Anda di halaman 1dari 50

TRADISI GANDAI DALAM KONTEKS UPACARA

PERKAWINAN PADA MASYARAKAT PEKAL DI


KECAMATAN KETAHUN, KABUPATEN BENGKULU
UTARA

Dosen Pengampu :
Febrian Tarmizi, M.Pd.

Semester/Kelas : VI/A
Nama kelompok 3 :
1. Bella Anissah A1G016046
2. Isna Fiky Nalansari A1G016047
3. Velya Tri Okta A1G016049
4. Fitria Komalasari A1G016079
5. Dwiva Debby A A1G016084
6. Hasfarel Folanda A1G016085

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS BENGKULU
2019

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufik
dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan laporan penlitian yang berjudul
“Tradisi Gandai Dalam Konteks Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Pekal Di
Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu: Deskripsi Pertunjukan,
Perubahan, Dan Fungsinya”. Penyusunan laporan ini bertujuan memenuhi salah satu
tugas mata kuliah yaitu Potensi Alam.

Kami menyadari bahwa selesainya penulisan laporan ini tidak terlepas dari bantuan
dan bimbingan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan
segala kerendahan hati, kami menyadari bahwa hasil yang dicapai dari makalah ini,
masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan.

Pada kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih, kepada:

1. Bapak Drs. Herman Lusa, M.Pd selaku ketua prodi Pendidikan Guru Sekolah
Dasar yang telah memfasilitasi kegiatan observasi pada mata kuliah Potensi
Alam.
2. Bapak Pebrian Tarmizi, M.Pd selaku dosen pengampu mata kuliah Kearifan
Lokal Bengkulu yang telah membimbing, memotivasi, mengarahkan dengan
penuh kesabaran serta banyak memberikan saran dan dukungan.
3. Bapak Bahera selaku Ketua BPD yang telah memberikan banyak ilmu dan
bantuan sehingga observasi dapat diselesaikan oleh penulis.
4. Pak Juanda selaku ketua petani yang telah memberikan kami untuk melakukan
observasi.

Semoga laporan penelitian ini berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua
dan pihak-pihak lain yang membutuhkan terutama bagi penulis sendiri. Saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat kami harapkan. Akhir kata penulis ucapkan terimakasih
semoga Allah SWT memberikan perlindungan dan kebaikan bagi kita semua.

Bengkulu, Maret 2019

Kelompok 3

2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................................................4
C. Tujuan dan Manfaat.........................................................................................................4
D. Konsep dan Teori.............................................................................................................5
E. Metode Penelitian.............................................................................................................8
BAB II MASYARAKAT PEKAL DI KECAMATAN KETAHUN
A. Lokasi Lingkungan Alam Dan Demografi......................................................................11
B. Asal Usul Masyarakat Pekal...........................................................................................12
C. Mata Pencaharian............................................................................................................14
D. Sistem Agama Dan Kepercayaan....................................................................................14
E. Sistem Kekerabatan.........................................................................................................15
F. Bahasa.............................................................................................................................16
G. Kesenian..........................................................................................................................17
BAB III PERTUNJUKAN TRADISI GANDAI DALAM KONTEKS UPACARA
PERKAWINAN ADAT PADA MASYARAKAT PEKAL
A. Asal Usul Tradisi Gandai................................................................................................19
B. Perkawinan Pada Masyarakat Pekal................................................................................20
C. Jenis Pesta Perkawinan
21
D. Tahapan-tahapan Upacara Perkawinan Adat Masyarakat Pekal.....................................22
BAB IV DESKRIPSI PERTUNJUKAN TRADISI GANDAI
A. Pendukung Pertunjukkan................................................................................................34
B. Perlengkapan Pertunjukkan.............................................................................................35
C. Deskripsi Gerak Gandai..................................................................................................38
D. Analisis Musik Iringan....................................................................................................40
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan......................................................................................................................41
B. Saran................................................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................44
3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Siklus hidup manusia dimulai sejak menjadi janin dalam kandungan, lahir,
dewasa, perkawinan, memiliki anak, memasuki keorganisasian, kematian, pasca
kematian, dan seterusnya. Menurut William Haviland (2014: 200) pernikahan atau
perkawinan adalah kesatuan sosial atau ritual yang diakui atau juga kontrak sah
antara pria dan wanita yang saling menetapkan hak dan kewajiban, antara mereka
dan anak-anak mereka, dan antara mereka dan hukum.
Fungsi utama perkawinan adalah untuk melanjutkan keturunan. Sedangkan
gunanya adalah untuk memuaskan nafsu biologis manusia, menerima dan memberi
kasih sayang kepada pasangan hidup, membina keluarga, menyatukan dua keluarga
besar, dan sebagainya. Dimana terjadi suatu hubungan antara seorang pria dan
seorang wanita secara seksual yang nantinya perempuan yang bersangkutan
memenuhi syarat untuk melahirkan anak (Goodenough, 1970: 12-13).
Dalam menuju proses itu, harus terlebih dahulu mengikuti upacara
pengabsahannya yang sering disebut upacara perkawinan. Disini agama memegang
peran utama, karena dalam masyarakat tertentu perkawinan tidak boleh bertentangan
dengan ajaran agama dan norma-norma adat. Demikian juga yang terjadi pada
masyarakat Pekal di Kecamatan Ketahun.
Pekal adalah salah satu suku yang mendiami wilayah Provinsi Bengkulu,
terutama di Kabupaten Bengkulu Utara. Suku Pekal merupakan proses asimilasi
antara suku Rejang dan suku Minangkabau. Masyarakat Pekal dalam sistem
kekerabatannya sama seperti dengan masyarakat Minangkabau yang menerapkan
sistem kekerabatan matrilineal (garis keturunan dari pihak ibu).
Dalam melaksanakan tata cara adat perkawinannya, masyarakat Pekal harus
menjalankan secara adat dan agama. Tata cara menurut adat sudah dijalankan dari
mulai betanyu (melamar), berasan, akad nikah, pesta resepsi. Pada tahap akad nikah,
adat tetap berjalan bersamaan dengan agama. Disini Ketua Badan Musyawarah Adat
dan perwakilan dari Kantor Urusan Agama (KUA) duduk berdampingan selama
proses akad nikah berlangsung. Para majelis adat dan keluarga kedua belah pihaklah
sebagai saksi. Setelah itu pada malam harinya malam begandai dimana ditampilkan
4
pertunjukan Gandai. Dalam upacara pernikahan masyarakat Pekal, malam begandai
digunakan untuk berkumpul dengan semua keluarga, tetangga, teman-teman dari
kedua pengantin. Gandai sendiri berarti tari yang ditarikan bersama-sama. Tradisi ini
bisa dikatakan sebagai pelengkap upacara adat, yang dilakukan oleh golongan
masyarakat yang tingkat perekonomiannya relatif baik. Jika tradisi ini atau acara
malam begandai tidak diadakan, pesta resepsi keesokan harinya tetap berlangsung.
Gandai ini merupakan salah satu tarian yang terdapat di Kecamatan Ketahun,
Provinsi Bengkulu. Diperkirakan sudah cukup lama ada dan berkembang di dalam
masyarakatnya dengan pola-pola tradisi. Tetapi tidak bisa dipastikan siapa
penciptanya dan kapan diciptakan. Menurut Soedarsono (1986: 93) tari tradisional
ialah semua tarian yang telah mengalami perjalanan sejarah yang cukup lama, yang
selalu bertumpu pada pola-pola tradisi yang telah ada. Dengan mengacu pada
pendapat yang dikemukakan di atas, jelas Gandai dapat dikelompokan pada tari
tradisional.
Gandai ini ditarikan selalu pada malam hari pada upacara perkawinan
masyarakat Pekal. Gandai ditarikan oleh dua orang atau lebih penari dan harus dalam
jumlah yang genap, karena menarikannya berpasangan, semakin banyak penarinya
semakin terlihat ramai dan semarak. Jumlah genap ini melambangkan keseimbangan
yang kokoh, misalnya keseimbangan baik-buruk, kiri-kanan, pulang-pergi, dan
sebagainya (Murni dalam Arifni, 2006: 340). Pada umumnya penarinya adalah
perempuan, hanya pada ragam ambat dan ejang baseluk penari berpasangan (laki-laki
dan perempuan). Gerak yang sering disajikan dalam upacara perkawinan adat
masyarakat Pekal hanya ada berkisar enam sampai dua belas dari tiga puluh enam
ragam gerak saja, dari 26 ragam gerak yang ada. Karena 6 ragam gerak ini dianggap
sudah mewakili 20 ragm lainnya. Dalam penyajiannya, para penari menari di atas
pengujung. Tradisi Gandai ini, dipertunjukkan untuk menghibur pengantin lanang
(laki-laki) dan pengantin tinu (wanita) yang duduk bersanding di pelaminan, keluarga
besar kedua pengantin, dan masyarakat yang datang untuk menyaksikannya. Gerakan
Gandai diatur oleh gerakan kaki maupun gerakan tangan.
Peranan musik dalam Gandai ini sangat penting, karena bisa dirasakan kehadiran
Gandai tanpa musik terasa tidak menarik untuk ditonton. Musik iringan Gandai
sangat berkaitan dengan tarinya, musik menjadi pembentuk suasana dan jembatan
bagi perubahan gerak tari. Jadi, disini musik berperan sebagai terbentuknya

5
keindahan Gandai itu sendiri. Dalam mengiringi Gandai, musik iringan telah
memiliki struktur yang baku sesuai dengan ragam tarinya. Tarian ini menggunakan
dua alat musik, yakni edap (frame drum) sebagai pembawa tempo dan pembawa
ritem variabel dan sunai (end blown flute) sebagai pembawa melodi dan penentu
tempo. Musiknya disajikan dengan pantun yang dibawakan, bisa dibawakan oleh
penari, pemusik, bahkan masyarakat yang menyaksikannya.
Dahulunya Gandai adalah tarian masyarakat Pekal yang dipertunjukan saat
acara buka lahan atau pesta panen dan acara-acara adat lainnya. Masyarakat Pekal
mengapresiasikan suasana hati sekaligus ucapan terima kasih dengan cara menari.
Setiap malam Jumat para masyarakat desa baik yang tua maupun yang muda
berkumpul di balai desa. Namun dewasa ini penyajian Gandai lebih banyak
dipertunjukan pada upacara perkawinan, perpisahan sekolah, dan pengesahan
lembaga-lembaga saja dan sudah jarang dilihat pada kegiatan tanam dan panen, hal
ini dikarenakan sudah banyak masyarakat Pekal di Kecamatan Ketahun yang tidak
lagi bertani atau berladang walaupun masih ada sebagian. Mereka sekarang lebih
banyak bekerja di pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit dan karet.
Adapun yang mempunyai lahan sendiri kebanyakan mengupahkan lahannya pada
orang lain atau menggunakan mesin untuk membantu mereka. Sehingga timbul
pertanyaan bagaimana deskripsi pertunjukan tradisi Gandai, mengapa ragam gerak
gandai tersebut hanya tinggal dua puluh enam gerak saja lagi dan apa-apa saja
perubahan serta fungsi pada tradisi Gandai dalam konteks upacara perkawinan pada
masyarakat Pekal di Kecamatan Ketahun.
Untuk mengkaji deskripsi pertunjukan tradisi Gandai yang didalamnya
mencakup gerak tari digunakan pendekatan-pendekatan ilmu antropologi tari.
Dimana antropologi tari merupakan disiplin ilmu yang sebelumnya dikenal sebagai
etnologi tari (etnokoreologi). Penelitian terhadap tradisi ini memerlukan bantuan
disiplin lainnya, seperti: antropologi, sejarah, psikologi, sosiologi, dan lainnya seperti
yang diungkapkan Janet Adshead (1988: 6). Disiplin-disiplin ini membantu untuk
memahami tari dan fungsi-fungsinya dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.
Tradisi Gandai dalam konteks upacara perkawinan adat masyarakat Pekal di
Kecamatan Ketahun seperti terurai dalam latar belakang ini, dapat didekati dengan
pendekatan multidisiplin ilmu. Pertama untuk mengkaji deskripsi gerak tari

6
digunakan pendekatan etnokoreologi yang penerapannya dari sejumlah disiplin ilmu
seperti antropologi, musikologi, etnografi, dan lain-lain.
Kedua untuk mengkaji perubahan dan fungsinya digunakan pendekatan
sosiologi, fungsionalisme dalam ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora. Pada
pendekatan sosiologi, hampir semua kajian sosiologi berkaitan dengan perubahan
khususnya perubahan sosial yang menggambarkan realitas sosial. Dalam kajian
sosiologi, masyarakat tidak boleh dibayangkan sebagai keadaan yang tetap, tetapi
sebagai proses, bukan sebagai obyek semu yang kaku tetapi sebagai aliran peristiwa
yang terus menerus. Sehingga dapat dilihat perbedaan antara keadaan sistem tertentu
dalam jangka waktu berlainan. Lalu pada pendekatan fungsionalisme menafsirkan
masyarakat secara keseluruhan dalam hal fungsi dari elemen-elemennya
sepertinorma, adat, tradisi, dan institusi.
Berdasarkan fakta lapangan tersebut diatas, penulis memilih judul untuk
penelitian ini, sebagai berikut: “Tradisi Gandai dalam Konteks Upacara Perkawinan
Masyarakat Pekal di Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu:
Deskripsi Pertunjukan, Perubahan, dan Fungsi”.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana deskripsi pertunjukan tradisi Gandai dalam konteks upacara
perkawinan pada masyarakat Pekal di Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu
Utara, Bengkulu?
2. Bagaimana perubahan dan fungsi tradisi Gandai dalam konteks upacara
perkawinan pada masyarakat Pekal di Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu
Utara, Bengkulu?

