Anda di halaman 1dari 17

TUGAS ACARA III

PERKAWINAN PADA GELAHANG


PERSPEKTIF SASTRA VEDA

KOMANG SOEYASA
NIM : 10.1.1.1.1.3876

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA


FAKULTAS DHARMA ACARYA
INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR
2014

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


I. PENDAHULUAN
Umat Hindu mempunyai tujuan hidup yang disebut Catur Purusa Artha
yaitu Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Hal ini tidak bisa diwujudkan sekaligus
tetapi secara bertahap. Tahapan untuk mewujudkan empat tujuan hidup itu disebut
dengan Catur Asrama. Pada tahap Brahmacari asrama tujuan hidup diprioritaskan
untuk mendapatkan Dharma. Grhasta Asrama memprioritaskan mewujudkan artha
dan kama. Sedangkan pada Wanaprasta Asrama dan Sanyasa Asrama tujuan hidup
diprioritaskan untuk mencapai moksa.
Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan
hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya
Parwa adalah mewujudkan suatu kehidupan yang disebut “Yatha sakti Kayika
Dharma” yang artinya dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma. Jadi
seorang Grhasta harus benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam
kehidupan ini. Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar
disiapkan oleh seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan.
Meskipun sudah bukan hal yang baru lagi, namun harus diakui bahwa
fenomena globalisasi adalah dinamika yang paling strategis dan membawa
pengaruh dalam tata nilai dari berbagai bangsa termasuk bangsa Indonesia.
Sebagian kalangan menganggapnya sebagai ancaman seperti yang diungkapkan
Surtawan (2011: 1) bahwa modernisasi dan globalisasi mengakibatkan semakin
tergesernya sendi-sendi kehidupan, termasuk semakin terkikisnya nilai-nilai
religiusitas pada sebagian umat Hindu. Secara langsung globalisasi juga
mempengaruhi sistem perkawinan masyarakat Bali.
Masyarakat Bali memiliki adat istiadat atau budaya yang sangat melekat
erat dengan kehidupan masyarakat setempat yang sebagian besar beragama hindu.
Dalam prosesi upacara pernikahan atau yang sering disebut “pawiwahan” dalam
masyarakat dikenal berbagai jenis upacara pawiwahan yang disesuaikan dengan
desa, kala, patra. Umumnya dalam upacara pernikahan di Bali, pihak purusa
(laki-laki) memiliki peran andil yang sangat besar dibandingkan dengan pihak
pradana (perempuan). Hal ini disebakan karena masyarakat Bali menganut system
patrilineal. Dalam system ini pihak laki-laki mendapatkan posisi yang lebih, dan
merupakan prioritas.

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


Namun ada sedikit pergeseran nilai yang terjadi didalam sistem
perkawinan masyarakat Hindu. Kini dikenal istilah perkawinan Pada Gelahang.
Lalu apa yang menyebabkan system perkawinan ini unik? Hali ini disebabkan
karena baik pihak laki-laki ataupun perempuan sama-sama memiliki fungsi
sebagai Purusha di dalam keluarganya dan masih mempunyai hak dan kewajiban
yang penuh didalam keluarganya masing-masing terutama dalam hal waris. Hal
ini berbeda dengan perkawinan pada umumnya dimana pihak perempuan akan
kehilangan hak dan kewajiban didalam keluarganya. Berbeda juga dengan system
pernikahn nyentana yang dalam system pernikahan ini pihak laki-laki yang
berfungsi sebagi Pradana yang secara otomatis menghapus hak dan kewajiban di
keluarganya.
Perkawinan Pada Gelahang dalam perkembanganya banyak menuai pro
dan kontra dimasyarakat. Banyak masyarakat yang menilai bahwa Pada Gelahang
ini tidak sesuai dengan sistem adat Bali, karena mengfungsikan perempuan
sebagai purusha. Sebagian yang menilai positif menggangap bawah Perkawinan
Pada Gelahang merupakan solusi untuk keluarga yang melaksanakan
perkawianan namun dari kedua pihak hanya memilki anak tunggal.
Terkait dengan hal tersebut maka penulis merasa tertarik untuk melakukan
penelitian tentang “Perkawinan Pada Gelahang Perspektif sastra veda”.

