Anda di halaman 1dari 7

TUGAS : MATA KULIAH SEJARAH HUKUM DOSEN : Prof. Dr. IBRAHIM. R. SH.

MH

OLEH : I WAYAN BUDHIYASA NIM : 0990561037

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2009
Latar Belakang Masalah.

Menurut Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Bali yang memiliki adat istiadat/budaya yang sangat melekat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakatnya yang sebagain besar beragama hindu sebagai roh dari budaya Bali. Dalam ajaran agama Hindu mengenal dengan istilah grehasta asrama yang merupakan tahapan kedua dalam catur asrama yaitu bersatunya laki-laki dengan wanita untuk berumah tangga. Awal dari suatu kehidupan berumah tangga yaitu terselenggaranya prosesi upacara pernikahan atau yang sering disebut dengan pawiwahan, bersatunya antara seorang laki-laki dengan wanita sebagai cikal bakal sebuah kehidupan baru yang diawali dengan perkawinan. Dengan demikian perkawinan menurut pandangan Agama Hindu bukanlah sekedar legalitas hubungan biologis semata tetapi merupakan suatu peningkatan nilai berdasarkan hukum agama, karena upacara perkawinan (wiwaha samkara) adalah sakralisasi peristiwa kemanusiaan. Dalam masyarakat Bali ada beberapa jenis upacara pawiwahan yang disesuaikan dengan desa,kala, patra yaitu perkawinan ngerorod, perkawinan mepadik, perkawinan jejangkepan, perkawinan nyangkring, perkawinan ngodalin, perkawinan tetagon, perkawinan nunggahin dan perkawinan melegandang. Umumnya perkawinan di Bali dimana pihak laki-laki (purusa) memiliki peranan yang sangat besar dibandingkan dengan pihak wanita ( predana). Sementara dalam

Kitab Manawa Dharmasastra yang memuat tentang ajaran-ajaran dan asas hukum Hindu pada buku III. 27-34 menjelaskan ada delapan jenis perkawinan yaitu :

Brahma Wiwaha, Daiwa Wiwaha, Arsha Wiwaha, Prajapati Wiwaha, Gandarwa Wiwaha, Asura Wiwaha, Paisaca Wiwaha dan Raksasa Wiwaha. Dari delapan jenis perkawinan menurut kitab Manawa Dharmasastra ada tiga jenis perkawinan yang dilarang untuk diterapkan salah satunya adalah raksasa wiwaha karena Perkawinan yang dimaksud tersebut merupakan perkawinan yang dilakukan dengan kekerasan yang sudah barang tentu tidak sesuai lagi dengan

perkembangan jaman, bertentangan dengan hukum serta mengingkari dari tujuan sebuah perkawinan yaitu untuk membentuk sebuah kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal seperti halnya dalam pasal 6 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bahwa : Ayat (1) Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai. Ayat (2) Untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umun 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Sehingga dengan demikian raksasa wiwaha (kawin melegandang) yang ada dalam kitab Manawa Dharmasastra sudah tidak relefan dan tidak dapat diterapkan dalam pelaksanaan perkawinan dalam masyarakat Bali.

Pembahasan. a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Sebagaimana diketahui bersama bahwa tujuan sebuah perkawinan adalah untuk untuk membentuk sebuah kehidupan rumah tangga yang bahagia dan kekal . Dengan demikian bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta citacita untuk pembinaan hukum nasional perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut menyatakan bahwa : Pasal 1 : Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa : Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Walaupun dalam undang undang tersebut telah diakui bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu yang didalam agama hindu perkawinan dinyatakan sah adalah adanya proses upacara yang disebut mebiyakaonan (mekala kalaan), namun perkawinan melegandang (raksasa wiwaha) tidak sesuai dengan falsafah Pancasila dan cita cita hukum nasional yang sudah barang tentu perlu dilakukan adaptasi dan perubahan terkait dengan jenis perkawinan yang ada dalam kitab Manawa Dharmasastra sebagai ajaran dan asas hukum Hindu. b. Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia Pada jaman modern dan globalisasi seperti sekarang peranan orang tua sudah tidak begitu dominan dalam menentukan jodoh putra putrinya, dimana 4

anak-anak

sekarang

menentukn

jodohnya

sendiri.

