“The judge may determine in the judgment that no punishment or measure shall be
imposed, where he deems this advisable, by reason of the lack of gravity of the offense,
the character of the offender, or the circumstances attendant upon the commission of the
offense or thereafter”.
2
Adery Ardhan Saputro, Konsepsi Rechterlijk pardon atau pemaafan hakim dalam rancangan KUHP, Mimbar
Hukum, Vol. 28, No. 1, hlm. 2-3.
3
Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hal 137
Sedangkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan menurut
KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu tindak pidana maka
terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Oleh karena itu, apa yang
didakwakan kepada terdakwa pada putusan lepas cukup terbukti secara sah dan
meyakinkan, namun perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa tidak bersalah
(sengaja/alpa) atau tidak melawan hukum atau ada alasan pemaaf (feit d’excuse).4
Hanya sedikit negara yang mengatur judicial pardon diantaranya : Belanda,
Perancis, Portugal, Greenland, Somalia, Uzbekistan dan Yunani. Hal ini baru
dimasukkan di Indonesia pada konsep RKUHP tahun 1991-1992, sebelumnya hal
belum diatur sedangkan diberbagai Negara, pengaturan akan lembaga pemaafan
hakim baru dimasukkan pada sekitaran tahun 1970.
Terdapat beberapa negara lainnya yang mengatur akan lembaga pemaafan
hakim, yakni:5
1. Negara Yunani mengatur tentang “non imposing of a penalty” dalam Pasal
302 ayat (2) dan Pasal 314 ayat (2) Penal code;
2. Negara bagian Greenland mengatur tentang “The court may abstain from
iposing any sanction” dalam Pasal 86 ayat (1) KUHP Greenland
3. Negara Somalia mengatur pada Pasal 147 ayat (1) dan ayat (2) yang
berbunyi: “Where, in the case of an offence committed by a person under
18 or over 70 years of age, the applicable punishment is imprisonment for
a maximum term of not more than three years or a pecuniary punishment,
or both, the judge may abstain from entering conviction and grant judicial
pardon where, having regard to the cirmcumstances referred do in article
110, he considers the offender will not commit any further offence. A
judicial pardon shall extinguish the crime.” Selanjutnya pada pasal 147
ayat (2) KUHP Somalia mengatakan “a judicial pardon may not be
granted more than once”.
4. Negara Uzbekistan mengatur pada Pasal 70 yang berbunyi: A person, who
committed a crime, may be discharged from penalty, in the instance if it is
recognized that by the time of investigation or trial, due to changes of
situation, or the person’s irreproachable conduct, bona fide labor or
4
Ibid, hlm. 2.
5
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana (Cetakan 3), Bandung: PT Citra ADitya Bakti, 2013, hlm.
8
study, has lost his socially dangerous nature.” (Seseorang yang
melakukan tindak pidana, dapat dibebaskan dari hukuman apabila dari
perbuatan yang telah dilakukan, telah kehilangan bahaya sosialnya).
6
Adery Ardhan Saputro, kekacauan atau keteraturan? Membahas Aturan Peralihan Dalam RKUHP 2015,
Institute for Criminal Justice Reform, Jakarta, 2015, hlm. 8-11
KUHP Perancis sebenarnya mempunyai pengaturan yang sama
dengan KUHP Belanda dalam perubahan parsial ketentuan pidananya.
Perubahannya diatur melalui suatu pengaturan yang tersendiri. Berikut
adalah contohnya:
Article 121-3. Namun pada KUHP Perancis pernah dilakukan suatu
rekodifikasi. Penal code di atas (Penal code 1810) yang dijadikan rujukan
merupakan pengaturan yang menggantikan the code des delits et des
peines of 1795. Sedangkan the code des delits et des peines of 1795 sendiri
merupakan rekodifikasi dari French Penal Code 1791 yang merupakan
kodifikasi pidana pertama di Perancis pada zaman enlightment. Meski
demikian, pengaturan aturan peralihan tidak menjadi suatu masalah yang
berarti karena cara itu dilakukan semudah layaknya mengganti suatu UU
yang telah berlaku. Kendati telah berulang kali dilakukan rekodifikasi,
penal code Perancis tidak pernah mengalami suatu dekodifikasi. Sehingga
semua ketentuan pidananya masih termuat dalam kodifikasi dan tidak
tersebar secara otonom.
