Taurat; itu tidak berarti bahwa Taurat telah
kehilangan segala artinya di dalam hidup orang-orang beriman. Anugerah Yesus Kristus menimbulkan
suatu keajaiban, suatu mukjizat, yakni: bahwa anugerah, yang membebaskan kita dari ancaman dan
kutuk, menggerakkan kita juga kepada ketaatan dengan sukarela kepada perintah-perintah Tuhan.
Paulus menguraikan tentang kebebasan, maka ditulisnyalah: "Jika demikian, apakah yang hendak kita
katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya bertambah kasih karunia itu?. Sekali-kali tidak!
Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?" (Roma 6:1-2).
Kristus telah membebaskan kita dari kutuk hukum Taurat "supaya tuntutan hukum Taurat digenapi di
dalam kita, yang tidak hidup menurut daging, tetapi menurut Roh" (Roma 8:4). Anugerah itu tidak
meniadakan (membatalkan) hukum Taurat, tetapi Taurat itu diteguhkannya. Oleh anugerah itu
terjadilah ketaatan sukarela kepada hukum Taurat.
Ringkasan tentang soal kebebasan Kristen di dalam praktik hidup. "Segala sesuatu itu halal". Ya segala
sesuatu! Segala sesuatu yang sesuai di dalam lingkungan kekuasaan Yesus, yang anugerah-Nya boleh
kita terima menjadi pangkal hidup kita. "Segala sesuatu itu halal", ya, tetapi haruslah kita ingat kepada
sesama manusia dan kepada pembangunan jemaat. "Segala sesuatu itu halal", ya, tapi penggunaan
kebebasan itu haruslah diuji dan diawasi oleh kasih sebagai norma yang diperintahkan oleh Tuhan
kepada kita, agar kita jangan menjadi batu sandungan bagi sesama manusia.
Dalam Kitab Perjanjian Baru, hidup baru itu kerap kali digambarkan sebagai perjuangan. Kadang-kadang
diumpamakan juga dengan gelanggang perlombaan, di mana pelari harus menguji kekuatannya dengan
berlari di gelanggang yang berupa tanah pasir dan harus belajar bertahan hingga akhirnya memperoleh
karangan bunga sebagai tanda kemenangan (Ibr 12:1,2). Paulus mempergunakan perumpamaan yang
sama pula ketika dibangkitkannya semangat Timotius, katanya: "Bertandinglah dalam pertandingan
iman yang benar" (1 Tim 6:12). Timotius dibangkitkannya kepada "pertandingan yang benar" (agona to
kalon). Demikian pula Paulus menerangkan bahwa ia telah mengakhiri pertandingan yang benar dan
telah menerima mahkota kebenaran tanda kemenangan (2 Tim 4:7).
Kehidupan Kristen merupakan suatu perjuangan sampai saat meninggal dunia, sebab manusia yang telah
mulai dengan hidup baru selalu mengalami perlawanan, daya-daya yang menahannya kuasa rohani
musuh. Daya-daya penahan dan kuasa-kuasa rohani musuh manakah yang melawan hidup baru itu?
Pertama, Alkitab mengarahkan perhatian kita kepada perlawanan yang timbul dari tabiat kita sendiri
yang fasik itu. Kedua, Alkitab megarahkan perhatian kita kepada dunia. "Dunia" itu hendak menggoda
kita, supaya kita jangan lagi setia kepada Kristus. Ketiga, kekuasaan rohani yang disebutkan oleh Alkitab
ialah kekuasaan si jahat.
Dalam bahasa Yunani, yakni bahasa asli yang dipakai untuk Kitab Perjanjian Baru, pada pokoknya
terdapat tiga macam kata untuk kata kasih itu, yakni: "Erao" (yang ada hubungannya dengan eros),
philein dan agapan (kata agape ditafsirkan dari agapan itu). Daslam bahasa Yunani kata Erao dan Eros itu
mula-mula berarti kasih, di dalam arti birahi, cinta birahi, cinta yang disertai hawa nafsu, asamara.
Dalam mitologi Yunani "eros" itu diperdewakan dan dipuja dalam keadaan mabuk nafsu. Kata yang
kedua ialah "philein" yang artinya adalah kasih antara orangtua dan anaknya, antara kawan dan kawan,
antara teman sekerja dan teman sekerja lainnya. Kata yang ketiga adalah "agapan". Mengandung arti :
kasih yang memilih seseorang, kasih yang setia antara manusia dan manusia.
Pertama-tama, kasih di dalam bentuk perikemanusiaan yang sejati. Dalam Alkitab bentuk kasih itu
digambarkan dengan cara mengharukan di waktu kunjungan Yesus kepada orang sakit selama 38 tahun
di Betesda (Yoh 5:1-18). Kedua, kasih dalam bentuk belas kasihan. Belas kasihan yang disertai
perbuatan, yang dilakukan di dalam praktik, belas kasihan terhadap kesengsaraan sesama manusia.
Contoh klasik yang menyaksikan hal itu ialah perumpamaan "orang Samaria yang Murah hati" dan cara
Yesus bergaul dengan orang banyak. Ketiga, bentuk kasih yang lain ialah kesabaran, lembut hati,
mengasihi musuh, kesediaan melayani, kesediaan memberi pengorbanan. "Dan sekali pun aku membagi-
bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku
tidak memunyai kasih, sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku" ( 1 Kor 13:3).
Dalam Kitab Perjanjian Lama, terutama dalam pemberitaan nabi-nabi , umat Tuhan dibangkitkan,
digerakkan supaya berpengharapan, supaya menanti-nantikan dengan kerinduan akan pertolonan
Tuhan. "Berbahagialah orang yang menaruh kepercayaannya kepada Tuhan, yang tidak berpaling
kepada orang-orang angkuh" (Mzm 40:5). Paulus berkata: "Setiap orang yang menaruh pengharapan itu
kepada-Nya, menyucikan diri sama seperti Dia yang adalah suci" (1 Yoh 3:3). Alasan pengharapan Kristen
itu mengeluarkan daya yang membarukan ialah: Pertama, karena pengharapan Kristen mengandung
kepastian, bahwa dunia baru sungguh-sungguh datang. Kedua, pengharapan itu memenuhi hati
kitadengan kegembiraan.Ketiga, pengharapan itu menempatkan kita dibawah disiplin Kerajaan yang
akan datang (1 Kor 15:32-34). Keempat, pengharapan kepada Yesus membuat kita dapat membedakan
mana yang berharga dan mana yang baik, mana yang akan berlalu dan mana yang tetap (Luk 12:20).
Kelima, pengharapan kepada Yesus itu keluar daya yang membersihkan, memurnikan, menguduskan,
oleh sebab orang mulai dengan membersihkan diri sendiri (1 Yoh 3:3).

