Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

ADAT PERNIKAHAN DI MAKASSAR

DISUSUN OLEH :
Nayla Salsabila
Kayla Zahra Aulia
Sri Mulyati M
Muh Rafli

KELAS IX.3
SMP NEGERI 4 BAJENG
TAHUN PEMBELAJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT sehingga terselesainya makalah yang
mengenai proses pembuatan keju. Melalui makalah ini kami ingin menjelaskan tentang adat
pernikahan di suku makassar. Makalah ini membantu untuk lebih jauh mengetahui tentang
bagaimana proses pernikahan di makassar serta sejarah dan nilai nilai yang terkandung pada adat
ini. “ Tak ada gading yang tak retak ” itulah kata pepatah, demikian pula dengan makalah ini
tentu masih mempunyai banyak kekurangan dan kesalahan, karena itu kepada para pembaca
khususnya guru mata pelajaran ini dimohon kritik dan saran yang bersifat membangun demi
bertambahnya wawasan kami di bidang ini.
Diucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang membantu, hingga selasai makalah ini.
Semoga makalah ini benar-benar bermanfaat.

Gowa, 30 Januari 2023

Penulis
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR...................................................................................................................2
BAB 1 PENDAHULUAN..............................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................................4
1.3 Tujuan dan Manfaat...............................................................................................................4
BAB 2 PEMBAHASAN.................................................................................................................5
2.1 Asal-Usul Upacara Perkawinan Suku Makassar....................................................................5
2.2 Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar.......................................................6
2.3 Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku Makassar..........................8
2.4 Uang Panaik dalam Perkawinan Adat suku Bugis Makassar................................................8
2.5 Proses Pemberian Uang Panaik...........................................................................................11
BAB 3 PENUTUP........................................................................................................................12
3.1 Kesimpulan.........................................................................................................................12
3.2 Saran....................................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................13
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu bagian terpenting dari kehidupan manusia adalah perkawinan. Perkawinan adalah
suatu ikatan sosial atau ikatan perjanjian hukum antar pribadi yang membentuk hubungan
kekerabatan dan yang merupakan suatu pranata dalam budaya setempat yang meresmikan
hubungan antar pribadi - yang biasanya intim dan seksual. Perkawinan umumnya dimulai dan
diresmikan dengan upacara pernikahan. Umumnya perkawinan dijalani dengan maksud untuk
membentuk keluarga.
Perkawinan mungkin salah satu praktek kebudayaan yang paling mengundang upaya
perumusan dari berbagai kalangan dalam suatu masyarakat. Kegiatan yang dibayangkan bahkan
dipercayai, sebagai perwujudan ideal hubungan cinta antara dua individu belaka telah menjadi
urusan banyak orang atau institusi, mulai dari orang tua, keluarga besar, institusi agama sampai
Negara.
Bagi masyarakat di Sulawesi Selatan khususnya suku Bugis Makassar dan masyarakat di
Indonesia pada umumnya, perkawinan merupakan penyatuan dua keluarga besar dari kedua
mempelai. Tak heran jika perkawinan adat Bugis Makassar tidak hanya melibatkan keluarga inti
kedua mempelai, tapi juga seluruh keluarga besar sehingga tak jarang jika saudara, kakak dan
adik, paman dan bibi, serta para sesepuh ikut terlibat dalam mempersiapkan pernikahan si
mempelai. Upacara perkawinan di daerah Sulawesi Selatan banyak dipengaruhi oleh ritual-ritual
sakral dengan tujuan agar perkawinan berjalan dengan lancar dan kedua mempelai mendapat
berkah dari Tuhan.

1.2 Rumusan Masalah


1.Bagaimana Asal-Usul Upacara Perkawinan Suku Makassar ?
2.Bagaimana Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar ?
3.Apa saja Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku Makassar ?

