Anda di halaman 1dari 6

NAMA : KHAIRANI DWI HIDAYATI

NPM : 210 666 7204

MATA KULIAH : TEORI HUKUM

Sri Indrayani : Membahas mengenai Mandatory Penalties dalam Sentencing Matters. Artikel
berbicara mengenai hukuman wajib, yang pada tahun 1970-an hingga 1980-an di US, dinilai
sebagai upaya buruk karena tidak dapat menimbulkan efek jera dan lebih banyak mengeluarkan
biaya daripada memberi manfaaat. Para ahli juga melihat bahwa hukuman wajib tidak efektif
sebagai upacaya pencegahan. Dalam “Rockefeller Drug Laws”, suatu penelitian mengenai
efektivitas hukuman terhadap tindak pidana narkotika, menghasilkan kesimpulan bahwa
hukuman wajib pada pengguna narkoba tidak mengurangi jumlah perdagangan narkoba. Di
Indonesia, pengaturan mengenai jenis pemidanaan diatur melalui Pasal 10 KUHP, dengan 5 jenis
hukuman wajib. Sri Indrayani mengusulkan untuk memberlakukan hukuman potong tangan
untuk pelaku pencurian, sebagaimana yang telah dilaksanakan di Arab Saudi untuk diterapkan di
Indonesia, dengan kriteria-kriteria penjatuhan pidana tertentu.

Adinda Nabila : Membahas mengenai Judicial decision making and sentencing policy:
continuation of a study dalam The framework of judicial sentencing. Pembahasan dimulai
dengan melihat kajian-kajian umum dalam pembaharuan hukuman pidana, yakni : 1) mengenai
teori hukuman, apakah menggunakan teori pembalasan atau dimodifikasi dengan rehabilitasi,
dll?; 2) Perlu ada prinsip yang mengatur mengenai hierarkis prioritas mengenai 1 keadaan
dengan keadaan lain; 3) penataan kebijakan peradilan,  berbicara mengenai sumber, gaya, dan
ruang lingkup panduan dan sejauh mana kerangka tersebut mengikat; 4) implementasi sistem
yang mudah digunakan dan adaptif dengan perilaku hakim; dan 5) riset, mengenai pemidanaan
dan bagaimana hakim menerapkan hukum serta riset yang informatif. Mengenai sifat kebijakan
penjatuhan hukuman, hakim seringkali mengandalkan subjektivitasnya dalam menjatuhkan
hukuman, sehingga penelitian ini berusaha mencari secara empiris sifat dan isi dari sifat hakim
tersbeut. Mengenai keputusan penjatuhan hukuman, dalam kasus yang sangat individual dan
melibatkan beberapa tujuan pemidanaan, hakim harus memutuskan secara intuitif sejumlah besar
pelanggaran dan faktor pelanggar yang sesuai untuk kasus tersebut. Di Indonesia, hakim
memiliki kebebasan mandiri, Adinda juga mengaitkan kasus ini dengan alasan peringan dan
pemberat tindak pidana, dihubungkan dengan Pasal 8 ayat (2) UU no. 48/2009

Aditya Budi : Membahas mengenai Single And Multiple Similar Counts dalam A Sentencing
Decision Model. Berusaha mencari formula numerik yang dikaji dari cara hakim menjatuhkan
hukuman pada kasus berganda/jamak, yang memiliki kategori pelanggaran hukum yang sama.
Formula ini mempertimbangkan keseriusan keseluruhan kasus utnuk menentukan kuanta
hukuman yang paling tepat. David Thomas dalam tulisannya mengenai sifat dan struktur
penentuan yudisial oleh hakim, menyatakan bahwa hakim harus terlebih dahulu memutuskan
apakah hukuman harus menekankan beratnya pelanggaran atau apakah ada prospek rehabilitasi
pelaku. Lebih lanjut, hakim juga dapat menentukan apakah akan menjatuhkan sanksi yang
membatasi kebebasan individu (penahanan) atau non penahanan, atas dasar proporsionalitas.
Penjantuhan sanksi di Indonesia dalam tindak pidana yang dilakukan sekali maupun berulang
kali masih belum memiliki konsep yang jelas mengenai cara menentukan beratnya sanksi
terhadap pelaku tindak pidana, yang mana masih secara abstrak diatur dalam UU 48/2009.
Peraturan perundang-undangan telah membatasi hukuman maksimal untuk tiap tindak pidana,
dan tidak ada pengaturan yang mewajibkan/melarang hakim dalam menjatuhkan ultra petita. Hal
ini mengakibatkan adanya ketidakseragaman dalam putusan hakim. Usulan dari penulis adalah
untuk membuat pedoman tertentu dalam penjatuhan pidana dmei memberikan kepastian hukum
bagi pelaku.

