2, Oktober 2017
e-mail: niktsariadnyani@gmail.com
Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya bentuk perkawinan matriarki yang umumnya
terselenggara pada masyarakat Hindu Bali sering diidentikkan dengan istilah nyentana
(nyeburin). Hal ini dapat ditinjau dari perspektif kajian mengenai gender dalam hukum
adat bahwa berdasarkan teori struktural fungsional sistem perkawinan nyentana yang
diidentikkan dengan bentuk perkawinan matriarki secara realita mengacu ke arah
sistem pewarisan lempeng ke purusa. Jenis penelitian yuridis normatif, dengan
pengkajian hukum adat Hindu Bali dalam perkawinan nyentana. Penguatan lembaga
adat dari segi sanksi dan kepatuhan memberikan daya ikat tersendiri terhadap hukum
yang berlaku, dan apabila perlu dikukuhkan melalui awig-awig adat sehingga memiliki
daya ikat dari segi keberlakuannya. Bentuk perkawinan nyentana sebagai alternatif
dalam suatu keluarha tidak memiliki keturunan laki-laki sehingga status perempuan
dikukuhkan menjadi laki-laki (putrika) hal ini mengindikasikan adanya penghargaan
pada peran gender yang harmonis sebagai pelanjut keturunan. Konsekwensinya
adalah dimuatnya kebijakan berbasis gender yang mengakomodasi peran perempuan
di dalammnya.
Kata Kunci: Hukum Adat Hindu Bali, Gender, Matriarki, Nyentana, Perkawinan,
Purusa
Abstract
This research is motivated by the form of matriarchy marriage that generally held in
Balinese Hindu society is often identified with the term nyentana (nyeburin). It can be
seen from the perspective of gender studies in customary law that based on the
structural structural theory of the marriage system nyentana identified with the form of
matriarchal marriage in reality referring to the system of inheritance of the plate to the
purusa. This type of normative juridical research, with the study of Balinese Hindu law
in marriage nyentana. The strengthening of customary institutions in terms of sanction
and compliance provides its own binding power to the applicable law, and if necessary
it is confirmed through customary awig-awig so that it has the binding power in terms of
its enforceability. The form of marriage nyentana as an alternative in a outha does not
have male offspring so that the status of women confirmed to be male (putrika) this
indicates an appreciation of the role of a harmonious gender as a descendant of
descent. The consequence is the introduction of a gender-based policy that
accommodates the role of women in it.
menimbulkan multi tafsir dari maksud dan tahun berikutnya naskah akademik akan
tujuan keberlakuan hukum itu sendiri menjadi masukan bagi rancangan kebijakan
mengenai bentuk perkawinan matriarki dari
2. Rumusan Masalah segi penerapannya dalam rangka
Berdasarkan latar belakang menunjang pembangunan dan
permasalahan di atas, adapun pemetaan pengembangan hukum adat yang bersifat
terhadap realisasi kebijakan selama populis.
penelitian berlangsung pada tahun pertama
untuk lebih lanjut di tahun kedua, peneliti METODE
mengkaji mengenai terdapat perubahan
atau tidak dari segi paradigma masyarakat, 1. Jenis Penelitian
pelaksanaan kebijakan maupun target Jenis penelitian ini menggunakan
sasaran dari kebijakan yang dirancang. pendekatan yuridis normatif dengan
Maka peneliti merumuskan sejauhmanakah pengkajian hukum adat Hindu Bali dalam
legitimasi secara formal terhadap Putusan menelaah bentuk perkawinan matriarki.
Desa Adat dalam bentuk awig-awig tentang Adanya persepsi yang keliru di kalangan
Perkawinan Nyentana dinilai penting bagi masyarakat antara proses dan esensi
daya ikat masyarakat adat? bentuk perkawinan matriarki perlu
diklarifikasi secara terbuka untuk
3. Tujuan Penelitian memberikan informasi aktual kepada warga
Adapun tujuan penelitian yang ingin masyarakat adat akan pentingnya
dicapai adalah untuk mengetahui legitimasi pemahaman mengenai hak dan kewajiban
secara formal terhadap Putusan Desa Adat setiap individu berdasarkan hukum adat
dalam bentuk awig-awig tentang Hindu sehingga tercipta keselarasan dalam
Perkawinan Nyentana dinilai penting bagi kehidupan bersama.