3) Argentina Penal code (Codigo Penal)
Negara yang paling tepat bagi para akademisi Indonesia yang
berniat melakukan studi komparasi untuk bahan kajian ialah negara
Amerika Latin. Karena negara Amerika Latin mempunyai kondisi dan
problematika yang sama dengan pengaturan ketentuan pidana di Indonesia,
yakni tersebarnya ketentuan pidana secara otonom melalui UU tersendiri.
Salah satu contonya adalah Argentina. Penal code Argentina dibuat pada
tahun 1871 dengan pengaruh kolonialisme Spanyol dalam muatan penal
code-nya. Pada tahun 1960an, pemerintahan negara Argentina berencana
mengubahnya secara parsial. Akan tetapi proyek tersebut gagal. Para
akademisi justru menginginkan agar penal code dirombak total dari
pengaruh kolonialisme.
Selama masa pembuatan rekodifikasi ternyata telah banyak muatan
ketentuan pidana di code penal Argentina yang mengalami derekodifikasi.
Maksudnya, banyak ketentuan pidana yang dilepaskan dari kodifikasi dan
diatur dalam suatu pengaturan pidana otonom yang khusus. Hal ini mulai
terjadi sejak 1978 akibat pengaruh Natalio Irti, seorang akademisi Italia
dalam tulisannya L’eta della decodificazione. Sejak saat itu banyak
ketentuan pidana yang dikeluarkan dari kodifikasi, bahkan mempunyai
pengaturan asas yang menyimpangi dari kodifikasi layaknya pengaturan
ketentuan pidana di Indonesia pada saat ini.
Sekitar tahun 1980-an para akademisi Argentina menyusun ulang
kodifikasi pidananya dengan pengaturan yang jauh berbeda dengan
kodifikasi sebelumnya. Dengan semangat pengaturan yang berbeda dengan
kodifikasi sebelumnya, serta memasukkan social value yang hidup di
Argentina, akhirnya pada 1984 diundangkanlah kodifikasi baru yang
merupakan rekodifikasi ulang dengan menyusun kembali keseluruhan
muatan pidananya.
Berangkat dari hal ini sebenarnya pengaturan ketentuan peralihan di
Argentina bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran untuk pengaturan
ketentuan peralihan di Indonesia, meski terdapat beberapa perbedaan.
Namun adanya persamaan pada tahapan proses kodifikasi-dekodifikasi-
rekodifikasi ulang merupakan suatu karakteristik yang serupa dengan
pengaturan pidana di Indonesia. Aturan tambahan code penal Argentina
juga mengatur mekanisme transisional masuknya ketentuan pidana di luar
kodifikasi ke dalam kodifikasi.
b. jelaskan keunikan ketentuan “retro-aktif” yang diatur dalam KUHP Latvia; 7
Keunikan ketentuan retroaktif KUHP Latvia terlihat dalam ketentuan ayat (4)
“seseorang yang melakukan tindak pidana terhadap kemanusiaan, terhadadap
perdamaian, kejahatan perang atau berpartisipasi dalam melakukan genocida,
dipidana terlepas dari waktu/kapan tindak pidana itu dilakukan”. Karena larangan
retroaktif dalam ayat (3) “undng-undang yang menyatakan suatu tindak pidana dapat
dipidana (semula tindak pidana, pen.), memperberat pidananya atau hal lain yang
tidak menguntungkan seseorang, tidak dapat berkau surut (retroaktif)”. Tampaknya
dapat disimpangi apabila tindak pidana yang sangat membahayakan/merugikan
masayarakat, kapan pun perbuatan itu dilakukan.
Di KUHP Latvia kriteria retroaktif didasarkan pada asas keseimbangan,
antara:
1) kriteria yang menguntungkan dilihat dari sudut kepentingan/perlindungan
individu (seksi 5 ayat 2), yaitu apabila:
7
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, rajawali pers, 2010, hlm.109-110
a) pembuatan yang semula merupakan tindak pidana (semula dapat
dipidana) menjadi tidak dapat dipidana;
b) pidana (yang diancamkan terdahulu) dikurangi atau menjadi lebih
ringan; atau
c) ada hal-hal yang menguntungkan seseorang.
2) Kriteria yang menguntungkan dilihat dari sudut kepentingan/perlindungan
masyarakat (seksi 5 ayat 4), yaitu apabila perbuatan yang dilakukan
merupakan tindak pidana yang sangat membahayakan/merugikan
masyarakat, berupa:
a) Tindak pidana terhadap kemanusiaan (human crime);
b) Tindak pidana terhadap perdamaian (peace crime);
c) Kejahatan perang (war crime), atau
d) Berpartisipasi dalam melakukan genocida.
