Anda di halaman 1dari 17

PEMIKIRAN JHON LOCKE DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN DI

INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemikiran- pemikiran guna menghindari penumpukan kewenangan di salah satu

cabang kekuasaan negara telah berlangsung semenjak abad ke 17. Pencegahan

penumpukan kekuasaan tersebut dilakukan biar tidak terbentuknya

penyalahgunaan kewenangan oleh salah satu cabang kekuasaan. Pemisahan

kekuasaan bisa dilihat dari 2 aspek, adalah pemisahan kekuasaan secara vertikal

serta pemisahan kekuasaan secara horizontal. Pemisahan kekuasaan secara

vertikal merupakan pemisahan kekuasaan yang dicoba secara berjenjang. Dengan

kata lain, pemisahan kekuasaan vertikal merupakan pemisahan pemerintah pusat

dengan pemerintah daerah. Pemisahan kekuasaan secara vertikal mempunyai arti

kalau kekuasaan sesuatu negara tidak dimonopoli oleh pemerintah pusat.

Pemisahan kekuasaan secara horizontal1 merupakan pemisahan kekuasaan yang

dicoba dengan metode membagi tugas kekuasaan negara jadi beberapa bagian.

Pemikiran pemisahan kekuasaan secara didasari dengan terdapatnya pemikiran

untuk menghindari penumpukan kekuasaan di tangan raja. Tidak hanya itu, dengan

adanya pemisahan kekuasaan hingga hendak terdapat penjaminan terhadap hak-


hak asasi manusia. Pemikir- pemikir yang menggagas pemisahan kekuasaan

tersebut antara lain adalah John Locke, Montesquieu, serta van Vollenhoven.

Filsafat tentang politik berkembang dari suatu ilmu filsafat praktis semenjak era

Yunani Kuno, sehingga filsafat politik serta filsafat umum mempunyai suatu

kesamaan. Ada penafsiran lain yang menjelaskan keterkaitan antara filsafat politik

dan filsafat umum. Sebutan Filsafat berasal dari bahsasa Yunani“ Philosofi” dan

dalam perkembangan selanjutnya diketahui di dalam bahasa lain ialah,

Philosofie( Jerman, Belanda, dan Prancis), Philosofhy( Inggris), Philosophia( Latin),

dan Falsafah( Arab). Filsafat pula dipejari selaku suatu usaha mencari kebenaran

sampai akar- akarnya, sebaliknya filsafat politik yang berasal dari kata“

politis”( political) jadi atensi dari golongan para pakar teori dengan mencari pokok

permasalahan( subject matter) dalam perihal ini ditentukan keterkaitannya dengan

apa yang dianggap sebagai“ publik”.

Tetapi, filsafat bisa ditafsirkan sebagai usaha sistematis guna menekuni suatu

prinsip yang mendasari seluruh hal, yakni penyelidikan tentang apa yang“

politis”( political) dikira wajib membentuk suatu bagian dari usaha yang berfilsafat

secara umum. Maka dari itu filsafat politik bisa dikatakan sebagai usaha- usaha

filsuf dalam membagikan suatu panduan serta jawaban untuk menjawab sesuatu

permasalahan dalam kehidupan msyarakat secara universal. Bagi Plato, filsafat

politik merupakan upaya untuk membahas serta menguraikan bermacam segi

kehidupan manusia dalam hubungannya dengan negara. Ia menawarkan konsep

pemikiran tentang manusia serta negara yang baik dan dia juga mempersoalkan

metode yang wajib ditempuh guna mewujudkan konsep pemikiran. Bagi Plato,
manusia dan negara mempunyai persamaan hakiki. Oleh sebab itu, apabila

manusia baik negara pun baik dan apabila manusia buruk negara juga buruk.

Apabila negara kurang baik berarti manusianya juga kurang baik, maksudnya

negara merupakan gambaran mansuia yang menjadi warganya. Filsafat politik terus

hadapi pertumbuhan sejak masa Yunani Kuno sampai abad pertengahan, sampai

timbul filsuf pada masa pencerahan ialah John Locke pada tahun 1632 dengan

karyanya yang populer dengan nama pandangan terhadap negara, terhimpun

dalam buku yang berjudul“ Two Treatises of Civil Government”.