daya ikat masyarakat adat.Tujuannya agar
terdapat kodifikasi dalam bentuk Sima, 2. Lokasi Penelitian
Perarem, dan Awig-Awig). Pemilihan lokasi peneliti tentukan
secara purposive sesuai dengan kebutuhan
4. Urgensi (Keutamaan Penelitian) penelitian dengan mengambil sampel di
Memberikan sumbangsih terhadap daerah Bali bagian selatan di bandingkan
pembalikan cara berpikir di kalangan dengan Bali bagian utara, serta daerah Bali
masyarakat Hindu Bali bahwa kaum bagian Timur dibandingkan dengan Bali
perempuan juga dapat sebagai penerus bagian Barat. Dalam kaitannya dengan
keturunan dan memperoleh hak terhadap penyelarasan tujuan penelitian maka di
warisan orang tua apabila statusnya sudah tahun ke-2 dengan melihat implementasi
dikukuhkan sebagai putrika (sentana rajeg), dari model rancangan kebijakan di tahun
yaitu anak perempuan yang sudah sebelumnya untuk keberhasilannya perlu
disepakati berdasarkan pauman keluarga adanya studi komparasi antara beberapa
inti maupun keluarga dadia bahwa memang daerah, yaitu (Denpasar dengan Singaraja,
yang bersangkutan memang dipercaya dan Tabanan dengan Karangasem).
sebagai ahli waris dan penerus keturunan
dengan catatan melahirkan anak laki-laki
yang dapat meneruskan keberlangsungan 3. Subjek dan Objek Penelitian
keluarga secara periodik. Pada penelitian ini subjek penelitianya
adalah responden yang dinilai berperan
5. Manfaat Penelitian dengan kajian permasalahan penelitian dan
Adapun manfaat yang diperoleh dinilai berkompeten memberikan informasi
dengan adanya temuan/inovasi penelitian, yang akurat terhadap permasalahan
yaitu berupa model formulasi kebijakan penelitian yang terjadi. Adapun subjek
tentang bentuk perkawinan matriarki penelitian yang dimaksudkan, yaitu: yaitu:
berbasis gender dalam bentuk rancangan (1) pasangan suami istri yang melakukan
naskah akademik untuk mengakomodir perkawinan matrilinial, (2), orang tua dan
paradigma masyarakat yang masih keliru keluarga pasangan suami istri yang
dari segi pemahaman tentang gender dalam melakukan perkawinan matrilinial, (3), tokoh
hukum adat perkawinan Hindu Bali, sebagai agama dan tafsir weda (kitab suci agama
respon terhadap upaya penyebarluasan Hindu), (4) tokoh adat (orang yang dituakan
informasi tentang rancangan model di setiap desa adat), (5) tokoh masyarakat
kebijakan telah ditargetkan pada tahun formal (anggota legislatif, eksekutif, dan
pertama disusun naskah akademik, dan di tokoh pemerintahan daerah lainnya), (6)
tokoh pemuda, (7) anggota masyarakat, (8) sudah lazim pula ditemui bentuk perkawinan
PHDI (organisasi tertinggi agama Hindu) yang sekarang lazim disebut nyeburin. Di
Provinsi Bali. beberapa tempat bentuk perkawinan ini
Sedangkan objek penelitian yang lebih dikenal dengan sebutan nyentana atau
menjadi fokus kajian di tahun kedua adalah: nyaluk sentana (Korn,1978). Dalam bentuk
faktor penyebab di sebagian wilayah perkawinan ini justru suamilah yang
propinsi Bali pernah terjadi penolakan mengikuti istri. Secara sepintas, bentuk
terhadap bentuk perkawinan matriarki; perkawinan ini tampak menyimpang dari
Putusan Desa Adat dalam bentuk awig-awig sistem kepurusa yang menekankan bahwa
tentang Perkawinan Nyentana diupayakan keturunan dilanjutkan oleh keturunan laki-
memeliki legitimasi secara formal; realisasi laki (purusa). Tetapi bila diamati secara
rancangan kebijakan berbasis gender yang seksama, perkawinan nyeburin ternyata
sudah tertuang dalam bentuk naskah tetap konsisten dengan sistem
akademik di tahun pertama dapat kekeluargaan kepurusa sebab dalam
dituangkan ke dalam bentuk hukum positif di perkawinan ini status istri
tahun kedua. adalah purusa karena telah ditetapkan
sebagai sentana rajeg dalam keluarganya.