Nilai-nilai yang terkandung dalam etika dan moral Kristen adalah nilai-nilai bersumber dari Firman
Tuhan. Nilai-nilai yang diyakini umat beragama sebagai kebenaran mutlak dan karena itu mengungguli
nilai-nilai yang ada dalam tradisi maupun filsafat, termasuk filsafat politik.[2]

Landasan Filosofis Etika

Robert C. Solomon menghubungkan rumusan etika dengan filsafat. Ia mengatakan bahwa etika adalah
bagian dari filsafat yang meliputi hidup baik, menjadi baik, berbuat baik dan menginginkan hal-hal yang
baik dalam hidup. Demikian juga menurut Magnis suseno dalam Etika Jawa. Ia mengatakan,"Etika dalam
arti sebenarnya berarti "filsafat" mengenai "moral". Jadi, etika merupakan ilmu atau refleksi sistematik
mengenai pendapat-pendapat, norma-norma dan istilah moral.[3]
Dalam bahasa Yunani Filsafat berasal dari gabungan dua suku kata, yakni filia (cinta) dan sofia
(kebijaksanaan). Secara harafiah, filsafat berarti cinta akan kebijaksanaan. Seorang filsuf adalah seorang
yang cinta akan hikmat kebijaksanaan. Etika juga berhubungan erat dengan akal budi dan kesadaran
dalam melakukan sesuatu sehingga etika termasuk ilmu pengetahuan dan bagian dari filsafat hidup.
Peran akal budi untuk mencari hal yang baik itulah yang menghubungkan antara etika dan filsafat.
Dalam hal ini J. Verkuyl menyimpulkan bahwa ada bentuk-bentuk etika filsafat yang meliputi:

a. Etika Otonom

Dalam bahasa Yunani otonom berasal dari dua suku kata, yaitu aouto atau autosyang berarti sendiri,
pribadi, perorangan, dan nomos yang berarti aturan, hukum, ketentuan. Etika Otonom adalah etika yang
aturannya bersumber dari diri sendiri atau etika yang bersumber pada diri sendiri, pada hidup pribadi.
Ego atau akulah yang membuat peraturan.