Menarik untuk diperhatikan pada ketentuan dalam Seksi 5 (2), bahwa
berlaku surutnya undang-undang yang menguntungkan itu tidak hanya
terhadap tindak pidana yang dilakukan sebelumnya (sbelum undang-undang
dinyatakan berlaku), tetapi juga terhadap orang yang sedang atau telah
menjalani pidana sepanjang penghukuman itu masih berlaku/berlangsung.
Ketentuan ini mengesankan untuk terdakwa (sebelum vonis) maupun terpidana
(setelah vonis berkekuatan tetap).
8
Iqbal Kamalludin & Barda Nawawie Arief, Kebijakan Reformasi Maqâshid al-Syarîah dan Kontribusinya
dalam Formulasi Alternatif Keringanan Pidana Penjara, Vol. 15, Nomor 1, 2018, hlm. 13-15.
sebagai hari-hari penahanan. Ketentuan ini terdapat di dalam regulasi negara
Perancis. UU No. 70-643 tanggal 17 Juli 1970 memasukkan ke dalam The Code of
Criminal Procedure (CCP)/KUHAP, kemugkinan pidana penjara yang
dijalani/dilaksanakan dalam bentuk semi liberte. Seorang hakim, ketika
menjatuhkan pidana penjara 6 bulan atau kurang, dapat memberi kesempatan
kepada terpidana untuk menjalani pidananya di luar lembaga penjara untuk
mengikuti kursus pelatihan atau studi lainnya, melakukan pekerjaan atau
menjalani perawatan medis.
Pada mulanya semi liberte ini merupakan salah satu jenis dari pidana
penjara malam hari (night time prison sentence), di mana para napi/ tahanan (the
detainees) kembali ke penjara pada setiap sore setelah mengakhiri pekerjaannya.
Menurut ketentuan baru ini (UU 85- 1407), para napi hanya berada di penjara
ketika mereka tidak terlibat dalam pekerjaan di luar penjara. Oleh karena itu, semi
liberte lebih mempunyai ciri sebagai penahanan akhir minggu (week end
detention). Bedanya, hari-hari di luar penjara padasemi liberte juga dihitung
sebagai hari-hari penahanan. Sementara itu di Portugal terdapat pengaturan sejak
tahun 1983, undang-undang setempat memberi peluang kepada hakim untuk
menetapkan bahwa pidana sampai 3 bulan dapat dilaksanakan dalam bentuk
“weekend detention” atau “semi detention” (Pasal 44 dan 45 PC-1983).
Pasal 44 menyatakan bahwa pidana penjara dapat dikonversi menjadi
“weekend detention”. Apabila konversi pidana penjara pendek ke pidana denda
atau “weekend detention” tidak dimungkinkan, dapat dipilih “semi detention”.
Bentuk pidana ini memberi kebebasan kepada napi untuk bebas di luar penjara,
melakukan pekerjaan normalnya, atau pendidikannya. Semi detention ini harus
dengan persetujuan terpidana (Pasal 45C). Seperti yang dikemukakan Barda
Nawawi Arief, Pasal 44-45 di atas kemudian sudah berubah menjadi Pasal 45-46
dalam publikasi KUHP Portugal Oktober 2006. Semi Liberte dan Weekend-
detention di Portugal hanya untuk pidana 3 bulan penjara, sedangkan di Perancis
untuk pidana 6 bulan penjara/kurang.
b. weekend-detention; (hanya malam minggu masuk penjara). Ketentuannya hanya
akhir minggu penjara, hari-hari di luar penjara tidak dihitung sebagai hari-hari
penahanan di Portugal hanya untuk pidana 3 bulan penjara, di Perancis untuk
pidana 6 bulan penjara/kurang.
c. goodtime allowance; (pengurangan masa pidana penjara karena melakukan
pekerjaan dengan baik). Ketentuan semacam ini terdapat di negara Yunani,
goodtime allowane-pengurangan masa pidana penjara dengan melakukan suatu
pekerjaan (UU 1952)
a) Terpidana penjara lebih dari 6 bulan dapat mengurangi pidanannya dengan
bekerja di luar, yaitu di suatu tempat yang disebut ”penjara
perkebunan/pertanian” (”farm prisons”)
b) Pidananya akan dikurangi 2 hari untuk tiap hari kerja. Kemngkinan lain,
pidananya akan dikurangi 1 ½ hari untuk tiap hari kerja di dalam penjara.