4. Metode Pengumpulan Data Sentana rajeg (sentana = keturunan,
Dalam pelaksanaannya, peneliti ahli waris; rajeg= kukuh, tegak; karajegang=
mengunakan beberapa alat bantu dikukuhkan, ditegakkan) adalah anak
pengumpulan data, yaitu: (1) wawancara perempuan yangkerajegang sentana yaitu
mendalam, (2) observasi partisipatif, (3) dikukuhkan statusnya menjadi penerus
pencatatan dokumen, (4) kuisioner terbuka keturunan atau purusa. Dalam
dan tertutup, (5) focus groups discussion. Kitab Manawa Dharmacastra
(IX:127), sentana rajeg disebut dengan
5. Analisis Data istilah putrika yang kedudukannya sama
Data yang terkumpul dalam penelitian dengan anak laki-laki, yaitu sebagai pelanjut
ini berupa data kualitatif dan data keturunan dan ahli waris terhadap harta
kuantitatif. Keseluruhan data ini dianalisis orang tuanya (Sudantra,2002a).
dengan menggunakan teknik analisis Bentuk perkawinan matriarki (nyentana)
deskriptif dan statistik sesuai dengan atau nyeburin yang mula-mula berkembang
karakteristik data yang dibutuhkan untuk pada masyarakat Tabanan ini diterima
mengurai masing-masing permasalahan secara luas oleh masyarakat Bali,
penelitian. Miles dan Huberman (1992: 83), khususnya Bali Selatan. Model kawin
mengemukakan bahwa aktivitas dalam nyentana ini menjadi solusi yang mampu
analisis data kualitatif dilakukan secara menyelesaikan persoalan keluarga yang
interaktif dan berlangsung secara terus hanya mempunyai keturunan perempuan.
menerus sampai tuntas. Dalam perkembangan selanjutnya
perkawinan nyentana menjadi alternatif jika
HASIL DAN PEMBAHASAN hanya mempunyai keturunan perempuan.
Legitimasi secara Formal terhadap Aturan dalam perkawinan nyentana
Putusan Desa Adat dalam Bentuk Awig- dengan perkawinan yang lazim dilakukan
Awig tentang Perkawinan Nyentana dalam masyarakat kebanyakan juga sedikit
Dinilai Penting bagi Daya Ikat Masyarakat unik. Dalam perkawinan biasa, lazimnya
Adat seorang lelaki yang melamar seorang gadis
Dalam perkawinan nyentana, seorang untuk dijadikan istrinya. Namun dalam
laki-laki ikut dalam keluarga isterinya, tinggal perkawinan nyentana si gadislah yang
di rumah isteri, dan semua keturunannya melamar si lelaki untuk dijadikan suaminya
mengambil garis keturunan istri. Van Dijk untuk selanjutnya diajak tinggal dirumah
(1991: 35) menulis bahwa laki-laki tadi sigadis. Sementara itu keturunannya akan
‘dilepaskan dari golongan sanaknya dan menjadi milik dan melanjutkan keturunan
dipindahkan ke dalam golongan sanak si keluarga istrinya tadi. Karena konsekwensi
perempuan’. Konsekuensinya, anak yang inilah yang mengakibatkan perkawinan
lahir dari perkawinan nyentana itu akan nyentana banyak ditentang oleh masyarakat
menjadi pewaris dari garis keturunan Bali khususnya yang berada di wilayah
ibunya. “Jadi anggota yang meneruskan Karangasem.
klan bapak mertua,’ tulis Van Dijk. Di tengah penolakan oleh sebagian
Di luar bentuk perkawinan yang umum, masyarakat Bali di wilayah tertentu terhadap
dibeberapa daerah di Bali, terutama perkawinan nyentana, di sisi lain perkawinan
Tabanan, Badung, Gianyar, dan Bangli nyentana justru dilegalkan secara adat.
hak perempuan dan anak dan hak asasi Perempuan yang pulang kembali ke rumah
manusia” . asalnya setelah bercerai, diterima kembali
MDP Tabanan baru menyosialisasikan oleh keluarga asalnya dengan status mulih
hasil Pasamuan Agung III Majelis Utama daa. Begitu juga laki-laki yang pernah kawin
Desa Pekraman (MUDP) ini ke 150 desa nyentana. Laki-laki kembali ke rumah
pakraman dari 346 desa pakraman yang asalnya dengan status mulih taruna. Untuk
dimiliki oleh Kabupaten Tabanan. Sejumlah seterusnya mereka akan melaksanakan
hasil Pasamuhan MUDP Bali akhir tahun kewajiban dan memunyai hak di keluarga
lalu menghasilkan keputusan khusus soal asal lagi.
