Anda di halaman 1dari 10

P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No.

2, Oktober 2017

Sistem Perkawinan Nyentana dalam Kajian Hukum Adat


dan Pengaruhnya terhadap Akomodasi Kebijakan
Berbasis Gender

Ni Ketut Sari Adnyani

Jurusan PPKn, FHIS, Undiksha, Singaraja

e-mail: niktsariadnyani@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya bentuk perkawinan matriarki yang umumnya
terselenggara pada masyarakat Hindu Bali sering diidentikkan dengan istilah nyentana
(nyeburin). Hal ini dapat ditinjau dari perspektif kajian mengenai gender dalam hukum
adat bahwa berdasarkan teori struktural fungsional sistem perkawinan nyentana yang
diidentikkan dengan bentuk perkawinan matriarki secara realita mengacu ke arah
sistem pewarisan lempeng ke purusa. Jenis penelitian yuridis normatif, dengan
pengkajian hukum adat Hindu Bali dalam perkawinan nyentana. Penguatan lembaga
adat dari segi sanksi dan kepatuhan memberikan daya ikat tersendiri terhadap hukum
yang berlaku, dan apabila perlu dikukuhkan melalui awig-awig adat sehingga memiliki
daya ikat dari segi keberlakuannya. Bentuk perkawinan nyentana sebagai alternatif
dalam suatu keluarha tidak memiliki keturunan laki-laki sehingga status perempuan
dikukuhkan menjadi laki-laki (putrika) hal ini mengindikasikan adanya penghargaan
pada peran gender yang harmonis sebagai pelanjut keturunan. Konsekwensinya
adalah dimuatnya kebijakan berbasis gender yang mengakomodasi peran perempuan
di dalammnya.

Kata Kunci: Hukum Adat Hindu Bali, Gender, Matriarki, Nyentana, Perkawinan,
Purusa

Abstract
This research is motivated by the form of matriarchy marriage that generally held in
Balinese Hindu society is often identified with the term nyentana (nyeburin). It can be
seen from the perspective of gender studies in customary law that based on the
structural structural theory of the marriage system nyentana identified with the form of
matriarchal marriage in reality referring to the system of inheritance of the plate to the
purusa. This type of normative juridical research, with the study of Balinese Hindu law
in marriage nyentana. The strengthening of customary institutions in terms of sanction
and compliance provides its own binding power to the applicable law, and if necessary
it is confirmed through customary awig-awig so that it has the binding power in terms of
its enforceability. The form of marriage nyentana as an alternative in a outha does not
have male offspring so that the status of women confirmed to be male (putrika) this
indicates an appreciation of the role of a harmonious gender as a descendant of
descent. The consequence is the introduction of a gender-based policy that
accommodates the role of women in it.

Keywords: Balinese Hindu Law, Gender, Matriarchy, Nyentana, Marriage, Purusa

PENDAHULUAN menurut hukum agama, maka biasanya


1. Latar Belakang perkawinan itu dianggap sah secara adat.
Hilman Hadikusuma (1990: 10 dan 27) UU Perkawinan, menurut Hilman (1990: 28-
mengatakan UU No. 1 Tahun 1974 tentang 29), menempatkan hukum agama sebagai
Perkawinan tidak mengatur bagaimana tata salah satu faktor yang menentukan
tertib adat yang dilakukan mempelai untuk keabsahan perkawinan. Yurisiprudensi yang
melangsungkan perkawinan. Sahnya menyatakan bahwa perkawinan disebut sah
perkawinan menurut hukum adat bagi sesudah kedua mempelai melakukan
masyarakat hukum adat Indonesia, terutama upacara mabyakaon
bagi penganut agama tertentu, tergantung (mabyakala] Yurisprudensi tersebut adalah
pada agama yang dianut umumnya oleh Keputusan Raad Kertha Singaraja Nomor
masyarakat adat tersebut. Jika dilaksanakan 290/Crimineel, 14 April 1932 yang