Chusnus Tsurroya : Membahas mengenai The techniques of data collection dalam The
framework of judicial sentencing. Pada dasarnya berbicara mengenai metodologi penelitian yang
dilakukan oleh Austin Lovegrove. Teknik penjatuhan hukuman menurut Lovegrove ada 3,
yakni : 1) mengambil sampel dari hakim langsung melalui kasus-kasus fiktif; 2) wawancara
retrospektif; dan 3) laporan reflektif. Tujuannya untuk menganalisis perbedaan pendapat dari
para hakim dalam penjatuhan hukuman pidana. Penggunaan kasus fiktif dinilai lebih efektif
daripada harus melakukan tracing data dari putusan-putusan terdahulu. Lovegrove berusaha
menciptakan sistem numerik untuk penjatuhan pidana oleh hakim, yang nantinya dapat dijadikan
pedoman bagi hakim dalam memutus, sehingga tidak terjadi disparitas putusan. Meskipun
begitu, Chusnus berpendapat bahwa adanya disparitas dalam putusan hakim adalah hal yang
lazim. Dalam implementasinya di Indonesia, hal ini dapat dilihat melalui bagian “pertimbangan
hakim” dalam putusannya. Saran yang diberikan adalah : 1) perlu dibentuk pedoman penjatuhan
pidana; 2) perlu menggunakan asas primum remedium dalam memutus; 3) faktor-faktor apa yang
dapat berpengaruh dalam penjatuhan pidana perlu diatur agar hakim punya pertimbangan yang
tepat dalam memutus. Prof. Harkristuti kemudian menambahkan bahwa dalam RKUHP, telah
diatur faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan.

Rindipaty Toni Wiranto : Membahas mengenai Sentencing aims, principles and policies dalam
Sentencing Matters. Menurut artikel ini, sistem peradilan pidana tidak seharusnya dipandang
sebagai suatu ‘sistem’ meskipun dalam penerapannya dapat saling berkaitan. Hal ini dikarenakan
memerlukan pendapatan dan adanya tujuan yang berbeda pada kategori-kategori jenis tindak
pidana, hal ini menyebabkan jenis pidana juga dapat bervariasi. 2 alasan kenapa pidana
bervariasi adalah karena faktor demografis masyarakat yang beragam dan tidak semua kejahatan
dilaporkan ke polisi. Pada dasarnya pemberian hukuman oleh negara kepada masyarakat dapat
dibenarkan, dengan dilandaskan teori social contract oleh John Locke. Dalam merasionalisasi
pemberian hukuman, dikenal beberapa teori : 1) bahwa hakim memiliki kebebasan dalam
menjatuhkan hukuman, termasuk alasannya dalam menjatuhkan hukuman tersebut (hakim
memiliki diskresi, meskipun dipandu oleh peraturan perundang-undangan); 2) teori deterrence;
3) inkapasitasi, yaitu upaya untuk melumpuhkan pelanggar agar tidak melakukan perbuatan
pidananya lagi; 4) teori rehabilitasi; 5) teori desert (pembalasan) ; 6) teori hukuman sosial; 7)
restorasi dan reparasi. Otoritas publik dalam menjatuhkan hukuman, perlu patuh pada prinsip-
prinsip sebagai berikut : 1) menghormati hak-hak dasar; 2) menahan diri; 3) manajerialisme
kebijakan pengendalian pengeluaran publik; 4) persamaan didepan hukum; 5) dampak yang
sama; 6) hemat. Kaitannya dengan Indonesia, Rindipaty mengaitkan dengan jenis-jenis pidana
dalam Pasal 10 KUHP. Ia mengusulkan untuk mempertimbangkan kembali hukuman mati
karena adanya pertimbangan HAM.