1.3 Tujuan dan Manfaat


1. Mengetahui Asal-Usul Upacara Perkawinan Suku Makassar.
2. Mengetahui Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar
3. Mengetahui Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku
makassar
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Asal-Usul Upacara Perkawinan Suku Makassar


Appa bunting dalam bahasa Makassar berarti melaksanakan upacara perkawinan. Sementara
itu, istilah perkawinan dalam bahasa Bugis disebut siala yang berarti saling mengambil satu sama
lain. Dengan demikian, perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua insan yang berlainan
jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan.
Menurut Ibrahim A (Badruzzaman, 2007), istilah perkawinan dapat juga disebut siabbin
ngdari kata bin yang berarti benih padi. Dalam tata bahasa Bugis, kata binjika mendapat awalan
ma menjadi mabbin berarti menanam benih. Kata bin atau mabbin ini memiliki kedekatan bunyi
dan makna dengan kata bain(istri) atau mabbain (beristri). Maka dalam konteks ini, kata
siabbinng mengandung makna menanam benih dalam kehidupan rumah tangga.
Menurut pandangan orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua
mempelai dalam hubungan suami-istri, tetapi perkawinan merupakan suatu upacara yang
bertujuan untuk menyatukan dua keluarga besar yang telah terjalin sebelumnya menjadi semakin
erat atau dalam istilah orang Bugis disebut mappasidepp mab la atau mendekatkan yang sudah
jauh (Pelras, 2006:178). Oleh karena itu, perkawinan di kalangan masyarakat Bugis umumnya
berlangsung dekat atau antarkelompok patronasi (endogami), terutama di kalangan masyarakat
biasa, karena mereka sudah saling memahami sebelumnya (Hilman Hadikusuma, 2003:68).
Meskipun sistem perkawinan endogami tersebut masih bertahan hingga sekarang, namun tidak
dianut secara ketat. Dewasa ini, pemilihan jodoh sudah banyak dilakukan di luar lingkungan
kerabat elautherogami (Hadikusuma, 2003:69). Kendati demikian, peran orang tua tetap
diperlukan untuk memberikan petunjuk anak-anaknya agar mendapatkan pasangan hidup dari
keturunan orang baik-baik, memiliki adab sopan-santun, kecantikan, keterampilan rumah tangga,
serta memiliki pengetahuan agama.
Dengan demikian, keterlibatan orang tua dan kerabat dalam pelaksanaan pesta perkawinan
tidak dapat diabaikan. Mereka tetap memegang peranan sebagai penentu dan pelaksana dalam
perkawinan anak-anaknya. H. TH. Chabot, (Badruzzaman, 2007) mengatakan, pilihan pasangan
hidup bukanlah urusan pribadi, namun merupakan urusan keluarga dan kerabat. Untuk itulah,
perkawinan perlu dilakukan secara sungguh-sungguh menurut agama dan adat yang berlaku di
dalam masyarakat.
Alasan lain orang Bugis-Makassar harus mengadakan pesta perkawinan adalah karena hal
tersebut sangat berkaitan dengan status sosial mereka dalam masyarakat. Semakin meriah sebuah
pesta, semakin mempertinggi status sosial soseorang. Millar (Pelras, 2006:184) pernah
mengatakan bahwa upacara perkawinan merupakan media bagi orang Bugis-Makassar untuk
menunjukkan posisinya dalam masyarakat dengan menjalankan ritual-ritual serta mengenakan
pakaian-pakaian, perhiasan, dan berbagai pernak-pernik tertentu sesuai dengan kedudukan sosial
mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, tak jarang sebuah keluarga menjadikan pesta
perkawinan sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.

