Anda di halaman 1dari 10

PENYIMPANGAN PENJATUHAN PIDANA MINIMUM KHUSUS BAGI

PELAKU DEWASA DALAM UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN


ANAK DITINJAU DARI PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE
Oleh: Wajihatut Dzikriyah, S.H.

I. PENDAHULUAN
Dalam perundang-undangan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
terdapat beberapa aturan yang memuat starf minimum rules (pidana minimum
khusus) yang berbeda dengan prinsip umum sebagaimana terdapat dalam ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP) sebagai
ketentuan pidana umum yang berlaku di Indonesia. Ketentuan pidana minimum
khusus dapat ditemukan dalam perkara tindak pidana khusus di luar KUHP.
Tujuan dari diterapkannya pidana minimum khusus dalam suatu peraturan
pidana khusus adalah dalam rangka mengurangi disparitas pidana (disparity of
sentencing) dan menunjukkan beratnya tindak pidana yang dilakukan.1 Yang
dimaksud dengan disparitas pidana adalah penerapan pidana yang tidak sama
terhadap tindak pidana yang sama atau terhadap tindak pidana yang sifatnya
berbahaya yang dimilikinya dapat diperbandingkan tanpa dasar pembenaran yang
jelas.2
Menurut Andi Hamzah, akibat tidak adanya minimum khusus dalam tindak
pidana yang tercantum dalam pasal-pasal KUHP sebagaimana yang diterapkan oleh
Amerika Serikat, Hakim di Indonesia memiliki kebebasan yang sangat luas dalam
menentukan beratnya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Misalnya
pembunuhan dipidana sangat berbeda, yang satu misalnya lima tahun penjara
sedangkan yang lain sepuluh tahun penjara. Di sinilah letak kelebihan jika
dicantumkan minimum pidana dalam setiap pasal undang-undang pidana.3
Terhadap ketentuan pidana minimum khusus, pemahaman Para Hakim
terbagi menjadi dua kelompok terpisah. Disatu sisi sebagian Hakim berpendapat

1
Muladi, 2002, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Dipenegoro, Semarang, hlm. 154.
2
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
hlm. 52.
3
Andi Hamzah, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Pradnya Paramita, Jakarta,
hlm, 6.

1
bahwa ketentuan pidana minimum khusus merupakan ketentuan yang bersifat
imperatif dan sama sekali tidak boleh disimpangi, sedangkan di sisi lain sebagian
Hakim berpendapat bahwa dalam hal tertentu Hakim diperbolehkan untuk
menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus tersebut karena Hakim bukan
merupakan corong undang-undang sehingga dalam hal terdapat keadaan mendesak
bagi tercapainya keadilan maka Hakim diperbolehkan menerobos ketentuan pidana
minimum khusus yang diatur dalam undang-undang pidana khusus tersebut.4
Permasalahan muncul karena belum adanya formulasi tentang pedoman
pemidanaan dalam undang-undang pidana khusus di luar KUHP yang
mencantumkan penjatuhan pidana khusus dalam rumusan pasalnya. Apalagi dalam
hal Hakim yang mengadili perkara pidana khusus tersebut ternyata dihadapkan
pada banyaknya faktor yang dapat meringankan pelaku tindak pidana.5 Dalam hal
Hakim menyimpangi ketentuan pidana khusus dikarenakan banyaknya faktor yang
meringankan bagi Terdakwa, masalah yang kemudian muncul adalah adanya friksi
antara kepastian hukum disatu sisi dengan keadilan hukum dilain sisi sebagimana
dingkapkan oleh Gustav Radbruch.
Putusan hakim pada dasarnya dibuat dalam rangka memberikan jawaban
terhadap persoalan yang diajukan kepadanya. Oleh karena hakim dianggap selalu
tahu hukumnya (ius curia novit), maka putusan itu harus memuat pertimbangan-
pertimbangan yang memadai, yang bisa diterima secara nalar dikalangan forum
keilmuan, masyarakat luas dan para pihak yang berperkara.6 Karena dalam hal
putusan dianggap tidak tepat, dampak selanjutnya yang akan terjadi adalah
timbulnya reaksi kontroversial. Maka atas dasar hal tersebut, Penulis merasa perlu
untuk mengangkat tulisan ini agar dapat dianalisis hal-hal apa saja yang mendasari
pertimbangan hakim dalam menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus jika
dikaitkan dengan restorative justice.

