Anda di halaman 1dari 10

TUGAS 2

PERBANDINGAN HUKUM PIDANA

NAMA : ELIA TRI UTARI


NIM : 11000120410083
DOSE PENGAMPU : Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H.

27. Dalam KUHP Belanda ada Pasal yang berbunyi sbb:

“The judge may determine in the judgment that no punishment or measure shall be
imposed, where he deems this advisable, by reason of the lack of gravity of the offense,
the character of the offender, or the circumstances attendant upon the commission of the
offense or thereafter”.

a. Jelaskan yang dimaksud dengan bunyi pasal tersebut.


Dalam pasal 9a WvS Belanda dengan nama “Rechterlijk pardon” atau
permaafan hakim yang diterjemahkan berbunyi “Jika hakim menganggap patut
berhubungan dengan kecilnya arti perbuatan, kepribadian pelaku atau keadaan-
keadaan pada waktu perbuatan dilakukan, begitu pula sesudah itu ia menunjukkan
keteladanan, ia (hakim) dapat menentukan di dalam putusan bahwa tidak ada pidana
atau tindakan yang dijatuhkan.”1
Oleh karena dimasukkanya Pasal 9a WvS, penyusun hukum acara pidana
Belanda mengharmonisasikannya dengan memasukkan 4 (empat) kemungkinan
dalam menjatuhkan suatu putusan oleh Majelis Hakim:
1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana;
2. Putusan bebas (vrij spraak);
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging);
dan
4. Putusan Pemaafan Hakim (Rechterlijk pardon).
Latar belakang dimasukkannya konsep Rechterlijk pardon, menurut Prof. Nico
Keizer ialah banyaknya terdakwa yang sebenarnya telah memenuhi pembuktian, akan
tetapi jika diajatuhkan suatu pemidanaan akan bertentangan dengan rasa keadilan.
Atau dapat dikatakan jika dijatuhkan pemidanaan, maka akan timbul suatu benturan
antara kepastian hukum dengan keadilan hukum. Sebelum tahun 1983 apabila terjadi
1
Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Yarsif
Watampone, 2010), hal 170-171. Dalam Bahasa Belanda “Indien de rechter dit raadzaam acht in verband met
de geringe ernst van het feit, de persoonlijkheid van de dader of de omstandigheden waaronder het feit is
begaan, dan wel die zich nadien hebben voorgedaan, kan hij in het vonnis bepalen dat geen straf of maatregel
zal worden opgelegd.”
permasalahan di atas, Majelis Hakim akan secara “terpaksa” harus menjatuhkan
pidana sekalipun sangat ringan. Dari penjelasan demikian terlihat bahwa Pasal 9a
WvS Belanda, pada hakikatnya merupakan “pedoman pemidanaan” yang
dilatabelakangi oleh ide fleksibilitas untuk menghindari kekakuan. Dapat pula
dikatakan bahwa adanya pedoman pemaafan hakim itu berfungsi sebagai suatu katup/
klep pengaman (veiligheidsklep) atau pintu darurat (noodeur).2
Andi Hamzah berpendapat bahwa Rechterlicht pardon dalam pasal 9a WvS ,
hakim dapat tidak menjatuhkan pidana atau tindakan yang berarti, hakim mungkin
juga menjatuhkan pidana. Hal ini merupakan pengaruh dari paham subsosiolitas
(subsocialiteit). Menurut paham ini, apabila suatu perbuatan merupakan suatu delik,
akan tetapi secara sosial kecil artinya, maka tidaklah perlu dijatuhkan pidana atau
tindakan.3
b. Bandingkan materi yang diatur itu dengan KUHP Asing lainnya dan dengan
KUHP Indonesia.
Sebenarnya bagi beberapa negara, konsep lembaga pemaafan hakim terdengar
asing. Hal ini dikarenakan konsepsi pardon/clemency pada umumnya terletak pada
kekuasaan eksekutif, bukan pada yudisial. Penempatan pardon/clemency pada
kekuasaan eksekutif juga dianut oleh negara Indonesia dengan bentuk amnesti, tetapi
peletakkanya pada lembaga yudisial merupakan hal yang baru dan sedikit janggal.
Di Indonesia Majelis Hakim dalam memutuskan suatu perkara menurut
KUHAP hanya memungkinkan 3 (tiga) kemungkinan, yaitu:
1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana (veroordeling tot enigerlei sanctie);
2. Putusan bebas (vrij spraak);
3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging).
Putusan bebas berarti terdakwa dijatuhi putusan bebas atau dinyatakan bebas
dari tuntutan hukum atau acquittal. Berdasarkan Pasal 191 ayat (1) KUHAP putusan
bebas dijatuhkan jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan. Oleh karenanya, suatu putusan bebas setidaknya didasarkan
pada tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif
dan/atau tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian.