b. Etika Heteronom
Dalam bahasa Yunani Heteronom berasal dari dua suku kata, yaitu hetero yang berarti bermacam-
macam dan nomos. Etika Heteronom adalah etika yang aturannya bersumber dari orang banyak.
Masyarakatlah yang membuat aturan.
c. Etika Theonom

Dalam bahasa Yunani theonom berasal dari dua suku kata, yaitu Theos yang berarti Allah dan nomos.
Etika Theonom adalah etika yang aturannya bersumber pada firman Allah atau penyataan Allah. Misal,
dalam Perjanjian Lama ada norma hukum yang disebut Hukum Sepuluh Perkara atau Dekalog atau
Sepuluh Firman (Kel. 20:1-17) dan dalam Perjanjian Baru disebut hukum kasih (Mat. 22:37-40; Mrk.
12:30-31).[4]
Maka dari pendapat para ahli di atas dapat di simpulkan bahwa Etika Kristen adalah Ilmu yang meneliti,
menilai dan mengatur tabiat dan tingkah laku manusia dengan memakai norma kehendak dan perintah
Allah sebagaimana dinyatakan dalam Yesus Kristus.
B. PANDANGAN KRISTEN MENGENAI ETIKA

Ada beberapa karakteristik yang membedakan mengenai etika-etika Kristen, setiap karakteristik
tersebut akan dibahas sebagai berikut:
a. Etika Kristen Berdasarkan Kehendak Allah

Etika Kristen merupakan satu bentuk sikap yang diperintah dari atas. Kewajiban etis merupakan sesuatu
yang seharusnya kita lakukan. Kewajiban ini merupakan ketentuan dari atas. Tentu saja, perintah etis
yang diberikan Allah itu sesuai karakter moral-Nya yang tidak dapat berubah. Maksudnya adalah, Allah
menghendaki apa yang benar sesuai dengan sifat-sifat moral-Nya sendiri. "Jadilah kudus, sebab Aku ini
kudus", Tuhan memerintahkan Israel (Imamat 11:45). "Karena itu haruslah kamu sempurna, sama
seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna', kata Yesus kepada murid-muridnya (Matius 5:48).
"Allah tidak mungkin berdusta" (Ibrani 6:18). Dengan demikian kita tidak boleh berdusta juga. "Allah
adalah kasih" (1 Yohanes 4:16), dan dengan demikian Yesus berkata,"Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri" (Matius 22:39). Singkatnya, etika Kristen didasarkan pada kehendak Allah, tetapi
Allah tidak pernah menghendaki apapun yang bertentangan dengan karakter moral-Nya yang tidak
berubah.
b. Etika Kristen Bersifat Mutlak

Karena karakter moral Allah tidak berubah (Maleakhi 3:6; Yakobus 1:17), maka kewajiban-kewajiban
moral yang berasal dari natur-Nya itu bersifat mutlak. Maksudnya adalah, kewajiban-kewajiban tersebut
selalu mengikat setiap orang di mana-mana. Tentu saja, tidak setiap kehendak Allah harus berasal dari
natur-Nya yang tidak berubah. Ada beberapa hal yang pada dasarnya sesuai dengan natur-Nya tetapi
dengan bebas mengalir dari kehendak-Nya. Misalnya, Allah memilih untuk menguji ketaatan moral
Adam dan Hawa dengan melarang mereka makan buah dari pohon tertentu (Kejadian 2:16-17).
Meskipun secara moral Adam dan Hawa bersalah karena tidak menaati perintah itu, kita tidak diikat
oleh perintah tersebut saat ini. Perintah tersebut didasarkan pada kehendak Allah dan tidak harus
berasal dari natur-Nya.
c. Etika Kristen Berdasarkan Wahyu Allah