II. PEMBAHASAN
2.1 Pengertian perkawinan
Menurut UU. No : 1 tahun 1974 pasal 1 mengenai pengertian perkawinan
adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga/rumah tangga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian ini sesuai dengan
kenyataan yang hidup dalam masyarakat Umat Hindu di Bali, sehingga
perkawinan itu mempunyai hubungan yang erat sekali dengan Agama dan
merupakan sesuatu yang bersifat sakral.
Pada Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-
Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa perkawinan ialah
ikatan sekala niskala (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
(satya alaki rabi) (Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat dicermati bahwa
perkawinan atau pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala) antara
seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang
diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
Di dalam membentuk keluarga yang berbahagia itu, erat hubungannya
dengan keturunan maka dari itu perkawinan juga mempunyai pengertian untuk
mengadakan kelahiran atau reinkarnasi yang berfungsi sebagai pembayaran
hutang kelahiran pada orang tua atau leluhur yang akan di salurkan pada
pemeliharaan dan pendidikan anak.
Dengan demikian jelaslah bahwa perkawinan bukan hanya sekedar
hubungan biologis, tetapi perkawinan mempunyai makna yang identik dengan
upacara yadnya Samskara (Sekramen) yang menyebabkan kedudukan dari
lembaga perkawinan sebagai lembaga yang tidak terpisah dengan hukum agama.

2.2 Makna dari perkawinan/pawiwahan


UU Perkawinan no 1 th 1974, sahnya suatu perkawinan adalah sesuai
hukum agama masing-masing. Jadi bagi umat Hindu, melalui proses upacara
agama yang disebut “Mekala-kalaan” (natab banten), biasanya dipuput oleh
seorang pinandita. Upacara ini dilaksanakan di halaman rumah (tengah natah)
karena merupakan titik sentral kekuatan “Kala Bhucari” sebagai penguasa wilayah
madyaning mandala perumahan. Makala-kalaan berasal dari kata “kala” yang
berarti energi. Kala merupakan manifestasi kekuatan kama yang memiliki mutu
keraksasaan (asuri sampad), sehingga dapat memberi pengaruh kepada pasangan
pengantin yang biasa disebut dalam “sebel kandel”.
Dengan upacara mekala-kalaan sebagai sarana penetralisir (nyomia)
kekuatan kala yang bersifat negatif agar menjadi kala hita atau untuk merubah
menjadi mutu kedewataan (Daiwi Sampad). Jadi dengan mohon panugrahan dari
Sang Hyang Kala Bhucari, nyomia Sang Hyang Kala Nareswari menjadi Sang
Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


Jadi makna upacara mekala-kalaan sebagai pengesahan perkawinan kedua
mempelai melalui proses penyucian, sekaligus menyucikan benih yang dikandung
kedua mempelai, berupa sukla (spermatozoa) dari pengantin laki dan wanita
(ovum) dari pengantin wanita.

2.3. Sarana upacara perkawinan


Sarana upacara perkawinan yang penulis cantumkan berikut ini bukanlah
peralatan yang baku, mungkin ada beberapa sarana yang tidak sesuai. Hal ini
disebabkan karena perbedaan adat istiadat di beberapa desa yang berbeda-beda
yang tentunya kembali pada desa kala patra setempat. Sarana upacara perkawinan
ini juga dipkai dalam prosesi upacara perkawinan pade gelahang. Singkatnya
tidak ada perbedaan Antara sarana upara perkawinan pada umumnya dengan
sarana upacara pernikahan pade gelahang. Adapun sarana tersebut yaitu:
1) Sanggah Surya
Di sebelah kanan digantungkan biyu lalung dan di sebelah kiri sanggah
digantungkan sebuah kulkul berisi berem. Sanggah Surya merupakan niyasa
(simbol) stana Sang Hyang Widhi Wasa, dalam hal ini merupakan stananya Dewa
Surya dan Sang Hyang Semara Jaya dan Sang Hyang Semara Ratih.
Biyu lalung adalah simbol kekuatan purusa dari Sang Hyang Widhi dan
Sang Hyang Purusa ini bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Jaya, sebagai
dewa kebajikan, ketampanan, kebijaksanaan simbol pengantin pria.
Kulkul berisi berem simbol kekuatan prakertinya Sang Hyang Widhi dan
bermanifestasi sebagai Sang Hyang Semara Ratih, dewa kecantikan serta
kebijaksanaan simbol pengantin wanita.
2) Kelabang Kala Nareswari (Kala Badeg)
Simbol calon pengantin, yang diletakkan sebagai alas upakara mekala-
kalaan serta diduduki oleh kedua calon pengantin.
3) Tikeh Dadakan (tikar kecil)
Tikeh dadakan diduduki oleh pengantin wanita sebagai simbol selaput dara
(hymen) dari wanita. Kalau dipandang dari sudut spiritual, tikeh dadakan adalah
sebagai simbol kekuatan Sang Hyang Prakerti (kekuatan yoni).
4) Keris