2
Adery Ardhan Saputro, Konsepsi Rechterlijk pardon atau pemaafan hakim dalam rancangan KUHP, Mimbar
Hukum, Vol. 28, No. 1, hlm. 2-3.
3
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal 137
Sedangkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan menurut
KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana maka
terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Oleh karena itu, apa yang
didakwakan kepada terdakwa pada putusan lepas cukup terbukti secara sah dan
meyakinkan, namun perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak bersalah
(sengaja/alpa) atau tidak melawan hukum atau ada alasan pemaaf (feit d’excuse).4
Hanya sedikit negara yang mengatur judicial pardon diantaranya : Belanda,
Perancis, Portugal, Greenland, Somalia, Uzbekistan dan Yunani. Hal ini baru
dimasukkan di Indonesia pada konsep RKUHP tahun 1991-1992, sebelumnya hal
belum diatur sedangkan diberbagai Negara, pengaturan akan lembaga pemaafan
hakim baru dimasukkan pada sekitaran tahun 1970.
Terdapat beberapa negara lainnya yang mengatur akan lembaga pemaafan
hakim, yakni:5
1. Negara Yunani mengatur tentang “non imposing of a penalty” dalam Pasal
302 ayat (2) dan Pasal 314 ayat (2) Penal code;
2. Negara bagian Greenland mengatur tentang “The court may abstain from
iposing any sanction” dalam Pasal 86 ayat (1) KUHP Greenland
3. Negara Somalia mengatur pada Pasal 147 ayat (1) dan ayat (2) yang
berbunyi: “Where, in the case of an offence committed by a person under
18 or over 70 years of age, the applicable punishment is imprisonment for
a maximum term of not more than three years or a pecuniary punishment,
or both, the judge may abstain from entering conviction and grant judicial
pardon where, having regard to the cirmcumstances referred do in article
110, he considers the offender will not commit any further offence. A
judicial pardon shall extinguish the crime.” Selanjutnya pada pasal 147
ayat (2) KUHP Somalia mengatakan “a judicial pardon may not be
granted more than once”.
4. Negara Uzbekistan mengatur pada Pasal 70 yang berbunyi: A person, who
committed a crime, may be discharged from penalty, in the instance if it is
recognized that by the time of investigation or trial, due to changes of
situation, or the person’s irreproachable conduct, bona fide labor or
4
Ibid, hlm. 2.
5
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana (Cetakan 3), Bandung: PT Citra ADitya Bakti, 2013, hlm.
8
study, has lost his socially dangerous nature.” (Seseorang yang
melakukan tindak pidana, dapat dibebaskan dari hukuman apabila dari
perbuatan yang telah dilakukan, telah kehilangan bahaya sosialnya).

30. dilihat dari kajian perbandingan :

