Anda di halaman 1dari 23

Home

About Me

Dharmavada
Pembawa Pesan Kebenaran & Kebajikan

July 28, 2009

IDEALNYA PERKAWINAN HINDU


Posted by dharmavada under susila
[28] Comments

IDEALNYA PERKAWINAN

I Wayan Sudarma (Shri Danu D.P)-Bekasi

1. Pengertian pawiwahan

Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar
wiwaha. Dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari
bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1997:1130).

Pengertian pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda
sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian pawiwahan tersebut antara lain:

1. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 dijelaskan pengertian


perkawinan yang berbunyi:

Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.

1. Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan
sebagai berikut: Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan
seorang perempuan untuk waktu yang lama(Subekti, 1985: 23).
2. Wirjono Projodikoro, Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria
dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara
(Sumiarni, 2004: 4).
3. Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes
mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu
kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. tentang pranata sosial
untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis,
ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia,
semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
4. Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga,
masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan
Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh
keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat. Perkawinan
menurut hukum Adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita
sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta
membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan
hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami.
Bukan itu saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya
menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah
meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan
secara Adat mengunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka.
(Sumiarni, 2004:4).
5. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu
I-XV dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan sekala niskala (lahir bathin) antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi) (Parisada Hindu Dharma Pusat,
1985: 34).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka penulis dapat menyimpulkan


bahwa: pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan niskala ) antara seorang pria dan
wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara,
Agama dan Adat.

1. Tujuan wiwaha menurut Agama Hindu

Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga
mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah
menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-
masing telah menyadari perannya masing-masing.

Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai
naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda
seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan
peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava
dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:

Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah

Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah

Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan.
Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami
dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).
Menurut I Made Titib dalam makalah Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada
keluarga disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3
hal yaitu:

1. Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang


meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yaja , sebab di
dalam grhastalah aktivitas Yaja dapat dilaksanakan secara sempurna.
2. Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat
dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yaja dan lahirnya putra yang suputra
seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada
Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
3. Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan
lainnya (Artha dan kama) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.

Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah
untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Sesuai dengan undang-undang
perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan
dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka
dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah
terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut
disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102 sebagai berikut:

Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,

Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah

Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus
dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri.

Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,

Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram

Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan
dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar
kesetiaan antara satu dengan yang lain (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).

Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan
adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya
dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga
bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran
Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60 , sebagai berikut:
Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,

Yasminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam

Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri
terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan wiwaha menurut agama Hindu adalah
mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra
yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan
kebahagiaan kekal (moksa).

1. Sistem pawiwahan

Menurut agama Hindu dalam kitab Manava Dharmasastra III. 21 disebutkan 8 bentuk
perkawinan sebagai berikut:

1. Brahma wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan


seorang wanita kepada seorang pria ahli Veda dan berkelakukan baik yang diundang
oleh pihak wanita.
2. Daiwa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang dilakukan dengan memberikan
seorang wanita kepada seorang pendeta pemimpin upacara.
3. Arsa wiwaha adalah bentuk perkawinan yang terjadi karena kehendak timbal-balik
kedua belah pihak antar keluarga laki-laki dan perempuan dengan menyerahkan sapi
atau lembu menurut kitab suci.
4. Prajapatya wiwaha adalah bentuk perkawinan dengan menyerahkan seorang putri
oleh ayah setelah terlebih dahulu menasehati kedua mempelai dengan mendapatkan
restu yang berbunyi semoga kamu berdua melakukan dharmamu dan setelah memberi
penghormatan kepada mempelai laki-laki.
5. Asuri wiwaha adalah bentuk perkawinan jika mempelai laki-laki menerima wanita
setelah terlebih dahulu ia memberi harta sebanyak yang diminta oleh pihak wanita.
6. Gandharva wiwaha adalah bentuk perkawinan berdasarkan cinta sama cinta dimana
pihak orang tua tidak ikut campur walaupun mungkin tahu.
7. Raksasa wiwaha adalah bentuk perkawinan di mana si pria mengambil paksa wanita
dengan kekerasan. Bentuk perkawinan ini dilarang.
8. Paisaca wiwaha adalah bentuk perkawinan bila seorang laki-lak dengan diam-diam
memperkosa gadis ketika tidur atau dengan cara memberi obat hingga mabuk. Bentuk
perkawinan ini dilarang.