C. TUJUAN DAN MANFAAT


1. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana deskripsi pertunjukan tradisi
Gandai dalam konteks upacara perkawinan pada masyarakat Pekal di
Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu.

7
b. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana perubahan dan fungsi tradisi
Gandai dalam konteks upacara perkawinan pada masyarakat Pekal di
Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu.
2. Manfaat
Adapun manfaat yang diambil dari penelitian yang diwujudkan dalam
laporan ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk memperdalam pengetahuan tentang tradisi Gandai dalam konteks
upacara perkawinan pada masyarakat Pekal dan menambah referensi dan
dokumentasi budaya (khususnya Gandai).
b. Sebagai bahan informasi bagi pembaca dan masyarakat mengenai kesenian
Gandai agar dapat mengetahui penyajian Gandai dan musik iringannya
dalam konteks upacara perkawinan pada masyarakat Pekal di Kecamatan
Ketahun.
c. Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneliti lain. Penelitian
ini juga diharapkan dapat bermanfaat sebagai materi dasar atau awal untuk
penelitian selanjutnya.

D. KONSEP DAN TEORI


1. Konsep
Tradisi adalah suatu kepercayaan atau perilaku yang diturunkan dalam suatu
kelompok atau masyarakat yang memiliki makna simbolik atau makna khusus
yang berasal dari masa lalu (Thomas A. Green, 1997: 800). Kata tradisi yang
dimaksud dalam tulisan ini, yaitu tradisi Gandai yang diturunkan oleh nenek
moyang masyarakat Pekal kepada generasi sekarang ini. Dimana proses
pembelajarannya secara oral (tanpa tulisan).
Gandai berarti tari, tari adalah segala gerak yang berirama atau sebagai
segala gerak yang dimaksudkan untuk menyatakan keindahan ataupun
keduaduanya (Tengku Luckman Sinar, 1996: 5). Dalam tulisan ini yang penulis
maksud dengan Gandai adalah salah satu tradisi masyarakat Pekal yang
digunakan pada upacara Perkawinan adatnya. Tradisi Gandai ini memakai 4
orang atau lebih penari dalam jumlah genap, yang gerakannya diambil dari
kehidupan sehari-hari masyarakat Pekal. Tradisi ini juga sudah satu kesatuan
dengan musik iringannya, dimana alat musiknya terdiri dari edap dan sunai.

8
Konteks adalah situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian.
Konteks yang dimaksud adalah pada upacara perkawinan dimana upacara
perkawinan itu sendiri adalah aktivitas yang dilakukan untik meresmikan ikatan
perkawinan dua orang yang berjanji secara norma agama, norma hukum, dan
norma sosial.
Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinu, dan yang terikat oleh suatu
rasa identitas bersama (Koentjaraningrat, 1986: 160). Masyarakat yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah masyarakat yang tinggal pada Kecamatan
Ketahun, Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi Bengkulu. Daerah ini sesuai
dengan daerah yang menjadi tempat penelitian penulis dimana daerah ini masih
terdapat pelaksanaan upacara perkawinan yang mempertunjukkan Gandai.
Deskripsi di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001: 258) artinya
mengambarkan apa adanya. Deskripsi atau deskriptif berasal dari bahasa Inggris
yaitu descriptif, yang artinya bersifat menyatakan sesuatu dengan memberikan
gambaran melalui kata-kata atau tulisan. Seeger (1958: 184) menyebutkan
bahwa deskriptif adalah penyampaian objek dengan menerangkan terhadap
pembaca secara tulisan maupun lisan dengan sedetil-detilnya. Deskripsi yang
penulis maksud adalah deskripsi pertunjukan tradisi Gandai pada masyarakat
Pekal di Kecamatan Ketahun, Kabupaten Bengkulu, Bengkulu.
Perubahan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000: 1234) adalah hal
(keadaan) berubah; peralihan; pertukaran. Menurut Yandianto dalam Bonggud
Sidabitar (2013: 9) perubahan dalam bahasa inggris disebut change, misalnya
perubahan sosial atau sosial change, artinya perubahan dalam kemasyarakatan
yang mempengaruhi sistem sosial suatu masyarakat yang berhubungan dengan
nilai-nilai, dan perilaku di antara kelompok manusia. Perubahan yang dimaksud
penulis adalah suatu perubahan/peralihan yang terjadi pada tradisi Gandai dalam
konteks upacara masyarakat Pekal dan fungsi tradisi Gandai bagi hidup
masyarakat Pekal. Dimana akan dilihat bagaimana kedudukannya dalam
masyarakat Pekal, peranannya dalam masyarakat Pekal, dan aturan-aturan yang
membatasi peranan tradisi Gandai ini dalam masyarakat Pekal, serta akan dilihat
adakah perubahan terhadap tradisi Gandai tersebut yang berpengaruh pada

9
fungsinya dalam masyarakat Pekal khususnya dalam konteks upacara
Perkawinan adatnya.

2. Teori
Dalam meneliti keenam ragam gerak Gandai tersebut, penulis akan
mendeskripsikannya. Dalam teori komposisi tari, hadirnya gerak dapat
ditimbulkan karena beberapa faktor rangsang yaitu rangsang visual, kinestetik,
rabaan, dan gagasan (Ben Suharto, 1985: 20-21). Menurut pendapat tersebut
diatas, gerak-gerak dalam Gandai timbul dari rangsang visual dan rangsang
kinestetik. Rangsang visual bisa dilihat dari nama-nama gerak, contoh
sementaro, yang mengacu pada bagaimana kehidupan seseorang yang hanya
bersifat sementara. Sedangkan rangsang kinestetik bisa dilihat dari rangsang
gerak.
Keenam ragam gerak Gandai tersebut penulis akan menggunakan teknik
kinisiologi. Kinesiologi tari yang dimaksud adalah ilmu yang mempelajari
tentang gerak-gerak tubuh manusia dalam tari yang ditata sesuai dengan musik
dan mengandung makna serta memiliki kekuatan otot, tulang, syaraf, dan sendi
yang dibutuhkan untuk melakukan gerakan tersebut. Setelah itu juga akan dilihat
bagaiman uraian mengenai ragam gerak, pola lantai, motif gerak, frase gerak,
busana tari yang digunakan masyarakat Pekal dalam konteks adatnya.
Untuk mendeskripsikan musik Gandai ini, khususnya struktur melodi sunai
yang berfungsi secara musikal sebagai pembawa melodi utama, penulis
menggunakan teori “bobot tangga nada” (weighted scale), yang ditawarkan oleh
Malm (1977). Ia menawarkan delapan parameter untuk mendeskripsikan melodi,
yaitu: (1) tangga nada, (2) wilayah nada, (3) nada dasar, (4) interval, (5)
distribusi nada, (6) formula melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kontur.
Dalam suatu kebudayaan tradisi lisan atau oral suatu perubahan dapat
terjadi, karena proses pengajarannya dilakukan secara lisan. Menurut Alan P
Merriam (1964: 303) mengemukakan bahwa perubahan dapat berasal dari dalam
lingkungan kebudayaan (internal), dan perubahan juga bisa berasal dari luar
kebudayaan (eksternal). Perubahan secara internal merupakan perubahan yang
timbul dari dalam dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri, dan
juga disebut inovasi. Sedangkan perubahan eksternal merupakan perubahan yang

10
timbul akibat pengaruh yang dilakukan oleh orang-orang dari luar lingkup
budaya tersebut atau akulturasi. Perubahan yang terjadi dalam tradisi Gandai
merupakan hasil kreatifitas masyarakat Pekal itu sendiri yang diakibatkan oleh
kebudayaan barat.
Fungsi menurut Alan P Merriam (1964) pada teori use and function
(penggunaan dan fungsi) yang berkaitan dengan tradisi Gandai adalah sebagai
berikut: (i) fungsi pengungkapan emosional, (ii) fungsi penikmatan estetika, (iii)
fungsi hiburan, (iv) fungsi komunikasi, (vii) fungsi validasi lembaga-lembaga
sosial dan ritual keagamaan, (viii) fungsi kontribusi demi kelangsungan dan
stabilitas budaya, dan (ix) fungsi pengintegrasian masyarakat. Sementara itu
pakar tari lndonesia yaitu Narawati dan R.M. Soedarsono dalam Reny Yulyati
(2013:22) membedakan fungsi tari menjadi dua, yaitu (1) kategori fungsi tari
yang besifat primer, yang dibedakan menjadi tiga, yaitu: (a) fungsi tari sebagai
sarana ritual, (b) fungsi tari sebagai ungkapan pribadi, dan (c) fungsi tari sebagai
presentasi estetik, dan (2) kategori fungsi tari yang bersifat sekunder, yaitu lebih
mengarah pada aspek komersial atau sebagai lapangan mata pencaharian.
Berdasarkan teori fungsi tari dari Narawati dan Soedarsono ini, maka fungsi
tradisi Gandai, mencakup baik itu fungsi primer dan juga fungsi sekunder. Di
dalam kegiatan tari ini terdapat fungsi ritual, ungkapan pribadi, estetik, dan mata
pencaharian.

E. METODE PENELITIAN
Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi
sasaran ilmu yang bersangkutan. Untuk meneliti Gandai pada upacara perkawinan
masyarakat Pekal di Kecamatan Ketahun, penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kirk Miller dalam Moleong
(1990:3) yang mengatakan: “Penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu
pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia
dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan
peristilahannya”.
Pendekatan emik dan etik juga menjadi penting karena penulis adalah “orang
dalam” (insider). Dalam penelitian lapangan, pendekatan emik merupakan
identifikasi fenomena budaya menurut pandangan pemilik budaya tersebut,

11
sedangkan etik adalah identifikasi menurut peneliti yang mengacu pada konsep-
konsep sebelumnya (Kaplan dan Manners 1999:256-8). Dalam penelitian ini penulis
akan menggunakan pendekatan emik dan etik untuk mendapatkan data yang objektif.
Menurut Curt Sachs dalam Nettl (1962:16) penelitian dalam etnomusikologi dapat
dibagi menjadi dua, yaitu: kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk
work). Kerja lapangan meliputi pengumpulan dan perekaman data dari aktivitas
musikal dalam sebuah kebudayaan manusia, sedangkan kerja laboratorium meliputi
pentranskripsian, menganalisis data dan membuat kesimpulan dari keseluruhan data.
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan metode yang diungkapkan oleh Curt
Sach, namun sebelum melakukan kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium
(deks work) penulis akan melakukan studi kepustakaan terlebih dahulu. Adapun
tujuan dari studi kepustakaan ini dalah untuk mengumpulkan data-data awal dalam
penelitian ini.
1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan perlu dilakukan untuk mengumpulkan data-data atau
sumber bacaan untuk mendukung penelitian. Sumber bacaan ini dapat berupa
buku-buku, skripsi etnomusikologi, jurnal, maupun bacaan yang diperlukan
untuk mendukung penelitian.
Dalam hal ini penulis telah membaca skripsi sarjana Etnomusikologi yaitu
Reny Yulyati Br Lumban Toruan, Desi Ari Natalia S, Seridah Ritha Gustina
Ginting, dan Flora Hutagalung, serta skripsi lainnya yang berhubungan dengan
tulisan penulis. Penulis juga membaca buku-buku antropologi dan
etnomusikologi yaitu Pengantar Ilmu Antropologi, The Anthropology Of Music,
Etnomusikologi, dan beberapa buku lainnya. Untuk melengkapi tulisan ini,
penulis melakukan studi kepustakaan juga terhadap topik-topik lain yang
berkaitan dengan penelitian skripsi ini antara lain pendidikan, sosiologi,
antropologi, sistem kekerabatan, dan topik tentang kebudayaan masyarakat
Pekal. Selajutnya hasil dari studi kepustakaan tersebut akan dijadikan sebagai
informasi tambahan dalam penulisan laporan ini.

