Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN:

BERKENALAN DENGAN TEOLOGI MORAL

Teologi moral sering dianggap sebagai etika perilaku manusia dalam terang iman oleh karena
moral atau etika dihubungkan dengan perilaku manusia yang beriman. Teologi moral berbicara tentang
tindakan-tindakan atau perilaku apa yang baik dan pantas dilakukan seseorang dalam kehidupan setiap
hari atau dalam situasi-situasi tertentu.
Teolog modern, yang dipelopori oleh Josef Fuchs dan Bernard Haring mengubah arah dan
orientasi teologi moral. Teologi moral tidak lagi berbicara mengenai “apa yang harus saya buat”
melainkan “saya harus berkembang menjadi manusia macam apa yang layak di hadapan Tuhan”.
Maksudnya jelas bahwa teologi moral adalah usaha seseorang untuk memperkembangkan diri sebagai
seorang murid Tuhan dalam kebersamaan dengan yang lain. Moral atau etika adalah jawaban manusia
terhadap panggilan Tuhan yang diwujudkan dalam tindakan sehari-hari. Orientasi ini akan memperkaya
teologi, pertama-tama sebagai sebuah teologi yang orientasi refleksinya tentang iman akan Allah dan
kedua sebagai sebuah antropologi kristiani yang orientasi refleksinya tentang manusia sebagai pribadi
religius yang dinamis.
1. Terminologi
1.1. Teologi
Secara etimologis, kata teologi berasal dari bahasa Yunani: theos-theou (Tuhan) dan logos (kata,
ajaran atau ilmu). Teologi adalah sebuah teks, sebuah ajaran tentang Tuhan. Teologi pada hakikatnya
adalah teks. Tuhan tidak pernah kita ketahui. Yang kita ketahui adalah selalu teks tentang Tuhan. Teks itu
tidak berarti medium dalam bentuk tertulis namun lebih sebagai mediasi/perantara antara “aku dan
Tuhan”.
1.2. Moral dan etika
Bentuk tunggal kata moral berasal dari bahasa Latin yaitu mos sedangkan jamaknya yaitu mores
yang masing-masing mempunya arti yang sama yakni kebiasaan, adat. Moral adalah nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau sekelompok orang dalam mengatur tingkah
lakunya.
Moral menunjukkan status kesadaran seseorang akan apa yang baik dan apa yang jahat dalam
bertindak. Pernyataan ini lebih mendorong kita untuk melihat moralitas sebagai penghayatan pribadi
seseorang yang diwujudkan dalam tindakan konkrit tanpa merasa adanya dominasi dari komunitas karena
ia bebas. Dasar moralitas seseorang adalah kebebasan yang merujuk pada bebas dari tekanan dan bebas

1
untuk mewujudkan dirinya sendiri sebagai bentuk pertanggungjawabnya untuk mengembangkan dirinya
dan sesamanya.
Moral selalu berhubungan dengan tindakan manusia, khususnya tentang baik-buruknya tindakan
itu. Baik-buruk inilah yang menentukan kualitas seseorang. Oleh karena itu, umumnya baik-buruk itu
dilekatkan sebagai sifat dan sikap yang menjadi predikat seseorang. Kualitas baik-buruk itu dinilai
berdasarkan kapasitasnya sebagai manusia yang mengacu pada hati, watak, karakter, sikap,
kepribadiannya, dalam keseluruhan dirinya.
Moral dan etika berhubungan erat. Keduanya tidak perlu dipersoalkan perbedaanya karena
mempunyai maksud yang sama, mempunya referensi yang sama yakni berbicara tentang apa yang baik
dan apa yang jahat dan mengenai norma-norma atau nilai yang menjadi dasar bertindak. Di samping itu
keduanya hendak menunjukkan kualitas seseorang dalam bertindak sebagai perwujudan
tanggungjawabnya terhadap dirinya dan sesamanya. Pada tindakan konkrit keduanya tidak dapat
dipisahkan: etika akan berusaha memberi pengertian dan guna dari suatu tindakan dan memberi
pertimbangan normatif yang mendasari tindakan itu, sedangkan moral akan menjalankan pertimbangan-
pertimbangan itu dalam tindakan konkrit. Etika lebih dihubungkan dengan analisa/teori, sedangkan moral
lebih dilihat sebagai pelaksanaan/eksekusi tindakan. Misalnya, ada norma yang berkata: hidup itu suci
karena berasal dari Allah dan karena itu harus dihormati (berarti etika, teori). Teori ini memberi alasan
untuk suatu tindakan misalnya: tidak boleh melakukan aborsi (moral).
Dari konsep di atas menjadi jelas bahwa etika dan moral berarti perilaku manusia yang ditentukan
oleh suatu komunitas tertentu di mana ia hidup, yang dalam arti obyektif sebagai kebiasaan atau adat, dan
dalam arti subyektif sebagai karakter. Melalui etika dan moral seseorang menggabungkan diri demi
kebaikan bersama.
1.3. Teologi moral
Teologi moral, atau kadang-kadang disebut juga etika kristiani, hendak memfokuskan diri pada
pembicaraan mengenai kehadiran Tuhan dan pengaruhNya terhadap kehidupan praksis manusia. Maka
yang menjadi perhatian utama dari Teologi Moral adalah bagaimana menjadi orang beriman dan tindakan
macam apa yang dapat dibuat untuk mewujudkan suatu hubungan yang harmonis dengan Allah.
Menjadi orang Kristen berarti menjadi murid Kristus. Menjadi murid berarti mengikuti Yesus
Kristus dan menjalani kehidupan sebagaimana yang dicontohkanNya sebagai tanggapan terhadap
panggilan Bapa di Surga. Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa fokus refleksi Teologi Moral adalah
“ada dalam Kristus” (essere in Cristo) agar orang dapat “bertindak dalam Kristus” (agire in Cristo)
sehingga dapat menghasilkan buah penebusan dalam Roh.
Berkaitan dengan “bertindak dalam Kristus”, Teologi Moral juga merefleksikan secara kritis
norma atau nilai dasariah manusia (misalnya keadilan, kehidupan, kebenaran, hak asasi manusia,

2
seksualitas, dll), sambil menunjukkan apa yang baik dan apa yang jahat, apa yang benar dan apa yang
salah, mana keutamaan dan mana dosa, agar orang berkembang menjadi seorang Kristen yang baik.
Teologi moral sebagai bagian dari teologi yang mempelajari dan menggumuli prinsip-prinsip
dasar yang membantu dan mengarahkan orang untuk membuat keputusan yang tepat untuk “bagaimana ia
bertindak” guna mencapai tujuan hidupnya dalam terang iman dan budi. Teologi moral lebih menekankan
terjemahan iman ke dalam tindakan nyata. Teologi moral adalah pengetahuan teologis tentang tindakan
manusia. Manusia dipanggil untuk melaksanakan ajaran sang Pencipta. Teologi moral menjelaskan
bagaimana seharusnya manusia hidup dan bertindak.
Moralitas kristiani diartikan sebagai berikut: Anda berbuat karena Anda mencintai Kristus dan
bukan karena Anda ingin berbuat demikian. Anda berbuat demikian karena Anda mengimani Kristus.
Anda melakukanya untuk menghargai Yesus. Contoh, Anda memberi segelas air kepada seseorang yang
haus. Moralitas kristiani akan melihatnya demikian: Anda memberi bukan pertama-tama karena orang
yang haus itu memintanya melainkan karena Anda adalah murid Kristus yang senantiasa mencintai
sesame. Anda memberi minum karena Anda mencintai Kristus atau melihat orang itu sebagai “tanda
kehadiran Kristus”: ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan, ketika Aku haus kamu memberi Aku
minum…” (bdk. Mt 25:31-46). Maka Teologi Moral merefleksikan iman sejauh iman itu terwujud di
dalam tindakan nyata.
Dari lain pihak, penting untuk disadari bahwa Teologi Moral secara utuh harus berada dalam
kerangka ilmu teologi pada umumnya dan karakter ilmiahnya secara khusus harus mengacu pada: 1)
perjumpaan antara Allah dan umatnya sebagai bahan yang harus digali; 2) perjumpaan dengan Allah itu
mengundang tanggapan manusia untuk membalas panggilan dan kebaikan Tuhan; 3) tindakan manusia
dipahami sebagai konsekuensi dari perjumpaan dengan Allah yang diwujudkan dalam praksis hidup
sehari-hari.
2. Teologi Moral dan Teologi Dogmatik
Kedua disiplin ilmu ini hampir tidak dapat dibedakan. Bahkan keduanya memiliki satu kesatuan
yang erat. Keduanya memiliki tujuan yang sama yakni berusaha menyelami dan memahami pengertian
dan relasi antara keselamatan. Fokus utama Teologi Moral adalah studi atas kenyataan keselamatan dari
sisi praksis dan akibat-akibatnya bagi tindakan manusia. Dari Teologi Dogmatik, Teologi Moral
menerima prinsip-prinsip tindakan moral, ajaran tentang Tuhan, penebusan dan kebenaran hakiki tentang
manusia. Kepada Teologi Dogmatik, Teologi Moral memberikan sumbangan berupa wujud keselamatan
dalam hidup praksis kristiani.
Dari uraian di atas, kita dapat mengatakan bahwa proyek utama dari teologi moral adalah
berusaha untuk menetapkan prinsip-prinsip dasar yang membantu dan mengarahkan orang untuk
membuat keputusan yang tepat berkaitan dengan “bagaimana ia bertindak” dan dengan demikian teologi