2.2 Tahapan-Tahapan Upacara Perkawinan Suku Makassar


1. A'jagang-jagang/Ma'manu-manu
Penyelidikan secara diam-diam oleh pihak calon mempelai pria untuk mengetahui latar belakang
pihak calon mempelai wanita.
2. A'suro/Massuro
Acara ini merupakan acara pinangan secara resmi pihak calon mempelai pria kepada calon
mempelai wanita. Dahulu, proses meminang bisa dilakukan beberapa fase dan bisa berlangsung
berbulan-bulan untuk mencapai kesepakatan.
3. Appa'nasa/Patenre Ada
Usai acara pinangan, dilakukan appa'nasa/patenre ada yaitu menentukan hari pernikahan. Selain
penentuan hari pernikahan, juga disepakati besarnya mas kawin dan uang belanja. Besarnya mas
kawin dan uang belanja ditentukan menurut golongan atau strata sosial sang gadis dan
kesanggupan pihak keluarga pria.
4. Appanai Leko Lompo (erang-erang)
Setelah pinangan diterima secara resmi, maka dilakukan pertunangan yang disebut A'bayuang
yaitu ketika pihak keluarga lelaki mengantarkan passio/passikoatau Pattere ada (Bugis). Hal ini
dianggap sebagai pengikat dan biasanya berupa cincin. Prosesi mengantarkan passio diiringi
dengan mengantar daun sirih pinang yang disebut Leko Caddi. Namun karena pertimbangan
waktu, sekarang acara ini dilakukan bersamaan dengan acara Patenre Adaatau Appa'nasa.
5. A'barumbung (mappesau)
Acara mandi uap yang dilakukan oleh calon mempelai wanita.
6. Appasili Bunting (Cemme Mapepaccing)
Kegiatan tata upacara ini terdiri dari appasili bunting, a'bubu, dan appakanre bunting. Prosesi
appasili bunting ini hampir mirip dengan siraman dalam tradisi pernikahan Jawa. Acara ini
dimaksudkan sebagai pembersihan diri lahir dan batin sehingga saat kedua mempelai
mengarungi bahtera rumah tangga, mereka akan mendapat perlindungan dari Yang Kuasa dan
dihindarkan dari segala macam mara bahaya. Acara ini dilanjutkan dengan Macceko/A'bubuatau
mencukur rambut halus di sekitar dahi yang dilakukan oleh Anrong Bunting (penata rias).
Tujuannya agar dadasa atau hiasan hitam pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita
dapat melekat dengan baik. Setelah usai, dilanjutkan dengan acara Appakanre Bunting atau
suapan calon mempelai yang dilakukan oleh anrong bunting dan orang tua calon mempelai.
Suapan dari orang tua kepada calon mempelai merupakan simbol bahwa tanggung jawab orang
tua kepada si anak sudah berakhir dan dialihkan ke calon suami si calon mempelai wanita.
7. A’bu’bu
Prosesi acara a’bu’bu (maceko) yaitu proses membersihkan rambut atau bulu-bulu halus yang
terdapat di ubun-ubun atau alis, yang bertujuan memudahkan dalam merias pengantin wanita,
agar hiasan hitam (da’dasa) pada dahi yang dikenakan calon mempelai wanita dapat melekat
dengan baik.
8. Appakanre Bunting
Dalam upacara ini, calon mempelai disuapi dengan makanan berupa kue-kue khas tradisional
Makassar, seperti Bayao Nibalu, Cucuru’ Bayao, Sirikaya, Onde-onde, Bolu peca, dan lain-lain
yang telah disiapkan dalam suatu wadah besar yang disebut Bosara Lompo.
9. Akkorontigi (Mappacci) atau Malam Pacar
Acara Akkorontigi merupakan kegiatan menghiasi rumah calon mempelai, kemudian melakukan
appacci atau mappacci, yang bertujuan untuk membersihkan jiwa dan raga calon pengantin