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 168


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

mempertimbangkan dalam putusannya dan pewarisan. Akan tetapi letak


bahwa selamamabyakaon belum dilakukan perbedaannya jelas, bahwa sistem nyentana
maka perkawinan belum dipandang sah. (nyeburin) yang dimaksudkan di sini adalah
Pengadilan Negeri Denpasar dalam sama dengan perkawinan ambil anak yaitu
Keputusannya Nomor 602/Pdt/1960 tanggal mengawini anak laki-laki untuk masuk
2 Mi 1960 menetapkan bahwa suatu menjadi anggota pihak keluarga wanita dan
perkawinan dianggap sah menurut Hukum tinggal pula di sana. Nyentana/nyeburin
Adat Bali apabila telah dikenal pula dengan sebutan pekidih atau
dilakukan pabyakaonan atau mabyakaon. D diminta, artinya si laki-laki tersebut diminta
emikian pula keputusan Pengadilan Tinggi menjadi menantu dan meneruskan
Denpasar Nomor 281/Pdt/1966/PTD tanggal keturunan pihak wanita. Konsekuensinya,
19 Oktober 1966 (Suyatna,1997).Jika tak anak yang lahir dari perkawinan nyentana
dilaksanakan menurut hukum agama, maka itu akan menjadi pewaris dari garis
perkawinan tidak sah. Dalam adat Hindu keturunan ibunya. Jadi anggota yang
Bali, perkawinan umumnya dilakukan meneruskan klan bapak mertua.
melalui upacara keagamaan yang Ditinjau dari perspektif kajian mengenai
disebut mekala-kalaan yang dipimpin gender dalam hukum adat bahwa
Pinandita. berdasarkan teori struktural fungsional
Pasal 2 ayat (1) menegaskan sistem perkawinan nyentana yang
"perkawinan adalah sah apabila dilakukan diidentikkan dengan bentuk perkawinan
menurut hukum masing-masing agama dan matriarki secara realita mengacu ke arah
kepercayaannya itu". Bagi umat Hindu sistem pewarisan lempeng ke purusa.
perkawinan harus disahkan menurut Karena berdasarkan struktur fungsi peran
ketentuan hukum Hindu yang sangat yang dilakoni oleh masing-masing pihak,
dipengaruhi oleh budaya masyarakat adat baik anak laki-laki maupun perempuan Bali
Bali. Dari segi pengesahan perkawinan bagi di dalam keluarga, terdapat nilai-nilai
umat Hindu di Bali juga telah dipengaruhi fundamental yang ajeg yang tetap terus
oleh lokacara dan desa dresta. Menurut dijaga keberlangsungannya seperti (1)
Keputusan-keputusan dan Ketetapan- norma atau kaidah dalam keluarga yang
ketetapan Parisada Hindu Dharma (PHDI harus tetap dipatuhi seperti rasa hormat
Kabupaten Badung, 1986), sahnya kepada orang tua, patuh, berbakti, suputra,
perkawinan ditentukan oleh satya, dan sebagainya. (2) status atau
adanya panyangaskara dengan bhuta kedudukan di dalam keluarga, misalnya
saksi dan dewa saksi serta orang tua terutama Bapak atau Ayah tidak
adanya penyaksi (saksi) dari prajuru dapat dipisahkan dengan anak
adat (kepala adat) sebagai unsur perempuannya; istri selalu mendukung
dari manusa saksi. Inilah yang sering suami dalam segala hal yang sifatnya
disebut sebagai tri upasaksi dalam upacara positif; tatkala anak perempuan berstatus
perkawinan (samskara wiwaha). sebagai seorang Ibu ketika mempunyai
Berdasarkan penelitian pada tahun putra, beliau akan sangat tergantung
pertama yang sudah berlangsung, pada dengan anak laki-lakinya. (3) Peran yang
dasarnya bentuk perkawinan matriarki pada harus dilakoni seorang anak perempuan
masyarakat Hindu Bali sangat dipengaruhi adalah swadharmaning pianak,
oleh tradisi adat dan hukum agama Hindu swadharmaning rabi, swadharmaning
sehingga keberlangsungannya juga rerama.
berdasarkan kesepakatan bersama dari Kajian socio cultural mengenai
masyarakat desa adat setempat. Hasil pandangan masyarakat yang masih perlu
penelitian di tahun pertama menunjukkan diluruskan mengenai bentuk perkawinan
fakta bahwa bentuk perkawinan matriarki matriarki dari segi prosesnya terhadap
yang umumnya terselenggara pada bentuk perkawinan nyentana yang pada
masyarakat Hindu Bali sering diidentikkan dasarnya berbeda dari segi esensinya yang
dengan istilah nyentana (nyeburin) apabila cenderung lempeng ke purusa (laki-laki) dan
dikaji secara sekilas tampak seperti bentuk bukan seperti pemahaman kalangan
perkawinan matriarki yang dijumpai pada masyarakat Bali pada umumnya yang
masyarakat Minang Kabau (Sumatra Barat). cenderung memandang bahwa perkawinan
Hal ini dilihat dari prosesi perkawinannya nyentana cenderung lempeng ke predana
yang menarik masuk pasangan laki-laki ke (perempuan); dan (3) kajian yuridis,
keluarga perempuan dan perempuan yang yurisprudensi MA No. 200K/Sip/1958
memegang peranan penting dalam tentang sistem patriarki yang dianut oleh
kaitannya dengan melanjutkan keturunan masyarakat Hindu Bali dengan tujuan tidak

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 169


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

menimbulkan multi tafsir dari maksud dan tahun berikutnya naskah akademik akan
tujuan keberlakuan hukum itu sendiri menjadi masukan bagi rancangan kebijakan
mengenai bentuk perkawinan matriarki dari
2. Rumusan Masalah segi penerapannya dalam rangka
Berdasarkan latar belakang menunjang pembangunan dan
permasalahan di atas, adapun pemetaan pengembangan hukum adat yang bersifat
terhadap realisasi kebijakan selama populis.
penelitian berlangsung pada tahun pertama
untuk lebih lanjut di tahun kedua, peneliti METODE
mengkaji mengenai terdapat perubahan
atau tidak dari segi paradigma masyarakat, 1. Jenis Penelitian
pelaksanaan kebijakan maupun target Jenis penelitian ini menggunakan
sasaran dari kebijakan yang dirancang. pendekatan yuridis normatif dengan
Maka peneliti merumuskan sejauhmanakah pengkajian hukum adat Hindu Bali dalam
legitimasi secara formal terhadap Putusan menelaah bentuk perkawinan matriarki.
Desa Adat dalam bentuk awig-awig tentang Adanya persepsi yang keliru di kalangan
Perkawinan Nyentana dinilai penting bagi masyarakat antara proses dan esensi
daya ikat masyarakat adat? bentuk perkawinan matriarki perlu
diklarifikasi secara terbuka untuk
3. Tujuan Penelitian memberikan informasi aktual kepada warga
Adapun tujuan penelitian yang ingin masyarakat adat akan pentingnya
dicapai adalah untuk mengetahui legitimasi pemahaman mengenai hak dan kewajiban
secara formal terhadap Putusan Desa Adat setiap individu berdasarkan hukum adat
dalam bentuk awig-awig tentang Hindu sehingga tercipta keselarasan dalam
Perkawinan Nyentana dinilai penting bagi kehidupan bersama.
daya ikat masyarakat adat.Tujuannya agar
terdapat kodifikasi dalam bentuk Sima, 2. Lokasi Penelitian
Perarem, dan Awig-Awig). Pemilihan lokasi peneliti tentukan
secara purposive sesuai dengan kebutuhan
4. Urgensi (Keutamaan Penelitian) penelitian dengan mengambil sampel di
Memberikan sumbangsih terhadap daerah Bali bagian selatan di bandingkan
pembalikan cara berpikir di kalangan dengan Bali bagian utara, serta daerah Bali
masyarakat Hindu Bali bahwa kaum bagian Timur dibandingkan dengan Bali
perempuan juga dapat sebagai penerus bagian Barat. Dalam kaitannya dengan
keturunan dan memperoleh hak terhadap penyelarasan tujuan penelitian maka di
warisan orang tua apabila statusnya sudah tahun ke-2 dengan melihat implementasi
dikukuhkan sebagai putrika (sentana rajeg), dari model rancangan kebijakan di tahun
yaitu anak perempuan yang sudah sebelumnya untuk keberhasilannya perlu
disepakati berdasarkan pauman keluarga adanya studi komparasi antara beberapa
inti maupun keluarga dadia bahwa memang daerah, yaitu (Denpasar dengan Singaraja,
yang bersangkutan memang dipercaya dan Tabanan dengan Karangasem).
sebagai ahli waris dan penerus keturunan
dengan catatan melahirkan anak laki-laki
yang dapat meneruskan keberlangsungan 3. Subjek dan Objek Penelitian
keluarga secara periodik. Pada penelitian ini subjek penelitianya
adalah responden yang dinilai berperan
5. Manfaat Penelitian dengan kajian permasalahan penelitian dan
Adapun manfaat yang diperoleh dinilai berkompeten memberikan informasi
dengan adanya temuan/inovasi penelitian, yang akurat terhadap permasalahan
yaitu berupa model formulasi kebijakan penelitian yang terjadi. Adapun subjek
tentang bentuk perkawinan matriarki penelitian yang dimaksudkan, yaitu: yaitu:
berbasis gender dalam bentuk rancangan (1) pasangan suami istri yang melakukan
naskah akademik untuk mengakomodir perkawinan matrilinial, (2), orang tua dan
paradigma masyarakat yang masih keliru keluarga pasangan suami istri yang
dari segi pemahaman tentang gender dalam melakukan perkawinan matrilinial, (3), tokoh
hukum adat perkawinan Hindu Bali, sebagai agama dan tafsir weda (kitab suci agama
respon terhadap upaya penyebarluasan Hindu), (4) tokoh adat (orang yang dituakan
informasi tentang rancangan model di setiap desa adat), (5) tokoh masyarakat
kebijakan telah ditargetkan pada tahun formal (anggota legislatif, eksekutif, dan
pertama disusun naskah akademik, dan di tokoh pemerintahan daerah lainnya), (6)

