Anda di halaman 1dari 5

PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER DALAM PAPPASENG

Sejak dahulu, Sulawesi Selatan dikenal memiliki keanekaragaman budaya yang


bernilai tinggi. Keanekaragaman budaya daerah Sulawesi Selatan, antara lain berupa
peninggalan sejarah, tardisi, dan adat-istiadat, Salah satu peninggalan sejarah yang
menyimpan berbagai aspek kebudayaan suku bangsa yang memiliki aksara sendiri ialah
naskah. Orang Bugis adalah salah satu suku bangsa yang beruntung memiliki aksara
sehingga aspek kebudayaan pada masa lampau masih dapat tersimpan dalam naskah
Lontarak. Salah satu bentuk naskah Lontarak Bugis yang berhubungan dengan kearifan
dan sarat dengan nilai dan karakter dikenal dengan istilah Pappaseng ‘Pesan-pesan;
nasihat; wasiat’
1. Nilai
Nilai adalah segala sesuatu yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan
manusia. Nilai dapat pula berupa kualitas diri sesuatu yang dapat menimbulkan respon
penghargaan yang dapat dirasakan oleh setiap manusia. Nilai tidak dapat dipisahkan
dari kehidupan manusia. Nilai selalu menjadi patokan yang mengarahkan setiap
tindakan atau perbuatan manusia.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Nilai selalu menjadi patokan yang mengarahkan
setiap tindakan atau perbuatan manusia.
2. Karakter
Karakter merupakan cerminan diri manusia terkait tentang tabiat
seseorang dalam bertingkah laku yang menjadi kebiasaan dalam kesehariannya, tabiat
tersebut bisa baik atau buruk. Menurut Ramli dalam Heri Gunawan (2012:23)
pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral
dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi
manusia yang baik, warga masyarakat dan warga Negara yang baik
Nilai Karakter dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah Bugis
a) Religius (todopuli)
 Kata religius berasal dari re. li. gi/re’ligi/n sistem kepercayaan dan peribadatan
kepada Tuhan.
 Religius dalam Bahasa Daerah (Bugis/Makassar) disebut todo( toddo) :
patokan, pedoman hidup, todopuli(toddopuli) : Kebulatan tekad. 2. siKErua

i
(singkerruang), dan (Toraja) disebut Kapatongan(Aluq) yang berarti :
Keyakinan, prinsip, ketetapan hati.
Religius adalah sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama
yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan
pemeluk agama lain (Suparlan, 2010). Kementrian Lingkungan Hidup (dikutip oleh
Thantowi, 2012) menjelaskan lima aspek religious dalam islam, yaitu:
Aspek Iman, menyangkut keyakinan dan hubungan manusia dengan Tuhan,
malaikat,
para Nabi dan sebagainya. Aspek Islam, menyangkut frekuensi, intensitas
pelaksanaan ibadah yang telah ditetapkan, misalnya sholat, puasa, dan zakat.Aspek
ihsan, menyangkut pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan, takut
melanggar larangan dan lain-lain. Aspek Ilmu, yang menyangkut pengetahuan
seseorang tentang ajaran-ajaran. Aspek Amal, menyangkut tingkah laku dalam
kehidupan bermasyarakat, misalnya: menolong orang lain, membela orang lemah,
bekerja dan lain sebagainya.
b) Jujur “Lempu”
Lempu’ : dalam bahasa Indonesia artinya jujur, sama dengan lurus sebagai
lawan dari bengkok. Ketika Tociung, cendekiawan Luwu, diminta nasihatnya oleh
calon raja (Datu) Soppeng, La Manussa’ Toakkarangeng, beliau menyatakan ada
empat perbuatan jujur, yaitu (a) memaafkan orang yang berbuat salah kepadanya;
(b) dipercaya lalu tak curang, artinya disandari lalu tak berdusta; (c) tak
menyerakahi yang bukan haknya; (d) dan tidak memandang kebaikan kalau hanya
buat dirinya, baginya baru dinamakan kebaikan jika dinikmati bersama.
Sejalan dengan pengertian ini Kajao Laliddong, cendekiawan Bone menjelaskan
kejujuran ketika ditanya oleh Arumpone mengenai pokok-pangkal keilmuan.
Apakah saksinya (sabbi) atau bukti kejujuran (lempu’) ? ’Seruan (obbi’) ya
Arumpone!” Apa yang diserukan ya Kajao? ”Adapun yang diserukan adalah :
Jangan mengambil tanaman yang bukan tanamanmu; jangan mengambil barang-
barang yang bukan barang-barangmu, bukan juga pusakamu; jangan mengeluarkan
kerbau (dari kandangnya) yang bukan kerbaumu, juga kuda yang bukan kudamu;
jangan ambil kayu yang disandarkan, yang bukan engkau menyandarkannya;
jangan juga kayu yang sudah ditetak ujung pangkalnya yang bukan engkau
menetaknya.