wanita. Ini merupakan suatu rangkaian acara yang sakral dan dihadiri oleh seluruh sanak
keluarga (famili) dan undangan.
10. Assimorong/Menre’kawing
Ini merupakan puncak dari rangkaian upacara pernikahan adat Bugis-Makassar, di mana kedua
calon mempelai melakukan akad nikah.
11. Appabajikang Bunting
Setelah akad nikah selesai, mempelai pria diantar ke kamar mempelai wanita. Dalam tradisi
bugis-makassar, pintu menuju kamar mempelai wanita biasanya terkunci rapat. Kemudian terjadi
dialog singkat antara pengantar mempelai pria dengan penjaga pintu kamar mempelai wanita.
Setelah mempelai pria diizinkan masuk, kemudian diadakan acara Mappasikarawa (saling
menyentuh). Setelah itu, kedua mempelai bersanding di atas tempat tidur untuk mengikuti
beberapa acara seperti pemasangan sarung sebanyak tujuh lembar yang dipandu oleh indo
botting (pemandu adat). Hal ini mengandung makna mempelai pria sudah diterima oleh keluarga
mempelai wanita.
12. Alleka Bunting (Maolla)
Acara sama seperti acara ngunduh mantu di Jawa. Sehari sesudah pesta pernikahan, mempelai
wanita ditemani beberapa orang anggota keluarga diantar ke rumah orang tua mempelai pria.
rombongan ini membawa beberapa hadiah sebagai balasan untuk mempelai pria. mempelai
wanita membawa sarung untuk orang tua mempelai pria dan saudara-saudaranya. Acara ini
disebut Makkasiwiang.
2.3 Nilai-nilai yang terkandung di dalam Upacara perkawinan suku Makassar
Nilai-nilai yang terkandung di dalam upacara adat perkawinan Suku Bugis-Makassar di
antaranya adalah:
1. Sakralitas. Nilai ini terlihat jelas dari pelaksanaan berbagai macam ritual-ritua khusus
seperti mandi tolak bala, pembacaan berzanji, acara mappacci, dan lain sebagainya. Ritual-ritual
tersebut dianggap sacral oleh orang Bugis-Makassar dan bertujuan untuk memohon keselamatan
kepada Allah SWT.
2. Penghargaan terhadap kaum perempuan. Nilai ini terlihat pada keberadaan proses
peminangan yang harus dilakukan oleh mempelai pria. Hal ini menunjukkan suatu upaya untuk
menghargai kaum perempuan dengan meminta restu dari kedua orang tuanya. Nilai penghargaan
terhadap perempuan juga dapat dilihat dengan adanya pemberian mahar berupa mas kawin dan
dui balanca/uang belanja yang cukup tinggi dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
Keberadaan mahar sebagai hadiah ini merupakan isyarat atau tanda kemuliaan perempuan.
3. Kekerabatan. Bagi orang Bugis-Makassar, perkawinan bukan sekedar menyatukan dua
insan yang berlainan jenis menjadi hubungan suami-istri, tetapi lebih kepada menyatukan dua
keluarga besar
4. Gotong-royong. Nilai ini terlihat pada pelaksanaan pesta perkawinan yang melibatkan
kaum kerabat, handai taulan, dan para tetangga. Mereka tidak tidak saja memberikan bantuan
berupa pikiran dan tenaga, tetapi juga dana untuk membiayai pesta tersebut.
5. Status sosial. Pesta perkawinan bagi orang Bugis-Makassar bukan sekedar upacara
perjamuan biasa, tetapi lebih kepada peningkatan status sosial. Semakin meriah sebuah pesta,
semakin maka semakin tinggi status social seseorang. Oleh karena itu, tak jarang sebuah
keluarga menjadikan pesta perkawinan sebagai ajang untuk meningkatkan status sosial mereka.