1. Sah dan Syarat pawiwahan


System perkawinan di Indonesia dianggap sah selain telah memenuhi syarat-syarat yang
telah diatur oleh agama masing-masing juga harus terpenuhinya administrasi untuk
pemerintah. Oleh karena itu dalam setiap perkawinan, harus dilakukan pencatatan
perkawinan oleh petugas catatan sipil

Hal tersebut ditegaskan dalam Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 1
dan 2 yang berbunyi;perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaan itu serta tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Namun, R. Soetojo Prawirohamidjojo mengatakan bahwa untuk sahnya perkawinan, hanya


ada satu syarat saja yaitu apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, sedangkan pencatatan menurut pasal 2 ayat 2 tidak lain daripada suatu
tindakan administrasi Hal tersebut diperkuat pula oleh Abdulrahman yang berpendapat bahwa
pencatatan perkawinan bukanlah syarat yang menentukan sahnya perkawinan karena segala
perkawinan di Indonesia sudah dianggap sah apabila hukum agama dan kepercayaan sudah
menyatakan sah. Meskipun demikian pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat
menentukan, karena pencatatan merupakan suatu syarat diakui atau tidaknya suatu
perkawinan oleh Negara yang membawa konsekvensi bagi yang bersangkutan (Sumiarni,
2004: 9-10).

Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kitab Suci Manava Dharmasastra
maka syarat tersebut menyangkut keadaan calon pengantin dan administrasi, sebagai berikut:

1. Dalam pasal 6 disebutkan perkawinan harus ada persetujuan dari kedua calon
mempelai.dan mendapatkan izin kedua orang tua. Persetujuan tersebut itu harus
secara murni dan bukan paksaan dari calon pengantin serta jika salah satu dari kedua
orang tua telah meninggal maka yang memberi izin adalah keluarga, wali yang masih
ada hubungan darah. Dalam ajaran agama Hindu syarat tersebut juga merupakan salah
satu yang harus dipenuhi, hal tersebut dijelaskan dalam Manava Dharmasastra III.35
yang berbunyi:

Adbhirewa dwijagryanam kanyadanam wicisyate,

Itaresam tu warnanam itaretarkamyaya

Pemberian anak perempuan di antara golongan Brahmana, jika didahului dengan percikan
air suci sangatlah disetujui, tetapi antara warna-warna lainnya cukup dilakukan dengan
pernyataan persetujuan bersama (Pudja dan Sudharta, 2002: 141).

1. Menurut pasal 7 ayat 1, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai
umur 19 ( sembilan belas ) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam
belas) tahun. Ketentuan tersebut tidaklah mutlak karena jika belum mencapai umur
minimal tersebut untuk melangsungkan perkawinan maka diperlukan persetujuan dari
pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun
wanita, sepanjang hukum yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Agama Hindu memberikan aturan tambahan mengenai hal tersebut dimana dalam
Manava Dharmasastra IX.89-90 yang menyatakan bahwa walaupun seorang gadis telah
mencapai usia layak untuk kawin, akan lebih baik tinggal bersama orang tuanya hingga akhir
hayatnya, bila ia tidak memperoleh calon suami yang memiliki sifat yang baik atau orang tua
harus menuggu 3 tahun setelah putrinya mencapai umur yang layak untuk kawin, baru dapat
dinikahkan dan orang tua harus memilihkan calon suami yang sederajat untuknya. Dari sloka
tersebut disimpulkan umur yang layak adalah 18 tahun, sehingga orang tua baru dapat
mengawinkan anaknya setelah berumur 21 tahun (Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001: 34).