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


Keris sebagai kekuatan Sang Hyang Purusa (kekuatan lingga) calon
pengantin pria. Biasanya nyungklit keris, dipandang dari sisi spritualnya sebagai
lambang kepurusan dari pengantin pria.
5) Benang Putih
Dalam mekala-kalaan dibuatkan benang putih sepanjang setengah meter,
terdiri dari 12 bilahan benang menjadi satu, serta pada kedua ujung benang
masing-masing dikaitkan pada cabang pohon dapdap setinggi 30 cm.
Angka 12 berarti simbol dari sebel 12 hari, yang diambil dari cerita
dihukumnya Pandawa oleh Kurawa selama 12 tahun. Dengan upacara mekala-
kalaan otomatis sebel pengantin yang disebut sebel kandalan menjadi sirna
dengan upacara penyucian tersebut.
Dari segi spiritual benang ini sebagai simbol dari lapisan kehidupan,
berarti sang pengantin telah siap untuk meningkatkan alam kehidupannya dari
Brahmacari Asrama menuju alam Grhasta Asrama.
6) Tegen-tegenan
Makna tegen-tegenan merupakan simbol dari pengambil alihan tanggung
jawab sekala dan niskala. Perangkat tegen-tegenan yaitu : 1) Batang tebu berarti
hidup pengantin artinya bisa hidup bertahap seperti hal tebu ruas demi ruas, secara
manis. 2) Cangkul sebagai simbol Ardha Candra. Cangkul sebagai alat bekerja,
berkarma berdasarkan Dharma 3) Periuk simbol windhu. 4) Buah kelapa simbol
brahman (Sang Hyang Widhi) 5) Seekor yuyu simbol bahasa isyarat memohon
keturunan dan kerahayuan.
7) Suwun-suwunan (sarana jinjingan)
Berupa bakul yang dijinjing mempelai wanita, yang berisi talas, kunir,
beras dan bumbu-bumbuan melambangkan tugas wanita atau istri mengmbangkan
benih yang diberikan suami, diharapkan seperti pohon kunir dan talas berasal dari
bibit yang kecil berkembang menjadi besar.
8) Dagang-dagangan
Melambangkan kesepakatan dari suami istri untuk membangun rumah
tangga dan siap menanggung segala Resiko yang timbul akibat perkawinan
tersebut seperti kesepakatan antar penjual dan pembeli dalam transaksi dagang.
9) Sapu lidi (3 lebih)

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


Simbol Tri Kaya Parisudha. Pengantin pria dan wanita saling mencermati
satu sama lain, isyarat saling memperingatkan serta saling memacu agar selalu
ingat dengan kewajiban melaksanakan Tri Rna, berdasarkan ucapan baik, prilaku
yang baik dan pikiran yang baik, disamping itu memperingatkan agar tabah
menghadapi cobaan dan kehidupan rumah tangga
10) Sambuk Kupakan (serabut kelapa)
Serabut kelapa dibelah tiga, di dalamnya diisi sebutir telor bebek,
kemudian dicakup kembali di luarnya diikat dengan benang berwarna tiga (tri
datu). Serabut kelapa berbelah tiga simbol dari Triguna (satwam, rajas, tamas).
Benang Tridatu simbol dari Tri Murti (Brahma, Wisnu, Siwa) mengisyaratkan
kesucian. Telor bebek simbol manik. Mempelai saling tendang serabut kelapa
(metanjung sambuk) sebanyak tiga kali, setelah itu secara simbolis diduduki oleh
pengantin wanita. Apabila mengalami perselisihan agar bisa saling mengalah,
serta secara cepat di masing-masing individu menyadari langsung. Selalu ingat
dengan penyucian diri, agar kekuatan triguna dapat terkendali. Selesai upacara
serabut kalapa ini diletakkan di bawah tempat tidur mempelai.
11) Tetimpug
Bambu tiga batang yang dibakar dengan api dayuh yang bertujuan
memohon penyupatan dari Sang Hyang Brahma.