Kevin Ramadhino : Membahas mengenai Theories Of Punishment And The Current State Of The
Debate dalam Punishment & Sentencing. Dalam bagian pendahuluan dari artikel ini, disbeutkan
bahwa hukuman perlu perbaikan dari segi pembenaran moral, perlu didefinisikan dengan baik
agar tidak bias, dan perlu adanya rasa bersalah pelaku sebagai salah satu aspek pemberian
hukuman. Bagi kaum utilitarian, hukuman dipandang sebagai sesuatu yang perlu ditolak dengan
argument bahwa akan menimbulkan nestapa apabila ia dijatuhkan pada orang yang salah.
Hukuman sebagai nestapa dinilai sebagai rasa sakit yang dipindahkan dari 1 orang ke orang lain.
Hukuman hendaknya memperitmbangkan asas proporsionalitas, dan hukuman dianggap benar
apabila dapat menjadikan orang yang dihukum menjadi versi yang lebih baik. Kevin kemudian
membandingkan masalah ini dengan kasus nenek minah, dengan mengusulkan bahwa hukuman
harus dibuat secara lebih proporsional.

Fidelia Prabajati : Membahas mengenai conclusions dalam Sentencing & Criminal Justice.
Terdapat 6 poin kesimpulan : 1) Penjatuhan hukuman pidana merupakan beban berat bagi hakim,
dimana hakim harus bertindak adil & proporsional. Maka, pidana seharusnya tidak dianggap
sebagai upaya preventif mengatasi permasalahan kriminal; 2) The new penal ladder merupakan
konsep hierarkis hukuman berdasarkan bobot pidananya, sebaiknya saat ini mulai dibatasi
penggunaan pidana yang memberikan pembetasan pada kebebasan individu. Penerapan pidana
denda juga dikritik karena sulit menentukan besarannya; 3) Melalui Hukum Inggris 2003,
dibentuk sentencing commission yang berfungsi membuat pedoman pemidanaan. Pedoman ini
cenderung kaku dalam penerapannya; 4) mengenai risiko, perlindungan umum, dan trifurkasi,
adalah pandangan yang ekstrem dalam menerapkan pidana. Dimana perlindungan terhadap
masyarakat harus didahulukan, sehingga perbuatan seseorang tetap harus dipidana tanpa melihat
niat pelakunya; 4) Terdapat issue diskriminasi kaum minoritas pada hukum Inggris,
menyeybabkan hilangnya proporsionalitas & keadilan sosial pada hukum; 5) mengenai
keberanian politik & peradilan pidana, dibahas bahwa hukuman penjara tidak lebih efektif untuk
mengatasi kejahatan recidive, dan peningkatan kuanta hukuman tidak memiliki pengaruh bagi
pencegahan. Di Indonesia, Fidelia berpandangan bahwa permasalahan proporsionalitas akan
lebih sedikit karena Indonesia condong menganut sistem civil law yang berpedoman pada
undang-undang.

