Anda di halaman 1dari 15

“AKIBAT HUKUM YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN

NYENTANA PADA ADAT BALI”

TUGAS MAKALAH PENDALAMAN AGAMA

Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendalaman Agama
Dosen Pengampu : I Wayan Marutha, S.H.

Disusun Oleh :
Levia Fenoariyusta Mardatari
20090000139

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MERDEKA MALANG
2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala rahmat dan
karunia-NYA yang telah dilimpahkan kepada saya, sehingga makalah Pendalaman
Agama berdasarkan judul “Akibat Hukum yang Terjadi dalam Perkawinan
Nyentana pada Adat Bali” ini dapat tersusun dengan mana mestinya.

Makalah ini saya tulis dengan tujuan memenuhi tugas dari dosen
pembimbing mata kuliah Pendalaman Agama, Bapak I Wayan Maturha. Selain
itu, dari tugas ini saya bisa memahami mengenai perkawinan nyentana yang
terjadi pada adat Bali beserta akibat hukumnya.

Saya juga tidak lupa mengucapkan banyak terimakasih kepada dosen


pembimbing yang telah memberikan tugas untuk menyusun makalah ini agar saya
bisa lebih memahami akan topik yang diambil. Saya sadar bahwa makalah ini
masih jauh dari kata sempuran, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
masih dibutuhkan dan akan penulis terima untuk kesempurnaan makalah ini.

Malang, 20 Oktober 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..............................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................4
A. Definisi Perkawinan......................................................................................4
B. Definisi Perkawinan Nyentana......................................................................5
C. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Perkawinan Nyentana...................5
D. Proses Perkawinan Nyentana dalam Adat Hindu Bali..................................6
E. Tantangan Perkawinan Nyentana..................................................................7
F. Akibat Hukum dari Perkawinan Nyentana...................................................8
BAB III PENUTUP.................................................................................................9
A. Kesimpulan...................................................................................................9
B. Saran..............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................11

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan kodrat yang
telah ditentukan, salah satunya adalah dengan melakukan perkawinan yang
didasarkan untuk memenuhi tujuan berupa memperoleh keturunan dan merupakan
penyelamat roh dari orang tua apabila kemudian meninggal. Perkawinan dalam
Hindu merupakan yadnya atau kewajiban suci, karena dengan perkawinan
diharapkan akan melahirkan anak suputra.
Dalam agama Hindu, perkawinan atau Vivaha diabadikan berdasarkan
Veda, karena perkawinan merupakan salah satu Sarira Samskara, yaitu pensucian
diri melalui Grhastha Asrama. Proses perkawinan yang harus ditempuh umat
Hindu haruslah berdasarkan Undang-Undang Nomor 1/1974 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9/1975. Dalam perspektif Hukum Adat Bali, terdapat dua
bentuk perkawinan yang dianggap sah, yaitu (1) perkawinan biasa atau ngaten
biasa (wanita masuk keluarga suami) dan (2) perkawinan nyentana atau nyeburin
(suami masuk ke keluarga istri). Adat perkawinan ini memiliki sistem budaya
yang kuat dan didukung oleh nilai-nilai yang bersifat religius, sehingga tidak
dapat dipisahkan dari suatu kesatuan agama Hindu di Bali.
Perkawinan dalam agama Hindu di Bali masih memegang teguh hukum
adat, termasuk dalam hal pewarisan. Dalam perkawinan biasa atau ngateng biasa,
laki-laku merupakan penerus keturunan yang disebut purusa (status pria),
sedangkan dalam perkawinan nyentana atau nyeburin, pihak wanita yang
mewarisi keturunan keluarga dengan mencari laki-laki yang akan berstatus
menjadi pradana (wanita). Karena konsekuensi yang diterima oleh pihak laki-laki
pada perkawinan nyentana atau nyeburin, maka sebagian masyarakat yang ada di
Bali banyak menentang perkawinan ini.
Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Puspa,
Aprilianti & Nargis (2018), bahwa dari 36 perkawinan pada tahun 2015 dan 2016,
hanya terdapat 13 pasangan yang melakukan perkawinan nyentana dengan