ii
c) Toleransi ”Sipkaraja”
Toleransi ”Sipkaraja” adalah konsep yang memandang manusia sebagai makhluk
yang senang dipuji dan diperlakukan dengan baik, diperlakukan dengan selayaknya.
Karena itu manusia Bugis tidak akan memperlakukan manusia lain dengan
seadanya, tetapi ia cenderung memandang manusia lain dengan segala
kelebihannya. Setiap orang mempunyai kelemahan dan kelebihan. Untuk setiap
kelebihan manusia lainnya itulah ia akan diperlakukan. Saling memuji akan
menciptakan suasana yang menyenangkan dan menggairahkan, sehingga siapapun
yang berada dalam kondisi tersebut akan senang dan bersemangat. Sifat sipakalebbi
akan membuat siapapun akan menikmati hidup sebagai suatu keindahan. Hal ini
pula sesuai dengan naluri manusia yang senang dipuji, tentu asalkan jangan
kelewatan porsinya, atau memuji dengan suatu pamrih
d) Kepandaian “Acca”
Acca dalam bahasa Indonesia berarti kepandaian atau kepintaran dapat dipahami,
baik dalam arti positif maupun negatif. Padahal acca bukan pandai atau pintar tetapi
cendekia atau intelek, (cendekia dari Sangsekerta, kearifan dari bahasa Arab).
Lontara juga menggunakan kata nawa-nawa yang berarti sama dengan acca. Jadi
orang mempunyai nilai acca atau nawanawa oleh lontara disebut Toacca,).
Di dalam konsep nilai kecendekiaan terkandung, disamping nilai kejujuran, juga
nilai kebenaran, kepatutan, keikhlasan, dan semangat penyiasatan atau penelitian.
Tociung menyebutkan bahwa cendekiawan (toakenawanawa) mencintai perbuatan
dan kata yang benar, waktu menghadapi kesulitan dia memikirkannya kembali, dan
berhati-hati melaksanakan segala sesuatu. Petta Matinroe ri Lariangbanngi
(bangsawan tinggi Bone) menerangkan pula bahwa yang disebut pannawanawa
(cendekiawan) ialah orang yang ikhlas, yang pikirannya selalu mencari-cari sampai
dia menemukan pemecahan persoalan yang dihadapinya demikian juga perbuatan
yang menjadi sumber bencana dan sumber kebajikan.
e) Peduli Lingungan “sipakainge”
sipakainge merupakan sifat saling mengingatkan. Hal yang tak dapat di pungkiri
dari
manusia yaitu, memiliki kekurangan.. Sipakainge, berarti setiap manusia memiliki
kelebihan dan kekurangan. Adakalanya kita terpeleset, terjerumus dan tergoda atas
perbuatan-perbuatan yang melanggar norma. Dalam kondisi inilah kita akan saling
mengingatkan. Akan saling memberi peringatan. Siapapun yang berbuat salah akan

iii
diperingatkan perbuatannya yang salah tersebut. Sehingga siapapun akan selalu
diingatkan untuk berjalan di jalan yang lurus. Tidak ada orang yang bebas dari
peraturan.
3. PAPPASENG
Pappaseng seperti halnya dengan setiap kearifan atau kebijakan. Pappaseng
merupakan suatu bentuk pernyataan dengan bahasa yang mengandung nilai etis dan
moral, baik sebagai suatu sistem sosial maupun sebagai sistem budaya dari suatu
kelompok masyarakat Bugis.
Pappaseng dapat dikatakan bersinonim dengan pangaja yang bermakna nasihat,
namun pappaseng tidak cukup dimaknai sama dengan kata pangaja. Pappaseng lebih
menekankan pada ajaran moral yang patut dituruti, sedangkan pangaja menekankan
pada suatu tindakan yang harus dilakukan atau dihindarkan (Depdiknas, 2010: 215).
Sebagai bentuk ekspresi pikiran, pappaseng sering disampaikan dalam ber-bagai
peristiwa, pertemuan, hajatan, pidato dan sebagainya. Dalam berpidato, pembicara
biasanya menyampaikan pappaseng untuk menghidupkan suasana. Biasanya
penyampaian pidato yang dibumbui dengan pappaseng tidak akan membosankan
dan lebih menarik bagi pendengar. Pendengar biasanya akan lebih serius karena
pappaseng yang disampaikan itu berisi pesan-pesan moral yang dirasakan sangat
bermanfaat dalam menjalani kehidupan. Meskipun demikian, kita mengharapkan
pappaseng itu tidak hanya sebatas didengarkan, akan tetapi yang terpenting adalah
bagaimana pappaseng itu dapat diamalkan, diimple-mentasikan dalam berbagai aspek
kehidupan.

iv
Papaseng

1) tElu rial spo . tauea ri edwtea. siri ri wtkel nEniy siri ri pdt rup tau.
Hanya tiga yang dijadikan pagar : rasa takut kepada Tuhan, rasa malu pada diri
sendiri,
dan rasa malu kepada sesame manusia.
Penjelasan :
Rasa takut kepada Tuhan membawa ketaqwaan dan memperkuat iman. Rasa malu
kepada diri sendiri akan menekan niat buruk dan memperhalus akal budi, dan rasa
malu
kepada sesama manusia dapat membendung tingkah laku buruk dan meninggikan
budi
pekerti
2) troai tElE linoea tElai pEsonku ri msglea.
Biar dunia tenggelam, tak akan berubahkeyakinanku kepada Tuhan.
penjelasan: Apapun yang terjadi, keyakinan yang sudah dihayati kebenarannya
tidak boleh bergeser, karena segala kesulitan di dunia ini hanyalah tantangan untuk
menguji keimanan seseorang.
3) turuki ainpEsu pdai tongi lopi sEbo.
Menuruti hawa nafsu ibarat menumpang perahu bocor
Penjelasan
Jika menuruti hawa nafsu, lenyaplah pengendalian diri. Oleh karena itu, setiap
usaha yang dilandasi hawa nafsu, yang berlebihan bisa berakhir dengan kegagalan.

Anda mungkin juga menyukai