a. jelaskan beberapa model ATPER (aturan peralihan) di berbagai negara;6


Pengaturan peralihan hanyalah mengatur mengenai transisi ketentuan pidana
yang sudah usang untuk dicabut, diperbaiki atau menambah ketentuan pidana baru
yang sebelumnya tidak ada. Terkait pengaturan itu beberapa negara yang menganut
kodifikasi mempunyai mekanisme yang berbeda-beda, seperti pengaturan di Belanda,
Perancis, dan Argentina.
1) Wetboek van Stafrecht Belanda
Wvs Belanda menganut sistem kodifikasi peralihan dengan cara
mengubah kodifikasi secara sebagian dan bertahap. Pengubahannya
dilakukan secara sebagian sesuai dengan keperluan legislasi. Sehingga
Wvs tidak mencabut pengaturannya sejak dari 1881, namun mengubahnya
melalui suatu UU secara bertahap sampai dengan sekarang.
Contohnya ialah sebagai berikut:
Mendasarkan pada Pasal 372-375 WvS, pencabutan maupun
perubahannya diatur menggunakan UU tersendiri yang berbeda. Sehingga
aturan peralihannya termuat dalam UU terpisah (01/09/2006), tidak
dimasukkan ke dalam WvS yang dikodifikasi. Belanda sendiri tidak
pernah melakukan rekodifikasi pidananya secara total. Negara ini
mengubahnya secara parsial dengan menggunakan UU tersendiri yang
pada akhirnya akan mengubah secara langsung WvS tersebut. Pengaturan
di Belanda tersebut sebenarnya mirip dengan yang pernah dilakukan
Indonesia pada KUHP, yakni dalam UU No.7 tahun 1974 tentang
Perjudian yang mengubah ketentuan Pasal 303 KUHP. Sehingga
sebenarnya model di Belanda bisa diterapkan, jika hanya mengubahnya
secara parsial.
2) Code PÉNAL Perancis

6
Adery Ardhan Saputro, kekacauan atau keteraturan? Membahas Aturan Peralihan Dalam RKUHP 2015,
Institute for Criminal Justice Reform, Jakarta, 2015, hlm. 8-11
KUHP Perancis sebenarnya mempunyai pengaturan yang sama
dengan KUHP Belanda dalam perubahan parsial ketentuan pidananya.
Perubahannya diatur melalui suatu pengaturan yang tersendiri. Berikut
adalah contohnya:
Article 121-3. Namun pada KUHP Perancis pernah dilakukan suatu
rekodifikasi. Penal code di atas (Penal code 1810) yang dijadikan rujukan
merupakan pengaturan yang menggantikan the code des delits et des
peines of 1795. Sedangkan the code des delits et des peines of 1795 sendiri
merupakan rekodifikasi dari French Penal Code 1791 yang merupakan
kodifikasi pidana pertama di Perancis pada zaman enlightment. Meski
demikian, pengaturan aturan peralihan tidak menjadi suatu masalah yang
berarti karena cara itu dilakukan semudah layaknya mengganti suatu UU
yang telah berlaku. Kendati telah berulang kali dilakukan rekodifikasi,
penal code Perancis tidak pernah mengalami suatu dekodifikasi. Sehingga
semua ketentuan pidananya masih termuat dalam kodifikasi dan tidak
tersebar secara otonom.
3) Argentina Penal code (Codigo Penal)
Negara yang paling tepat bagi para akademisi Indonesia yang
berniat melakukan studi komparasi untuk bahan kajian ialah negara
Amerika Latin. Karena negara Amerika Latin mempunyai kondisi dan
problematika yang sama dengan pengaturan ketentuan pidana di Indonesia,
yakni tersebarnya ketentuan pidana secara otonom melalui UU tersendiri.
Salah satu contonya adalah Argentina. Penal code Argentina dibuat pada
tahun 1871 dengan pengaruh kolonialisme Spanyol dalam muatan penal
code-nya. Pada tahun 1960an, pemerintahan negara Argentina berencana
mengubahnya secara parsial. Akan tetapi proyek tersebut gagal. Para
akademisi justru menginginkan agar penal code dirombak total dari
pengaruh kolonialisme.
Selama masa pembuatan rekodifikasi ternyata telah banyak muatan
ketentuan pidana di code penal Argentina yang mengalami derekodifikasi.
Maksudnya, banyak ketentuan pidana yang dilepaskan dari kodifikasi dan
diatur dalam suatu pengaturan pidana otonom yang khusus. Hal ini mulai
terjadi sejak 1978 akibat pengaruh Natalio Irti, seorang akademisi Italia
dalam tulisannya L’eta della decodificazione. Sejak saat itu banyak
ketentuan pidana yang dikeluarkan dari kodifikasi, bahkan mempunyai
pengaturan asas yang menyimpangi dari kodifikasi layaknya pengaturan
ketentuan pidana di Indonesia pada saat ini.
Sekitar tahun 1980-an para akademisi Argentina menyusun ulang
kodifikasi pidananya dengan pengaturan yang jauh berbeda dengan
kodifikasi sebelumnya. Dengan semangat pengaturan yang berbeda dengan
kodifikasi sebelumnya, serta memasukkan social value yang hidup di
Argentina, akhirnya pada 1984 diundangkanlah kodifikasi baru yang
merupakan rekodifikasi ulang dengan menyusun kembali keseluruhan
muatan pidananya.
Berangkat dari hal ini sebenarnya pengaturan ketentuan peralihan di
Argentina bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran untuk pengaturan
ketentuan peralihan di Indonesia, meski terdapat beberapa perbedaan.
Namun adanya persamaan pada tahapan proses kodifikasi-dekodifikasi-
rekodifikasi ulang merupakan suatu karakteristik yang serupa dengan
pengaturan pidana di Indonesia. Aturan tambahan code penal Argentina
juga mengatur mekanisme transisional masuknya ketentuan pidana di luar
kodifikasi ke dalam kodifikasi.
b. jelaskan keunikan ketentuan “retro-aktif” yang diatur dalam KUHP Latvia; 7
Keunikan ketentuan retroaktif KUHP Latvia terlihat dalam ketentuan ayat (4)
“seseorang yang melakukan tindak pidana terhadap kemanusiaan, terhadadap
perdamaian, kejahatan perang atau berpartisipasi dalam melakukan genocida,
dipidana terlepas dari waktu/kapan tindak pidana itu dilakukan”. Karena larangan
retroaktif dalam ayat (3) “undng-undang yang menyatakan suatu tindak pidana dapat
dipidana (semula tindak pidana, pen.), memperberat pidananya atau hal lain yang
tidak menguntungkan seseorang, tidak dapat berkau surut (retroaktif)”. Tampaknya
dapat disimpangi apabila tindak pidana yang sangat membahayakan/merugikan
masayarakat, kapan pun perbuatan itu dilakukan.
Di KUHP Latvia kriteria retroaktif didasarkan pada asas keseimbangan,
antara:
1) kriteria yang menguntungkan dilihat dari sudut kepentingan/perlindungan
individu (seksi 5 ayat 2), yaitu apabila:

