Anda di halaman 1dari 5

Ringkasan Jurnal

Pada jurnal pertama, saya bertanya kepada ayah saya terkait dengan masalah
kepemimpinan dalam adat Batak. Ayah saya merupakan seorang yang paham betul mengenai
sejarah kepemimpinan adat Batak, karena itu saya tertarik menjadikan ayah saya sebagai
salah satu narasumber saya dalam penelitian ini. Jadi, menurut ayah saya, dalam adat Batak
ada yang disebut dengan raja huta, yakni seorang pemimpin dalam sebuah kampung tertentu
yang mengatur, memimpin, serta berkuasa terhadap warga kampung yang dipimpinnya. Dia
juga menjadi figur yang sangat dihormati oleh warga-warga di kampungnya. Raja huta
terpilih langsung menjadi seorang pemimpin tanpa ada pemungutan suara atau voting dari
siapa pun. Mengapa demikian? Raja huta sesungguhnya adalah orang yang pertama sekali
menginjakkan kakinya pada suatu kampung atau wilayah, sehingga secara otomatis dia
langsung menjadi seorang pemimpin di kampung atau wilayah tersebut. Raja huta memiliki
wibawa kepemimpinan yang kuat, karena salah satu tugas dari seorang raja huta adalah
memimpin acara-acara atau upacara-upacara dalam adat Batak, yang seringkali disebut
sebagai mangadati oleh orang Batak.
Pada jurnal kedua, saya mendapatkan kesempatan untuk mewancarai seorang guru
sekolah minggu di gereja saya yang sekaligus juga berprofesi sebagai guru di sebuah Sekolah
Dasar. Dia sudah memiliki pengalaman mengajar dan mendidik anak-anak cukup lama,
karena itu saya sangat beruntung dapat berjumpa dan berbincang-bincang dengannya. Saya
sangat ingin mengetahui cara dia memimpin anak-anak. Namanya adalah Mawar Sibarani.
Setelah berbincang lama dengannya, banyak hal yang saya dapatkan. Menurut dia, teguran
yang dia terapkan ketika anak melakukan kesalahan, bisa diwujudkan dalam dua cara, secara
kasar (direct) maupun secara halus (indirect). Dia cenderung lebih tertarik menggunakan
metode menegur secara halus. Mengapa demikian? Seorang anak secara psikologi tidak dapat
dibentak, karena akan membuat mereka takut untuk berkarya. Jadi, lebih baik diberi tahu
kesalahannya, tanpa harus mematikan kepercayaan dirinya. Namun, teguran itu hanya
bersifat sementara. Secara berkala, dapat dilakukan bimbingan atau pantauan agar dia tidak
melakukan kesalahan yang sama. Tidak kalah penting lagi, anak diberikan reward apabila dia
mampu mengerjakan tanggung-jawabnya, seperti mengerjakan pekerjaan rumah. Reward itu
bisa dalam bentuk pemberian barang atau ucapan “terima kasih”. Dengan begitu, sang anak
dapat termotivasi untuk belajar dan menjadi pribadi yang lebih baik.
Pada jurnal ketiga ini, saya kembali mewancarai ayah saya. Kali ini, saya
menekankan percakapan kami seputar kekeluargaan atau kekerabatan dalam adat Batak.
Ayah saya mengatakan bahwa dalam adat Batak pada gilirannya semua orang Batak akan
menjadi pemimpin. Pernyataan ini berasal dari filosofi orang Batak, yaitu Dalihan Na Tolu
yang secara harfiah berarti “tungku yang berkaki tiga”. Dalihan Na Tolu merupakan
kedudukan fungsional dasar orang Batak yang sangat penting serta konstruksi sosial
kekerabatan, yang terdiri dari somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu.
Somba marhula-hula berarti sembah atau hormat kepada keluarga dari pihak istri. Elek
marboru berarti sikap membujuk atau mengayomi wanita. Misalnya, tuan Siregar mengambil
nyonya Hutauruk (anak perempuan tuan Hutauruk), maka tuan Hutauruk sebagai boru harus
melayani tuan Siregar (beserta seluruh keturunan tuan Siregar yang laki-laki). Yang terakhir,
manat mardongan tubu, berarti bersikap hati-hati kepada teman semarga agar tidak terjadi
pertikaian atau selisih paham. Berdasarkan falsafah Dalihan Na Tolu ini, bisa dipahami
bahwa orang Batak pada gilirannya akan menjadi orang yanglo dihormati dan memimpin.
Dengan kata lain, dalam adat Batak tidak ada kepemimpinan yang bersifat otoriter (berkuasa
sepenuhnya), melainkan bersifat egaliter (sederajat). Bisa jadi, filosofi ini disebabkan oleh
karena semua orang Batak berasal dari keturunan raja, yakni Raja Batak, sehingga semua
orang Batak tidak ada yang derajatnya lebih tinggi.
Dalam jurnal keempat, saya mewawancarai pendeta di gereja saya. Namanya adalah
Dina Siregar (nama samaran). Menurut saya, dia adalah orang yang cukup cerdas, baik hati,
dan memiliki pengalaman yang luas mengenai kebudayaan Batak. Saat itu, saya bertanya
seputar struktur kepemimpinan dalam budaya Batak. Ternyata, dalam sistem kepemimpinan
budaya Batak ada tingkatan pemimpin adat dari tingkat huta, horja, dan bius. Huta artinya
desa atau kampung, yang terbentuk pada awalnya dari pembukaan lahan menjadi parhutaan
(tempat tinggal). Yang mendirikan pertama sekali huta disebut sebagai sipukka huta (pendiri
kampung), yang kemudian menjadi raja huta. Raja huta inilah yang kemudian menjadi
mengatur dan memimpin dalam segala hal terhadap seluruh penduduk dalam wilayah
kepemimpinannya. Kemudian, tingkat horja, merupakan gabungan dari beberapa huta yang
