Dalam merumuskan norma hukum pidana dan merumuskan ancaman pidana, paling
tidak terdapat 3(tiga) hal yang ingin dicapai dengan pemberlakuan hukum pidana di
dalam masyarakat, yaitu membentuk atau mencapai cita kehidupan masyarakat yang
ideal atau masyarakat yang dicitakan, mempertahankan dan menegakkan nilai-nilai
luhur dalam masyarakat, dan mempertahankan sesuatu yang dinilai baik (ideal) dan
diikuti oleh masyarakat dengan teknik perumusan norma yang negatif. Tujuan
pengenaan sanksi pidana dipengaruhi oleh alasan yang dijadikan dasar pengancaman
dan penjatuhan pidana, dalam konteks ini alasan pemidanaan adalah pembalasan,
kemanfaatan, dan gabungan antara pembalasan yang memiliki tujuan atau pembalasan
yang diberikan kepada pelaku dengan maksud dan tujuan tertentu.1
Tatanan instrumen hukum acara pidana dan pemidanaan di Indonesia telah mengatur
mengenai prosedur formal yang harus dilalui dalam menyelesaikan sebuah perkara
pidana. Namun sayangnya, sistem formil tersebut dalam praktiknya sering digunakan
sebagai alat represif bagi mereka yang berbalutkan atribut penegak hukum. Lihatlah
bagaimana contoh kasus yang pernah ditangani oleh LBH Mawar Saron Jakarta.
Kasus dimaksud tentang dua orang pelajar SMP yang dituduh mencuri. Kedua belah
pihak yakni dua pelajar dan korban pencurian sebenarnya telah berdamai, namun
1
Iba Nurkasihani, SH., RESTORATIVE JUSTICE, ALTERNATIF BARU DALAM SISTEM
PEMIDANAAN. https://www.jdih.tanahlautkab.go.id/artikel_hukum/detail/restorative-justice-alternatif-baru-
dalam-sistem-pemidanaan. Diakses pada tanggal 9 Maret 2023. Pukul 15.27.
2
Jecky Tengens, Pendekatan Restorative Justice dalam Sistem Pidana Indonesia,
https://www.hukumonline.com/berita/a/pendekatan-restorative-justice-dalam-sistem-pidana-indonesia-
lt4e25360a422c2/ diakses pada tanggal 9 Maret 2023. Pukul 16.17.
polisi berbalutkan atribut penegak hukum lebih memilih untuk meneruskan kasus
tersebut hingga sampai ke pengadilan. Sebuah contoh nyata dimana sistem formil
pidana telah dijadikan alat represif tanpa memperhatikan kepentingan si korban dan
pelaku.3
3
Op.Cit.
4
Mirza Sahputra, RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI WUJUD HUKUM PROGRESIF DALAM
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA : Jurnal Transformasi Administrasi Vol 12,
No.01. 2022, hlm 88.
5
Op.Cit, hlm. 88.
6
I Made Wahyu Chandra Satriana, Ni Made Liana Dewi, Sistem Peradilan Pidana Perspektif
Restorative Justice, Bali : Udayana University Press, Universitas Udayana. 2021, Hlm. 11.
Proses perkembangan wacana teoritik maupun proses perkembangan pembaharuan
hukum pidana diberbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan
mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah dibidang hukum Pidana.
International Penal Reform Conference yang diselenggarakan di Royal Hollowat
College, University of London, pada tanggal 13-17 April 1999 mengemukakan,
bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum Pidana (the key
elements of a new agenda for penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem
peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informal dalam penyelesaian
sengketa yang sesuai dengan standar HAM (the need to enrich the formal judicial
sistem with informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet
human rights standards). Konferensi ini juga mengidentifi kasi sembilan strategi
pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana, yaitu
mengembangkan/membangun:7
7
Op.Cit hlm. 11
8
Loc.Cit, hlm 12
Upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan dengan menggunakan sarana penal
dan sarana non-penal. Penanggulangan kejahatan dengan sarana penal yaitu upaya
penanggulangan kejahatan dengan sarana hukum pidana. Penggunaan sarana hukum
pidana untuk penanggulangan kejahatan, operasional bekerjanya lewat sistem peradilan
pidana (criminal justice system). Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan
bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk: (i) resosialisasi dan rehabilitasi
pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai
kesejahteraan sosial.9 Sistem peradilan pidana di dalamnya terkandung gerak sistemik
dari subsistem-subsistem yaitu: Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Koreksi (Lembaga Pemasyarakatan), yang secara keseluruhan merupakan satu kesatuan
berusaha mentransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output), berupa
tujuan jangka pendek, tujuan jangka menengah dan tujuan jangka panjang dari sistem
peradilan pidana.10
9
Fajar Ari Sudewo, Pendekatan Restorative Justice Bagi Anak yang berhadapan dengan Hukum,
Pekalongan : Penerbit NEM. 2021. Hlm. 65.
10
Hlm. 65.
11
Edi Ribut Harwanto, Keadilan Restorative Justice, Implementasi Politik Hukum Pidana Bernilai
Filsafat Pancasila, Lampung: Laduny. 2021. Hlm.5.
Hal ini dilatarbelakangi oleh fokus perhatian dan pandangan atas suatu tindak pidana dan
keadilan yang dicapai atas suatu penyelesaian perkara pidana. Pandangan terhadap arti dari
suatu tindak pidana dan pemidanaan yang dianut dalam sistem peradilan pidana tradisional
saat ini adalah “is a violation of the state, defined by law breaking and guilty” (pelanggaran
negara didefinisikan sebagai pelanggaran hukum dan bersalah). Sementara keadilan dalam
sistem peradilan pidana tradisional dipahami sebagai “terbuktinya dakwaan dan penjatuhan
pidana kepada pelaku oleh Negara sebagai pemegang kedaulatan dalam menjatuhkan
pidana.12
Dalam proses acara pidana konvensional misalnya apabila telah terjadi perdamaian antara
pelaku dan korban, dan sang korban telah memaafkan sang pelaku, maka hal tersebut tidak
akan dapat mempengaruhi kewenangan penegak hukum untuk meneruskan perkara tersebut
ke ranah pidana yang nantinya berujung pada pemidanaan sang pelaku pidana. Proses formal
pidana yang lama serta tidak memberikan kepastian bagi pelaku maupun korban tentu tidak
serta merta memenuhi maupun memulihkan hubungan antara korban dan pelaku, sehingga
konsep restorative justice menawarkan proses pemulihan yang melibatkan pelaku dan korban
secara langsung dalam penyelesaian masalahnya.13
Dalam praktek peradilan pidana di Indonesia, kepentingan korban yang meliputi kerugian dan
penderitaan atas tindak pidana yang dialami seringkali kurang diperhatikan. Korban
kejahatan ditempatkan hanya sebagai alat bukti yaitu hanya sebagai saksi sehingga
kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya
adalah kecil. Kepentingan korban yang telah diwakili oleh Jaksa Penuntut Umum, dalam
upaya menuntut pelaku tindak pidana, telah dianggap sebagai upaya perlindungan hukum
bagi korban serta masyarakat luas. Padahal dalam realitasnya kerugian yang dialami korban
terabaikan.14
12
Op.Cit, hlm.5
13
Josefhin Mareta, Hlm 310
14
Hlm 311