Dalam bukunya Two Treatise of Civil Government, John Locke berpendapat bahwa

idealnya kekuasaan negara dipisah menjadi 3, ialah kekuasaan legislatif,

kekuasaan eksekutif, serta kekuasaan federatif. Kekuasan legislatif merupakan

kekuasaan untuk membentuk undang- undangan, kekuasaan eksekutif merupakan

kekuasaan untuk melaksanakan peraturan perundang- undangan, sebaliknya

kekuasaan federatif merupakan kekuasaan untuk melaksanakan hubungan luar

negara. Teori ini menggambarkan kalau John Locke belum meletakkan kekuasaan

yudikatif selaku kekuasaan yang terpisah dari cabang yang yang lain serta sesuatu

cabang yang mandiri. John Locke berkata kalau sesuatu perkumpulan masyarakat

diciptakan untuk melindungi hak milik dari tiap- tiap orang.

Bahwa politik hukum jadi barometer dalam memastikan arah pengelolaan negara di

bidang hukum untuk keberlangsungan kebutuhan bernegara serta bermasyarakat.

Dengan politik hukum Pemerintah serta DPR bisa melakukan pembangunan hukum

untuk pembangunan bangsa dan negara secara luas.


Melihat pada mekanise konstitusi pembuatan undang- undang( legislasi) di

Indonesia, ialah tanggung jawab politik hukum yang berada pada 2( 2) lembaga

negara ialah Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat( DPR) RI. Hal tersebut dilihat

dalam ketentuan UUD 1945:

Pasal 5( ayat 1) Presiden berhak mengajukan rancangan undang- undang kepada

Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 20( ayat 1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan untuk

membentuk undang- undang.

Mengenai kewenangan tersebut sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab politik

hukum Presiden serta DPR, hingga penulis melihat tanggung jawab politik hukum

diartikan jadi salah satu arah kepemimpinan Presiden terkhususnya, ataupun DPR

guna melihat serta membangun kebutuhan masyarakat serta nagara, sehingga

dalam masa kepemimpinan periode Presiden ataupun DPR, wujud implementasi

politik hukum selaku wujud dari tanggung jawab bernegara terus berjalan dengan

terdapatnya bahan- bahan hukum( undang- udang) yang di buat ataupun dirubah.

Bahwa setelah itu apakah sesuatu produk hukum( undang- undang) nantinya ada

yang dirasakan, dinilai tidak cocok ataupun melanggar kepentingan masyarakat

disatu sisi ataupun bersumber pada prinsip demokrasi konstitusi tidak sejalan,

tetapi undang- undang tersebut jadi bagian dari kepentingan bernegara.

Salah satu contohnya bias kita lihat pada periode kepemimpinan presiden

Indonesia yang sekarang yaitu Ir. H. Joko Widodo yang sudah menjabat selama 2

periode. Pada era kemepimpinan Presiden Ir.H.Joko Widodo beserta DPR RI baik

dalam periode pertama dan kedua, bias kita lihat secara bersama-sama dalam
pelaksanaan tanggungjawab politik hukum terkait dengan keputusan mengajukan

beberapa rancangan perundang-undangan, yakni:RUUKUHPidana, Revisi UU KPK,

RUU OMNIBUS LAW, yang cuku menyita perhatian masyarakat Indonesia. Bahwa

dengan mengajukan RUU tersebut merupakan suatu kolektivitas tanggungjawab

politik hukum antara presiden dengan DPR.

Dari defenisi politik hukum diatas maka Politik hukum bagi penulis ialah manivestasi

dari kekuasaan politik yang legitimate. Sesuatu kekuasaan politik yang tercipta

secara legal dari proses politik sudah pasti berhak serta berkewenangan guna

melakukan politik hukum selaku hasil dari raihan kekuasaan demokratis. Tidak bisa

jadi sesuatu kekuasaan pemerintahaan tidak mempunyai arah serta tujuan politik

hukum. Sehingga karena sesuatu kekuasaan sudah tercipta secara legal, serta

untuk melakukan kekuasan tersebut secara politik wajib adanya politik hukum untuk

menentukan berjalannya pemerintahan untuk negara serta masyarakat pada

sesuatu negara yang demokratis.