Raksasa

wiwaha

(perkawinan melegandang) sebagai salah satu jenis perkawinan yang ada dalam kitab yang berisikan asas dan ajaran-ajaran hukum Hindu yaitu Manawa Dharmasastra, merupakan jenis perkawinan yang sifatnya

memaksakan kehendak dimana pihak laki-laki melakukannya dengan jalan kekerasan sudah tidak sesuai dengan perkembangan jaman sehinggga tidak dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat Bali. Dalam bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) No 10/Tap/M Sabha/PHDI/1978, tanggal 6 Juli 1978 menyatakan bahwa raksasa wiwana (perkawinan melegandang) telah dilarang untuk diterapkan, hal

tersebut sudah tidak sesuai dengan dharma agama dan dharma negara, bertentangan dengan falsafah negara dan hukum nasional yaitu perbuatan melanggar hukum yang mengarah pada kasus hukum yaitu sebagai wujud kekerasan pada perempuan dan diancam pidana. Suatu perkawinan dilakukan untuk membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri. Dalam kitab Manawa Dharmasastra disebutkan dalam buku IX. 102 sebagai berikut : Tatha nityam yateyatam stripumsau tu kritkriyau, yatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendak melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain. c. Jaman Penjajahan Belanda. 5

Setelah jaman dharma sastra pasangan pengantin tidak lagi ditentukan oleh rsi namun ditentukan oleh raja atau orang tua dengan pertimbangan seperti menjaga martabat keluarga, kekayaan dan lain-lain. Perkawinan melegandang (raksasa wiwaha) sebagai salah satu jenis perkawinan yang ada dalam kitab manawa dharmasastra pada jaman penjajahan sudah tidak diterapkan dan dilarang untuk dilakukan. Dalam Pesuara 1910 diubah serta diperbaiki tahun 1927 menyatakan bahwa perkawinan melegandang (raksasa wiwaha) adalah perkawinan yang dilarang dengan mengancam perkawinan tersebut dengan pidana penjara 3 tahun, sementara pada praktek peradilan Raad Kerta, perkawinan

melegandang dijatuhi hukuman pidana yang cukup tinggi karena merusak kehormatan wanita. d. Dalam kitab Menawa Dharmasastra. Pada jaman weda perkawinan ditentukan oleh seorang rsi yang mampu melihat secara jelas cocok atau tidak cocoknya pasangan pengantin. Dalam Kitab Manawa Dharmasastra buku III. 27-34 menjelaskan ada delapan jenis perkawinan yang terbagi menjadi dua golongan yaitu : a. Golongan pertama yaitu : Brahma Wiwaha, Daiwa Wiwaha, Arsha Wiwaha, Prajapati Wiwaha, Gandarwa Wiwaha. b. Golongan kedua yaitu : Asura Wiwaha, Paisaca Wiwaha dan Raksasa Wiwaha. Dari golongan perkawinan tersebut maka golongan perkawinan yang kedua diantaranya raksasa wiwaha dilarang untuk dilakukan bagi kasta brahmana, ksatria dan wesya karena tidak sesuai dengan derajat kehidupan mereka. 6

Dalam kitab Manawa Dharmasastra buku III. 33 berbunyi Hatwa chitwa ca bhattwa ca krocatim rudatim grihat, prasahya kanya haranam raksaso widhi rucyate melarikan seorang gadis dengan paksa dari rumahnya dimana wanita berteriak-teriak menangis setelah keluarganya terbunuh atau terluka, rumahnya dirusak, dinamakan perkawinan raksasa. Namun bagi golongan sudra jenis perkawinan ini diperbolehkan untuk dilakukan. Namun dari penjelaan diatas bahwa tidaklah dapat diperlakukan sepenuhnya tanpa mengadakan adaptasi dan perubahan menurut waktu dan tempat seperti di negara kita.

Anda mungkin juga menyukai