Alexander Sinurat : Membahas mengenai Testing the decision model for multiple disparate
counts dalam The framework of judicial sentencing. Artikel berbicara mengenai model
penjatuhan sanksi bagi hakim dengan menurunkan proposisi-proposisi yang dapat diuji
validitasnya. Pada bagian ini, dijabarakan mengenai 14 proposisi tersebut. Meskipun begitu,
dalam usulan Austin, belum ada konsep sejauh mana seseorang dapat menambahkan keseriusan
dari principal offence. Di Indonesia, hakim memutus dengan fakta & keyakinan hakim, sehingga
perlu ada pedoman untuk menyeragamankan putusan hakim agar mencapai peradilan untuk
tindakan-tindakan yang mirip. Hal ini diatur secara abstrak dalam UU 48/2009. Prof. Harkristuti
kemudian menambahkan bahwa hal ini telah diatur melalui Pasal 63 – 65 KUHP. Rekomendasi
dari Alex adalah untuk membuat pedoman pemidanaan.

Ricky Vandre Teguh Jaya : Membahas mengenai Sentencing Matters dalam Sentencing Matters.
Pada tahun 1990, US banyak menerapkan indeterminate sentencing system yang tidak
mencerminkan keadilan hukum. Oleh karenanya, banyak usulan untuk melakukan free strikes,
meningkatkan pendanaan research tentang hukuman, dan pembentukan sentencing commission.
Pada 25 tahun awal, pergejolakan hukum mulai dari banyaknya indeterminate sentencing system
(1970) – kongres mengesahkan UU yang mengatur ttg determinate sentencing dan hak untuk
mengajukan pembebeasan ebrsyarat - membentuk sentencing commission. Kemudian tedapat
issue mengenai adanya ketidakadailan dalam penerapan just desert.

Tiara Nurfathia : Membahas mengenai Multiple Offenders dalam Sentencing and criminal
justice. Pada simpulannya menyatakan bahwa berapapun kejahatan yang dilakukan oleh
seseorang, hukumannya harus dalam range/kisaran hukuman yang berlaku terhadap jenis
kejahatan tersebut (proposionalitas). Namun ketika ditotal itu melebihi hukuman dari kejahatan
yang lebih serius, maka harus dikurangi. (prinsip totalitas). Di Indonesia, jenis perbuatan tersebut
dinamakan perbuatan concursus (idealis, realis, vorzegette handelling) yang diatur dari Pasal 63
– 70 KUHP. Tiara menekankan bahwa hukum pidana Indonesia harus memberikan efek jera bagi
pelaku agar tidak mengulangi tindak-tindakan pidana yang dilakukannya dengan memperberat
hukumannya. Seperti memberikan hukuman terberat dan ditambah sepertiga.

Muhammad Farhan : Membahas mengenai A Rational Approach dalam Punishment And


Sentencing. Menggagas mengenai proporsionalitas dalam pemidanaan yang seharusnya tidak
melebihi bobot kejahatan. 2 Prinsip dalam proporsionalitas adalah membatasi tingkat hukuman,
dan bersifat menentukan kemungkinan tujuan hukum lainnya. Proporsionalitas dibagi menjadi 2
jenis, ordinal (sanksi perlu mencerminkan seriusitas pelanggaran dan tindak pidana yang
dilakukan) dan cardinal (seriusitas pelanggaran perlu rasional secara proporsi dengan level
tertinggi pidana). Retributivisme dan proporsionalitas dianggap tidak dapat sepenuhnya sejalan,
karena asas lex talionis tidak dapat diterapkan pada setiap pelanggaran. Mengenai Utilitirianisme
dan proporsionalitas, disebutkan oleh Bentham, sanksi harus diberikan sesuai dengan beratnya
pelanggaran sehingga mereka yang melakukan kejahatan akan memilih pelanggaran yang lebih
ringan. Indonesia dalam menjaga proporsionalitas telah memberikan pengaturan yang berbeda
terhadap pemidanaan pada perbuatan materiil-formiil, sengaja-alpha. Farhan juga melihat bahwa
Pasal 2 dan 3 UU PTPK merupakan salah satu bentuk inproporsionalitas. Farhan mengusulkan
perlunya pembaharuan hukum pidana dengan mempertimbangkan teori hukum pidana.

Anda mungkin juga menyukai