2.4 Tata upacara perkawinan/pawiwahan


Tata upacara perkawinan dilaksanakan setelah kedua belah pihak dari
kedua mempelai memberikan persetujuan yang kemudian oleh keluarga yang
bersangkutan, dalam hal ini dari Purusha memohonkan hari baik kepada Pendeta
yang nantinya sekaligus akan menyelesaikan upacaranya secara agama. Tata cara
ini juga belaku pada prosesi perkawinan pade gelahang. Tata upacara yang
dilaksanakan ada 3 fase yaitu:
1) Upacara Pendahuluan
Pelaksanaan upacara ini bertujuan agar kedua mempelai yang
bersangkutan sekedar dihilangkan “Sebelnya” sehingga wajar nantinya
dilanjutkan dengan upacara berikutnya. Dengan dilaksanakannya upacara ini,

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


berarti sudah bernilai suci untuk keluar rumah, masuk ke Pemerajan/Sanggah dan
sebagainya.
2) Upacara Pokok
Upacara ini merupakan upacara “Peresmian/pemuput” baik secara agama,
adat dan kemasyarakatan yang bertujuan untuk mencapai kesucian dan
kesahannya. Maka dari itu, upacara ini merupakan klimaksnya dari pelaksanaan
upacara perkawinan, karena dalam upacara ini dilakukan pembersihan secara
rohaniah terhadap bibit kedua mempelai yang dipersaksikan secara niskala.
Upacara yang bersifat peresmian ini mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
Adanya banten yang dihaturkan ke Surya dan Pemerajan/Sanggah, serta
sembahyangnya kedua mempelai kehadapan Hyang Widhi Wasa, Bhatara/Bhatari
manifestasinya yang fungsinya merupakan unsur Dewa Saksi
Adanya unsur manusia saksi dalam wujud yang sebenarnya/nyata dengan
hadirnya wakil masyarakat dalam hal ini biasanya dihadiri oleh Prajuru
Desa/Klian Banjar ikut menyaksikan saat pelaksanaan upacaranya.
Adanya banten byakala/pekala-kalaan atau pedengen-dengen yang diayab
oleh kedua mempelai yang bersangkutan sebagai sarana penyucian dan unsur
Bhuta saksi.
Adanya banten “Sesayut” yang diayab oleh kedua mempelai yang
bertujuan untuk mengikatkan/menyatukan dan meningkatkan pribadi kedua
mempelai yang bersangkutan sebagi suami istri.
3) Upacara Mepejati atau Mejauman
Upacara ini adalah merupakan lanjutan dari upacara pokok tersebut di atas.
Upacara ini merupakan penyempurnaan di dalam perkawinan yang bertujuan
untuk membersihkan kedua mempelai secara lahir bathin, memberikan bimbingan
hidup dan menentukan status salah satu pihak yang pada intinya bermakna
meninggalkan statusnya dalam keluarga asal dan akan memasuki keluarga baru
yang akan dituju dan dibangun berikutnya.

2.5 Tata cara Pelaksanaan Upacara Perkawinan/pawiwahan


Hal pertama yang dilaksanakan adalah kedua mempelai Mabyakala,
dilanjutkan dengan Maprayascita, berikutnya kedua mempelai diminta duduk