7
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, rajawali pers, 2010, hlm.109-110
a) pembuatan yang semula merupakan tindak pidana (semula dapat
dipidana) menjadi tidak dapat dipidana;
b) pidana (yang diancamkan terdahulu) dikurangi atau menjadi lebih
ringan; atau
c) ada hal-hal yang menguntungkan seseorang.
2) Kriteria yang menguntungkan dilihat dari sudut kepentingan/perlindungan
masyarakat (seksi 5 ayat 4), yaitu apabila perbuatan yang dilakukan
merupakan tindak pidana yang sangat membahayakan/merugikan
masyarakat, berupa:
a) Tindak pidana terhadap kemanusiaan (human crime);
b) Tindak pidana terhadap perdamaian (peace crime);
c) Kejahatan perang (war crime), atau
d) Berpartisipasi dalam melakukan genocida.
Menarik untuk diperhatikan pada ketentuan dalam Seksi 5 (2), bahwa
berlaku surutnya undang-undang yang menguntungkan itu tidak hanya
terhadap tindak pidana yang dilakukan sebelumnya (sbelum undang-undang
dinyatakan berlaku), tetapi juga terhadap orang yang sedang atau telah
menjalani pidana sepanjang penghukuman itu masih berlaku/berlangsung.
Ketentuan ini mengesankan untuk terdakwa (sebelum vonis) maupun terpidana
(setelah vonis berkekuatan tetap).