3
moral memberikan aturan untuk bertindak. Dari lain pihak, teologi dogmatik mengarahkan orang untuk
mengerti “apa yang ia harus percaya” dan dengan demikian, teologi dogmatik memberikan norma untuk
percaya.
3. Sejarah perkembangan Teologi Moral
3.1. Zaman Bapa-bapa Gereja
Bagi Ignasius dari Antiokhia (+107), panggilan moral yang paling utama dari seorang beriman
adalah taat pada Kristus karena Kristus akan menjamin keselamatan manusia.
Ireneus (+202) melihat Yesus bukan sebagai salah satu dari kekuataan duniawi melainkan Ia
adalah Tuhan yang padaNya Allah meletakkan seluruh perencanaan tentang mata rantai sirkulasi
kehidupan.
Origenes (+255): setiap orang Kristen dipanggil kepada kesucian. Kebajikan-kebajikan kristiani
(misalnya kebijaksanaan, keadilan, kekuatan) diwariskan oleh Yesus kepada umat manusia. Maka
tindakan moral adalah tindakan manusia untuk mengikuti (imitasi) tindakan Yesus sendiri.
Basilius Agung (330-379): moralitas merupakan perwujudan iman. Kunci dari moralitas manusia
adalah cintakasih yang dibimbing oleh Roh Kudus yang berdiam di dalam manusia
Yohanes Krisostomus (+407), seorang orang diberikan suatu pengetahuan moral sejak lahir.
Ketika Allah menciptakan manusia, sejak awal Dia memberikan suatu hukum kodrati. Apa itu hukum
kodrati ? Hukum kodrati adalah hukum yang membentuk dan mengoreksi suara hati kita yang terdalam.
Ia menyediakan pula dari dirinya sendiri suatu kemampuan untuk membedakan apa yang baik dan apa
yang tidak baik. Moralitas adalah tindakan yang dibuat dengan mengikuti hukum kodrati yang telah
ditanamkan di dalam hati.
Agustinus (354-430). Beberapa pemikiran dasar teologi moralnya:
- Kristus adalah satu-satunya dasar hidup manusia pada umumnya dan moral pada khususnya,
karena Kristus menciptakan manusia dan mengajarkan nasehat-nasehat moral pada manusia
seperti tentang cinta kasih, kesabaran, kejujuran, dsb.
- Rahmat dan iman adalah pemberian Tuhan yang cuma-cuma kepada manusia. Tuhan
memberikan rahmat kepada siapa saja yang memohonnya. Kepercayaan (iman) akan Kristus
mendatangkan kebebasan di dalam orang tersebut. Dengan kebebasan inilah manusia dapat
mewujudkan dirinya dalam kebersamaan dengan orang lain. Kebebasan inilah dasar moralitas
manusia
- Tuhan tidak pernah meninggalkan manusia sendirian. Ada hukum kodrati yang dengannya
Tuhan membimbing nurani manusia
- Empat kebajikan utama kristiani berada di dalam kerangkan umum pengajaran Yesus Kristus
tentang cinta kasih. Kebajikan-kebajikan itu dapat membawa manusia kepada keselamatan.

4
Bagi Agustinus, penguasaan diri adalah cinta kasih karena ia mempertahankan manusia
supaya tetap integral/utuh dan tidak korupsi sehingga ia tetap dicintai. Keberanian adalah
cinta kasih karena mendukung dengan sukacita setiap usaha yang baik sehingga bisa dicintai.
Keadilan adalah cintakasih karena melayani dengan cinta dan karena itu ia bertindak baik dan
benar. Kebijaksanaan adalah cintakasih karena membedakan secara tepat apa yang dapat
membantu manusia untuk berkembang. Pusat moral kristiani menurut Agustinus adalah cinta
kepada Tuhan dan sesama. Perintah moralnya yang terkenal: “Cintailah dan buatlah apa
yang kau kehendaki”.
3.2. Zaman Post Bapa-bapa Gereja
Pada abad ke 5-6 visi moral berkembang dengan kehadiraan Anisius Boezio. Teologi menurut dia
adalah suatu ilmu pengetahuan ilahi yang ada pada manusia untuk mengenal Allah dan mengenal segala
kekayaanNya. Ia berpendapat bahwa manusia harus mencari dalam hidupnya suatu kebahagian utama
(beatitudo). Kebahagian sejati adalah kehagiaan orang itu sendiri dan kebahagiannya bersama Allah,
sumber kebahagian sejati. Moralitas adalah tindakan yang dibuat untuk mencapai kebahagian.
Memasuki zaman skolastik patut dicatat beberapa nama yang cukup berpengaruh dalam dunia
moral katolik. Yohanes Scotus (810-877): seluruh realitas yang ada di dunia ini disebut “natura”. Tuhan
sendiri adalah Asal dan Tujuan dari seluruh realitas itu. Secara moral manusia bebas untuk melaksanakan
kehendaknya. Seorang Kristen harus mengembangkan seluruh kemampuannya sampai pada tahap yang
tertinggi, yakni pikiran yang murni. Rahmat Allah dibutuhkan supaya manusia dapat mengangkat dirinya
pada status yang terbaik.
Bagi Anselmus dari Canterbury (1033-1109), moral harus selalu dilihat sebagai perbuatan
pribadi. Setiap orang secara pribadi bebas menentukan apakah mau berbuat baik dan benar atau tidak.
Bagi Anselmus, keinginan manusia adalah aspek terpenting pada jiwa manusia dan menentukan seluruh
aktivitas moral. Motivasi memegang peranan penting untuk mengendalikan keinginan. Keinginan yang
baik adalah keinginan yang didorong oleh kejujuran, keadilan, cintakasih, kebaikan dan kedamaian.
Ajaran moral lain datang dari Abelardo dan Bernardus Chiaravalle. Bagi Abelardo tindakan
moral adalah pengabulan seseorang atas apa yang pantas dilakukan. Moralitas lebih bersifat personal
karena berasal dari keinginan seseorang. Namun moralitas bukanlah sebuah subyektivitas murni. Intensi
(keinginan) dari seseorang haruslah benar yakni berada dalam suatu kecocokan obyektif dengan hukum
Tuhan. Kalau seseorang bertindak benar maka ia harus bertindak berdasarkan intensi yang benar yakni
untuk menyenangkan Tuhan secara obyektif. Tindakan moral seorang Kristen adalah tindakan untuk
menyenangkan Tuhan.

5
Bernardus menegaskan suatu teori tentang praksis moral yang benar. Baginya cinta terhadap
Tuhan menjadi dasar seluruh moralitas. Cinta yang murni dan tulus harus diwujudkan dalam berbagai
tindakan moral.
Memasuki abad ke-12 patut dicatat nama Fransiskus dari Asisi (1181-1226) sebagai tokoh
pembaharu spiritual dan moral bagi kehidupan gereja. Baginya Gereja adalah misteri karena bersatu
dengan misteri Kristus. “Melepaskan segala sesuatu” adalah jalan moral yang terbaik untuk mengikuti
Kristus dan membuka tabir rahasiaNya.