1. Sebagaimana diatur dalam pasal 8-11 Undang- Undang No. 1 tahun 1974, dalam
Hukum Hindu perkawinan yang dilarang dan harus dihindari dijelaskan dalam
Manava Dharmasastra III.5-11 adalah jika ada hubungan sapinda dari garis Ibu dan
Bapak, keluarga yang tidak menghiraukan upacara suci, tidak mempunyai keturunan
laki-laki, tidak mempelajari Veda, keluarga yang anggota badannya berbulu lebat,
keluarga yang memiliki penyakit wasir, penyakit jiwa, penyakit maag dan wanita
yang tidak memiliki etika.
2. Selain itu persayaratan administrasi untuk catatan sipil yang perlu disiapkan oleh
calon pengantin, antara lain: surat sudhiwadani, surat keterangan untuk nikah, surat
keterangan asal usul, surat keterangan tentang orang tua, akta kelahiran, surat
keterangan kelakuan baik, surat keterangan dokter, pas foto bersama 4x 6, surat
keterangan domisili, surat keterangan belum pernah kawin, foto copy KTP, foto copy
Kartu Keluarga dan surat ijin orang tua.

Samskara atau sakramen dalam agama Hindu dianggap sebagai alat permulaan sahnya
suatu perkawinan. Hal tersebut dilandasi oleh sloka dalam Manava Dharma sastra II. 26
sebagai berikut:

Waidikaih karmabhih punyair nisekadirdwijanmanam,

Karyah carira samskarah pawanah pretya ceha ca

Sesuai dengan ketentuan-ketentuan pustaka Veda, upacara-upacara suci hendaknya


dilaksanakan pada saat terjadi pembuahan dalam rahim Ibu serta upacara-upacara
kemanusiaan lainnya bagi golongan Triwangsa yang dapat mensucikan dari segala dosa dan
hidup ini maupun setelah meninggal dunia (Pudja dan Sudharta, 2002:69).

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan ( samskara ) tersebut, agama Hindu tidak


mengabaikan adat yang telah terpadu dalam masyarakat karena dalam agama Hindu selain
Veda sruti dan smrti, umat Hindu dapat berpedoman pada Hukum Hindu yang berdasarkan
kebiasaan yang telah turun temurun disuatu tempat yang biasa disebut Acara. Dengan
melakukan upacara dengan dilandasi oleh ajaran oleh pustaka Veda dan mengikuti tata cara
adat, maka akan didapatkan kebahagiaan di dunia (Jagadhita ) dan Moksa. Hal tersebut
dijelaskan dalam Manava Dharma sastra II. 9 sebagai berikut:

Sruti smrtyudita dharma manutisthanhi manavah,

iha kirtimawapnoti pretya canuttamam sukham


Karena orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustaka-pustaka suci dan
mengikuti adat istiadat yang keramat, mendapatkan kemashuran di dunia ini dan setelah
meninggal menerima kebahagiaan yang tak terbatas (tak ternilai) ( Pudja dan Sudharta,
2002: 63).

Dalam pelaksanaan upacara perkawinan baik berdasarkan kitab suci maupun adat istiadat
maka harus diingat bahwa wanita dan pria calon pengantin harus sudah dalam satu agama
Hindu dan jika belum sama maka perlu dilaksanakan upacara sudhiwadani. Selain itu
menurut kitab Yajur Veda II. 60 dan Bhagavad Gita XVII. 12-14 sebutkan syarat-syarat
pelaksanaan Upacara, sebagai berikut:

1) Sapta pada (melangkah tujuh langkah kedepan) simbolis penerimaan kedua mempelai
itu. Upacara ini masih kita jumpai dalam berbagai variasi (estetikanya) sesuai dengan budaya
daerahnya, umpamanya menginjak telur, melandasi tali, melempar sirih dan lain-lainnya.

2) Panigraha yaitu upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua


calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan. Dalam budaya
jawa dilakukan dengan mengunakan kekapa ( sejenis selendang) dengan cara ujung kain
masing-masing diletakkan pada masing-masing mempelai dengan diiringi mantra atau stotra.

3) Laja Homa atau Agni Homa pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk
kebahagiaan kedua mempelai ( Dirjen Bimas Hindu dan Budha, 2001:36).

4) Sraddha artinya pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh


bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yaja harus diyakini
kebenarannya. Yaja tidak akan menimbulkan energi spiritual jika tidak dilatarbelakangi
oleh suatu keyakinan yang mantap. Keyakinan itulah yang menyebabkan semua simbol
dalam sesaji menjadi bermakna dan mempunyai energi rohani. Tanpa adanya keyakinan
maka simbol-simbol yang ada dalam sesaji tersebut tak memiliki arti dan hanya sebagai
pajangan biasa.