hak perempuan dan anak dalam hukum Ni Nengah Budawati, Direktur
adat Bali. Lembaga Bantun Hukum Asosiasi
Sosialisasi putusan ini di Tabanan Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK) Bali
dilakukan dengan pelatihan kader mengatakan Banjar Kekeran telah memberi
pendidikan budaya tentang gender. contoh berjalannya rasa keadilan dan
Sasarannya ibu-ibu PKK. Dua desa, yakni kesetaraan. Tidak saja awig-awignya yang
Penebel dan Kediri, menjadi proyek mendukung, tapi tokoh adat juga berperan.
percontohan tentang pendidikan gender. “Perkawinan pada gelahang dan nyentana
Tujuan bahwa pendidikan gender menjadi hal biasa,” tegasnya. Bagi
dimasukkan ke dalam dunia pendidikan perempuan berkasta yang menikah dengan
melalui bidang studi atau ektrakurikuler agar laki-laki biasa, tambahnya, tidak mendapat
generasi muda paham apa perannya di hukuman dan diskriminasi seperti ritual
masyarakat. Untuk menghilangkan Patiwangi.
ketakutan anak-anak muda Bali pada adat. Ajaran agama dan aturan adat
Ida Ayu Adnya Ningsih, seorang guru mempunyai jalinan yang sangat erat. Dasar
mengaku setuju jika masalah adat segera dari aturan di dalam agama Hindu ialah di
dimasukkan dalam pendidikan. “Agar siswa dalam praktek kehidupan yang sewajarnya
sedari dini mengetahui bagaimana harus diikuti dan dipakai sebagai pedoman
sebenarnya hukum adat Bali yang juga yang mutlak. Ajaran agama hindu sangat
menghormati hak perempuan,” ujarnya. perlu bagi kehidupan individu dan
Menurutnya, pengenalan adat termasuk masyarakat Bali, sebab ia merupakan
pendidikan karakter bangsa yang bisa benang merahyang menuntun kehidupan
diimplementasikan pada semua bidang individu dan masyarakatnya ke arah
studi. Pengurus Harian MUDP Bali I Ketut keserasian tindakan dan tingkah laku.
Sudantra mengatakan, adat Bali sudah Tanpa adanya adat di dalam suatu
mengakomodir suara perempuan. Dalam kehidupan masyarakat, maka akan
Pasamuan Agung III MDP Bali 15 Oktober mengalami bencana dan kehancuran.
2010 telah diputuskan perkawinan pada Ditinjau dari segi agama, maka adat itu tidak
gelahang dapat diterima, sebagai jalan lain dari pada materialisasi keagamaan di
keluar bagi keluarga yang punya anak dalam tingkah laku penganutnya.
tunggal, baik laki-laki saja atau perempuan. Perkawinan nyentana didasarkan
Perkawinan pada gelahang juga bisa dipilih pada kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di
sebagai alternatif perkawinan nyentana. daerah setempat dan pada hukum agama
Semuanya tergantung kesepakatan Hindu, seperti yang di kemukakan oleh
bersama antara pasutri yang akan menikah Soeripto dalam tulisannya bahwa : Hadat
dan keluarga masing-masing. adalah hukum asli Indonesia, yang pada
Ritual patiwangi, yaitu jenis hukuman umumnya tidak tertulis, yang memberi
berat yang bisa mencabut hak perempuan di pedoman kepada sebagian besar orang-
keluarganya sendiri. Oleh karenanya ritual orang Indonesia dalam kehidupannya
patiwangi yang merendahkan harkat dan sehari-hari, dalam hubungannya antara
martabat perempuan juga ditinggalkan. yang satu dan yang lain baik di kota-kota
Pasamuan Agung III MDP juga memutuskan maupun dan lebih-lebih di desa-desa, yaitu
hak dan kewajiban suami istri. Jika terjadi hukum yang didasarkan atas hukum melayu
perceraian perempuan mendapatkan hak Polinesia ditambah dengan disana-sini
atas harta guna kaya, sebanyak sepertiga hukum agama.
dari harta bersama. Hukum adat juga Apabila perselisihan mengenai
mengizinkan ibu tetap mengasuh anaknya perkawinan nyentana tidak dapat
tanpa menutuskan hubungan dengan diselesaikan secara musyawarah, maka
bapaknya selaku purusa. Asal tetap masyarakat akan membawa perkaranya ke
menjaga hubungan baik antara anak depan pengadilan desa adat. Pengadilan
dengan ayah dan keluarga besar ayahnya. desa adat adalah pengadilan rakyat yang