32. Dalam mengimplementasikan ide “alternative to imprisonment”, ada negara yang


membuat ketentuan tentang, jelaskan masing-masing ketentuan-ketentuan
tersebut:8

a. semi-liberte/semi-detention; (hanya malam hari masuk penjara) untuk pidana


penjara pendek (tiga/enam bulan). Pada mulanya semi liberte ini merupakan salah
satu jenis dari pidana penjara malam hari (night time prison sentence), di mana
para napi/ tahanan (the detainees) kembali ke penjara pada setiap sore setelah
mengakhiri pekerjaannya. Menurut ketentuan ini, para napi hanya berada di
penjara ketika mereka tidak terlibat dalam pekerjaan di luar penjara. Oleh karena
itu, semi liberte lebih mempunyai ciri sebagai penahanan akhir minggu (weekend
detention). Bedanya, hari-hari di luar penjara pada semi liberte juga dihitung

8
Iqbal Kamalludin & Barda Nawawie Arief, Kebijakan Reformasi Maqâshid al-Syarîah dan Kontribusinya
dalam Formulasi Alternatif Keringanan Pidana Penjara, Vol. 15, Nomor 1, 2018, hlm. 13-15.
sebagai hari-hari penahanan. Ketentuan ini terdapat di dalam regulasi negara
Perancis. UU No. 70-643 tanggal 17 Juli 1970 memasukkan ke dalam The Code of
Criminal Procedure (CCP)/KUHAP, kemugkinan pidana penjara yang
dijalani/dilaksanakan dalam bentuk semi liberte. Seorang hakim, ketika
menjatuhkan pidana penjara 6 bulan atau kurang, dapat memberi kesempatan
kepada terpidana untuk menjalani pidananya di luar lembaga penjara untuk
mengikuti kursus pelatihan atau studi lainnya, melakukan pekerjaan atau
menjalani perawatan medis.
Pada mulanya semi liberte ini merupakan salah satu jenis dari pidana
penjara malam hari (night time prison sentence), di mana para napi/ tahanan (the
detainees) kembali ke penjara pada setiap sore setelah mengakhiri pekerjaannya.
Menurut ketentuan baru ini (UU 85- 1407), para napi hanya berada di penjara
ketika mereka tidak terlibat dalam pekerjaan di luar penjara. Oleh karena itu, semi
liberte lebih mempunyai ciri sebagai penahanan akhir minggu (week end
detention). Bedanya, hari-hari di luar penjara padasemi liberte juga dihitung
sebagai hari-hari penahanan. Sementara itu di Portugal terdapat pengaturan sejak
tahun 1983, undang-undang setempat memberi peluang kepada hakim untuk
menetapkan bahwa pidana sampai 3 bulan dapat dilaksanakan dalam bentuk
“weekend detention” atau “semi detention” (Pasal 44 dan 45 PC-1983).
Pasal 44 menyatakan bahwa pidana penjara dapat dikonversi menjadi
“weekend detention”. Apabila konversi pidana penjara pendek ke pidana denda
atau “weekend detention” tidak dimungkinkan, dapat dipilih “semi detention”.
Bentuk pidana ini memberi kebebasan kepada napi untuk bebas di luar penjara,
melakukan pekerjaan normalnya, atau pendidikannya. Semi detention ini harus
dengan persetujuan terpidana (Pasal 45C). Seperti yang dikemukakan Barda
Nawawi Arief, Pasal 44-45 di atas kemudian sudah berubah menjadi Pasal 45-46
dalam publikasi KUHP Portugal Oktober 2006. Semi Liberte dan Weekend-
detention di Portugal hanya untuk pidana 3 bulan penjara, sedangkan di Perancis
untuk pidana 6 bulan penjara/kurang.
b. weekend-detention; (hanya malam minggu masuk penjara). Ketentuannya hanya
akhir minggu penjara, hari-hari di luar penjara tidak dihitung sebagai hari-hari
penahanan di Portugal hanya untuk pidana 3 bulan penjara, di Perancis untuk
pidana 6 bulan penjara/kurang.
c. goodtime allowance; (pengurangan masa pidana penjara karena melakukan
pekerjaan dengan baik). Ketentuan semacam ini terdapat di negara Yunani,
goodtime allowane-pengurangan masa pidana penjara dengan melakukan suatu
pekerjaan (UU 1952)
a) Terpidana penjara lebih dari 6 bulan dapat mengurangi pidanannya dengan
