Anda di halaman 1dari 6

Perempuan Bali Tidak Dihargai?

(Sebuah
Tinjauan Persfektif Hukum Hindu)
9 September 2012   14:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:42

8578  0

Berbicara kehidupan seringkali kita berhadapan dengan kesenjangan social. Di Bali sebagian besar
perempuan Bali sering beranggapan bahwa kaum perempuan sering ditindas . Ada yang
beranggapan hal ini disebabkan sistem kekeluargaan yang dianut di Bali . Sesuatu sistem apabila
tidak dipahami secara  benar maka akan melahirkan anggapan yang keliru dan menyesatkan.

Berdasarkan asal kata “perempuan” berarti orang yang dihormati, Kata dasarnya adalah empu (per-
empu-an), Empu adalah gelar kehormatan, seorang ahli, seorang yang mampu memimpin.  Untuk
menyebut seorang perempuan sering digunakan kata wanita . “Menurut Prof. Moh. Yamin,
menyebut istilah lain untuk wanita adalah “perempuan” yang berasal dari kata ‘empu’ atau’pu’ dan
suffix ‘an’. Kata perempuan berarti mereka yang utama, dimuliakan atau dihormati” (Wayan
Sukarma).  Dari asal kata perempuan adalah keliru jika mengatakan wanita sebagai manusia yang
hina atau mengatakan wanita Bali tidak dihargai.

Lebih jau didalam kitab suci dinyatakan “Dimana perempuan dihormati disana para dewa merasa
senang, akan tetapi dimana perempuan tidak dihormati disana tidak ada upacara suci yang
berpahala”. (MDs, III:56), “Dimana perempuan hidup sedih, keluarga itu akan cepat mengalami
kehancuran, sebaliknya, dimana perempuan tidak hidup menderita, keluarga itu akan hidup
bahagia” (MDs, III: 57).

Ada seorang wanita Bali menyatakan bahwa wanita Bali tidak dihargai karena tidak mendapatkan
warisan, seperti yang dinyatakan oleh Ni Nengah Hardiani . “Dahulu saya kira semua laki-laki Bali
tidak menghargai perempuan seperti didikan mereka secara adat. Secara adat perempuan Bali tidak
dihargai, tidak diberikan warisan. Lama kelamaan saya tahu, ternyata ada juga sedikit laki-laki Bali
yang menghargai perempuan”, ungkapnya seperti statusnya pada dinding Spiritual Indonesia
Perempuan.

Sepertinya ia telah keliru memahami sistem hukum adat Bali , dimana sistem yang dianut di Bali
adalah patrilineal dan matrilineal (khususnya perkawinan nyentana). Kedua sistem ini sejalan dengan
ajaran hukum Hindu. Apabila  menganut sistem matrilineal seperti di Minangkabau, maka lelaki
sepeserpun tidak mendapatkan warisan, bahkan ada kewajiban untuk merantau. Demikian pula
halnya dengan perkawinan nyentana di Bali, dimana lelaki tidak mendapatkan warisan dari keluarga
kandungnya karena ia akan menikmati warisan dari istrinya. Hal ini terjadi karena lelaki diangkat
statusnya menjadi wanita. Sistem ini berdasarkan ajaran agama Hindu atau dengan kata lain sistem
ini sejalan dengan ajaran Hindu khususnya hukum hindu.

Putu Mariasa menyatakan bahwa perkawinan bagi umat Hindu-Bali dimaknai secara fisik dan non
fisik (maksudnya Sekala - niskala). Jika dalam upacara perkawinan itu diikuti dengan upacara
"mepamit" dari lingkaran leluhur keluarga semula, maka si mempelai perempuan akan ikut lahir
bathin di keluarga besar suaminya. Dia akan meninggal kemudian menitis / lahir kembali/reinkarnasi
di lingkungan keluarga suaminya. Jika mempelai perempuan tidak mepamit kepada keluarga
besarnya semula, secara non fisik (niskala) ia masih menjadi bagian dari keluarga pertamanya dan
numitis disana. meskipun secara fisik (skala) ia sudah tidak ada di keluarganya.

Dari perkawinan ( hukum perkawinan ) akan timbul beberapa hukum lainnya seperti hukum waris.
Hukum Waris merupakan bagian dari Hukum Kekayaan, akan tetapi erat sekali dengan Hukum
Keluarga, karena seluruh pewarisan menurut undang-undang berdasarkan atas hubungan keluarga
sedarah dan hubungan perkawinan. Dengan demikian ia masuk bentuk campuran antara bidang
yang dinamakan Hukum Kekayaan dan Hukum Keluarga.