3.3. Zaman Skolastik

Abad ke-13 adalah abad yang paling penting dalam sejarah teologi modern pada umumnya dan
Teologi Moral pada khususnya karena universitas-universitas mulai bermunculan di Eropa. Pada zaman
ini pula ada dua biara, yakni Ordo Dominikan dan Fransiskan lahir dan mengharuskan para anggotanya
memperdalam ilmu teologi dengan giat.
Bonaventura (1217-1245) berpendapat bahwa dasar moralitas manusia ada di dalam suara hati.
Suara hati berada dalam akal budi dan kehendak. Suara hati adalah suatu kebiasaan dari pengetahuan
yang akan menyempurnakan akal budi dan mengarahkan seluruh aktivitas manusia. Dalam mengarahkan
aktivitas itu, suara hati memformulasikan hukum-hukum yang dipakai sebagai dasar bertindak.
Albertus Magnus (1200-1280) melihat suara hati sebagai bagian yang menyediakan prinsip-
prinsip dari hukum kodrat untuk bertindak. Suara hati menolong manusia untuk membedakan kebenaran
dari kesalahan dan membantu akal budi dalam praktek untuk membedakan mana yang baik dan mana
yang jahat. Satu nasehat moral moral yang terkenal dari Albertus adalah: “yang baik harus dikerjakan,
yang jahat harus dihindari”.
Thomas Aquinas (1224-1274) menekankan hukum kodrati sebagai dasar untuk bertindak: ikutilah
dan lakukanlah yang baik serta hindarilah yang jahat. Terkait tindakan moral, Thomas Aquinas
menekankan motivasi di dalam diri manusia dan perhitungan konsekuensi dari tindakannya sebagai dasar
dari seluruh tindakan moral. Setiap perilaku moral haruslah dikehendaki oleh si pelaku, berada dalam
kontrol akal budinya dan dikerjakan dengan suatu tujuan tertentu dan pekerjaan itu sendiri diterima oleh
akal sehat minimal oleh pelaku. Pendapat Thomas ini didasarkan pada pemahaman antropologisnya.
Setiap perilaku moral mengalir dari substansi manusia yang terdiri dari:
 Level universal: kecendrungan untuk berbuat baik karena kodratnya demikian. Kebaikan itu
dinyatakan dalam suatu perbuatan konkrit, misalnya memelihara hidup.
 Level generis: suatu kecendrungan kodrati kepada hal-hal yang baik secara spesifik karena
alamiahnya demikian dan kebaikan itu dibagikan kepada mahluk lain. Misalnya, hubungan
seksual dilakukan oleh pria dan wanita agar kehidupan tetap dilestarikan.

6
 Level spesifik: suatu kecendrungan untuk berbuat baik karena akal budi. Misalnya menjadi
seorang yang baik.
Akal budi menjadi unsur formal dari seluruh tindakan manusia dan suatu perilaku moral harus
berdasarkan akal budi. Akal budi yang baik adalah akal budi yang mengenal Tuhan dan seluruh
perintahNya. Namun manusia tidak mengenal seluruh kebijakan Tuhan. Satu bagian kebijakan moral
Tuhan diberikan kepada manusia melalui pewahyuan (seperti pewahyuan Tuhan kepada Musa atau
pewahyuan sepuluh perintah Allah). Bagian kebijakan lain diberikan melalui pengalaman kodrati biasa
dan melalui refleksi rasional manusia.
Thomas percaya bahwa Tuhan disakiti hatiNya jika manusia melawan yang baik. Secara moral,
apa yang baik bagi manusia adalah apa yang dapat dikehendaki oleh akal budi sebagai pernyataan
bersama antara Tuhan dan orang yang bersangkutan dalam suatu situasi yang konkrit dengan tujuan yang
hendak diwujudkan dalam konteks yang efektif dan dalam konteks kebersamaan dengan sesama manusia.
Ajaran moral Thomas Aquinas tentang penciptaan menekankan dua aspek penting yakni “keluar”
(exitus) dan “kembali” (reditus). Segala sesuatu berasal, keluar dari Tuhan dan tujuan akhirnya adalah
kembali kepadaNya. Agar dapat memperoleh keselamatan kekal pada moment reditus, manusia harus
bertindak dan berbuat baik yang mengarahkan dirinya kepada kebahagian sejati yakni bersatu dengan
Allah.
Yohanes Duns Scotus (1265-1308) sependapat dengan Thomas Aquinas bahwa akal budi yang
sehat adalah dasar untuk menetapkan suatu perilaku manusia itu baik atau jahat. Seluruh tindakan
manusia harus dalam persetujuan dengan akal sehat.
Wilhelmus Ockham (1285-1347) menolak hampir semua teori moral yang muncul pada zaman
skolastik. Baginya, tindakan moral tidak berkenaan dengan sifat intern (dari dalam) manusia melainkan
merupakan sifat lahiriah manusia yang memancarkan kualitasnya sebagai manusia. Manusia ditentukan
oleh Tuhan dan untuk menyenangkan Tuhan. Jadi moralitas berarti tindakan yang dilakukan untuk
menyenangkan Tuhan.
3.4. Zaman pencerahan dan Modern
Zaman pencerahan atau rinaisans (kelahiran kembali) adalah sebuah gerakan budaya yang sangat
mempengaruhi kehidupan intelektual Eropa pada periode modern awal. Ciri dasar zaman ini adalah
penekanannya pada manusia. Manusia sebagai pusat. Kendati demikian hal ini tidak boleh ditafsir bahwa
zaman ini adalah zaman yang tidak beragama atau ateis. Mereka tetap percaya akan Tuhan hanya
tekanannya bergeser. Tuhan dilihat dari kacamata manusia. Dari segi moral, yang baik dan yang benar
bagi manusia ditentukan oleh manusia itu sendiri berdasarkan pertimbangan pribadinya. Tuhan dapat
menerangi manusia untuk membuat pertimbangan namun keputusan tetap di tangan manusia.

7
Memasuki abad ke 16-17 pengaruh ajaran skolastik pada umumnya dan Santu Thomas Aquinas pada
khususnya cukup besar di dalam Gereja. Namun dalam memberi komentar terjadi bermacam-macam
tafsiran atas ajaran skolastik. Ada 2 aliran yang saling bertentangan, yakni probabilisme dan
probabiliorisme. Probabilisme menekankan kebebasan manusia di atas segala-galanya. Manusia bebas
melakukan suatu tindakan asalkan diterima akal sehat dan tidak menimbulkan dosa. Probabiliorisme
adalah aliran yang menegaskan bahwa ketaatan pada ajaran Gereja adalah satu-satunya jalan moral yang
baik. Kebebasan manusia terletak pada pelaksanaan hukum yang terdapat dalam Kitab Suci dan Hukum
Gereja.
Santo Alfons Maria de Liguori mengusulkan jalan tengah bagi kedua ekstrim diatas, yakni
equiprobabilisme. Suara hati adalah kunci sebuah tindakan moral. Jika suara hati mempunyai alasan yang
benar, suara hati tersebut tidak terikat pada hukum tertentu untuk menerapkan suatu pembenaran tertentu.
Hukum tidak boleh membebani kebebasan suara hati untuk mengambil keputusan.
Pada abad ke-19, iman dituduh hanya sebagai suatu pengalaman religius saja dan tidak memiliki
pengaruh terhadap perjalanan hidup manusia. Tuduhan itu mempengaruhi pula perjanalan teologi moral.
Karena itu para teolog modern berusaha mencari muatan-muatan teologis baru yang dapat dipakai sebagai
dasar kehidupan iman. Nama-nama yang terkenal adalah: Johann Sailer, Johan Baptist Hirscher, Franz
Xavier Linsenmann. Bagi Sailer, tindakan moral yang baik adalah tindakan yang mendasarkan diri pada
cinta kasih dan keadilan sebagai jawaban atas panggilan Tuhan sendiri. Bagi Hirscher, setiap tindakan
manusia harus merupakan perwujudan Kerajaan Allah. Bagi Linsenmann, tindakan moral tumbuh dari
nilai-nilai dan norma-norma yang tertanam sejak kecil. Namun semuanya itu harus selaras dengan
kebebasan manusia agar orang bertindak sungguh dari diriNya sendiri. Tindakan moral yang baik dapat
ditopang oleh pertobatan yang berkelanjutan. .
Sejumlah moralis yang muncul pada abad ke-20 dapat disebutkan disini adalah Josef Fuchs dan
Bernard Häring. Bagi Fuchs situasi tertentu merupakan dasar fundamental yang dapat mempengaruhi
orang mengambil suatu tindakan moral. Bagi Häring, kebebasan manusia yang kreatif dan iman akan
Kristus menjadi dasar sebuah tindakan moral karena tindakan moral seseorang adalah wujud
cintakasihnya kepada Allah. Karena itu tindakan moral harus keluar dari diri manusia itu sendiri (tanpa
paksaan dari orang lain) demi pengembangan diri sendiri sebagai jawaban iman atas panggilan Allah.

