Anda di halaman 1dari 4

Militansi Wanita Batak di Tengah Himpitan Budaya Patriakis

Oleh Donda Hasian Tumpalina Sihite


NIM: 18110241009
Kebijakan Pendidikan 2018

Wanita adalah ciptaan Tuhan yang istimewa. Walau diberikan hati yang peka dan bertumpu
pada cinta, namun di sisi lain wanita tetap bisa berjuang dengan gagah perkasa, agar dapat
mewujudkan asa. Ketika menjadi seorang ibu, kegigihan dalam berjuang dengan penuh cinta
semakin membara. Seorang ibu dalam sebuah keluarga dapat melakoni berbagai memiliki peran,
sebagai pendidik yang merawat anak-anaknya, sebagai teman hidup bagi suaminya, dan sebagai
pengelola bahtera rumahtangga. Namun, keseharian para ibu dalam melayani keluarga tak jarang
harus terperangkap dalam suatu budaya yang sudah mendarah daging dalam sebuah suku, baik
sukunya sendiri maupun suku suaminya.
Saya diberi kehidupan oleh seorang wanita berdarah Batak tulen. Mama saya, merupakan
buah cinta dari H. B. P. Simanjuntak dan M. boru Manalu. Opung Doli (kakek) saya bermarga
Simanjuntak, maka mama saya pun menjadi boru Simanjuntak. Boru adalah sebutan marga untuk
perempuan, yang diwarisi Mama saya dari Opung Doli saya.
Bangsa Batak merupakan klan yang sangat patriarkis, dibuktikan dengan pewarisan marga
dari garis keturunan ayah. Namun, selain soal marga, aroma patrialis juga sangat terasa dalam
kehidupan sehari-hari. Kehidupan sosial hingga upacara adat orang Batak diatur dalam suatu
tatanan warisan nenek moyang yang disebut Dalihan Na Tolu.
Dalihan Na Tolu adalah sistem kekeluargaan yang mengatur Suku Batak antara satu
individu dengan lainnya. “Dalihan” secara harfiah adalah tungku, “Na Tolu” artinya yang tiga.
Dengan demikian Dalihan Na Tolu adalah tungku yang terbuat dari tiga buah batu yang dijadikan
sebagai tempat memasak. Tungku (dalihan) ini dapat digunakan secara baik untuk tempat
memasak karena terdiri dari tiga elemen (unsur). Demikian halnya upacara adat yang dilakukan
Orang Batak berjalan dengan baik apabila ketiga unsur Dalihan Na Tolu dapat melaksanakan
peranannya masing-masing. Salah satu dari ketiga unsur ini terganggu maka upacara adat tidak
sempurna (Mangihut Siregar: 13).
Prinsip dari Dalihan Na Tolu adalah masing-masing individu mempunyai posisi yang jelas
dalam kehidupan sehari-hari. Dalihan Na Tolu terdiri dari tiga unsur, yakni Hula-hula, Dongan
Tubu, dan Boru. Hula-hula mempunyai posisi yang paling tinggi. Hula-hula merupakan orang
yang memberi berkat ibarat Tuhan sehingga posisinya di atas (lebih tinggi). Posisi hula-hula harus
dihormati karena dialah yang memberi isteri, yakni orangtua isteri dan saudara-saudaranya.
Dongan tubu atau dongan sabutuha memiliki posisi yang netral, yang terdiri atas abang, adik, ayah,
anak, kakek, serta cucu (satu marga), dan memiliki tempat yang setara. Setiap orang yang masuk
dalam dongan tubu, apa pun kedudukan dalam keseharian (pejabat, orang kaya, intelektual, dan
sejenisnya) jika sudah masuk ke dalam dalihan na tolu maka kedudukannya adalah setara. Berbeda
dengan posisi dongan tubu yang setara, posisi boru dalam Dalihan Na Tolu berada di bawah. Hal
ini menunjukkan bahwa posisi boru lebih rendah. Boru bertugas untuk mengerjakan segala
keperluan adat istiadat. Mereka menjadi tulang punggung dalam pelaksanaan adat baik dari segi
tenaga maupun biaya (Mangihut Siregar: 14).
Apabila dikaji lebih mendalam, sistem Dalihan Na Tolu yang terdapat pada Suku Batak
berkaitan dengan budaya patriarki. Perempuan menjadi kelompok inferior dan laki-laki sebagai
kelompok superior. Kedudukan perempuan dalam Dalihan Na Tolu hanya sebatas objek
sedangkan laki-laki menjadi subjek. Posisi setiap orang dalam Dalihan Na Tolu ditentukan oleh
laki-laki dan perempuan hanya sebagai pelengkap laki-laki. Dalam Budaya Batak, perempuan
harus ikut keluarga laki-laki, dan sebagai implikasinya segala sesuatu ditentukan oleh laki-laki.
Pemahaman akan perempuan yang meninggalkan orangtua dan pergi ke keluarga suaminya
mengakibatkan terjadinya ketidaksetaraan gender (Mangihut Siregar: 15).