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 170


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

tokoh pemuda, (7) anggota masyarakat, (8) sudah lazim pula ditemui bentuk perkawinan
PHDI (organisasi tertinggi agama Hindu) yang sekarang lazim disebut nyeburin. Di
Provinsi Bali. beberapa tempat bentuk perkawinan ini
Sedangkan objek penelitian yang lebih dikenal dengan sebutan nyentana atau
menjadi fokus kajian di tahun kedua adalah: nyaluk sentana (Korn,1978). Dalam bentuk
faktor penyebab di sebagian wilayah perkawinan ini justru suamilah yang
propinsi Bali pernah terjadi penolakan mengikuti istri. Secara sepintas, bentuk
terhadap bentuk perkawinan matriarki; perkawinan ini tampak menyimpang dari
Putusan Desa Adat dalam bentuk awig-awig sistem kepurusa yang menekankan bahwa
tentang Perkawinan Nyentana diupayakan keturunan dilanjutkan oleh keturunan laki-
memeliki legitimasi secara formal; realisasi laki (purusa). Tetapi bila diamati secara
rancangan kebijakan berbasis gender yang seksama, perkawinan nyeburin ternyata
sudah tertuang dalam bentuk naskah tetap konsisten dengan sistem
akademik di tahun pertama dapat kekeluargaan kepurusa sebab dalam
dituangkan ke dalam bentuk hukum positif di perkawinan ini status istri
tahun kedua. adalah purusa karena telah ditetapkan
sebagai sentana rajeg dalam keluarganya.
4. Metode Pengumpulan Data Sentana rajeg (sentana = keturunan,
Dalam pelaksanaannya, peneliti ahli waris; rajeg= kukuh, tegak; karajegang=
mengunakan beberapa alat bantu dikukuhkan, ditegakkan) adalah anak
pengumpulan data, yaitu: (1) wawancara perempuan yangkerajegang sentana yaitu
mendalam, (2) observasi partisipatif, (3) dikukuhkan statusnya menjadi penerus
pencatatan dokumen, (4) kuisioner terbuka keturunan atau purusa. Dalam
dan tertutup, (5) focus groups discussion. Kitab Manawa Dharmacastra
(IX:127), sentana rajeg disebut dengan
5. Analisis Data istilah putrika yang kedudukannya sama
Data yang terkumpul dalam penelitian dengan anak laki-laki, yaitu sebagai pelanjut
ini berupa data kualitatif dan data keturunan dan ahli waris terhadap harta
kuantitatif. Keseluruhan data ini dianalisis orang tuanya (Sudantra,2002a).
dengan menggunakan teknik analisis Bentuk perkawinan matriarki (nyentana)
deskriptif dan statistik sesuai dengan atau nyeburin yang mula-mula berkembang
karakteristik data yang dibutuhkan untuk pada masyarakat Tabanan ini diterima
mengurai masing-masing permasalahan secara luas oleh masyarakat Bali,
penelitian. Miles dan Huberman (1992: 83), khususnya Bali Selatan. Model kawin
mengemukakan bahwa aktivitas dalam nyentana ini menjadi solusi yang mampu
analisis data kualitatif dilakukan secara menyelesaikan persoalan keluarga yang
interaktif dan berlangsung secara terus hanya mempunyai keturunan perempuan.
menerus sampai tuntas. Dalam perkembangan selanjutnya
perkawinan nyentana menjadi alternatif jika
HASIL DAN PEMBAHASAN hanya mempunyai keturunan perempuan.
Legitimasi secara Formal terhadap Aturan dalam perkawinan nyentana
Putusan Desa Adat dalam Bentuk Awig- dengan perkawinan yang lazim dilakukan
Awig tentang Perkawinan Nyentana dalam masyarakat kebanyakan juga sedikit
Dinilai Penting bagi Daya Ikat Masyarakat unik. Dalam perkawinan biasa, lazimnya
Adat seorang lelaki yang melamar seorang gadis
Dalam perkawinan nyentana, seorang untuk dijadikan istrinya. Namun dalam
laki-laki ikut dalam keluarga isterinya, tinggal perkawinan nyentana si gadislah yang
di rumah isteri, dan semua keturunannya melamar si lelaki untuk dijadikan suaminya
mengambil garis keturunan istri. Van Dijk untuk selanjutnya diajak tinggal dirumah
(1991: 35) menulis bahwa laki-laki tadi sigadis. Sementara itu keturunannya akan
‘dilepaskan dari golongan sanaknya dan menjadi milik dan melanjutkan keturunan
dipindahkan ke dalam golongan sanak si keluarga istrinya tadi. Karena konsekwensi
perempuan’. Konsekuensinya, anak yang inilah yang mengakibatkan perkawinan
lahir dari perkawinan nyentana itu akan nyentana banyak ditentang oleh masyarakat
menjadi pewaris dari garis keturunan Bali khususnya yang berada di wilayah
ibunya. “Jadi anggota yang meneruskan Karangasem.
klan bapak mertua,’ tulis Van Dijk. Di tengah penolakan oleh sebagian
Di luar bentuk perkawinan yang umum, masyarakat Bali di wilayah tertentu terhadap
dibeberapa daerah di Bali, terutama perkawinan nyentana, di sisi lain perkawinan
Tabanan, Badung, Gianyar, dan Bangli nyentana justru dilegalkan secara adat.