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


menghadap Sanggah Kemulan dan pada banten padengen-dengen. Setelah
diadakan pemujaan oleh yang muput Upacara tersebut, maka kedua mempelai
diminta sembahyang, dan selanjutnya diupacarai dengan alat-alat yang ada pada
pembersihan itu seperti: sisig, keramas, segau, tepung tawar lalu diberikan
penglukatan dan kemudian natab banten padengen-dengen.
Setelah natab, kedua mempelai berjalan mengelilingi Sanggah
Kemulan/Sanggah Pesaksi, yang tiap kali melewati Sepetan kakinya disentuhkan
sebagai simbul pembersihan terhadap Sukla Swanita dan dirinya, ini dilakukan 3
kali. Selanjutnya mempelai laki-laki berbelanja sedangkan mempelai wanita
berjualan. Ketika berjalan mempelai laki-laki memikul tegen-tegenan dan
mempelai wanita menjunjung sok pedagangan. Upacara jual beli ini
menyimbulkan sebagai tercapainya kata sepakat untuk memperoleh keturunan
yang kemudian dilanjutkan dengan merobek tikar pandan yang dipegang oleh
mempelai wanita oleh mempelai laki-laki dengan keris yang berada pada
penegtegan. Hal ini merupakan simbul pemecahan selaput dara si gadis.
Kemudian dilanjutkan dengan memutuskan benang yang terlentang pada
kedua cabang dadap ( Pepegatan) sebagai tanda bahwa mereka telah melampaui
masa remajanya dan kini berada dalam fase lanjutan yang baru yaitu suami istri.
Berikutnya dilanjutkan dengan menanam pohon kunir, keladi dan andong di
belakang sanggah kemulan bersama-sama dengan suaminya. Selesai upacara ini
maka kedua mempelai melanjutkan dengan acara mandi dan ganti pakaian yang
nantinya pada sore harinya dilanjutkan dengan melukat, mejaya-jaya, natab
dapetan seadanya dan diakhiri dengan mepejati/mejauman ke rumah si gadis yang
tujuannya menyatakan bahwa mulai saat ini si gadis tidak masih menjadi
tanggung jawab dan hak waris keluarganya. Dengan berakhirnya upacara mepejati
ini, maka upacara perkawinan itu telah dianggap selesai.
Dalam Tata cara Pelaksanaan Upacara Perkawinan/pawiwah pada
umumnya maupun pada perkawinan pade gelahang tidak ada perbedaan. Yang
menjadi perbedaan adalah bahwa pihak perempuan masih menjadi tanggung
jawab dan hak waris keluarganya.

2.6 Perkawinan Gelahang Bareng / Negen

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


Perkawinan Gelahang Bareng/“Negen Dadua” disetiap tempat / wilayah di
Provinsi Bali mempunyai nama yang berbeda. Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan oleh Tim Peneliti Perhimpunan Dosen Hukum Adat (Pershada) Bali,
2008, telah ditemukan nama lain dari Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalah
Perkawinan Pada Gelahang, Perkawinan Mepanak Bareng, Perkawinan Nadua
Umah, Perkawinan Mekaro Lemah, Negen, atau Negen Ayah, Perkawinan
Magelar Warang, “Perkawinan Parental, Perkawinan Mekaro Lemah atau Madue
Umah “.Perkawinan Nyentana (Nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara
mepamit.
Umumnya Perkawinan Gelahang Bareng/Negen tidak terlalu sering
dilaksanakan. Terbukti dari survei yang dilakukan oleh LSM tertentu, bahwa ada
28 pasutri di bali yang melaksanakan system Perkawinan Gelahang
Bareng/Negen. Dan mungkin saja masih banyak pasutri yang melaksanakan
sistem ini yang tidak tersurvei.
Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalah salah satu sistem perkawinan
di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri bertindak
sebagai Purusa. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh penulis, terdapat
berbagai factor yang menyebabkan terjadinya sistem Perkawinan Gelahang
Bareng/Negen, yaitu: calon istri merupakan anak semata wayang sehingga tidak
ingin kawitan di sanggahnya terputus begitu saja atau baik calon suami maupun
istri merupakan anak semata wayang, Jika calon suami memiliki saudara laki-laki,
namun di dalam desa,kala,patra keluarga suami tidak lazim mengadakan sistem
Nyentana (hanya istri yang berperan senagai Purusa), sehingga dilaksanakan
sistem Perkawinan Gelahang Bareng/Negen.
Perkawinan “Negen Dadua” merupakan pergeseran budaya yang positif,
yaitu dari Perkawinan “Negen Dadua” telah memunculkan hak anak atau anak-
anak perempuan di Bali untuk mendapatkan hak waris dari orang tuanya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem perkawinan ini merupakan persamaan
derajat yang menjungjung tinggi HAM (Hak Azasi Manusia), khususnya terhadap
anak/anak-anak yang lahir perempuan karena Masyarakat Bali menganut sistem
patrilinial.

