Anda di halaman 1dari 7

RESUME HUKUM KELUARGA

Gusti Ayu Widyani Putri


010002000092
Nikah siri diartikan sebagai nikah rahasia atau nikah di bawah tangan (tidak didaftarkan
pada pencatatan perkawinan). Tidak ada satupun pilihan yang tidak ada risikonya. Selalu
ada celah yang memunculkan kelemahan terhadap pilihan-pilihan kebijakan yang diambil.
Tugas Dukcapil ada di hilir untuk menyelesaikan masalah besar, yang ada di hulu yaitu
adanya perkawinan yang belum dicatat oleh negara. Pilihan kebijakan ini merupakan
bentuk affirmative policy (kebijakan yang bersifat khusus dan sementara) untuk
menyelesaikan masalah di hulu agar dapat memberikan perlindungan hukum dan
kepastian hukum bagi ibu dan anak. Dari beberapa pilihan kebijakan, yang paling kecil
risikonya dan paling besar manfaatnya serta sesuai dengan faktanya adalah ditulis “Kawin
Belum Tercatat”. Penulisan Status Perkawinan setiap pasangan dalam KK bukan
melegalkan/mengesahkan perkawinan, namun merupakan
penulisan/pendataan/pencatatan peristiwa penting .Dinas Dukcapil Tidak Mengesahkan
perkawinan.
Interelasi Pernikahan Sirri, Itsbat Nikah dan Pencatatan Nikah Menuju Legalitas dan
Kepastian Hukum
Ditinjau dari pembahasan antara pernikahan sirri, itsbat nikah dan pencatatan nikah,
ternyata ketiga ini memiliki interelasi yang kuat artinya memiliki hubungan timbal balik
dan saling ketergantungan satu sama lain. Apabila pasangan praktik nikah sirri ingin
memiliki buku nikah atau akta nikah harus melalui proses yang dinamakan dengan itsbat
nikah. Jika tidak melalui proses itsbat nikah ini mustahil pasangan nikah sirri dapat
mencatatkan pernikahannya ke KUA atau Disdukcapil. Pencatatan nikah menghasilkan
buku nikah atau akta nikah, berarti menghasilkan bukti otentik yang menunjukkan
legalitas hukum terhadap pasangan serta memberikan kepastian hukum artinya Negara
telah mengakui bahwa pasangan tersebut telah menikah secara sah baik itu menurut
agama maupun hukum. Ini pun berdampak lebih lanjut kepada legalitas maupun
kepastian hukum terhadap anak sehingga memberikan kemudahan dalam segala hal baik
kepada istri maupun anak apabila dalam pengurusan akta lahir pengurusan dan
pengurusan administrasi lainnya.
Implikasi yang ditimbulkan oleh penikahan tidak tercatat yakni dirasakan oleh istri
maupun anak. istri dianggap bukan istri sah karena tidak memiliki buku nikah. Begitupun
dalam hal anak, legalitas dan kepastian hukum hak anak dipertanyakan karena dalam
setiap pengurusan administrasi baik itu dari akta lahir pasti membutuhkan syarat buku
nikah, tetapi orang tua tidak dapat menunjukkan hal tersebut. Istri dan anak pun tidak

1
bisa menuntut hak nafkah maupun waris. Solusi dalam meminimalisir pernikahan sirri
agar tercatat oleh Negara yakni dengan mengajukan proses permohonan sidang itsbat
nikah ke Pengadilan. Itsbat nikah adalah tahap yang harus dilewati oleh pasangan nikah
sirri apabila ingin mencatatkan perkawinannya di Lembaga Negara. Pernikahan
Sirri,Itsbat Nikah,dan Pencatatan Nikah memiliki interelasi yang kuat karena pasangan
yang telanjur menikah sirri harus melalui proses itsbat nikah untuk bisa mendapatkan
Legalitas dan Kepastian Hukum lewat diterbitkannnya buku nikah∕akta nikah oleh KUA
atau Disdukcapil.