Untuk itu kemudian wajib dimaknai bersama kalau dalam pembuatan peraturan

perundang- undangan, politik hukum jadi penting, untuk 2 hal: Pertama, sebagai

alasan kenapa dibutuhkan pembuatan sesuatu peraturan perundang- undangan.

Kedua, untuk memastikan apa yang hendak diterjemahkan ke dalam kalimat hukum

serta jadi perumusan pasal. Mengapa penting sebab keberadaan peraturan

perundang- undangan serta perumusan pasal merupakan penghubung antara

politik hukum yang ditetapkan dengan penerapan politik hukum tersebut dalam

tahap implementasi peraturan perundang- undangan. Mengingat harus ada

konsistensi serta korelasi antara apa yang ditetapkan selaku politik hukum dengan
apa yang mau dicapai sebagai tujuan. Sehingga terkait tanggung jawab politik

hukum oleh Presiden ataupun DPR, penulis hendak mengkaji bagaimana arah

politik hukum nasional oleh Presiden Dan DPR bersumber pada UUD 1945 dalam

tanggung jawab politik hukum bersumber pada prinsip demokrasi konstitusional,

serta bagaimana politik perundang- undangan selaku wujud tanggung jawab politik

hukum Presiden dan DPR.

Untuk itu dilihatdari topic diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan

judul “PEMIKIRAN JHON LOCKE DALAM SISTEM PERUNDANG-UNDANGAN DI

INDONESIA”

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan diatas, yang menjadi urgensi dari

makalah ini adalah :

1. Bagaimana pemikiran Johnk Locke mengenai suatu Negara?

2. Bagaimama Implementasi pemikiran John Locke dalam system perundang-

undangan di Indonesia?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran John Locke mengenai suatu Negara

2. Untuk mengetahui bagaimana implementasi pemikiran John Locke dalam

system perundang-undangan di Indonesia.

D. Manfaat Penulisan

1. Untuk menembah pengetahuan penulis mengenai hukum dan politik dalam

kaitannya dengan Politik Hukum

2. Untuk bias memehami mengenai teori hukum, filsafat hukum dan konstitusi
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Jhon Locke

John Locke ( lahir 29 Agustus 1632– meninggal 28 Oktober 1704 pada usia 72

tahun) ialah seseorang filsuf berasal dari Inggris yang jadi salah satu penggas

berarti dari pendekatan Empirisme. Empirisme merupakan suatu aliran yang

menguraikan bahwa seluruh pengetahuan berasal dari suatu pengalaman manusia.

Kata empirisme berasal dari bahasa yunani emperia yang berarti pengalaman. Jadi

empirisme ialah suatu paham yang menyangka bahwa pengalaman merupakan

sumber pengetahuan. Empirisme pula berarti suatu paham yang menganggap

kalau pengalaman manusia didapat dari pengalaman- pengalaman yang nyata

serta faktual.

John Locke berusaha mencampurkan teori- teori empirisme seperti yang diajarkan

Bacon dan Hobbes dengan ajaran rasionalisme Descartes. Usaha ini untuk

menguatkan ajaran empirismenya. Dia menentang teori rasionalisme mengenai

idea- idea serta asas- asas pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia.

Bagi ia, seluruh pengetahuan datang dari pengalaman serta tidak lebih dari itu.

Peran akal adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Oleh sebab itu akal

tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri.

John Locke berpendapat rasio manusia harus dianggap sebagai lembaran kertas

putih( as a white paper) serta segala permukaan serta isinya berasal dari suatu

pengalaman. Pengalaman tersebut dipecah jadi 2 yaitu pengalaman

lahiriah( sensation) dab pengalaman batiniah( reflection) yang menciptakan ide- ide

tunggal. John Locke terkenal sebagai filsuf negara liberal dalam bidang fisafat
politik bersama dengan rekannya, Isaac Newton, keduanya diketahui sebagai salah

satu tokoh terutama dalam era pencerahan. Tidak hanya itu John Locke mencirikan

timbulnya masa modern serta masa pasca- Descartes( post- Cartesian), sebab

pendekatan filsuf ini tidak lagi jadi salah satunya pemikiran dominan di dalam

pendekatan filsafat pada era itu.