berdekatan dan marga yang berbeda, namun memiliki pertalian. Horja terbentuk oleh
sekelompok marga raja, sipukka huta, marga boru, dan pendatang baru. Biasanya dalam
pengambilan keputusan penting selalu berdasarkan mufakat bersama antara marga raja dan
marga boru dalam konteks horja. Yang terakhir adalah tingkat bius, yakni perkumpulan yang
terdiri dari beberapa horja. Bius adalah perkumpulan yang berkuasa serta memerintah
wilayah tertentu. Ada dua kepemimpinan dalam perkumpulan bius, yaitu raja bius
(pemimpin sekuler), dan pande bolon (pemimpin rohani). Musyawarah tertinggi dalam sistem
bius disebut tuan natorop, artinya orang banyak yang berdaulat. Dari semua sistem ini,
barulah muncul partuturan (sistem kekerabatan), kemudian dalihan na tolu. Fungsi seluruh
sistem ini adalah supaya ada kejelasan, ketepatan, kepastian dalam panggilan kekerabatan,
sehingga terjadi relasi dan interaksi yang baik terhadap sesama orang Batak.
Pada jurnal kelima, saya mewawancarai kerabat dari ayah saya, yang saya panggil
dengan sebutan Bapak Uda. Dia bernama Tino Nainggolan. Dia bekerja sebagai HRD
(Human Resources Development) di salah satu perusahaan di Tangerang. Dia merupakan
pekerja keras, dan sosok yang tidak mudah menyerah. Itu terbukti dari semangatnya untuk
mencari kerja ke Jakarta dari kampungnya, dan tak disangka dia cukup berhasil di Jakarta.
Pada kali ini, saya ingin bertanya padanya terkait dengan faktor-faktor apa saja yang
dibutuhkan sebagai pemimpin yang ideal. Menurutnya, faktor yang penting adalah
pendidikan. Dengan pendidikan yang tinggi, seseorang dapat memeroleh status yang lebih
tinggi, kehormatan, kekayaan, kedudukan, dan kekuasaan. Ini jugalah yang menyebabkan
mengapa orang Batak berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih
tinggi. Karena itu, jika seseorang berpendidikan rendah, dia tidak dapat menjadi pemimpin
yang ideal bagi orang Batak. Mayoritas orang Batak, memiliki ekspektasi bahwa pemimpin
adalah orang yang pintar, berpengaruh, dan sukses.
Pada jurnal keenam, saya mewancarai pendeta di gereja saya yang bernama Uli
Siregar. Saya memang berencana untuk datang kerumahnya dalam rangka mewancarainya
seputar kepemimpinan yang ideal menurutnya. Saya sangat suka dengan kepribadiannya yang
humoris, rendah hati, baik, dan mudah bergaul terhadap orang-orang disekitarnya.
Menurutnya, kepemimpinan yang ideal adalah kepemimpinan yang demokratis. Pemimpin
yang mempersilakan semua orang yang dipimpinnya agar ikut berpartisipasi dan
berkontribusi dalam mengambil keputusan tertentu. Apalagi menjadi pemimpin gereja,
sebaiknya tidak mengambil keputusan sendiri namun harus mendorong partisipasi dari jemaat
pula. Misalkan, ketika mengadakan rapat huria (rapat yang dihadiri oleh seluruh jemaat)
untuk membicarakan suatu rencana atau progam gereja. Maka, diperlukan pendapat,
masukan, dan bantuan dari jemaat untuk menyukseskan rencana atau program tersebut. Dia
juga bilang bahwa setiap pemimpin harus terbuka pada masukan-masukan dari orang lain.
Seorang pemimpin yang ideal harus bersikap menghargai, menghormati, dan menerima
pendapat ataupun saran dari orang lain.
Pada jurnal ketujuh, sepulang dari asrama, saya mewancarai mama saya setibanya di
rumah. Menurut saya pribadi, mama saya adalah orang yang sangat tangguh. Tangguh dalam
mengurus seluruh urusan domestik maupun non-domestik. Dia juga mendidik saya dan
saudara-saudara saya sangat disiplin dan keras. Dia tidak pernah memanjakan kami semua,
melainkan menghajar kami apabila kami berbuat sesuatu yang salah. Namun, itu semua dia
lakukan untuk kebaikan kami, agar kami tidak menjadi orang yang manja kelak. Dari
pencermatan saya, saya menyadari bahwa peran seorang ibu ternyata sangatlah penting. Ibu
juga berperan penting untuk menjadi pemimpin keluarga dalam memberikan didikan-didikan
maupun nasihat-nasihat. Peran itu tidak hanya aktif pada sosok ayah saja, melainkan juga
seorang ibu.
Pada jurnal kedepalan dan kesembilan, saya mewancarai kakek saya. Namanya adalah
A Hutauruk. Karena orang Batak menyebut kakek sebagai opung, maka saya memanggilnya
Opung A Hutauruk. Dia memiliki dua orang anak yang bernama Ita dan Riko. Dia bekerja
disebuah perusahaan Pertamina tanpa saya tahu bekerja sebagai apa. Namun, melihat
hidupnya yang cukup mapan, saya rasa dia memiliki finansial yang lebih tinggi dibandingkan
opung saya yang lain. Ketika saya tiba dirumahnya, tidak lama setelah saya berbincang-
bincang saya langsung menjelaskan tujuan kedatangan saya. Singkat cerita, saya pun dapat
mewancarainya seputar asal mula lahirnya konsep kepemimpinan dalam budaya Batak. Dia
menjelaskan bahwa konsep kepemimpinan berasal dari konsep Dalihan Na Tolu (hula-hula,
boru, dongan tubu). Konsep ini mengajarkan bahwa tidak ada kepemimpinan yang monarki
(berkuasa sepenuhnya), karena semua orang pada saat tertentu akan menjadi pemimpin.
Namun, perlu diketahui bahwa konsep inilah yang akhirnya memperkuat kekeluargaan orang
Batak sampai saat sekarang.