1
persentase atau rata-rata pada tahun 2015 sebanyak 40% dan pada tahun 2016
sebanyak 31,25%.
Dalam bentuk perkawinan, perkawinan nyentana atau nyeburin merupakan
penyimpangan dari sistem kekerabatan partilineal di Bali juga menyimpang dari
sistem kepurusa yang menekankan bahwa keturunan dilanjutkan oleh keturunan
laki-laki (purusa). Tetapi, perkawinan ini masih tetap konsisten dengan sistem
kekeluargaan kepurusa karena dalam perkawinan ini status istri adalah purusa
yang telah ditetapkan sebagai sentana rajeg (sentana = keturunan, ahli waris;
rajeg = kukuh, tegak; karajegang = dikukuhkan, ditegakkan) yang telah
dikukuhkan statusnya menjadi penerus keturunan (purusa) dalam keluarganya.
Sehingga jika disamakan dengan hukum perkawinan pada umumnya, hukum
perkawinan nyentana atau nyeburin dalam Adat Bali sungguh berbeda.
Berdasarkan penjabaran materi dan fenomena di atas, penulis memutuskan
untuk mengambil judul “AKIBAT HUKUM YANG TERJADI DALAM
PERKAWINAN NYENTANA PADA ADAT BALI”. Mendapati bahwa
perkawinan ini dikatakan sebagai penyimpangan sistem kekerabatan partilineal
dan sangat berbeda dengan Adat Hindu Jawa, penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan ini. Dengan adanya makalah yang penulis susun, penulis
mengharapkan bahwa pembaca, khususnya Adat Hindu Jawa mengetahui tentang
hukum perkawinan Adat Hindu Bali.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dituliskan, maka rumusan masalah
yang dapat diambil adalah:
1. Apa definisi dari perkawinan?
2. Apa definisi dari perkawinan nyentana atau nyeburin?
3. Apa saja faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan nyentana atau
nyeburin?
4. Bagaimana proses perkawinan nyentana dalam Adat Hindu Bali?
5. Apa saja tantangan yang didapat dari melaksanakan perkawinan nyentana?
6. Bagaimana akibat hukum yang muncul akibat melaksanakan perkawinan
nyentana?

2
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penulis makalah ini
adalah:
1. Mengetahui dan memahami definisi perkawinan.
2. Mengetahui dan memahami definisi perkawinan nyentana atau nyeburin.
3. Mengetahui dan memahami faktor yang mempengaruhi terjadinya
perkawinan nyentana atau nyeburin.
4. Mengetahui dan memahami proses perkawinan nyentana dalam Adat
Hindu Bali.
5. Mengetahui dan memahami tantangan yang didapat dari melaksanakan
perkawinan nyentana.
6. Mengetahui dan memahami akibat hukum dari pelaksanaan perkawinan
nyentana.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Perkawinan
Perkawinan termasuk sebagai kebutuhan dasar (asasi) setiap manusia,
yang tujuannya adalah untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang
bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Bahasa Indonesia,
perkawinan berasal dari kata “kawin”, yang menurut bahasa, artinya membentuk
keluarga dengan lawan jenis dan melakukan hubungan kelamin atau bersetubuh.
Penjelasan perkawinan di Indonesia termuat dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 1 tahun 2974 tentang Perkawinan dalam Pasal 1 adalah ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa perkawinan adalah hidup
bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-
syarat tertentu, dan jika dicermati pada dasarnya perkawinan merupakan suatu
perjanjian yang mengikat lahir dan batin dengan dasar agama. Perkawinan
merupakan perjanjian yang tujuannya adalah untuk mewujudkan kebahagiaan
antara kedua belah pihak (pasangan suami dan istri), tidak dibatasi dalam waktu
tertentu, dan mempunyai sifat religius (adanya aspek ibadah).
Dalam pandangan Agama Hindu, perkawinan sering disebut dengan istilah
Pawiwahan yang berasal dari kata “wiwaha”. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, disebutkan bahwa wiwaha berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti
pesta pernikahan; perkawinan. Perkawinan merupakan yadnya (kewajiban suci),
karena dengan perkawinan diharapkan akan melahirkan anak suputra.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat penulis simpulkan bahwa
perkawinan atau Pawiwahan merupakan ikatan lahir batin (sekala dan niskala)
antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang
diakui oleh hukum Negara, Agama, dan Adat.