4. Pembaharuan Teologi Moral Konsili Vatikan II


Pembaharuan yang ditiupkan oleh Konsili Vatikan II memberi hawa sejuk bagi Teologi Moral. Bagi
Konsili Vatikan II, tindakan moral harus didasarkan pada suara hati karena suara hati merupakan
landasan otonomi manusia yang paling dalam dan di sana terjadi dialog dari “hati ke hati” antara manusia
dan Tuhan (bdk. Gaudium et Spes no. 16) Maka sebelum bertindak, dengarkan dulu suara hati itu.
Terkait Moral Kristiani, KV II menekankan tiga aspek penting:

8
1) Moral Panggilan dalam diri Yesus Kristus
Kristus bukan hanya pusat teologi moral melainkan juga asas moral Kristiani yang diasalkan pada
pribadi Kristus yang menjelma menjadi manusia. Dari satu pihak, panggilan dalam Kristus adalah
anugerah dan rahmat, dan dari pihak lain, merupakan perintah untuk hidup sebagai manusia yang
ditebus. Di sinilah pentingnya sikap penyerahan diri dalam Roh sebab hidup orang Kristen bukan saja
soal pemenuhan hukum atau perintah melainkan terutama hidup menurut dinamika Roh Kudus yang
menuntun manusia menjadi baik.
2) Moral komunitas Gerejawi
Moral yang kita miliki diterima dalam komunitas Gereja dan diteguhkan oleh Kristus. Dinamakan
moral Gerejawi karena kita dipanggil sebagai Gereja yang adalah umat Allah. Moral Gerejawi
mengingatkan kita bahwa kita menerima panggilan dan tanggung jawab untuk memperpanjang misi
keselamatan Allah di tengah dunia.
3) Moral bagi dunia modern
Moral Gerejawi yang kita miliki diperuntukan bagi dunia (inklusif) dan tidak dimaksudkan demi
sebuah pelayanan eksklusif atau tertutup. Orang Kristiani hidup dalam konteks soal tertentu dan karena
itu perlu mengenal dan memahami dunia dan masalahnya.
5. Sumber dan Metode Teologi Moral
1) Sumber Teologi Moral Tradisional adalah Sabda Tuhan, tradisi, ilmu pengetahuan dan kodrat
manusia. Kodrat manusia yang dimaksud adalah hukum kodrat yang mendorong manusia
untuk hidup baik.
2) Metode Teologi Moral adalah dialektik yakni mempertimbangkan kebenaran-kebenaran iman
dalam perbandingan (analogia) dengan kebenaran-kebenaran ilmu pengetahuan, dengan
panggilan Tuhan di dalam Yesus Krsitus .

BAB 2

MORALITAS DALAM KITAB SUCI

Teologi Moral menggunakan data pewahyuan dari Kitab Suci sebab Kitab Suci memuat data
sejarah masa lampau. Kitab Suci memberi informasi tentang mores (adat kebiasaan baik, norma hidup)
umat Israel Perjanjian Lama dan umat pada zaman Yesus serta para rasul. Kitab Suci dapat menjadi

9
argument penguat dalam bertindak. Kitab Suci dianggap sebagai jiwa teologi, bahkan dilihat sebagai
ilham yang menghidupkan dan tenaga dinamis untuk mengadakan refleksi teologi moral.

1. Moralitas Perjanjian Lama: Moralitas “Berith”


Tema pokok moral dalam PL adalah pentingnya hukum sebagai tulang punggung moral. Sepuluh
Perintah Allah dalam dekalog memegang peran sebagai “kunci”. Hal yang tampak kuat dalam PL adalah
kepercayaan orang Yahudi bahwa agama adalah suatu sejarah keselamatan: Yahwe, Tuhan yang hidup
dengan umat pilihanNya. Keturunan Abraham memegang teguh keyakinan dasar mereka bahwa Allah
berperan aktif dalam hidup mereka karena Allah mereka itu adalah Allah leluhur mereka (bdk. Kel 6:2-3)
yang senantiasa menjaga dan melindungi keluarga mereka. Allah dipahami sebagai Allah keluarga yang
selalu hadir di mana saja mereka berada. Atas dasar pemahaman yang demikian, tindakan manusia
(moralitas) dimengerti sebagai “usaha manusia untuk menjaga supaya Allah tidak marah”. Untuk itu
mereka harus berpegang teguh pada iman akan Allah dan memelihara iman itu dalam pelaksanaan kultus
atau upacara ritual tertentu.
Pengalaman pembebasan dari Mesir, perjalanan panjang di Padang Gurun, Perjanjian Sinai dan
pendudukan Tanah Terjanji mengubah pemahaman mereka tentang Allah: Allah yang dulu hidup bersama
mereka di tenda-tenda (karena itu berpindah-pindah tempat mengikuti umatNya), sekarang ini tinggal
bersama umatNya dalam kestabilan yang tetap. Allah Yahwe hanya ada di Israel. Allah yang dulu diimani
secara personal dan keluarga, sekarang ini diimani secara nasional.
Untuk menguatkan pemberlakuan hukum “Sepuluh Perintah Allah”, pengalaman Sinai selalu
dihidupkan terus. Ketika masih di Padang Gurun, Allah membuat perjanjian dengan Israel. Isi perjanjian
itu adalah: “Yahwe menjadi Allah bagi umat Israel dan Israel menjadi umat bagi Yahwe”. Perjanjian
(berith) itu menjadi semacam dorong moral-teologis umat untuk menjalankan segala perintah Allah.
Umat Israel dipanggil lewat suatu perjanjian dan membalas panggilan itu dengan menjalankan moralitas
sebagai balasan terhadap perjanjian tersebut (bdk. Ul 6:4-7).
Moral berith yang dipraktekan oleh umat Israel bernuansa do ut des: saya berbuat untuk membalas
kebaikan Allah dan sekaligus saya berbuat demikian supaya Allah melimpahkan berkatNya. Jika umat
Israel menjalankan perintah tertentu maka secara otomatis mereka akan mendapat pahala dari Allah. Dari
moralitas berith (perjanjian) ini lahir pula moralitas Sepuluh Perintah Allah. Orang menjalankan perintah
Allah dengan keyakinan bahwa berkat akan terpenuhi kalau mereka telah menjalankan perintah itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, “Sepuluh Perintah Allah” diperluas menjadi “Hukum Taurat”
yang coba merangkum tidak saja Sepuluh Perintah Allah melainkan seluruh pewahyuan, pengajaran dan
petunjuk untuk hidup sebagaimana tersimpan dalam lima kitab pertama (Kejadian, Keluaran, Imamat,
Bilangan, dan Ulangan). Hukum Taurat ini diyakini sebagai hukum yang berasal dari Allah dan
diturunkan lewat Musa sehingga kadang-kadang hukum ini disebut juga Hukum (Taurat) Musa.