2.4 Uang Panaik dalam Perkawinan Adat suku Bugis Makassar


Secara sederhana, uang panaik/doi balanja (Makassar) atau dui‟ menre‟ (Bugis) atau uang
belanja, yakni sejumlah uang yang diberikan oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak
keluarga mempelai perempuan. Uang panaik tersebut ditujukan untuk belanja kebutuhan pesta
pernikahan. Uang panaik memiliki peran yang sangat penting dan merupakan salah satu rukun
dalam perkawinan adat suku Bugis Makassar. Pemberian uang panaik adalah suatu kewajiban
yang tidak bisa diabaikan. Tidak ada uang panaik berarti tidak ada perkawinan. Adapun akibat
hukum jika pihak laki-laki tidak mampu menyanggupi jumlah uang panaik yang di targetkan,
maka secara otomatis perkawinan akan batal dan pada umumnya implikasi yang muncul adalah
pihak keluarga laki-laki dan perempuan akan mendapat cibiran atau hinaan di kalangan
masyarakat setempat.
Satu hal yang harus dipahami bahwa uang panaik yg diserahkan oleh calon suami diberikan
kepada orang tua calon istri, sehingga dapat dikatakan bahwa hak mutlak pemegang uang panaik
tersebut adalah orang tua si calon istri. Orang tua mempunyai kekuasaan penuh terhadap uang
tersebut dan begitupun penggunaanya. Penggunaan yang dimaksud adalah membelanjakan untuk
keperluan pernikahan mulai dari penyewaan gedung atau tenda, menyewa grup musik atau
masyarakat setempat menyebutnya electone, membeli kebutuhan konsumsi dan semua yang
berkaitan dengan jalannya resepsi perkawinan . Adapun kelebihan uang panaik yang tidak habis
terpakai akan dipegang oleh orang tua. Akan tetapi pada umumnya semua uang panaik tersebut
akan habis terpakai untuk keperluan pesta pernikahan, namun apabila terdapat sisa dari total
uang panaik tersebut maka akan diberikan kepada anak. Bagian anak pun terserah orang tuanya.
Apakah akan memberikan semuanya atau tidak, itu menjadi otoritas orang tua si calon istri.
Walaupun dalam kenyataanya orang tua tetap memberikan sebagian kepada anaknya untuk
dipergunakan sebagai bekal kehidupannya yang baru.31 Uang panaik yang diberikan oleh calon
suami jumlahnya lebih banyak daripada mahar. Adapun kisaran jumlah uang panaik dimulai dari
25 juta, 30, 50 dan bahkan ratusan juta rupiah. Hal ini dapat dilihat ketika proses negosiasi yang
dilakukan oleh utusan pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga perempuan dalam menentukan
kesanggupan pihak laki-laki untuk membayar sejumlah uang panaik yang telah dipatok oleh
pihak keluarga perempuan.
Mahar dan uang panaik dalam perkawinan adat suku Bugis Makassar adalah suatu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Karena dalam prakteknya kedua hal tersebut memiliki posisi yang
sama dalam hal kewajiban yang harus dipenuhi. Walaupun dalam hal ini uang panaik lebih
mendapatkan perhatian dan dianggap sebagai suatu hal yang sangat menentukan kelancaran
jalannya proses perkawinan. Sehingga jumlah nominal uang panaik lebih besar daripada jumlah
nominal mahar. Jika kisaran uang panaik bisa mencapai ratusan juta rupiah karena dipengaruhi
oleh beberapa faktor, justru sebaliknya bagi mahar yang tidak terlalu dipermasalahkan sehingga
jumlah nominalnya diserahkan kepada kerelaan suami yang pada umumnya hanya berkisar Rp.
10.000 – Rp. 5.000.000, juta saja. Akan tetapi pada zaman sekarang mahar dominan berbentuk
barang yaitu tanah, rumah atau satu set perhiasan. Hal tersebut dapat dilihat ketika prosesi akad
nikah yang hanya menyebutkan mahar dalam jumlah yang kecil. Tinggi rendahnya uang panaik
merupakan bahasanyang paling mendapatkan perhatian dalam perkawinan Bugis Makassar,
sehingga sudah menjadi rahasia umum bahwa itu akan menjadi buah bibir bagi para tamu
undangan. Adapun penyebab tingginya jumlah uang panaik tersebut disebabkan karena beberapa
faktor diantaranya:
1. Status ekonomi keluarga calon istri.
Semakin kaya wanita yang akan dinikahi, maka semakin tinggi pula uang panaik
yang harus diberikan oleh calon suami kepada pihak keluarga calon istri. Dan begitupun
sebaliknya, jika calon istri tersebut hanya dari keluarga petani yang pada umumnya kelas
ekonomi menengah kebawah maka jumlah uang panaik yang dipatok relatif kecil.