Analisis Narasumber
Narasumber 1 (Tuan Nainggolan, ayah saya). Ayah saya lahir pada tanggal 7 Oktober 1971.
Dia bekerja di sebuah perusahaan swasta sebagai manajer personalia. Ayah saya memiliki
pengetahuan yang cukup luas tentang budaya Batak. Menurut beliau, asal mula
kepemimpinan dalam budaya Batak berasal dari raja huta, yakni orang yang pertama kali
menginjakkan kaki pada suatu wilayah dan menjadikan wilayah tersebut menjadi
kampungnya lalu dia memimpin, mengatur, dan berkuasa di kampung tersebut.

Narasumber 2 (Mawar Sibarani, salah satu guru sekolah minggu di gereja saya). Dia berumur
sekitar 25an. Dia telah menjadi guru sekolah minggu selama tiga tahun di gereja saya. Selain
menjadi guru sekolah minggu, beliau juga berprofesi sebagai guru SD. Karena itu, dia sangat
berpengalaman memimpin anak-anak. Menurutnya, anak-anak harus diberikan reward jika
berhasil mengerjakan suatu tugas. Reward itu bisa berbentuk ucapan terima kasih ataupun
barang, agar sang anak semakin semangat dan lebih percaya diri.
Narasumber 3 (Inang Dina Siregar, pendeta di gereja saya). Beliau berumur sekitar 40an.
Beliau telah melayani sebagai pendeta perbantukan di gereja saya selama tiga tahun. Bagi
saya, beliau merupakan orang yang cerdas, baik hati, dan rendah hati.

Narasumber 4 (Uda Tino Nainggolan, kerabat ayah saya). Beliau berasal dari dan lahir di
Sibola, Sumatera Utara. Saya memanggilnya Uda, yang berarti panggilan terhadap orang
yang semarga dan urutan keturunannya sama dengan ayah saya, namun umurnya lebih tua
dari ayah saya. Beliau adalah sosok pekerja keras dan tidak mudah menyerah. Itu terlihat dari
perjuangannya mencari kerja ke Jakarta jauh-jauh dari kampungnya. Menurutnya,
kepemimpinan yang ideal salah satu faktor yang menentukan adalah pendidikan.

Narasumber 5 (Inang Uli Siregar, pendeta di gereja saya). Beliau adalah pendeta dari gereja
saya juga. Dia berumur 41 tahun. Saya sangat suka dengan kepribadiannya yang humoris.
Karena daya humorisnya yang tinggi, banyak jemaat yang suka terhadapnya. Baginya,
kepemimpinan yang ideal adalah pemimpin yang demokratis.

Narasumer 6 (Nyonya Hutauruk, mama saya). Mama saya lahir pada tanggal 10 Mei 1971.
Beliau adalah sosok yang cukup disiplin dan keras terhadap anak-anaknya. Sesungguhnya,
dia mendidik dengan demikian, demi kebaikan anak-anaknya. Bagi saya, beliau adalah sosok
yang cukup berpengaruh dalam hidup saya, karena beliau saya tidak terlahir sebagai anak
yang manja.

Narasumber 7 (Opung A Hutauruk, kakek saya). Beliau berumur sekitar 60an. Dia adalah
adik dari kakek saya (dari ibu saya). Dia merupakan sosok yang cukup ramah, baik, dan asyik
diajak untuk bercengkerama. Menurutnya, semua orang Batak pada gilirannya akan menjadi
seorang pemimpin adat.

Anda mungkin juga menyukai