10
Dalam kehidupan sehari-hari, Hukum Taurat ini dilaksanakan secara kaku. Hukum Taurat terdiri dari
613 buah hukum (248 berupa perintah dan 365 berupa larangan). Rincian hukum yang banyak ini dibuat
oleh para rabbi agar umat dapat mengikutinya secara jelas. Hukum Taurat ini harus dijalankan dan tidak
boleh dilanggar. Siapa yang melanggar akan dihukum. Pelaksaan yang sangat kaku ini melahirkan
pemahaman dan pelaksanaan moral yang sangat legalistis: orang berbuat hanya karena mengikuti aturan
atau bahkan orang berbuat sesuatu karena takut. Ketatnya pengawasan dari para pemuka agama
menambah kakunya moralitas mereka. Orang tidak lagi melihat nilai di balik sebuah pelaksanaan hukum
itu.
Para nabi dalam pewartaannya berusaha mendudukan kembali fungsi Taurat. Praksis hukum tidak
berhenti hanya pada pelaksanaan hukum itu saja. Hukum Taurat adalah sarana yang menolong orang
untuk mengenal kehendak Allah dan melaksanakannya dalam hidup sehari-hari. Karena itu, pewartaan
para nabi sifatnya berupa seruan-seruan moral yang mengajak umat untuk mengerti dan memahami
tentang kehadiran Allah bersama umatNya. Kebersamaan itu, bagi para nabi, akan menolong orang untuk
“melakukan yang baik dan menghindari yang jahat”. (bdk. Amos 5:14-15; Yes 1:16-17). Pewartaan para
nabi yang penuh ketegasan ini ingin mengajak umat agar melihat hidup secara positif: orang
melaksanakan hukum atau perintah bukan karena ia takut atau ia menjadi hamba hukum melainkan
karena ia mencintai Allah. Moralitas berarti kesetiaan untuk menjalankan perintah-perintah Yahwe seperti
yang terangkum di dalam Hukum Taurat. “Berbahagialah orang-orang yang hidupnya tidak bercela, yang
hidup menurut Taurat Tuhan” (Mzm 119:1).
Yang menarik adalah penghayatan moral orang Israel pada saat pembuangan. Orang Israel
menggantungkan harapan hidupnya pada kerahiman Yahwe karena mereka merasa bahwa mereka tidak
pantas lagi disebut umat Yahwe. Mereka percaya bahwa Yahwe maharahim. Ia mengampuni dan
memaafkan dosa-dosa umatNya. Kerahiman Yahwe inilah yang memungkinkan mereka untuk datang
kembali kepada Yahwe dan menyerahkan segala perkara hidupnya. Tindakan-tindakan moral dijalankan
demi memperoleh kerahiman Yahwe. Setelah pembuangan, orang Israel ingin hidup secaa radikal.
Mereka ingin menjalankan hidup keagamaan dan hukum Taurat secara murni. Namun yang menjadi
kekhususan dari zaman ini adalah lahirnya pemikiran tentang dunia apokaliptik: Allah akan memberi
kehidupan kekal kepada orang yang berbuat baik. Moralitas zaman itu ditempatkan dalam nuansa ini:
orang menjalankan perintah Allah supaya ia memperoleh hidup yang kekal.

2. Moralitas Perjanjian Baru

Yesus menyempurnakan cara pandang PL tentang hukum moral yang menekankan logika
keseimbangan (lex talionis: mata ganti mata, gigi ganti gigi) menjadi hukum moral yang menekankan
logika keseimbangan: jika pipi kirimu ditampar, berikalah pipi kananmu (bdk. Mat 18:22). Seluruh PB

11
mewartakan bahwa kedatangan Kristus adalah bentuk campur tangan Allah secara definitive terhadap
keselamatan manusia (bdk. Kol 1:19). Kristus adalah kesempuraan Allah (Kol 2:9) yang hadir dan tinggal
bersama umat manusia. Kehadiran Kristus menjamin keberlangsungan perjanjian antara Allah dan
manusia di dunia ini. Jaminan ini dimeteraikanNya dengan darahNya yang tertumpah di kayu salib (bdk.
Kol. 1:20;1 Ptr 2:24).
Kristus adalah dasar PB menjadi Pribadi yang merupakan model dan sekaligus Pribadi yang memberi
norma kepada manusia untuk bertindak. Kita berbuat karena kita meneladani perbuatan Kristus dan atau
kita mengikuti nasehatNya untuk bertindak demikian. Beberapa kekhasan moralitas PB:
Pertama, moralitas orang Kristen adalah suatu bagian integral dari pewartaan PB yang mewartakan
bahwa Yesus Kristus adalah penyelamat umat manusia. Lewat hidup, sabda dan karyaNya dan terutama
lewat wafat dan kebangkitanNya, Ia menunjukkan kepada manusia bahwa Allah peduli terhadap nasib
manusia. Namun dalam keseluruhan tanda kehadiranNya, Yesus sekaligus mewartakan prinsip-prinsip
hidup bagi manusia. Untuk membalas kepedulian Allah itu, orang harus mencintai Allah dan sesamanya
(bdk. Luk 10:28; Mt 25:40). PB melihat bahwa moralitas adalah balasan manusia terhadap cinta Tuhan.
Kedua, isi pewartaan moral yang ada dalam PB bukanlah turunan asli dari mulut Yesus sendiri. Para
penulis PB mengambilnya dari berbagai sumber, seperti Filsafat Stoa (Yohanes), Hukum dan katekese
orang Yahudi (Markus, Mateus, Lukas,Paulus, dst), keadaan zaman itu dan nilai rasa moral dari para
penulis sendiri. Hal ini memberi gambaran akan keterbukaan dan pluralisme moralitas yang terdapat
dalam PB yang tentu saja berimplikasi bahwa pengajaran moral Yesus tidak dapat direduksi sebagai suatu
ajaran moral saja. Oleh karena itu maka KS harus ditafsir secara jernih dengan memperhatikan seluruh
latar belakang dari keberadaannya.
Ketiga, pandangan moral yang tercemin dalam tulisan PB dihadirkan dalam konteks teologis dan
tidak pernah bersifat sekuler belaka. Moralitas, sebagai jawaban manusia terhadap panggilan Allah, tidak
pernah dipandang semata-mata sebagai tindakan tanpa referensi pada Allah. Artinya, Anda berbuat
sesuatu yang baik, karena Anda mengenal Allah. Moralitas haruslah berupa sebuah tindakan keselamatan
di tempat tertentu karena moralitas kristiani adalah ekspresi dari hubungan seseorang dengan Allah yang
diwujudkan dalam dan melalui hubungan dengan sesamanya. Oleh karena itu moralitas tidak dibedakan
oleh isi atau norma-norma yang berlaku melainkan konteks di mana moralitas itu dipraktekan untuk
mendatangkan keselamatan. Bagi Yesus keselamatan jauh lebih penting dari pada sekedar perpegang
pada sebuah peraturan tertentu (bdk. Mt 12:2; Mrk 2:24; Lk 6:2).

Keempat, moralitas dalam PB diberikan secara formal namun tidak pernah diberikan secara material.
Tekanan PB diletakkan pada soal penghayatan moralitas dan melihat secara positif nilai-nilai lain dibalik
sebuah materi norma, peraturan dan hukum. Rumusan material bukanlah harga mati sebuah norma atau
hukum melainkan memberi kemungkinan-kemungkinan dalam rumusan untuk berindak secara kreatif.

12
Dalam PB, moralitas lebih dilihat sebagai sebuah penghayatan yang positif terhadap nilai dan bukan pada
rumusan belaka. Contoh dalam Mrk 10:11-12 terdapat norma moral: dilarang bercerai (materi moral)
namun sesungguhnya nilai yang hendak ditekankan disini adalah kesetiaan perkawinan (forma moral).

Kelima, cinta kasih menjadi titik temu dari seluruh penulis PB dalam merumuskan moralitas
umatnya, sebagai jawaban pribadi atas panggilan Tuhan. Mencintai Allah dan mencintai sesama adalah
moralitas cardinal (moralitas utama) bagi seorang Kristen karena orang Kristen berkeyakinan bahwa pada
hukum inilah “tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Mt 22:40). Siapa yang
menjalankan cinta kasih adalah orang yang bermoral.

Jiwa dari PB itu adalah Kristus, Putera Allah. Ia mejadi acuan dalam pelaksanaan moralitas umat
Kristen perdana. Ia memberi “Hukum Sinai” baru (Mt 5:2-10) menggantikan Hukum Sinai lama (Hukum
Musa) yang sifatnya terlalu legalis (jangan ini jangan itu). Hukum baru itu sifatnya ingin memberi
orientasi hidup bagi murid-muridNya. Dan karena itu lebih bersifat positif (“berbahagialah kamu…”)
untuk memberi kesadaran bahwa kebersamaan hidup dengan Allah akan menolong orang untuk
mengarahkan hidupnya kepada kebahagian sejati, yakni hidup dalam kebahagiaan bersama Allah. Yesus
tidak menolak sama sekali Hukum Taurat (bdk. Mt 5:17-20). Namun Hukum Taurat harus dilihat sebagai
dasar hidup moral yang terbuka terhadap persaudaraan sejati dengan sesame (Mt 5:17-18) dan bukan
tertutup kepada pelaksanaan yang kaku dan dijalankan demi hukum itu sendiri.