bekerja di luar, yaitu di suatu tempat yang disebut ”penjara
perkebunan/pertanian” (”farm prisons”)
b) Pidananya akan dikurangi 2 hari untuk tiap hari kerja. Kemngkinan lain,
pidananya akan dikurangi 1 ½ hari untuk tiap hari kerja di dalam penjara.
c) Pengurangan pidana dinyatakan batal apabila napi berkelakuan buruk (tidak
disiplin) atau tidak melaksanakan pekerjaan dengan cara yang baik/patut. Jadi,
pengurangan pidana karena bekerja baik inilah yang merupakan ”pemberian
penghargaan/upah” yang disebut dengan istilah ”goodtime allowance”
(”GA”). GA ini merupakan sarana individualisasi sanksi dan rehabilitasi
narapidana. ”GA” hanya mengurangi masa napi berada di penjara, tidak
mengurangi masa/lamanya pidana itu sendiri.
d. fragmentary execution of the sentence (fragmentation of imprisonment);
(pelaksanaan pidana penjara yang dicicil); dalam hal ini, RUU KUHP memuat
unsur ini, pada Pasal 73. Selain itu, aturan ini juga terdapat di dalam KUHP
Albania (Chapter VII) berjudul “Alternative To Imprisonment” pada Pasal 58 ayat
(1) dan (2), untuk pidana penjara maksimum 1 tahun pengadilan
mempertimbangkan adanya keadaan keluarga, medis, jabatan/pekerjaan, atau
keadaan sosial yang sangat gawat/genting, dapat menetapkan fragmentasi
pelaksanaan pidana tidak kkurang dari 2 haru perminggu. Pelaksanaan
fregmentasi pidana tersebut harus diselesaikan dalam waktu 3 tahun. Ketentuan di
atas mirip dengan Article 132-27 KUHP Perancis yang menyatakan: ”Apabila ada
alasan-alasan pertimbangan sosial yang memaksa/mendesak, pengadilan boleh
memutuskan bahwa pidana custodial satu tahun atau kurang untuk pelanggaran
(misdemeanour) dilaksanakan secara angsuran dalam waktu tidak lebih dari 3
tahun. Angsuran/cicilan itu tidak boleh lebih pendek dari dua hari.
e. parole (conditional release); merupakan alternatif peringanan dalam bentuk
pelepasan bersyarat, cara ini bisa juga dilakukan untuk narapidana seumur hidup.
Pengaturan ini terdapat dalam KUHP Albania, dalam Pasal 65, ada ketentuan
pelepasan bersyarat (parole) untuk napi seumur hidup yang menyatakan:
a) Prinsipnya, napi seumur hidup tidak memperoleh parole.
b) Hanya untuk keadaan luar biasa (extra ordinary) diperbolehkan, yaitu apabila:
1) Telah menjalani pidana penjara tidak kurang dari 25 tahun;
2) Selama menjalani pidana berkelakuan baik (excellent behavior) dan tujuan
pendidikan telah tercapai (the educational aim has been achieved).
f. suspended sentence; (penangguhan hukuman) Permohonan dapat dibuat oleh
hakim, jaksa, atau Probation Service. Probation Service akan memeriksa apakah
alamat rumah terpidana sesuai untuk diterapkan pengawasan elektronik dan
apakah orang-orang yang tinggal serumah dengan terpidana setuju untuk dipasang
peralatan pengawasan elektronik. Terpidana juga harus memberikan
persetujuannya untuk diberikan jenis hukuman tersebut.
Ketentuan tentang penangguhan pidana diatur dalam Pasal 81-86 UU
Hukum Pidana Republik Ceko dan sejumlah regulasi lainnya. Penangguhan
pidana dapat diberikan oleh pengadilan dengan beberapa ketentuan, yaitu: (i)
jangka waktu penahanan secara keseluruhan tidak melebihi 3 (tiga) tahun; (ii)
adanya keyakinan bahwa tujuan akhir penghukuman dapat dicapai tanpa harus
menjalani seluruh masa tahanan, dengan mempertimbangkan sejumlah aspek dari
diri pelaku yang misalnya terkait dengan riwayat kehidupan sebelumnya dan
keadaan kasus); (iii) pengadilan akan mengatur masa percobaan (probationary
period) terhadap pelaku antara 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun; dan (iv)
penangguhan penahanan suspended sentence terkait masa tahanan tidak berlaku
terhadap hukuman lainnya yang dijatuhkan terhadap pelaku.

Anda mungkin juga menyukai