Paham yang dianut turun-temurun bahwa perempuan berada di urutan terakhir pada tatanan
sosial mengakibatkan berbagai dampak kurang baik bagi wanita-wanita Batak. Tidak sedikit
wanita batak yang harus mengurungkan impiannya untuk bersekolah yang tinggi, menjadi wanita
karir yang sukses menghasilkan uang sendiri, karena dihadang pandangan budaya bahwa anak
boru (perempuan) sebaiknya tidak perlu sekolah apalagi bekerja, karena kelak toh akan dituhor
(dibeli) oleh laki-laki untuk dijadikan isteri, ibu rumah tangga, yang sehari-hari hanya akan
mendekam di dapur dan mengurusi anak.
Berbagai pergumulan memang dialami para wanita yang lahir dari suku Batak. Namun,
nyatanya tantangan-tantangan yang ada tidak menyurutkan semangat juang mereka. Menurut
pengalaman saya, wanita Batak malah memiliki militansi yang sangat tinggi di tengah himpitan
ketidaksetaraan gender yang ada. Pengalaman ini saya dapatkan langsung dari Opung Boru
(nenek) dan Mama saya sendiri. Opung Boru saya, yang mengalami masa remajanya 60 tahun
yang lalu, benar-benar merasakan bagaimana menjadi tulang punggung yang mengerjakan segala
keperluan adat istiadat jika sedang ada ulaon (pesta adat). Namun, saat Opung saya dan teman-
teman perempuannya yang lain menjadi parhobas (pelayan) dalam suatu ulaon, di sanalah mereka
berlatih secara langsung bagaimana mengurus rumahtangga melalui berlatih memasak, mengatur
jatah makanan untuk orang banyak, menjaga keadaan sekitar tempat ulaon tetap bersih, dan
sebagainya. Para anak boru tersebut juga dituntut untuk selalu berinisiatif untuk mengerjakan
sesuatu tanpa dikomandoi, berkoordinasi satu sama lain dengan sesama parhobas, serta bekerja
tanpa banyak bicara. Suatu praktik nyata dari kata-kata Opung saya: “Gir-gir manangi-nangi,
bangkol manghatai” yang artinya “mendengar dengan baik, sedikit berbicara.”
Berkat segudang pegalaman marhobas saat remaja, ketika dewasa dan berumahtangga,
Opung Boru saya jadi lebih fasih mengurus keluarganya. Mendidik dan merawat tujuh orang anak
dengan suami yang hanya berprofesi sebagai Guru Matematika dapat dijalani Opung Boru saya
dengan penuh dedikasi. Kesuksesan enam orang anak lelaki dan seorang putrinya saat ini tidak
terlepas dari kerja keras beliau memelihara ternak dan mengelola keuangan rumah tangga dengan
selalu hidup dalam pengharapan akan cerahnya masa depan anak-anaknya.
Dahsyatnya militansi wanita Batak juga saya temui pada diri Mama saya. Menjadi orangtua
tunggal yang ditinggal pergi untuk selamanya oleh sang suami saat mengandung saya 8 bulan tidak
memupuskan kegigihan Mama saya untuk memelihara saya. Mama saya benar-benar menghidupi
spirit perjuangan wanita batak pada umumnya, yakni tidak ingin segera menikah jika sang suami
meninggal, demi merawat anaknya sepenuh hati. Oleh karena itu, saya sangat menghargai
perjuangan Mama saya dalam bekerja keras seorang diri hingga saat ini, demi saya Boru
Panggoaran-nya (anak perempuan pertama yang membawa nama keluarga).
Sebagai wanita Batak yang masih belia, saya memiliki segudang cita-cita yang sedang
berusaha saya wujudkan. Merantau seorang diri ke Tanah Jawa untuk menuntut ilmu adalah salah
satu upayanya. Pelajaran dari Opung Boru dan Mama saya dalam menjalani hidup sebagai wanita
tangguh di tengah belenggu patriatki memberi saya kekuatan untuk berjuang saat ini. Saya tidak
takut melangkah, mempertahankan apa yang saya anggap benar, namun tetap berusaha untuk
berada di koridor yang tepat. Sesuai dengan makna nama pemberian Papa saya, “Donda”, yang
dalam Bahasa Batak atinya “wanita yang senantiasa bertindak benar, tegar, serta teguh pada
pendirian.” Saya berusaha untuk membuktikan bahwa wanita tidak ditakdirkan untuk hidup hanya
sebagai manusia kelas dua, namun bisa berperan sebagai pembawa perubahan, selama bisa belajar
serta berefleksi dari pengalaman akan nilai kehidupan sehari-hari.
Referensi
Siregar, Mangihut. 2018. Ketidaksetaraan Gender dalam Dalihan Na Tolu. Bali: Universitas
Udayana (Jurnal AN1MAGE: Jurnal Studi Kultural (2018) Volume III No.1: 13-15)

Anda mungkin juga menyukai