3. Refleksi lanjut
3.1. Hubungan antara Kristus dan Manusia
Refleksi teologi moral selalu dimulai dengan suatu pendekatan kristologis yang bersifat formal dan
material. Yesus Kristus dianggap sebagai referensi awal dan akhir dari moral. Kristus menganugerahkan
kepada manusia pengetahuan untuk mengenal yang baik agar manusia dapat menggunakannya untuk
bertindak (bdk. 2Kor 4:6). Hubungan dengan Kristus menentukan seluruh keberadaan seorang beriman.
Maka tindakan manusia merupakan tindakan yang mengikuti tindakan Kristus sendiri. Kristus adalah
pemberi nilai dan hukum bagi manusia. Ia adalah Kebenaran Utama yang menuntun manusia untuk
bersatu dengan Allah.
3.2. Kristus adalah dinamika tindakan

Kristus adalah sebagai “penyebab”. Pendapat ini hendak menggarisbawahi kedudukan Kristus dalam
kehidupan manusia. Manusia ada di dalam Kristus dalam keseluruhan keberadaannya sebagai subyek
moral. Kristus diterima sebagai “penyebab” (causa) yang efisien dalam sebuah tindakan moral. Kristus
bukan saja berpengaruh melainkan sungguh-sungguh hadir bersama subyek moral sehingga si subyek
dalam bertindak adalah manusia itu sendiri bersama Kristus.

13
Teologi moral mempunyai tugas untuk merefleksikan tindakan atau perilaku manusia sebagai bentuk
kerjasama antara Tuhan dan manusia. Kristus juga hadir dalam seluruh fakultas kegiatan manusia. Akal
budi, kehendak, penderitaan, kebiasaan, kebaikan, hukum, dan lain sebagainya diterima dan diubah
menjadi prinsip-prinsip formal yang baru di dalam Kristus.
3.3. Cinta Kasih: Moralitas Kristiani yang Unggul
Kristus menggerakkan hidup manusia dan Ia adalah prinsip yang menggerakkan tindakan kita,
melalui Dia kita mengarahkan diri menuju suatu tujuan tertentu dan di dalam Dia kita mewujudkan diri
kita menuju suatu kepenuhan. Pergerakan inilah yang oleh Thomas Aquinas disebut sebagai gerakan
cinta1.
Bagi Thomas Aquinas, karena cinta manusia mengarahkan dirinya menuju suatu tujuan dan ia
menghidupkan setiap tindakannya sebagai langkah untuk menggapai Kristus sehingga pada akhirnya
orang dapat berkata seperti Paulus, “ Kristus yang hidup di dalam Aku” (Gal 2:20). Dari pendapat
Thomas ini dapat ditarik 2 kesimpulan: pertama, adanya gerakan personal antara Kristus dan manusia;
kedua, cinta kasih sebagai bagian dari kebajikan utama yang menggerakkan manusia untuk bertemu
dengan sesama.
Jelas bahwa pergerakan di atas tidak dimaksudnya sebagai motor yang permanen. Kristus tidak
menggerakkan dunia ini seperti gerakan sebuah motor. Ia menggerakan diriNya sendiri menuju kepada
kita manusia. Ia “memprovokasi” cinta manusia. Tantangan ini sangat bersifat personal. Karena itu
tindakan manusi yang pertama dan utama adalah cinta kasih karena manusia ingin menjawab cinta
Kristus yang provokatif tadi. Dengan kata lain, manusia dipanggil untuk “bertindak menurut cintakasih”.

BAB 3

MANUSIA DAN MORAL

1
Livio MELINA, “ Cristo e dinamismo dell’agire: bilancio e prospettive del cristocentrismo in morale”, in
Paolo SCARAFONI (ed.), Cristocentrismo. Riflessione teologico, Città Nuova, Roma 2002, hlm. 201.

14
1. Manusia, subyek moral

Sifat yang paling mendasar dari pribadi manusia adalah “menjadi subyek”, yaitu sumber interior
keputusan bebas untuk melakukan tindakan. Dan tindakan manusia disebut bermoral kalau mengarah
pada ‘yang baik’ dan ‘yang berguna’ sebagai intentio utama2. Dasar dari tindakan moral adalah bahwa
manusia secara kodrati merupakan mahluk bermoral. Manusia memiliki kemampuan untuk berpikir apa
yang ‘sebaiknya’ dibuat dan mana yang ‘seharus’nya dihindari (aspek rasionalitas), segala yang dibuat
harus tidak merugikan dirinya dan orang lain (aspek sosialitas) dan semua tindakan yang dibuat harus
mengarah kepada kebaikan (aspek etisitas).
Menurut Santo Thomas Aquinas, manusia adalah mahluk yang paling sempurna dari semua ciptaan 3.
Sebagai yang paling sempurna, maka struktur keber-ada-annya sebagai subyek bermoral dapat terlihat
dalam tiga dimensi penting yakni dimensi fisik, kehendak dan intelek, dimensi sosialitas 4.
a) Dimensi fisik
Yaitu aspek ketubuhan real manusia. Dalam pemahaman manusia sebagai sebuah “keseluruhan”
(totalitas) terdapat beberapa arti manusiawi yang paling mendasar dari tubuh manusia yakni tubuh sebagai
media ekspresi atau aktualisasi, tubuh sebagai kehadiran dan tubuh sebagai bahasa.
Dalam berhubungan dengan orang lain, tubuh sebagai tanda kehadiran. Konsekuensinya adalah tubuh
menjadi metafora (perbandingan) dari komunikasi jiwa, sebuah dialog. Sebagai bahasa, wajah adalah
identitas diri. Wajah adalah pesan yang dapat membahasakan manusia sebagai sebuah misteri yang besar.
Berjalan, menangis, tertawa, dll adalah cara tubuh berbahasa. Tubuh bisa membahasakan apa yang
dikatakan hati dan dalam keadaan hening pun tubuh bisa berbahasa.
b) Dimensi kehendak dan intelek (trans-fisikal)
Kehendak dan intelek adalah dua aspek berbeda namun tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Menurut Thomas Aquinas, kehendak adalah gerakan internal, gerakan batin yang mendorong orang untuk
bertindak5, sedangkan intelek mengarahkan seseorang kepada realitas yang dikehendaki. Manusia yang

2
Bdk. Luis CLAVELL, “Libertà e donazione”, in Studi Tomisti 58, Libreria Editrice Vaticana, Città del
Vaticano 1995, hlm. 113.
3
Bdk. S. TOMMASO D’AQUINO, Summa Teologica , 1, q.29, a. 3, traduzione e comment (a cura dei
Domenicani Italiani), Edizione Studio Domenicano, Bologna 1984.
4
Bdk. Sabino PALUMBIERI, L’uomo, questo paradosso. Antropologia filosofica II. Trattato sulla con-
centrazione e condizione antropologico, Urbaniana University Press, Roma 2000, hlm. 33.
5
Leo ELDERS, La filosofia della natura di san Tommaso d’Aquino, Libreria Editrice Vaticana, Città del
Vaticano 1997, hlm. 349.