4
D.Y. Witanto dan A.P. Negara Kutawaringin, 2013, Diskresi Hakim sebuah Instrumen
Menegakkan Keadilan Substantive dalam Perkara-Perkara Pidana, Alfabeta, Bandung, hlm. 124.
5
Aminal Umam, 2010, Penerapan Pidana Minimum Khusus, Varia Peradilan Tahun XXV No. 29,
IKAHI, Jakarta, hlm. 16.
6
D.Y. Witanto dan A.P. Negara Kutawaringin, Op.Cit., hlm. 128

2
II. PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang diatas, maka selanjutnya Penulis merumuskan
beberapa masalah yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana pertimbangan hukum yang mendasari penyimpangan
penjatuhan pidana minimum khusus bagi pelaku dewasa dalam undang-
undang Perlindungan Anak?
2. Bagaimana penyimpangan penjatuhan pidana minimum khusus bagi
pelaku dewasa dalam undang-undang Perlindungan anak ditinjau dari
perspektif restorative justice?

III. PEMBAHASAN
A. Dasar Pertimbangan dalam Penyimpangan Pidana Minimum Khusus
Penerapan pidana dibawah minimum khusus terhadap pelaku tindak pidana
perlindungan anak yang pelakunya adalah orang dewasa dilakukan bukan untuk
menghindarkan pelaku dari jeratan pidana, melainkan didasarkan pada berbagai
pertimbangan termasuk hal yang meringankan bagi pelaku tindak pidana.
Bagaimanapun penjatuhan pidana bukan sekedar sebagai pembalasan, melainkan
memiliki tujuan tertentu yang bermanfaat. Selanjutnya akan dijabarkan penerapan
penjatuhan pidana di bawah minimum khusus yang dilakukan oleh Hakim.
Putusan Pengadilan Negeri Kediri dalam Putusan No.
189/Pid.Sus/2017/PN.Kdr atas nama Terdakwa Denny Surya Frisada bin Soni
Sumarsono. Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) Tahun dan
denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah). Pidana yang
dijatuhkan dalam amar putusan perkara tersebut adalah pidana penjara selama 6
(enam) bulan dan denda sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) dengan ketentuan
apabila tidak dibayar diganti dengan kurungan selama 2 (dua) bulan. Pertimbangan
Hakim dalam putusan tersebut dapat pada pokoknya dijabarkan sebagai berikut:
1. Selain harus mempertimbangkan ketentuan pidana sebagai aspek kepastian
hukum, Majelis Hakim harus pula mempertimbangkan aspek keadilan dan

3
kemanfaatan secara seimbang, agar selain memiliki landasan yuridis,
putusan juga memiliki landasan filosofis dan landasan sosiologis.
2. Terdakwa telah bertanggung jawab atas perbuatannya dengan menikahi
Anak Korban secara siri. Selama persidangan dapat dilihat bagaimana Anak
Korban selalu mendampingi Terdakwa dan memohon agar suaminya
tersebut dibebaskan karena anaknya memerlukan figur seorang ayah, dan
kedua orang tua Anak Korban menilai Terdakwa tulus menikahi Anak
Korban dan menyayangi isteri dan anaknya tersebut, bukan sekedar untuk
menghindar dari pemidanaan.
3. Bahwa benar perbuatan Terdakwa adalah kejahatan yang melanggar hak
anak, namun setelah perbuatan tersebut terjadi juga ada hak-hak lain dari
anak yang harus dipenuhi. Pertama, hak Anak Korban sendiri sebagai yang
saat ini harus menjalani peran sebagai orang tua tunggal karena suami yang
sekaligus sebagai ayah dari anaknya sedang menjalani penahanan dan akan
menjalani pemidanaan setelah putusan ini berkekuatan hukum tetap. Kedua,
anak Terdakwa dan Anak Korban, yang berdasarkan Pasal 7 Ayat (1)
Undang-Undang Perlindungan Anak, memiliki hak untuk mengetahui orang
tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, yang haknya juga
harus mendapatkan perlindungan. Atas dasar hal tersebut, pemidanaan juga
harus memperhatikan asas kepentingan yang terbaik bagi anak,
sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan Anak,
sebagai aspek kemanfaatan yang harus dipertimbangkan dalam
pemidanaan.
4. Sekalipun pembuat undang-undang telah merumuskan batasan pidana
minimum khusus, Majelis Hakim berpendapat dalam peristiwa hukum
kongkrit tertentu secara kasuistis, Majelis Hakim dapat menjatuhkan pidana
yang lebih ringan agar pemidanaan yang dijatuhkan proporsional dengan
kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. Hal tersebut diatas sesuai dengan
SEMA No. 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat
Pleno Kamar Mahkamah Agung RI Tahun 2015 yang menyatakan bahwa
“hakim memutus sesuai surat dakwaan tetapi dapat menyimpangi ketentuan
pidana minimum khusus dengan membuat pertimbangan yang cukup”.