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


Sebagai syarat sahnya Perkawinan “Negen Dadua” dapat disimpulkan
apabila telah melakukan beberapa prosesi secara Agama Hindu dan Adat Bali,
yaitu : sudah dilangsungkan Upacara Pebyakaonan, dan tidak dilakukan Upacara
Mepamit, serta sudah disepakati oleh Mempelai, Orang Tua (Ayah, Ibu kedua
belah pihak)

2.7 Implikasi Perkawinan Gelahang terhadap Masyarakat


Akibat yang ditimbulkan dari dilangsungkannya Perkawinan “Negen
Dadua” adalah mempelai perempuan berstatus purusa, sehingga merupakan
pelanjut darah/ keturunan dirumah orang tuanya. Begitu juga mempelai laki-laki
tetap berstatus purusa atau pelanjut darah keturunan dirumah orang tuanya.
Anak yang dilahirkan dari Perkawinan “Negen Dadua” dihadapankan
dengan status kepurusa, yang kemudian menimbulkan kewajiban (swadarma) dan
hak (swadikara) dan/atau hubungan pergaulan dengan masyarakat setempat
(pasidikaraan) akan ditentukan sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Adapun dampak secara nyata dari sistem perkawinan ini yaitu: pasutri
memiliki beban ganda dalam melaksanakan kewajiban dalam desa pakraman
seperti ayah-ayahan di pura, banjar, dan dimasyarakat, Jika pasutri hanya
memiliki satu anak, maka beban anak akan berlipat ganda apalagi anak tersebut
akan menikah.

2.7 Sastra Veda (Weda)


Weda berasal dari bahasa Sanskerta “Vid yang artinay ilmu pengetahuan.
adalah kitab suciagama Hindu. Weda merupakan kumpulan sastra-sastra kuno dari
zaman India Kuno yang jumlahnya sangat banyak dan luas. Dalam ajaran Hindu,
Weda termasuk dalam golongan Sruti (secara harfiah berarti “yang didengar”,
karena umat Hindu percaya bahwa isi Weda merupakan kumpulan wahyu dari
Brahman (Tuhan). Weda diyakini sebagai sastra tertua dalam peradaban manusia
yang masih ada hingga saat ini. Pada masa awal turunnya wahyu, Weda
diturunkan/diajarkan dengan sistem lisan pengajaran dari mulut ke mulut, yang
mana pada masa itu tulisan belum ditemukan-dari guru ke siswa. Setelah tulisan
ditemukan, para Resi menuangkan ajaran-ajaran Weda ke dalam bentuk tulisan.

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


Weda bersifat apaurusheya, karena berasal dari wahyu, tidak dikarang oleh
manusia, dan abadi. Maharesi Byasa, menyusun kembali Weda dan membagi
Weda menjadi empat bagian utama, yaitu: Regweda, Yajurweda, Samaweda dan
Atharwaweda.
Berdasarkan sistim pertimbangan materi dan luas ruang lingkup isinya, jumlah
jenis buku Weda itu banyak. Weda itu mencakup berbagai aspek kehidupan yang
menyangkut manusia. Maha Rsi Manu membagijenis isi Weda itu kedalam dua
kelompok besar yang disebut. Weda Sruti, Weda Smrti. Pembagian dalam dua
jenis ini dipakai selanjutnya untuk menamakan semua jenis buku yang
dikelompokkan sebagai kitab Weda baik secara tradisional maupun secara
institusional ilmiah.
Kelompok Weda Sruti isinya hanya memuat wahyu sedangkan kelompok
smrti isinya adalah sebagai ingatan kembaliterhadap Sruti. Jadi Smrti merupakan,
buku pedoman yang isinya tidak bertentangan dengan Sruti. Bila dibandingkan
dengan ilmu politik Sruti adala merupakan UUD nya Hindu sedangkan Smrti
adalah UU. Pokok dan UU. Pelaksanaannya adalah Nibandha. Kedua-duanya
merupakan sumber Hukum yang mengikat yang harus diterima. Oleh karena itu
“Bhagawan Manu” menegaskan dalam kitabnya “Manawa Dharmasastra” 11.10.
sebagai berikut:
Srutistu Wedo Wiineyo dharmacastram tu wai Smrtih.
Te sartwarhawam imamsyo tabhyam
dharmohi nirba bhau.