Etika Kristen didasarkan pada perintah-perintah Allah, wahyu yang bersifat umum (Roma 1:19-20;
2:1215 dan khusus (Roma 2:18; 3:2). Allah telah menyatakan diri-Nya baik melalui alam (Mazmur 19:1-
6) dan dalm Kitab Suci (Mazmur 19:7-14). Wahyu umum berisikan perintah Allah bagi semua orang.
Wahyu khusus mendeklarasikan kehendak-Nya untuk orang-orang percaya. Etapi di dalam kedua hal
tersebut, dasar dari tanggung jawab etis manusia adalah wahyu ilahi.
Gagal untuk mengenali Allah sebagai sumber kewajiban moral tidak membebaskan siapapun juga,
bahkan seorang ateis, dari kewajiban moralnya. Karena "apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki
hukum Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang dituntut hukum Taurat, maka, walaupun
merekatidak memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi diri mereka sendiri. Sebab
dengan itu mereka menunjukkan, bahwa isi hukum Taurat ada tertulis di dalam hati mereka" (Roma
2:14-15). Maksudnya adalah, bahkan jika orang-orang yang tidak percaya tidak memiliki hukum moral di
dalam pikiran mereka, mereka masih memilikinya tertulis dalam hati mereka. Bahkan jika mereka
mengetahuinya melalui pengertian, mereka memperlihatkannya melalui kehendak hati.
d. Etika Kristen Bersifat Menentukan

Karena kebenaran moral ditetapkan oleh Allah yang bermoral maka harus dilaksanakan. Tidak ada
hukum moral tanpa si Pemberi moral; tidak ada perundang-undangan moral tanpa Pembuat undang-
undang moral. Dengan demikan etika Kristen berdasarkan naturnya adalah preskriptif, bukan deskriptif.
Etika berkaitan dengan apa yang seharusnya dilakukan, bukan dengan apa yang sebenarnya sedang
terjadi. Orang-orang Kristen tidak menemukan kewajiban-kewajiban etis mereka di dalam standar
orang-orang Kristen tetapi di dalam standar bagi orang-orang Kristen di Alkitab.
e. Etika Kristen Itu Deontologis

Sistem-sistem etis pada umumnya dapat dibagi ke dalam dua kategori, deontologis (berpusat pada
kewajiban) dan teleologis (berpusat pada tujuan). Etika kristen itu deontologis dalam arti bersikeras
bahwa beberapa tindakan yang menghasilkan ke gagalan itu tetap baik. Orang-orang Kristen percaya,
misalnya, bahwa adalah lebih baik untuk mengasihi dan kehilangan dari pada tidak mengasihi sama
sekali.
Orang-orang Kristen percaya bahwa salib bukan merupakan kegagalan hanya karena beberapa orang
akan diselamatkan. Salib itu cukup bagi semua orang, walaupun hanya bermanfaat untuk mereka yang
percaya. Etika Kristen bersikeras bahwa adalah baik untuk bekerja menentang kefanatikan dan rasisme,
meskipun usaha itu mengalami kegagalan. Hal ini demikian karena tindakan-tindakan moral yang
mencerminkan natur Allah itu baik, baik tindakan itu membawa hasil baik ataupuntidak. Kebaikan orang
Kristen tidak di tentukan oleh undian. Di dalam hidup ini pemenang tidak selalu benar.[5]