Berbicara warisan memang seolah-olah ada ketimpangan didalam hukum adat Bali, tetapi sejatinya
tidak demikian. Berbicara warisan adalah berbicara hak dan kewajiban. Perempuan Bali pada
umumnya hanya sedikit mendapatkan warisan sedangkan lelaki mendapat warisan lebih besar.
Perempuan yang menikah keluar wajar sedikit mendapat warisan dari orang tua kandungnya karena
ia akan melakukan kewajiban di rumah suaminya dan mendapat warisan bersama sang suami.
sedangkan seorang lelaki akan melaksanakan kewajiban yang besar terhadap leluhurnya misalnya
upacara "ngaben", sehingga wajar ia mendapatkan warisan lebih besar. Perlu digarisbawahi bahwa
pada dasarnya warisan bukan uttuk dibagi-bagi melainkan untuk dipelihara dan dijaga bersama,
terutama warisan yang berupa tanah dan pura keluarga.

Seorang wanita yang menikah juga mendapat "bekel" atau harta bawaan, bahkan mendapatkan
hibah. Apabila seorang wanita dari keluarga anda menikah, apakah tidak diberikan "bekel" ataupun
hibah? jika tidak , bisa jadi keluarga anda miskin (maaf, ini sebagai bahan argumen) karena biasanya
seorang wanita yang menikah pada umumnya akan mendapat "bekel" atau harta bawaan yang
diberikan orang tua kandungnya maupun hasil jerih payahnya sendiri sewaktu ia masih berstatus
anak pada keluarga kandung. Kalau keluarga bersangkutan miskin mungkin saja tidak mendapatkan
bekel atau harta bawaan dan hibah. hal itu bisa dimaklumi karena kehidupan yang serba pas-pasan,
apa yang hendak diberikan? bisakah hutanng ditanggungg oleh anak wanita?, apabila hutang berupa
materi masih bisa  tetapi hutang kepada leluhur berupa yadnya dan sebagai penerus kawitan maka
hal itu tidak bisa dibayar kecuali melakukan perkawinan "nyentana" (sistem matrilineal ala Hindu
Bali).

Dari sudut pandang Hukum Hindu, wanita mendapat seperempat bagian warisan dari lelaki dan
mendapat warisan peninggalan ibunya. Seperempat bagian dari anak lelaki artinya seperempat dari
keseluruhan warisan bukan seperempat dari masing-masing saudara lelakinya. Hal ini hampir serupa
dengan pembagian warisan dalam hukum adat Jawa tengahan yang menganut asas "sepikul
segendongan" , artinya anak laki-laki mendapatkan dua bagian dan anak perempuan mendapatkan
satu,  Berbeda sedikit dengan sistem yang ada pada ajaran Hindu.

Jika berbicara warisan tidak berpedoman pada hak dan kewajiban maka akan terjadi kesesatan
dalam berpikir. Seperti yang kita ketahui kewajiban anak lelaki di Bali begitu berat.

Konsep warisan dalam hukum Hindu (adat) Bali memiliki beda makna dengan warisan dalam
pengertian hukum barat, yang selalu merupakan hak dan bersifat materiil atau memiliki nilai uang.
Di Bali warisan mengandung hak dan kewajiban yang tidak bisa ditolak bersifat materiil maupun
inmaterial. Laki-laki menerima warisan biasanya berupa:

1) Kewajiban terhadap Desa Adat (Desa Dinas)

2) Kewajiban menjaga kelangsungan ibadah pura, pemerajan yang bersifat dewa yadnya

3) Kewajiban melakukan manusia yadnya dan pitra yadnya terhadap anggota keluarga, orang tua
maupun saudari perempuannya yang janda atau gadis.

4) Kewajiban melanjutkan keturunan dengan memiliki anak kandung atau anak angkat

5) Mewarisi harta kekayaan keluarga sebaliknya juga semua hutang piutang.

6) Memelihara hidup anggota keluarga termasuk saudari-saudari yang menjadi tanggungjawabnya.


Dari 6 angka di atas ternyata 5 merupakan kewajiban dan hanya satu hak mewaris harta kekayaan.
Akan sangat beruntung anak laki-laki bila orang tua kaya, tetapi lebih banyak yang apes/tidak
beruntung bila hidup mereka pas-pasan dan bahkan bila sangat miskin seperti itu, tanggungjawab
tetap harus dipikulnya.

Biasanya orang-orang dari agama lain akan mencibir pembagian harta warisan menurut Hukum Adat
Bali dan Hukum Hindu atas ketidaktahuannya dan mereka tidak mengetahui ribetnya menjadi orang
Hindu, khususnya tanggungjawab lelaki terhadap "nyama braya" (bermasyarakat) dan leluhur serta
pengabdian kepada Tuhan.