Pada tahun 1647, John Locke belajar di suatu sekolah ternama di Inggris, sekolah

Wesminster, dimana pendidikannya terkonsentrasi pada ajaran bahasa- bahasa

kuno, yaitu bahasa Latin, bahasa Yunani dan juga bahasa Ibrani. Setelah itu pada

tahun 1652, John Locke memperoleh beasiswa di sekolah Gereja Kristus, Oxford

dan menetap disana semenjak bulan Mei 1652.

John Locke tidak meminati tata cara skolastik dalam suatu perdebatan di sekolah

tersebut termasuk tema- tema metafisika serta logika, sehingga John Locke tidak

dapat hasil yang mengesankan ketika memperoleh gelar strata 2. Kesehariannya

dihabiskan dengan membaca karya- karya sastra, salah satunya drama, roman dan

sebagainya hingga menyenangi bidang kedokteran, semacam yang tertulis dalam

sebagian catatan individu John Locke pada periode akhir decade 1650- an, catatan

tersebut berisikan tentang hal- hal yang berkaitan tentang kesehatan serta

pengobatan.

John Locke perlahan mulai meminati filsafat alam pada saat menulis catatan

keseharian medisnya pada tahun 1658. Pada awal tahun 1660, Robert Boyle

berjumpa dengan John Locke dan memberikan pengaruh kuat dengan filsafat

mekanisnya serta menarik atensi John Locke juga karya- karya Descartes.

Bergejolaknya politik di Inggris membuat John Locke menaruh minatnya kepada


politik sebab Cromwell dikala itu mengganti sistem politik Inggris, sampai meninggal

pada tahun 1658 yang setelah itu diperintah oleh raja Chales II yang menghendaki

pemerintahan dengan kuat, memahami negara serta gereja Inggris. Pada waktu itu

John Locke mendukung pemerinahan Charles II. Hingga pada bulan November

sampai Desember, dia membuat sesuatu karangan pendek untuk menanggapi

Edward Bagshaw yang berisikan penegasan perlunya hakim sipil dalam

menentukan bentuk- bentuk ibadah keagamaan.

B. Two Treatises of Civil Government

Pemikiran John Locke terhadap negara tertulis dalam bukunya yang berjudul Two

Treatises of Civil Government, penyusunan buku ini dilatat belakangi oleh

kehidupan politik Inggris serta Perancis abad XVII( 17) yang didominasi oleh

wacana monarki absolut. Sejarah Inggris memandang kalau doktrin monarki absolut

merupakan jalan keluar terhadap kekacauan sosial politik akibat perang saudara

serta perang- perang agama yang sering terjadi pada masa itu. Monarki absolut

dilandasi atas keyakinan bahwa kekuasaan raja mempunyai sifat ilahi serta suci

sebab Tuhan yang sudah menganugrahkan kekuasaan tersebut kepada raja serta

keyakinan ini setelah itu populer dengn istilah hak- hak ketuhanan raja.

Pemikiran ini dilandasi oleh pemikiran bahwa monarki absolut ialah wujud

pemerintahan paling sesuai dengan kodrat hukum alam karena 3 alasan. Pertama,

monarki absolut berakar pada tradisi otoritas paternal. Kedua, sistem pemerintahan

monarki absolut ialah copy Kerajaan Tuhan di muka bumi. Ketiga, monarki absolut

ialah gambaran kekuasaan tunggal Tuhan atas segala suatu di dunia ini.

Sementara itu, John Locke Locke muncul sebagai penentang gigih terhadap
monarki absolut di negaranya. John Locke berpendapat bahwa monarki absolut

berlawanan dengan prinsip civil society yang diyakininya.

Civil society ialah wujud masyarakat yang merupakan gugatan terhadap institusi

superiort yang semula diciptakan guna menanggulangi supremasi naturalistik,

menghalangi wilayah serta ruang geraknya. Dari sinilah sesungguhnya letak

permusuhan intelektual Locke dengan Sir Robert Filmer, penyokong utama paham

absolutisme kekuasaan monarki Eropa Abad XVII yang dituangkan dalam karyanya

Patriarcha.