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 171


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

Banjar Kekeran di Desa Penatahan, melangsungkan perkawinan selain yang


Penebel, Tabanan dijadikan desa model beragama islam, pencatatannya dilakukan
setara oleh sebuah lembaga swadaya oleh pegawai pencatat perkawinan pada
masyarakat (LSM) dan aktivis perempuan di kantor caiatan sipil. Aturan ini kemudian
Bali. Desa ini dinilai memiliki dan dipertegas lagi oleh SK Menteri Daiam
menerapkan hukum adat yang memenuhi Negeri No.221 a tahun 1975, yang
rasa keadilan dan kesetaraan untuk anak menentukan bahwa pencatatan perkawinan
dan perempuan. Berdasakan informasi dari dan perceraian bagi umat Hindu dan Budha
Kepala Dusun Kekeran I Nyoman Sugiartha, dilakukan di kantor catatan sipil.
bahwa pihak perempuan dan laki-laki Ketentuan diatas tentunya menimbulkan
mempunyai hak dan kewajiban setara di persoalan bagi masyarakat Hindu di Bali.
adat dan keluarga. “Leluhur kami sudah Sebab masyarakat Hindu di Bali tidak
memberikan contoh bagaimana hidup melakukan pencatatan perkawinan di kantor
damai, yang penting kesepakatan bersama. catatan sipii, melainkan dicatatkan oleh
Kebiasaan turun temurun ini tidak diketahui Banjar, karena anggota banjar adaiah umat
kapan dimulai. Ikhwal kesetaraan ini karena hindu yang sudah berkeluarga (Astiti, 1981
pemuka adat dan warga fleksibel dengan :6).
aturan pernikahan dan kewajiban adat. Guna mengantisipasi persoalan diatas,
Misalnya, tidak ada perbedaan atau pada tanggal 19 September 1975, Gubernur
diskriminasi ketika nyentana dan menyetujui Kepala Daerah Tingkat I Bali mengeluarkan
konsep Pada Gelahang. Surat Keputusan No.
Tanggapan lain justru datang dari 16/Kesra/IUC/504/1975, yaitu menunjuk
daerah Klungkung, dan Jembrana bahwa para camat seluruh Bali sebagai pencatat
daerah tersebut tidak melazimkan bentuk perkawinan untuk umat Hindu dan Budha.
perkawinan nyentana (matriarkhi secara Pada tanggal 1 Oktober 1988, SK ini
proses), bahkan kalaupun dalam keluarga diganti dengan SK Gubernur Kepala Daerah
tidak memiliki keturunan laki-laki, pihak Tingkat I Bali No.241 tahun 1988 yang
keluarga dapat mengambil alternatif dengan isinya menunjuk para penyuluh agama
menunjuk pihak keluarga sampingan dari Hindu di tingkat kecamatan, Bendesa Adat /
garis keturunan purusa (laku-laki) untuk Kelian Adat sebagai pegawai pembantu
bertindak selaku ahli waris atau dengan pencatat perkawinan.
jalan mengangkat anak dengan prosesi Kemudian tanggal 1 Januari 1990
upacara adat. Sedangkan di daerah berlaku SK Gubemw Kepala Daerah Tingkat
kabupaten Buleleng bentuk perkawinan I Bali No.233 tahun 1990, yang sekaligus
menyerupai perkawinan nyentana (matriarki mengganti SK No.241 tahun 1988. Materi
secara proses) dijumpai hanya saja masih SK Gubernw No.233 tahun 1990 adalah
bisa dihitung dengan jari. Dilangsungkannya menunjilk kepala utusan pemerintahan
bentuk perkawinan ini tidak diketahui secara kecamatan, Bendesa Adat / Kelian Adat di
jelas pihak siapa saja yang menyetujuinya tingkat desa di propinsi Bali sebagai
karena aparatur desa adat maupun desa pembantu pegawai pencatatan perkawiann
dinas hanya hadir sebagai saksi dan juru bagi umat hindu Warga Negara Indonesia di
catat dalam pendaftaran perkawinan. wilayahnya masing-masing.
Apabila terjadi konflik di kemudian hari Dalam kaitannya dengan sahnya
status hukum dan pewarisan tidak diketahui perkawinan ini, masyarakat Bali sebenarnya
secara pasti siapa pihak yang turut andil tidak mengenal istilah demikian (sah). Yang
berkontribusi untuk membantu dikenal untuk mengakui perkawinan adalah
penyelesaiannya. Jaminan status hukumnya istilah puput (selesai). Dalam hal ini bahwa
lemah karena masyarakat secara mayoritas sahnya perkawinan menurut hukum adat
masih menganut sistem perkawinan patriarki Bali sukar ditunjukkan dengan suatu
di daerah tersebut. kejadian (peristiwa) saja karena untuk
Menyangkut ketentuan pencatatan sahnya perkawinan tersebut perlu dilalui
perkawinan ini, memang masih memerlukan rangkaian kejadian yang makin lama makin
penjelasan untuk dapat diberlakukan tumbuh untuk menyempurnakan kedudukan
disemua wilayah hukum Indonesia yang suami isteri yang bersangkutan. Akta
secara nyata masing-masing daerah perkawinan dan pencatatan perkawinan
memiliki budaya yang secara nasional juga bukanlah merupakan tanda sahnya
diakui dan dihormati seperti ketentuan pasal perkawinan, tetapi hanyalah sebagai bukti
2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No.9 tahun otentik perkawinan, dan fungsi pencatatan
1975 yang mengatur tentang pencatatan hanyalah bersifat administratif saja.
perkawinan bagi mereka yang