C. ASAS-ASAS ETIKA KRISTEN


a. Iman

Untuk membicarakan hal ini, kita perlu meninjau terlebih dahulu bahwa hakekat kemanusiaan kita
adalah citra Allah (Kej. 1:26-27). Citra Allah itu meliputi gambar Allah (imago Dei) dan teladan Allah
(similitodo Dei). Ini merupakan kelengkapan manusia yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia untuk
melakukan tuga-tugas yang telah diberikan-Nya. Citra Allah adalah potret atau bayangan yang
mempunyai kesamaan sifat. Namun satu hal yang harus kita ketahui adalah kecitraan manusia dengan
Tuhan terkait dengan tugas manusia. Manusia memang segambar dengan Tuhan tetapi bukan sifat atau
keadaan atau tabiat yang imanen dalam diri manusia melainkan kedudukan manusia yang diperoleh
karena berhadapan dengan Tuhan atau karena bersangkut paut dengan Tuhan. Manusia mencerminkan
atau memantulkan cahaya kemulian Tuhan Allah. Citra Allah dimiliki manusia ketika manusia berada di
Eden atau Firdaus.[6]
Manusia yang diciptakan sesuai dengan citra Allah inilah yang ditugasi untuk menguasai atau
memerintah dunia dan segala makhluk. Menguasai dan memerintah dalam hal ini berarti memelihara,
mengusahakan dan membangun (Kej. 1:28, 2:15). Akibat citra tersebut, manusia didudukkan sebagai
wakil atau "Gubernur" Allah atau sebagai penguasa di dunia ini. Sedangkan seorang Gubernur tidak
memerintah atas namanya sendiri, tidak berdaulat sendiri tetapi hanya seorang wakil atau duta.
[7]Manusia dan semua makhluk lainnya adalah milik Tuhan. Kita adalah milik Tuhan dan bukan milik kita
sendiri. Berkaitan dengan tugas kita untuk memelihara, mengusahakan, dan membangun, timbul
pertanyaan etis, yaitu apa yang seharusnya dilakukan manusia?.[8]
Perbuatan dan tindakan manusia langsung berhubungan dengan etika. Sedangkan etika sendiri memberi
kepada kita pokok-pokok pertimbangan sebagai pengambilan keputusan etis untuk apa yang perlu dan
harus kita lakukan. Ciri khas Etika Kristen adalah dimensi Kristen. Dimensi Kristen inilah yang
membedakan antara Etika Kristen dan Etika Sosial atau etika pada umumnya atau etika yang lain. Itulah
sebabnya asas atau titik pangkal Etika Kristen adalah iman kepada Tuhan yang telah menyatakan diri
dalam Tuhan Yesus. Didalam diri-Nya kita dapat mengenal Allah Bapa, Pencipta segala sesuatu. Tuhan
adalah pemberi tujuan hidup. Kegiatan Tuhan untuk memelihara setiap makhluk adalah Allah Pendamai,
Allah Penebus, dan Allah Pembebas melalui karya Sang Anak dan Roh Kudus.[9]
Perbuatan etis kita adalah perbuatan baik sebagai terjemahan atau ekspresi dari iman kita karena kita
telah dibenarkan oleh iman kepada Kristus oleh Tuhan (Rm. 3:22; Gal. 2:16). Hal itu juga karena kita
telah diselamatkan oleh Tuhan Yesus Kristus Sang Juruselamat itu. Iman berkaitan erat dengan
perbuatan. Oleh sebab itu, apabila iman tanpa perbuatan, iman itu menjadi mati atau kosong (Yak. 2:17,
22).[10]
b. Pengakuan tentang Manusia

Asas atau titik pangkal Etika Kristen adalah iman, karya Tuhan dan Pemeliharaan-Nya terhadap semua
makhluk. Dari sini Etika Kristen memperhatikan tindakan manusia karena pada hakikatnya "...sebab
segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-
lamanya" (Rm. 11:36). Tinjauan secara dogmatis, Etika Kristen juga berasas atau bertitik pangkal pada
pengakuan tentang manusia. Manusia memang berhadapan langsung dengan masalah-masalah atau
kasus-kasus yang konkret yang ada dalam pergumulan hidup sehari-hari. Oleh sebab itu, etika
mempunyai misi khusus dalam kehidupan manusia. Itu sebabnya pula, mengapa kasus-kasus yang
konkret tersebut menjadi bagian yang utama dari setiap pembicaraan etis.[11]
c. Manusia Dengan Tingkah Lakunya

