1
bisa menuntut hak nafkah maupun waris. Solusi dalam meminimalisir pernikahan sirri
agar tercatat oleh Negara yakni dengan mengajukan proses permohonan sidang itsbat
nikah ke Pengadilan. Itsbat nikah adalah tahap yang harus dilewati oleh pasangan nikah
sirri apabila ingin mencatatkan perkawinannya di Lembaga Negara. Pernikahan
Sirri,Itsbat Nikah,dan Pencatatan Nikah memiliki interelasi yang kuat karena pasangan
yang telanjur menikah sirri harus melalui proses itsbat nikah untuk bisa mendapatkan
Legalitas dan Kepastian Hukum lewat diterbitkannnya buku nikah∕akta nikah oleh KUA
atau Disdukcapil.
2
Perkawinan Siri Menurut Hindu
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU No. 1/1974). Perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu,
serta tercatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 UU No.
1/1974). “KBT” Kawin Sirri atau tersembunyi, dimana menurutnya sirri berasal dari
bahasa Arab sirrun yang
berarti ‘gelap, tersembunyi’. Akhsin Muamar (2005) pernikahan siri yang dilaksanakan
secara umum tidak memenuhi syarat perkawinan atau syarat kehendak nikah Zainuddin
dan Afwan Zainuddin (2017).
Brahmacārī, Ghaha, Wanapraha, Bhikuka merupakan empat tahapan yang terpisah yang
semua berkembang dari tahapan rumah tangga. (MDS 6.87)
Untuk menjadi ibu, wanita itu diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan.
Dengan upacara keagamaan yang ditetapkan di dalam Veda, itulah yang dilakukan oleh
suami beserta dengan istrinya. (MDS 9.96)
Dengan perkawinan terpujilah putra-putra terpujilah lahirnya, dan dari perkawinan
tercela lahir keturunan tercela. Oleh karena itu, hendaknya hindarilah bentuk-bentuk
perkawinan tercela. (MDS 3.42)
3
Dalam hal perkawinannya lagi, maka seseorang harus mendapatkan persetujuan dari
istrinya, apakah istrinya memiliki anak atau tidak, sekurang-kurang satu musim
(setengah tahun) sebelumnya sudah diberi tahu. Aṅgirasa Smṛti 1.398
Di mana Wanita dihormati, di sanalah para Dewa merasa senang. Tetapi dimana Wanita
tidak dihormati tidak ada upacara suci pun yang akan berpahala.
Wiwaha Samskara SAH secara Hindu apabila memenuhi syarat-syarat yang ada dalam
susastra Weda dan dipenuhi unsur Tri Upasaksi. Jika secara hukum negara tentu harus
dicatatkan pada lembaga yang berwewenang. Sebagai umat Hindu yang patuh dan taat
pada ajaran Catur Guru Bhakti, maka sudah seharusnya selain sah secara agama juga
harus sah secara hukum pemerintahan.
4
Perkawinan Kanonis dan Aspek Sipilnya
Dalam Pandangan Iman Kristen, Perkawinan adalah sebuah kenyataan hidup manusiawi
yang dihayati dan dihidupi dalam kerangka iman. Perkawinan itu adalah sebuah
panggilan Allah kepada kekudusan cinta kasih, dan perkawinan itu adalah Sakramen.
Allah adalah pencipta perkawinan yang menetapkan hukum-hukumnya (bdk. Gaudium
Et Spes 48). Perkawinan orang Katolik juga diatur dalam Hukum Perkawinan yang
dikenal dengan Kitab Hukum Kanonik (KHK 1983).
Pokok pokok penting
− Arti Perkawinan : Sebuah perjanjian (foedus)
− Hakikat Pekawinan : kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae)
− Subyek Perkawinan : seorang pria dan seorang Wanita
− Tujuan Perkawinan ; Kesejahteraan suami isteri (bonus coniugum) dan kelahiran
− Pendidikan anak (bonum prolis)
− Ada perkawinan sah dan ada perkawinan sakramen yaitu antara dua orang
dibaptis
− Sifat hakiki perkawinan : satu (unitas) dan tak terpisahkan (inisoluibilitas) baik itu
abosulta untuk perkawinan sakramen dan relativa untuk perkawinan non
sakramen.
Efek Perkawinan
Suami isteri : mempunyai ikatan tetap – eklusive (kan 1134), kewajiban dan hak yang
sama (1135) dan kewajiban mendidik anak (1136)
Anak yang lahir: anak legitim (1137 – 1140)
5
− Sifat perkawinan yg monogam tak terceraikan > kanon 1056; Pasal 3-5 dan 9
− Syarat perkawinan yang sah: bebas dari halangan nikah > kanon 1083-1094;
Pasal 6-8
− Tata peneguhan nikah dihadapan otoritas berwenang dan dua saksi > kanon
1108-1129; Pasal 2 dan 20- 21
− Akibat perkawinan > kanon 1134- 1140; Pasal 30-34
− Bubarnya perkawinan karena:
− Perpisahan > kanon 1151-1156 dan 1692-1696 (UU Perkawinan tidak mengatur)
− Pembatalan: > kanon 1671- 1691; Pasal 22-28
− Pemutusan/perceraian > kanon 1141-1149 dan 1697- 1707; Pasal 38-41
6
Pemutusan atau Perceraian
Baik hukum Gereja maupun hukum Sipil sama-sama mengatur putusnya perkawinan
warganya. Namun dalam hal ini masing-masing tidak saling mengandaikan. Artinya:
− Kanon 1142-1149: Gereja juga dapat memutus perkawinan warganya, meskipun
biasanya juga menuntut adanya perceraian secara sipil agar pernikahan
selanjutnya dapat dicatatkan secara sipil
− Pasal 38-41: Pengadilan Negeri dapat memutus cerai perkawinan orang katolik
tanpa disertai pemutusan secara gerejawi.
Pembatalan perkawinan
Baik hukum Gereja maupun hukum Sipil sama-sama mengatur mengenai batalnya
perkawinan warganya, namun masing- masing tidak saling mengandaikan. Maknanya
pun berbeda:
− Hukum Gereja: hanya perkawinan yang memang tidak sah dapat dinyatakan batal
oleh Pengadilan gerejawi
− Hukum Sipil: batalnya perkawinan bukan didasarkan pada tidak sahnya
perkawinan, namun karena kehendak orang-orang yang merasa dirugikan.
Pernyataan batal ini tidak mempunyai nilai yuridis bagi hukum yang lain.