Karya John Locke dalam karya Two Treatises dibagi jadi 2 yaitu First Treatise yang

difokuskan pada sanggahan dari Sir Robert Filmer, khususnya Patriarcha, yang

berpendapat masyarakat sipil didirikan pada hak- hak ketuhanan seseorang raja

serta Second Treatises mengurai teori masyarakat sipil.

John Locke dimulai dengan menggambarkan kondisi alam, gambar jauh lebih stabil

dari Thozas Hobbes negara“ perang untuk tiap orang melawan setiap orang,” serta

berpendapat bahwa seluruh manusia diciptakan sama dalam kondisi alam oleh

Tuhan. Dari ini, dia melanjutkan dengan menjelaskan peningkatan hipotetis properti

dan peradaban, dalam proses menjelaskan bahwa salah satunya pemerintah yang

legal merupakan mereka yang mempunyai persetujuan rakyat. Oleh sebab itu tiap

pemerintah bahwa aturan- aturan tanpa persetujuan dari orang bisa secara teori

digulingkan.
Sehingga dalam Second Treatise Locke mengembangkan beberapa tema penting

ialah: keadaan alamiah, dimana orang tidak berkewajiban untuk mematuhi satu

sama lain, penaklukan serta perbudakan, properti, pemerintahan perwakilan, serta

hak revolusi.

Locke membagi perkembangan masyarakat jadi 3, yakni keadaan alamiah( the

state of nature), keadaan perang( the state of war), serta negara( commonwealth).

C. Implementasi pemikiran John Locke dalam system perundang-undangan di

Indonesia.

Dalam UUD 1945 pada pasal 5 dan pasal 20 diberikan kewenangan konstitusional

kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat( DPR) untuk kedua lembaga ini

menghasilkan serta menetapkan produk hukum, yakni Undang- undang guna

menjalankan pemerintahan dan hukum pastinya guna kepentingan pembangunan

bangsa serta negara. Hal demikian selaku wujud tanggung jawab politik hukum

presiden dan DPR yang sangat tidak terlepas dengan ada yang namanya politik

perundang- undangan. Akan tetapi sebelum berdialog mengenai politik perundang-

undangan pada sub bab ulasan berikutnya perlu dikenal politik hukum selaku induk

dari politik perudang- undangan dalam arah kebijakannya secara nasional( politik

hukum nasional), dalam penerapan tanggung jawab politik hukum tersebut baik

oleh Presiden ataupun DPR. Hal mana juga akan dihubungkan serta dianalitis dari

sudut pandang/ gagasan sebagian ahli dalam karya mereka yang berhubungan erat

dengan demokrasi konstitusi di Indonesia dalam pelaksanaan arah politik hukum

nasional dalam tanggung jawab politik oleh Presiden serta DPR tersebut. Hal

diartikan antara lain karya- karya Satya Arinanto: Constitutional Law and
Democratization In Indonesia,& Philippe Nonet and Philip Selznick: Law and

Society In Transition Toward Responsive Law, yang juga dari sumber buku Politik

Hukum 1, oleh Professor.Satya Arinanto.

Secara garis besar arah kebijakan politik hukum nasional yang sedang

dilaksanakan pada saat ini dilandaskan pada kemauan guna melaksanakan

pembenahan sistem dan politik hukum yang dilandasikan pada 3( 3) prinsip dasar

yang harus dijunjung oleh tiap warga negara ialah: Pertama Supremasi hukum,

Kedua Kesetaraan di hadapan hukum, Ketiga Penegakan hukum dengan cara- cara

yang tidak berlawanan dengan hukum. Ketiga prinsip dasar tersebut ialah

ketentuan mutlak dalam mewujudkan cita- cita terwujudnya negara Indonesia yang

damai serta sejahtera. Apabila hukum ditegakkan dan ketertiban diwujudkan,

hingga diharapkan kepastian, rasa nyaman, tenteram, maupun kehidupan yang

rukun akan dapat terwujud.

