BAB 12
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI
A. GANTI KERUGIAN
1. Pengertian
Dalam hukum acara pidana lama (HIR) tidak diatur ganti kerugian.
Ketentuan ganti kerugian yang disebabkan oleh penangkapan, penahanan
yang tidak sah (unlawful arrest) telah bersifat universal. Hal itu tercantum
pula dalam (International Covenant on Civil and Political Rights). Pasal 9
yang berbunyi: Anyone who has been the victim of unlawful arrest or
detention shall have an enforceable rights to compensation. (Seseorang
yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan tidak sah akan
mendapat hak menuntut ganti kerugian).
1
dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang
memperkenalkan kembali lembaga herziening. Bagaimana proses meminta
ganti kerugian setelah dibebaskan atau dilepas dari tuntutan hukum
sebagai putusan herziening, tidak diatur. Walaupun ada ketentuan lama
dalam Reglement op de Strafvordering dahulu, namun itu tidak dapat
diterapkan karena selain tidak berlaku lagi, juga diperuntukkan untuk
golongan Eropa. Sebagai kaidah pencerminan pun menurut pendapat
penulis, aturan itu tidak dapat dipergunakan.
2
Dalam aturan pelaksanaan ini tidak disebut-sebun lagi tentang praperadilan
yang mempunyai acaranya sendiri. Ini berarti acara pelaksanaan ganti
kerugian dalam Pasal 95 ayat (3) dan (4) KUHAP ini hanya mengatur ganti
kerugian yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke pengadilan
negeri.
Acaranya demikian.
3
B. REHABILITASI
Ketentuan tentang rehabilitasi di dalam KUHAP hanya pada satu pasal saja,
yaitu Pasal 97. Sebelum pasal itu, dalam Pasal 1 butir 23 terdapat definisi
tentang rehabilitasi sebagai berikut.
“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan baknya
dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang
diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena
ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.”
Senada dengan definisi tersebut, Pasal 97 ayat (1) KUHAP berbunyi:
“Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus
bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Selanjutnya ditentukan bahwa
rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan
pengadilan tersebut di atas (Pasal 97 ayat (2) KUHAP). Yang tidak
dijelaskan dalam KUHAP ialah apakah rehabilitasi akibat putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum tersebut bersifat fakultatif (dituntut
oleh terdakwa) ataukah imperatif. Artinya, setiap kali hakim niemutus
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap harus diberikan rehabilitasi. Hal ini mestinya diatur
dalam aturan pelaksanaan KUHAP.
4
Dalam perundang-undangan negara lain dan juga dalam literatur sering
disebut tiga macam ganti kerugian. Ketiga macam ganti kerugian itu adalah
sebagai berikut.
Ketentuan ganti kerugian kepada pihak ketiga atau korban delik, terdapat
variasi di beberapa negara, sebagaimana telah diutarakan di muka,
penggabungan perkara gugatan perdata pihak ketiga dan perkara
pidananya dikenal juga di Prancis, yang ternyata pihak ketiga itu luas
artinya karena meliputi selain gugatan dari korban delik, juga biasa muncul
gugatan dari asuransi kesehatan (Securite: Sosial), pihak pemerintah
dalam hal pelanggaran izin usaha, pihak douane, perpajakan, dan
lainlain.')
5
Namun demikian, ada baiknya kalau dalam peraturan pelaksanaan
KUHAP, ditegaskan demi kepastian hukum.
Meskipun dalam peraturan lama (HIR) tidak diatur tentang penggabungan
perkara perdata (ganti kerugian kepada korban) dan perkara pidananya,
tetapi melalui suatu putusan menjatuhkan pidana bersyarat
(voorwaardelijke veroordeling) seperti diatur di penggabungan perkara
yang diatur dalam KUHAP tersebut.
Sama halnya dengan perkara korupsi yang tidak terlalu berat, misalnya
korupsi Kredit BIMAS, penulis setuju dengan kebijaksanaan hakim yang
menjatuhkan pidana bersyarat dengan syarat khusus, yaitu
mengembalikan seluruh kredit yang telah diterimanya (dengan cara
melawan hukum itu), kepada bank (pemerintah). Dengan demikian
negara tidak dirugikan dan dapat lebih lanjut memperlancar
pembangunan. Putusan semacam ini diterapkan di Bogor pada tahun
1981.
Dalam Pasal 14 a ayat (1) dan (4), dan pasal-pasal KUHP berikutnya, di
mana dimungkinkan suatu syarat khusus, misalnya terpidana dipidana
pula dengan syarat khusus membayar ganti kerugian kepada korban,
maka tercapai juga penyelesaian secara perdata . Akan tetapi perlu
diingat bahwa putusan itu harus berbentuk pidana bersyarat
(voorwaardelijk) yang umumnya mengenai perkara-perkara yang tidak
berat. Sekarang pun penyelesaian melalui pidana bersyarat ini masih
dapat dilakukan. Dalam hal ini korban delik tidak perlu mengajukan
gugatan khusus.
Di dalam KUHAP diatur tentang upaya hukum luar biasa. Salah satu upaya
hukum luar biasa itu ialah peninjauan kembali (herziening), tercantum di
dalam Bab XVIII Bagian Kedua (Pasal 263, 269).
Salah satu ketentuan yang penting mengenai peninjauan kembali ini
tercantum pada Pasal 266 ayat (2) butir b yang berbunyi:
“Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah
Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan
menjatuhkan putusan yang berupa:
1. putusan bebas;
2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4. putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan."
6
Nyatalah bahwa yang tersebut pada butir 1 sampai dengan 3 membawa
akibat terpidana tidak dijatuhi pidana dalam peninjauan kembali itu.
Menjadi pertanyaan sekarang, dapatkah terpidana tersebut menuntut
ganti kerugian karena temyata ia lepas dari pemidanaan? Hal ini dengan
mudah dijawab secara logis, bahwa tentu dapat dalam ukuran yang sama
dengan yang diuraikan di depan.
Dalam kedua peraturan itu diatur putusan ganti kerugian kepada bekas
terpidana dijatuhkan bersama-sama dengan putusan peninjauan kembali
Pasal 481 Ned. Sv. yang mengatur hal itu sejajar dengan Pasal 360
Reglement op de Strafvordering di Indonesia dahulu (disingkat R. Sv.).
7
BAB 13
PERADILAN KONEKSITAS
A. PENGERTIAN
Kalau kita perhatikan bunyi Pasal 22 UUPKK yang persis sama dengan Pasal
89 ayat (1) KUHAP ini, jika terjadi delik penyertaan antara orang militer
(yang tunduk kepada peradilan militer) dan orang sipil (yang tunduk
kepada peradilan umum), maka primus interpares yang berwenang
mengadili ialah pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Para
tersangka (sipil bersama militer) diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer, merupakan pengecualian. Hanya jika menurut Menteri
Pertahanan/Keamanan, perkara itu harus diperiksa dan diadili olch
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Penjelasan Pasal 89 ayat
(1) KUHAP mengatakan “cukup jelas”.
8
Penjelasan Pasal 22 UUPKK lama hanya menyebut penyertaan yang
tercantum di dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, bagaimana dengan delik pers?
Bagaimana jika terjadi orang militer mengarang sesuatu yang bersifat delik
lalu diterbitkan atau dicetak oleh orang sipil?
Kalau kita baca Pasal 90 ayat (1), (2), dan (3), maka kelihatan adanya
ketidakserasian dengan Pasal 89 ayat (1) KUHAP. Di muka, telah dikatacan
bahwa berdasarkan Pasal 89 ayat (1) KUHAP, nyata pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum yang primus interpares dalam hal perkara
koneksitas. Tetapi apa yang disebut di dalam Pasal 90 ayat (1) KUHAP
kriterianya menjadi lain lagi. Pasal itu berbunyi: “Untuk menetapkan
apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana
9
“Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia dan oditur militer atau orditur militer tinggi sesuai dengan
wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk
penyidikan perkara pidana".
Ayat (3) pasal itu menentukan cara penunjukan tim untuk menyidik perkara
koneksitas, yang berbunyi sebagai berikut.
“Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat
keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri
Kehakiman". Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa dalam perkara koneksitas
ini penyidikan dilakukan oleh suatu tim gabungan yang dibentuk oleh
Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman yang terdiri
atas:
a. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 KUHAP;
b. Polisi militer ABRI;
c. Oditur militer atau oditur militer tinggi.
Tugas Tim Tetap Pusat dan Daerah berbeda. Tim Tetap Pusat bertugas
melakukan penyidikan perkara koneksitas apabila perkara dan tahu
tersangkanya mempunyai bobot nasional dan/atau internasional, juga
apabila delik yang dilakukan atau akibat yang ditimbulkan terdapat dalam
lebih dari satu daerah hukum Pengadilan Tinggi. Sedang Tim Tetap Daerah
bertugas melakukan penyidikan perkara koneksitas yaitu apabila delik yang
dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat dalam lebih dari satu
daerah hukum Pengadilan Negeri tetapi dalam satu daerah hukum
Pengadilan Tinggi atau apabila pelaksanaan penyidikannya tidak dapat
diselesaikan oleh Tim Tetap yang ada dalam daerah hukum Pengadilan
Negeri dan masih dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan. Juga apabila delik yang dilakukan atau akibat yang
ditimbulkannya terjadi dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.
10
Unsur-unsur Tim Tetap sebagai penyidik perkara koneksitas tersebut tidak
menutup kemungkinan diikutsertakannya penyidik dari pegawai negeri
sipil, yang disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan.