Pernikahan Siri Menurut Sudut Pandang Agama Buddha


Dalam agama Buddha terdapat adanya asas monogami yang dianut dengan berdasar
kepada Anguttara Nikaya 11.57, yaitu perkawinan yang dipuji oleh Sang Buddha adalah
perkawinan antara seorang laki-laki yang baik dengan seorang perempuan yang baik.
Dalam agama Buddha, pasangan calon pengantin juga harus memiliki empat kesamaan
dalam Dhamma supaya kehidupan pernikahannya dapat berbahagia:
1. Samma Sadha (sama keyakinannya) =Keyakinan yang muncul dari pikiran dan
pandangan yang benar sehingga akan membantu pola hidup yang baik.
2. Samma Sila (sama kemoralannya) =Di dalam mengembangkan kepribadian yang
lebih luhur, setiap anggota keluarga hendaknya menjaga kemoralan dalam
kehidupan untuk menjaga ketertiban serta keharmonisan dalam keluarga maupun
hidup bermasyarakat.
3. Samma Cagga (sama kedermawanannya) =Dengan memiliki kedermawanan akan
arti cinta yang sesungguhnya, yaitu memberi segala sesuatu yang kita miliki demi
kebahagiaan orang yang bis akita cintai dengan ikhlas dan tanpa syarat.
Agama Buddha memandang perkawinan sebagai sebuah pilihan hidup dengan sebuah
konsekuensi yang akan dilalui selama menjalani dan kegelapan batin dan ketamakan
akan mengikuti. Ada sebuah inti yang ingin disampaikan pada Anguttara Nikaya IV:55
yaitu: “Pertapaan adalah kondisi pengembangan batin sempurna amatlah terpuji; namun
perkawinan dengan seorang Wanita (pria) dan setia kepadanya adalah salah satu bentuk
pertapaan juga.”Dalam kisah Suruci Jataka, Ketika Raja Brahmadatta yang merupakan
raja Benares hendak menikahkan putrinya dengan Pangeran Suruci, ia bertanya terlebih
dahulu pada istrinya “Ratu, apa penderitaan yang paling menyedihkan bagi seorang
Wanita?” “Bertengkar dengan sesama istri”.
Ven K Sri Dhammananda dalam bukunya berjudul Rumah Tangga Bahagia: dalam
sudut Pandang Agama Buddha (hal 60-61) menyatakan dalam ajarannya bahwa saat
seorang pria yang telah menikah pergi dengan Wanita lainnya yang tidak berada dalam
ikatan pernikahan, hal tersebut dapat menjadi sebab bagi keruntuhannya sendiri dan ia
akan menghadapi berbagai permasalahan.

2
Perkawinan Siri Menurut Hindu
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU No. 1/1974). Perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu,
serta tercatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 UU No.
1/1974). “KBT” Kawin Sirri atau tersembunyi, dimana menurutnya sirri berasal dari
bahasa Arab sirrun yang
berarti ‘gelap, tersembunyi’. Akhsin Muamar (2005) pernikahan siri yang dilaksanakan
secara umum tidak memenuhi syarat perkawinan atau syarat kehendak nikah Zainuddin
dan Afwan Zainuddin (2017).
Brahmacārī, Ghaha, Wanapraha, Bhikuka merupakan empat tahapan yang terpisah yang
semua berkembang dari tahapan rumah tangga. (MDS 6.87)
Untuk menjadi ibu, wanita itu diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan.
Dengan upacara keagamaan yang ditetapkan di dalam Veda, itulah yang dilakukan oleh
suami beserta dengan istrinya. (MDS 9.96)
Dengan perkawinan terpujilah putra-putra terpujilah lahirnya, dan dari perkawinan
tercela lahir keturunan tercela. Oleh karena itu, hendaknya hindarilah bentuk-bentuk
perkawinan tercela. (MDS 3.42)

Tujuan Perkawinan (MDS 9.28)


1. Apatyaṁ (mendapatkan keturunan suputra)
2. Dharmakāryani (Melaksanakan perintah Dharma/Agama)
3. Śuśrusa (Pembinaan dan pendidikan anak)
4. Ratiruttama (kepuasan lahir dan batin)
5. Swargapitṛ (memuliakan leluhur di alam Swargaloka)
Kesetiaannya berlangsung sampai mati. Ini yang harus diketahui dan dianggap sebagai
hukum tertinggi bagi suami istri. Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam
perkawinan tersebut, selalu berusaha dengan tidak jemu- jemunya agar mereka jangan
sampai bercerai dan hendaknya tidak melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain.
(MDS 9.101-102)
Perkawinan yang didasari atas cinta dan kasih sayang, dimana diawali dengan upacara
suci oleh pendeta keluarga. (Yājñavalkya Dharmaśāstra 1.110)

3
Dalam hal perkawinannya lagi, maka seseorang harus mendapatkan persetujuan dari
istrinya, apakah istrinya memiliki anak atau tidak, sekurang-kurang satu musim
(setengah tahun) sebelumnya sudah diberi tahu. Aṅgirasa Smṛti 1.398
Di mana Wanita dihormati, di sanalah para Dewa merasa senang. Tetapi dimana Wanita
tidak dihormati tidak ada upacara suci pun yang akan berpahala.
Wiwaha Samskara SAH secara Hindu apabila memenuhi syarat-syarat yang ada dalam
susastra Weda dan dipenuhi unsur Tri Upasaksi. Jika secara hukum negara tentu harus
dicatatkan pada lembaga yang berwewenang. Sebagai umat Hindu yang patuh dan taat
pada ajaran Catur Guru Bhakti, maka sudah seharusnya selain sah secara agama juga
harus sah secara hukum pemerintahan.