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 172


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

Gede Pudja juga mengemukakan hukumnya dengan keluarga asalnya


bahwa suatu perkawinan menurut hukum selanjutnya masuk dalam
hindu adalah sah apabila dilakukan menurut keluarga kepurusa istrinya. Dengan
ketentuan agama, bukan pada tata demikian keturunan dalam
administratif, tetapi untuk kepastian hukum, keluarga kepurusa itu tetap dilanjutkan oleh
administratif itu diperlukan sebagai alat anak yang berstatus purusa.Anak yang lahir
pembuktian yang kuat. Walaupun itu fl dari perkawinan ini berkedudukan hukum
akukan mendahului pengesahan dalam keluarga ibunya, sehingga
perkawinan, menurut hukum Hindu yang menunaikan kewajiban (swadharma) dan
dicatat bukanlah perkawinannya tetapi akan mendapatkan haknya (swadikara) dalam
dilakukan perkawinan dan ini tidak keluarga ibu.
menjamin bahwa perkawinan itu akan Ciri yang menunjukkan bahwa bentuk
dilakukan sah menurut agama perkawinan tersebut
Di dalam membicarakan perkawinan adalah nyeburin bukanlah semata-mata
belum lengkap apabila belum dibicarakan karena suami (umumnya) tinggal di rumah
tentang agama hindu, baik yang keluarga istri, melainkan lebih dapat dilihat
berhubungan dengan perkembangan hindu dari fakta bahwa upacara pengesahan
di Indonesia dan perkawinan di Bali. Kedua perkawinan (pasakapari) dilaksanakan di
hal itu erat sekali sangkut pautnya, untuk rumah keluarga mempelai perempuan dan
memperdalam pengertian tentang agama keluarga mempelai perempuanlah yang
hindu itu harus disertai dengan adanya mengantarkan sajen-sajen pemelepehan
pemeluk agama yang terpusat pada suatu (jauman) ke rumah keluarga mempelai laki-
pulau, yaitu Bali. Orang-orang Bali yang laki sebagai sarana untuk melepaskan
beragama hindu tersebar agak luas di hubungan hukum mempelai laki-laki
Indonesia, maka sumber aktivitas kehidupan terhadap keluarga asalnya (Panetja,1986).
agama ini masih terpusat di Bali. Bila disini Beberapa orang menganggap bahwa
akan dibicarakan mengenai perkawinan bentuk perkawinan nyeburin ini sebagai
matriarki dari segi proses (nyentana), maka penghargaan terhadap perempuan Bali
pembicaraan itu terbatas dalam soal-soal karena dengan diangkat statusnya
yang erat hubungannya dengan agama sebagai sentana rajeg, perempuan yang
Hindu. kawin kaceburin sekaligus menjadi ahli
Agama Hindu telah tumbuh dan waris dari harta orang tuanya. Dikaitkan
berkembang dalam proses perkawinan yang dengan pewarisan, barangkali pandangan
harmonis, yang awal mulanya masih samar- tersebut ada benarnya karena anak
samar yang makin lama makin terdapat perempuan yang semula bukan sebagai ahli
corak yang lebih hingga sampai sekarang waris dapat menjadi ahli waris terhadap
ini. Pertumbuhannya ini erat sekali dengan harta orang tuanya. Tetapi dalam kasus
perkembangan perkawinan nyentana pada tertentu, sesungguhnya pandangan tersebut
masyarakat di Bali, yang dipengaruhi oleh tidak sepenuhnya benar, terutama jika
sistem kekebaratan condong ke purusa. Di dikaitkan dengan kebebasan anak
dalam perkawinan pada Undang-Undang perempuan dalam memilih jodoh. Akibat dari
No. l Tahun 1974 mengalami proses transisi tangungjawabnya yang akan ditetapkan
dalam lapangan agama Hindu, sehingga sebagai sentana rajeg yang harus ”tinggal di
penyelarasan bentuk perkawinan dengan rumah” ia harus berhati-hati jatuh cinta pada
sistem kekerabatan di Bali terus laki-laki, karena ia mesti menyelidiki dan
berkembang. memastikan terlebih dahulu bahwa laki-laki
Di dalam agama Hindu dikenal pula yang mendekatinya mau nyentana. Di jaman
tentang aturan adat. Adat dalam suatu di mana banyak keluarga melaksanakan
agama Hindu adalah mutlak, perlu, keluarga berencana dengan semboyan ”dua
fungsional. Fungsionalnya karena adat anak cukup, laki-perempuan sama saja”,
bertujuan mengadakan pembaharuan- tentu saja cukup sulit menemukan laki-laki
pembaharuan di lapangan kerohanian yang besedia nyentana. Dengan demikian,
masyarakat di Bali. Persoalan adat di dalam perempuan itu bisa ”terpenjara” dengan
agama Hindu salah satunya terpusat pada statusnya sebagai sentana rajeg.
bentuk perkawinan di Bali, hakekat hidup, Ketua Majelis Desa Pekraman (MDP)
dan merupakan aturan adat dari masa ke Tabanan, Suartanayasa, mengatakan
masa. kemampuan tokoh adat Desa Kekeran
Dalam bentuk perkawinan nyentana ini, adalah contoh baik memengaruhi
suami yang berstatus kepercayaan masyarakat. “Awig-awig atau
sebagai pradana dilepaskan hubungan peraturan adat juga harus memperhatikan