2. Penelitian Lapangan
Penulis melakukan penelitian lapangan agar mengetahui keseluruhan
mengenai objek yang diteliti. Penulis juga dapat terlibat langsung dengan objek

12
yang sedang diteliti dan mendapat lebih banyak informasi. Oleh karena itu
penulis menggunakan dua teknik dalam pengumpulan data di lapangan yaitu:
a. Wawancara
Wawancara diperlukan untuk mendukung penelitian tentang tradisi
Gandai dalam konteks upacara perkawinan adat masyarakat Pekal. Dalam
mengambil sumber data dilapangan penulis melakukan wawancara dengan
budayawan, beberapa tokoh adat, penari dan pemusik maupun orang-orang
yang pernah terlibat dalam penyajian tradisi Gandai ini. Serta informan
lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini.
Teknik wawancara yang penulis lakukan adalah wawancara berfokus
(focus interview) yaitu melakukan pertanyaan selalu berpusat pada pokok
permasalahan. Selain wawancara berfokus peneliti juga melakukan
wawancara bebas (free interview) yaitu pertanyaan tidak selalu berpusat
pada pokok permasalahan tetapi pertanyaan dapat berkembang ke pokok
permasalahan lainnya dengan tujuan untuk memperoleh data yang beraneka
ragam namun tidak menyimpang dari pokok permasalahan
(Koentjaraningrat, 1985: 139). Hal ini penulis lakukan untuk mendukung
data yang telah diperoleh dari kerja lapangan maupun dari studi
kepustakaan. Penulis menjadikan bapak Zhamari A.S Jamal dan Bapak
Makmur sebagai informan kunci mereka adalah budayawan Pekal sekaligus
orang yang paham mengenai adat perkawinan Pekal. Untuk informan
pangkal penulis menunjuk Ibu Ratna dan Bapak Mahmudin. Selain itu
penulis juga mewawancarai beberapa orang penonton.
b. Perekaman
Perekaman dalam penelitian sangat penting untuk mengumpulkan data
di lapangan. Perekaman yang dilakukan secara audi-visual. Perekaman
secara audio menggunakan Handphone. Penulis akan merekam hasil
wawancara dengan narasumber yang dilakukan di lapangan.

13
BAB II
MASYARAKAT PEKAL DI KECAMATAN KETAHUN

A. LOKASI LINGKUNGAN ALAM DAN DEMOGRAFI


Ketahun adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bengkulu Utara, Provinsi
Bengkulu, Indonesia dengan luas 8216 hektar. Kecamatan Ketahun berjarak ± 95 km
dari kota Bengkulu yang merupakan ibukota provinsi dan dapat di tempuh dengan
menggunakan mobil, dengan lama perjalanan sekitar 2,5 jam (jika kondisi arus lalu
lintas dalam keadaan normal). Kecamatan Ketahun yang berada 0-1500 m di atas
permukaan laut ini terdiri atas 27 Desa yang terdiri dari 21 desa depinitif dan 6
lainnya merupakan desa persiapan.
Kecamatan Ketahun berbatasan dengan Kecamatan Napal Putih di sebelah utara,
Samudera Indonesia di sebelah selatan, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan
Putri Hijau, dan sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Batik Nau (Data
Statistik Kecamatan Ketahun tahun 2013).
Ketahun merupakan daerah yang subur dan sangat berpotensi dalam bidang
pertanian, kelautan, perkebunan sawit, dan pertambangan batu bara. Masyarakat
Ketahun ada yang bertani dan berladang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
tak sedikit pula sekarang yang telah memliki lahan pribadi untuk perkebunan kelapa
sawit dan karet. Banyak pengusaha-pengusaha yang menanamkan modalnya untuk
mendirikan perkebunan kelapa sawit atau perkebunan karet di Kecamatan Ketahun.
Perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan kelapa sawit yaitu
PT Julang Oca Permana milik Bakrie Group dan PTPN VII, sedangkan PT Pamor
Ganda milik bapak D L Sitorus bergerak dalam bidang perkebunan karet.
Untuk sektor pertambangannya, dapat dikelompokkan menjadi pertambangan
mineral dan pertambangan batu bara. Pertambangan mineralnya berupa
pertambangan batuan. Pada sektor pertambangaan batu baranya ditujukan untuk
pasar ekspor. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batu
bara seperti PT Injatama, PT Rekasindo Guriang Tandang, dan PT Adi Bara Pratama.
Banyak masyarakat Pekal yang bekerja di perusahaanperusahaan tersebut sehingga
tingkat kesejahteraan masyarakatnya cukup baik, tampak dari sedikitnya tindakan
kriminal seperti curanmor (pencurian kendaraan bermotor) dan pencurian lainnya.

14
Mereka pun juga ada yang melaut untuk mencari ikan. Hasil tangkapan mereka bisa
untuk di konsumsi secara pribadi atau di jual.

B. ASAL USUL MASYARAKAT PEKAL


Secara etimologi, Pekal berasal dari kata mengkal yang berarti belum matang
namun sudah tidak lagi mentah. Menurut legenda, nama ini diperoleh karena suku
Pekal merupakan bentuk mengkal dari suku Minangkabau dan suku Rejang yang
wilayahnya merupakan pemberian dari suku Minangkabau dan suku Rejang. Dengan
begitu, suku Pekal berkaitan dengan mitologi suku Rejang dan hikayat raja
Inderapura dari Minangkabau. Menurut bapak Makmur yang diamini oleh bapak
Zhamari A.S Jamal dahulunya dikisahkan putri Rindu Bulan yang merupakan satu-
satunya anak perempuan dari raja Rejang Lebong yang bernama menaruh hati
dengan pemuda biasa di kerajaannya, sehingga raja Rejang Lebong marah dan
memerintahkan keenam putranya untuk membunuh putrinya tersebut. Namun
keenam putranya tidak tega membunuh adiknya, sehingga mereka membawa putri
rindu Bulan ke tepi sungai besar dan membuatkannya sebuah rakit dari bambu
dengan dibekali beras dan ayam. Sungai ini berasal dari dua bukit yaitu bukit Tapus
yang sungainya bermuara di muara Ketahun dan yang satunya lagi bermuara ke
Jambi.
Maka pergilah putri Rindu Bulan dengan rakitnya menelusuri sungai. Hari demi
hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan hingga setahun putri Rindu Bulan
menyelusuri sungai hingga rakitnya rusak di muara. Setelah sampai di muara, ayam
yang ia bawa berubah menjadi elang sedangkan beras yang ia bawa tertumpah dan
berubah menjadi senggugu. Inilah yang menjadi asal asul penamaan sungai Ketahun
yang dilewati putri Rindu Bulan selama setahun Setelah rakitnya diperbaiki, ia
melanjutkan perjalanannya sehingga sampai di pulau Pagai (Sumatera Barat).
Kemudian ia diselamatkan dan dirawat oleh orang yang tinggal disana. Karena
kecantikannya, ia mampu memikat hati anak raja dari kerajaan Pagai, lalu ia
dipinang oleh anak raja tersebut dan menikahlah mereka. Putri Rindu Bulan
kemudian mengatakan pada suaminya bahwa daerah asalnya dari daerah Rejang
Lebong. Ia dan suaminya memutuskan untuk kembali ke Rejang Lebong.
Menurut sumber lainnya yang jalan ceritanya sedikit berbeda, putri yang
dimaksud bernama Putri Lindung Bulan yang merupakan putri bungsu dari Rajo

15
Tiang Pat “Sultan Sarduni”, setelah ia menginjak remaja banyak sekali putra-putra
Raja, putra-putra Sultan, dan putra-putra sunan dari Aceh, Sulawesi, dan daerah-
daerah lain yang menyukainya dan ingin meminangnya. Tapi anehnya, setiap ada
yang datang hendak melamar selalu saja secara tiba-tiba tubuh Putri Lindung Bulan
mendapat penyakit kulit yang menulir, dan hal inilah yang membuat pinangan itu
batal. Namun setelah yang meminang itu kembali kedaerah/kerajaannya, secara tiba-
tiba pula penyakit Putri Lindung Bulan sembuh.
Melihat kejadian yang terus terjadi atas Putri Lindung Bulan, yang menjadi aib
bagi kerajaan khususnya bagi saudara-saudara Putri Lindung Bulan, maka datanglah
niat busuk dari saudaranya ki Geto untuk membunuh Putri Lindung Bulan.
Bermufakatlah saudara-saudaranya yaitu Ki Geto, Ki Tago, Ki Ain, Ki Genain, dan
Ki Nio untuk menyingkirkan dan membunuh Putri Lindung Bulan.
Mereka memberikan alasan kepada Sultan Sarduni untuk mengobati Putri
Lindung Bulan ke hutan hingga sembuh. Maksud kelima bersaudara itu tidak
disetujui oleh Karang Nio (saudara Putri Lindung Bulan lainnya). Ia kalah suara dan
mendapat ancaman dari kelima saudara lainnya bahwa harus ia yang membunuh
adiknya tersebut. Akhirnya pada suatu hari setelah mendapatkan izin dari ayahnya,
berangkatlah Karang Nio denga Putri Lindung Bulan menuju hutan. Sesampai
mereka di sana, Karang Nio membawa Putri Lindung Bulan ke pinggir sungai (yang
sekarang dikenal dengan sungai Ketahun) dan ia menceritakan niat buruk saudara-
saudaranya yang lain. Ia pun berniat menyelamatkan Putri, ia menyuruh putri untuk
berakit mengikuti arus sungai itu. Namun sebelum Putri berangkat, Karang Nio
berencana untuk mengelabui ke-5 saudara lainnya dengan cara menyayat sedikit kulit
telinga Putri dengan mata pedangnya sebagai barang bukti bahwa ia telah
membunuhPutri Lindung Bulan.
Sebelumnya ia membekali Putri dengan secupak (ukurann 1½ kg) beras dawai,
sebuah kelapa, dan seekor ayam biring serta sepotong bambu sebagai satang
(pendayung rakit). Setelah tugas dilaksanakan, Karang Nio kembali ke Bandar
Agung untuk melaporkan kepada saudara-saudaranya bahwa Putri Lindung Bulan
telah dibunuh dengan menunjukan barang bukti berupa pedang yang berlumur darah.
Kepada ayahnya ia mengatakan bahwa Putri sedang berobat di tengah hutan. Setelah
beberapa lama Putri Lindung Bulan berakit, sampailah ia di muara sungai. Karena
muara sungai itu airnya tenang dan luas, ia membuang satang yang ia gunakan untuk

16
mendayung rakitnya. Ia juga membuang buah kelapa dan ayam biring yang diberikan
kakknya ke darat, lalu secupak beras dawai ia hamburkan ke air muara sungai itu. Ia
dan rakitnya hanyut hingga ke lautan sampai ia terdampar di pagi hari di sebuah
pulau yang ia beri nama pulau Pagai (berasal dari bahasa Rejang yang berarti pagi).
Satang bambu yang ia buang tadi berubah menjadi aur kuning, buah kelapa berubah
menjadi nibung kuning, ayam biring berubah menjadi burung elang berantai, dan
beras dawai berubah menjadi segugu. Benda-benda tersebut masih bisa dilihat
sekarang di muara sungai Ketahun.

C. MATA PENCAHARIAN
Kecamatan Ketahun merupakan daerah yang subur dan berpotensi tinggi dalam
bidang pertanian, kelautan dan perkebunan. Beberapa dari masyarakat Pekal juga
telah bekerja sebagai pegawai pada sektor swasta maupun sektor pemerintahan, dan
pedagang. Pada sektor perkebunan, masyarakat Pekal mayoritas berkebun karet dan
kelapa sawit.
Banyak juga masyarakat Pekal yang memanfaatkan hasil laut dengan menjadi
nelayan. Hal ini dikarenakan wilayah Ketahun berada di pesisir pantai. Adanya
sektor tambahan lainnya yaitu sektor pertambangan batu bara. Pertambangan batu
bara yang digerakan pihak asing membuat semakin bertambahnya lapangan
pekerjaan bagi masyarakat Pekal di Kecamatan Ketahun.