Hanya pemikiran yang sempit yang mengatakan bahwa wanita Bali tidak di hargai. memang pada
kenyataan ada beberapa oknum lelaki Bali yang kerjaannya hanya metajen (berjudi) dan mabu-
mabukan sedangkan wanita sibuk bekerja. ketimpangan sosial seperti itu yang dilakukan oleh
beberapa oknum lelaki Bali bisa terjadi dimana-mana. Apa yang dilakukan oleh oknum lelaki Bali
sudah jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Hindu yang merupakan jiwa dari hukum
adat Bali itu sendiri.

Beberapa fakta yang terjadi bahwa beberapa wanita Bali bekerja banting tulang dengan bekerja
kasar , seperti menjadi buruh pekerja dijalan (membantu mengaspal jalan, tukang suun) untuk
mempertahankan kehidupan keluarga sedangkan suaminya sibuk berjudi maupun mabuk-mabukan.
Hal ini merupakan pelanggaran atas Dharma (hukum Hindu). Hal seperti itu tidak bisa dijadikan cap
bahwa wanita Bali tidak dihargai. Agar tidak seperti pepatah nila setitik rusak susu sebelanga.

Apa yang dilakukan oleh beberapa oknum lelaki Bali hal itu telah terjadi pelanggaran hukum
keluarga terutama perihal kewajiban suami. Didalam kitab suci telah tegas dinyatakan kewajiban
seorang suami sebagai berikut (seperti dikutip dari  situs paduarsana.com) :

“Wahai mempelai laki-laki, lakukanlah yadnya(pengorbanan suci) yang akan mengantarkan


keluargamu mencapai kebahagiaan dan perkawinan yang penuh rahmat. Senantiasa berbaktilah
kepada Hyang Widhi, berikannlah kegembiraan kepada semua makhluk.”(Yajur Weda VIII,4)

Dalam Kitab Sarasamuccaya 242 disebutkan kewajiban suami antara lain:

1. Sarirakrt artinya, mengupayakan kesehatan jasmani anak-anaknya.


2. Prana data, membangun jiwa anak-anaknya.
3. Anna data, artinya: memberikan makan.
Dalam  Grhya Sutha, seorang suami mempunyai 2(dua) kewajiban antara lain:

1. Memberikan perlindungan pada istri dan anak(patti).


2. Bhastri, artinya seorang suami berkewajiban menjamin kesejahteraan istri dan anak-anaknya.

Dalam Nitisastra VIII.3 ada 5(lima) kewajiban seorang suami yang disebut panca vida, antara lain:

1. Matuluning urip rikalaning baya artinya: menyelamatkan keluarga pada saat bahaya.


2. Nitya maweh bhinoajana artinya: selalu mengusahakan makanan yang sehat.
3. Mangupadyaya artinya: memberikan ilmu pengetahuan kepada anak-anaknya.
4. Sang ametwaken artinya: suami sebagai penyebab kelahiran bagi anak-anaknya.

Didalam Weda Smrti IX.3 disebutkan:

PITARAKSATI KAUMARE, BHARTA RAKSATI YAUWANE,RAKSANTI STHAVIRE PUTRA NA, STRI


SWATANTRYAM ARHATI.

Artinya: Selagi masih kecil seorang ayahlah yang melindungi, dan setelah dewasa suaminyalah yang
melindunginya dan setelah ia tua putranyalah yang melindungi, wanita tidak pernah layak
bebas(harus selalu dilindungi).

Kewajiban suami dalam Weda Smrti IX:2,3,9,11 dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Wajib melindungi istri dan anak-anaknya serta memperlakukan istri dengan wajar dan hormat.
Wajib memelihara kesucian hubungannya dengan saling mempercayai sehingga terjamin
kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.
2. Suami hendaknya menyerahkan harta kekayaan dan menugaskan istrinya untuk mengurus artha
rumah tangga, urusan dapur, yadnya serta ekonomi keluarga.
3. Bila harus dinas keluar daerah suami suami berusaha menjamin istrinya untuk memberikan
nafkah.
4. Suami wajib menggauli istrinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin
kesucian keturunannya serta menjauhkan diri dari hal-hal yang mengakibatkan perceraian.
5. Suami hendaknya selalu merasa puas dan bahagia bersama istrinya karena akan terpelihara
kelangsungannya.
6. Suami wajib menjalankan dharma grhastin, dharma keluarga(kula dharma),dhama dalam
bermasyarakat(vansa dharma).
7. Suami berkewajiban melaksanakan sraddha,pitrapuja(pemujaan kepada luluhur)memelihara
cucunya serta melaksanakan panca yadnya.

Anda mungkin juga menyukai