4
5. Chairul Huda berpendapat bahwa dalam hal terdapat keadaan meringankan
sedemikian rupa, apabila dikenakan pidana dalam batas minimum khusus
menjadi tidak proporsional dengan tingkat kesalahannya, maka secara
eksepsional batas pidana minimum khusus tersebut dapat disimpangi
(Chairul Chuda, 2015, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan: Cetakan ke-
6, hlm. 154).
Sebagai badan tertinggi pelaksana kekuasaan kehakiman yang membawahi
empat lingkungan badan peradilan, Mahkamah Agung RI menentukan bahwa
putusan Hakim harus mempertimbangkan beberapa aspek yag bersifat yuridis,
filosofis, dan sosiologis.7 Aspek yuridis memiliki arti bahwa Hakim harus
memahami undang-undang dan dapat menilai apakah undang-undang tersebut adil,
ada kemanfaatannya atau memberikan kepastian hukum jika ditegakkan. Aspek
filosofis memiliki arti bahwa Hakim harus bertitik tolak pada kebenaran dan
keadilan. Aspek sosiologis memiliki arti bahwa melalui kebijaksanaannya, Hakim
dapat mengikuti nilai-nilai hukum dalam masyarakat yang terabaikan.8
Dari segi aspek yuridis, Hakim telah mempertimbangkan fakta pembuktian
unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan dan menyatakan bahwa terdawka
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan perbuatan sebagaimana
diatur dalam Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Penjatuhan pidana di bawah pidana minimum khusus pun didasarkan pada SEMA
No. 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar
Mahkamah Agung RI Tahun 2015.
Dari segi filosofis, Hakim mempertimbangkan bahwa hukuman bukanlah
semata-mata mengejar kepastian hukum tetapi untuk memenuhi rasa keadilan.
Majelis Hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan pidananya, mendasarkan
pada pemenuhan hak anak, baik Anak Korban sebagai Anak maupun anak dari

7
Mahkamah Agung RI, 2006, Pedoman Perilaku Hakim (Code Of Conduct), Kode Etik Hakim dan
Makalah Berkaitan, Pusdiklat Mahkamah Agung RI, Jakarta, hlm. 2.
8
L. Hendi Permana, 2016, Analisis Pertimbangan Hukum Hakim dalam Penjatuhan Pidana di
Bawah Minimum terhadap Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan (Peraka No. 107/Pid.Sus/2015/PN.
Met), Jurnal Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar Lampung, hlm. 5.

5
Terdakwa beserta Anak Korban yang dijamin dalam Undang-Undang Perlindungan
Anak. Pada intinya, penjatuhan pidana di bawah minimum khusus tersebut adalah
demi kepentingan terbaik untuk Anak.
Dari segi sosiologis, Hakim telah cukup mempertimbangkan bahwa
penjatuhan pidana di bawah minimum khusus tersebut memiliki maksud agar
pemidanaan yang dijatuhkan proporsional dengan kesalahan yang dilakukan oleh
Terdakwa. Hal ini secara sosiologis berguna secara futuristik, agar dalam hal
terdapat perbuatan pidana yang tidak proporsional antara perbuatan dan pidana
yang diancamkan, Hakim dengan mengedepankan prinsip restorative justice
dengan menjatuhkan di bawah pidana minimum sesuai dengan porsinya.

B. Penyimpangan Pidana Minimum Khusus Dikaitkan dengan Restorative


Justice
Secara garis besar, tujuan pidana terbagi menjadi empat, yang pertama yaitu
teori absolut atau teori pembalasan yang berpandangan bahwa pemidanaan
merupakan pembalasan atas tindak pidana yang dilakukan.9 Yang kedua yaitu teori
relatif atau teori tujuan yang bertitik pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat
untuk menegakkan tata tertib dalam masyarakat.10 Yang ketiga yaitu teori gabungan
dimana teori ini menitikberatkan pada pembalasan yang seimbang dengan unsur
prevensi.11 Sedangkan teori yang terakhir adalah teori kontemporer yang terdiri dari
teori efek jera, teori edukasi, teori rehabilitasi, teori pengendalian sosial, dan teori
keadilan restoratif.12
Adanya semagat restorative justice sebagaimana teori kontemporer diatas
yang berkembang dalam sistem hukum pidana di Indonesia membuat pergeseran
konsep pemidanaan dari retributive justice menuju restorative justice.13 Restorative
justice adalah suatu proses dimana semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak

9
M. Solehuddin, 2002, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track system &
Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 34.
10
Adami Chazawi, 2007, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
162.
11
Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 31.
12
Eddy, O.S. Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta,
hlm. 44.
13
Ridwan Mansyur, 2010, Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT (Kekerasan dalam Rumah
Tangga), Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarata, hlm. 260.

6
pidana tertentu bersama-sama memecahkan masalah bagaimana menangani akibat
di masa yang akan datang (Kelompok Kerja PBB, dikutip dari Tony F. Marshall,
1999).14 Hakim dalam melaksanakan konsep restorative justice, perlu
dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:15
1. Mengidentifikasi dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki
kerusakan/kerugian;
2. Melibatkan semua pihak yang berkepentingan;
3. Mengubah pola dimana masyarakat dan negara menghadapi pelaku dengan
pengenaan sanksi pidana menjadi pola hubungan kooperatif antara pelaku
dengan masyarakat/korban dalam menyelesaikan masalah akibat kejahatan;
4. Keadilan Restoratif akan terwujud dalam putusan hakim melalui
pertimbangan tentang keadaan-keadaan memberatkan dan meringankan.
Dikaitkan dengan studi kasus sebagaimana dijabarkan pada pembahasan
pertama, restorative justice dapat diterapkan oleh Hakim yang terwujud dalam
putusan hakim melalui pertimbangan tentang keadaan-keadaan meringankan bagi
pelaku tindak pidana. Walaupun secara normatif, putusan Majelis Hakim diatas
bertentangan dengan ketentuan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang No. 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak yang menentukan minimal pidana yang dapat dijatuhkan adalah
5 (lima) Tahun, namun dengan konsep restorative justice hal tersebut dapat
diterapkan dengan pertimbangan-pertimbangan hukum yang dapat
dipertanggungjawabkan serta telah memenuhi aspek yuridis, filosofis, dan
sosiologis.
Mahkamah Agung secara tidak langsung mendukung adanya konsep
restorative justice ini melalui SEMA No. 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan
Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai
Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan, bagian A tentang Rumusan Hukum
Kamar Pidana angka 5, pada poin a menentukan bahwa apabila pelaku adalah
“Anak” maka tidak berlaku ketentuan minimal ancaman pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang

14
Modul Diklat Tahap 3 “Pemidanaan dan Restorative Justice”, 2019, Program Pendidikan dan
Pelatihan Calon Hakim Terpadu Peradilan Umum, hlm. 2.,
15
Modul Diklat Tahap 3 “Pemidanaan dan Restorative Justice”, Op.Cit., hlm. 4.

7
Sistem Peradilan Pidana Anak. Lebih lanjut dalam poin b ditentukan bahwa apabila
pelakunya sudah dewasa sedangkan korbannya adalah Anak, maka dapat dilihat
secara kasuistis dimana Majelis Hakim dapat menjatuhkan pidana di bawah
minimal dengan pertimbangan khusus antara lain meliuti:
1. Ada perdamaian dan terciptanya kembali harmonisasi hubungan antara
Pelaku/Keluarga Pelaku dengan Korban/Keluarga Korban, dengan tidak
saling menuntut lagi bahkan sudah menikah antara pelaku dan korban, atau
perbuatan dilakukan suka sama suka. Hal tersebut tidak berlaku apabila
perbuatan dilakukan oleh ayah terhadap anak kandung/tiri, guru terhadap
anak didiknya.
2. Harus ada pertimbangan hukum dilihat dari aspek yuridis, filosofis,
sosiologis, edukatif, preventif, korektif, represif, dan rasa keadilan.
Putusan Majelis Hakim dalam Putusan No. 189/Pid.Sus/2017/PN.Kdr atas
nama Terdakwa Denny Surya Frisada bin Soni Sumarsono diatas, telah
mempertimbangkan sesuai dengan ketentuan dalam SEMA No.1 Tahun 2017, yaitu
menjatuhkan pidana di bawah minimal dalam kondisi perbuatan dilakukan atas
dasar suka sama suka, telah tercipta harmonisasi hubungan antara pelaku dengan
korban atau keluarganya, dan keduanya sudah menikah secara sirih. Mahkamah
Agung dalam hal ini memperbolehkan adanya penyimpaan pidana minimum
khusus dengan kondisi-kondisi tertentu. Dengan demikian, secara yuridis
kedepannya Majelis Hakim dalam pertimbangannya dapat memuat mengenai
ketentuan dalam SEMA No.1 Tahun 2017 tersebut sebagai dasar jika Majelis
Hakim akan menjatuhkan pidana di bawah minimum khusus dalam kondisi-kondisi
tertentu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