Artinya
Sesungguhnya Sruti (wahyu) adalah Weda demikian pula Smrti itu adalah
Dharmasastra. keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun
juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber dari agama
Hindu.

Kitab-kitab smerti di Indonesia khususnya di Bali banyak tersebar dalam


bentuk lontar-lontar yang berisi tatwa. Lontar lontar ini banyak berisi tuntunan
bagi umat Hindu dalam menjalani kehidupan termasuk dalam urusan perkawinan.

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


2.8 Tinjauan Perkawinan Menurut Sastra Hindu
Menurut agama Hindu dalam kitab Manawa Dharmasastra III. 21
disebutkan 8 bentuk perkawinan sebagai berikut:
1. Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan
memberikan seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan
berkelakukan baik yang diundang oleh pihak wanita.
2. Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan
memberikan seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.
3. Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak
timbal-balik kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan
dengan menyerahkan sapi atau lembu menurut kitab suci.
4. Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan
seorang putri oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua
mempelai dengan mendapatkan restu yang berbunyi semoga kamu berdua
melakukan dharmamu dan setelah memberi penghormatan kepada
mempelai laki-laki.
5. Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima
wanita setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta
oleh pihak wanita.
6. Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama
cinta dimana pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.
7. Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil
paksa wanita dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
8. Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan
diam-diam memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat
hingga mabuk. Bentuk perkawinan ini dilarang.
Adapun sloka yang lainnya yang mengatur tentang sistem perkawinan
terdapat dalam sloka Manawa Dharmasastra III.31 ditegaskan,

Jnatibhyo drawinam dattwa kanyayai caiwa caktitah, kanyapradanam


sacchandyad asuro dharma ucyate
(Manawa Dharmasastra III.31)

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


Terjemahannya
Kalau pengantin Pria menerima seorang perempuan setelah pria itu
memberi mas kawin sesuai dengan kemampuannya dan didorong oleh
keinginannya sendiri kepada mempelai wanita dan keluarganya cara itu
dinamakan perkawinan Asura.

Berpijak dari sloka diatas maka dapat dicermati bahwa dari 8 bentuk
perkawinan menurut Manawa Dharmasastra ada dua bentuk perkawinan yang
dilarang keras untuk dilaksakan yaitu: Raksasa wiwaha dan Paisaca wiwaha.
Jadi dalam suatu pernikahan, apapun bentuk perkawinan tersebut haruslah
didasarkan didasarkan atas cinta dan restu dari orang tua.
Perkawinan atau wiwaha adalah suatu upaya untuk mewujudkan tujuan
hidup Grhasta Asrama. Tugas pokok dari Grhasta Asrama menurut lontar Agastya
Parwa:
“Yatha sakti Kayika Dharma”
(Agastya Parwa)
Terjemahanya:
Dengan kemampuan sendiri melaksanakan Dharma.
Menurut lontar Agastya Parwa tujuan Perkawinan atau wiwaha adalah
mewujudkan suatu kehidupan yang disebut yang jadi seorang Grhasta harus
benar-benar mampu mandiri mewujudkan Dharma dalam kehidupan ini.
Kemandirian dan profesionalisme inilah yang harus benar-benar disiapkan oleh
seorang Hindu yang ingin menempuh jenjang perkawinan. Dharma disini bisa
berate melaksanakan Panca Yadnya.
Dalam kitab suci Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan sebagai berikut:

Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wang juga wenang


gumaweakenikang subha asubha karma, kunang panentasakena ring
subha karma juga ikang asubha karma pahalaning dadi wang
(Sarasamuscaya sloka 2)
Terjemahannya
Dari demikian banyaknya semua mahluk yang hidup, yang dilahirkan
sebagai manusia itu saja yang dapat berbuat baik atau buruk. Adapun
untuk peleburan perbuatan buruk ke dalam perbuatan yang baik, itu adalah
manfaat jadi manusia.