Berangkat dari ketiga perihal diatas, bahwa meski dilatar belakangi dengan

kemauan untuk melaksanakan pembenahan sistem serta politik hukum, hingga bagi

penulis butuh dilihat lebih dahulu kepada hal yang lebih mendasar dan substantif,

ialah bagaimana menghasilkan demokrasi politik. Dengan memandang demokrasi

politik selaku bagian yang fundamental dalam sistem politik hukum. Untuk itu bisa

dilihat banyaknya defenisi demokrasi politik sudah tumbuh secara umum, dan mari

kita melihat sesuatu defenisi dari Professor C. F. Strong dalam bukunya, Modern

Political Democration: An introduction to the Comparative Study of Their History and

Existing Form Suggests: “.. that government shall rest on the consent of the
governed: that os to say, the consent or dissent of the people shall have real outlets

for expressions at elections, on the platform, in the Press, and so forth”

Sehingga dari pengertiannya Professor C. F. Strong, maka oleh Professor Satya

Arinanto dilakukan sesuatu klasifiksi atas defenisi tersebut menjadi 3 ( 3) element

adalah:( 1) Kebebasan berekspresi menyatakan pendapat dalam pemilu( Freedom

to Express Opinion at the Elections),( 2) Kebebasan berekspresi menyatakan

pendapat bersumber pada platform( Freedom to Express opinion on the Platform/

academic freedom),( 3) Kebebasan Media( Freedom to Perss).

Untuk itu politik hukum nasional wajib tetap ditunjukan pada upaya menanggulangi

bermacam kasus dalam penyelenggaraan sistem dan politik hukum yang meliputi

permasalahan yang berkaitan dengan substansi hukum, struktur hukum, dan

budaya hukum. Hal mana untuk kasus yang ada dalam kaitan dengan ke- 3( 3)

perihal yang diartikan dibawah ini, harus terefleksi dengan ke- 3( 3) element yang

diklasifikasikan oleh Professor Satya Arinanto diatas, sehingga dinamika perjalan

ketatanageraan yang dibentuk dari salah satu sendi yakni arah politik hukum yang

akan dijalankan oleh Presiden ataupun DPR menjadi selaras antara kepentingan

masyarakat dan negara. Ada pula ke– 3( 3) hal dimaksud merupakan;

- Substansi Hukum, adalah Pembenahan substansi hukum merupakan upaya

menata kembali materi hukum melalui peninjauan serta penataan kembali

peraturan perundang- undangan guna mewujudkan tertib perundang- undangan

dengan memperhatikan asas umum serta hirarki perundang- undangan dan

menghormati dan memperkuat kearifan lokal.


- Struktur Hukum, ialah Pembenahan terhadap struktur hukum lebih difokuskan

pada penguatan kelembagaan dengan meningkatkan profesionalisme hakim serta

staf peradilan dan mutu sistem peradilan yang terbuka dan transparan;

menyederhanakan sistem peradilan, tingkatkan transparansi supaya peradilan bisa

diakses oleh masyarakat serta membenarkan bahwa hukum diterapkan dengan adil

dan memihak pada kebenaran. Dalam kaitannya dengan pembenahan struktur

hukum ini, langkah- langkah yang diterapkan merupakan:

i. Meningkatkan kembali kepercayaan masyarakat pada sistem hukum serta

kepastian hukum.

Minimnya independensi lembaga penegak hukum yang terjalin sepanjang

kurun waktu silam membawa akibat besar dalam sistem hukum. Intervensi

berbagai kekuasaan lain terhadap kekuasaan yudikatif sudah menyebabkan

terbentuknya partialitas dalam berbagai putusan.

ii. Penyelenggaraan proses hukum secara transparan serta bisa dipertanggung

jawabkan.

Akuntabilitas lembaga hukum tidak dilakukan dengan jelas, baik kepada

siapa ataupun lembaga mana lembaga tersebut wajib bertanggung jawab

ataupun tata cara bagaimana yang wajib dilakukan untuk memberikan

pertanggungjawabannya, sehingga memberikan kesan proses hukum tidak

transparan.

iii. Pembenahan serta peningkatan sumber daya manusia di bidang hukum.


Secara umum, kualitas sumber daya manusia di bidang hukum, dari mulai

para peneliti hukum, perancang peraturan perundang- undangan hingga

tingkatan pelaksana serta penegak hukum masih butuh peningkatan.