4
B. Definisi Perkawinan Nyentana
Istilah Nyentana atau Nyeburin didefinisikan sebagai istilah perkawinan
dalam adat di Bali, di mana mempelai laki-laki tinggal di rumah mempelai
perempuan dan statusnya berganti dari status Purusa (sifat laki-laki) menjadi
status Purusa (perempuan). Perkawinan ini merupakan bentuk perkawinan
berdasarkan perubahan status Purusa dari pihak wanita dan sebagai Pradana dari
pihak laki-laki.
Dalam perkawinan nyentana, seorang laki-laki ikut dalam keluarga
istrinya, tinggal di rumah istri, dan semua keturunannya mengambil garis
keturunan istri. Van Dijk (1991) menuliskan bahwa laki-laki yang melakukan
nyentana dilepaskan dari golongan sanak Si perempuan.
Perkawinan nyenatan dilakukan dengan perempuan yang melamar laki-
laki untuk dijadikan suaminya dan selanjutnya diajak tinggal di rumah sang
perempuan dengan tujuan melanjutkan keturunan keluarga perempuan karena
tidak memiliki anak laki-laki sebagai penerus. Anak perempuan yang berstatus
sentana rajeg berstatus seperti anak laki-laki (Purusa) yaitu penurus keturunan,
dan suami mengikuti garis keturunan istri yang berganti status menjadi wanita
(Pradana), namun kaitannya dengan peran biologis dan peran sosiologisnya
masing-masing pihak sejalan seperti suami istri pada umumnya. Secara sederhana,
perkawinan nyentana mengarah pada sistem kekeluargaan matrilineal karena
kedudukan laki-laki (suami) akan masuk ke dalam keluarga perempuan (istri) dan
anak yang lahir akan menjadi penerus garis keturunan ibunya, terutama dalam hal
mewaris.

C. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Perkawinan Nyentana


Keberadaan seorang anak dalam suatu keluarga sangat penting, terutama
dalam hal berlanjutnya keturunan serta tercapainya tujuan dan cita-cita dari
keluarga tersebut. Demikian pula halnya dalam lingkungan masyarakat Hindu di
Bali. Dengan sistem keluarga patrilinial yang dianut di Bali memberikan
gambaran bahwa peran seorang anak, yang dalam hal ini lebih cenderung kepada
anak laki-laki sangat menonjol, yang dapat dilhat menyangkut urusan sebagai
pelanjut keturunan, kekerabatan, dan permasalahan-permasalahan yang terkait

5
dengan perannya dalam keanggotaan masyarakat. Dalam pengertian ini, anak laki-
laki demikian disebut anak sentana yang berarti pelanjut keturunan.
Sedangkan anak perempuan tidak begitu halnya. Oleh karena itu, keluarga
yang tidak mempunyai anak laki-laki dan hanya mempunyai anak peremuan saja,
maka anak perempuan itu dapat menggantikan kedudukan anak laki-laki dengan
mengangkatnya menjadi “sentana luh” atau “sentana rajeg”, di mana sentana
rajeg ini akan menarik suaminya dengan jalan melakukan perkawinan nyentana.
Perkawinan ini dilakukan di mana seorang laki-laki ikut dalam keluarga istrinya,
tinggal di rumah istri, dan semua keturunannya menjadi milik pihak keluarga istri.
Dalam perkawinan biasa, lazimnya seorang lelaki melajar seorang gadis untuk
dijadikan istri, tetapi dalam perkawinan ini si gadislah yang melamar lelaki untuk
menjadi suaminya.
Secara empiris, dapat disimpulkan yang menjadi sebab dilakukannya
perkawinan nyentana adalah:
1. Karena orang tua tidak mempunyai anak laki-laki atau hanya mempunyai
anak perempuan saja
2. Karena dapat menggantikan orang tua nantinya dalam hal melaksanakan
kewajiban-kewajiban di desa atau banjar (ngayah)
3. Karena adanya keinginan dari orang tua untuk tetap berkumpul dengan
anaknya
4. Karena rasa cinta terhadap anak perempuannya, maka anak perempuan
tersebut tidak diperbolehkan kawin keluar
5. Karena menghindari kemungkinan jatuhnya harta benda ke tangan orang
lain.

