"Abstrak"
Dalam hukum adat Bali, laki-laki adalah kepala rumah tangga dan dialah yang mengambil keputusan baik
secara internal (yaitu di dalam keluarganya) maupun eksternal (yaitu sebagai pengambil keputusan dalam
masyarakat adat yang keluarganya adalah anggota desa adat). Dalam konteks hukum waris adat, ahli
waris adalah laki-laki dan bukan perempuan. Sistem patrilineal yang dianut masyarakat adat Bali
berpengaruh terhadap sistem suksesi. Pada dasarnya hanya anak laki-laki yang berhak menjadi ahli waris.
Anak perempuan dan janda bukanlah ahli waris. Anak perempuan dan janda hanya dapat menikmati harta
ahli waris jika mereka memenuhi kewajibannya. Menurut hukum adat Bali, mewaris bukan sinonim ahli
waris membagi hak waris (peninggalan) kepada orang tua dan leluhur (ahli waris), tetapi berarti
memelihara, mengurus dan melanggengkan swadharma (tanggung jawab) dan swadikara (hak) dalam
berbagai bentuk dan cara bentuk warisan. Situasi ini sesuai dengan teori hak asasi manusia, yaitu
relativitas budaya. Berdasarkan surat keputusan Ketua Pesamuhan Desa Pakraman Bali Nomor
01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 telah terjadi perubahan hukum waris adat di Bali dan perempuan
mulai dianggap sebagai ahli waris . Namun, SK hanyalah pedoman bagi penduduk asli Bali, bukan
hukum adat Bali. Legitimasi perempuan sebagai ahli waris perlu dilandasi perlindungan hak asasi
manusia dan kesetaraan gender dalam pembaharuan hukum waris adat Bali.
Kata kunci: perempuan, waris, adat bali
PENDAHULUAN
Gender telah menjadi topik pembicaraan di kalangan pendidikan, politik, dan ekonomi, bahkan
telah menjadi wacana diskusi serius dan percakapan santai di masyarakat. Seperti diketahui,
wacana gender memanifestasikan dirinya dalam dekonstruksi budaya patriarki, setidaknya dalam
paradigma sosial yang hegemonik. Budaya patriarki telah mempengaruhi gagasan dasar seluruh
masyarakat internasional tentang sifat manusia dan hubungannya dengan alam dengan
pandangan budaya "patriarki", dan teori-teorinya telah diterima secara umum.
Doktrin dikonstruksi sedemikian rupa sehingga tampak seperti hukum alam, dan dogma-dogma
ini diperkuat oleh ajaran agama yang mau tidak mau membuat masyarakat awam tetap dipenuhi
dengan gagasan untuk mendewakan laki-laki daripada perempuan, yang pada hakikatnya sama. -
Manusia adalah ciptaan Tuhan.
Budaya patriarki juga mempengaruhi praktik budaya yang ada di Bali yang menganut sistem
patrilineal yang mengatur garis keturunan dari pihak laki-laki. Oleh karena itu, sistem pewarisan
masyarakat Bali lebih mengutamakan garis keturunan laki-laki. Dari perspektif kesetaraan
gender, sistem keluarga patrilineal Bali terkesan tidak adil terhadap anak perempuan, terutama
dalam hal pewarisan. Dalam hal pewarisan materil dan nonmateri, anak perempuan tidak
memiliki kesempatan untuk memperoleh hak waris. Anak perempuan Bali berhak mendapat
bagian dalam warisan atau harta orang tuanya hanya jika masih dalam pengasuhan orang
tuanya dan belum menikah. Dan orang tua mereka memberi mereka kebajikan hanya dalam
bentuk materi kecil, sebagai persiapan untuk kehidupan pernikahan. Ini juga menunjukkan
bahwa orang tua memiliki lebih banyak untuk diberikan kepada anak perempuan mereka.
Namun, dalam hal pewarisan, laki-laki merupakan prioritas utama dan tidak dapat
dikesampingkan.
Hukum waris adat di Bali juga tampak memiliki ciri diskriminatif terhadap perempuan, karena
laki-laki dan perempuan diperlakukan berbeda dalam pewarisan. Bersamaan dengan itu,
kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai anak dalam suatu keluarga tentunya harus
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh hak waris dari orang tuanya.
Namun, tidak demikian halnya dengan sistem pewarisan adat Bali yang meniadakan keberadaan
anak perempuan. Anak perempuan tidak boleh mencampuri hak waris orang tuanya. Hal ini
tentunya menjadi isu yang harus ditinjau kembali dari perspektif kesetaraan gender. Sehingga
kehadiran anak perempuan dalam keluarga juga penting, karena cita-cita persamaan antara laki-
laki dan perempuan adalah memberikan hak yang sama dalam segala hal tanpa harus
membedakan jenis kelamin, demikian pula masalah waris.
Dalam kaitan ini, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang sosial, serta
perkembangan studi gender dan teknik analisis gender, diharapkan membuka cara berpikir
seseorang untuk mengkritisi “hukum waris adat Bali” masa lalu. Berorientasi laki-laki”
mengarah ke suksesi hukum “berorientasi gender” di masa depan (Atmaja et al., 2009).Hal ini
akan sejalan dengan apa yang terkandung dalam buku ManawaDharmasastra IX.118, yang
berbunyi “Tapi untuk saudara perempuan, Anda Beberapa bagian dari bagian mereka akan
diberikan, seperempat dari setiap bagian, mereka yang menolak akan dikucilkan (Pudja &
Sudharta, 2012). Sloka menyarankan agar perempuan Bali juga mewarisi sebagai ahli waris
dari orang tuanya, dengan jumlah yang lebih sedikit daripada laki-laki.
