disusun oleh :
Nama Anggota :
Rina Maryani (B10017016)
Syarah Annisa (B10017021)
Susi Sasmita (B10017017)
Fitri Yani (B10017007)
Yosua Bongotan Marbun (B10017056)
Tri Vardani K (B10013077)
Muhammad Alpharisi (B10015162)
FAKULTAS HUKUM
Universitas Jambi
BAB I
PENDAHULUAN
Masalah gender menjadi suatu perbincangan yang panas dalam zaman modern
saat ini, dimana telah banyak manusia yang ingin mengubah peran dan fungsi sebagai
manusia. Dalam budaya batak tercermin bahwa laki-laki lebih dihormati karena
pembawa marga seolah-oleh perempuan tidak penting, sehingga terjadi salah taksir di
berbagai masyarakat suku lain bahwa suku batak kurang menghargai perempuan,
terkhusus zaman dulu orang batak terkenal tidak mau menyekolahkan anak
perempuan ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Karena orangtua dulu beranggapan
bahwa perempuan di " jual" akan di bawa suaminya sehingga tidak boleh sekolah
tinggi-tingi. Sehingga banyak beranggapan bahwa orang batak tidak menghargai
perempuan, perempuan tahunya hanya masak dan bereskan rumah, dan melayani
suaminya.
Pandangan ini menjelma menjadi sebuah budaya yang terus-menerus menjadi
bahan perbincangan yang menarik, sehingga suku batak menjadi suku yang ekstrem
dalam gender antara laki-laki dan perempuan. Suku batak terkenal dengan laki-laki di
junjung, perempuan di sanjung. Maka sampai ada judul lagu Anak Naburju artinya
anak yang baik, boru panggoaran perempuan pembawa gelar panggilan bagi orang
tua. Namun kalau orang memahami disitulah bahwa keseimbangan gender telah
tercipta. Budaya sering membuat pemahaman keberagaman gender menjadi kerdil,
contohnya dulu kalau di suku Batak, Perempuan tidak bisa menjadi kepala suku, atau
pemimpin dalam sebuah kerajaan ini tercermin karena budaya membuat kita dangkal
dalam memahami gender. Latar belakang bahwa perbuatan demikian ternyata
tercermin dari budaya yang primitif yang tidak melihat dari keberagaman gender.
Kekuatan dan kelemahan antara laki-laki dan perempuan merupakan
keseimbangan yang sempurna dalam menjalani kehidupan manusia. Dalam
pemahaman bahwa manusia adalah sama maka suku batak di zaman Modern
mengubah pemikiran dimana laki-laki dan perempauan sama, hanya memiliki fungsi
dan peran yang berbeda. walaupun laki-laki dan perempuan sama tetapi tetap
mengerjakan apa yang hakikatnya sebagai manusia. Perempuan mengerjakan
tugasnya sebagai perempuan, laki-laki mengerjakan tugasnya sebagai laki-laki.
Bicara tugas bisa disesuaikan dengan kondisi yang ada dalam keluarga, masyarakat
berbangsa.
Untuk menjaga keseimbangan dalam keberagaman gender maka dalam
budaya batak ada istilah yang disebut dengan " Dalihan Natolu" tiga ketetapan dalam
keberagaman gender yaitu Somba marhula-hula, manat mardongan tubu dan elek
marboru, artinya kita harus hormat kepada saudara laki-laki dari istri, hati-hati dan
berjaga-jaga kepada saudara-saudara dan lemah-lembut kepada saudara perempuan.
Jadi keseimbangan gender tercipta sedemikian rupa.
1.3 TUJUAN
1.3.1 Untuk mengetahui bagaimana pembagian peran dan kedudukan
perempuan dalam masyarakat toba
1.3.2 Untuk mengetahui isu-isu gender apa saja yang terdapat dalam masyarakat
batak toba.
BAB II
PEMBAHASAN
Hukum adat yang patrilineal yang dianut suku Batak Toba dalam hak warisan
bagi anak laki-laki sedang mendapat ujian berat. Hal ini berkaitan dengan peraturan
hukum nasional bagi seluruh warga negara Indonesia, dimana anak laki-laki dan
perempuan memiliki hak yang sama dalam pembagian warisan. Namun dalam
kenyataannya tidak sama, dalam prakteknya yang terjadi anak perempuan tetap tidak
pernah mendapatkan harta warisan orangtua maupun almarhum suaminya.
Singkatnya, ideologi adat Batak Toba dapat kita lihat sebagai paham yang tidak
dapat diubah oleh paksaan hukum konstitusi dan hukum agama yang menyangkut
hubungan antara manusia dengan sang pencipta setidaknya sampai saat ini.
BAB III
PENUTUP
Dalam hal pewarisan hukum adat patrilineal masih terdapat bias gender yang
mencolok, yaitu dimana pihak yang berhak sebagai penerima warisan atau ahli waris
adalah kaum laki-laki saja dan kaum perempuan tidak berhak untuk mendapat
warisan. Masyarakat patrilineal khususnya dalam masyarakat Batak Toba
menganggap bahwa anak laki-laki lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya dari
pada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun
penerus marga dari orangtuanya. Sebaliknya anak perempuan nanti akan “dijual” dan
keturunan yang dilahirkannya akan mengikuti marga suaminya. Dalam kehidupan
masyarakat Batak Toba, perempuan sering kali mendapat perlakuan yang kurang adil.
Dengan sistem patrilineal yang dianut oleh masyarakat Batak Toba, jelas
menunjukkan bahwa anak laki-laki sebagai generasi penerus, sedangkan anak
perempuan nanti akan ikut marga suaminya kelak dan tidak akan mendapat hak waris
atas harta orangtuanya. Tidak hanya dalam hal pewarisan, dalam hal pendidikan dan
kehidupan sosial juga terjadi diskriminasi gender terhadap perempuan