2. Jenjang pendidikan calon istri
Besar kecilnya jumlah nominal uang panaik sangat dipengaruhi oleh jenjang
pendidkan dan kedudukan calon mempelai perempuan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seorang perempuan, maka semakin banyak pula uang panaik yang harus diberikan dan jika tidak
memberikan uang panaik dalam jumlah yang banyak, maka akan mendapatkan hinaan atau akan
menjadi buah bibir di masyarakat. Hal ini karena masyarakat Kelurahan Untia beranggapan
bahwa keberhasilan mematok uang panaik dengan harga yang tinggi adalah suatu kehormatan
tersendiri. Tingginya uang panaik akan berdampak pada kemeriahan, kemegahan dan banyaknya
tamu undangan dalam perkawinan tersebut.
3. Kondisi fisik calon istri
Semakin sempurna kondisi fisik perempuan yang akan dilamar maka semakin
tinggi pula jumlah nominal uang panaik yang dipatok. Kondisi fisik yang dimaksud seperti paras
yang cantik, tinggi dan kulit putih. Jadi, walaupun perempuan tersebut tidak memiliki status
sosial yang bagus atau tidak memiliki jenjang pendidikan yang tinggi maka kondisi fisiknya
yang yang dapat menyebabkan uang panaiknya tinggi. Begitupun sebaliknya, walaupun
perempuan tersebut tidak memiliki kondisi fisik yang sempurna atau bahkan memiliki fisik yang
jelek, akan tetapi dia memiliki status sosial yang bagus seperti keturunan bangsawan, jenjang
pendidikan yang tinggi atau memiliki jabatan dalam suatu instansi, maka itu akan menjadi tolak
ukur tingginya jumlah uang panaik yang akan dipatok pihak keluarga perempuan.
4. Perbedaan antara Janda dan Perawan
Terdapat perbedaan dalam penentuan uang panaik antara perempuan yang janda dan
perawan. Biasanya perawan lebih banyak diberikan uang panaik dari pada janda, namun tidak
menutup kemungkinan bisa juga janda yang lebih banyak diberikan jika status sosialnya memang
tergolong bagus.
Salah satu tujuan dari pemberian uang panaik adalah untuk memberikan prestise
(kehormatan) bagi pihak keluarga perempuan, jika jumlah uang panaik yang dipatok mampu
dipenuhi oleh calon mempelai pria. Kehormatan yang dimaksudakan disini adalah rasa
penghargaan yang diberikan oleh pihak calon mempelai pria kepada wanita yang ingin
dinikahinya dengan memberikan pesta yang megah untuk pernikahannya melalui uang panai
tersebut. Keadaan tersebut akan menjadi gengsi sosial tersendiri bagi pihak keluarga perempuan
yang berhasil mematok uang panaik dengan harga yang tinggi. Dampak lain akibat tingginya
uang panaik yang dipatok pihak keluarga perempuan mengakibatkan terjadinya apa yang disebut
silariang (kawin lari). Itu terjadi jika si pria dan si gadis telah menjalin ikatan yang serius akan
tetapi pria tersebut tidak dapat memenuhi jumlah uang panaik yang disyaratkan.40 Tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa tingginya uang panaik juga memunculkan semangat kerja bagi para
lelaki yang ingin menikahi gadis dari suku Bugis-Makassar. Bagi pria Bugis, memenuhi jumlah
uang panaik juga dapat dipandang sebagai praktik budaya siri‟ (malu), dimana sering terjadi saat
mempelai lelaki tak mampu memenuhi permintaan itu, sehingga lelaki tersebut umumnya
menebus rasa malu itu dengan pergi merantau dan kembali setelah punya uang yang disyaratkan.
Wanita yang benarbenar dicintainya akan menjadi motivasi yang sangat besar baginya untuk
memenuhi jumlah uang panaik yang disyaratkan.
Pada umumnya para pihak pemberi dalam hal ini pihak lakilaki merasa tidak terbebani
karena masih dapat menyanggupi kewajiban memberikan uang panaik sebagai syarat dalam
perkawinan. Mereka merasa tidak terbabani karena sebelum melamar wanita yang ingin
dijadikan calon istri, mereka telah mengetahui perihal uang panaik yang harus diberikan
sehingga dari awal mereka sudah mempersiapkannya. Di sisi lain, pihak perempuan mematok
harga uang panaik juga dengan mempertimbangkan kemampuan pihak laki-laki yang akan
melamar. Kenyataan yang terjadi dilapangan, ketika proses melamar berlangsung terjadi tawar
menawar antara kedua belah pihak yang berujung pada tercapainya kesepakatan bersama.
Dalam adat perkawinan Bugis Makassar terdapat beberapa tahapan untuk melangsungkan
perkawinan dan salah satunya adalah penyerahan uang panaik.

2.5 Proses Pemberian Uang Panaik


1. Pihak keluarga laki-laki mengirimkan utusan kepada pihak keluarga perempuan untuk
membicarakan perihal jumlah nominal uang panaik. Pada umumnya yang menjadi utusan adalah
tomatoa (orang yang dituakan) dalam garis keluarga dekat seperti ayah, kakek, paman, dan kakak
tertua.
2. Setelah utusan pihak keluarga laki-laki sampai di rumah tujuan. Selanjutnya pihak
keluarga perempuan mengutus orang yang dituakan dalam garis keluarganya untuk menemui
utusan dari pihak laki-laki. Setelah berkumpul maka pihak keluarga perempuan menyebutkan
harga uang panaik yang dipatok. Jika pihak keluarga calon suami menyanggupi maka selesailah
proses tersebut. Akan tetapi jika merasa terlalu mahal, maka terjadilah tawar menawar berapa
nominal yang disepakati antara kedua belah pihak.
3. Setelah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak, maka tahap selanjutnya adalah
membicarakan tanggal kedatangan pihak keluarga laki-laki untuk menyerahkan sejumlah uang
panaik yang telah disepakati.
4. Selanjutnya adalah pihak keluarga laki-laki datang ke rumah pihak keluarga perempuan
pada waktu yang telah disepakati sebelumnya dan menyerahkan uang panaik tersebut.
5. Setelah uang panaik diserahkan, tahap selanjutnya adalah pembahasan mahar apa yang
akan diberikan kepada calon istri nantinya. Adapun masalah mahar tidak serumit proses uang
panaik. Mahar pada umumnya disesuaikan pada kesanggupan calon suami yang akan langsung
disebutkan saat itu juga. Dalam perkawinan suku Bugis Makassar pada era sekarang ini umunya
mahar tidak berupa uang, akan tetapi berupa barang seperti tanah, rumah atau perhiasan.
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Appa bunting dalam bahasa Makassar berarti melaksanakan upacara perkawinan. Sementara itu,
istilah perkawinan dalam bahasa Bugis disebut siala yang berarti saling mengambil satu sama
lain. Dengan demikian, perkawinan adalah ikatan timbal balik antara dua insan yang berlainan
jenis kelamin untuk menjalin sebuah kemitraan. Secara sederhana, uang panaik/doi balanja
(Makassar) atau dui‟ menre‟ (Bugis) atau uang belanja, yakni sejumlah uang yang diberikan
oleh pihak mempelai laki-laki kepada pihak keluarga mempelai perempuan. Uang panaik
tersebut ditujukan untuk belanja kebutuhan pesta pernikahan. Uang panaik memiliki peran yang
sangat penting dan merupakan salah satu rukun dalam perkawinan adat suku Bugis Makassar.
Pemberian uang panaik adalah suatu kewajiban yang tidak bisa diabaikan. Tidak ada uang panaik
berarti tidak ada perkawinan. Adapun akibat hukum jika pihak laki-laki tidak mampu
menyanggupi jumlah uang panaik yang di targetkan, maka secara otomatis perkawinan akan
batal dan pada umumnya implikasi yang muncul adalah pihak keluarga laki-laki dan perempuan
akan mendapat cibiran atau hinaan di kalangan masyarakat setempat.

3.2 Saran
Penyusunan materi dalam makalah ini sudah cukup baik,namun masih banyak memiliki
kekurangan khususnya kelengkapan materi. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran
dari pembaca agar kelak penulis dapat membuat makalah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar : Suatu Tinjauan Historis Terhadap Pola
Tingkah Laku Dan Pandangan Hidup Manusia Bugis. Inti Idayu Press: Jakarta.
Asram Muzharath.K. 2002. Sejarah KerajaanMakassa,Bulan Bintang: Makassar
Kamri, Ahmad, (1997) BUDAYA S1R1' BUGIS-MAKASSAR Pembunuhan dan Pencemaran
Nama Balk Orang Lain. Masters thesis, PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS
DIPONEGORO

Anda mungkin juga menyukai