D. SISTEM AGAMA DAN KEPERCAYAAN


Mayoritas masyarakat Bengkulu beragama Islam, termasuk suku Pekal yang ada
di Kecamatan Ketahun. Walau sedikit terlambat perkembangannya dari daerah lain
yang sudah tersentuh pada abad ke-7. Hal ini dikarenakan letak geografis Bengkulu
yang berada di tepi Samudera Hindia bukan berada di antara selat atau pulau,
sehingga pelayaran mengalami kesulitan untuk berlayar menuju Bengkulu. Islam
sendiri masuk saat Bengkulu masih terbentuk dalam sistem pemerintahan berupa
kerajaan-kerajaan kecil yang berada di kawasan dataran tinggi ataupun berada di
wilayah pesisir Bengkulu.
Islam masuk ke Bengkulu melalui Minangkabau (1500) atau Palembang.
Masuknya Islam diperkirakan melalui lima pintu. Pertama melalui penyebaran Islam
oleh Tengku Malim Mukidim dari Aceh pada tahun 1471yang datang ke kerajaan

17
tertua di Bengkulu yaitu kerajaan Sungai Serut dengan raja pertamanya Ratu Agung
(1550-1570) yang berasal dari Gunung Bungkuk. Beliau berhasil mengislamkan Ratu
Agung. Kedua melalui perkawinan Perkawinan antara sultan Muzafar Syah dengan
putri Serindang Bulan (inilah awal Islam masuk ke tanah Rejang pada pertengahan
abad ke-17). Ketiga melalui datangnya Bagindo Maharajo Sakti dari Pagaruyung ke
kerajaan Sungai Lemau pada abad ke-17. Lalu melalui dakwah yang dilakukan dai-
dai dari Banten (bentuk kerjasama kerajaan Banten dengan kerajaan Selebar). Dan
yang terakhir melalui kerajaan Mukomuko.
Pada suku Pekal unsur Islami terlihat dari beberapa acara adat dan seni budaya
mereka. Walaupun mereka telah memeluk Islam, tetapi beberapa kepercayaan
terhadap hal-hal animisme dan dinamisme masih terlihat dalam kehidupan
masyarakat suku Pekal. Mereka mempercayai hal-hal gaib dan tempattempat keramat
yang konon dapat mempengaruhi kehidupan dan kesehatan mereka.
Masyarakat Pekal masih memberikan punjung (sesajian) kepada muara (setiap
tahun) dan jika tidak memberikan punjung ke muara, ada kepercayaan bahwa laut
akan marah dan memakan korban yang selalu merupakan pendatang (bukan
masyarakat Pekal). Agama Islam tidak dapat dipisahkan dari identitas masyarakat
Pekal. Masyarakat Pekal mempunyai pepatah yang sama dengan pepatah masyarakat
Minangkabau yaitu, adat besandi syara’, syara’ besandi Kitabullah (adat Pekal
bersendi hukum Islam dan hukum Islam bersendi Al Qur’an). Sehingga dapat dilihat
kesatuan antara adat masyarakat Pekal dengan agama Islam yang saling membina
masyarakatnya.

E. SISTEM KEKERABATAN
Masyarakat Pekal menggunakan sistem matrilinel, dimana silsilah keturunan
yang diperhitungkan melalui garis ibu. Hal ini dikarenakan pengaruh budaya
Minangkabau lebih kuat daripada budaya Rejangnya yang menganut Patrilineal.
Dalam sistem kekerabatan matrilineal terdapat tiga unsur yang paling dominan,
yaitu: Pertama, garis keturunan menurut garis ibu. Kedua, perkawinan harus dengan
kelompok keluarga lain, di luar kelompok keluarga sendiri, yang sekarang dikenal
dengan eksogami matrilineal. Ketiga, ibu memegang peran sentral dalam
pendidikan, pengamanan kekayaan, dan kesejahteraan keluarga.

18
Dalam perkawinan masyarakat Pekal menganut sistem eksogami, dimana yang
artinya adalah sistem perkawinan di luar batas suatu lingkungan tertentu, atau dengan
kata lainnya perkawinan di luar kelompoknya. Serta matrilokal dimana suami
tinggal di sekitar rumah kerabat isterinya, atau di dalam lingkungan kekerabatan
isterinya. Semua harta dan tanah yang dimiliki diwariskan kepada anak perempuan.
Dalam keluarga Pekal, ayah tidak termasuk dalam anggota keluarga istri dan
anaknya, akan tetapi ia tetap menjadi anggota kaum warganya masingmasing, yaitu
ibunya. Ayah dipandang sebagai pemberi keturunan. Di dalam masyarakat Pekal ada
sebutan atau nama panggilan yang digunakan keluarga. Seperti seorang anak
memanggil ibunya dengan panggilan amak, dan panggilan abak untuk ayah.
Dalam masyarakat Pekal, terdapat sebutan atau nama panggilan yang digunakan
keluarga. Panggilan ini juga berlaku untuk semua masyarakat Pekal dimana saja
seperti seorang adik memanggil uwo kepada kakak perempuannya, kelawai untuk
panggilan adik perempuan. Panggilan untuk kakak laki-laki adalah dang, adek
dipanggil asek. Bagi laki-laki dalam satu kelompok keluarga menyebut kakak atau
adik perempuan mereka dengan istilah kelawai. Sedangkan bagi perempuannya
menyebut istilah manai kepada kakak maupun adik laki-lakinya. Paman atau
saudara laki-laki ibu dipanggil mamok, sedangkan bibi dipanggil pindoung, lalu
memanggil sebai kepada nenek, dan memanggil ninik kepada kakek.

F. BAHASA
Bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang dipergunakan oleh para
anggota suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi
diri: percakapan (perkataan) yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun
(Kamisa, 1997: 49). Bahasa Pekal merupakan bahasa ibu dari masyarakat Pekal yang
menetap disana. Hampir seluruh masyarakat Pekal menggunakan bahasa Pekal
sebagai media komunikasi dalam percakapan formal maupun percakapan dalam
kehidupan sehari-hari. Bahasa Pekal termasuk dalam rumpun bahasa Melayu cabang
dari rumpun bahasa Austronesia.
Kecamatan Ketahun merupakan salah satu daerah yang penduduknya adalah
mayoritas suku Pekal. Masyarakat Pekal ini sangat menjaga kelestarian budaya
mereka, termasuk bahasa yang mereka pakai. Mereka terbiasa memakai bahasa Pekal
dalam kehidupan sehari-hari ketika berkomunikasi dengan sesama mereka. Bahkan

19
sebagian penduduk yang tidak bersuku Pekal pun mengerti dan fasih menggunakan
bahasa ini, karena bahasa Pekal lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan
bahasa nasional (bahasa indonesia). Hal ini mengharuskan mereka untuk beradaptasi
dengan penduduk asli yang dalam kesehariannya menggunakan bahasa Pekal.
Masyarakat suku Pekal biasanya menyebut diri mereka sendiri sebagai Uhang Aok
atau orang Pekal sedangkan bahasa mereka sering disebut mekal.
Bahasa Pekal sendiri sama di seluruh Kecamatan Ketahun, namun beda
dialeknya. Sepanjang sungai Serut (Ketahun) bahasa Pekal banyak dipengaruhi
dialek Rejang. Seperti contoh untuk mengatakan “tidak” masyarakat daerah ini
menggunakan kata codo mirip dengan bahasa Rejang coa. Daerah Sebelat sudah
dipengaruhi dialek Minangkabau. Sebagai contoh untuk mengatakan tidak
menggunakan kata dodo mirip dengan bahasa Minangkabau indak ado. Meski
terdapat adanya perbedaan dialek dan kosakata dalam bahasa Pekal, namun
perbedaan tersebut tidak menjadi persoalan yang berarti dalam proses komunikasi
antar penutur bahasa Pekal. Perbedaan dialek dan kosakata tersebut menjadi
cerminan kayanya kandungan bahasa Pekal.

G. KESENIAN
Kesenian adalah ekspresi manusia terhadap keindahan, dalam kebudayaan suku-
suku bangsa yang pada mulanya bersifat deskriptif (Koentjaraningrat, 1982: 395-
397). Kesenian orang Pekal di Kecamatan Ketahun memiliki berbagai genre
kesenian, yang difungsikan di dalam kehidupan mereka seperti: gamat, dendang,
berzanji, mamecok, gandai, tari saputangan, tari kain panjang, tari piring, dan lain-
lain.Kesenian-kesenian ini hidup dan berkembang terus sampai sekarang.
Begamat merupakan salah satu kesenian menari sambil berbalas pantun pada
masyarakat Pekal yang biasanya digunakan dalam acara akikah dan sunatan. Kata
begamat merujuk pada alat musiknya yang bernama gamat. Alat musik ini tergolong
klasifikasi kordofon sejenis kecapi dan dimainkan hanya oleh perempuan saja
dengan cara di petik dengan ukuran kurang lebih 55 x 15 cm (p x l).
Dendang merupakan seni berbalas pantun dengan menggunakan biola. Pantun
yang dibawakan terdiri dari dua baris, empat baris, dan enam baris. Penggalan
pertama adalah sampiran dan penggalan kedua adalah isi pantun. Antara sampiran
dan isi pantun terjadi kesatuan, baik dari segi isi, tema, dan rima (persajakan). Pantun

20
empat baris merupakan pantun yang paling umum dibawakan, dengan rima rata (aa-
aa) maupun binari (a-b-a-b). Pantun dapat disajikan dengan gaya bahasa sehari-hari.
Barsanji adalah seni berunsur Islam yang umum digunakan di dalam upacara-
upacara yang berkaitan dengan agama Islam, seperti perkawinan, khitanan,
mengantar calon dan menyambut haji, festival budaya Islam, dan lain lain. Kesenian
ini bersumber dari Kitab Al-Barzanji yang di dalamnya adalah kisah tentang
kehidupan Nabi Muhammad. Kitab ini dikarang oleh ulama Islam ternama yaitu
Syekh Ahmad Barzanji.
Mamecok merupakan kesenian pencak silat yang ada pada masyarakat Pekal di
Kecamatan Ketahun. Mamecok ini hanya dilakukan oleh pria yang berjumlah 4
orang atau lebih dalam jumlah genap. Biasanya mereka mengenakan peci serta
sarung yang diikat di pinggang.
Tari sapu tangan dan tari kain panjang adalah tarian masyarakat Pekal yang
hanya ditarikan oleh laki-laki saja. Namun sudah sukar ditemukan masyarakat
Ketahun yang cakap menarikannya.

21
BAB III
PERTUNJUKAN TRADISI GANDAI DALAM KONTEKS UPACARA
PERKAWINAN ADAT PADA MASYARAKAT PEKAL

H. Asal Usul Tradisi Gandai


Tradisi Gandai merupakan tradisi masyarakat Pekal yang sudah menjadi
adat istiadat mereka. Tradisi Gandai yang menjadi topik penulisan ini
mengalami perubahan. Diduga hal ini berdampak dari berkembangnya teknologi
pada masyarakat Pekal dan transmigrasi penduduk pulau Jawa ke Kecamatan
Ketahun.
Dahulunya masyarakat Pekal berkumpul di balai desa setiap malam Jumat,
biasanya dimulai dari pukul 7 malam hingga pukul 6 pagi. Mereka berkumpul
untuk menyabut pembukaan lahan baru atau merayakan hasil panen mereka yang
hampir seminggu mereka kerjakan di sawah atau ladang mereka tanpa ada waktu
untuk bersantai. Dengan berkumpul mereka dapat berbagi suka cita dan
menghilangkan rasa lelah. Mereka yang berkumpul tidak hanya sekedar saling
bercerita namun mereka menari dan berbalas pantun. Tidak hanya para pemuda-
pemudi yang hadir, para orang tua pun turut serta. Semua yang hadir
harus mengenakan sarung.
Tradisi ini sekarang sudah tidak lagi dipertunjukan pada malam Jumat di
10
balai desa. Menurut bapak Zhamari A.S Jamal, ada beberapa faktor yang
mempengaruinya. Pertama, masyarakat Pekal semakin berkurang yang
bekerja
sebagai petani. Mereka meninggalkan bahkan menjual lahan-lahan milik
mereka, karena lebih tertarik bekerja di perusahaan-perusahaan yang dahulunya
banyak membuka lapangan pekerjaan. Kedua, berkembangnya hiburan seperti
organ tunggal dan lingkuk pada masyarakat Pekal. Organ tunggal ini dibawa
11
oleh masyarakat Jawa yang bertransmigrasi ke Kecamatan Ketahun. Organ
tungal yang berkembang tersebut menyajikan lagu-lagu dangdut yang
iramanya lebih cepat dan membuat masyarakat Pekal lebih tertarik untuk
menyaksikannya. Sedangan lingkuk sendiri merupakan kesenian berjoget
antara perempuan dan laki-laki yang dibawa dari daerah Palembang. Kesenian
22
ini kurang diterima oleh para orang-orang tua Pekal karena dari menarikannya
berpasangan dengan antara perempuan dan laki-laki yang bukan muhrim.
Sehingga sekarang sukar dijumpai di Kecamatan Ketahun.