IV. PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang Penulis jabarkan diatas, dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Penyimpangan pidana di bawah pidana khusus sebagaimana ditentukan
dalam Undang-Undang Perlindungan Anak terdapat pada Putusan No.

8
189/Pid.Sus/2017/PN.Kdr atas nama Terdakwa Denny Surya Frisada bin
Soni Sumarsono. Ancaman pidana yang didakwakan oleh Penuntut Umum
adalah minimal 5 (lima) tahun sedangkan Majelis Hakim menjatuhkan
pidana selama 6 (enam) bulan berdasarkan pertimbangan yang telah
memenuhi aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis.
2. Restorative Justice muncul dalam teori tujuan pemidanaan yaitu teori
kontemporer. Hakim dalam melaksanakan konsep restorative justice dapat
terwujud dalam pertimbangannya mengenai keadaan memberatkan dan
meringankan. Walaupun secara normatif Majelis Hakim dalam putusan
menyimpangi ketentuan pidana minimum khusus, namun dengan konsep
restorative justice hal tersebut dapat dilakukan asalkan dilakukan dengan
pertimbangan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini
dibenarkan oleh produk Mahkamah Agung berupa SEMA No.1 Tahun 2017
tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah
Agung Tahun 2017.

B. Saran
Atas dasar hasil pengkajian yang dilakukan oleh Penulis, maka terdapat
beberapa saran yang diberikan yaitu:
1. Bagi Mahkamah Agung yaitu adanya sosialisasi terkait dengan ketentuan
poin 5a bagian A SEMA No.1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
2. Bagi Para Hakim yaitu perlu ditanamkan kembali pemahaman mengenai
konsep restorative justice kaitannya dengan diperbolehkannya
penyimpangan minimum khusus dalam hal ancaman hukuman yang
diancam tidak proporsional dengan perbuatan yang Terdakwa perbuat.

9
DAFTAR PUSTAKA
Chazawi, Adami, 2007, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
D.Y. Witanto dan A.P. Negara Kutawaringin, 2013, Diskresi Hakim sebuah
Instrumen Menegakkan Keadilan Substantive dalam Perkara-Perkara
Pidana, Alfabeta, Bandung.
Hamzah, Andi, 1993, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Pradnya
Paramita, Jakarta.
Hiariej, Eddy, O.S., 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta.
M. Solehuddin, 2002, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double
Track system & Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Mahkamah Agung RI, 2006, Pedoman Perilaku Hakim (Code Of Conduct), Kode
Etik Hakim dan Makalah Berkaitan, Pusdiklat Mahkamah Agung RI,
Jakarta.
Mansyur, Ridwan, 2010, Mediasi Penal terhadap Perkara KDRT (Kekerasan
dalam Rumah Tangga), Yayasan Gema Yustisia Indonesia, Jakarata.
Modul Diklat Tahap 3 “Pemidanaan dan Restorative Justice”, 2019, Program
Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu Peradilan Umum.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1998, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana,
Alumni, Bandung
Muladi, 2002, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Dipenegoro,
Semarang.
Permana, L. Hendi, 2016, Analisis Pertimbangan Hukum Hakim dalam Penjatuhan
Pidana di Bawah Minimum terhadap Pelaku Tindak Pidana Kesusilaan
(Peraka No. 107/Pid.Sus/2015/PN. Met), Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Lampung, Bandar Lampung.
Umam, Aminal, 2010, Penerapan Pidana Minimum Khusus, Varia Peradilan Tahun
XXV No. 29, IKAHI, Jakarta.
Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.
23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
SEMA No. 1 Tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno
Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan
Tugas bagi Pengadilan.
Putusan No. 189/Pid.Sus/2017/PN.Kdr atas nama Terdakwa Denny Surya Frisada
bin Soni Sumarsono.

10

Anda mungkin juga menyukai