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


Berkait dengan sloka menurut Sarasamuscaya pada hakikatnya
perkawinan adalah suatu yadnya guna memberikan kesempatan kepada leluhur
untuk menjelma kembali dalam rangka memperbaiki karmanya. Karena hanya
dengan menjelma sebagai manusia, karma dapat diperbaiki menuju subha karma
secara sempurna. Melahirkan anak melalui perkawinan dan memeliharanya
dengan penuh kasih sayang sesungguhnya suatu yadnya kepada leluhur. Lebih-
lebih lagi kalau anak itu dapat dipelihara dan di didik menjadi manusia suputra,
akan merupakan suatu perbuatan melebihi seratus yadnya.
Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan
pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut
agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
1. Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan
Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti
melaksanakan Yajña , sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña dapat
dilaksanakan secara sempurna.
2. Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan
melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña dan
lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa
kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru
(Rsi rna).
3. Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-
kepuasan lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan
berlandaskan Dharma.
Dengan demikian penulis mendapatkan suatu pemahan bahwa perkawian
pada gelahang tidak bertentangan dengan Sastra Weda dan juga adat istiadat
masyarakat Bali. Hal ini sesuai dengan sloka yang terdapat dalam Manawa
Dharmasastra, Agastya Parwa dan Sarasamuscaya yang menyatakan bahwa
tujuan perkawinan adalah untuk melaksanakan Dharma dengan melaksanakan
Panca Yadnya, mempunyai anak yang suputra berdasarkan atas saling mencintai
dan mendapatkan restu dari orang tua.
Lebih lanjut ahli Weda, Prof. Drs. I Made Titib, Ph.D. dalam seminar
“Lembaga Perkawinan Negen Dadua Mapanak Bareng” menegaskan jenis

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


Perkawinan Gelahang Bareng/ Negen dibenarkan dalam Ajaran Weda. Selain itu
akan Perkawinan Gelahang Bareng/Negen berguna untuk menyelamatkan
keturunan bagi mereka yang tidak memiliki anak laki-laki, manakala mempelai
pria juga tidak berkenan untuk nyentana.

III. PENUTUP
1. Simpulan

1) Perkawinan Gelahang Bareng/Negen adalah salah satu sistem perkawinan


di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik suami maupun istri
bertindak sebagai Purusa. Namun dari segi sarana dan prasarana dan tata
upacara sama dengan perkawina pada umumnya.
2) Perkawinan Gelahang Bareng /Negen tidak bertentangan dengan Adat Bali
maupun sastra Weda. Hal ini dipertegas dalam sloka Manawa
Dharmasastra, Agastya Parwa dan Sarasamuscaya
3) Adapun dampak secara nyata dari sistem perkawinan ini yaitu: Pasutri
memiliki beban gandan dalam melaksanakan kewajiban dalam desa
pakraman seperti ayah-ayahan di pura dan banjar. Jika pasutri hanya
memiliki satu anak, maka beban anak akan berlipat ganda apalagi anak
tersebut akan menikah.

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com


DAFTAR PUSTAKA

gedesukariyanta.WordPress.com. (diakses tanggal 10 Januari 2014)

http://saradbali.com/edisi106/pustaka.htm (diakses tanggal 10 Januari 2014)

http://sosbud.kompasiana.com/2009/12/17/perkawinan-gelahang-barengnegen-
pada-masyarakat-bali-dalam-perspektif-hukum-adat-bali-studi-kasus-di-
kota-singaraja%E2%80%9D/ (diakses tanggal 10 Januari 2014)

http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=28&id=153
20 (diakses tanggal 10 Januari 2014)

http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=1305&I
temid=83 (diakses tanggal 10 Januari 2014)
Idealnya Perkawinan Hindu Posted by dharmavada under susila at July 28 2009
Subagiasta, I Ketut.2008. Sradha dan Bhakti.Surabaya:Paramita

Sumber http://agama.kompasiana.com/2011/01/08/yadnya/ (diakses tanggal 10


Januari 2014)

Tim Penyusun.1995. Panca Yadnya (Dewa Yadnya, Bhuta Yadnya, Resi yadnya,
Pitra Yadnya, dan Manusa Yadnya). Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali

Di unduh dari The Wayang @ Komangsoeyasa.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai