Anda di halaman 1dari 15

Nama : Joshua Bendry Nalle

Kelas : A3 Hukum Acara Pidana


Nama Dosen : Dr. Effendi Saragih, S.H., M.H.
Tugas : Membuat Resume Buku Hukum Acara Pidana Indonesia Bab
12 & 13 (Prof. Dr. jur. Andi Hamzah)

BAB 12
GANTI KERUGIAN DAN REHABILITASI

A. GANTI KERUGIAN

1. Pengertian

Sebagai imbalan kepada orang yang tidak bersalah karena kekeliruan


dalam menerapkan hukum acara pidana, sudah lebih satu abad
dipersoalkan di berbagai negara. Pada tahun 1884, seorang Belanda yang
bemama W.J. Leyds telah menyusun disertasi doktor berjudul De
Rechtsgrond der Schadevergoeding voor Preventieve Hechtenis."

Di Indonesia baru dengan UUKK dalam Pasal 9 dicantumkan ganti kerugian


dan rehabilitasi terhadap orang yang ditangkap, ditahan, dan atau dituntut
secara tidak sah. Penjabaran dalam KUHAP pada akhir tahun 1981.
Sebelum tercipta UUKK, di Indonesia belum ada peraturan tentang ganti
kerugian dan rehabilitasi, kecuali tentu melalui proses perdata yang
didasarkan kepada “perbuatan melanggar hukum” (on rechtmatige daad)
atau “perbuatan melanggar hukum oleh penguasa” (onrechtmatige
overheidsdaad), tersebut dalam Pasal 1365 BW. 9

Dalam hukum acara pidana lama (HIR) tidak diatur ganti kerugian.
Ketentuan ganti kerugian yang disebabkan oleh penangkapan, penahanan
yang tidak sah (unlawful arrest) telah bersifat universal. Hal itu tercantum
pula dalam (International Covenant on Civil and Political Rights). Pasal 9
yang berbunyi: Anyone who has been the victim of unlawful arrest or
detention shall have an enforceable rights to compensation. (Seseorang
yang telah menjadi korban penangkapan atau penahanan tidak sah akan
mendapat hak menuntut ganti kerugian).

Ketentuan internasional ini telah dijabarkan pula dalam konvensi Eropa


yang pada Pasal 5 ayat (5) berbunyi: Everyone who has the victim of arrest
or detention in contravention to the provisions of this article an enforceable
right to compensation.
Pemikiran menciptakan peraturan di bidang ini telah sejak beberapa tahun
dilakukan. Ketika Oemar Seno Adji menjabat ketua Mahkamah Agung, telah

1
dikeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 1980 yang
memperkenalkan kembali lembaga herziening. Bagaimana proses meminta
ganti kerugian setelah dibebaskan atau dilepas dari tuntutan hukum
sebagai putusan herziening, tidak diatur. Walaupun ada ketentuan lama
dalam Reglement op de Strafvordering dahulu, namun itu tidak dapat
diterapkan karena selain tidak berlaku lagi, juga diperuntukkan untuk
golongan Eropa. Sebagai kaidah pencerminan pun menurut pendapat
penulis, aturan itu tidak dapat dipergunakan.

Diundangkannya KUHAP cita-cita tersebut dapat terkabul, tercantum dalam


Pasal 95 sampai dengan Pasal 101 KUHAP. Ini merupakan penjabaran Pasal
9 UUPKK tersebut. Tetapi ketentuan dalam KUHAP ini masih kurang
sempurna, karena masih perlu dijabarkan dalam peraturan pelaksanaan
(Peraturan Pemerintah), antara lain ketentuan lain yang tegas mengenai
dalam hal-hal apakah ganti kerugian itu dapat diberikan dan bagaimana
hakim menilai besarnya ganti kerugian tersebut.

Sebenarnya tuntutan ganti kerugian merupakan hak keperdataan yang


dilanggar dalam rangka melaksanakan hukum acara pidana oleh pejabat
negara. Pelaksanaan yang salah itu berupa salah menangkap, menahan,
mengadili, atau tindakan lain, kekeliruan mengenai orang dan kekeliruan
dalam menerapkan hukum.

Perbedaannya dengan acara perdata biasa ialah dapatnya digabung


dengan perkara pidana, baik menurut UUPKK maupun menurut KUHAP,
selaras dengan peradilan cepat, murah, dan biaya ringan. Bukan hanya di
Indonesia berlaku ketentuan seperti itu, tetapi juga di negara-negara lain,
misalnya Prancis. Lintong Oloan Siahaan mengemukakan bahwa setiap
perkara pidana di Prancis terhadap gugatan perdatanya. Gugatan perdata
tersebut (la constitution de la partie civil) diperiksa dan diputus sekaligus
dengan perkara pidananya. Tetapi yang diceritakan oleh Siahaan tersebut
ialah gugatan ganti kerugian oleh korban, asuransi, jawatan pajak, dan
juga pemerintah kepada terdakwa. Dalam KUHAP, ketentuan tentang ganti
kerugian kepada pihak ketiga atau korban (kerugian bagi orang lain,
menurut istilah KUHAP), tidak tercantum dalam Bab XII tentang ganti
kerugian dan rehabilitasi, tetapi dalam Bab XIII tentang penggabungan
perkara gugatan ganti kerugian. Tentang hal ini akan diuraikan di belakang.

2. Acara Pelaksanaan Ganti Kerugian

Di muka telah diuraikan tentang penyertaan ganti kerugian itu yang


sebagian tersebut dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2). Sedangkan ayat (3) dan
(4) pasal itu mengatur tentang pelaksanaan ganti kerugian yang dimaksud

2
Dalam aturan pelaksanaan ini tidak disebut-sebun lagi tentang praperadilan
yang mempunyai acaranya sendiri. Ini berarti acara pelaksanaan ganti
kerugian dalam Pasal 95 ayat (3) dan (4) KUHAP ini hanya mengatur ganti
kerugian yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke pengadilan
negeri.

Acaranya demikian.

1. Orang yang berhak mengajukan tuntutan ganti kerugian ialah


tersangka, terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya kepada pengadilan
yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan (Pasal 95 ayat
(3) KUHAP).
2. Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian
tersebut, ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang
sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan. Apa
maksud ketentuan ini tidak dijelaskan. Menurut pendapat penulis,
ketentuan ini tidak perlu dan berkelebihan, karena kalau dibaca
penjelasan Pasal 95 ayat (1) maka timbul ketidakserasian. Penjelasan
itu berbunyi:
“Yang dimaksud dengan kerugian karena dikenakan tindakan lain ialah
kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan,
dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan
tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang
dijatuhkan.”
Perlu diperhatikan secara saksama kata-kata "...penahanan yang lebih
lama daripada pidana yang dijatuhkan”. Ketentuan ini akan mendorong
hakim yang menyidangkan suatu perkara untuk menjatuhkan pidana
tidak akan kurang daripada lamanya penahanan, karena kalau tidak
demikian, akan menimbulkan tuntutan ganti kerugian, yang menurut
ketentuan tersebut di muka, hakim itu juga yang akan memeriksa dan
memutuskannya.lama daripada maksimum ancaman pidana delik-delik
yang pembuatnya dapat ditahan menurut Pasal 21 ayat (4) KUHAP,
kecuali Pasal 282 ayat (2), Pasal 296, dan Pasal 506 KUHP yang
ancaman pidananya ringan
3. Pemeriksaan dan putusan mengenai tuntutan ganti kerugian mengikuti
acara praperadilan.
4. Putusan tentang pemberian ganti kerugian berbentuk penetapan yang
memuat dengan lengkap semua hal yang dipertimbangkan sebagai
alasan bagi putusan tersebut (Pasal 96 ayat (1) dan (2) KUHAP).

3
B. REHABILITASI

Ketentuan tentang rehabilitasi di dalam KUHAP hanya pada satu pasal saja,
yaitu Pasal 97. Sebelum pasal itu, dalam Pasal 1 butir 23 terdapat definisi
tentang rehabilitasi sebagai berikut.
“Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan baknya
dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang
diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena
ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undangundang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini.”
Senada dengan definisi tersebut, Pasal 97 ayat (1) KUHAP berbunyi:
“Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus
bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Selanjutnya ditentukan bahwa
rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan
pengadilan tersebut di atas (Pasal 97 ayat (2) KUHAP). Yang tidak
dijelaskan dalam KUHAP ialah apakah rehabilitasi akibat putusan bebas
atau lepas dari segala tuntutan hukum tersebut bersifat fakultatif (dituntut
oleh terdakwa) ataukah imperatif. Artinya, setiap kali hakim niemutus
bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap harus diberikan rehabilitasi. Hal ini mestinya diatur
dalam aturan pelaksanaan KUHAP.

Selanjutnya perlu diperhatikan, bahwa sebagaimana halnya dengan


ketentuan ganti kerugian, pada proses rehabilitasi pun dibedakan antara
perkara yang diajukan ke pengadilan dan yang tidak. Acara untuk perkara
yang diajukan ke pengadilan negeri berlaku ketentuan Pasal 97 ayat (1)
dan (2) KUHAP tersebut, sedangkan yang tidak, diputus oleh hakim
praperadilan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP. Hal ini
disebut oleh Pasal 97 ayat (3) KUHAP. '
Bagaimana bunyi dalam putusan rehabilitasi tersebut tidak diatur dalam
KUHAP, sehingga perlu dicantumkan pula dalam aturan pelaksanaan.
Begitu pula halnya dengan acaranya, apakah harus dituntut oleh tersangka
atau terdakwa.

C. GANTI KERUGIAN KEPADA PIHAK KETIGA (KERUGIAN BAGI ORANG LAIN)


Menurut Sistematika KUHAP, kerugian dalam bentuk ini tidak dimasukkan
ke dalam Bab XII dan juga tidak dimasukkan ke dalam definisi tentang
ganti kerugian seperti tersebut di muka, tetapi disebut di dalam Bab XII
tentang penggabungan gugatan ganti kerugian.

4
Dalam perundang-undangan negara lain dan juga dalam literatur sering
disebut tiga macam ganti kerugian. Ketiga macam ganti kerugian itu adalah
sebagai berikut.

1. Ganti kerugian karena seseorang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun


diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan
mengenai orangnya atau salah dalam menerapkan hukum. Ini sama
dengan yang dimaksud dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 1
butir 22 KUHAP dan pengaturannya dalam Pasal 95 dan 96
2. Ganti kerugian kepada pihak ketiga atau korban (victim atau beledigde
partij). Ini sejajar dengan ketentuan dalam Bab XIII KUHAP mengenai
penggabungan perkara gugatan ganti kerugian (Pasal 98 sampai
dengan Pasal 101 KUHAP) yang tidak dimasukkan ke dalam pengertian
ganti kerugian.
3. Ganti kerugian kepada berkas terpidana sesudah peninjauan kembali
(herziening). Dalam Bab XVIII Bagian Kedua tentang peninjauan
kembali putusan pengadilan KUHAP tidak disebut-sebut tentang ganti
kenigian.

Ketentuan ganti kerugian kepada pihak ketiga atau korban delik, terdapat
variasi di beberapa negara, sebagaimana telah diutarakan di muka,
penggabungan perkara gugatan perdata pihak ketiga dan perkara
pidananya dikenal juga di Prancis, yang ternyata pihak ketiga itu luas
artinya karena meliputi selain gugatan dari korban delik, juga biasa muncul
gugatan dari asuransi kesehatan (Securite: Sosial), pihak pemerintah
dalam hal pelanggaran izin usaha, pihak douane, perpajakan, dan
lainlain.')

Dapatkah diterapkan di Indonesia ketentuan Pasal 98 sampai dengan Pasal


101 KUHAP itu? Apakah juga ada kemungkinan pihak ketiga yang lain
selain dari korban delik yang langsung itu juga dapat mengajukan gugatan
ganti kerugian? Menurut pendapat penulis, hal demikian dapat dilakukan,
dengan alasan berikut.

1. Pasal 98 KUHAP mengatakan “... menimbulkan kerugian bagi orang


lain...”kemudian dijelaskan dalam penjelasan pasal itu bahwa yang
dimaksud dengan kerugian bagi orang lain (termasuk kerugian
pihak korban). Jadi, korban delik bukan satu-satunya “orang lain”
itu. Tidak limitatif pada korban delik saja.
2. Menurut Pasal 101 KUHAP, ketentuan hukum acara perdata berlaku
bagi gugatan ganti kerugian ini sepanjang KUHAP tidak
menentukan lain. Sebagaimana diketahui gugatan perdata itu luas
ruang lingkupnya. Jadi, semua pihak yang merasa dirugikan oleh
pelaku delik itu dapat mengajukan gugatan.

5
Namun demikian, ada baiknya kalau dalam peraturan pelaksanaan
KUHAP, ditegaskan demi kepastian hukum.
Meskipun dalam peraturan lama (HIR) tidak diatur tentang penggabungan
perkara perdata (ganti kerugian kepada korban) dan perkara pidananya,
tetapi melalui suatu putusan menjatuhkan pidana bersyarat
(voorwaardelijke veroordeling) seperti diatur di penggabungan perkara
yang diatur dalam KUHAP tersebut.

Sama halnya dengan perkara korupsi yang tidak terlalu berat, misalnya
korupsi Kredit BIMAS, penulis setuju dengan kebijaksanaan hakim yang
menjatuhkan pidana bersyarat dengan syarat khusus, yaitu
mengembalikan seluruh kredit yang telah diterimanya (dengan cara
melawan hukum itu), kepada bank (pemerintah). Dengan demikian
negara tidak dirugikan dan dapat lebih lanjut memperlancar
pembangunan. Putusan semacam ini diterapkan di Bogor pada tahun
1981.

Dalam Pasal 14 a ayat (1) dan (4), dan pasal-pasal KUHP berikutnya, di
mana dimungkinkan suatu syarat khusus, misalnya terpidana dipidana
pula dengan syarat khusus membayar ganti kerugian kepada korban,
maka tercapai juga penyelesaian secara perdata . Akan tetapi perlu
diingat bahwa putusan itu harus berbentuk pidana bersyarat
(voorwaardelijk) yang umumnya mengenai perkara-perkara yang tidak
berat. Sekarang pun penyelesaian melalui pidana bersyarat ini masih
dapat dilakukan. Dalam hal ini korban delik tidak perlu mengajukan
gugatan khusus.

D. GANTI KERUGIAN KEPADA TERPIDANA SETELAH PENINJAUAN KEMBALI

Di dalam KUHAP diatur tentang upaya hukum luar biasa. Salah satu upaya
hukum luar biasa itu ialah peninjauan kembali (herziening), tercantum di
dalam Bab XVIII Bagian Kedua (Pasal 263, 269).
Salah satu ketentuan yang penting mengenai peninjauan kembali ini
tercantum pada Pasal 266 ayat (2) butir b yang berbunyi:
“Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah
Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan
menjatuhkan putusan yang berupa:

1. putusan bebas;
2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
3. putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
4. putusan dengan menetapkan ketentuan pidana yang lebih ringan."

6
Nyatalah bahwa yang tersebut pada butir 1 sampai dengan 3 membawa
akibat terpidana tidak dijatuhi pidana dalam peninjauan kembali itu.
Menjadi pertanyaan sekarang, dapatkah terpidana tersebut menuntut
ganti kerugian karena temyata ia lepas dari pemidanaan? Hal ini dengan
mudah dijawab secara logis, bahwa tentu dapat dalam ukuran yang sama
dengan yang diuraikan di depan.

Yang menjadi masalah ialah bagaimana caranya menuntut ganti kerugian,


yang dalam Bagian Kedua Bab XVIII tentang peninjauan keinbali itu tidak
disebut-sebut. Menurut penulis, ini merupakan kelemahan KUHAP pula.
Sedangkan peraturan lama yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu
Reglement op de Strafvordering dan juga Ned. Sv. mengatur hal ganti
kerugian di bagian herziening.

Dalam kedua peraturan itu diatur putusan ganti kerugian kepada bekas
terpidana dijatuhkan bersama-sama dengan putusan peninjauan kembali
Pasal 481 Ned. Sv. yang mengatur hal itu sejajar dengan Pasal 360
Reglement op de Strafvordering di Indonesia dahulu (disingkat R. Sv.).

Oemar Seno Adji mengadakan perbandingan antara kedua peraturan


tersebut, di mana terdapat persamaan dan juga perbedaan. Menurut
beliau persamaannya adalah sebagai berikut.
1. Ganti kerugian kedua pasal itu merupakan bagian ketentuan tentang
herziening. Keduanya merupakan pasal terakhir bab tentang
herziening
2. Kedua pasal itu menentukan bahwa ganti kerugian diberikan menurut
pertimbangan hakim berdasarkan billijkheid (keadilan).
3. Kedua pasal itu menentukan bahwa pemberian ganti kerugian
bersifat imperatif (dwingend). Sedangkan ganti kerugian yang
disebabkan oleh penahanan yang tidak sah (unlawful arresi) bersifat
fakultatif.

7
BAB 13
PERADILAN KONEKSITAS

A. PENGERTIAN

Peradilan koneksitas adalah sistem peradilan terhadap tersangka pembuat


delik penyertaan antara orang sipil dan orang militer. Atau dapat juga
dikatakan peradilan antara mereka yang tunduk kepada yurisdiksi peradilan
umum dan peradilan militer.

Dengan demikian, maka sudah dapat dipastikan bahwa peradilan


koneksitas pasti menyangkut delik penyertaan antara yang dilakukan oleh
orang sipil bersama-sama dengan orang militer yang diatur dalam Pasal 55
dan 56 KUHP.

Pasal 89 ayat (1) KUHAP. KUHAP mengatur tentang peradilan koneksitas


dalam enam buah pasal (Pasal 89–94).

Kalau kita perhatikan bunyi Pasal 22 UUPKK yang persis sama dengan Pasal
89 ayat (1) KUHAP ini, jika terjadi delik penyertaan antara orang militer
(yang tunduk kepada peradilan militer) dan orang sipil (yang tunduk
kepada peradilan umum), maka primus interpares yang berwenang
mengadili ialah pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Para
tersangka (sipil bersama militer) diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer, merupakan pengecualian. Hanya jika menurut Menteri
Pertahanan/Keamanan, perkara itu harus diperiksa dan diadili olch
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Penjelasan Pasal 89 ayat
(1) KUHAP mengatakan “cukup jelas”.

Di Malaysia dan Singapura, perkara koneksitas yang tersebut pertama


(delik umum yang dilakukan bersama-sama antara orang sipil dan militer)
diadili oleh pengadilan biasa (umum) dan juga disidik oleh polisi biasa.
Hanya yang termasuk delik militer murni yang diadili oleh pengadilan
militer. Undang-Undang tentang TNI sama dengan ini.

Tetapi kita di Indonesia sistemnya mengikuti pembuat delik, kalau orang


militer melakukan delik umum (tanpa kerja sama dengan orang sipil) tetapi
diadili oleh pengadilan militer. Jadi, kemungkinan orang militer liadili oleh
pengadilan umum hanya kalau terjadi delik yang dilakukan bersama-sama
antara militer dan sipil (koneksitas). Dengan demikian, ini merupakan
penyimpangan dari sistem mengikuti pembuatnya

8
Penjelasan Pasal 22 UUPKK lama hanya menyebut penyertaan yang
tercantum di dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, bagaimana dengan delik pers?
Bagaimana jika terjadi orang militer mengarang sesuatu yang bersifat delik
lalu diterbitkan atau dicetak oleh orang sipil?

Kalau kita baca Pasal 90 ayat (1), (2), dan (3), maka kelihatan adanya
ketidakserasian dengan Pasal 89 ayat (1) KUHAP. Di muka, telah dikatacan
bahwa berdasarkan Pasal 89 ayat (1) KUHAP, nyata pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum yang primus interpares dalam hal perkara
koneksitas. Tetapi apa yang disebut di dalam Pasal 90 ayat (1) KUHAP
kriterianya menjadi lain lagi. Pasal itu berbunyi: “Untuk menetapkan
apakah pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum yang akan mengadili perkara pidana

Ini menunjukkan ketidakserasian dengan Pasal 89 ayat (1) itu. Dengan


vunyi Pasal 90 ayat (1) demikian itu, berarti setiap kali terjadi delik
Koneksitas harus diadakan “penelitian bersama oleh jaksa atau jaksa tinggi
lan oditur militer atau oditur militer tinggi, atas hasil penyidikan tim
tersebut”, pada Pasal 89 ayat (2), yaitu tim tetap yang terdiri dari penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 KUHAP dan polisi militer ABRI.
Jelaslah ketidakserasian antara Pasal 22 UUPKK lama yang sama dengan
Pasal 89 ayat (1) di satu pihak dan Pasal 90 ayat (1), (2), dan (3) di lain
pihak.

Supaya serasi, mestinya Pasal 90 ayat (1) KUHAP berbunyi: "Untuk


menetapkan apakah Menteri Pertahanan perlu memutuskan dengan
persetujuan Menteri Kehakiman, bahwa pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer yang memeriksa dan mengadili perkara sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 89 ayat (1), maka diadakan penelitian bersama oleh
jaksa atau jaksa tinggi dan oditur militer atau oditur militer tinggi atas ...
dan seterusnya”.

B. PENYIDIKAN PEKARA KONEKSITAS


Penyidikan merupakan langkah kedua dalam permulaan tahap pertama
pelaksanaan Hukum Acara Pidana. Langkah pertama ialah mencari
kebenaran yang dalam KUHAP dipakai istilah penyelidikan. Di muka telah
dikutip definisi penyidikan menurut KUHAP. Cara penyidikan tentulah sama
saja dalam peradilan koneksitas.

Yang berbeda ialah pejabat yang melaksanakan fungsi penyidikan tersebut


yang diatur di dalam Pasal 89 ayat (2) KUHAP yang mengatakan sebagai
berikut.

9
“Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia dan oditur militer atau orditur militer tinggi sesuai dengan
wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk
penyidikan perkara pidana".
Ayat (3) pasal itu menentukan cara penunjukan tim untuk menyidik perkara
koneksitas, yang berbunyi sebagai berikut.
“Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat
keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri
Kehakiman". Jadi, dapatlah disimpulkan bahwa dalam perkara koneksitas
ini penyidikan dilakukan oleh suatu tim gabungan yang dibentuk oleh
Menteri Pertahanan dan Keamanan dan Menteri Kehakiman yang terdiri
atas:
a. Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 KUHAP;
b. Polisi militer ABRI;
c. Oditur militer atau oditur militer tinggi.

Penyidikan ini sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut


hukum yang berlaku dalam arti terhadap penyidikan anggota militer (ABRI)
tetap digunakan Undang-Undang Nomor 1/Dr/1951 jo. Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1950.

Tugas Tim Tetap Pusat dan Daerah berbeda. Tim Tetap Pusat bertugas
melakukan penyidikan perkara koneksitas apabila perkara dan tahu
tersangkanya mempunyai bobot nasional dan/atau internasional, juga
apabila delik yang dilakukan atau akibat yang ditimbulkan terdapat dalam
lebih dari satu daerah hukum Pengadilan Tinggi. Sedang Tim Tetap Daerah
bertugas melakukan penyidikan perkara koneksitas yaitu apabila delik yang
dilakukan atau akibat yang ditimbulkannya terdapat dalam lebih dari satu
daerah hukum Pengadilan Negeri tetapi dalam satu daerah hukum
Pengadilan Tinggi atau apabila pelaksanaan penyidikannya tidak dapat
diselesaikan oleh Tim Tetap yang ada dalam daerah hukum Pengadilan
Negeri dan masih dalam daerah hukum Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan. Juga apabila delik yang dilakukan atau akibat yang
ditimbulkannya terjadi dalam daerah hukum Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.

Dalam melaksanakan tugasnya melakukan penyidikan, Tim Tetap tersebut


dipimpin dan diawasi oleh Ketua Tim Tetap secara bergilir dengan masa
jabatan satu tahun. Jabatan tersebut untuk pertama kali diberikan kepada
penyidik kepolisian kemudian Polisi Militer dan terakhir oleh Oditur Militer.

10
Unsur-unsur Tim Tetap sebagai penyidik perkara koneksitas tersebut tidak
menutup kemungkinan diikutsertakannya penyidik dari pegawai negeri
sipil, yang disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan.
Hal itu ditentukan dalam Pasal 7 Surat Keputusan Bersama sebagai berikut.

Ayat (1) Dalam hal perkara pidana koneksitas merupakan tindak pidana
tertentu yang diatur dalam undang-undang tertentu dengan ketentuan
khusus secara pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2)
KUHAP, unsur Kejaksaan atau pejabat penyidik lainnya yang berwenang
berdasarkan peraturan perundangundangan diikutsertakan sebagai
anggota Tim Tetap.
Ayat (2) Dalam hal perkara pidana koneksitas merupakan tindak pidana
tertentu yang diatur dalam undang-undang di mana diterapkan adanya
penyidik pegawai negeri sipil, maka unsur penyidik pegawai negeri sipil
yang dimaksud diikutsertakan sebagai anggota Tim Tetap.
Ayat (3) Penunjukan keanggotaan dalam Tim Tetap dari unsur
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan oleh Kepala
Kejaksaan/Kepala Kantor atau Perwakilan Departemen Komandan
Kesatuan unsur yang bersangkutan, sesuai dengan ketentuan Pasal 6
KUHAP.

Perundang-undangan yang mengatur mengenai tindak pidana tertentu, di


samping mengatur mengenai aturan hukum materiil juga mengatur
mengenai hukum formal atau acaranya.
Kita lihat terlebih dahulu Pasal 284 ayat (2) KUHAP “Dalam waktu dua
tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua
perkara diberlakukan ketentuan undang-undang berikut.

Ayat (1) Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan
oleh tindak pidana itu terletak pada kepentingan umum dan karenanya
tindak pidana itu harus diperiksa oleh pengadilan di lingkungan peradilan
umum maka pendapat itu merupakan pangkal tolak bagi penuntut umum
untuk mengajukan perkara kepada pengadilan.
Ayat (2) Apabila menurut pendapat itu titik berat kerugian yang ditimbulkan
oleh tindak pidana tersebut terletak pada kepentingan militer/angkatan
bersenjata dan karenanya tindak pidana itu harus diperiksa oleh
pengadilan, maka pendapat tersebut merupakanusul kepada Menteri
Pertahanan Keamanan Panglima Angkatan Bersenjata melalui saluran
hierarki supaya dapat dikeluarkan Keputusan Menteri Pertahanan
Keamanan Panglima Angkatan Bersenjata yang disetujui oleh Menteri
Kehakiman untuk menetapkan bahwa tindak pidana tersebut diperiksa oleh
pengadilan di lingkungan peradilan Militer Angkatan Bersenjata.

11
Dalam Pasal 3 ayat (3) menyebutkan: faktor utama yang mempunyai
peranan penentu dalam penetapan letak titik berat kerugian yang
dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ialah besarnya kerugian yang
ditimbulkan oleh tindak pidana itu pada kepentingan militer/angkatan
bersenjata atau kepentingan umum, dengan bila perlu dipertimbangkan
pula faktor-faktor tambahan ialah sifat tindak pidana, peranan, dan jumlah
pelaku pada nasing-masing pihak.
Apabila terjadi perbedaan pendapat seperti Pasal 93 ayat (1) di atas, maka
masing-masing pihak melaporkan secara tertulis terjadinya perbedaan
pendapat itu kepada atasannya dengan disertai alasannya. Dan selanjutnya
atasan tersebut yang mengambil alih untuk melaporkan.

C. PENAHANAN DALAM PERKARA KONEKSITAS


Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman
cukup banyak memberikan landasan hukum bagi perlindungan hak asasi
manusia, salah satunya adalah sebagai berikut.
Pasal 7 berbunyi:

"Tidak seorang jua pun dapat dikenakan penangkapan penahanan


penggeledahan dan penyitaan selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan
yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang”.
Berdasarkan Pasal 7 di atas, seseorang yang memperoleh tugas khusus
untuk menjalankan tugas penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan wajib membawa surat perintah tertulis dari kekuasaan yang sah,
maka setiap orang diperbolehkan menolak perintah pejabat yang
bersangkutan.

Dalam uraian tersebut di atas penulis hanya membahas masalah


penahanan dalam perkara koneksitas.
Kita ketahui bahwa perkara koneksitas itu merupakan delik yang dilakukan
oleh mereka yang termasuk anggota militer dan sipil untuk itu dalam hal-
hal yang bersifat khusus diberlakukan peraturan-peraturan yang berbeda.
Antara lain dalam hal penahanan: bagi golongan sipil berlaku ketentuan
KUHAP sedang bagi golongan militer berlaku ketentuan Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1950 juncto Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1958
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Hukum
Acara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan. Pasal 1 butir 21 KUHAP
berbunyi sebagai berikut.

12
"Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat
tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan
penetapannya dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-
undang ini”.
Penahanan terhadap golongan militer berlaku ketentuan UndangUndang
Nomor 6 Tahun 1950 juncto Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1958
tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1950 tentang Hukum
Acara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan.

D. PENUNTUTAN PERKARA KONEKSITAS

Setelah penyidik selesai melakukan penyidikan, penyidik menyerahkan


berkas perkara kepada penuntut umum juga tersangka maupun barang
buktinya. Dengan demikian, tanggungjawab tersangka dan barang bukti
beralih dari penyidik ke pemuntut umum.
Penuntut umum mempelajari dan meneliti apakah nasil penyidikan sudah
lengkap ataukah belum. Apabila berkas perkara sudah memenuhi syarat,
maka peruntut umum melimpahkan ke pengadilan untuk diadakan
pemntutan.
Dalam hal perkara koneksitas tersebut diadili oleh Pengadilan Negeri, maka
Pasal 92 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menentukan,
sebagai berikut.

"Apabila perkara diajukan kepada pengadilan negeri sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1), maka berita acara pemeriksaan yang
dibuat oleh tim sebagaimana diraakud dalam Pasal 89 ayat (2) dibubuhi
catatan oleh penuntut urnum yang mengajukan perkara, bahwa berita
acara tersebut telah diambil alih olehnya”.Untuk perkara koneksitas yang
akan diadili pada lingkungan peradilan umum, yang bertindak sebagai
penuntut umum adalah Jaksa pada Kejaksaan yang delik koneksitas itu
dilakukan di daerah hukumnya. Berita acara pemeriksaan yang dibuat oleh
penyidik atau tim tetap harus ditambah catatan telah diambil alih oleh Jaksa
yang bertindak sebagai penuntut umum tersebut.

Ketentuan seperti Pasal 92 ayat (1) tersebut berlaku juga dalam bal perkara
koneksitas yang diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer.
Pasal 92 ayat (2) KUHAP berbunyi sebagai berikut.
“Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga bagi oditur
militer atau oditur militer tinggi apabila perkara tersebut akan diajukan
kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer”.Untuk selanjutnya
mengenai wewenang dan tanggung jawab Jaksa Penuntut Uraum dan
Oditur militer atau Oditur Militer Tinggi.

13
Pada dasarnya wewenang dan tanggung jawab Jaksa Penuntut Umum dan
Oditur Militer Tinggi adalah sama. Pasal 137 Kitab UndangAcara Pidana
berbunyi sebagai berikut. Siapa Undang Hukum "Penuntut umum
berwenang melakukan penuntutan terhadap pun yang didakwa melakukan
suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara
ke pengadilan yang berwenang mengadili".

E. PRAPERADILAN PERKARA KONEKSITAS


Jika delik yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang lingkungan
peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, maka timbul masalah
hukum mengenai apakah seorang militer dapat diperiksa di muka sidang
praperadilan yang dilaksanakan oleh pengadilan negeri (bukan pengadilan
militer).

Pada tanggal 8 Desember 1983 Makamah SE-MA/15 Tahun 1983 tentang


Wewenang Pengadilan Negeri untuk melaksanakan sidang praperadilan
terhadap seorang yang berstatus militer. SE-MA/15 Tahun 1983 tersebut
menyebutkan bahwa:

“Yang menjadi dasar/patokan untuk menentukan pengadilan yang


berwenang melaksanakan sidang praperadilan adalah status si pelaku
tindak pidana dan bukan status pejabat yang melakukan
penangkapan/penahanan. Jadi, apabila status si pelaku kejahatan adalah
sipil, maka pengadilan yang berwenang melaksanakan sidang praperadilan
adalah Pengadilan Negeri, meskipun yang didakwa melakukan
penangkapan/penahanan secara tidak sah itu statusnya adalah militer".

F. PERADILAN PERKARA KONEKSITAS

Dalam memeriksa perkara pidana dengan acara biasa, terhadap


perkaraperkara yang dilimpahkan berdasarkan Pasal 143 KUHAP, yang
menurut Jaksa Penuntut Umum termasuk kekuasaan atau wewenang
Pengadilan Negeri untuk diperiksa dan diadili maka Ketua Pengadilan
Negeri berdasarkan Pasal 147 KUHAP mempelajari perkara tersebut apakah
perkara itu termasuk kekuasaan atau wewenang pengadilan yang
dipimpinnya
Mengenai pemeriksaan perkara koneksitas, Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana mengatur mengenai wewenang mengadili dan susunan hakim
pengadilan.
Kewenangan mengadili perkara koneksitas, berdasarkan Pasal 91 KUHAP,
yang berbunyi sebagai berikut.

14
Ayat (1) Jika menurut pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90
ayat (3) titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut
terletak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus
diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka perwira
penyerah perkara segera membuat surat keputusan penyerahan perkara
yang diserahkan melalui oditur militer atau oditur militer tinggi kepada
penuntut umum untuk dijadikan dasar mengajukan perkara tersebut
kepada pengadilan negeri yang berwenang.

peradilan militer secara berimbang. Apabila perkara tersebut diadili dalam


lingkungan peradilan militer, maka ketua majelis hakim dari lingkungan
peradilan militer dan hakim anggota dari lingkungan peradilan militer dan
peradilan umum secara berimbang. Akan tetapi, hakim dari lingkungan
peradilan umum diberi pangkat militer tituler sesuai dengan hakim perwira
yang lain.

Pemberian pangkat tituler ini tidak perlų, karena sama sekali tidak
berpengaruh. Kalau alasan untuk menyesuaikan hakim sipil dan hakim
militer, tidak logis. Keduanya sama-sama berstatus hakim. Pelaku
koneksitas ini terdiri dari 2 (dua) golongan yaitu sipil dan militer, dengan
diberinya pangkat tituler ini seakan-akan dititikberatkan pada pihak militer.
Bismar Siregar, S.H. (Mantan Hakim Agung) menyatakan sebagai berikut

“Tidak perlu hakim sipil diberi pangkat militer selama dalam persidangan,
bila perlu memakai tanda cakra yang dipergunakan hakim sehari-hari."

Susunan majelis hakim seperti tersebut berlaku juga pada pemeriksaan


perkara koneksitas di Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Militer Tinggi
dalam tingkat banding. Adapun untuk hakim perkara koneksitas secara
timbal balik antara Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan dan
Keamanan mengusulkan pengangkatan bakim anggota, begitu juga hakim
perwira.

15

Anda mungkin juga menyukai