c) Pengurangan pidana dinyatakan batal apabila napi berkelakuan buruk (tidak
disiplin) atau tidak melaksanakan pekerjaan dengan cara yang baik/patut. Jadi,
pengurangan pidana karena bekerja baik inilah yang merupakan ”pemberian
penghargaan/upah” yang disebut dengan istilah ”goodtime allowance”
(”GA”). GA ini merupakan sarana individualisasi sanksi dan rehabilitasi
narapidana. ”GA” hanya mengurangi masa napi berada di penjara, tidak
mengurangi masa/lamanya pidana itu sendiri.
d. fragmentary execution of the sentence (fragmentation of imprisonment);
(pelaksanaan pidana penjara yang dicicil); dalam hal ini, RUU KUHP memuat
unsur ini, pada Pasal 73. Selain itu, aturan ini juga terdapat di dalam KUHP
Albania (Chapter VII) berjudul “Alternative To Imprisonment” pada Pasal 58 ayat
(1) dan (2), untuk pidana penjara maksimum 1 tahun pengadilan
mempertimbangkan adanya keadaan keluarga, medis, jabatan/pekerjaan, atau
keadaan sosial yang sangat gawat/genting, dapat menetapkan fragmentasi
pelaksanaan pidana tidak kkurang dari 2 haru perminggu. Pelaksanaan
fregmentasi pidana tersebut harus diselesaikan dalam waktu 3 tahun. Ketentuan di
atas mirip dengan Article 132-27 KUHP Perancis yang menyatakan: ”Apabila ada
alasan-alasan pertimbangan sosial yang memaksa/mendesak, pengadilan boleh
memutuskan bahwa pidana custodial satu tahun atau kurang untuk pelanggaran
(misdemeanour) dilaksanakan secara angsuran dalam waktu tidak lebih dari 3
tahun. Angsuran/cicilan itu tidak boleh lebih pendek dari dua hari.
e. parole (conditional release); merupakan alternatif peringanan dalam bentuk
pelepasan bersyarat, cara ini bisa juga dilakukan untuk narapidana seumur hidup.
Pengaturan ini terdapat dalam KUHP Albania, dalam Pasal 65, ada ketentuan
pelepasan bersyarat (parole) untuk napi seumur hidup yang menyatakan:
a) Prinsipnya, napi seumur hidup tidak memperoleh parole.
b) Hanya untuk keadaan luar biasa (extra ordinary) diperbolehkan, yaitu apabila:
1) Telah menjalani pidana penjara tidak kurang dari 25 tahun;
2) Selama menjalani pidana berkelakuan baik (excellent behavior) dan tujuan
pendidikan telah tercapai (the educational aim has been achieved).
f. suspended sentence; (penangguhan hukuman) Permohonan dapat dibuat oleh
hakim, jaksa, atau Probation Service. Probation Service akan memeriksa apakah
alamat rumah terpidana sesuai untuk diterapkan pengawasan elektronik dan
apakah orang-orang yang tinggal serumah dengan terpidana setuju untuk dipasang
peralatan pengawasan elektronik. Terpidana juga harus memberikan
persetujuannya untuk diberikan jenis hukuman tersebut.
Ketentuan tentang penangguhan pidana diatur dalam Pasal 81-86 UU
Hukum Pidana Republik Ceko dan sejumlah regulasi lainnya. Penangguhan
pidana dapat diberikan oleh pengadilan dengan beberapa ketentuan, yaitu: (i)
jangka waktu penahanan secara keseluruhan tidak melebihi 3 (tiga) tahun; (ii)
adanya keyakinan bahwa tujuan akhir penghukuman dapat dicapai tanpa harus
menjalani seluruh masa tahanan, dengan mempertimbangkan sejumlah aspek dari
diri pelaku yang misalnya terkait dengan riwayat kehidupan sebelumnya dan
keadaan kasus); (iii) pengadilan akan mengatur masa percobaan (probationary
period) terhadap pelaku antara 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun; dan (iv)
penangguhan penahanan suspended sentence terkait masa tahanan tidak berlaku
terhadap hukuman lainnya yang dijatuhkan terhadap pelaku.