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 173


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

hak perempuan dan anak dan hak asasi Perempuan yang pulang kembali ke rumah
manusia” . asalnya setelah bercerai, diterima kembali
MDP Tabanan baru menyosialisasikan oleh keluarga asalnya dengan status mulih
hasil Pasamuan Agung III Majelis Utama daa. Begitu juga laki-laki yang pernah kawin
Desa Pekraman (MUDP) ini ke 150 desa nyentana. Laki-laki kembali ke rumah
pakraman dari 346 desa pakraman yang asalnya dengan status mulih taruna. Untuk
dimiliki oleh Kabupaten Tabanan. Sejumlah seterusnya mereka akan melaksanakan
hasil Pasamuhan MUDP Bali akhir tahun kewajiban dan memunyai hak di keluarga
lalu menghasilkan keputusan khusus soal asal lagi.
hak perempuan dan anak dalam hukum Ni Nengah Budawati, Direktur
adat Bali. Lembaga Bantun Hukum Asosiasi
Sosialisasi putusan ini di Tabanan Perempuan untuk Keadilan (LBH APIK) Bali
dilakukan dengan pelatihan kader mengatakan Banjar Kekeran telah memberi
pendidikan budaya tentang gender. contoh berjalannya rasa keadilan dan
Sasarannya ibu-ibu PKK. Dua desa, yakni kesetaraan. Tidak saja awig-awignya yang
Penebel dan Kediri, menjadi proyek mendukung, tapi tokoh adat juga berperan.
percontohan tentang pendidikan gender. “Perkawinan pada gelahang dan nyentana
Tujuan bahwa pendidikan gender menjadi hal biasa,” tegasnya. Bagi
dimasukkan ke dalam dunia pendidikan perempuan berkasta yang menikah dengan
melalui bidang studi atau ektrakurikuler agar laki-laki biasa, tambahnya, tidak mendapat
generasi muda paham apa perannya di hukuman dan diskriminasi seperti ritual
masyarakat. Untuk menghilangkan Patiwangi.
ketakutan anak-anak muda Bali pada adat. Ajaran agama dan aturan adat
Ida Ayu Adnya Ningsih, seorang guru mempunyai jalinan yang sangat erat. Dasar
mengaku setuju jika masalah adat segera dari aturan di dalam agama Hindu ialah di
dimasukkan dalam pendidikan. “Agar siswa dalam praktek kehidupan yang sewajarnya
sedari dini mengetahui bagaimana harus diikuti dan dipakai sebagai pedoman
sebenarnya hukum adat Bali yang juga yang mutlak. Ajaran agama hindu sangat
menghormati hak perempuan,” ujarnya. perlu bagi kehidupan individu dan
Menurutnya, pengenalan adat termasuk masyarakat Bali, sebab ia merupakan
pendidikan karakter bangsa yang bisa benang merahyang menuntun kehidupan
diimplementasikan pada semua bidang individu dan masyarakatnya ke arah
studi. Pengurus Harian MUDP Bali I Ketut keserasian tindakan dan tingkah laku.
Sudantra mengatakan, adat Bali sudah Tanpa adanya adat di dalam suatu
mengakomodir suara perempuan. Dalam kehidupan masyarakat, maka akan
Pasamuan Agung III MDP Bali 15 Oktober mengalami bencana dan kehancuran.
2010 telah diputuskan perkawinan pada Ditinjau dari segi agama, maka adat itu tidak
gelahang dapat diterima, sebagai jalan lain dari pada materialisasi keagamaan di
keluar bagi keluarga yang punya anak dalam tingkah laku penganutnya.
tunggal, baik laki-laki saja atau perempuan. Perkawinan nyentana didasarkan
Perkawinan pada gelahang juga bisa dipilih pada kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di
sebagai alternatif perkawinan nyentana. daerah setempat dan pada hukum agama
Semuanya tergantung kesepakatan Hindu, seperti yang di kemukakan oleh
bersama antara pasutri yang akan menikah Soeripto dalam tulisannya bahwa : Hadat
dan keluarga masing-masing. adalah hukum asli Indonesia, yang pada
Ritual patiwangi, yaitu jenis hukuman umumnya tidak tertulis, yang memberi
berat yang bisa mencabut hak perempuan di pedoman kepada sebagian besar orang-
keluarganya sendiri. Oleh karenanya ritual orang Indonesia dalam kehidupannya
patiwangi yang merendahkan harkat dan sehari-hari, dalam hubungannya antara
martabat perempuan juga ditinggalkan. yang satu dan yang lain baik di kota-kota
Pasamuan Agung III MDP juga memutuskan maupun dan lebih-lebih di desa-desa, yaitu
hak dan kewajiban suami istri. Jika terjadi hukum yang didasarkan atas hukum melayu
perceraian perempuan mendapatkan hak Polinesia ditambah dengan disana-sini
atas harta guna kaya, sebanyak sepertiga hukum agama.
dari harta bersama. Hukum adat juga Apabila perselisihan mengenai
mengizinkan ibu tetap mengasuh anaknya perkawinan nyentana tidak dapat
tanpa menutuskan hubungan dengan diselesaikan secara musyawarah, maka
bapaknya selaku purusa. Asal tetap masyarakat akan membawa perkaranya ke
menjaga hubungan baik antara anak depan pengadilan desa adat. Pengadilan
dengan ayah dan keluarga besar ayahnya. desa adat adalah pengadilan rakyat yang