Namun sampai saat ini, hal itu belum bisa terealisasi dalam kehidupan masyarakat adat Bali.
Dalam agama Hindu, laki-laki dan perempuan memiliki status yang sama, saling mendukung,
dan saling melengkapi. Dari pandangan penciptaan ini, terlihat bahwa laki-laki dan perempuan
pada dasarnya setara dalam martabat dan jenis kelamin. Perbedaan laki-laki dan perempuan
merupakan perbedaan yang saling melengkapi, artinya perbedaan itu saling melengkapi.
Perempuan tanpa laki-laki tidak lengkap. Demikian pula laki-laki tanpa kehadiran perempuan
juga tidak lengkap. Tidak ada perbedaan perlakuan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Menurut pandangan Hindu kedudukan laki-laki dan perempuan sama-sama terhormat, yang
membedakannya adalah tugas dan tanggung jawabnya sebagai kodrat manusia Sebagai kodrat
manusia, laki-laki dan perempuan memang berbeda, hal ini dikarenakan manusia dilahirkan tidak
dapat menghindari hukum rwabhineda, dua hal yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan, baik
dan buruk, suka dan duka, gagal dan sukses.
PEMBAHASAN
A.Sistem Pewarisan Hukum Adat Masyarakat Bali
Hukum Pewarisan Adat adalah aturan hukum tentang bagaimana dari abad ke abad transmisi dan
peralihan harta berwujud dan tidak berwujud dari satu generasi ke generasi berikutnya. Menurut
Soepomo (dalam Lestawi, 1999) hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur
tentang proses mewariskan dan mewariskan barang dan harta benda yang tidak berwujud dalam
suatu generasi (generasi) manusia kepada keturunannya.
Dari pengertian hukum waris adat di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum waris adat pada
hakekatnya mengatur suatu proses penerusan atau pemindahan harta warisan dari pewaris kepada
ahli waris secara turun-temurun dan berkelanjutan. Dimana hal ini berarti bahwa penerusan ini
menyangkut kelanjutan hak dan kewajiban seorang ahli waris.
Masyarakat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal dalam menentukan bentuk pewarisan.
Konsekuensi dari menganut sistem patrilineal ini adalah anak laki-laki akan menjadi ahli waris
dan penerus keluarga. Masyarakat adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau
kekeluargaan yang lebih dikenal masyarakat Bali dengan istilah kramausa atau purusa. Sehingga
dalam masyarakat Bali, seorang purusa yang akan melanjutkan garis keturunan dan bertanggung
jawab terhadap keluarga, leluhur dan masyarakat yang berskala dan abstrak menjadi ahli waris.
Artinya sistem pewarisan yang terjadi pada masyarakat Bali disebabkan oleh sistem
kekeluargaan yang dianutnya yaitu sistem patrilineal. Jadi, pada prinsipnya anak perempuan
dalam keluarga Bali tidak bisa menjadi ahli waris. Namun tidak menutup kemungkinan orang
tuanya dapat memberikan warisan materi sebagai bekal ketika anak perempuannya memasuki
kehidupan berumah tangga. Dalam hukum waris adat Bali, kedudukan laki-laki adalah ahli waris
utama. Laki-laki sebagai ahli waris dalam keluarga tidak terlepas dari peran dan tanggung
jawabnya. Karena tanggung jawab laki-laki sebagai generasi penerus keluarga, akan menjadi
tanggung jawab orang tua dan leluhur. Berbeda halnya dengan anak perempuan, begitu mereka
memiliki keluarga mereka akan ikut dan tinggal dengan keluarga suaminya. Kewajiban dalam
keluarga perempuan tidak ada lagi. Bukan berarti mereka tidak mempedulikan keluarga asal atau
orang tuanya, hanya saja mereka tidak memiliki hak atau kewajiban seperti anak laki-laki.
Sehingga pada umumnya anak perempuan tidak memiliki hak waris. Hal ini didasarkan pada
kebiasaan orang tua sebelumnya, sehingga keturunannya juga mengikuti kebiasaan tersebut.
Selain itu, bahwa anak laki-laki akan bertanggung jawab penuh kepada orang tuanya, baik
semasa hidup sampai mati. Karena masyarakat Bali, khususnya laki-laki, maka segala urusan
ritual, baik yang bersifat umum maupun pribadi, baik kecil maupun besar, adalah anak laki-laki
yang bertanggung jawab, misalnya upacara ngaben orang tuanya, upacara ritual di pura desa, dan
sebagainya. Merujuk pada masyarakat Bali yang notabene beragama Hindu, tidak pernah lepas
dari ritual keagamaan. Jika dilihat dari perannya, laki-laki dan perempuan tentu memiliki
perannya masing-masing. Sehingga laki-laki dan perempuan saling membutuhkan dalam
keluarga, masyarakat dan adat istiadat.
KESIMPULAN
Sistem pewarisan hukum adat Bali menerapkan garis keturunan dari pihak laki-laki. Sistem
pewarisan ini tidak terlepas dari sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat Bali yaitu
patrilineal. Sehingga dalam keluarga Bali, laki-laki seolah-olah berkuasa dan memiliki hak
penuh dalam keluarga. Apalagi masalah waris, pihak perempuan tidak memiliki kewenangan
untuk itu. Perempuan dapat menggantikan peran laki-laki dalam keluarga, seperti mengatur
rumah tangga dan mencari nafkah untuk keluarga. Namun, dalam hal hak waris, perempuan tidak
diberi kewenangan. Kondisi seperti ini tentu menimbulkan kesan diskriminatif terhadap
perempuan dalam keluarga Bali, khususnya dalam hal harta warisan. Hanya laki-laki yang
berhak dan memiliki hak penuh mengenai warisan.