Dari pembenahan Struktur hukum, bisa diidentifikasi ( 3 hal di atas) sasaran yang

hendak dibentuk dalam pembenahan struktur hukum tersebut, akan tetapi belum

menggambarkan secara empiris serta/ ataupun realitas kesimpulan yang bisa

menjawab dan mendukung identifikasi ke- 3( 3) perihal tersebut. Secara empiris

permasalahan sruktur hukum ikut di mempengaruhi oleh 2 faktor:( 1) Faktor

Otoritas Hukum,( 2) Faktor Independensi Peradilan. Persoalan tentang otoritas

hukum sebagian ialah permasalahan filosifis; bahwa independensi peradilan yang

konstitusional. Makna keadilan merupakan konsep yang susah buat didefenisikan.

Namun itu tidak berarrti kalau kita bisa mentolerir minimnya otoritas hukum,

ataupun minimnya independensi peradilan dalam implementasi konstitusi

Indonesia, serta memerlukan perjuangan buat menegakan aspirasi keadilan yang

dipunyai oleh rakyat dan bangsa Indonesia.

-Budaya Hukum, Unsur yang ketiga dalam arah kebijakan politik hukum nasional

merupakan meningkatkan budaya hukum antara lain melalui pembelajaran serta

sosialisasi bermacam peraturan perundang- undangan.

Untuk menunjang pembenahan sistem dan politik hukum tersebut, sudah

ditetapkan sasaran politik hukum nasional ialah terciptanya sesuatu sistem hukum

nasional yang adil, konsekuen, serta tidak diskriminatif( termasuk bias gender);

terjaminnya konsistensi segala peraturan perundang- undangan pada tingkat

pusat serta daerah, dan tidak berlawanan dengan peraturan dan perundangan
yang lebih tinggi, dan kelembagaan peradilan dan penegak hukum yang

berwibawa, bersih, profesional dalam upaya memulihkan kembali kepercayaan

hukum masyarakat secara totalitas.

Bertolak dari pada itu maka kebutuhan untuk melihat hukum yang responsif

sangat relevant dengan pembenahan sistem serta politik hukum dalam

membangun arah politik hukum nasional sebagai implementasi tanggung jawab

politik hukum presiden berserta DPR dengan terealisasinya produk UU yang

pastinya responsif itu.

Setelah itu dengan melihat pandagan Nonet Philippe dan Philip Selznick. 2001.

Law and Society in Transtition: Toward Responsif Law, yang dikumpulkan oleh

Satya Arinanto.“ Politik Hukum 2”, Part Two, hal. 73- 156. Jakarta. Penerbit

Universitas Indonesia, yang peluis terjemahkan sendiri, bahwa dalam

perkembangan hukum modern, pencarian hukum responsif telah jadi kelanjutan

dari uraian teori hukum modern. Menurut pendapat Jerome Frank, maksud

kalangan realis merupakan membuat hukum lebih responsive pada kebutuhan-

kebutuhan sosial. Pada sasaran ini, mereka mendorong perluasan medan/

wilayah yang relevan secara hukum, sehingga penalaran hukum mencangkup

pengetahun akan konteks sosial serta efek- efek aksi yang formal. Seperti halnya

realisme, yurisprudensi sosiologi bertujuan mempermudah institusi- institusi

hukum untuk memperhitungkan fakta sosial yang lenngkap serta cermat dimana

hukum wajib tumbuh dan harus diterapkan. Teori Pound tentang kepentingan-

kepentingan sosial ialah upaya yang jelas meningkatkan model hukum responsif.

Karakteristik khas dalam hukum responsif merupakan pencarian akan nilai- nilai
implisit dalam ketentuan serta kebijakan- kebijakan. Contohnya adalah hukum:”

due process”/ Due Pf Process Of Law sebagai suatu dokrin konstitusi. Hukum

responsif dibentuk diaats pengalaman. Dalam perubahan yang dibentuk menuju

tata tertib hukum, sehingga dalam proses ini panduan ditarik dari prinsip otorita

menuju kejujuran dan demokrasi.

Sehingga guna mewujudkan sasaran tersebut, hingga disusun konsepsi

pembangunan politik hukum, antara lain dengan melakukan:

a. Perencanaan hukum;

b. Pembentukan hukum;

c. Peningkatan kinerja lembaga peradilan dan lembaga penegakan hukum

lainnya;

d. Peningkatan kualitas profesi hukum; dan

e. Peningkatan kesadaran hukum dan hak asasi manusia.

Anda mungkin juga menyukai