D. Proses Perkawinan Nyentana dalam Adat Hindu Bali


Dalam proses perkawinan nyentana, anak perempuan diubah statusnya
menjadi anak laki-laki yang disebut dengan Sentana Rajeg yang dikukuhkan
statusnya menjadi penerus keturunan atau Purusa. Istilah Purusa ini memiliki
keuddukan yang sama dengan anak laki-laki sebagai penerus keturunan dan ahli
waris terhadap harta orang tuanya. Untuk menjadi seorang sentana rajeg,
perempuan harus memenuhi syarat-syarat, yaitu (1) diangkat oleh orang tua

6
kandung, terutama bapak, (2) persetujuan anak yang akan diangkat menjadi
sentana rajeg, (3) persetujuan dari pihak keluarga bapak (Purusa), (4) disahkan
oleh Kepala Adat, dan (5) diumumkan oleh Kepala Adat.
Setelah memenuhi syarat sah menjadi sentana rajeg, perempuan dapat
melangsungkan perkawinan nyentana dengan calon pasangannya yang telah
dilamar untuk dimasukkan ke dalam keluarganya. Adapun prosesi perkawinan ini
memerlukan syarat dan proses, yakni (1) dihadiri oleh kedua mempelai, (2)
dihadiri oleh keluarga masing-masing pihak, (3) Kepala Adat mempersilakan
pemangku adat untuk memberikan upacara Meperas, yang merupakan upacara
pelepasan hubungan antara calon suami sentana rajeg dengan pihak orang tua
kadnungnya, (4) Kepala Adat mengumumkan ke masyarakat, dan (5) suami
tinggal di tempat istri yang menjadi sentana rajeg.

E. Tantangan Perkawinan Nyentana


Secara umum perkawinan masyarakat di Bali menganut sistem patrilineal. Sistem
ini tidak semata-mata dapat diaplikasikan pada seluruh masyarakat. Sehingga bagi
masyarakat yang melakukan bentuk perkawinan nyentana akan mendapatkan
tantangan tersendiri, yakni berupa:
1. Pasangan beda wangsa
Masyarakat di Bali mengenal penggolongan sosial, sehingga terdapat
larangan untuk melaksanakan perkawinan pasangan yang berbeda strata
sosialnya. Hal ini terjadi karena adanya tujuan pemurnian wangsa karena
pencampuran wangsa dianggap menimbulkan pencemaran dari sudut
pandang tertentu.
2. Hak dan kewajiban para pihak pasca perkawinan nyentana
Dalam perkawinan nyentana, perempuan atau istri akan berkedudukan
sebagai Purusa atau berstatus sebagai laki-laki. Kondisi ini memberikan
kemungkinan kedudukan istri sebagai kepala keluarga.
3. Hak waris laki-laki
Laki-laki yang melangsungkan perkawinan nyentana berstatus Pradana
yang menyebabkan hak mewarisnya hilang. Perkawinan nyentana
dikategorikan sebagai Ninggal Kedaton Terbatas. Oleh karena itu, harta

7
didasarkan dengan asa Ategen Asuwun (dua banding satu). Artinya, yang
berstatus Pradana berhak atas sebagian dari harta yang diterima dari anak
yang berstatus Purusa.

F. Akibat Hukum dari Perkawinan Nyentana


Adanya perkawinan, maka akan timbul suatu akibat hukum, baik terhadap
suami, istri, harta kekayaan, dan anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
Dalam akibat hukum perkawinan akan menimbulkan hak dan kewajiban, yaitu
dari pihak suami dan istri serta anak yang dilahirkan.
Akibat hukum yang terjadi dari perkawinan nyentana adalah berimplikasi
terhadap hak peremuam dari Pradana menjadi Purusa dengan segala hak dan
kewajiban terhadap perempuan, memberikan hak yang setara kepada perempuan
yang berubah status sekaligus beserta anak-anaknya yang telah dilahirkan, serta
menyimpang dari ketentuan hukum adat Bali tentang penerima harta warisan.

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah Nyentana atau Nyeburin didefinisikan sebagai istilah perkawinan
dalam adat di Bali, di mana mempelai laki-laki tinggal di rumah mempelai
perempuan dan statusnya berganti dari status Purusa (sifat laki-laki) menjadi
status Purusa (perempuan). Secara sederhana, perkawinan nyentana mengarah
pada sistem kekeluargaan matrilineal karena kedudukan laki-laki (suami) akan
masuk ke dalam keluarga perempuan (istri) dan anak yang lahir akan menjadi
penerus garis keturunan ibunya, terutama dalam hal mewaris.
Perkawinan ini dapat terjadi karena penyebab utamanya adalah orang tua
tidak memiliki anak laki-laki untuk meneruskan warisnya. Sehingga anak
perempuannya diangkat menjadi sentana rajeg untuk mewarisi keturunan dan
melakukan perkawinan nyentana dengan melamar seorang laki-laki terlebih
dahulu, yang kemudian akan dimasukkan ke dalam keluarga sentana rajeg.
Nyentana atau Nyeburin tentu saja tidak semudah itu dilakukan. Dalam
perkawinan ini terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi, seperti (1)
larangan pasangan beda wangsa, (2) hak dan kewajiban para pihak pasca
perkawinan nyentana, dan (3) hak waris laki-laki yang hanya diturunkan sebagian.
Adapun akibat hukum dari dilakukannya perkawinan ini adalah berimplikasi pada
hak peremuan serta menyimpang dari ketentuan hukum adat Bali tentang
penerima harta warisan.