15
bermoral selalu bertindak ke arah yang baik seturut terang intelek 6. Kehendak mendorong intelek untuk
berpikir dan memutuskan apa yang dibuat.

c) Dimensi sosialitas (transitiva)


Dimensi ini menggarisbawahi manusia sebagai mahluk yang eksentris, yang terarah keluar dari
dirinya menuju ke yang lain. Aspek eksentris ini berhubungan dengan relasi sosial. Keberadaan manusia
adalah keberadaan bersama yang lain. Manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain.
2. Manusia, kesatuan yang total
Manusia terbentuk dari dua realitas: badan dan jiwa. Realitas ini mendasari seluruh pemikiran
antropologis kristiani. Refleksi moral memberi pengertian terhadap badan-jiwa dengan mengikuti refleksi
antropologi kristiani. Badan dipahami sebagai materi yang memberi forma dan bentuk kepada jiwa dalam
kebersamaan untuk membentuk kesatuan manusia. Jiwa dipahami sebagai daya, intensi atau gaya yang
mewujud di dalam materi. Maka seluruh materi entah kaki, tangan, mata, darah atau apa saja pada
manusia bersifat manusiawi; tidak pernah tidak bersifat manusiawi karena adanya jiwa. Jiwa yang
memberi daya kepada materi dan juga memberi kemampuan kepada badan (materi) untuk bergerak dan
berbeda sekali dari gerakan hewan yang kaku da tidak luwes.
Badan-jiwa (jasmani-rohani) adalah dua aspek dari manusia yang sama. Manusia berada di dalam
satu kesatuan yang total. Demikian juga di dalam setiap tindakannya, tindakan itu merupakan tindakan
bersama dari badan-jiwa. Maka perbuatan dosa atau godaan tidak boleh dianggap hanya diakibatkan oleh
materi atau badan saja. Semua itu adalah doa bersama badan-jiwa. Seluruh tindakan manusia bersifat
badan-jiwa atau bersifat rohani-jasmani yang menggambarkan satu kesatuan yang total dari manusia yang
sama.

3. Manusia sebagai persona


Keberadaan manusia yang intelektual, afektif dan biologis menyandang gelar yang disebut “persona”.
Persona berarti manusia yang adalah pribadi yang utuh. Unsur-unsur pembentuk saling berhubungan satu
sama lain untuk membentuk suatu struktur tertentu dan fungsi tertentu. Persona juga berarti manusia yang
adalah seorang individu yang tidak ada duanya. Ia unik sebagai mahluk hidup. Ia berbeda dari yang lain.
Persona juga berarti seorang pribadi yang mampu untuk merefleksikan dirinya sendiri. Ia mempunya
kemampuan yang memungkinkan dia mampu melihat dirinya sendiri. Ia juga sekaligus mampu melihat
kedalaman dirinya dan mendengarkan “suara” di dalam dirinya sendiri.

4. Manusia, subyek yang bertindak


4.1. Prinsip dasarr tindakan
6
Bdk. Battista MONDIN, “Libero arbitrio”, in Dizionario enciclopedico del pensiero di S. Tommaso
D’Aquino, Edizioni Studio Domenicano, Bologna 1991, hlm. 112.

16
Menurut Thomas Aquinas, prinsip dasar tindakan manusia adalah tuan atas tindakannya sendiri
sehingga dia harus siap menerima efek positif dan efek negatif dari tindakannya itu 7. Setiap tindakan
selalu mengarah kepada sebuah tujuan.
4.2. Kualitas Tindakan manusia
Bagi Aristoteles, manusia dalam setiap tindakannya selalu mengejar yang baik. Apa itu baik?
Menurut Thomas Aquinas, yang baik (bonum) adalah suatu kualitas yang kepadanya semua orang ingin.
Dan setiap tindakan itu harus selalu bertujuan baik sebab jika tujuannya baik maka semuanya akan
menjadi baik.
4.3. Klasifikasi tindakan manusia
Teologi moral sejak zaman skolastik seringkali memulai diskusinya tentang manusia dan tingkah
lakunya dengan membuat perbedaan antara tindakan manusiawi (actus humanus) dan tindakan manusia
(actus hominis)
4.3.1. Actus humanus
Adalah perbuatan yang dilakukan seseorang dalam keadaan tahu dan sadar , mau (bebas-rela) dan
tindakan itu harus dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, suatu tindakan menjadi tindakan yang khas
manusia (suatu human act) kalau disadari dan dimaui. Agar sebuah tindakan disebut actus humanus maka
dasar pijakannya adalah unsur-unsur konstitutif, yakni intelektual dan kehendak.
Unsur intelektual (intellectus) menggarisbawahi aspek ini: seseorang tidak bisa menginginkan
sesuatu tanpa terlebih dahulu mengetahui apa yang dia inginkan. Atau tahu bahwa saya melakukan
sebuah tindakan, tahu bahwa saya melakukan tindakan apa dan tahu tentang norma yang mengatur
tindakan saya. Sebuah tindakan disebut actus humanus dan dikategorikan sebagai tindakan yang baik dan
jahat hanya jika aspek-aspek tertentu diketahui. Contoh, jika Anda mendapat hadiah HP baru dari
seseorang tanpa tahu bahwa HP itu hasil curian, maka Anda tidak bersalah. Anda hanya menjadi korban
ketidaktahuan, hal yang membebaskan Anda dari pertanggungjawaban moral.
Unsur kehendak (voluntas) menegaskan bahwa sebuah tindakan harus dibuat dengan bebas
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Klasifikasi tindakan voluntaris: sempurna-tidak
sempurna, langsung-tidak langsung, positif-negatif.
4.3.2. Actus hominis

Tindakan manusia (actus hominis) merupakan tindakan yang tampak sebagai sebuah tindakan
yang bersifat spontan.

4.4. Struktur tindakan manusia

7
Bdk. S. TOMMASO D’AQUINO, Summa Teologica, I-II, q.8. a. 1.sc

17
Agar kita dapat menganalisa struktur tindakan manusia, maka pijakan kita adalah pada unsur-
unsur konstitutif atau sumber-sumber yang turut menentukan moralitas tindakan. Unsur-unsur ini disebut
fontes moralitates. Ada tiga fontes moralitates yakni:
4.4.1. Finis operis (obyek tindakan/obyek material)
Adalah akibat langsung yang disebabkan oleh sebuah tindakan. Akibat langsung tersebut bukan
saja membawa perubahan fisik dan psikis dari sebuah tindakan melainkan juga mempengaruhi dan
menghilangkan hak dan kepentingan tertentu. Misalnya, obyek dari sebuah tindakan pencurian itu bukan
saja “memindahkan” barang dari rumah seseorang ke rumah saya, tetapi juga menghilangkan hak milik
orang itu. Atau obyek dari perselingkuhan bukan saja peristiwa hubungan seks dari dua orang yang bukan
suami-isteri melainkan menghilangkan hak perkawinan dan serangan atas hak orang ketiga.
4.4.1. Finis operantis (intensi pelaku/obyek formal)
Adalah maksud atau intensi yang mendorong dilakukanya sebuah tindakan. Dengan kata lain,
finis operantis adalah “akibat yang diharapkan” secara subyektif oleh pelaku. Berkaitan dengan finis
operantis ini, Gereja memperjelas ajaran Thomas Aquinas yang menekankan bahwa “maksud yang baik
tidak pernah dapat membenarkan kegiatan yang jahat”. Misalnya, tujuan yang membangun gedung gereja
paroki dalam dirinya adalah baik (untuk mengumpulkan umat merayakan kultus keagamaan) namun
tujuan tersebut tidak pernah membenarkan tindakan pencaplokan tanah atau merampok uang di bank
untuk pembangunan gereja tersebut.
4.4.2. Circumstantiae (situasi/keadaan yang mempengaruhi tindakan)
Adalah sebuah keadaan/situasi yang turut mempengaruhi sebuah tindakan. Situasi itu relevan
secara moral jika memperbesar atau mengurangi akibat-akibat tambahan yang baik atau buruk atau tidak
mengadung kemungkinan besar untuk menimbulkan akibat-akibat baik atau buruk. Contoh, apabila
sebuah joget profan dengan kepala ke bawah dan kaki ke atas dengan posisi kangkang kiri-kanan pada
saat pemberkatan gereja baru. Situasinya adalah gereja menjadi panggung pentas. Sebagai karya seni
kreatif, tarian itu perlu dihargai, tapi ketika gaya ‘kesurupan’ di atas dipentas di gereja yang seharusnya
merupakan tempat suci, maka yang terjadi adalah pemerkosaan terhadap nilai sebuah tempat suci.
Dalam circumstantiae, ada beberapa persyaratan moral: siapa?, dengan cara apa?, apa?, dimana?,
kapan?, bagaimana?, untuk apa?, memakai apa ?.
Lalu bagaimana situasi dapat mempengaruhi moralitas sebuah tindakan? Pertama, dalam arti
positif, sebuah situasi dapat membuat sebuah tindakan baik dari segi obyek menjadi lebih baik. Contoh, si
miskin memberi derma maka tindakan cintanya dianggap bernilai lebih besar dari mereka yang kaya.
Atau penyangkalan iman dibawah ancaman senjata lihat kurang jahat jika dibandingkan dengan
penyangkalan iman demi sebuah jabatan, harta. Kedua, dalam arti negatif, sebuah situasi dapat membuat
sebuah tindakan jahat dari segi obyek menjadi lebih jahat. Contoh, pemfinahan di hadapan umum