Etika memang menyoroti kehidupan manusia dengan tingkah lakunya. Manusia menilai manusia lain.
Hal itu dapat dilihat dari tindakan dari tingkah lakunya. Dalam hal ini, Poedjatna mengatakan bahwa
penilaian itu diambil secara luas, nilai akan bermacam-macam jenisnya. Nilai adalah a) penilaian etis-
moralis yang berkaitan dengan kelakuan baik dan buruk, b) penilaian medis yang berhubungan dengan
kesehatan seseorang, dan c) penilaian estetik yang berkaitan dengan keindahan.[12]
Etika Kristen harus dilihat dan dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kehendak Tuhan. Hal ini
penting, sebab tindakan dinilai benar adalah tindakan yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Sedangkan
mencari kehendak Tuhan sama seperti mencari Tuhan itu sendiri. Sebaliknya, tindakan yang tidak sesuai
dengan kehendak-Nya adalah tidak benar atau jahat. Tindakan itu tidak sesuai dengan Etika Kristen. Nilai
tersebut harus dilihat dari ekspresi seseorang yang mencerminkan kehendak-Nya.[13]
Tindakan yang disengaja dan sesuai dengan kehendak Tuhan adalah tindakan etis. Namun, ada tindakan
lain dalam situasi yang sangat khusus yang sering kita hadapi dalam situasi faktual. Berkaitan dengan hal
itu, dalam Etika Jawa dikenal dengan dora sembala (berbohong tetapi dianggap baik). Etika dora sembala
sebenarnya dapat dikatakan sebagai; kejahatan kecil yang menyelamatkan. Misal, pada zaman
penjajahan Belanda, seorang gerilyawan Indonesia yang beragama Kristen ditangkap dan dipaksa untuk
mengatakan atau mengaku dimana teman-temannya berada dan berapa jumlah kekuatan senjatanya.
Apabila ia menjawab jujur dan benar, akibatnya sangat fatal. Oleh sebab itu ia berbohong demi
keselamatan teman-temannya dan perjuangannya. Sekarang marilah kita nilai. Bagaimanakah peristiwa
yang faktual tersebut dilihat dari segi Etika Kristen?[14]
Dalam situasi yang sangat sulit itu, berlakulah firman Tuhan dalam Dasa Titah nomor ke-9 yang berbunyi
"jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu" (Kel. 20:16)? Untuk itu kita akan terlebih dahulu
melihat kesaksian Alkitab tentang kejahatan manusia sebagai pengecualian etis, yaitu:
1. Dalam dialog antara orang Farisi dengan Tuhan Yesus, Dia mengatakan bahwa Musa mengizinkan
perceraian karena "ketegaran hatimu" (Mat. 19:8). Musa tahu bahwa hal itu jahat tetapi apa boleh buat.
Tuhan Yesus mengatakan, "Barang siapa yang menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin
dengan perempuan lain, ia berbuat zinah" (Mat. 19:9). Memang perceraian ditolak oleh-Nya, kecuali
...Jadi, hal ini termasuk kasus khusus dengan kesimpulan apa boleh buat.
2. Dalam 1 Korintus 7:1 Rasul Paulus menulis, "... Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak kawin ...".
Namun Paulus melanjutkan, "... tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah tiap laki-laki mempunyai
isterinya sendiri ..." (1 Kor. 7:2)...hal ini kukatakan kepadamu sebagai kelonggaran ..." (1 Kor. 7:6). Jadi
hal ini pun termasuk pengecualian atau tidak baik tetapi apa boleh buat.
Masalah yang sama pada zaman Modern ini adalah, misal, masalah perang, penindasan politik, politik
apartheid (ras diskriminasi) di beberapa bagian dunia ini, ketidakadilan dalam bidang sarana dan
prasarana hidup manusia dan sebagainya. Kita harus memikirkan bagaimana seorang Kristen dalam
kenyataan seperti itu. Persoalannya adalah sampai sejauh mana kita dapat berkompromi dengan
kenyataan seperti itu? Inilah persoalan etis-teologis.[15]
Dari uraian asas-asas di atas, Etika Kristen merupakan prinsip-prinsip yang didasari dari iman Kristen
yang menjadi dasar tindakan kita. Prinsip-prinsip Alkitab memberi kita standard yang harus kita ikuti
dalam situasi-situasi di mana tidak ada petunjuk yang tersurat. Dengan menggunakan prinsip-prinsip
yang kita temukan dalam Kitab Suci orang-orang Kristen dapat menentukan jalan yang harus ditempuh
dalam situasi apapun dengan penuh tanggung jawab tentunya.
D. Implementasi Etika Kristen dalam Tanggung Jawab Pribadi