Hal yang yang serupa juga disampaikan oleh Ibu Syuraiani selaku
penggiat tari. Beliau juga menambahkan bahwa pendidikan juga menjadi
salah satu faktor yang membuat kegiatan pertunjukan tradisi Gandai ini
berkurang. Banyak anak-anak dan remaja bersekolah sehingga untuk keluar dan
berkumpul di malam hari sangat terbatas dikarenakan belajar. Menurut beliau
di tahun 1980- 1990-an masih banyak sanggar-sanggar yang terus
mempraktikkaan tradisi ini. Namun karena sanggar-sanggar tersebut terkendala
dana dan semakin sedikitnya generasi muda yang tertarik masuk sanggar, maka
sanggar-sanggar tersebut tutup dengan sendirinya. Sekarang hanya Karang
Taruna Desa yang mempraktikkan tradisi ini.
Program transmigrasi penduduk Jawa yang ada di Pulau Jawa ke
Bengkulu dilakukan antara tahun 1980-1985. Pertama kali penduduk Jawa
tersebut diletakkan di daerah Mangkurajo, yaitu suatu daerah pegunungan di
Lebong yang dekat dengan daerah tambang emas. Mereka yang
bertransmigrasi diberi lahan untuk diolah. Namun saat itu program transmigrasi
tidak berjalan mulus, sebagian dari mereka berpindah ke daerah lainnya,
salah satunya Kecamatan Ketahun. (sumber: Kantor Kecamatan Ketahun)
I. Perkawinan Pada Masyarakat Pekal
Melaksanakan perkawinan merupakan suatu keharusan bagi semua orang,
baik pria maupun wanita untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Maka
dari itu perkawinan diarahkan, diawasi, dan dilaksanakan sesuai dengan aturan-
aturan adat untuk tercapainya sebuah kebahagiaan.
Perkawinan adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan yang diakui
sah oleh masyarakat. Setiap masyarakat mempunyai tata cara tersendiri,
maka suatu perkawinan dianggap sah berbeda antara satu masyarakat
dengan masyarakat lain. Begitu pula dalam masyarakat Pekal bahwa masa
perkawinan merupakan salah satu masa peralihan yang sangat penting. Pada
masa inilah seseorang melepaskan diri dari keluarganya, lalu membentuk
keluarga sendiri atau bisa diktakan sebgai titik awal proses pemekaran kelompok
keluarga. Disini perkawinan memiliki fungsi sebagai sarana legalisasi hubungan
23
seksual antara seorang pria dengan seorang wanita dimana dipandang dari sudut
adat dan agama serta undang-undang negara. Juga terdapat penentuan hak dan
kewajiban serta perlindungan atas suami istri dan anak-anak, memenuhi
kebutuhan manusia akan teman hidup dan status sosial dan terutama untuk
memperoleh ketentraman batin, serta memelihara kelangsungan hidup
kekerabatan dan menghindari kepunahan (Amir M. S, 1997:23).
Perkawinan pada masyarakat Pekal bersifat eksogami yang berarti
perkawinan harus diluar klan kelompoknya, walaupun tidak memiliki sistem
pemargaan seperti yang ada di masyarakat Minangkabau. Perkawinan pada
masyarakat Pekal ini bersifat religius, karena jalinan tersebut tidak hanya
mengikat hubungan kedua belah pihak yang berkawin saja, tetapi juga
mengikat seluruh kerabat/keluarga dari kedua belah pihak. Dalam
budaya Pekal, perkawinan merupakan persoalan bagi kaum kerabat,
mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan
perkawinan, bahkan sampai kepada segala urusan terjadinya perkawinan
tersebut memerlukan penyesuaian dalam banyak hal.
Dari segi latar belakang kedua keluarga bisa sangat berbeda, baik
kebiasaan hidup, pendidikan, asal-usul, tingkat sosial, bahasa, tata krama, dan
lain sebagainya. Dengan demikian diperlukannya kesediaan dan kemampuan
untuk menyesuaikan diri dari masing-masing pihak. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengenal watak masing-masing pribadi dan keluarganya penting
sekali demi memperoleh keserasian ataupun keharmonisan dalam hubungan
antar keluarga kedepannya. Tidak terlepas pada tanggung jawabnya seperti
nafkah lahir batin, jaminan hidup, dan pendidikan anak-anak yang akan
dilahirkan nantinya.
J. Jenis Pesta Perkawinan
Pesta perkawinan pada masyarakat Pekal dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu bimbang gedang (pesta besar), bimbang senet (pesta kecil). Berikut ini
dapat dilihat penjelasan lengkapnya.
1. Bimbang Gedang (Pesta Besar) menurut Bapak Makmur ditandai dengan
hewan yang dipotong sebagai konsumsi. Untuk bimbang gedang
memotong kerbau sebagai konsumsi. Lalu bimbang gedang juga ditandai
dengan memilih lebih dari satu acara setelah akad nikah. Orang yang

24
melakukan bimbang gedang merupakan orang yang taraf ekonominya
tergolong mampu. Beliau juga mengatakan bahwa tidak ada
kriteria tertentu untuk melaksanakan bimbang gedang kecuali dari
segi kemampuan ekonominya. Pesta tetap diadakan di rumah pengantin
tinu dengan pengujung yang besar dari bimbang senet yang dapat
menampung banyak undangan.
2. Bimbang Senet (Pesta Kecil) ditandai dengan memotong hewan kambing
sebagai konsumsi. Mereka yang mengadakan bimbang ini biasanya yang
memiliki taraf kemampuan ekonomi yang seadanya. Untuk upacara
perkawinan adat yang penulis teliti melaksanakan bimbang senet ini.
K. Tahapan-tahapan Upacara Perkawinan Adat Masyarakat Pekal
Tata cara upacara perkawinan adat masyarakat Pekal ada dua, yaitu adat
dan agama. Pada tata cara menurut adat, dilakukan proses betanyu yang dilakukan
oleh pihak laki-laki. Persiapan upacara Perkawinan adat dilakukan jauh-jauh hari
sebelumnya agar semua berjalan dengan baik.
Ada pun tahapan-tahapan dalam upacara Perkawinan adatnya, yaitu:
1. Betanyu
Betanyu merupakan tahap paling awal dalam proses perkawinan
masyarakat Pekal. Pada tahap ini pihak keluarga calon pengantin lanang
(orang tua calon pengantin lanang dan sanak saudara lainnya) datang ke rumah
calon pengantin tinu bersama dengan Ketua Badan Musyawarah Adat. Mereka
akan mengutarakan maksud kedatangan untuk melamar atau menanyakan
kesediaan calon pengantin tinu untuk dijadikan menantu bagi keluarga calon
pengantin lanang. Setelah lamaran diterima, langsung ditentukan uang hantaran
dan mahar. Uang hantaran berkisar 5 juta hingga lebih, tergantung kesepakatan
kedua belah pihak. Begitu pula dengan maharnya, bisa berupa cincin emas atau
seperangkat alat shalat bahkan keduanya. Di sini juga ditentukan waktu yang
tepat untuk mengadakan bimbang, termasuk mengenai berasan. Biasanya
jarak antara lamaran dengan bimbang sekitar satu bulan.
2. Madak
Madak dilakukan dua atau tiga hari sebelumnya bimbang. Disini pihak
dari calon pengantin tinu (orang tua atau mamok) datang kesetiap rumah
tetangganya yang ada di sekitar tempat acara untuk memberitahukan

25
tentang adanya bimbang dan memberitahukan hal berkenaan dengan waktu dan
tempat pelaksanaannya serta mengundang secara langsung kepala keluarga
(laki-laki) dari setuiap rumah yang didatangi tersebut agar hadir pada malam
berasan dan membantu untuk negak pengujung. Keluarga yang di padak akan
merasa senang karena diundang secara langsung tanpa menggunakan undangan
tertulis.
3. Berasan
Berasan dilakukan pada malam sebelum akad nikah. Biasanya dimulai
pada pukul 8 malam sampai dengan selesai. Pada tahap berasan ini orang-orang
yang datang ialah calon pengantin lanang beserta keluarga, majelis (orang-orang
yang sebelumnya sudah di padak), dan Ketua Badan Musyawarah Adat. Setelah
13
semuanya berkumpul dan lengguai nikah (lihat pada gambar 3.1) sudah
diletakkan di depan Ketua Badan Musyawarah Adat, maka acara sudah bisa
dimulai. Seorang perwakilan dari calon pengantin tinu langsung menyampaikan
maksud dan tujuan mereka mengadakan berasan di hadapan majelis, Ketua Badan
Musyawarah Adat, dan calon pengantin lanang beserta keluarga. Lalu ia minta
izin serta menyampaikan kegiatan-kegiatan apa saja yang akan dilakukan besok
hari kepada Ketua Badan Musyawarah Adat. Kegiatan-kegiatan yang akan
dilakukan besok harus terperinci beserta dengan pembagian siapa-siapa saja yang
bertugas hingga bimbang selesai. Seperti pemilihan tuo kerjo (pemimpin masak)
beserta anggotanya, penyambut tamu, orang yang mendokorasi pengujung, dan
sebagainya. Apabila ada kegiatan yang ditambah tanpa dirundingkan pada
malam berasan, maka pemilik acara akan dikenakan denda adat. Dan apabila
ingin menambah lagi kegiatan tanpa denda adat, harus diadakan berasan kembali.
Oleh karena itu, sebelum semua kegiatan dipaparkan, jauh-jauh hari kedua belah
pihak. Lengguai nikah merupakan wadah yang berisi sirih, pinang, kapur ,
gambir, tembakau, dan rokok dari daun nipah. Lengguai nikah ini merupakan
salah satu benda yang wajib ada pada malam berasan. Apabila benda ini belum
dikeluarkan, berarti pihak calon pengantin tinu belum dipersilahkan
menyampaikan maksud keluarga saling berembuk terlebih dahulu. Disini pihak
calon pengantin tinu juga memberitahukan mengenai jenis pernikahan yang akan
diselenggarakan besok. Untuk upacara perkawinan adat yang penulis teliti
merupakan bimbang senet.
26
Setelah itu, salah seorang perwakilan dari calon pengantin lanang
menyampaikan juga maksud mereka. Mereka datang untuk menyerahkan uang
hantaran beserta mahar yang telah dijanjikan. Mereka pun tidak lupa untuk
membawa uang adat sebanyak 2% dari uang hantaran. Mereka biasanya juga
meminta agar malam itu ditunangkan antara calon pengantin lanang dan calon
pengantin tinu (disini calon pengantin tinu tidak dihadirkan). Sekarang ini
banyak masyarakat Pekal mengadakan pertunangan pada malam berasan,
karena dianggap paling baik daripada diadakan satu bulan sebelumnya.

14
Menurut bapak Makmur selaku Ketua Badan Musyawarah Adat Pekal hal ini
dilakukan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan kedua belah pihak.
Setelah kedua belah pihak menyampaikan maksud dan tujuannya, maka
mereka menunggu putusan dari Ketua Badan Musyawarah Adat mengenai apa
yang diterima dan apa yang ditolak. Disini serawo (lihat pada gambar 3.3) wajib
dihidangkan sebagai pemutus kata. Ketua Badan Musyawah Adat tidak akan
memulai pembicaraan apabila serawo belum dihidangkan. Serawo
adalah makanan dari beras pulut yang dimasak kering dan ditaburi kelapa yang
sudah dicampur dengan gula merah di atasnya. Serawo merupakan simbol adat
masyarakat Pekal. Pada malam berasan ini, pihak keluarga calon pengantin
tinu lah yang memasak menyediakannya. Biasanya disajikan dengan bolu
koja. Setelah serawo dihidangkan, Ketua BMA sudah bisa menanggapi dan
menyetujui.
Wawancara pada tanggal 07 Maret 2019 maksud tan tujuan dari kedua
belah pihak tadi. Pada tahap ini pula disampaikan oleh pihak calon penganti
tinu mengenai jenis bimbang yang akan dilaksanakan.