18
dianggap lebih jahat bila hal yang sama dibuat di depan satu orang saja. Atau pembangunan gedung
gereja adalah hal terpuji namun menjadi tidak terpuji bahkan jahat kalau dibangun dengan uang hasil
curian.
4.5. Limitas dan halangan-halangan sebuah tindakan
Kebebasan manusia untuk melakukan tindakannya tentu saja ada hal yang membatasi atau
menghalanginya. Adapun limitas dan halangan sebuah tindakan adalah:
a. Ketidaktahuan (ignorantia)
Ketidaktahuan dapat dipandang dalam konteks dapat diatasi maupun tidak dapat diatasi.
Ketidaktahuan yang dapat diatasi tidak mengurangi kualitas moral atas tindakannya, akan
tetapi tanggungjawab atas tindakannya harus tetap diterima. Sedangkan ketidaktahuan yang
tidak dapat diatasi adalah ketidaktahuan yang mengurangi kualitas moral karena seseorang
bertindak di atas hal yang tidak dia ketahui.
b. Emosi dan nafsu (cupido)
Ada dua hal yang perlu dipahami, yakni: pertama, emosi dan nafsu yg muncul secara
spontan. Emosi dan nafsu yang muncul secara spontan tidak dapat dikatakan mempunyai
kualitas moral. Mengapa? Karena tidak ada kebebasan dan kerelaan yang didasari akal budi
seseorang untuk memilih atau menolak tindakan; kedua, emosi dan nafsu yang muncul karena
adanya usaha serta rangsangan yang disengaja oleh seseorang. Terdapat kebebasan dan
kerelaan individu untuk memilih atau menolak tindakan tersebut.
c. Ketakutan (metus)
Ketakutan dikatakan mengurangi kualitas moral seseorang karena dengan adanya ketakutan
dalam bertindak, syarat kebebasan dan kerelaan tidak terpenuhi. Padahal, kebebasan dan
kerelaan menjadi syarat jika suatu tindakan manusia dikatakan mempunyai kualitas moral.
d. Kekerasan (vis)
Kekerasan mengurangi kualitas moral seseorang dikarenakan adanya ketidakbebasan dan
ketidakrelaan seseorang dalam bertindak.
e. Kebiasaan (habitus)
Kebiasaan dikatakan mengurangi kebebasan serta kerelaan tindakan seseorang jika kebebasan
tersebut hanya sekedar mengulang dari tindakannya yang sudah-sudah dan dilakukan dalam
keadaan tidak sadar.
4.6. Tindakan berakibat rangkap

Kita perlu dan harus membedakan tindakan antara (a) menyebabkan suatu bahaya sebagai akibat
sampingan untuk mencapai tujuan yang baik, dan (b) menyebabkan suatu bahaya sebagai suatu cara untuk

19
mendapatkan tujuan yang baik. Point pertama (a) bisa dibenarkan, point (b) tidak pernah dapat
dibenarkan.

Pada point pertama, seseorang diizinkan untuk menjalankan cara tersebut, walaupun
menimbulkan bahaya dan bahaya itu bukanlah bahaya sebagai cara yang dipilih, namun merupakan akibat
samping, yang tidak disengaja atau yang tidak diinginkan, yang dilakukan setelah mempertimbangkan
secara proposional. Contoh, operasi anak dalam kandungan untuk menyelamatkan ibu hamil. Efek negatif
dari tindakan itu adalah akibat samping yang tidak diinginkan.

Point kedua, cara yang diambil adalah suatu hal yang buruk, walaupun mempunyai tujuan yang
baik. Dan hal ini tidak dapat ditolerir secara moral. Contoh, seorang mahasiswa STIPAS St. Sirilus
Ruteng tidak pernah boleh menyontek, walaupun dengan tujuan yang baik (mendapatkan nilai yang baik
dan menyenangkan orangtua). Contoh lain, tindakan aborsi dengan alasan bahwa keluarga tidak dapat
memenuhi kebutuhan hidup sang bayi.

Beberapa persyaratan yang membenarkan tindakan berakibat rangkap:

1) Perbuatan itu dalam dirinya merupakan perbuatan moral yang baik atau tidak berniat jahat
2) Si pelaku tidak menginginkan atau secara sengaja menyebabkan efek negatif yang terjadi. Jika
sesuatu yang baik dapat dicapai tanpa menimbulkan efek negatif, maka cara tersebut yang harus
diambil
3) Efek positif harus terjadi dari perbuatan yang diambil, bukan efek negatif yang terjadi
4) Harus ada alasan yang begitu kuat secara proposional untuk mengijinkan efek negatif terjadi. Di
sini diperlukan kebijaksanaan untuk memutuskan suatu tindakan, sehingga efek yang baik adalah
lebih besar dari efek negatif.

Penerapan teori ini dapat kita lihat dalam kasus-kasus di bawah ini:

1) Membunuh orang karena membela diri


Thomas Aquinas mengatakan bahwa tindakan pembunuhan tersebut bukanlah tujuan untuk
membunuh orang yang hendak membunuh, namun untuk melindungi diri. Dan obyek moral dari
perbuatan ini bukanlah pembunuhan, namun pembelaan diri. Orang yang membela diri ( X) ,
tidak mempunyai maksud untuk membunuh atau melukai orang yang ingin membunuhnya (Y).
Kalau Y tidak mencoba membunuh X, maka X tidak mempunyai maksud apapun untuk
membunuh Y.
Katekismus Gereja Katolik no. 2263 mengutip ajaran Thomas Aquinas bahwa: “pembelaan yang
sah dari pribadi dan masyarakat tidak merupakan pengecualian dari larangan membunuh
seseorang yang tidak bersalah, yakni melakukan pembunuhan dengan tahu dan mau. Dari

20
tindakan orang yang membela diri sendiri, dapat menyusul akibat ganda: yang satu ialah
menyelamatkan kehidupannya sendiri, yang lain ialah pembunuhan penyerang”.
2) Membela diri secara militer
Menurut ajaran Katekismus Gereja Katolik no. 2309, membunuh dengan intensi membela diri
secara militer bisa dibenarkan dengan syarat bahwa: kerugian yang diakibatkan oleh penyerang
atas bangsa atau kelompok, semua cara yang lain untuk mengakhirinya harus terbukti sebagai
tidak mungkin atau tidak efektif, harus ada harapan yang sungguh akan keberhasilan dan
penggunaan senjata-senjata tidak boleh mendatangkan kerugian dan kekacauan yang lebih buruk
daripada kejahatan yang harus dielakkan.
Dalam menentukan apakah syarat-syarat ini terpenuhi, daya rusak yang luar biasa dari
persenjataan modern harus dipertimbangkan secara serius. Inilah unsur-unsur biasa, yang
ditemukan dalam ajaran yang dinamakan tentang “perang yang adil”. Penilaian apakah semua
prasyarat yang perlu ini agar diperbolehkan secara moral suatu perang pembelaan sungguh
terpenuhi, terletak pada pertimbangan bijaksana dari mereka, yang kepadanya dipercayakan
pemeliharaan kesejahteraan umum.
3. Menyelamatkan nyawa ibu namun mengakibatkan kematian bayi dalam kandungan
Dalam kasus ini, tidak ada intensi buruk untuk membunuh bayi. Operasi harus dilakukan karena
tidak ada cara lain untuk menyelamatkan keduanya: ibu dan bayi dan operasi dapat dibenarkan
dengan intensi untuk memperbaiki bagian yang rusak. Proses keselamatan dari sang ibu bukanlah
dari perbuatan pembunuhan bayi tersebut, namun dari usaha untuk memperbaiki bagian tubuh
yang rusak.

21

Anda mungkin juga menyukai