Ciri etika Perjanjian Lama sangat sesuai dengan apa yang ditekankan dalam etika Perjanjian Baru.
Banyak perintah etis dalam Perjanjian Baru disampaikan dalam konteks persekutuan dalam Kristus, yaitu
jemaat yang hidup, belajar, dan beribadat bersama-sama serta melayani Kristus dalam dunia.[16]
Sebagai contoh, pasal-pasal utama tentang etika dalam Efesus 4 - 6 dimulai dengan panggilan untuk
"hidup berpadanan dengan panggilan". Itu berarti panggilan untuk menjadi anggota masyarakat Allah
yang baru, mujizat pendamaian sosial kerohanian yang telah diadakan-Nya melalui Kristus. Norma-
norma moral Pribadi dalam pasal-pasal itu dikemukakan atas dasar keanggotaan orang percaya sebagai
umat tebusan Allah, yang diuraikan secara terinci dalam pasal-pasal sebelumnya.
Dengan demikan salah satu cara yang mungkin untuk merakit sejumlah tuntutan moral yang Allah
embankan atas individu adalah membaca pasal-pasal yang terdahulu mengenai masyarakat Israel dan
menghasilkan suatu daftar yang mengandung implikasi-implikasi moral yang logis bagi individu.[17]
Misalnya, kalau Allah menginginkan masyarakat yang memberlakukan prinsip kesetaraan dan belas
kasihan dalam bidang ekonomi, maka tiap-tiap orang dituntut untuk tidak menguntungkan diri sendiri
dari kelemahan sesamanya. Kalau Allah menginginkan masyarakat hidup dengan adil dan diatur oleh
hukum-hukum, maka hakim-hakim secara perorangan harus adil, tidak memihak ataupun menyeleweng.
[18]
Dengan demikian orang dapat hidup sesuai dengan ciri-ciri sosial secara keseluruhan dan menarik hal-
hal yang perlu bagi pribadi. Yang ditekankan ialah soal perspektif, yaitu: sifat persekutuan yang Allah
Kehendaki dan menentukan sifat pribadi yang berkenan kepada-Nya. Dalam etika Perjanjian Lama
unsur-unsur sosial dan pribadi tidak dapat dipisahkan.[19]
Kewajiban masing-masing pemain sepak bola dalam suatu kesebelasan tidak berkurang karena
latihannya bertujuan agar para pemain dalam kesebelasan itu secara bersama-sama dapat memenuhi
harapan-harapan pelatih mereka dan memenangkan pertandingan. Demikian juga, walaupun Perjanjian
Lama menekankan kewajiban bersama dari tuntutan moral Allah, namun kewajiban pribadi untuk untuk
hidup secara benar di hadapan Allah tidak pernah dilupakan atau dihilangkan.[20]
Ada pertanggung jawaban pribadi yang tersirat dalam pertanyaan yang Allah tujukan kepada Adam, "Di
manakah engkau" (Kej. 3:9), yang mencakup setiap orang yang diwakilinya. Demikian juga tanggung
jawab orang untuk sesamanya secara tersirat terdapat dalam pertanyaan Allah kepada Kain, "Di
manakah adikmu?" (Kej. 4:9). Pertanggungjawaban kepada Allah untuk diri sendiri dan untuk orang lain
adalah hakikat kemanusiaan kita.
Riwayat bangsa tebusan Allah dimulai dengan iman dan ketaatan seseorang, yaitu Abraham.Cerita
-cerita tentang para bapak leluhur adalah contoh-contoh tentang kekuasaan, pemeliharaan dan
kesabaran Allah itu di dalam kehidupan individu-individu, khususnya Yakub/Israel, yang menjadi jelas
dan penting dalam sejarah bangsa Allah.Di Sinai perjanjian Allah dan Abraham demi keturunannya
diperbarui dan diperluas hingga generasi yang menjadi umat tebusan Allah kemudian diterapkan kepada
tiap-tiap individu.Hubungan perjanjian itu pada hakikatnya bersifat kebersamaan: "Aku akan menjadi
Allahmu dam kamu akan menjadi UmatKu". "Janganlah engkau mempunyai allah-allah lain di
hadapanKu".Hal ini juga berlaku untuk seluruh DasaTitah dan sejumlah hukum yang terinci dan penting
dalam kelima KitabTaurat.Kumpulan hukum yang paling tua "Kitab Perjanjian.(Kel.21-22), secara hukum
berlaku berdasarkan tanggungjawab dan kewajiban individu dalam hukum.

Anda mungkin juga menyukai