27
Gambar3.1:
Lengguai Nikah
(Dokumentasi, 2019)

Gambar3.2:
Lengguai Nikah yang Diletakkan di Hadapan Ketua Badan Musyawarah Adat
(Dokumentasi, 2019)

28
Gambar 3.3:
Serawo
(Dokumentasi, 2019)

4. Negak Pengujung
Negak Pengujung dilakukan pada pagi hari, biasanya sudah dimulai dari
pukul 7 pagi. Pada tahap ini, orang-orang yang telah di padak datang ke rumah
calon pengantin tinu untuk mendirikan pengujung. Biasanya orang-orang yang
bekerja telah ditentukan pada saat berasan walaupun tidak menutup
kemungkinan yang tidak hadir pada saat berasan ikut membantu. Mereka
mendirikan pengujung sesuai dengan bahan-bahan yang disediakan pemilik pesta
secara bergotong royong. Mereka yang membantu pun sangat dipersilahkan
untuk meminjamkan bahan-bahan yang diperlukan untuk negak pengujung
seperti papan, seng, kursi, dan lain sebagaianya. Disini serawo juga harus
disediakan bagi orang-orang yang membantu mendirikan pengujung.
Setelah negak pengujung, pemilik pesta mengucapkan terima kasih dan
memberitahukan mengenai waktu untuk akad nikah di siang harinya
melalui Ketua Badan Musyawarah Adat.
5. Persiapan Bimbang

29
Dalam tahapan ini, dilakukan berbagai persiapan di rumah calon
pengantin tinu, seperti persiapan kamar pengantin, pelaminan dan dekorasinya,
memasak, dan lain-lainnya sebelum akad nikahnya dilakukan. Mereka yang telah
ditunjuk pada saat berasan lah yang bekerja pada tahap ini.
6. Akad Nikah
Nikah, merupakan bersatunya dua orang untuk membentuk rumah tangga,
yang diwujudkan dengan pernyataan yang disebut dengan Ijab Kabul atau
Akad
Nikah. Persyaratan syahnya nikah, yaitu adanya wali pengantin perempuan,
saksi, ijab kabul suatu pernyataan kedua pengantin dan uang hantaran.
Pelaksanaan akad nikah dilakukan dirumah pengantin perempuan tepatnya di
pengujung yang telah disediakan. Terlaksananya akad nikah kemudian
disempurnakan dengan acara adat atau pesta perkawinan.
Akad nikah biasanya diadakan pada siang hari setelah Shalat Dzuhur,
sekitar pukul 1 siang atau pukul 2 siang. Sebelumnya, calon pengantin lanang
bersama keluarga mempersiapkan diri dirumahnya. Calon pengantin mengenakan
pakaian adat yang disediakan dari salon yang mereka sewa jasanya, ia pun
mempersiapkan diri dengan menghapal ijab kabul yang akan diucapkan nantinya.
Sedangkan keluarga besarnya berkumpul terlebih dahulu dan mempersiapkan
mengenai apa-apa saja yang akan dibawa. Bagi para tetangga calon penganti
lanang pun dipersilahkan yang berkenan untuk ikut serta dalam rombongan.
Setelah segala sesuatunya dipersiapkan, berangkatlah calon pengantin lanang
beserta keluraga dan partisipan lainnya. Biasanya bila jarak menuju rumah calon
pengantin tinu cukup jauh, mereka menggunakan mobil.
Setelah sampai di tempat tujuan dan dipersilahkan masuk oleh pemilik
acara melalui Ketua Badan Musyawarah Adat, mereka akan duduk di pengujung
yang telah disediakan. Hanya calon pengantin lanang dan orang tua yang
menempati pengujung yang dijadikan tempat akad nikah. Setelah semuanya
sudah duduk tenang, di persilahkanlah calon pengantin tinu untuk masuk dan
duduk tidak jauh dari calon pengantin lanang sebagai tanda akad nikah akan
dimulai. Wajah calon pengantin tinu ditutup oleh selendang.
Orang tua laki-laki dari calon pengantin tinu lah yang menikahkan
putrinya. Namun apabila orang tua laki-laki calon pengantin tinu

30
sudah meninggal, bisa digantikan dengan saudara laki-laki calon pengantin
tinu atau wali yang telah ditunjuk. Pada saat mengucapkan Ijab Kabul, calon
pengantin lanang bersalaman dengan orang tua laki-laki calon pengantin tinu
dan ditutup sapu tangan. Pengucapan Ijab Kabul ini di saksikan oleh Ketua
Badan Musyawarah, Imam Mesjid setempat, perwakilan dari KUA, majelis, dan
keluarga besar kedua belah pihak. Setelah Ijab Kabul diucapkan dan dinyatakan
sah, selendang yang menutup wajah pengantin tinu sudah boleh dibuka dan
sudah boleh duduk berdampingan dengan pengantin lanang. Setelah itu mereka
menandatangi surat-surat dari pihak KUA dan saling menyematkan cincin.

Gambar3.5:
Rombongan Calon Pengantin lanang Tiba
(Dokumentasi, 2019)

31
Gambar 3.6:
Lengguai Nikah yang Dibawa Calon Pengantin Lanang
(Dokumentasi, 2019)

Gambar 3.7:
Irisan Daun Pandan dan Bunga yang Dibawa Calon Pengantin Lanang
(Dokumentasi, 2019)

32
Gambar 2.10:
Penyematan Cincin
(Dokumentasi, 2019)

7. Acara Setelah Akad Nikah


Acara yang dilakukan setelah akad nikah sudah pasti telah dibicarakan di
saat berasan. Acara yang dimaksud merupakan acara wajib setelah akad nikah.
Pemilik bimbang biasanya hanya memilih satu acara atau semua acara untuk
dilakukan, seperti khatam kaji, belarak, batepung, dan bersanji. Mereka yang
memilih semua acara untuk dilaksanakan sudah sangat jarang ditemui, biasanya
hanya memilih satu atau dua acara. Biasanya bila memilih acara lebih dari satu,
maka bimbang yang dilaksanakan harus bimbang gedang. Pada upacara
perkawinan adat yang penulis teliti, pihak pengantin tinu memilih
bersanji sebagai acara setelah akad nikah. Adapun acara yang dimaksud
adalah sebagai berikut.
a. Khatam Kaji
Khatam Kaji merupakan acara dimana pengantin tinu membaca Al Qur’an
hingga tamat. Pengantin tinu membaca Al Qur’an dihadapan pengantin
lanang dan orang banyak. Biasanya acara ini dilakukan bagi pengantin tinu yang

33
belum tamat membaca Al Qur’an. Menuru bapak Makmur biasanya dibaca dari
surat Ad- Dhuha sampai dengan surat Annas. Setelah itu ditutup dengan doa
khusus yang dipimpin oleh Imam yang telah ditunjuk.
b. Belarak
Belarak adalah acara pengantin lanang dan pengantin tinu berkeliling
kampung. Mereka berkeliling kampung diiringi dengan rebana yang dimainkan.
Dengan belarak ini mereka secara tidak langsung memberitahukan bahwa mereka
telah sah menjadi suami istri. Setelah itu mereka kembali ke pelaminan.
c. Batepung
Batepung adalah salah satu acara setelah akad nikah dimana sebelum
kedua pengantin masuk ke rumah diberikan nasihat. Kedua pengantin berdiri di
halaman depan teras rumah pengantin tinu sambil memegang kain yang dialas
dengan tikar. Keluarga pengantin tinu berdiri di teras menghadap ke arah
pengantin. Pada acara ini didatangkan pemantun untuk berpantun sambil
menyampaikan nasehat-nasehat untuk kedua pengantin. Acara ini
selalu mendatangkan haru bagi kedua pengantin.
d. Bersanji
Bersanji pada upacara perkawinan adat ini dipimpin oleh Imam Mesjid.
Disini Imam Mesjid menyampaikan doa-doa, pujia-pujian dan kisah tentang
riwayat Nabi Muhammad berdasarkan kitab Al-Barzanji yang ditulis Syekh
Ja’far Al-Barzanji bin Hasan bin Abdul Karim lalu para majelis yang hadir
termasuk kedua pengantin menyahutinya. Bersanji pada upacara perkawinan adat
ini merupakan sebuah pengharapan agar upacara perkawinan tersebut lancar serta
kedua pengantin kelaknya bisa hidup berdampingan secara rukun. Pada upacara
perkawinan adat masyarakat Pekal yang penulis teliti, hanya acara bersanji
ini yang dilakukan.
8. Ngubak Basu
Ngubak basu diadakan setelah gelaran acara akad nikah selesai. Acara ini
diadakan dirumah pengantin tinu. Disini pengantin lanang diperkenalkan kepada
seluruh keluarga pengantin tinu. Disini juga dijelaskan kepada pengantin
mengenai hal-hal yang membantu terjadinya upacara, mulai dari orang-
orang yang memasak, menyediakan makanan, menyambut tamu, barang-barang
yang dipinjam dari tetangga, dan sebagainya. Hal ini dilakukan agar kedua

34
pengantin mengerti bahwa mereka nantinya harus saling tolong menolong
terhadap sesama. Acara ini dihadiri oleh Ketua BMA, Kepala Desa dan
perangkatnya, serta pihak yang berkepentingan. Setelah acara ini selesai biasanya
Ketua Badan Musyawarah Adat menyampaikan mengenai ada atau tidak adanya
acara setelah ngubak basu ini. Bila tidak mengadakan malam begandai dikenal
dengan istilah gam yang artinya malam tanpa acara.
9. Malam Begandai
Malam begandai diadakan pada malam hari setelah ngubak basu, biasanya
dimulai pada pukul 8 malam di rumah pengantin tinu, atau selesai Shalat Magrib
dan Shalat Isya. Malam begandai ini dihadiri oleh Ketua BMA, kedua pengantin
yang duduk bersanding di pelaminan, keluarga besar kedua pengantin, dan
masyarakat Pekal yang ingin menyaksikannya. Malam begandai diawali dengan
kata sambutan dari Ketua Badan Musyawarah Adat lalu dari keluarga pengantin
tinu, dan pertunjukan tadisi Gandai bisa dimulai.
Pertunjukan dimulai dengan menari yang pantunnya berisi nasehat-
nasehat kepada kedua pengantin. Biasanya penarilah yang menyampaikan
pantunnya. Lalu beristirahat sejenak sambil makan serawo dan makanan lainnya
seperti bolu koja dan kue talam bersama-sama. Makanan ini disajikan dengan teh
manis atau kopi. Serawo sendiri wajib dihidangkan bagi penari dan pemusik.
Apabila serawo tidak disajikan bagi penari atau pemusik, maka pihak pemilik
pesta dikenai sangsi adat. Setelah itu pertunjukan dilanjutkan dengan menari
lagi. Biasanya disini pantun yang dibawakan sudah bersifat bebas namun
pemantun masih dikalangan penari atau pemusik. jika terasa sudah cukup lama,
maka penari istirahat kembali. Setelah itu acara dilanjutkan lagi, namun bila ada
dari penonton yang ingin menari dipersilahkan untuk naik ke pengujung dengan
mengenakan sarung. Mereka yang naik untuk menari biasanya telah menentukan
pasangan yang akan diajak menari.
Biasanya malam begandai berakhir pada pukul 1 pagi. Sesuai dengan
permintaan pemilik acara yang sudah disampaikan pada saat berasan. Tradisi
Gandai yang ditampilkan diselingi dengan makan serawo bersama dan berbalas
pantun. Bagi masyarakat yang ingin menari, bisa ikut serta menari dengan
mengenakan sarung. Malam begandai merupakan salah bagian dari upacara
perkawinan adat masyarakat Pekal di Kecamatan Ketahun yang bisa dikatakan

35
sebagai pelengkap upacara perkawinan adat, yang dilakukan oleh golongan
masyarakat yang tingkat perekonomiannya relatif baik. Jika malam begandai ini
tidak diadakan, pesta resepsi keesokan akan harinya tetap berlangsung.
Untuk tradisi Gandainya, beberapa hari sebelum upacara perkawinan,
biasanya pihak pengantin akan menghubungi pihak karang taruna desa melalui
ketua Badan Musyawarah Adat Pekal untuk meminta menari dalam upacara
perkawinan adat yang akan digelar nantinya. Setelah itu pihak karang taruna
akan memilih penari dan pemusiknya. Kemudian penari dan pemusik yang
sudah ditentukan akan dihubungi dan dikabari kapan pelaksanaan upacara akan
digelar.
Pada saat hari pelaksanaan upacara perkawinan adatnya, tepatnya di sore
hari setelah akad nikah, penari dan pemusik melakukan persiapan masing-masing
seperti pengenaan kostum dan riasan sebelum malam begandai dimulai. Saat
acara dimulai, para penari diposisikan di atas pengujung yang dapat dilihat
pengantin, keluarga besar, dan masyarakat yang hadir. Acara ini selesai sesuai
dengan kesepakatan waktu pada saat berasan dan ditutup dengan ucapan
terimakasih dari pihak pemilik acara kepada semua yang terlibat serta doa
bersama.