Perkawinan Sirri dan Permasalahannya Dikaitkan Dengan Undang-Undang No 1 Tahun


1974 dan Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan Sirri/Perkawinan Bawah Tangan adalah perkawinan yang tidak dilangsungkan
di depan atau di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah. Arti kata sirri yaitu
“sembunyi-sembunyi” atau “tidak terbuka”. Menurut KBBI, Nikah Sirri adalah nikah secara
diam-diam tetapi sudah sah menurut hukum (Islam). Menurut perspektif Hukum
Nasional, Perkawinan Sirri tidak sah karena bertentangan dengan Pasal 10 Ayat (4) PP
No. 9 Tahun 1975, tidak sesuai dengan Pasal 2 Ayat (2) UU No. 1/1974 dan Pasal 6 Ayat
(1) dan (2) KHI. Tetapi menurut perspektif Agama meskipun dicatatan Perkawinan Sirri
dalam keadaan tertentu dapat dicatatkan dengan mengacu pada Pasal 7 Ayat (2 dan 3)
KHI. Latar belakang dilakukannya Perkawinan Sirri antara lain yaitu adanya faktor
ekonomi, usia, ikatan dinas, sulitnya berpoligami, adanya anggapan Perkawinan Sirri
sudah sah menurut agama, hamil diluar nikah, kurang pemahaman dan kesadaran akan
pentingnya pencatatan perkawinan. Dampak yuridisnya, perkawinan dianggap tidak sah,
kurang perlindungan hukum bagi istri dan anak-anak, kurangnya kepastian hukum
mengenai status anak, dimana anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu
dan keluarga ibu, tidak ada hubungan perdata dengan ayahnya dan Istri maupun anak-
anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah maupun
warisan dari ayahnya.
Dalam hal ini perlu diadakannya sosialisasi mengenai pentingnya perkawinan yang
memenuhi persyaratan hak menurut Hukum Nasional maupun Hukum Agama dan
pemerintah perlu meninjau Kembali mengenai biaya administrasi yang harus dikeluarkan
oleh kedua calon mempelai yang merasa tidak mampu membayar.

4
Perkawinan Kanonis dan Aspek Sipilnya
Dalam Pandangan Iman Kristen, Perkawinan adalah sebuah kenyataan hidup manusiawi
yang dihayati dan dihidupi dalam kerangka iman. Perkawinan itu adalah sebuah
panggilan Allah kepada kekudusan cinta kasih, dan perkawinan itu adalah Sakramen.
Allah adalah pencipta perkawinan yang menetapkan hukum-hukumnya (bdk. Gaudium
Et Spes 48). Perkawinan orang Katolik juga diatur dalam Hukum Perkawinan yang
dikenal dengan Kitab Hukum Kanonik (KHK 1983).
Pokok pokok penting
− Arti Perkawinan : Sebuah perjanjian (foedus)
− Hakikat Pekawinan : kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae)
− Subyek Perkawinan : seorang pria dan seorang Wanita
− Tujuan Perkawinan ; Kesejahteraan suami isteri (bonus coniugum) dan kelahiran
− Pendidikan anak (bonum prolis)
− Ada perkawinan sah dan ada perkawinan sakramen yaitu antara dua orang
dibaptis
− Sifat hakiki perkawinan : satu (unitas) dan tak terpisahkan (inisoluibilitas) baik itu
abosulta untuk perkawinan sakramen dan relativa untuk perkawinan non
sakramen.

Pengaturan Perkawinan Kanonis


Kan. 1059, Perkawinan orang- orang katolik, meskipun hanya satu pihak yang katolik,
diatur tidak hanya oleh hukum ilahi, melainkan juga oleh hukum kanonik, dengan tetap
berlaku kewenangan kuasa sipil mengenai akibat-akibat yang sifatnya semata-mata sipil
dari perkawinan itu.