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 174


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

terbuka, dan masyarakatlah yang laki-laki yang mengawini anak perempuan


menjatuhkan hukuman terhadap pelanggar tersebut statusnya sebagai anak
yang bersangkutan. perempuan. Jadi dalam perkawinan ini si
Menurut masyarakat hukum adat suami masuk kedalam kasta isterinya dan
yang ditentukan oleh faktor genealogis atau keluar dari ikatan kekeluargaan asalnya.
hubungan darah, ada 3 macam yaitu : Perkawinan Menurut UU No 1 Tahun 1974
1. Hubungan darah menurut garis laki-laki. tentang Perkawinan, yang disebut
2. Hubungan darah menurut garis Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
perempuan. seorang pria dengan wanita sebagai suami
3. Hubungan darah menurut garis Ibu dan istri untuk membentuk keluarga yang
Bapak. bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Hubungan darah menurut garis laki- Yang Maha Esa. Jenis perkawinan yang ada
laki, dimana kedudukan pria lebih menonjol juga beragam yang secara umum dibagi dua
pengaruhnya dari kedudukan wanita di yakni perkawinan biasa dan perkawinan
dalam pewarisan. Kalau hubungan darah nyentana. Kalau melakukan perkawinan
menurut garis perempuan, dimana biasa yakni logisnya pria meminang wanita
kedudukan wanita lebih menonjol untuk dijadikan istri tidak akan bermasalah.
pengaruhnya dari kedudukan pria di dalam Jenis perkawinan berikutnya yakni nyentana
pewarisan, sedangkan hubungan darah atau nyeburin di mana pria dipinang wanita.
menurut garis Ibu dan Bapak, dimana Jenis perkawinan inilah yang banyak
kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan menimbulkan masalah. Dalam perkawinan
di dalam pewarisan. ini, wanita berstatus sebagai Sentana Rajeg
Susunan masyarakat hukum adat Bali yang akan melanjutkan keturunannya.
adalah berdasarkan keturunan laki-laki atau Dalam masyarakat Hindu Bali, anak laki-laki
Bapak (saking kepurusa). Pada umumnya memang mempunyai nilai penting dalam
disebut dengan istilah tunggal sanggah, melanjutkan keturunan. Karena, anak laki-
tunggal dadya, atau tunggal kawitan. Istilah lakilah yang akan mewarisi adat maupun
tersebut berarti suatu kekeluargaan yang melanjutkan ‘’sidikara’’ dalam masyarakat.
mempunyai ketunggalan bapak leluhur dan Hal ini berbeda dengan anak perempuan
arwahnya selalu dipuja dalam tempat yang tidak memiliki kewajiban seperti anak
pemujaan yang berupa sanggah atau laki-laki. Akibatnya, keluarga yang tidak
merajan, pura dadya dan pura kawitan. memimiki anak laki-laki akan berusaha
Hukum adat Bali yang berkewajiban untuk mencari sentana untuk melanjutkan
menyelenggarakan upacara-upacara adat keturunannya.
serta upacara. pengabenan terhadap orang Hasil penelitian menunjukkan bahwa
tua yang meninggal dan mengurus harta putrika merupakan proses perubahan status
kekayaan adalah anak laki-laki. Demikian dan kedudukan perempuan secara adat
halnya pada pihak keluarga yang untuk menjadi laki-laki walaupun secara
melaksanakan perkawinan nyentana biologis masih tetap merupakan perempuan.
keseluruhan kewajiban di atas dibebankan Sehingga perempuan putrika memiliki
kepada perempuan yang menyandang kedudukan dan kewajiban sebagai : (1)
status putrika. Sebagai laki-laki dalam keluarga dalam hal
Adapun maksud perkawinan nyeburin menentukan keluarga. (2) Ahli waris bagi
tersebut adalah untuk memasukkan calon keluarga. (3) Penerus keturunan keluarga.
suami itu kedalam kasta calon isteri dan (4) pengurus keluarga. (5) Menjadi anggota
menganggap seolah-olah ia sebagai desa adat yang memiliki hak dan kewajiban
perempuan, sedangkan calon istri sebagai yang sama. (6) Meneruskan tradisi yang
laki-laki. Hal ini disebabkan karena dalam telah diwariskan keluarga. (7) Membina
masyarakat hukum adat Bali dan anak laki- keutuhan keluarga.
laki merupakan penerus keturunan otang Menurut Manawa Dharmasastra,
tuanya. Apabila sa.tu keluarga hanya perkawinan nyentana sah. Pada azasnya,
mempunyai anak perempuan saja, maka sistem kekerabatan dalam masyarakat Bali
agar ada yang meneruskan keturunan orang menganut sistem Patrilineal. Di mana,
tuanya, anak perempuan itu akan keturunan yang dilahirkan mengikuti
dikawinkan secara nyeburin sehingga tidak keluarga pihak ayahnya. Tujuan perkawinan
ada pembayaran jujur. secara kasat mata hanya untuk melanjutkan
Perkawinan nyeburin seperti sudah keturunan suatu keluarga (dinasti). Masalah
disebut diatas status anak parempuan yang akan timbul manakala suatu keluarga tidak
di tingkatkan menjadi anak laki-laki disebut memiliki anak laki-laki sebagai penerus
sentana rajeg atau sentana luh dan anak keturunan. Sehingga, untuk menghindari