5) Lascarya artinya suatu yaja yang dilakukan dengan penuh keiklasan.

6) Sastra artinya suatu yaja harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci. Hukum
yang berlaku dalam pelaksanaan yaja disebut Yaja Vidhi. Dalam agama Hindu dikenal ada
lima Hukum yang dapat dijadikan dasar dan pedoman pelaksanaan yaja.

7) Daksina artinya adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda
atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.

8) Mantra artinya dalam pelaksanaan upacara yaja harus ada mantra atau nyanyian
pujaan yang dilantunkan.

9) Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yaja hendaknya ada jamuan makan dan
menerima tamu dengan ramah tamah.

10) Nasmita artinya suatu upacara yaja hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk
memamerkan kemewahan.
Demikian tinjauan umum tentang idealnya perkawinan menurut Hindu

Rate this:

8 Votes

Like this:

Related

OTONAN (Hari Ulang Tahun Menurut Hindu)


In "upakara"

Makna Filosofis Galungan & Kuningan


In "Hari Suci Hindu"

SEGEHAN (Persembahan Penuh Makna Filosofis)


In "upakara"

28 Responses to IDEALNYA PERKAWINAN HINDU

1. tforce2009 Says:

July 28, 2009 at 3:11 am

aio Gan dukung Pulau Komodo sebagai new7wonders


klik disini

Rate This
Reply

2. Iketut Sengker Says:

December 16, 2009 at 2:07 am

penuntun untuk pemahaman tentang tata cara dan sarana-sarana yang berhubungan
dengan perkawinan hindu penting untuk diungkapkan pada situ ini dan terima kasih
atas usaha-usaha yang telah memberikan pencerahan

Rate This

Reply

1. dharmavada Says:

June 1, 2010 at 8:30 pm

sami2 pak rahayu

Rate This

Reply
3. I Gusti Bagus Wiratama Putra Says:

April 29, 2010 at 6:47 am

Keren banget bli,pas banget nambahin pengetahuan


Thank you Bli!!!

Rate This

Reply

1. dharmavada Says:

June 1, 2010 at 12:51 pm

Om Swastyastu
suksma sampun mampirwantah ampurayang antuk ketambetantityang
.santih

Rate This

Reply
4. eggi irtanti Says:

April 16, 2012 at 8:17 am

bagaimana tentang perceraian dalam pandangan agama hindu sendiri?


mohon di jawab.

Rate This

Reply

1. dharmavada Says:

April 17, 2012 at 10:25 am

Om swastyastu,
Sebuah perkawinan tentunya betujuan utk kelanggengan, tidak ada satu ajaran
agama manapun, atau siapapun yang menghendaki adanya perceraian, namun
kasus perceraian terjadi di semua pemeluk agama-agama yang ada. Perceraian
terjadi tentu karena berbagai faktor. Dan jika ada umat Hindu, karena alasan2
tertentu kemudian ingin bercerai mesti diputuskan melalui Pengadilan
Negeri.

Suksma

0
Rate This

Reply

5. Desak Pt Sri A. Dewi Says:

June 15, 2012 at 3:15 pm

Om swastyastu
Apakah Dosa dalam Hindu bila seorang Bajang atau Teruna menikah
dengan seorang yg berstatus JANDA atau DUDA?

suksma

Rate This

Reply

1. dharmavada Says:

June 18, 2012 at 12:05 pm

Om SWastyastu
Perkawinan antara seorang yang masih Bajang & Teruna dengan seorang
janda & Duda bukanlah sebuah Dosa.

0
Rate This

Reply

6. ketut adi Says:

July 30, 2012 at 9:11 pm

om swastyastu
bagaimana pendapat tentang perkawinan sebelum dan sesudah menikah serta apa
kaitannya dari sisi agama hindu.
mohon jawabannya
suksma.

Rate This

Reply

7. ketut adi Says:

August 2, 2012 at 4:27 pm

om swastisatu bagaimana pendapat tentang perkawinan sebelum dan sesudah menikah


serta apa kaitannya dari sisi agama hindu?