Gambar 3.11:
Pertunjukan tradisi Gandai pada Malam
Begandai
(Dokumentasi , 2019)
36
10. Pesta Resepsi
Setelah akad nikah dan malam begandai digelar, keesokan harinya diadakan
pesta resepsi. Disini para tamu yang hadir adalah tamu yang mendapatkan
undangan secara tertulis seminggu sebelum perhelatan. Para tamu yang sudah
berkeluarga biasanya mendapat kesempatan hadir di waktu pagi hari dan siang hari,
sekitar pukul 9 sampai dengan pukul 4. Lalu untuk tamu muda- mudinya hadir di malam
hari, biasanya setelah shalat Magrib hingga selesai.
Pada pesta resepsi ini, tamu yang datang dapat menikmati hidangan yang
disediakan, hiburan musik, dan melihat pengantin duduk bersanding di pelaminan
dengan pakaian yang mereka pilih. Hidangan yang disediakan berupa hidangan
prasmanan, para tamu yang hadir dapat mengambil sendiri makanan yang mereka
inginkan yang telah disediakan. Mereka yang hadir dapat juga menikmati hiburan musik
yang disediakan pemilik acara, bahkan mereka diperkenankan untuk ikut
menyumbangkan suaranya untuk bernyanyi di panggung. Hiburan musik yang
disajikan biasanya berupaorgan tunggal. Selain itu mereka juga dapat
menyaksikan pengantin yang duduk bersanding di pelaminan dengan mengenakan
pakaian yang mereka pilih.
Pakaian yang kedua pengantin kenakan biasanya mereka sewa dari salon beserta
tata riasnya yang terdiri dari 3 sesi. Untuk sesi yang pertama mereka mengenakan
pakaian adat masyarakat Pekal. Untuk pakaian adat yang dikenakan oleh pengantin
lanang terdiri atas jas (bisa wrana hitam, merah tua, dan biru tua), songket yang
dililitkan di pinggang, celana panjang berwarna hitam, sepatu, tutup kepala. Dan
sebuah keris. Sedangkan untuk pakaian adat yang dikenakan pengantin tinu, baju
kurung berlengan panjang yang terbuat dari bahan beludru (umumnya berwarna merah
tua, biru tua, atau hitam). Dihiasi corak-corak dan sulaman berbentuk lempengan uang
logam yang berwarna emas. Lalu dilengkapi denga mahkota emas yang disematkan
pada sanggul kepala dengan pita warna- warni yang menjuntai, serta anting-anting
berukir dari emas.
Lalu sesi kedua mereka biasanya mengenakan pakaian adat dari suku pengantin
lanang. Apabila sang pengantin lanang berasal dari suku yang sama, maka biasanya

37
mereka akan mengenakan pakaian pengantin dalam 2 sesi. Serta yang terakhir yaitu
mengenakan pakaian yang mereka kenal dengan istilah Slayer.

BAB IV
DESKRIPSI PERTUNJUKAN TRADISI GANDAI

A. PENDUKUNG PERTUNJUKKAN
Tradisi Gandai dalam penyajiannya dapat dikatakan sebuah pertunjukan. Sebuah
pertunjukan tentunya harus didukung oleh beberapa hal agar dapat berjalan dengan baik.
Beberapa pendukung pertunjukan, yaitu adanya penari, pemusik, dan penonton.
1. Penari
Penari merupakan bagian terpenting dalam pertunjukan tradisi Gandai ini, karena
penari lah yang mempertunjukkan tarian tradisi Gandai ini. Penari akan menjadi pusat
perhatian dari penonton. Untuk itu diperlukan penari yang memiliki kecakapan dan
kemampuan menarikan Gandai ini di atas pengujung.
Setiap dalam pertunjukan tradisi Gandai ini biasanya komposisi penarinya
berjumlah 4 orang atau lebih dalam jumlah yang genap; umumnya, semakin banyak
penarinya semakin terlihat ramai dan bagus. Penarinya adalah perempuan semua.
Pemilihan penari tidak berdasarkan pada syarat tertentu, tetapi pada kesanggupan dan
kemahiran penari untuk dapat menari dan hadir sesuai waktu yang ditentukan oleh
pemimpin karang taruna desa. Hal ini dikarenakan penari yang ada bukanlah penari
profesional, dimana para anggotanya tidak hanya bekerja sebagai penari melainkan ada
yang pelajar dan harus sekolah, dan ada pula yang sudah bekerja di bidang yang lain.
Para penari yang dipilih dan mempunyai waktu untuk berlatih lagi mempelajari gerakan
sebelum hari pelaksanaan. Pada saat pertunjukan, penari akan saling berinteraksi antar
sesama penari di lapangan dalam melakukan perubahan gerakan.

2. Pemusik
Tradisi Gandai ini menggunakan 2 orang pemusik, diantaranya 1 orang pemain
edap dan 1 lagi pemain sunai. Menurut wawancara dengan Bapak Ali Bidin sebagai

38
pemain sunai yang sudah cukup berumur, beliau yang selalu dipanggil pihak karang
taruna untuk memainkan sunai dikarenakan hanya beliau yang bisa memainkannya lagi.
Adapun yang memainkannya selain beliau merupakan warga kecamatan lain. Hal ini
dikarenakan karena sulitnya memainkan sunai ini. Dapat dilihat dari teknik
permainannya yang rumit, yakni circular breathing, dimana sirkulasi pernapasan yang
terus menerus tanpa berhenti. Sehingga memerlukan latihan yang cukup lama dan
begitu melelahkan. Pada saat pertunjukan, pemusik akan saling berinteraksi juga antar
sesama pemusik di lapangan dalam melakukan pergantian strukturnya, ada tanda-
tandanya dalam musiknya.

3. Penonton
Penonton dalam setiap pertunjukan tradisi Gandai di setiap perkawinan masyarakat
Pekal merupakan pengantin itu sendiri, keluarga besar kedua belah pihak dan
masyarakat yang hadir untuk menyaksikannya pada malam begandai. Akan tetapi acara
yang dilaksanakan di rumah dengan membuat pengujung juga menjadi sebuah tontonan
juga bagi orang-orang yang melewati daerah tersebut.

B. PERLENGKAPAN PERTUNJUKKAN
Sebelum dimulainya pertunjukan tradisi Gandai, ada beberapa perlengkapan yang perlu
dipersiapkan. Dimana perlengkapan yang dipersiapkan nantinya akan mendukung jalannya
pertunjukan, serta dapat menambah daya tarik pertunjukannya. Persiapan harus maksimal
dalam penyusunan dan penataannya, agar dapat menghasilkan pertunjukan yang terbaik.
Perlengkapan dalam pertunjukan tradisi Gandai ini tergantung kesepakatan penari untuk
menggunakan atau tidak menggunankan properti, kebanyakan pada upacara perkawinan adat
masyarakat Pekal tidak menggunakan properti seperti sapu tangan, lampu teplok, dan lain-
lain. Untuk pemusiknya mereka pun lebih sering mengenakan baju sehari-hari. Selain itu
mereka memerlukan pengujung, serta alat musik yang digunakan dalam pertunjukan ini.
Segala perlengkapan ini harus diperhatikan dengan teliti, agar dapat berjalan lancar
nantinya.
1. Pengunjung

39
Pengujung untuk pertunjukan tradisi Gandai ini merupakan tempat yang telah
dibangun sebelumnya untuk akad nikah. Pengujung biasanya beralaskan papan yang
disusun dengan luas yang telah ditentukan dan beratapkan seng yang dihiasi daun
kelapa dipinggirnya, pengujung ini juga termasuk panggung di dalamnya. Pengujung
yang disediakan untuk pertunjukan biasanya sisi yang berhadapan dengan pelaminan
pengantin.

2. Kostum dan Tata Rias


a. Kostum Penari
Pada malam begandai, penari Gandai menggunakan kebaya serta kain panjang
sebagai sarung dimana sarung ini berguna untuk menutup bagian tertentu sehingga
sopan dan tertib dipandang mata.
1) Baju Kebaya berlengan panjang dengan warna yang telah disepakati sesama
penari, biasanya berwrna kuning emas, merah,hijau, dan biru.
2) Kain Panjang, kain ini merupakan rok panjang yang longgar yang warnanya
disesuaikan dengan warna baju Kebaya yang dikenakan. Kain ini untuk
menutup bagian tertentu sehingga sopan dan tertib dipandang mata.
3) Samulung, ini merupakan selendang yang diletakan (dikalungkan) di bahu.
Samulung ini digunakan penari saat gerakan Gandai membutuhkan selendang.
4) Sunting, merupakan hiasan kepala. Berwarna kuning emas.
b. Tata Rias
Dalam pertunjukan tradisi Gandai ini juga harus diperhatikan tata riasnya.
Mereka merias diri sendiri dan tidak perlu ke salon. Menurut ibu Ratna selaku
penari bahwa penari Gandai harus bisa merias dirinya sendiri. Akan tetapi warna
make up dan segala perlengkapannya disesuaikan dengan kesepakatan bersama agar
seragam. Tata rias ini terbagi 2, yaitu sebagai berikut:
1) Tata rias wajah atau make-up, semua penari menggunakan warna make-up
yang sama sesuai dengan warna kostum. Dalam tata rias wajah yang digunakan
ada foundation/alas bedak, bedak, eye shadow, shading, blush on, celak, bulu
mata palsu, lipstick.

40
Foundation yang digunakan penari adalah foundation yang bisa tahan lama.
Bergerak banyak akan menghasilkan keringat yang berlebihan, agar polesan
make-up tidak luntur makanya menggunakan foundation yang tahan lama.
Bedak yang dipilih penari untuk digunakan biasanya warna bedak yang masuk
dengan warna kulit. Eye shadow yang digunakan biasanya ada 3 tingkatan
warna, pada tingkat pertama warna yang dipilih adalah warna yang serupa
dengan warna pakaian yang dikenakan. Misalnya, jika pakaian yang digunakan
adalah warna kuning keemasan, maka warna eye shadow tingkat pertamanya
digunakan warna kuning keemasan. Jika warna pakaian yang digunakan warna
merah muda, maka eye shadow tingkat pertamanya digunakan warna merah
muda pula, begitu seterusnya. Pada eye shadow tingkat kedua biasanya
menggunakan warna gelap, seperti hitam dan coklat, posisi ini dibuat di bagian
sudut mata agar nampak pertegasan pada mata. Tingkat ke-3 atau paling atas di
buat warna putih. Setelah 3 tingkatan tersebut ditempelkan bulu mata palsu
agar terlihat lebih indah.
Shading yang digunakan untuk penegasan pada hidung, dan blush on
digunakan untik penegasan pada bagian pipi. Sedangkan celak digunakan
untuk penegasan pada alis mata. Begitu juga pada bibir, dalam penegasannya
digunakan lipstick yang berwarna merah.
2) Tata rias rambut, pada penataan rambut, masing-masing penari mengikat
rambutnya menjadi satu. Setelah diikat dipasangkan sanggul, dan diberi sunting
agar terlihat indah.

3. Alat Musik yang Digunakan


a. Edap
Alat musik edap ini merupakan alat musik membranophone, tergolong frame
drum yang berfungsi sebagai pembawa ritem variabel dan menjaga tempo sunai.
Dibuat dari kayu yang keras (dari batang nangka) dan dibagian atasnya ditutup
dengan kulit kambing. Bentuknya mirip dengan gendang ronggeng yang ada di
masyarakat Melayu Sumatera Utara. Edap dimainkan dengan cara dipegang dan

41
dipukul dengan 2 tangan tanpa alat pukul lain dan mempunyai lobang dibagian
belakang badannya.
b. Sunai
Alat musik tiup tradisional Pekal ini masuk dalam klasifikasi aerophone,
tergolong dalam end blown flute yang berfungsi sebagai pembawa melodi yang
dikembangkan (improvisasi) dan dimainkan oleh satu orang.
Alat musik ini terbuat dari bambu serik, yaitu bambu yang hidup di tepi sungai
yang menghadap ke arah matahari. Ukuran Sunai ini tidak memiliki patokan.
Menurut bapak Mahmudin, sunai ini terdiri dari 9 ruas. Dimana ruas yang paling
pertama (bawah) berukuran 1 jengkal (jarak dari telunjuk ke jempol tangan). Ruas
kedua, ketiga, dan keempat berukuran 1 Jengkal dikurangi 2cm. Ruas kelima
berukuran seperti ruas kedua ditambah lebar 1 jari telunjuk. Lalu untuk ruas
keenam, ketujuh, dan kedelapan berukuran sebesar lebar 1 jari jempol. Dan untuk
ruas terakhir berukuran sebesar lebar 2 jari jempol. Sedangkan untuk bagian yang
ditiup terbuat dari bulu ayam jago. Sunai ini diberi 6 lubang dan saat dimainkan
ruas pertama diletakkan di atas telapak kaki pemusik. Hal ini dilakukan agar suara
sunai lebih bagus.