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 175


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

keputungan keluarga (putusnya keturunan) perlu, fungsional. Fungsionalnya karena


keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki adat bertujuan mengadakan pembaharuan-
ini akan menetapkan salah seorang anak pembaharuan di lapangan kerohanian
perempuannya sebagai sentana rajeg masyarakat di Bali.
(statusnya ditingkatkan menjadi laki-laki 5.2 Saran
yang akan mewarisi milik orang tuanya). Jika bentuk perkawinan nyentana
Dalam agama Hindu, tidak ada sloka (matriarki dari segi proses) pada masyarakat
atapun pasal yang melarang perkawinan Hindu Bali tidak dilandasi dasar hukum yang
nyentana. Karena pihak keluarga laki-laki kuat akan menimbulkan berbagai persoalan
akan dianggap tidak memiliki harga diri. yang berkaitan dengan status, kedudukan,
Kitab Manawa Dharmasastra sebagai dan tangungjawab masing-masing pihak.
sumber hukum positif yang berlaku bagi Hendaknya perkawinan tersebut memenuhi
umat Hindu secara tegas menyebutkan syarat-syarat yang telah ditetapkan sesuai
mengenai status anak wanita yang dengan ketentuan peraturan perundang-
ditegakkan sebagai penerus keturunan undangan dan aturan adat yang berlaku.
dengan sebutan Putrika (perempuan yang Konskwensinya pihak desa Adat maupun
diubah statusnya menjadi laki-laki). Sloka pemerintah daerah dalam menetapkan
127 kitab tersebut secara gamblang kebijakan harus tetap memperhatikan
menyebutkan ‘’Ia yang tidak mempunyai kaidah hukum adat yang memperhatikan
anak laki-laki dapat menjadikan anaknya hak-hak perempuan Bali dalam kerangka
yang perempuan menjadi demikian (status kesetaraan gender.
lelaki) menurut acara penunjukan anak
wanita dengan mengatakan kepada DAFTAR PUSTAKA
suaminya anak laki-laki yang lahir Sumber Buku:
daripadanya akan melakukan upacara Aditjondro, G. 2003. Gerakan Anti-
penguburan’’. Dari uraian sloka tersebut, Penggusuran Tanah serta Implikasi
jelaslah bahwa perkawinan nyentana Politiknya. Makalah. Disampaikan
dibolehkan. Lelaki yang mau nyentana inilah dalam Seminar Yayasan Haumaini
yang disebut Sentana. Dengan demikian, di SoE, Timur, Tengah, Selatan,
argument yang mengatakan pelarangan NTT 27 Juni s/d Juli 2003.
terhadap perkawinan nyentana harus Anom, Ida Bagus. 2010. Perkawinan
dipandang tidak beralasan karena tidak Menurut Adat Agama Hindu.Bali:
memiliki dasar hukum yang jelas. Demikian Cet, CV Kayumas Agung, Denpasar.
halnya dengan pembagian warisan dalam Astiti Putra Tjok Istri. 1981 Perkawinan
perkawinan Nyentana. Dalam Cloka 132 Menurut Hukum Adat dan Agama di
Manawa Dharmasastra disebutkan, ‘’Anak Bali. Biro Dokumentasi dan
dari wanita yang diangkat statusnya menjadi Publikasi FH dan PM, Denpasar.
laki-laki sesuangguhnya akan menerima Artadi, I Ketut. 2007. Hukum Adat Bali. Bali:
juga harta warisan dari ayahnya sendiri Harian Pustaka Bali Post.
yang tidak berputra laki-laki (kakek). Ia akan Benny H. Hoed. 2007. 'Derrida VS
menyelenggarakan Tarpana bagi kedua Strukturalisme De Saussure' dalam
orang tuanya, maupun datuk Majalah BASIS No.11- 12,
ibunya’’.Selanjutnya Sloka 145 November-Desember 2007.
menyebutkan’’Anak yang lahir dari wanita Bernard Raho. 2007. Teori Sosiologi
yang statusnya ditingkatkan akan menjadi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka
ahli waris seperti anak sendiri yang sah Publisher.
darinya. Karena hasil yang ditimbulkan Chidir Ali. 1981. Hukum Adat Bali dan
adalah untuk dari pemilik tanah itu menurut Lombok dalam Yurisprudensi
UU’ Indonesia. Jilid 1. Jakarta: Pradnya
Paramita.
SIMPULAN DAN SARAN Hilman Hadikusuma. 1990. Hukum
1. Simpulan Perkawinan Indonesia Menurut
Di dalam perkawinan pada Undang- Perundangan, Hukum Adat, Hukum
Undang No. l Tahun 1974 mengalami Agama. Bandung: Mandar Maju.
proses transisi dalam lapangan agama Korn, V.E. 1972. Hukum Adat Waris di Bali.
Hindu, sehingga penyelarasan bentuk Terjemahan I Gede Wajan Pangkat.
perkawinan dengan sistem kekerabatan di Fakultas Hukum dan Pengetahuan
Bali terus berkembang.Di dalam agama Masyarakat Universitas Udayana.
Hindu dikenal pula tentang aturan adat. Adat Lasmawan, W. 2002. Sasih Nembelas
dalam suatu agama Hindu adalah mutlak, sebagai Lembaga Desa Adat dalam

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 176


P-ISSN: 2303-2898 Vol. 6, No. 2, Oktober 2017

Pemerintahan Desa Tradisional


Bali.Laporan Penelitian. Singaraja: Sumber Perundang-Undangan:
FKIP UNUD. Departemen Dalam Negeri Propinsi Daerah
Lewis Coser . 1956. The Function of Social Tingkat I Bali, Pedoman
Conflict. New York: Free Press. Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974
Miles dan Huberman. 1992. Analisis Data dan Peraturan Pemerintah No. 9
Kualitatif Buku Sumber Tentang Tahun 1975 Bagi Umat
Motode-Metode Baru. (Tjejep Hindu/Budha di Bali.
Rohendi Penerjemah). Jakarta : UI
Press. Sumber Media Cetak:
Mr. B. Ter Haar. 1991.Asas-Asas dan Harian Umum Nusa, tanggal 04 Pebruari
Susunan Hukum Adat. Terj. K. Ng. 20011
Soebakti Peosponoto. Cet-10. Harian Umum Nusa, tanggal 05 Pebruari
Jakarta: Pradnya Paramita. 20010
Nezar Patria. 1999. Antonio Gramsci Bali Post, 10 Januari 2010
Negara & Hegemoni. Yogyakarta : Bali Post, 27 Januari 2012
Pustaka Pelajar. Bali Post, 20 Mei 2011
Pudja, Gede, Tjokorda Rai Sudharta. Tokoh Edisi, 19 Mei 2013
Manava Dharmasastra. Surabaya:
Paramita (MDS.III.27 s/d 34). Sumber Internet:
R. Soebekti. 1991.Hukum Adat Indonesia https://saripuddin.wordpress.com/fungsionali
dalam Yurisprudensi Mahkamah sme-struktural-talcott-parsons/
Agung. Bandung: Alumni. https://id.wikipedia.org/wiki/Talcott_Parsons
Soekanto. 1958. Meninjau Hukum Adat https://id.wikipedia.org/wiki/Feminisme
Indonesia. Jakarta: Geroengan. http://fh.unram.ac.id/wp-
Suyatna, G. 1982. Ciri-ciri Kedinamisan content/uploads/2014/05/JURNAL-
Kelompok Sosial Tradisional dan ILMIAH.pdf
Peranannya dalam Pembangunan. http://valasiseng.blogspot.com/2009/10/teori
Disertasi. Bogor: Fak. Pertanian IPB -hegemoni-gramsci.html
Van Dijk. Pengantar Hukum Adat Indonesia. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5
Terj. A. Soehardi. Cet-3. Bandung: 36e24137294b/kedudukan-hukum-
Vorkink-Van Hoeve Bandung-‘S perkawinan-
Gravenhage, tanpa tahun. %E2%80%98nyentana%E2%80%9
Wiyana, K. 2003. Palinggih di Pamerajan. 9-di-bali
Denpasar: Upada Sastra. http://underground-
Windia. 2008. Bias Gender: Perkawinan paper.blogspot.com/2013/04/feminis
Terlarang Pada Masarakat Bali. me-di-indonesia.html
Denpasar: Udayana University http://irapurwitasari.blog.mercubuana.ac.id/a
Press. uthor/hegemoni-budaya/Cook, Guy.
.............. 1997. Tanya Jawab Hukum Adat 1997. Discourse. Oxford: Oxford
Bali. Denpasar: Upada Sastra. University Press.

Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora | 177

Anda mungkin juga menyukai