0
Rate This

Reply

8. shinta Says:

April 16, 2013 at 8:22 am

Om swastyastu.
Saya shinta baru 2an memeluk hindu..
Saya senang karna bahasa2 didalam weda bahasanya yg digunakan damai n penuh
makna,saya senang dgn keindahan bahasanyakalo saya mau tau banyak mengenai
seloka tentang pernikahan didalam weda ada di bab apa ya atau kalo ada dikitab lain
namanya apa yakarna saya juga tidak mengerti bahasa bali mohon di balas dgn
bahasa indonesia ya
Terimakasih..
Om shanti shanti shanti om..

Rate This

Reply

1. dharmavada Says:

April 20, 2013 at 11:48 pm

Om Swastyastu
Terima Kasih karena sudah Singgah di blog ini.
Mengenai sloka-sloka tentang perkawinan banyak terdapat di kitab
Manavadharmasastra .krn isinya memang mengenai hukum2
hindutermasuk tentang rumah tangga.
Kebetulan saya Ada kitab Manavadharmasastra lebih.kalau berkenan Akan
saya kirimkan ke alamat ibu
Terima Kasih
Om Santih Santih Santih Om

Rate This

Reply

2. dharmavada Says:

April 20, 2013 at 11:49 pm

Ada juga kitab khususnya tentang hak dan kewajiban masing-masing anggota
keluarga (suami-istri-anak2), namanya kitab Grha Sutra,

Rate This

Reply

9. Wayan Kamajaya Says:

May 7, 2013 at 9:49 am

Om swasti astu
Selain masalah perkawinan, mohon bapak posting mengenai masalah Mantram
Gayatri & Berjapa Gayatri
Sukseme
Om shanti shanti shanti Om

Rate This

Reply

1. dharmavada Says:

May 10, 2013 at 8:21 pm

Terima Kasih inputnya bapak.Akan saya usahakan

Rate This

Reply

10. Wirawan Mahayana Says:

August 5, 2013 at 4:44 pm


Sangat bagus.
Terimakasih Informasinya

Rate This

Reply

11. Kadra_juvan Says:

September 22, 2013 at 11:52 am

Om swastiastu
Saya mau bertanya apakah seorang laki2 boleh menikahi adx sepupunya sendiri ?
Suksma

Rate This

Reply

1. dharmavada Says:

September 22, 2013 at 7:58 pm

om swastyastu
perkawinan dengan sepupu sebaiknya dihindari, disamping kurang baik secara
medis, juga kurang baik dari sisi agama

Rate This

Reply

12. Sri Says:

October 2, 2013 at 12:53 pm

Om swastiastu
Saya mau bertanya apakah seorang laki2 boleh menikahi saudara sepupunya (Ayah
pihak laki2 saudara tiri dgn ayah pihak permpuan atau satu kakek) dan adakah
upacara yg bisa dilakukan sbg penolak atau pembayarnya

Rate This

Reply

1. cece Says:

October 16, 2013 at 7:16 am


Om Swastiyastu,
sy mau brtnya
misalkan
ad seorng paman memlki keponakan perempuan,kmudian paman ini menikah
dg seorang perempuan dan perempuan ini memiliki adik laki2
apakah bole adik laki2nya ini menikahi keponakan dari paman tersebut???

mohon jawaban nya


suksma
Om Santhi..Santhi..Santhi. Om

Rate This

Reply

1. dharmavada Says:

October 16, 2013 at 12:22 pm

Dalam Hindujika perkawinan semacam ini terjadi disebut


mekedengan ngaddan dipandang kurang baik. Dan sebaiknya
dihindari

Rate This
13. cece Says:

October 16, 2013 at 1:24 pm

mengapa harus demikian??


apa solusi yg terbaik??
apkah tdk ad upacaranya??

Rate This

Reply

1. dharmavada Says:

October 23, 2013 at 5:58 pm

Saat ini secara sain kedokteran pun bisa dibuktikan bahwa perkawinan silang
spt itu beresiko terjadinya kelainan DNA dan kromosom shg akan
berpengaruh pd bayi (ini baru penelitian awal).