Efek Perkawinan
Suami isteri : mempunyai ikatan tetap – eklusive (kan 1134), kewajiban dan hak yang
sama (1135) dan kewajiban mendidik anak (1136)
Anak yang lahir: anak legitim (1137 – 1140)

Titik Temu Perkawinan Gereja dan Sipil


− Arti dan tujuan perkawinan sebagai sebuah konsensus atau kesepakatancantara
seorang laki-laki dan perempuan demi kesejahteraan atau kebahagiaan > kanon
1055 dan 1057; Pasal 1 dan 6 (1)

5
− Sifat perkawinan yg monogam tak terceraikan > kanon 1056; Pasal 3-5 dan 9
− Syarat perkawinan yang sah: bebas dari halangan nikah > kanon 1083-1094;
Pasal 6-8
− Tata peneguhan nikah dihadapan otoritas berwenang dan dua saksi > kanon
1108-1129; Pasal 2 dan 20- 21
− Akibat perkawinan > kanon 1134- 1140; Pasal 30-34
− Bubarnya perkawinan karena:
− Perpisahan > kanon 1151-1156 dan 1692-1696 (UU Perkawinan tidak mengatur)
− Pembatalan: > kanon 1671- 1691; Pasal 22-28
− Pemutusan/perceraian > kanon 1141-1149 dan 1697- 1707; Pasal 38-41

Saling mengandaikan: Kanon 1059 dan Pasal 2.


− Kanon 1059 Ketentuan: Perkawinan orang-orang katolik, meskipun hanya satu
pihak yang katolik, diatur tidak hanya oleh hukum ilahi, melainkan juga oleh
hukum kanonik, dengan tetap berlaku kewenangan kuasa sipil mengenai akibat-
akibat yang sifatnya semata-mata sipil dari perkawinan itu.
− Ketentuan kanon 1059 mau mengungkapkan pengakuan kompetensi hukum sipil
dalam mengatur perkawinan orang-orang katolik, meski hanya satu saja yang
katolik, agar mendapatkan efek sipil.
− Efek sipil yg dimaksud, antara lain:
− Akta perkawinan sipil
− Akta kelahiran anak
− Tunjangan suami/istri dan anak
− Akta perceraian sipil

Sah dan tidaknya perkawinan


Diteliti dalam penyelidikan kanonik (kan 1066 - 1071). Adapun tiga pokok yang
menentukan sah dan tidaknya perkawinan:
− Tidak Ada Halangan (tidak membuat mampu dan tidak membuat sahnya
perkawinan). 11 halangan perkawinan yang terdiri dari halangan kodrati (kan.
1084, 1085, 1091§1 ) dan gerejawi (kan. 1083, 1086-1090,1091§2, 1092-1094)
− Tidak ada catat kesepakatan. Kesepakatan harus verus (kan. 1101 §1), plenus
(kan 1101 §2) dan liber. (kan 1103)
− Tidak ada cacat tata peneguhan forma canonica (kan. 1108-1123)
Perkawinan dibedakan menjadi 2: ratum (janji perkawinan) dan ratum et consumatum
(janji yang disempurnakan dengan actus coniugalis) (kan 1061). Perkawinan yang
diragukan keabsahannya yaitu perkawinan putative. (kan 1061)

6
Pemutusan atau Perceraian
Baik hukum Gereja maupun hukum Sipil sama-sama mengatur putusnya perkawinan
warganya. Namun dalam hal ini masing-masing tidak saling mengandaikan. Artinya:
− Kanon 1142-1149: Gereja juga dapat memutus perkawinan warganya, meskipun
biasanya juga menuntut adanya perceraian secara sipil agar pernikahan
selanjutnya dapat dicatatkan secara sipil
− Pasal 38-41: Pengadilan Negeri dapat memutus cerai perkawinan orang katolik
tanpa disertai pemutusan secara gerejawi.
Pembatalan perkawinan
Baik hukum Gereja maupun hukum Sipil sama-sama mengatur mengenai batalnya
perkawinan warganya, namun masing- masing tidak saling mengandaikan. Maknanya
pun berbeda:
− Hukum Gereja: hanya perkawinan yang memang tidak sah dapat dinyatakan batal
oleh Pengadilan gerejawi
− Hukum Sipil: batalnya perkawinan bukan didasarkan pada tidak sahnya
perkawinan, namun karena kehendak orang-orang yang merasa dirugikan.
Pernyataan batal ini tidak mempunyai nilai yuridis bagi hukum yang lain.

Anda mungkin juga menyukai