Hal itu ditentukan dalam Pasal 7 Surat Keputusan Bersama sebagai berikut.
Ayat (1) Dalam hal perkara pidana koneksitas merupakan tindak pidana
tertentu yang diatur dalam undang-undang tertentu dengan ketentuan
khusus secara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2)
KUHAP, unsur Kejaksaan atau pejabat penyidik lainnya yang berwenang
berdasarkan peraturan perundangundangan diikutsertakan sebagai
anggota Tim Tetap.
Ayat (2) Dalam hal perkara pidana koneksitas merupakan tindak pidana
tertentu yang diatur dalam undang-undang di mana diterapkan adanya
penyidik pegawai negeri sipil, maka unsur penyidik pegawai negeri sipil
yang dimaksud diikutsertakan sebagai anggota Tim Tetap.
Ayat (3) Penunjukan keanggotaan dalam Tim Tetap dari unsur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Kepala
Kejaksaan/Kepala Kantor atau Perwakilan Departemen Komandan
Kesatuan unsur yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Pasal 6
KUHAP.
Ayat (1) Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan
oleh tindak pidana itu terletak pada kepentingan umum dan karenanya
tindak pidana itu harus diperiksa oleh pengadilan di lingkungan peradilan
umum maka pendapat itu merupakan pangkal tolak bagi penuntut umum
untuk mengajukan perkara kepada pengadilan.
Ayat (2) Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan
oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer/angkatan
bersenjata dan karenanya tindak pidana itu harus diperiksa oleh
pengadilan, maka pendapat tersebut merupakanusul kepada Menteri
Pertahanan Keamanan Panglima Angkatan Bersenjata melalui saluran
hierarki supaya dapat dikeluarkan Keputusan Menteri Pertahanan
Keamanan Panglima Angkatan Bersenjata yang disetujui oleh Menteri
Kehakiman untuk menetapkan bahwa tindak pidana tersebut diperiksa oleh
pengadilan di lingkungan peradilan Militer Angkatan Bersenjata.
11
Dalam Pasal 3 ayat (3) menyebutkan: faktor utama yang mempunyai
peranan penentu dalam penetapan letak titik berat kerugian yang
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ialah besarnya kerugian yang
ditimbulkan oleh tindak pidana itu pada kepentingan militer/angkatan
bersenjata atau kepentingan umum, dengan bila perlu dipertimbangkan
pula faktor-faktor tambahan ialah sifat tindak pidana, peranan, dan jumlah
pelaku pada nasing-masing pihak.
Apabila terjadi perbedaan pendapat seperti Pasal 93 ayat (1) di atas, maka
masing-masing pihak melaporkan secara tertulis terjadinya perbedaan
pendapat itu kepada atasannya dengan disertai alasannya. Dan selanjutnya
atasan tersebut yang mengambil alih untuk melaporkan.
12
"Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini”.
Penahanan terhadap golongan militer berlaku ketentuan UndangUndang
Nomor 6 Tahun 1950 juncto Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1958
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Hukum
Acara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan.
Ketentuan seperti Pasal 92 ayat (1) tersebut berlaku juga dalam bal perkara
koneksitas yang diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer.
Pasal 92 ayat (2) KUHAP berbunyi sebagai berikut.
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi oditur
militer atau oditur militer tinggi apabila perkara tersebut akan diajukan
kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”.Untuk selanjutnya
mengenai wewenang dan tanggung jawab Jaksa Penuntut Uraum dan
Oditur militer atau Oditur Militer Tinggi.
13
Pada dasarnya wewenang dan tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum dan
Oditur Militer Tinggi adalah sama. Pasal 137 Kitab UndangAcara Pidana
berbunyi sebagai berikut. Siapa Undang Hukum "Penuntut umum
berwenang melakukan penuntutan terhadap pun yang didakwa melakukan
suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara
ke pengadilan yang berwenang mengadili".
14
Ayat (1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
ayat (3) titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut
terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka perwira
penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara
yang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada
penuntut umum untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut
kepada pengadilan negeri yang berwenang.
Pemberian pangkat tituler ini tidak perlų, karena sama sekali tidak
berpengaruh. Kalau alasan untuk menyesuaikan hakim sipil dan hakim
militer, tidak logis. Keduanya sama-sama berstatus hakim. Pelaku
koneksitas ini terdiri dari 2 (dua) golongan yaitu sipil dan militer, dengan
diberinya pangkat tituler ini seakan-akan dititikberatkan pada pihak militer.
Bismar Siregar, S.H. (Mantan Hakim Agung) menyatakan sebagai berikut
“Tidak perlu hakim sipil diberi pangkat militer selama dalam persidangan,
bila perlu memakai tanda cakra yang dipergunakan hakim sehari-hari."
15