Secara agama, jika terjadi perkawinan spt ini dinamakan perkawinan danava
dan dipandang kurang baik. Namun demikian perkawinan semacam ini
bukannya dilarang tp dipandang kurang baik, sehingga sedapat mungkin
dihindari

0
Rate This

Reply

14. Jantika Atmaja (@ketut_ne) Says:

October 28, 2013 at 12:16 pm

Bagaimana cara menjalani hubungan tanpa restu dari kedua keluarga ?


saya sudah pacaran 3 tahun, pacaraku dibesarkan oleh paman dan bibinya karena
sudah ditinggal mati oleh ibunya saat melahirkan dia, dan bpknya meninggal saat dia
masih kls 6 sd.

kami saling mencintai dan berjanji untuk memperjuangkan cinta kami.


kami tidak ada restu dari kedua keluarga karena bermusuhan dulu sebelum aku lahir
pernah terjadi kejadian tragis keluarganya dia membunuh kakek aku dan paman aku.
dan bapaku hampir saja menjadi korban yang ketiga.

bagaimana cara saya meyakinkan kedua keluarga karena kami sudah sangat saling
mencintai dan berjanji utk menikah ? dan pacarku sdh berjanji untuk tidak menikah
sama siapapun kecuali sama diriku.

yang aku tahu keluargaku sama keluarga pacarku masih ada hub. keluarga.

kami dirantauan sudah tinggal bersama selama 1,5 tahun tanpa diketahui keluarga,
dari mimpi kami, kami sering mimpiin kakekku dan ortu kandung pacarku. kayaknya
mereka sudah merestui hubungan kami.

aku bingung, pilih keluargaku atau tetap memperjuangkan cintaku, pesan orang tuaku
tidak akan menikahkanku kalau sama dia.
2 jam lalu

-
saat ini dia masih sakit, sudah pulang dr rs dan masih dirumah bersama keluarganya,
dan mereka tau kalau kami tinggal bersama, mereka menyita hp pcrku supaya tidak
bisa menhubungi aku. mereka dikurung, dan tidak diijinkan kemana mana, aku takut
ayu sakitnya tambah parah karena memikirkan hal ini.

aq udh 2 kali diusir dan dipanggilin satpam saat nekat jenguk dia di rs oleh kk
sepupunya, karena aku pengen banget lihat kondisinya kayak gimana. sampai ayu
ngamuk untuk mengejar aku. aku benar bingung.

ini adalah rintangan yang amat berat bagiku, belum lagi nanti kalau memang dia
jodohku pasti ada rintangan yang lebih berat lagi saat minta ijin ke ortuku kalau aku
mau menikahinya.
0

Rate This

Reply

1. dharmavada Says:

November 11, 2013 at 12:57 pm

Om Swastyastu

Memang cinta itu tak mengenal batas. Namun demikian cinta jika akan
dilanjutkan ke ranah berumah tangga. Kita tdk bs menghindarkan diri dr
keterlibatan pihak lain terutama keluarga. Dan restu keluarga sangatlah
penting. Walau ada perkawinan yg tanpa restu keluarga kemudian mereka
bahagia, namun restu ydk bs kita abaikan.

Saran saya.apapun yg hendak anda lakukan/jalani.pastikan bahwa


keputusan itu adalah keputusan dengan resiko seminimal mungkin.

Om Santih Santih Santih Om

Rate This

Reply

15. Sri Says:


November 8, 2013 at 7:49 am

Om swastiastu
Saya mau bertanya apakah seorang laki2 boleh menikahi saudara sepupunya (Ayah
pihak laki2 saudara tiri dgn ayah pihak perempuan atau satu kakek) dan adakah
upacara yg bisa dilakukan sbg penolak atau pembayarnya

Rate This

Reply

1. dharmavada Says:

November 11, 2013 at 12:53 pm

Om Swastyastu
Pernikahan antara sepupu, ada yg beranggapan baik tp ada juga yg
berpendapat kurang baik.

Namun secara medis pernikahan antar sepupu disinyalir berpotensi terjadinya


kelaian kromosom. Sehingga dianjurkan utk dihindari.

Secara agama jika terjadi perkawinan antar sepupu biasanya dibuatkan


upacara pamyakala sebagai upacar penebusannya. Dengan harapan
menghindarkan hal2 negatif yg kemungkinan bs terjadi pd perkawinan
tersebut.

Om Santih Santih Santih Om

Anda mungkin juga menyukai