C. DESKRIPSI GERAK GANDAI


Dalam bukunya yang berjudul History of The Dance, Curt Sachs mengemukakan
tentang perkembangan tari sebagai seni yang tinggi yang sudah ada pada zaman prasejarah.
Dimana awalnya kebudayaan tari telah mencapai tingkat kesempurnaan yang belum tercapai
oleh seni atau ilmu pengetahuan lainnya. Di dalam penyajian Gandai ini menggunakan
gerakan variatif yang bertema kehidupan sehari-hari ang ada pada masyarakat Pekal.
Gerakan-gerakan yang terbentuk dalam Gandai telah terstruktur ataupun terpola di dalam
aturan-aturan adat dan nilai keindahan setempat secara simbolis serta memiliki makna-
makna tersendiri. Dimana kata struktur disini adalah bagian-bagian yang melengkapi Gandai
dalam pertunjukannya saling berhubungan satu dengan yang lain, ataupun tahapan-
tahapannya.
Dalam penyajiannya seperti yang telah dijelaskan di bab sebelumnya, Gandai ini
dipertunjukan pada awal acara, memakai minimal 4 orang penari atau lebih dalam jumlah

42
genap, yang gerakannya diambil dari gerakan-gerakan seharihari dengan pola yang sudah
tersusun dalam bagian-bagian ragamnya. Menarikannya penari harus tunduk, mata harus
mengarah ke bawah. Karena bila melirik-liriik sana-sini dianggap sebagai penari yang
menggoda orang lain.
1. Ragam dan Pola Gerak
a. Ragam
Ragam gerak berarti motif gerakan-gerakan yang tersusun dalam unsur
kreatifitas gerak tari. Dalam wawancara dengan bapak Zhamari A.S Jamal selaku
budayawan Pekal, mengungkapkan bahwa Gandai terdapat 36 ragam. Namun
beliau hanya mengingat 26 ragam gerak, sedangkan 10 ragam gerak lainnya hanya
diketahui oleh orang-orang sebelum generasinya. Hal ini dikarenakan ragam gerak
tersebut sulit ditarikan. Dalam menarikannya Gandai ini bersifat pengulangan
hingga sunai memberi tanda untuk berganti ragam.
Dari 26 ragam gerak yang ada, biasanya hanya 6 atau 12 ragam gerak saja yang
dipergunakan pada upacara perkawinan adat masyarakat Pekal. Dua belas ragam
gerak ini dianggap sudah dapat mewakili ke-26 ragam gerak lainnya. Enam ragam
gerak yang lazim digunakan tersebut seperti nenet, sementaro, sumpaya, laluin,
menjung, dan lampu. Enam ragam lainnya yang disertakan seperti sunai indai, retak
kudo, lori, behang kakok behang, jek sayang, payung. Pemilihan ragam gerak yang
akan dipergunakan ini tidak bisa disepakati oleh penari dan pemusik pada saat
sebelum pertunjukan, karena hal ini bersifat spontan. Namun ragam nenet
merupakan ragam gerak yang wajib dan sebagai ragam pertama untuk mengawali
Gandai. Berikut tabel ragam gerak Gandai beserta makna ragamnya.
b. Pola Gerak
Pola gerakan yang dimaksud disini adalah gerakan-gerakan yang terkandung
dalam tiap-tiap ragam yang terbentuk. Ragam gerak dan pola gerak sangat
berhubungan, yakni bagaimana bagian-bagian dari gerakan Gandai saling
berhubungan sehingga disatukan.
Pola lantai pada Gandai disini mengacu pada enam ragam gerak yang penulis
amati di lapangan yang terdiri dari pola-pola sebagai berikut:

43
1) Pola lantai nenet, penari membentuk lingkaran dan menghadap ke dalam
lingkaran. Pada pola ini penari terus bergerak melingkar, baik itu gerak maju
maupun mundur.
2) Pola lantai sementaro, penari saling berhadapan degan bentuk pola lingkaran
kecil. Motif gerakan yang ada sebanyak empat motif yang mengalami
pengulangan. Setiap perubahan motif gerak, penari selalu bergerak ke arah kiri
(sesuai arah mata angin) mereka masing masing hingga sampai kembali ke
posisi semula lagi.
3) Pola lantai sumpaya, dalam pola persegi, lalu penari saling mendekatkan diri
dan berhadapan dan mundur lagi. Setelah itu penari maju lagi dan bertukar
posisi dengan penari yang menjadi pasangannya tadi.
4) Pola lantai laluin, pola lantai penari masih membentuk lingkaran, arah badan
pertama menghadap arah mata angin sambil terus bergerak mundur.
5) Pola lantai menjung, disini pola lantai penari masih seperti ragam sumpaya,
namun arah penari agak serong kiri dan saling mendekatkan diri dengan
gerakan maju mundur hingga mereka saling bertukar posisi.
6) Pola lantai lampu, disini pola lantai berbentuk lingkaran. Penari menari
melingkar dengan gerakan maju, mundur, dan berputar.

D. ANALISIS MUSIK IRINGAN


Nettl (1964: 98) mengemukakan adanya dua pendekatan untuk mendeskripsikan musik
yaitu: (1) kita dapat mendeskripsikan dan menganalisis apa yang kita dengar; (2) kita dapat
menuliskan berbagai cara keatas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat. Dengan itu
penulis melakukan transkripsi untuk memvisualisasikan musik iringan Gandai. Hal ini
dilakukan agar lebih mudah menganalisisnya terutama tangga nada, motif, kadensa, dan
lain-lain. hal ini dilakukan untuk dapat membantu kita mengkomunikasikan kepada pihak
lain tentang apa yang kita dengar. Dalam pentranskripsian, ppenulis menggunakan notasi
Barat untuk memperlihatkan bunyi musikal yang terdengar.
Musik dalam pertunjukan tradisi Gandai pada upacara perkawinan adat masyarakat
Pekal di Kecamatan Ketahun merupakan hal yang sangat penting, karena gerak tari
mengikuti musik. Musik iringan menjadi pembentuk suasana untuk memperjelas tekanan-

44
tekanan gerakan begitu juga pergantian ragam dan pola-pola gerakan yang ada. Dalam
mengiringi Gandai menggunakan 2 alat musik, yakni edap dan sunai. Pada ragam nenet
tempo musik iringannya.

BAB V
PENUTUP

C. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan pada bab-bab sebelumnya maka beberapa
kesimpulan yang didapat oleh penulis adalah sebagai berikut. Gandai merupakan salah satu
tradisi yang ada pada masyarakat Pekal yang sudah terintegrasi menjadi identitas mereka.
Dimana gerakannya diambil dari kehidupan sehari-hari yang ditarikan oleh empat atau lebih
(dalam jumlah genap) penari perempuan. Tradisi Gandai ini diiringi oleh alat musik satu bua
edap dan satu buah sunai.
Tradisi ini mengalami perubahan, dimana dulunya dipertunjukan pada hari Kamis
(malam) di balai desa. Tradisi ini dipertunjukan pada acara buka lahan atau pesta panen.
Namun sekarang sangat sulit dijumpai pada acara tersebut di atas. Hal ini dikarenakan oleh
tiga hal. Pertama karena semakin sedikitnya masyarakat yang mengolah lahan sendiri untuk
bercocok tanam palawija. Setelah banyak perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan
kelapa sawit atau karet, masyarakat Pekal banyak yang bekerja di sana. Kedua karena
semakin banyak para generasi muda Pekal yang mengenyam pendidikan. Hal ini membuat
waktu mereka sangat terbatas untuk berkumpul, karena kegiatan belajar. Dan yang ketiga
dikarenakan masuknya kebudayaan dari pulau Jawa yaitu musik Organ Tunggal yang
sifatnya lebih semarak. Sehingga masyarakat Pekal lebih tertarik untuk menyaksikan
hiburan ini.
Sekarang ini tradisi ini dapat kita lihat pada acara perpisahan sekolah dan upacara
perkawinan adat masyarakat Pekal. pada acara perpisahan sekolah sendiri, tradisi ini
dipertunjukan agar tetap terjaga kelestariannya. Agar generasi muda sekarang tidak lupa

45
akan tradisi ini. Sedangkan pada upacara perkawinan adat masyarakatnya, tradisi ini
dipertunjukan pada malam begandai di atas pengujung dan diiringi oleh edap dan sunai.
Untuk konten dari Gandai itu sendiri, pada awalnya tradisi ini memiliki 36 ragam gerak.
Namun sekarang ini hanya tersisa 26 ragam gerak saja. Hal ini dikarenanakan 10 ragam
gerak lainnya sangat sukar untuk ditarikan dan hanya orang-orang tua dulu yang
mengetahuinya. Begitu pula dari segi pemain musiknya. Dalam beberapa pertunjukan
tampak yang memainkannya hanya orang-orang yang usianya sudah tua. Tidak terlihat
generasi muda yang memainkannya. Dapat dikatakan bahwa proses transmisi tradisi ini
tidak banyak menyentuh generasi muda sekarang, hanya segelintir yang tertarik.
Walaupun telah terjadi perubahan terhadap konteks penyajian dan ragam geraknya,
tetapi pada motif gerak dan musik yang dimainkan tetaplah sama serta mengalami
kontinuitas. Terlihat walau sudah jarang dijumpai di acara buka lahan atau pesta panen,
masyarakat Pekal menampilkannya pada upacara perkawinan adatnya. Disini peran sekolah
besar dengan selalu menampilkan tradisi ini di acara perpisahan sekolah, maka kemungkinan
kontinuitas ini akan terus berlangsung selalu dan tetap bertahan di masa-masa yang akan
datang.
Dilihat dari segi fungsi, tradisi ini berfungsi sebagai pengungkapan emosional,
penghayatan estetika, hiburan, sarana komunikasi, reaksi jasmani, yang berkaitan dengan
norma sosial, dan sebagai pengintegrasian masyarakat serta sebagai sarana matapencaharian.

D. SARAN
Dari pembahasan dan beberapa kesimpulan yang telah diuraikan, ada beberapa saran
yang perlu dikemukakan, mengingat telah terjadi kontinuitas dan perubahan dalam tradisi
Gandai masyarakat Pekal di Kecamatan Ketahun. Perubahan yang terjadi pada tradisi
Gandai masyarakat Pekal di Kecamatan Ketahun tidak sepenuhnya hilang. Masih ada 26
ragam gerak serta musisi tradisional, dan konteks pertunjukannya (walaupun semakin
berkurang) ada dalam kebudayaan tradisional masyarakat Pekal.
Namun minat generasi muda Pekal akan tradisi ini sudah berkurang. Oleh karena itu
diperlukan peran seniman/musisi, pemerhati budaya, akademisi dan pemerintahan
Kabupaten Bengkulu Utara untuk mensosialisasikannya melalui pertunjukan kesenian tradisi
yang sering diadakan untuk membiasakan mereka mengenalnya. Penelitian ini merupakan

46
tahap awal dan masih banyak memiliki kekurangan serta perlu mendapatkan
penyempurnaan. Penelitian ini hanyalah sebahagian kecil permasalahan yang terkandung di
dalamnya. Oleh karena itu penulis menyarankan dan mengharapkan kepada siapa saja yang
berminat untuk melanjutkan penelitian ini untuk lebih mendalam lagi, sehingga dapat
bermanfaat bagi pengembangan Etnomusikologi dan sebagai dokumentasi data mengenai
kebudayaan musikal yang berkaitan dengan Pekal.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi yang
positif terhadap apresiasi budaya dan pengetahuan terhadap ilmu pengetahuan secara umum
dan bidang Etnomusikologi secara khusus.

47
DAFTAR PUSTAKA

Adshead, Janet. 1988. Dance Analysis: Theory and Practice. London. Dance Book.
Depdikbud. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ginting, Seridah Rhita Gustina. 2011. Deskripsi Tari Lima Serangkai Pada Masyarakat
Karo. Medan: Skripsi Sarjana Etnomusikologi FS USU.

Green, Thomas A. 1997. Folklore: an Encyclopedia of Beliefs, Customs, Tales, Music, and
Art Volume 1. California: ABC-CLIO.
Haviland, William A; Prins, Harald E. L.; McBride. Bunny; and Walrath, Dana (2011).
Cultural Anthropology: The Human Challenge (14th ed.). Belmont: Wadsworth, Cengange
Learning.
Hutagalung, Flora. 2009. Analisis Pertunjukan Tari Piring Pada Upacara Perkawinan Adat
Masyarakat Minangkabau Di Kota Medan. Medan : Skripsi Sarjana Etnomusikologi
FS USU. Kamisa. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika
Kaplan, David And Manners, Albert A. 1999. Teori Budaya. [Trans.] Landung Simatupang.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
http://gitadanceq.blogspot.com/search/label/kinesiologi
http://id.wikipedia.org/ Bahasa_Pekal
http://referensi.data.kemdikbud.go.id
http://rejang-lebong.blogspot.com

48
DOKUMENTASI

49
50

Anda mungkin juga menyukai