B. Saran
Saran yang dapat disampaikan kepada pembaca dengan adanya penulisan
makalah ini adalah diharapkan pembaca agar lebih memahami tentang topik
kajian “Perkawinan Nyentana atau Nyeburin” dan menggunakan ilmu yang telah
diperoleh secara bijak.
Penulis juga berharap pembaca bersedia memberikan kritik dan saran yang
membangun karena dalam penulisan makalah ini penulis yakin masih memiliki

9
banyak kekurangan yang perlu diperbaiki untuk kepentingan kepenulisan ke
depannya.

10
DAFTAR PUSTAKA

Arzarh, I. M. (2019). Tinjauan Umum: Perkawinan. Diakses pada 20 Oktober


2022 dari http://repository.radenfatah.ac.id/16800/2/BAB%20II.pdf
Candrasari, M. W. & Sadnyini, I. A. (2019). Akibat hukum peralihan perkawinan
biasa menjadi perkawinan nyentana terhadap kedudukan hak waris menurut
hukum adat Bali. Jurnal Analisis Hukum 2(1), 125-127. doi:
https://doi.org/10.38043/jah.v2i1.2169
Erwinsyahbana, T. (2012). Sistem hukum perkawinan pada Negara hukum
berdasarkan Pancasila. Jurnal Ilmu Hukum, 3(2). doi:
http://dx.doi.org/10.30652/jih.v2i02.1143
Melali, J. (2021). Nyenatan: Susahnya Pacaran dengan Cewek Yang Nyari
Sentana, Sebuah Dilema Cinta di Pulau Dewata. Diakses pada 20 Oktober
2022 dari https://www.jalanmelali.com/nyentana-bali/
Perkawinan Yang Ideal Menurut Ajaran Agama Hindu. (2020). Diakses pada 20
Oktober 2022 dari
https://phdiklungkung.or.id/wp-content/uploads/2020/12/Perkawinan-Sah-
Menurut-Agama-Hindu.pdf
Pratama, I. W. B. E., Nandita, N. N. D. R. P., & Ratnasari, N. N. I. (2021).
Perkawinan nyentana di Bali: Urgensi, tata cara, dan prospeknya di era
modern. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis, 2(6), 460-470.
Puspa, N. K. P. S., Aprilianti., & Nargis, N. (2018). Pelaksanaan perkawinan
nyentana pada masyarakat Adat Bali (Studi pada masyarakat Adat Bali di
Desa Rama Nirwana Kecamatan Seputih Raman Lampung Tengah). Pactum
Law Journal, 1(04), 379.
Putri, N. P. A. D. P. (2011). Berbagai faktor penyebab terjadinya perkawinan
nyentana dalam keluarga yang telah memiliki anak laki-laki. (Thesis,
Universitas Brawijaya, 2011). Diakses dari
http://repository.ub.ac.id/id/eprint/110843/1/051100874.pdf
Semadi, A. A. G. P. (2021). Era Gayung Bersambut Proses Perkawinan Adat
Bali. Diakses pada 20 Oktober 2022 dari https://undwi.ac.id/blog/era-
gayung-bersambut-proses-perkawinan-adat-bali.html#:~:text=Ditinjau

11
%20dari%20perspektif%20Hukum%20Adat,suami%20masuk%20ke
%20keluarga%20istri
Sudarsana, I. K. (). Upacara Perkawinan. Diakses pada 20 Oktober 2022 dari
Udytama, I. W. W. W. (2015). Status laki-laki dan pewarisan dalam perkawinan
nyentana. Jurnal Adwokasi, 5(1), 76.
Yasin, M. (2014). Kedudukan Hukum Perkawinan ‘Nyentana’ di Bali. Diakses
pada 20 Oktober 2022 dari
https://www.hukumonline.com/klinik/a/kedudukan-hukum-perkawinan-
nyentana-di-bali-lt536e24137294b

12

Anda mungkin juga menyukai